SUTTA 34
368) Baca n.273.
SUTTA 35
369) Menurut MA, Saccaka adalah
putra dari
orang tua penganut Nigaṇṭha (Jain) yang mana kedua
orang tuanya mahir dalam debat filosofis. Ia telah mempelajari seribu doktrin dari
orang tuanya dan banyak lagi sistem filosofi dari orang lain. Dalam pembahasan di bawah
, ia dipanggil dengan nama sukunya, Aggivessana.
370) YM. Assaji adalah salah satu dari lima siswa pertama Sang Buddha.
371) Ringkasan doktrin ini mengabaikan karakteristik ke dua dari tiga karakteristik, dukkha atau penderitaan. MA menjelaskan bahwa Assaji mengabaikan ini untuk menghindari memberikan kesempatan kepada Saccaka untuk membantah doktrin Sang Buddha.
372) MA menjelaskan bahwa orang-orang memainkan permainan ini ketika mempersiapkan kain rami. Mereka mengikat segenggam rami kasar, merendamnya dalam air, dan memukulnya di atas papan di sebelah kiri, kanan, dan tengah. Seekor gajah besar melihat permainan ini, dan mencebur ke dalam air, ia mengambil air dengan belalainya dan menyemprotkannya ke perutnya, ke tubuhnya, di kedua sisi, dan selangkangannya.
373) Dalam menegaskan kelima kelompok unsur kehidupan sebagai diri, ia tentu saja secara langsung menentang ajaran Buddha tentang anattā. Ia mengatakan pandangannya berasal dari “banyak orang” dengan pikiran bahwa “mayoritas tidak mungkin salah
”.374) Sang Buddha di sini mengatakan bahwa kelompok-kelompok unsur kehidupan bukanlah diri karena tidak memiliki satu karakteristik penting dari diri
—dapat dikuasai. Apa yang tidak dapat dikuasai atau dikendalikan sepenuhnya tidak dapat diidentifikasikan sebagai “diriku
”.375) MA mengidentifikasikan makhluk (yakkha) ini sebagai Sakka, penguasa para dewa.
376) Teks di antara tanda bintang
tidak terdapat pada edisi PTS, namun ditambahkan dari BBS dan SBJ. Kelima kelompok unsur kehidupan di sini disebut penderitaan karena tidak kekal dan tidak dapat dikuasai.
377) Ini adalah karakteristik-karakteristik seorang sekha. Arahant, sebaliknya, tidak hanya memiliki pandangan benar tanpa-diri, tetapi juga menggunakannya untuk melenyapkan segala kemelekatan seperti dijelaskan oleh Sang Buddha pada §25.
378) MA memberikan beberapa penjelasan alternatif atas ketiga kata ini. Yaitu kebijaksanaan, praktik, dan kebebasan lokiya dan lokuttara. Atau seluruhnya lokuttara: pertama adalah pandangan benar pada jalan Kearahatan, ke dua adalah ketujuh faktor lainnya, ke tiga adalah buah tertinggi (Kearahatan). Atau pertama adalah penglihatan pada Nibbāna, ke dua adalah faktor-faktor sang jalan, ke tiga adalah buah tertinggi.
379) Walaupun Saccaka mengaku kalah dalam debat, namun ia tetap masih menganggap dirinya sebagai orang suci, dan dengan demikian ia tidak terdorong untuk memohon perlindungan pada Tiga Permata. Juga, karena ia tetap menganggap dirinya sebagai orang suci, maka ia merasa tidaklah selayaknya baginya untuk mempersembahkan jasa persembahan itu kepada dirinya, dan dengan demikian ia ingin mempersembahkan jasa itu kepada para Licchavi. Tetapi Sang Buddha menjawab bahwa para Licchavi akan memperoleh jasa karena memberikan makanan kepada Saccaka untuk dipersembahkan kepada Sang Buddha. Jasa persembahan itu berbeda secara kualitas menurut kemurnian penerimanya, seperti dijelaskan pada MN 142.6
SUTTA 36
380) MA: Saccaka mendekat dengan niat untuk mendebat doktrin Sang Buddha, yang mana ia gagal melakukannya pada pertemuan pertamanya dengan Sang Buddha (dalam MN 35). Tetapi kali ini ia datang sendirian, dengan pikiran jika ia menderita kekalahan maka tidak ada
seorang pun yang mengetahuinya. Ia bermaksud untuk membantah Sang Buddha dengan pertanyaannya tentang tidur di siang hari, yang tidak ia tanyakan hingga menjelang akhir sutta (§45).
381) MA: Ānanda mengatakan ini demi belas kasihnya kepada Saccaka, dengan pikiran jika ia bertemu
dengan Sang Buddha dan mendengar Dhamma, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaannya untuk waktu yang lama.
382) Dari §5 jelas bahwa Saccaka mengidentifikasikan “pengembangan jasmani” (kāyabhāvanā) sebagai praktik penyiksaan-diri. Karena ia tidak melihat para bhikkhu Buddhis yang melakukan penyiksaan-diri, ia berpendapat bahwa mereka tidak melatih pengembangan jasmani. Tetapi Sang Buddha (menurut MA) memahami “pengembangan jasmani” sebagai meditasi pandangan terang, “pengembangan batin” (cittabhāvanā) sebagai meditasi ketenangan.
383) Mereka ini adalah tiga guru Ājivaka; yang terakhir sezaman dengan Sang Buddha, dua yang pertama hampir merupakan tokoh legenda yang identitasnya masih kabur. Sang Bodhisatta telah menjalankan praktik mereka selama masa pertapaannya
—baca MN 12.45
—tetapi akhirnya menolak praktik itu sebagai tidak mendukung pencerahan.
384) MA menjelaskan bahwa “pengembangan jasmani” di sini adalah pandangan terang, dan “pengembangan batin” adalah konsentrasi. Ketika siswa mulia mengalami perasaan menyenangkan, ia tidak dikuasai oleh perasaan itu karena, melalui pengembangan pandangan terang, ia memahami perasaan itu tidak kekal, tidak memuaskan, dan bukan diri; dan ketika ia mengalami perasaan menyakitkan, ia tidak dikuasai oleh perasaan itu karena, melalui pengembangan konsentrasi, ia
mampu membebaskan diri dari perasaan itu dengan memasuki pencerapan
meditatif.
385) Sekarang Sang Buddha akan menjawab pertanyaan Saccaka dengan pertama-tama menunjukkan perasaan yang sangat menyakitkan yang Beliau alami selama perjalanan praktik pertapaan
-Nya, dan setelah itu menunjukkan perasaan yang sangat menyenangkan yang Beliau alami selama dalam pencapaian meditatif
-Nya menjelang pencerahan.
386) PTS pasti keliru dalam membaca avūpakaṭṭho di sini, “tidak terasing
”. Dalam edisi pertama
, saya menerjemahkan paragraf ini berdasarkan pada BBS, yang menuliskan kāyena c’ eva cittena ca. Tetapi PTS dan SBJ menghilangkan cittena, dan sepertinya sulit untuk memahami bagaimana para petapa ini dapat digambarkan “terasing secara batin” dari kenikmatan indria jika mereka belum menenangkan keinginan indria dalam diri mereka. Oleh karena itu
, saya mengikuti PTS dan SBJ.
387) Adalah mengherankan bahwa dalam paragraf berikutnya Sang Bodhisatta ditunjukkan melakukan penyiksaan-diri setelah Beliau telah sampai pada kesimpulan bahwa praktik demikian adalah tidak berguna untuk mencapai Pencerahan.
Ketidaksesuaian gagasan ini menimbulkan kecurigaan bahwa urutan narasi sutta ini telah tercampur-aduk. Tempat yang seharusnya bagi perumpamaan kayu api ini adalah di akhir masa percobaan pertapaan Sang Bodhisatta, ketika Beliau telah memperoleh landasan kuat untuk menolak penyiksaan-diri. Namun demikian, MA menerima urutan ini apa adanya dan memunculkan pertanyaan mengapa Sang Bodhisatta melakukan praktik keras ini jika Beliau mampu mencapai Kebuddhaan tanpa melakukan demikian. Jawabannya: Beliau melakukan demikian, pertama, untuk menunjukkan usaha
-Nya kepada dunia, karena kualitas kegigihan yang tanpa tandingan memberi
-Nya kegembiraan; dan ke dua, demi belas kasihan kepada generasi mendatang, dengan menginspirasi mereka untuk berjuang dengan tekad yang sama yang Beliau terapkan demi mencapai pencerahan.
388) Kalimat ini, yang juga diulangi pada setiap akhir dari masing-masing bagian berikutnya, menjawab pertanyaan ke dua dari dua pertanyaan yang diajukan oleh Saccaka pada §11.
389) MA: pada masa kecil Sang Bodhisatta sebagai seorang pangeran, pada suatu ketika ayahnya mengadakan upacara membajak sawah pada suatu festival tradisi orang Sakya. Sang Pangeran dibawa ke tempat festival tersebut dan tempat untuk
-Nya dipersiapkan di bawah pohon jambu. Ketika para pelayan
-Nya meninggalkan
-Nya untuk menyaksikan upacara membajak sawah, Beliau secara spontan duduk dalam posisi meditasi dan mencapai jhāna pertama melalui perhatian pada
pernapasan. Ketika para pelayannya kembali dan melihat Sang Anak sedang duduk bermeditasi, mereka melaporkan hal ini kepada Sang Raja yang segera datang dan bersujud menghormati
putranya.
390) Paragraf ini menandai perubahan dalam evaluasi kenikmatan oleh Sang Bodhisatta; sekarang kenikmatan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang ditakuti dan diusir melalui praktik keras, tetapi, jika muncul dari keterasingan dan pelepasan, terlihat sebagai pendamping yang berharga dari tingkat-tingkat yang lebih tinggi sepanjang perjalanan menuju pencerahan. Baca MN 139.9 tentang dua kelompok kenikmatan.
391) Kalimat ini menjawab pertanyaan pertama dari dua pertanyaan yang diajukan oleh Saccaka pada §11.