SUTTA 56
578) Ini berarti “Petapa Tinggi”, nama yang diberikan kepadanya karena tinggi badannya.
579) Daṇḍa, aslinya berarti potongan kayu atau batang, memperoleh makna tongkat sebagai alat penghukum, dan selanjutnya menjadi bermakna hukuman atau penderitaan itu sendiri, bahkan tanpa merujuk pada suatu alat. Penggunaannya di sini menyiratkan bahwa para Jain menganggap aktivitas jasmani, ucapan, dan pikiran sebagai alat-alat yang dengannya seseorang menyengsarakan dirinya sendiri dengan memperlama belenggunya dalam saṁsāra dan menyengsarakan makhluk lain dengan menimbulkan kemalangan pada mereka.
580) MA: Para Nigaṇṭha menganut bahwa kedua “tongkat” pertama menghasilkan kamma secara tidak bergantung pada keterlibatan pikiran (acittaka) seperti halnya, ketika angin bertiup, dahan-dahan berayun dan dedaunan bergemerisik tanpa adanya inisiatif pikiran.
581) Sang Buddha mengatakan hal ini karena dalam ajaran
-Nya
, kehendak (cetanā), suatu faktor batin, adalah unsur kamma yang paling penting, dan dengan ketiadaannya
—yaitu, dalam kasus aktivitas jasmani atau ucapan yang tidak disengaja
—tidak ada kamma yang dihasilkan. Akan tetapi, MA berpendapat bahwa Sang Buddha mengatakan hal ini dengan merujuk pada pandangan salah dengan akibat pasti (niyatā micchā diṭṭhi), dan mengutip AN 1:18.3/i.33 sebagai dukungan: “Para bhikkhu, Aku tidak melihat
apa pun yang begitu tercela sebagai pandangan salah. Pandangan salah adalah yang paling tercela dari segala hal.” Jenis-jenis pandangan salah ini dijelaskan dalam MN 60.5, 13 dan 21.
582) Seperti pada MN 35.
5.583) Penambahan dalam kurung pada paragraf sebelumnya, disisipkan oleh Ñm, bersumber dari MA. Ñm, dalam Ms, menyimpulkan argumen ini sebagai berikut: Para Nigaṇṭha tidak diperbolehkan menggunakan air dingin (karena mereka menganggapnya mengandung makhluk hidup). Dengan menolak air dingin melalui jasmani dan ucapan
, ia menjaga perilaku jasmani dan ucapannya tetap murni, tetapi jika dalam pikirannya ia menginginkan air dingin maka perilaku pikirannya tidak murni, dan dengan
demikian ia terlahir kembali di antara “para dewa dengan pikiran-terikat” (manosattā devā).
584) Pada §15
, Upāli mengakui bahwa pada titik ini ia telah berkeyakinan pada Sang Buddha. Akan tetapi, ia terus membantah
-Nya karena ia ingin mendengarkan berbagai solusi dari Sang Buddha atas persoalan itu.
585) Pernyataan ini, pada DN 2.29/i.57, dianggap berasal dari Nigaṇṭha Nātaputta sendiri sebagai formula doktrin Jain. Ñm menunjukkan dalam Ms bahwa ini melibatkan permainan kata pada vāri, yang dapat bermakna “air” juga bermakna “mengekang” (dari vāreti, menghalau). Dalam terjemahan saya atas Sāmaññaphala Sutta, The Discourse on the Fruits of recluseship, p.24. Saya menerjemahkannya dengan berdasarkan pada komentar Dīgha sebagai berikut: “Seorang Nigaṇṭha terkendali sehubungan dengan segala jenis air; ia memiliki penghindaran segala kejahatan; ia dibersihkan oleh penghindaran segala kejahatan; ia diliputi dengan penghindaran segala kejahatan.” Walaupun pernyataan ini menyampaikan sesuatu mengenai kemurnian
moral, namun penekannya berbeda dengan ajaran Buddha.
586) Sang Buddha menunjukkan suatu kontradiksi antara ajaran-ajaran Jain bahwa, bahkan dengan tidak adanya kehendak, “tongkat jasmani” merupakan yang paling tercela dibandingkan dengan yang lainnya, dan penegasan mereka bahwa adanya kehendak banyak mengubah karakter moral dari suatu perbuatan.
587) Baca Jāt iii.463, v.133ff., 267; v.144; vi.389; v.267; v.114, 267; Miln 130.
588) MA: penglihatan Dhamma (dhammacakkhu) adalah jalan memasuki-arus. Frasa “Segala sesuatu yang tunduk pada kemunculan juga tunduk pada kelenyapan
”. Menunjukkan modus yang mana sang jalan muncul. Sang jalan menggunakan lenyapnya (Nibbāna) sebagai
objeknya, tetapi fungsinya adalah menembus segala kondisi yang terkondisi sebagai tunduk pada kemunculan dan kelenyapan.
589) “Dhamma” yang dirujuk di sini adalah Empat Kebenaran Mulia. Setelah melihat kebenaran-kebenaran ini untuk dirinya sendiri; ia telah memotong belenggu keragu-raguan dan sekarang memiliki “pandangan yang mulia dan membebaskan dan (yang) menuntun seseorang yang mempraktikkan dengan selaras dengannya menuju kehancuran total penderitaan” (MN 48.7).
590) MA: Upāli mengatakan hal ini dengan merujuk pada jalan memasuki-arus yang telah ia tembus sebelumnya.
591) Baca MN 16.3-7.
592) PTS dan SBJ menuliskan vessantarassa; edisi BBS dari teks ini dan MA menuliskan vesamantarassa; MṬ mendukung tulisan pertama. MA menjelaskan: “Beliau telah melampaui
ketidakbajikan (visama) dari nafsu, dan seterusnya.”
593) Monapattassa. “Keheningan” adalah kebijaksanaan, berhubungan dengan muni, sang bijaksana hening.
594) “Panji” adalah keangkuhan “aku
”. Baca MN 22.35.
595) Nippapañcassa. Baca n.229.
596) Isisattamassa. MA menginterpretasikan ini sebagai bermakna “petapa ke tujuh”
—selaras dengan konsepsi tujuh resi dalam konsepsi brahmanis
—dan menganggapnya sebagai merujuk pada status Gotama sebagai Buddha ke tujuh setelah Vipassī (baca DN 14.1.4/ii.2).
Akan tetapi, lebih masuk akal, bahwa sattama di sini adalah bentuk superlatif dari kata sad, dan dengan demikian kata majemuk itu berarti “yang terbaik di antara para petapa
”. Kata isisattama muncul pada Sn 356, dan komentar atas syair itu memperbolehkan kedua interpretasi ini, memberikan uttama sebagai suatu kemasan dari sattama.
597) Ini merujuk pada tidak adanya keterikatan dan penolakan.
598) Ñm menerjemahkan dari Bahasa Thai v.1. appabhītassa, menunjukkan bahwa appahinassa dari PTS tidak tepat di sini.
599) MA: dukacita yang berat muncul dalam dirinya karena kehilangan penyokong awamnya, dan ini menghasilkan gangguan pada jasmaninya yang mengakibatkan ia memuntahkan darah panas. Setelah memuntahkan darah panas, hanya sedikit makhluk yang dapat bertahan hidup. Demikianlah mereka membawanya ke Pāvā dengan menggunakan tandu, dan tidak lama kemudian ia meninggal dunia.
SUTTA 57
600) MA: Puṇṇa memasangkan tanduk di kepalanya, mengikatkan ekor di bagian belakangnya, dan bepergian dengan memakan rumput bersama dengan sapi-sapi. Seniya melakukan semua perbuatan yang khas anjing.
601) Harus dipahami bahwa praktik pertapaan yang salah memiliki akibat buruk yang lebih ringan daripada jika disertai dengan pandangan salah. Walaupun di masa kini sangat sedikit yang menjalani praktik berperilaku anjing, namun banyak gaya hidup menyimpang yang telah menyebar, dan sejauh bahwa hal-hal ini didorong oleh pandangan salah, maka akibatnya menjadi jauh lebih berat.
602) Sabyābajjhaṁ kāyasankhāraṁ (vacīsankhāraṁ, manosankhāraṁ) abhisankharoti. Di sini suatu “bentukan jasmani yang menyakitkan” dapat dipahami sebagai kehendak yang bertanggung jawab atas tiga perbuatan jasmani yang tidak bermanfaat; suatu “bentukan ucapan yang menyakitkan” sebagai kehendak yang bertanggung jawab atas empat perbuatan yang tidak bermanfaat; dan suatu “bentukan pikiran yang menyakitkan” sebagai kehendak yang bertanggung jawab atas tiga perbuatan pikiran yang tidak bermanfaat. Baca MN 9.4.
603) Ia terlahir lagi di salah satu dari alam-alam sengsara
—neraka, alam binatang, atau alam hantu.
604) Bhūta bhūtassa upapatti hoti. MA: makhluk-makhluk terlahir kembali melalui perbuatan-perbuatan yang mereka lakukan dan dalam cara-cara yang sesuai dengan perbuatan-perbuatan itu. Implikasi dari ajaran ini dijelaskan dengan lengkap dalam MN 135 dan MN 136.
605) Di sini
, yang dimaksudkan adalah kehendak-kehendak bertanggung jawab atas sepuluh perbuatan bermanfaat, bersama dengan kehendak-kehendak jhāna.
606) Ia terlahir kembali di alam surga.
607) Sesungguhnya, tidak ada perbuatan kehendak yang secara bersamaan adalah bermanfaat dan sekaligus tidak bermanfaat, karena kehendak yang bertanggung jawab atas perbuatan itu pasti adalah salah satu dari itu. Dengan
demikian di sini kita harus memahami bahwa makhluk itu terlibat dalam rangkaian perbuatan bermanfaat dan tidak bermanfaat, tanpa ada yang lebih
dominan secara khusus.
608) MA: Ini adalah kehendak atas empat jalan lokuttara yang memuncak pada Kearahatan. Walaupun Arahant melakukan perbuatan, namun perbuatannya tidak lagi memiliki potensi kamma untuk menghasilkan kehidupan baru atau menghasilkan akibat dalam kehidupan sekarang.
609) MA menjelaskan bahwa pabbajjā, pelepasan keduniawian, disebutkan di sini hanya dalam bentuk gaya bahasa. Dalam kenyataannya, ia menerima pelepasan keduniawian sebelum masa percobaan dan kemudian menjalani masa percobaan selama empat bulan sebelum berhak menerima upasampadā, penahbisan penuh ke dalam Sangha.
610) MA: Sang Buddha dapat menentukan: “Orang ini harus menjalani masa percobaan, orang ini tidak perlu menjalani masa percobaan.”
SUTTA 58
611) Pangeran Abhaya adalah
putra Raja Bimbisara dari Magadha, walaupun bukan pewaris tahta.
612) Kedua tanduk persoalan yang serba salah ini direncanakan oleh Nigaṇṭha Nātaputta dengan menduga bahwa Sang Buddha akan memberikan jawaban satu-sisi. Sekarang bahwa jawaban satu sisi itu telah ditolak, maka persoalan itu menjadi tidak berlaku.
613) Sang Buddha tidak segan menegur dan menasihati para siswa
-Nya jika Beliau melihat bahwa ucapan itu akan meningkatkan kesejahteraan mereka.
614) MA mengatakan bahwa dhammadhātu (“unsur-unsur dari segala sesuatu”) merujuk pada pengetahuan
kemahatahuan Sang Buddha. Dhammadhātu di sini tidak sama dengan kata yang sama dengan yang digunakan untuk menyiratkan unsur
objek-objek pikiran di antara delapan belas unsur, juga bukan bermakna suatu prinsip kosmis yang mencakup segalanya seperti kata yang dipahami dalam Buddhisme Mahayana.
SUTTA 59
615) Pañcakanga, tukang kayu bagi Raja Pasenadi dari Kosala, adalah seorang pengikut Sang Buddha yang berbakti. Ia muncul kembali dalam MN 78 dan MN 127.
616) Dua jenis perasaan adalah perasaan jasmani dan batin, atau (yang lebih jarang disebutkan adalah) kedua jenis yang disebutkan oleh Pañcakanga dalam §3. Tiga jenis perasaan adalah tiga yang disebutkan oleh Udāyin dalam §3. Lima jenis adalah kemampuan kenikmatan (jasmani), kegembiraan (batin), kesakitan (jasmani), kesedihan (batin), dan keseimbangan. Enam jenis adalah perasaan yang muncul dari kontak melalui enam organ indria. Delapan belas jenis adalah delapan belas jenis penjelajahan batin
—menjelajahi enam
objek indria yang menghasilkan kegembiraan, menghasilkan kesedihan, dan menghasilkan keseimbangan (baca MN 137.
. Tiga puluh enam jenis adalah tiga puluh enam posisi makhluk-makhluk
—enam jenis kegembiraan, kesedihan, dan keseimbangan masing-masing berdasarkan pada kehidupan rumah tangga atau pada pelepasan keduniawian (baca MN 137.9-15). Seratus delapan jenis adalah tiga puluh enam sebelumnya yang merujuk pada masa lalu, masa sekarang, dan masa depan.
617) MA menunjukkan bahwa dengan perasaan bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dari jhāna ke empat sebagai satu jenis kenikmatan, Sang Buddha secara tidak langsung menegaskan pandangan yang dikemukakan oleh Pañcakanga.
618) MA: Baik kenikmatan yang dirasakan maupun kenikmatan yang tidak dirasakan ditemukan (kenikmatan yang tidak dirasakan adalah kenikmatan yang berhubungan dengan pencapaian lenyapnya.) Sang Tathāgata menggambarkan keduanya sebagai kenikmatan dalam makna bahwa keduanya adalah tanpa penderitaan (niddukkhabhāva).