//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)  (Read 42529 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #135 on: 26 February 2011, 12:54:15 PM »
SUTTA 15

212) Vadantu, secara literal berarti “semoga mereka berbicara kepadaku”, menyiratkan makna: “Semoga mereka berbicara kepadaku dengan memberikan instruksi dan nasihat” (MA).

213) Baca MN 5.10-29.

214) Baca MN 8.44 dan n.109.

215) Adalah dari paragraf ini judul sutta ini berasal.

216) MA: teks-teks tua menyebut sutta ini “Bhikkhupātimokkha”. Seorang bhikkhu harus meninjau kembali dirinya tiga kali sehari dengan cara yang dijelaskan dalam sutta. Jika ia tidak dapat melakukannya tiga kali, maka ia harus melakukan dua kali atau, minimal satu kali.


SUTTA 16

217) MA menjelaskan cetokhila, diterjemahkan “belantara dalam batin”, sebagai kekakuan, sampah, atau tunggul dalam batin. Ini menjelaskan cetaso vinibandha sebagai sesuatu yang mengikat batin, mencengkeramnya bagaikan kepalan; karena itu disebut “belenggu dalam batin”. Belantara dalam batin, seperti akan terlihat, terdiri dari empat kasus keragu-raguan, satu dari kebencian; belenggu dalam batin terdiri dari lima variasi keserakahan.

218) MA menjelaskan “Dhamma” di sini sebagai ajaran tekstual dan penembusan pada jalan, buah, dan Nibbāna. Dhamma sebagai praktik disebutkan secara terpisah di bawah sebagai latihan (sikkhā)yaitu, tiga latihan dalam moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan.

219) “Badan jasmani” di sini adalah tubuhnya sendiri, sedangkan “bentuk” di bagian bawah adalah bentuk luar, jasmani orang lain.

220) Empat landasan kekuatan batin (iddhipāda) termasuk dalam tiga puluh tujuh prasyarat pencerahan; merupakan landasan khusus bagi lima jenis pengetahuan langsung lokiya (abhiññā). [ ]Menurut MA, semangat (ussoḷhi) adalah kegigihan, yang diterapkan di mana-mana.

221) Lima belas faktor adalah meninggalkan lima belantara dalam batin, meninggalkan lima belenggu, dan lima yang baru disebutkan. “Keamanan tertinggi dari belenggu” (anuttara yogakkhema) adalah Kearahatan, seperti pada MN 1.27.

222) Perumpamaan ini muncul kembali pada MN 53.19-22 sehubungan dengan penembusan siswa pada tiga jenis pengetahuan sejati (tevijjā).


SUTTA 17

223) Pola yang dibangun oleh §§3-6 dapat disebutkan secara sederhana sebagai berikut:
   Tidak ada kemajuan dan sulit memperoleh benda-benda kebutuhan = pergi;
   Tidak ada kemajuan dan mudah memperoleh benda-benda kebutuhan = pergi;
   Ada kemajuan dan sulit memperoleh benda-benda kebutuhan = tinggal;
   Ada kemajuan dan mudah memperoleh benda-benda kebutuhan = tinggal;

224) Pola yang sama diterapkan dalam §§7-22 pada desa, pemukiman, kota, dan negeri.

225) PTS, di sini dalam menulis anāpucchā, “tanpa pamit”, sepertinya keliru. BBS dan BBJ menulis āpucchā, “setelah pamit”, sepertinya lebih tepat. Karena orang yang padanya seorang bhikkhu bergantungdiduga seorang guru atau penyokong awammenyediakan benda-benda kebutuhan yang cukup, sopan-santun diperlukan bahwa seorang bhikkhu pamit darinya sebelum pergi.

SUTTA 18

226) Daṇḍapāni, yang namanya berarti “tongkat-di-tangan”, dinamai demikian karena ia biasanya berjalan dengan memamerkan tongkat emasnya, walaupun ia masih muda dan sehat. Menurut MA, ia memihak Devadatta, musuh Sang Buddha, ketika Devadatta mencoba memecah-belah para pengikut Sang Buddha. Caranya mengajukan pertanyaan terkesan sombong dan dengan sengaja memprovokasi.

227) Bagian pertama dari jawaban Sang Buddha secara langsung membalas sikap agresif Daṇḍapāni. Sehubungan dengan hal ini, MA mengutip [ ]SN 22:94/iii.138: “Para bhikkhu, Aku tidak berselisih dengan dunia, adalah dunia yang berselisih dengan-Ku. Seorang pembabar Dhamma tidak berselisih dengan siapa pun di dunia ini.” Bagian ke dua dapat dianggap berarti, karena persepsi-persepsi Sang Arahant ([ ]dikatakan di sini sebagai “brahmana itu” dengan merujuk pada Sang Buddha sendiri), tidak lagi membangkitkan kecenderungan tersembunyi yang tertidur pada kekotoran, diuraikan dalam §8.

228) Reaksi ini sepertinya merupakan ungkapan frustrasi dan kebingungan.

229) Interpretasi atas paragraf yang tersamar ini berpusat pada kata papañca dan kata majemuk papañca-saññā-sankhā. Ñm menerjemahkan papañca sebagai “keberagaman” dan papañca-saññā-sankhā sebagai “perhitungan mengenai persepsi keberagaman”. Akan tetapi, sepertinya persoalan utama yang ditunjukkan dengan kata papañca bukanlah “keberagaman”, yang mungkin cukup sesuai jika bidang indria itu sendiri memperlihatkan keragaman, tetapi kecenderungan imajinasi kaum duniawi untuk meledak dalam pencurahan komentar pikiran yang menghalangi pengenalan data. Dalam suatu pembahasan penembusan, Concept and Reality in Early Buddhism, Bhiikhu Ñāṇananda menjelaskan papañca sebagai “proliferasi konseptual”, dan saya mengikutinya dengan menggantikan “keberagaman” dari Ñm menjadi “proliferasi”. Komentar mengidentifikasikan timbulnya proliferasi ini sebagai tiga faktorkeinginan, keangkuhan, dan pandanganyang karenanya pikiran menjadi “membubuhi” pengalaman dengan meginterpretasikannya dengan sebutan “milikku”, “aku”, dan “diriku”. Papañca dengan demikian adalah berhubungan dekat dengan maññanā, “menganggap”, dalam MN 1baca n.6.

Kata majemuk papañca-saññā-sankhā lebih rumit. YM Ñāṇananda menginterpretasikannya sebagai “konsep-konsep yang dikarakteristikkan oleh pikiran yang cenderung berkembang”, tetapi penjelasan ini masih belum memasukkan kata saññā. MA mengemas sankhā dengan koṭṭhāsa, “bagian”, dan mengatakan bahwa saññā adalah persepsi yang berhubungan dengan papañca ataupun papañca itu sendiri. Saya sependapat dengan Ñāṇananda dalam menganggap sankhā lebih sebagai berarti konsep atau gagasan (“Perhitungan” dari Ñm adalah terlalu literal) daripada bagian. Keputusan saya memperlakukan saññā-sankhā sebagai kata majemuk dvanda, “persepsi dan gagasan”, mungkin akan dipertanyakan, tetapi karena ungkapan saññā-sankhā jarang muncul dalam Kanon dan tidak pernah dianalisa secara verbal, maka tidak ada terjemahan yang benar-benar melampaui keragu-raguan. Pada interpretasi alternatif dari komponennya, ungkapan itu mungkin dapat diterjemahkan “gagasan-gagasan [yang muncul dari] proliferasi persepsi” atau “gagasan-gagasan persepsi [yang muncul dari] proliferasi”.

Lanjutannya akan menjelaskan bahwa proses kognisi itu sendiri adalah “sumber yang melaluinya persepsi dan gagasan [yang timbul dari] proliferasi pikiran menyerang seseorang”. Jika dalam proses kognisi tersebut tidak ada yang disenangi, disambut, atau digenggam, maka kecenderungan tersembunyi pada kekotoran-kekotoran akan berakhir.
« Last Edit: 26 February 2011, 12:56:01 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #136 on: 26 February 2011, 01:08:51 PM »
230) YM. Mahā Kaccāna dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai siswa terunggul dalam menjelaskan secara terperinci dari suatu ucapan singkat. MN 133 dan MN 138 juga dijelaskan olehnya dalam situasi serupa.

231) Cakkhubhūto ñāṇabhūto dhammabhūto brahmabhūto. MA: Beliau adalah penglihatan dalam makna bahwa Beliau adalah pemimpin dalam penglihatan; Beliau adalah pengetahuan dalam makna bahwa Beliau mengetahui segala sesuatu; Beliau adalah Dhamma dalam makna bahwa Beliau merupakan Dhamma yang Beliau ucapkan secara verbal setelah merenungkannya dalam batin; Beliau adalah Brahmā, yang suci, dalam makna yang terbaik.

232) Paragraf ini menunjukkan bagaimana papañca, keluar dari proses kognisi, memunculkan persepsi dan gagasan yang meliputi dan memangsa penciptanya yang malang. Ms mencantumkan sebuah catatan oleh Ñm: “Pertemuan mata, bentuk, dan kesadaran-mata disebut kontak. Kontak, menurut sebab-akibat yang saling bergantungan, adalah kondisi utama bagi perasaan. Perasaan dan persepsi adalah tidak terpisahkan (MN 43.9). Apa yang dilihat sebagai ‘ini’ adalah pikiran dalam perbedaan dan dengan demikian dibedakan dari ‘itu’ dan dari ‘aku’. Pembedaan inimelibatkan keinginan akan bentuk, pandangan salah tentang kekekalan bentuk, dan sebagainya, dan keangkuhan ‘aku’mengarah pada keterlenaan dengan perhitungan keinginan pada bentuk-bentuk masa lampau dan masa sekarang dengan pandangan untuk memperoleh bentuk yang diinginkan di masa depan.” Mungkin kunci untuk menginterpretasikan paragraf ini adalah penjelasan YM. Mahā Kaccāna pada syair dalam MN 133, di sana terlalu gembira dalam unsur-unsur kognisi memainkan peran penting dalam menyebabkan belenggu, dan penjelasan syair ini dalam hal ketiga periode waktu berhubungan dengan referensi pada ketiga masa dalam sutta ini.

233) Idiom Pali phassapaññattiṁ paññāpessati, yang mana kata kerja mengambil objek yang diturunkan dari kata itu sendiri, agak rumit. Ñm awalnya menerjemahkan “Itu akan menggambarkan suatu penggambaran kontak”. “Untuk menunjukkan sebuah manifestasi” adalah kurang literal, tetapi lebih sesuai dengan maknanya tanpa menimbulkan risiko kerancuan. MA mengatakan bahwa paragraf ini dimaksudkan untuk menunjukkan keseluruhan lingkaran kehidupan (vaṭṭa) melalui dua belas landasan indria; §18 menunjukkan lenyapnya lingkaran (vivaṭṭa) dengan menegaskan kedua belas landasan indria.

234) Kue manis dan besar, atau sebuah bola terbuat dari tepung, ghee, sirop, madu, gula, dan sebagainya. Baca juga AN 5:194/iii.237.


SUTTA 19

235) Dua kelompok pikiran Sang Bodhisatta terjadi selama enam tahun usahanya dalam mencapai pencerahan.

236) Pikiran tanpa-niat buruk dan pikiran tanpa-kekejaman juga dapat dijelaskan secara positif sebagai pikiran cinta kasih (mettā) dan pikiran belas kasihan (karuṇā).

237) MA: pemikiran dan perenungan yang berlebihan mengarah pada kegelisahan. Untuk menjinakkan dan melunakkan pikiran, Sang Bodhisatta akan memasuki pencapaian meditatif, kemudian ia akan keluar dari sana dan mengembangkan pandangan terang.


SUTTA 20

238) Sutta ini beserta komentarnya tersedia dalam suatu terjemahan oleh Soma Thera, The Removal of Distracting Thoughts.

239) MA: Pikiran yang lebih tinggi (addhicitta) adalah pikiran dari delapan pencapaian meditatif yang digunakan sebagai landasan pandangan terang; disebut “pikiran yang lebih tinggi” karena lebih tinggi dari pikiran (bermanfaat) biasa dari sepuluh perbuatan bermanfaat. Lima “gambaran” (nimitta) dapat dipahami sebagai metode praktis untuk melenyapkan pikiran kacau. Hanya dilatih jika pikiran kacau menjadi menetap dan merintangi; pada saat lainnya meditator harus tetap pada subjek meditasi utamanya.

240) MA: Ketika pikiran keinginan indria muncul terarah pada makhluk-makhluk hidup, “gambaran lain” adalah meditasi pada kejijikan (baca MN 10.10); ketika pikiran diarahkan pada benda-benda mati, “gambaran lain” adalah perhatian pada ketidakkekalan. Ketika pikiran kebencian muncul terarah pada makhluk-makhluk hidup, “gambaran lain” adalah meditasi cinta kasih; ketika pikiran diarahkan pada benda-benda mati, “gambaran lain” adalah perhatian pada unsur-unsur (baca MN 10.12). Obat bagi pikiran-pikiran yang berhubungan dengan kebodohan adalah menetap di bawah seorang guru, mempelajari Dhamma; mempertanyakan maknanya, mendengarkan Dhamma, dan mempertanyakan penyebabnya.

241) Metode ini dapat diilustrasikan dengan perenungan Bodhisatta dalam MN 19.3-5. Mengingat keburukan dari pikiran-pikiran jahat menghasilkan rasa malu (hiri); mengingat akibatnya yang berbahaya menghasilkan rasa takut pada pelanggaran (ottappa).

242) Vitakka-sankhāra-saṇṭhānaṁ. MA memahami sankhāra di sini sebagai kondisi, sebab, atau akar, dan mengartikan kata majemuk ini sebagai “menghentikan sebab pikiran”. Ini dicapai dengan bertanya, ketika suatu pikiran tidak bermanfaat muncul: “Apakah penyebabnya? Apakah penyebab dari sebab itu?” dan seterusnya. Pertanyaan demikian, menurut MA, akan mengendurkan, dan akhirnya melenyapkan, arus pikiran yang tidak bermanfaat.

243) MA: Ia harus menggilas kondisi pikiran yang tidak bermanfaat dengan kondisi pikiran yang tidak bermanfaat.

244) Ini menunjukkan pencapaian Kearahatan. Baca n.50.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #137 on: 26 February 2011, 01:29:13 PM »
SUTTA 21

245) Pada SN 12:12/ii.13, Moliya Phagguna mengajukan serangkaian pertanyaan kepada Sang Buddha, yang mana Sang Buddha menolaknya karena disusun secara keliru. Belakangan dilaporkan bahwa ia kembali ke kehidupan rumah tangga (SN 12:32/ii.50).

246) Menurut MA, Sang Buddha mengatakan hal ini karena Phagguna masih tidak ingin menuruti nasihat Beliau, melainkan terus-menerus menentang-Nya, dan ini mendorong Sang Buddha untuk memuji para bhikkhu penurut selama masa awal pengajaran Beliau. Untuk paragraf tentang makan sekali sehari, baca MN 65.2 dan MN 70.2.

247) Tadārammaṇaṁ, secara literal, “dengan dirinya sebagai objek”. MA: Pertama-tama seseorang mengembangkan cinta-kasih kepada orang yang berbicara kepada seseorang atau orang lain yang mengucapkan satu dari lima ucapan, kemudian ia mengarahkan pikiran cinta kasih itu kepada semua makhluk, menjadikan seluruh dunia sebagai objeknya.


SUTTA 22

248) Sutta ini dengan pendahuluan yang baik dan catatan yang terperinci tersedia dalam sebuah terjemahan oleh Nyanaponika Thera, The Discourse on the Snake Simile.

249) Dalam menegaskan hal ini, ia secara langsung menyangkal yang ke tiga dari empat keberanian Sang Tathāgatabaca MN 12.25. Menurut MA, sewaktu merenungkan dalam keterasingan, ia sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada bahaya jika para bhikkhu terlibat dalam hubungan seksual dengan perempuan dan ia mempertahankan bahwa hal ini seharusnya tidak dilarang oleh peraturan monastik. Walaupun pernyataannya tidak secara langsung menyebutkan masalah seksual, namun perumpamaan mengenai kenikmatan seksual ini dibawakan oleh para bhikkhu ini berasal dari komentar.

250) Tujuh perumpamaan pertama mengenai kenikmatan indria dijabarkan pada MN 54.15-21.

251) Bagian pertama dari kisah Ariṭṭha muncul dua kali dalam Vinaya Piṭaka. Pada Vin ii.25, mendorong Sangha menjatuhkan sanksi penangguhan (ukkhepaniyakamma) atas Ariṭṭha karena menolak melepaskan pandangan salahnya. Pada Vin iv.133-34, penolakannya untuk melepaskan pandangan salahnya setelah beberapa kali diberi nasihat ditetapkan sebagai pelanggaran monastik dalam kelompok Pācittiya.

252) Walaupun Pali menggunakan satu kata kāma dalam seluruh empat kasus, dari konteks ini frasa pertama harus dipahami sebagai merujuk pada kenikmatan indria objektif, yaitu, objek-objek kenikmatan indria, frasa lainnya merujuk pada kekotoran subjektif yang berhubungan dengan indria, yaitu, keinginan indria. MA mengemas “seseorang yang dapat melibatkan diri dalam kenikmatan indria” dengan “seseorang yang menikmati hubungan seksual”. MṬ mengatakan bahwa tindakan fisik lainnya yang melibatkan keinginan seksual seperti merangkul dan menepuk juga termasuk.

253) MA menjelaskan bahwa paragraf ini disebutkan untuk menunjukkan pelanggaran dalam perolehan pengetahuan intelektual Dhamma dengan motivasi kelirujelas merupakan jebakan ke dalam mana Ariṭṭha terjatuh. “Kebaikan (attha) yang karenanya mereka mempelajari Dhamma” adalah jalan dan buah.

254) “Perumpamaan rakit” yang terkenal melanjutkan argumen yang sama terhadap kekeliruan dalam menggunakan pembelajaran yang diperkenalkan oleh perumpamaan ular. Seseorang yang terlena menggunakan Dhamma untuk memicu kontroversi dan memenangkan perdebatan membawa Dhamma di lehernya bukannya menggunakannya untuk menyeberangi banjir.

255) Dhammā pi vo pahātabbā pageva adhammā. Kata dhammā bermakna ganda di sini. MA menginterpretasikannya sebagai bermakna kondisi-kondisi baik, yang mengidentifikasikannya sebagai ketenangan dan pandangan terang (samatha-vipassanā) dalam penulisannya pada teks: “Aku mengajarkan, Para bhikkhu, bahkan meninggalkan keinginan dan kemelekatan pada kondisi-kondisi yang damai dan luhur seperti ketenangan dan pandangan terang, apalagi hal-hal yang rendah, vulgar, tercela, kasar, dan tidak murni itu yang oleh si dungu Ariṭṭha yang dilihat sebagai tidak berbahaya ketika ia mengatakan bahwa tidak ada rintangan dalam keinginan dan nafsu pada kelima utas kenikmatan indria.” Komentator mengutip MN 66.26-33 sebagai contoh dari ajaran Sang Buddha tentang ditinggalkannya kemelekatan pada ketenangan, MN 38.14 sebagai contoh ajaran-Nya tentang ditinggalkannya kemelekatan pada pandangan terang. Perhatikan bahwa dalam masing-masing kasus, adalah kemelekatan pada kondisi-kondisi baik itu yang harus ditinggalkan, bukan kondisi-kondisi baik itu sendiri.

Terlepas dari MA, sepertinya bagi saya bahwa dhammā di sini menyiratkan, bukan kondisi-kondisi baik itu sendiri, melainkan ajaran-ajaran, sikap yang seharusnya yang digambarkan di atas dalam perumpamaan ular. Perumpamaan rakit mengisyaratkan bahwa bahkan ajaran-ajaran yang seharusnya digenggam dengan baik akhirnya harus dilepaskan. Akan tetapi, ini bukanlah undangan pada nihilisme moral, melainkan suatu peringatan bahwa bahkan kemelekatan pada ajaran mulia adalah suatu rintangan bagi kemajuan. Apa yang berlawanan dengan ajaran-ajaran, adhammā, termasuk kelemahan moral yang menguasai Ariṭṭha.

256) Bagian ini terbukti bertujuan mencegah jenis lain konsepsi keliru dan interpretasi keliru dari Dhamma, yaitu, pengenalan pandangan diri ke dalam ajaran. Menurut MA, sudut pandang bagi pandangan (diṭṭhiṭṭhāna) adalah pandangan-pandangan salah itu sendiri sebagai landasan bagi pandangan salah-pandangan salah lainnya yang lebih besar; objek-objek pandangan, yaitu, kelima kelompok unsur kehidupan, dan kondisi-kondisi bagi pandangan-pandangan, yaitu, faktor-faktor seperti kebodohan, persepsi sesat, dan pikiran-pikiran keliru, dan sebagainya.

257) MA menyebutkan bahwa gagasan “ini milikku” dicetuskan oleh keinginan, gagasan “ini aku” oleh keangkuhan, dan gagasan “ini diriku” oleh pandangan salah. Ketiga inikeinginan, keangkuhan, dan pandangan salahdisebut tiga penguasaan (gāha). Ketiga ini juga merupakan penyebab utama dibalik penganggapan (MN 1) dan proliferasi pikiran (MN 18).

258) Rangkaian kata ini menunjukkan kelompok unsur kesadaran secara tidak langsung, melalui objeknya. Yang “terlihat” menunjukkan kesadaran-mata, yang “terdengar” menunjukkan kesadaran-telinga, yang “tercerap” menunjukkan ketiga jenis kesadaran indria lainnya, dan terakhir pada kesadaran-pikiran.

259) Ini adalah pandangan eternalis lengkap yang muncul dengan berdasarkan pada satu yang sebelumnya, jenis yang lebih mendasar dari pandangan personalitas; di sini menjadi objek keinginan, keangkuhan, dan pandangan salah pada diri. Pandangan ini sepertinya mencerminkan filosofi Upanishads, yang menegaskan identitas diri individual (ātman) dengan sosok universal (Brahman), [ ]walaupun sulit untuk menentukan dengan berdasarkan pada teks apakah Sang Buddha secara pribadi memahami Upanishad awal itu sendiri.

260) Asati na paritassati. Bentuk kata benda paritassanā, menurut MA, memiliki dua konotasi ketakutan dan keinginan, dengan demikian “gangguan” terpilih untuk mencakup keduanya. Gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal (§18) merujuk pada keputusasaan duniawi karena kehilangan atau tidak mendapatkan kepemilikan; gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal (§20) merujuk pada keputusasaan eternalis ketika ia secara keliru memahami ajaran Buddha tentang Nibbāna sebagai doktrin nihilisme.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #138 on: 26 February 2011, 01:44:55 PM »
261) Pariggahaṁ parigaṇheyyātha, secara literal, “Kalian mungkin memiliki kepemilikan itu”. Ini berhubungan dengan §18 tentang gangguan sehubungan dengan kepemilikan eksternal.

262) Attavādupādānaṁ upādiyetha. Secara literal “Kalian mungkin melekat pada kemelekatan doktrin diri itu”. Mengenai persoalan yang dilibatkan oleh idiom ini pada terjemahan, baca n.176. Paragraf ini berhubungan dengan §20 tentang gangguan yang timbul dari pandangan diri.

263) Penyokong pandangan (diṭṭhinissaya), menurut MA, adalah enam puluh dua pandangan yang disebutkan dalam Brahmajāla Sutta (DN 1), yang muncul dari pandangan diri atau “doktrin diri”. Juga termasuk pandangan sesat yang dianut Ariṭṭha pada awal sutta ini.

264) Gagasan “apa yang menjadi milik diri” atau “milik diri” (attaniya) berasal dari apa pun di antara kelima kelompok unsur kehidupan yang tidak diidentifikasikan sebagai diri, serta seluruh kepemilikan eksternal individu. Paragraf ini menunjukkan saling ketergantungan, dan dengan demikian sama-sama tidak dapat dipertahankan, dari kedua gagasan “aku” dan “milikku”.

265) Menurut komentar, kekecewaan (nibbidā, juga diterjemahkan “kejijikan” atau “kemuakan”) menyiratkan tahap puncak dari pandangan terang, kebosanan (virāga) menyiratkan pencapaian jalan lokuttara, dan kebebasan (vimutti) menyiratkan buah. Pengetahuan peninjauan Arahant (paccavekkhaṇañāṇa) ditunjukkan oleh frasa “muncullah pengetahuan” dan “ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan …’.”

266) “Pergi demikian” adalah, dalam Pali, tathāgata, gelar yang biasanya diberikan pada Sang Buddha, tetapi di sini diterapkan lebih luas pada Arahant. MA menginterpretasikan paragraf ini dalam dua cara alternatif sebagai berikut: (1) Arahant bahkan selagi masih hidup adalah tidak terlacak di sini dan saat ini sebagai makhluk atau individu (dalam makna tidak ada makhluk (sebagai diri)). (2) Arahat tidak terlacak di sini dan saat ini karena adalah tidak mungkin bagi para dewa, dan sebagainya untuk menemukan penyokong bagi batin pandangan terangnya, batin sang jalannya, batin buahnya (vipassanācitta, maggacitta, phalacitta); yaitu, karena objeknya adalah Nibbāna, maka batinnya tidak dapat dikenali oleh kaum duniawi.

267) Ini merujuk kembali pada §20, di mana para penganut eternalis salah memahami ajaran Buddha tentang Nibbāna, lenyapnya penjelmaan, sebagai melibatkan pemusnahan makhluk yang sekarang yang dianggap sebagai diri.

268) Maksud dari pernyataan ini lebih dalam daripada apa yang tampak di permukaan. Dalam konteks tuduhan keliru pada §37, Sang Buddha menyebutkan bahwa Beliau mengajarkan bahwa makhluk hidup bukanlah diri, melainkan hanya kumpulan faktor-faktor, peristiwa-peristiwa jasmani dan batin, yang saling berhubungan dalam proses yang bersifat dukkha, dan bahwa Nibbāna, lenyapnya penderitaan, bukanlah pemusnahan makhluk, melainkan terhentinya proses yang tidak memuaskan yang sama itu. Pernyataan ini harus dibaca bersama dengan SN 12:15/ii.17, di mana Sang Buddha mengatakan bahwa seorang yang berpandangan benar, yang telah melenyapkan semua doktrin diri, melihat bahwa apa pun yang muncul hanyalah munculnya dukkha, [ ]dan apa pun yang lenyap hanyalah lenyapnya dukkha.

269) “Apa yang sebelumnya telah dipahami sepenuhnya” (pubbe pariññātaṁ) adalah kelima kelompok unsur kehidupan. Karena hanya pada ini kehormatan dan hinaan ditunjukkan, bukan “aku” atau diri, tidak ada alasan untuk merasa senang atau kesal.

270) MA menunjukkan bahwa ini adalah kemelekatan pada kelima kelompok unsur kehidupan yang harus ditinggalkan; kelompok-kelompok unsur kehidupan itu sendiri tidak dapat dicabut atau dihancurkan.

271) MA: “Chinna-pilotika: pilotikā adalah kain usang dan robek yang dijahit dan ditambal di sana-sini; tidak ada (dalam Dhamma ini) yang seperti inirobek, usang, dijahit, dan ditambal dengan kemunafikan dan muslihat.”

272) Yaitu, karena para Arahant telah mencapai kebebasan dari seluruh lingkaran kehidupan, maka adalah tidak mungkin menunjukkan di alam mana dalam lingkaran itu mereka mungkin terlahir kembali.

273) Ini adalah dua kelompok individu yang berdiri di jalan memasuki-arus. “Pengikut-Dhamma” (dhammānusārin) dan para siswa yang indria kebijaksanaannya (paññindriya) menonjol dan yang mengembangkan jalan mulia dengan dipimpin oleh kebijaksanaan; ketika mereka mencapai buah maka mereka disebut “mencapai pandangan” (diṭṭhipatta). [ ]“Pengikut keyakinan” (saddhānusārin) adalah para siswa yang indria keyakinannya (saddhindriya) menonjol dan yang mengembangkan jalan mulia dengan dipimpin oleh keyakinan; ketika mereka mencapai buah maka mereka disebut “terbebaskan melalui keyakinan” (saddhāvimutta). Baca MN 70.20,21; juga Pug I 35-36/15 dan Vsm XXI,75.

274) MA mengatakan bahwa ini merujuk pada orang-orang yang menekuni praktik meditasi pandangan terang yang belum mencapai tahap pencapaian lokiya yang mana pun. Perhatikan bahwa praktik ini hanya menuntun menuju alam surga, bukan pencerahan, walaupun jika praktik ini telah matang maka dapat mencapai jalan memasuki-arus dan dengan demikian memperoleh jaminan pencerahan. Ungkapan saddhāmattaṁ pemamattaṁ dapat diterjemahkan “hanya keyakinan, hanya cinta kasih” atau “sekadar keyakinan, sekadar cinta kasih” (seperti kadang-kadang diterjemahkan), tetapi ini tidak menjelaskan jaminan kelahiran kembali di alam surga. Oleh karena itu, sepertinya adalah suatu keharusan untuk menambahkan akhiran matta di sini untuk menyiratkan jumlah keyakinan dan cinta kasih yang diperlukan, bukan sekadar memiliki kualitas-kualitas ini.


SUTTA 23

275) YM. Kumāra Kassapa adalah anak yang diadopsi oleh Raja Pasenadi dari Kosala, yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang, karena tidak mengetahui bahwa ia sedang hamil, meninggalkan keduniawian menjadi seorang bhikkhunī setelah kehamilannya. Pada saat sutta ini dibabarkan, ia masih seorang sekha; ia mencapai Kearahatan dengan menggunakan sutta ini sebagai subjek meditasinya.

276) Menurut MA, dewa ini adalah yang-tidak-kembali yang hidup di Alam Murni. Ia dan Kumāra Kassapa adalah anggota kelompok lima bhikkhu yang, pada masa pengajaran Buddha Kassapa, telah berlatih meditasi bersama-sama di puncak gunung. Adalah dewa yang sama dengan yang mendorong Bāhiya Dāruciriya, anggota kelompok lainnya, untuk mengunjungi Sang Buddha (baca Ud 1:10/7).

277) Makna atas penggambaran oleh dewa tersebut akan dijelaskan dalam sutta itu sendiri.

278) Kummāsa: Vinaya dan komentar menjelaskannya sebagai sesuatu yang terbuat dari yava, gandum. Ñm menerjemahkan kata ini sebagai roti, tetapi dari MN 82.18 jelas bahwa kummāsa mengental dan membusuk setelah lewat semalam. PED mendefinisikannya sebagai susu kental asam; Horner menerjemahkannya sebagai “susu asam”.

279) MA: Bagaikan sebuah palang di gerbang kota mencegah orang-orang memasukinya, demikian pula kebodohan mencegah orang-orang mencapai Nibbāna.

280) Dvedhāpatha juga pernah diterjemahkan sebagai “persimpangan jalan”, jelas melambangkan keragu-raguan.

281) MA menyebutkan bahwa empat kaki dan kepala seekor kura-kura menyerupai kelima kelompok unsur kehidupan.

282) MA: Makhluk-makhluk yang menginginkan kenikmatan indria terpotong oleh parang keinginan indria di atas balok pengganjal objek indria.

283) Simbolisasi ini dijelaskan dalam MN 54.16.

284) Ini adalah seorang Arahant. Untuk simbolisasinya, baca n.75.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #139 on: 26 February 2011, 02:01:21 PM »
SUTTA 24

285) Suatu sisipan diberikan oleh MA. Tanah asal Sang Buddha adalah Kapilavatthu, di kaki Pegunungan Himalaya.

286) Kelima hal terakhir membentuk suatu kumpulan yang disebut lima kelompok unsur Dhamma (dhammakkhandhā). “Kebebasan” diidentifikasikan dengan buah mulia, “pengetahuan dan penglihatan kebebasan” dengan pengetahuan peninjauan.

287) YM. Puṇṇa Mantāṇiputta berasal dari keluarga brahmana dan ditahbiskan oleh YM. Aññā Kodañña di Kapilavatthu, yang mana ia terus menetap di sana hingga ia memutuskan untuk mengunjungi Sang Buddha di Sāvatthī. Ia belakangan dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai bhikkhu yang paling menonjol di antara para pembabar Dhamma.

288) Walaupun ketujuh pemurnian (satta visuddhi) ini disebutkan di tempat lain dalam Kanon Pali (dalam DN iii.288, dengan dua tambahan: pemurnian melalui kebijaksanaan dan pemurnian melalui kebebasan), yang mengherankan adalah bahwa kedua tambahan ini tidak dianalisa sebagai satu kelompok di mana pun dalam Nikāya; dan hal ini menjadi semakin mengherankan ketika kedua siswa besar ini sepertinya mengenalinya sebagai satu kelompok pembagian ajaran. Bagaimanapun juga, ketujuh skema ini membentuk kerangka bagi keseluruhan Visuddhimagga, yang mendefinisikan perbedaan tahapan melalui tradisi komentar yang lengkap tentang meditasi konsentrasi dan pandangan terang.

Singkatnya, “pemurnian moralitas” (sīlavisuddhi) adalah ketaatan pada aturan-aturan moral yang dijalani seseorang, dijelaskan oleh Vsm dengan merujuk pada latihan moral dari seorang bhikkhu sebagai “empat pemurnian moralitas”. “Pemurnian pikiran (cittavisuddhi) adalah mengatasi kelima rintangan melalui pencapaian konsentrasi awal dan jhāna-jhāna. “Pemurnian pandangan” (diṭṭhivisuddhi) adalah pemahaman yang mendefinisikan sifat dari kelima kelompok unsur kehidupan yang menyusun sesosok makhluk hidup. “Pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan” (kankhāvitaraṇavisuddhi) adalah memahami kondisionalitas. “Pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan pada apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan” (maggāmaggañāṇadassanavisuddhi) adalah pembedaan benar antara jalan pertapaan yang keliru, menggembirakan pengalaman dan jalan pandangan yang benar ke dalam ketidakkekalan, penderitaan, dan bukan-diri. “Pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan pada sang jalan” (paṭipadāñāṇadassanavisuddhi) membentuk rangkaian meningkat dari pengetahuan pandangan terang hingga jalan lokuttara. Dan “Pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan” (ñāṇadassanavisuddhi) adalah jalan lokuttara.

289) MA mengemas anupādā parinibbāna sebagai appacayaparinibbāna, “Nibbāna akhir yang tanpa kemelekatan”, menjelaskan bahwa upādāna memiliki dua makna: genggaman (gahaṇa), [ ]seperti dalam kalimat biasa tentang empat jenis kemelekatan dan kondisi (paccaya), seperti diilustrasikan oleh paragraf ini. Para komentator menjelaskan “Nibbāna akhir tanpa kemelekatan” adalah sebagai buah Kearahatan; karena tidak dapat digenggam oleh satu dari empat jenis kemelekatan; atau sebagai Nibbāna, yang tidak terkondisi, karena tidak muncul melalui kondisi apa pun.

290) MA menjelaskan bahwa enam tingkat pertama adalah “disertai kemelekatan” dalam makna dikondisikan dan dalam makna ada dalam diri seseorang yang masih menggenggam; tingkat ke tujuh, karena lokuttara, hanya dalam makna terkondisikan.

291) MA mengatakan bahwa Sāriputta menanyakan ini hanya sebagai cara untuk menyapa Puṇṇa Mantāṇiputta karena ia telah mengetahui namanya. Akan tetapi, Puṇṇa, belum pernah bertemu dengan Sāriputta sebelumnya dan karena itu ia pasti sungguh-sungguh terkejut bertemu dengan siswa utama itu.

292) Satthukappa. MA mengatakan bahwa ini adalah pujian tertinggi yang dapat diucapkan oleh seorang siswa.


SUTTA 25

293) Cetovimutti: MA menjelaskan bahwa mereka hanya meninggalkan tekad mereka untuk menetap dalam hutan, walaupun ini juga dapat dianggap bahwa para petapa itu telah mencapaidan kehilangandelapan pencapaian meditatif yang biasanya disiratkan oleh kata cetovimutti.

294) Ini adalah sepuluh pandangan spekulatif yang diperdebatkan oleh para petapa filsuf pada masa Sang Buddha. Semuanya ditolak oleh Sang Buddha dengan alasan tidak berhubungan dengan dasar-dasar kehidupan suci dan tidak mendukung kebebasan dari penderitaan. Baca MN 63, MN 72.

295) Delapan pencapaian meditatif di sini harus dipahami, seperti yang dijelaskan MA, sebagai landasan bagi pandangan terang. Ketika seorang bhikkhu telah memasuki jhāna demikian, Māra tidak dapat melihat bagaimana pikirannya bekerja. Akan tetapi, kekebalan dari pengaruh Māra ini hanya bersifat sementara.

296) Bhikkhu terakhir ini, dengan menghancurkan noda-noda, telah menjadi bukan hanya tidak terlihat oleh Māra secara sementara, namun secara permanen tidak terjangkau oleh Māra. Mengenai lenyapnya persepsi dan perasaan, baca Pendahuluan, p.41.


SUTTA 26

297) Judul ini mengikuti MN edisi PTS dan SBJ. MA edisi BBS, dan MA edisi PTS dan BBS, merujuk pada khotbah ini sebagai Pāsarāsi Sutta, tumpukan perangkap dengan referensi pada perumpamaan dalam §§32-33.

298) MA menunjukkan bahwa jhāna ke dua dan subjek meditasi utama seseorang keduanya disebut “keheningan mulia” (ariyo tuṇhibhāvo). Mereka yang tidak mampu mencapai jhāna ke dua disarankan untuk mempertahankan keheningan mulia dengan memperhatikan subjek meditasi utama mereka.

299) Upadhi: [ ]makna akarnya adalah fondasi, dasar, landasan (PED). Dalam komentar dijelaskan berbagai jenis upadhi, di antaranya adalah kelima kelompok unsur kehidupan, objek-objek kenikmatan indria, kekotoran-kekotoran, dan kamma. Ñm menerjemahkan kata ini secara konsisten sepanjang sutta sebagai “sifat dasar kehidupan”, yang sering kali mengaburkan makna kontekstualnya. Saya mencoba menangkap beberapa konotasi kata ini dengan menerjemahkannya menjadi “perolehan-perolehan” yang mana makna objektifnya lebih menonjol (seperti di sini) dan sebagai “perolehan” yang mana makna subjektifnya lebih menonjol. Pada MN 26.19, Nibbāna disebut “lepasnya segala perolehan” (sabb’ ūpadhipaṭinissagga), [ ]dengan kedua makna itu yang dimaksudkan.

300) Emas dan perak dikecualikan dari benda-benda yang tunduk pada penyakit, kematian, dan dukacita, tetapi benda-benda tersebut tunduk pada kekotoran, menurut MA, karena benda-benda tersebut dapat dicampur dengan logam yang bernilai lebih rendah.

301) MA: ia mengajarkan Beliau tujuh pencapaian (meditasi ketenangan) yang berakhir pada landasan kekosongan, ke tiga dari empat pencapaian tanpa-materi. Walaupun pencapaian-pencapaian ini adalah luhur secara spiritual, namun masih dalam lingkup lokiya dan tidak secara langsung mengarah pada Nibbāna.

302) Yaitu, menuntun menuju kelahiran kembali di alam kehidupan yang disebut landasan kekosongan, tujuan dari pencapaian meditatif ke tujuh. Di sini umur kehidupannya adalah 60.000 kappa, tetapi ketika jangka waktu itu telah berlalu, seseorang akan meninggal dunia dan kembali ke alam yang lebih rendah. Dengan demikian, seseorang yang mencapai ini masih belum terbebas dari kelahiran dan kematian, namun terperangkap dalam jebakan Māra (MA). Horner melewatkan hal penting bahwa kelahiran kembali adalah intinya dengan menerjemahkan “hanya sejauh mencapai alam kekosongan” (MLS 1:209).
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #140 on: 26 February 2011, 02:15:58 PM »
303) Baik Horner dalam MLS dan Ñm dalam Ms melakukan kesalahan dalam terjemahan mereka mengenai kisah pertemuan Sang Bodhisatta dengan Uddaka Rāmaputta dengan menganggap Uddaka sama dengan Rāma. Akan tetapi, seperti ditunjukkan oleh namanya, Uddaka adalah putra (putta) dari Rāma, yang pasti telah meninggal dunia sebelum kedatangan Sang Bodhisatta. Perhatikan bahwa semua rujukan pada Rāma dituliskan dalam bentuk lampau dan sebagai orang ke tiga, dan bahwa Uddaka pada akhirnya menempatkan Sang Bodhisatta dalam posisi guru. Walaupun teks tidak memberikan akhir yang pasti, namun ini menyiratkan bahwa ia sendiri belum mencapai pencapaian ke empat tanpa-materi itu.

304) MN 36, yang mencantumkan kisah pertemuan Sang Bodhisatta dengan Āḷāra Kālāma dan Uddaka Rāmaputta, dari sini melanjutkan dengan kisah praktik pertapaan keras yang membawa-Nya hingga ke ambang kematian dan selanjutnya tentang penemuan-Nya akan jalan tengah yang menuntun-Nya menuju pencerahan.

305) MA mengidentifikasikan “Dhamma ini” sebagai Empat Kebenaran Mulia. Dua kebenaran atau kondisi-kondisi (ṭhāna) yang dibicarakan persis di bawahsebab-akibat yang saling bergantungan dan Nibbānaadalah kebenaran asal-mula dan lenyapnya penderitaan, yang berturut-turut menyiratkan kebenaran penderitaan dan sang jalan.

306) Ālaya. Sulit untuk menemukan padanan yang tepat untuk kata ini dalam Bahasa Inggris yang belum digunakan oleh kata Pali lainnya yang lebih sering muncul. Horner menerjemahkannya sebagai “kenikmatan indria”, yang sesuai dengan terjemahan biasa bagi kāma dan mungkin terlalu sempit. Dalam Ms dan dalam terbitan lainnya Ñm menerjemahkannya sebagai “sesuatu untuk bersandar”, yang mungkin ditarik dari konotasi kata tersebut yang tidak sesuai di sini. MA menjelaskan ālaya sebagai terdiri dari kenikmatan indria objektif dan pikiran-pikiran keinginan yang berhubungan dengannya.

307) MA mengangkat pertanyaan mengapa, ketika Sang Bodhisatta yang sejak lama bercita-cita untuk mencapai Kebuddhaan dengan tujuan untuk membebaskan makhluk-makhluk lain, sekarang pikirannya condong untuk tidak melakukan apa-apa. Alasannya, menurut komentar, adalah bahwa baru sekarang, setelah mencapai pencerahan, Beliau menyadari sepenuhnya betapa kuatnya kekotoran-kekotoran dalam batin makhluk-makhluk dan betapa mendalamnya Dhamma. Juga Beliau menghendaki agar Brahmā memohon-Nya untuk mengajar sehingga makhluk-makhluk yang menyembah Brahmā dapat mengenali nilai berharga dari Dhamma dan berkeinginan untuk mendengarnya.

308) Kelima bhikkhu ini melayani Sang Bodhisatta selama masa penyiksaan-diri, percaya bahwa Beliau akan mencapai pencerahan dan mengajarkan Dhamma kepada mereka. Akan tetapi, ketika Beliau meninggalkan praktik keras-Nya dan kembali memakan makanan padat, mereka kehilangan keyakinan pada-Nya, menuduh-Nya kembali kepada kemewahan, dan meninggalkan-Nya. Baca MN 36.33.

309) Anantajina: mungkin ini adalah gelar bagi seorang Ājivaka yang tercerahkan secara spiritual.

310) Menurut MA, Upaka selanjutnya jatuh cinta dengan putri seorang pemburu dan menikahinya. Ketika pernikahannya ternyata tidak membahagiakan, ia kembali pada Sang Buddha, memasuki Sangha, dan menjadi seorang yang-tidak-kembali, ia terlahir kembali di alam surga Aviha, 311) Āvuso: sebutan bersahabat yang digunakan untuk menyapa mereka yang setara.

312) Baca n.178.

313) Perubahan panggilan dari “teman” menjadi “Yang Mulia” (bhante) menunjukkan bahwa mereka sekarang telah menerima pengakuan Sang Buddha dan siap untuk menganggapnya sebagai yang lebih mulia daripada mereka.

314) Pada titik ini, Sang Buddha membabarkan khotbah pertama-Nya kepada mereka, Dhammacakkappavattana Sutta, Memutar Roda Dhamma, tentang Empat Kebenaran Mulia. Beberapa hari berikutnya, setelah mereka semuanya telah menjadi pemasuk-arus, Beliau mengajarkan Anattalakkhana Sutta, Karakteristik Bukan-diri, yang setelah mendengarnya mereka semua mencapai Kearahatan. Penjelasan lengkap, terdapat dalam Mahāvagga (Vin i.7-14), yang juga termasuk dalam Ñaṇamoli, The Life of the Buddha, pp.42-47.di mana ia mencapai Kearahatan.

315) Bagian ini kembali pada tema pencarian mulia dan tidak mulia yang memulai khotbah Sang Buddha ini. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa menjalani kehidupan monastik bukan jaminan bahwa seseorang telah memulai pencarian mulia, karena pencarian tidak mulia juga dapat menyerbu kehidupan monastik.

316) Ini merujuk pada penggunaan empat benda kebutuhan dengan perenungan terhadap penggunaan selayaknya dalam kehidupan meninggalkan keduniawian. Baca MN 2.13-16.

317) Baca n.295.

318) Baca n.296.

SUTTA 27

319) Menurut Riwayat Sri Lanka, ini adalah sutta pertama yang dibabarkan oleh Mahinda Thera setelah kedatangannya di Sri Lanka.

320) Vacchāyana adalah nama suku Pilotika.

321) Ñm menerjemahkan ekabhattika sebagai “makan hanya pada satu bagian dari hari”, mengikuti komentar. Menurut Vinaya, waktu yang benar bagi para bhikkhu untuk makan adalah antara fajar hingga tengah hari. Dari tengah hari hingga fajar keesokan harinya hanya cairan yang diperbolehkan.

322) Formula ini dianalisa dalam Vsm I, 53-59. Secara singkat, gambaran (nimitta) adalah kualitas yang paling jelas dari objek yang, jika digenggam dengan secara tidak waspada, dapat membangkitkan pikiran-pikiran kotor; ciri-ciri (anubyañjana) adalah rincian yang dapat menangkap perhatian ketika kontak persepsi pertama belum diikuti oleh pengendalian. “Kondisi-kondisi ketamakan dan kesedihan” menyiratkan reaksi bergantian keinginan dan ketidaksenangan, kemenarikan dan kemenjijikan, terhadap objek indria.

323) Ketamakan (abhijjhā) di sini adalah bersinonim dengan keinginan indria (kāmacchanda), yang pertama dari lima rintangan.

324) MA: Ia belum sampai pada kesimpulan ini sehubungan dengan Tiga Permata karena jhāna-jhāna dan pengetahuan langsung (lokiya) juga dimiliki oleh mereka yang di luar Ajaran Buddha.

325) Ini, menurut MA, menunjukkan saat sang jalan, dan karena pada titik ini, siswa mulia itu masih belum menyelesaikan tugasnya, ia belum sampai pada kesimpulan (na tveva niṭṭhaṁ gato hoti) sehubungan dengan Tiga Permata; sebaliknya, ia berada dalam proses sampai pada kesimpulan (niṭṭhaṁ gacchati). Sutta ini menggunakan permainan kata pada makna dari ungkapan “sampai pada kesimpulan” yang sama wajarnya dalam bahasa Inggris seperti dalam Pali.

326) Ini menunjukkan kejadian ketika siswa telah mencapai buah Kearahatan, dan setelah menyelesaikan semua tugasnya dalam segala cara, telah sampai pada kesimpulan sehubungan dengan Tiga Permata.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #141 on: 26 February 2011, 06:21:26 PM »
SUTTA 28

327) Khotbah ini telah diterbitkan secara terpisah dengan pendahuluan dan catatan oleh Nyanaponika Thera, The Greater Discourse on the Elephant-Footprint Simile.

328) Struktur khotbah ini dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama-tama YM. Sāriputta menguraikan Empat Kebenaran Mulia (§2). Kemudian ia menganalisa kebenaran penderitaan dalam berbagai aspek (§3). Dari antara semua ini, ia memilih yang terakhir dan menguraikan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan (§4). Berikutnya ia memilih kelompok unsur pertama, kelompok unsur bentuk materi (§5). Menggunakan masing-masing dari unsur-unsur utama, ia menunjukkannya memiliki dua aspekinternal dan eksternalaspek pertama dipilih untuk dianalisa secara terperinci, aspek ke dua hanya disebutkan secara singkat sebagai pelengkap dan perbandingan (misalnya, §§6-7). Masing-masing unsur dijelaskan sebagai suatu landasan bagi pandangan terang (misalnya, §§8-10). Setelah selesai memeriksa unsur, YM. Sāriputta selanjutnya mengangkat aspek-aspek dari Empat Kebenaran Mulia yang sebelumnya ia kesampingkan. Ia memperkenalkan bentuk materi turunan melalui organ-organ indria dan objeknya (§27, dan seterusnya), yang kemudian ia hubungkan dengan empat kelompok unsur kehidupan lainnya dari kebenaran mulia pertama. Akhirnya, ia menguraikan keseluruhan topik yang rumit ini sehubungan dengan ketiga kebenaran mulia lainnya (§28, dan seterusnya).

329) Upādinna. “dilekati”, digunakan dalam Abhidhamma sebagai istilah teknis yang berlaku pada fenomena jasmani yang dihasilkan oleh kamma. Akan tetapi, di sini digunakan dalam makna yang lebih umum sebagai berlaku pada keseluruhan jasmani sejauh yang digenggam sebagai “milikku” dan disalahpahami sebagai diri. Frasa “apa pun lainnya” dimaksudkan untuk memasukkan unsur tanah yang terdapat dalam bagian-bagian tubuh yang tidak termasuk dalam daftar di atas. Menurut analisa materi dalam Abhidhamma, empat unsur utama adalah tidak terpisahkan, dan dengan demikian masing-masing unsur juga termasuk, walaupun dalam peran yang lebih rendah, dalam fenomena jasmani terdaftar di bawah ketiga unsur lainnya.

330) MA: Pernyataan ini dibuat untuk menggarisbawahi sifat tidak-hidup (acetanābhāva) dari unsur tanah internal dengan menghubungkannya dengan unsur tanah eksternal, sifat tidak-hidupnya menjadi lebih mudah terlihat.

331) Menurut Kosmologi India kuno, siklus kehancuran dunia dapat terjadi karena air, api, atau angin. Baca Vsm XIII, 30-65.

332) Gagasan “aku”, “milikku”, dan “diriku” mewakili tiga gagasan yang mengganggu pikiran, yaitu pandangan identitas, keinginan, dan keangkuhan, secara berturut-turut.

333) MA menjelaskan bahwa paragraf ini, yang merujuk pada seorang bhikkhu yang mempraktikkan meditasi pada unsur-unsur, bermaksud untuk menunjukkan kekuatan pikirannya dalam menerapkan pemahamannya terhadap segala sesuatu pada objek-objek tidak menyenangkan yang muncul di “pintu” telinga. Dengan merenungkan pengalaman melalui kondisionalitas dan ketidakkekalan, ia mentransformasikan situasi yang berpotensi memprovokasi karena dihina menjadi suatu kesempatan bagi pandangan terang.

334) Tassa dhātārammaṇam eva cittaṁ pakkhandati. Kalimat ini dapat ditafsirkan dalam dua cara alternatif, bergantung pada bagaimana kata majemuk dhātārammaṇam dipahami. YM. Nyanaponika menganggapnya sebagai objek dari kata kerja pakkhandati, dan ia memahami dhātu di sini sebagai “unsur bukan personal secara umum” yang mampu menerima suara, kontak, perasaan, dan sebagainya. Karena itu, ia menerjemahkan: “Dan pikirannya masuk ke dalam objek itu [dengan menganggapnya hanya sebagai] unsur [tidak hidup]”.[ ]Ñm membaca kata majemuk ini sebagai kata tambahan yang berarti citta, dan memberikan objek dari kata kerja dalam tanda kurung. MA sepertinya mendukung tulisan pertama; MṬ secara eksplisit mengidentifikasikan dhātu sebagai unsur tanah, dengan demikian mendukung pernyataan ke dua. MA menjelaskan frasa “memperoleh keteguhan” bermakna bahwa meditator merenungkan situasi melalui unsur-unsur dan dengan demikian tidak melekati juga tidak menolaknya.

335) MA: Paragraf ini dimaksudkan untuk menunjukkan kekuatan bhikkhu yang bermeditasi ketika ia mengalami penderitaan melalui jasmani.

336) Baca MN 21.20.

337) MA: Perenungan Sang Buddha dilakukan di sini dengan mengingat bahwa Sang Bhagavā mengajarkan perumpamaan gergaji ini, perenungan Dhamma dengan mengingat nasihat yang terkandung dalam perumpamaan gergaji, dan perenungan Sangha dengan mengingat moralitas para bhikkhu yang mampu menahankan hinaan demikian tanpa memunculkan pikiran membenci. “Keseimbangan yang didukung oleh kondisi-kondisi bermanfaat” (upekkha kusalanissitā) adalah keseimbangan pandangan terang, enam keseimbangan yang tidak tertarik juga tidak menolak objek-objek yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan yang muncul di enam pintu indria. Dengan kata lain, enam keseimbangan yang hanya dimiliki oleh Arahant, tetapi di sini dikatakan dimiliki oleh bhikkhu dalam latihan karena pandangan terangnya mendekati keseimbangan sempurna Arahant.

338) Ini dikatakan untuk menekankan sekali lagi sifat tanpa-ego dari jasmani. MṬ: Ia menunjukkan bahwa empat unsur hanyalah sekadar unsur bukan milik diri; unsur-unsur itu adalah tanpa makhluk, tanpa jiwa.

339) Bagian ini dijelaskan, menurut MA, untuk memperkenalkan bentuk materi yang diturunkan dari empat unsur utama. Bentuk materi turunan, menurut analisa materi Abhidhamma, termasuk lima organ indria (pasādarūpa) dan empat jenis pertama objek indria, objek sentuhan karena diidentifikasikan dengan unsur utama itu sendiri. “Aktivitas (kesadaran) yang bersesuaian” (tajjo samannāhāro) dijelaskan oleh MA sebagai perhatian (manasikāra) yang muncul dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, diidentifikasikan dengan “lima pintu kesadaran penerima (pañcadvārāvajjanacitta), yang memutuskan aliran rangkaian kehidupan (bhavanga) untuk memulai proses pengenalan. Bahkan ketika bentuk-bentuk muncul dalam jangkauan mata, jika perhatian tidak terhubung dengan bentuk karena sedang terlibat pada hal lain, maka tidak ada manifestasi dari “kesadaran yang bersesuaian”, yaitu, kesadaran-mata.

340) Bagian ini dijelaskan untuk menunjukkan Empat Kebenaran Mulia melalui pintu-pintu indria. “Apa yang telah muncul demikian” (tathābhūta) adalah keseluruhan faktor-faktor yang muncul melalui kesadaran-mata. Dengan menganalisa faktor-faktor ini ke dalam lima kelompok unsur kehidupan, YM.[ ]Sāriputta menunjukkan bahwa setiap peristiwa pengalaman indria berada dalam kebenaran penderitaan.

341) Pernyataan ini belum terlacak secara langsung berasal dari Sang Buddha dalam sutta mana pun dalam Kanon Pali. MA mengemas, mungkin dengan sangat sedikit berhubungan dengan implikasi pernyataan yang lebih mendalam: “Seorang yang melihat sebab-akibat yang saling bergantungan melihat kondisi-kondisi sebab-akibat yang saling bergantungan (paṭicca samuppanne dhamme); seorang yang melihat kondisi-kondisi sebab-akibat yang saling bergantungan melihat sebab-akibat yang saling bergantungan.”

342) Empat kata inichanda, ālaya, anunaya, ajjhasānaadalah sinonim dari keinginan (taṇhā).

343) Walaupun hanya tiga dari Empat Kebenaran Mulia yang secara eksplisit ditunjukkan dalam teks, namun kebenaran ke empat juga tersiratkan. Menurut MA, ini adalah penembusan ketiga kebenaran ini melalui pengembangan delapan faktor sang jalan.

344) MA mengidentifikasikan “pikiran” (mano) dalam paragraf ini sebagai kesadaran rangkaian-kehidupan (bhavangacitta).

345) MA mengilustrasikan kasus ini melalui keterlenaan pikiran dengan objek yang sudah biasa dikenali ketika tidak memperhatikan rincian yang biasa dikenali dari objek tersebut. “Kelompok kesadaran yang bersesuaian” di sini adalah kesadaran-pikiran (manoviññāṇa), yang mengambil objek nonindria sebagai bidang pengenalannya.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #142 on: 26 February 2011, 06:32:43 PM »
SUTTA 29

346) Setelah kegagalan usaha Devadatta dalam membunuh Sang Buddha dan merampas kuasa atas Sangha, ia berpisah dari Sang Buddha dan mencoba untuk membentuk sektenya sendiri dengan dirinya sebagai pemimpin. Baca Ñāṇamoli, The Life of the Buddha, pp. 266-69.

347) “Pengetahuan dan penglihatan” (ñāṇadassana) di sini merujuk pada mata dewa (MA), kemampuan melihat bentuk-bentuk yang halus yang tidak terlihat oleh penglihatan normal.

348) Terjemahan ini mengikuti BBS dan SBJ, yang menuliskan asamayavimokkhaṁ dalam kalimat sebelumnya dan asamayavimuttaiyā dalam kalimat ini. Edisi PTS, yang mana Horner dan Ñm menggunakannya sebagai dasar terjemahan mereka, terbukti keliru dalam membaca samaya dalam dua kata majemuk dan ṭhānaṁ sebagai pengganti aṭṭhānaṁ. [ ]MA mengutip Paṭisambhidāmagga (ii.40) untuk definisi asamayavimokkha (secara literal, kebebasan bukan-sementara atau “terus-menerus”) sebagai empat jalan, empat buah, dan Nibbāna, dan samayavomikkha (kebebasan sementara) sebagai empat jhāna dan empat pencapaian tanpa bentuk[.], baca juga MN 122.4.

349) “Kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan” adalah buah Kearahatan (MA). Demikianlah “kebebasan terus-menerus”sebagai termasuk empat jalan dan buahmemiliki jangkauan makna yang lebih luas daripada “Kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan”, yang dinyatakan sebagai tujuan kehidupan suci.


SUTTA 30

350) Keenam guru tersebut, yang sezaman dengan Sang Buddha, semuanya berada di luar Brahmanisme Ortodoks, dan doktrin-doktrin mereka menunjukkan keberanian spekulatif pada masa Sang Buddha. Enam orang ini sering disebutkan secara bersama dalam Kanon. Ajaran-ajaran mereka, seperti dipahami dalam komunitas Buddhis, terdapat dalam DN 2.17-32/ii.52-59.

351) Pertanyaan yang persis sama dengan yang diajukan kepada Sang Buddha menjelang Parinibbāna oleh Pengembara Subhadda pada SN 16.5.26-27/ii.150-52.

352) Adalah kalimat ini, yang digunakan pada kalimat yang diawali dengan “Ia menjadi mabuk ...,” yang membedakan paragraf-paragraf dari sutta ini dengan paragraf-paragraf yang bersesuaian dari sutta sebelumnya.

353) Walaupun jhāna-jhāna juga termasuk dalam pencapaian konsentrasi yang dijelaskan pada §10, dan pengetahuan dan penglihatan digambarkan sebagai lebih tinggi daripada pencapaian konsentrasi, namun jhāna-jhāna sekarang menjadi lebih tinggi daripada pengetahuan dan penglihatan karena jhāna-jhāna diperlakukan sebagai landasan bagi pencapaian lenyapnya dan hancurnya noda-noda. (pada §21).


SUTTA 31

354) YM. Anuruddha adalah saudara sepupu Sang Buddha; YM. Nandiya dan Kimbila adalah sahabat Anuruddha.

355) Ini adalah tiga dari “enam prinsip kerukunan” yang dijelaskan dalam MBN 48.6.

356) MA mengidentifikasikan yakkha ini sebagai raja surgawi (devarāja) yang termasuk di antara dua puluh delapan pemimpin yakkha yang disebutkan pada DN 32.10/iii.205.


SUTTA 32

357) Empat kelompok adalah para bhikkhu, bhikkhunī, umat awam laki-laki, dan umat awam perempuan. Tujuh kecenderungan tersembunyi diuraikan pada MN 18.8. YM. Ānanda dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai siswa yang paling unggul di antara mereka yang telah banyak belajar, dan khotbah-khotbahnya dikatakan menyenangkan empat kelompok tersebut (DN 16.5.16/ii.145).

358) Yathā sakaṁ paṭibhānaṁ. Frasa ini juga dapat diterjemahkan “menurut intuisinya” atau “menurut idealismenya”. Ñm menerjemahkan “sesuai apa yang terpikir olehnya”; Horner, “menurut kapasitasnya”.

359) YM. Revata dinyatakan sebagai siswa yang paling unggul di antara para siswa meditator.

360) YM. Anuruddha dinyatakan sebagai siswa yang paling unggul di antara para siswa yang memiliki mata-dewa.

361) Mahā Kassapa adalah siswa yang paling unggul di antara para siswa yang menjalankan praktik pertapaan.
362) Abhidhamma. Walaupun kata ini di sini tidak dapat merujuk pada Abhidhamma Piṭakayang jelas merupakan produk pemikiran Buddhis belakangan setelah Nikāya-Nikāyanamun menunjukkan suatu pendekatan sistematis dan analitis terhadap doktrin yang bertindak sebagai inti asli dari Abhidhamma Piṭaka. Dalam suatu pembahasan saksama pada konteks di mana kata “Abhidhamma” muncul dalam Sutta Piṭaka dari beberapa edisi terbaru, Terpelajar Bahasa Pali dari Jepang bernama Fumimaro Watanabe menyimpulkan bahwa para siswa Sang Buddha membentuk konsep Abhidhamma sebagai pelajaran filosofi dasar untuk mendefinisikan, menganalisa, dan mengelompokkan dhamma dan untuk mengeksplorasi saling keterkaitannya. Baca bukunya Philosophy and its Development in the Nikāyas and Abhidhamma, pp.34-36.

363) Sementara jawaban-jawaban para siswa dianggap sebagai idealisme seorang bhikkhu yang telah mencapai kemahiran dalam bidang tertentu dari kehidupan meninggalkan keduniawian, jawaban Sang Buddha, dengan menitikberatkan pada seorang bhikkhu yang masih berjuang untuk mencapai tujuan, menggarisbawahi tujuan utama dari kehidupan suci itu sendiri.


SUTTA 33

364) Baca MN 129.2.27.

365) Aturan (mātikā) mungkin adalah peraturan Pātimokkha yang diringkas dari matriks penjelasannya, serta daftar kelompok doktrin utama yang digunakan untuk membabarkan Dhamma. Untuk penjelasan lebih lanjut tentang mātikā, baca Watanabe, Philosophy and its Development in the Nikāyas and Abhidhamma, pp.42-45.

366) Baca n.89.

367) Pada SN 47:6/v.148, empat landasan perhatian disebut wilayah yang selayaknya (gocara) dari seorang bhikkhu, dalam makna sebagai bidang selayaknya dari aktivitasnya.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #143 on: 26 February 2011, 06:47:45 PM »
SUTTA 34

368) Baca n.273.


SUTTA 35

369) Menurut MA, Saccaka adalah putra dari orang tua penganut Nigaṇṭha (Jain) yang mana kedua orang tuanya mahir dalam debat filosofis. Ia telah mempelajari seribu doktrin dari orang tuanya dan banyak lagi sistem filosofi dari orang lain. Dalam pembahasan di bawah, ia dipanggil dengan nama sukunya, Aggivessana.

370) YM. Assaji adalah salah satu dari lima siswa pertama Sang Buddha.

371) Ringkasan doktrin ini mengabaikan karakteristik ke dua dari tiga karakteristik, dukkha atau penderitaan. MA menjelaskan bahwa Assaji mengabaikan ini untuk menghindari memberikan kesempatan kepada Saccaka untuk membantah doktrin Sang Buddha.

372) MA menjelaskan bahwa orang-orang memainkan permainan ini ketika mempersiapkan kain rami. Mereka mengikat segenggam rami kasar, merendamnya dalam air, dan memukulnya di atas papan di sebelah kiri, kanan, dan tengah. Seekor gajah besar melihat permainan ini, dan mencebur ke dalam air, ia mengambil air dengan belalainya dan menyemprotkannya ke perutnya, ke tubuhnya, di kedua sisi, dan selangkangannya.

373) Dalam menegaskan kelima kelompok unsur kehidupan sebagai diri, ia tentu saja secara langsung menentang ajaran Buddha tentang anattā. Ia mengatakan pandangannya berasal dari “banyak orang” dengan pikiran bahwa “mayoritas tidak mungkin salah”.

374) Sang Buddha di sini mengatakan bahwa kelompok-kelompok unsur kehidupan bukanlah diri karena tidak memiliki satu karakteristik penting dari diridapat dikuasai. Apa yang tidak dapat dikuasai atau dikendalikan sepenuhnya tidak dapat diidentifikasikan sebagai “diriku”.

375) MA mengidentifikasikan makhluk (yakkha) ini sebagai Sakka, penguasa para dewa.

376) Teks di antara tanda bintang (*) tidak terdapat pada edisi PTS, namun ditambahkan dari BBS dan SBJ. Kelima kelompok unsur kehidupan di sini disebut penderitaan karena tidak kekal dan tidak dapat dikuasai.

377) Ini adalah karakteristik-karakteristik seorang sekha. Arahant, sebaliknya, tidak hanya memiliki pandangan benar tanpa-diri, tetapi juga menggunakannya untuk melenyapkan segala kemelekatan seperti dijelaskan oleh Sang Buddha pada §25.

378) MA memberikan beberapa penjelasan alternatif atas ketiga kata ini. Yaitu kebijaksanaan, praktik, dan kebebasan lokiya dan lokuttara. Atau seluruhnya lokuttara: pertama adalah pandangan benar pada jalan Kearahatan, ke dua adalah ketujuh faktor lainnya, ke tiga adalah buah tertinggi (Kearahatan). Atau pertama adalah penglihatan pada Nibbāna, ke dua adalah faktor-faktor sang jalan, ke tiga adalah buah tertinggi.

379) Walaupun Saccaka mengaku kalah dalam debat, namun ia tetap masih menganggap dirinya sebagai orang suci, dan dengan demikian ia tidak terdorong untuk memohon perlindungan pada Tiga Permata. Juga, karena ia tetap menganggap dirinya sebagai orang suci, maka ia merasa tidaklah selayaknya baginya untuk mempersembahkan jasa persembahan itu kepada dirinya, dan dengan demikian ia ingin mempersembahkan jasa itu kepada para Licchavi. Tetapi Sang Buddha menjawab bahwa para Licchavi akan memperoleh jasa karena memberikan makanan kepada Saccaka untuk dipersembahkan kepada Sang Buddha. Jasa persembahan itu berbeda secara kualitas menurut kemurnian penerimanya, seperti dijelaskan pada MN 142.6

SUTTA 36

380) MA: Saccaka mendekat dengan niat untuk mendebat doktrin Sang Buddha, yang mana ia gagal melakukannya pada pertemuan pertamanya dengan Sang Buddha (dalam MN 35). Tetapi kali ini ia datang sendirian, dengan pikiran jika ia menderita kekalahan maka tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Ia bermaksud untuk membantah Sang Buddha dengan pertanyaannya tentang tidur di siang hari, yang tidak ia tanyakan hingga menjelang akhir sutta (§45).

381) MA: Ānanda mengatakan ini demi belas kasihnya kepada Saccaka, dengan pikiran jika ia bertemu dengan Sang Buddha dan mendengar Dhamma, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaannya untuk waktu yang lama.

382) Dari §5 jelas bahwa Saccaka mengidentifikasikan “pengembangan jasmani” (kāyabhāvanā) sebagai praktik penyiksaan-diri. Karena ia tidak melihat para bhikkhu Buddhis yang melakukan penyiksaan-diri, ia berpendapat bahwa mereka tidak melatih pengembangan jasmani. Tetapi Sang Buddha (menurut MA) memahami “pengembangan jasmani” sebagai meditasi pandangan terang, “pengembangan batin” (cittabhāvanā) sebagai meditasi ketenangan.

383) Mereka ini adalah tiga guru Ājivaka; yang terakhir sezaman dengan Sang Buddha, dua yang pertama hampir merupakan tokoh legenda yang identitasnya masih kabur. Sang Bodhisatta telah menjalankan praktik mereka selama masa pertapaannyabaca MN 12.45tetapi akhirnya menolak praktik itu sebagai tidak mendukung pencerahan.

384) MA menjelaskan bahwa “pengembangan jasmani” di sini adalah pandangan terang, dan “pengembangan batin” adalah konsentrasi. Ketika siswa mulia mengalami perasaan menyenangkan, ia tidak dikuasai oleh perasaan itu karena, melalui pengembangan pandangan terang, ia memahami perasaan itu tidak kekal, tidak memuaskan, dan bukan diri; dan ketika ia mengalami perasaan menyakitkan, ia tidak dikuasai oleh perasaan itu karena, melalui pengembangan konsentrasi, ia mampu membebaskan diri dari perasaan itu dengan memasuki pencerapan meditatif.

385) Sekarang Sang Buddha akan menjawab pertanyaan Saccaka dengan pertama-tama menunjukkan perasaan yang sangat menyakitkan yang Beliau alami selama perjalanan praktik pertapaan-Nya, dan setelah itu menunjukkan perasaan yang sangat menyenangkan yang Beliau alami selama dalam pencapaian meditatif-Nya menjelang pencerahan.

386) PTS pasti keliru dalam membaca avūpakaṭṭho di sini, “tidak terasing”. Dalam edisi pertama, saya menerjemahkan paragraf ini berdasarkan pada BBS, yang menuliskan kāyena c’ eva cittena ca. Tetapi PTS dan SBJ menghilangkan cittena, dan sepertinya sulit untuk memahami bagaimana para petapa ini dapat digambarkan “terasing secara batin” dari kenikmatan indria jika mereka belum menenangkan keinginan indria dalam diri mereka. Oleh karena itu, saya mengikuti PTS dan SBJ.

387) Adalah mengherankan bahwa dalam paragraf berikutnya Sang Bodhisatta ditunjukkan melakukan penyiksaan-diri setelah Beliau telah sampai pada kesimpulan bahwa praktik demikian adalah tidak berguna untuk mencapai Pencerahan. Ketidaksesuaian gagasan ini menimbulkan kecurigaan bahwa urutan narasi sutta ini telah tercampur-aduk. Tempat yang seharusnya bagi perumpamaan kayu api ini adalah di akhir masa percobaan pertapaan Sang Bodhisatta, ketika Beliau telah memperoleh landasan kuat untuk menolak penyiksaan-diri. Namun demikian, MA menerima urutan ini apa adanya dan memunculkan pertanyaan mengapa Sang Bodhisatta melakukan praktik keras ini jika Beliau mampu mencapai Kebuddhaan tanpa melakukan demikian. Jawabannya: Beliau melakukan demikian, pertama, untuk menunjukkan usaha-Nya kepada dunia, karena kualitas kegigihan yang tanpa tandingan memberi-Nya kegembiraan; dan ke dua, demi belas kasihan kepada generasi mendatang, dengan menginspirasi mereka untuk berjuang dengan tekad yang sama yang Beliau terapkan demi mencapai pencerahan.

388) Kalimat ini, yang juga diulangi pada setiap akhir dari masing-masing bagian berikutnya, menjawab pertanyaan ke dua dari dua pertanyaan yang diajukan oleh Saccaka pada §11.

389) MA: pada masa kecil Sang Bodhisatta sebagai seorang pangeran, pada suatu ketika ayahnya mengadakan upacara membajak sawah pada suatu festival tradisi orang Sakya. Sang Pangeran dibawa ke tempat festival tersebut dan tempat untuk-Nya dipersiapkan di bawah pohon jambu. Ketika para pelayan-Nya meninggalkan-Nya untuk menyaksikan upacara membajak sawah, Beliau secara spontan duduk dalam posisi meditasi dan mencapai jhāna pertama melalui perhatian pada pernapasan. Ketika para pelayannya kembali dan melihat Sang Anak sedang duduk bermeditasi, mereka melaporkan hal ini kepada Sang Raja yang segera datang dan bersujud menghormati putranya.

390) Paragraf ini menandai perubahan dalam evaluasi kenikmatan oleh Sang Bodhisatta; sekarang kenikmatan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang ditakuti dan diusir melalui praktik keras, tetapi, jika muncul dari keterasingan dan pelepasan, terlihat sebagai pendamping yang berharga dari tingkat-tingkat yang lebih tinggi sepanjang perjalanan menuju pencerahan. Baca MN 139.9 tentang dua kelompok kenikmatan.

391) Kalimat ini menjawab pertanyaan pertama dari dua pertanyaan yang diajukan oleh Saccaka pada §11.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #144 on: 26 February 2011, 07:05:46 PM »
392) MA menjelaskan “gambaran konsentrasi” (samādhinimittā) di sini sebagai buah pencapaian kekosongan (suññataphalasamāpatti). Baca juga MN 122.6.

393) Ini adalah pertanyaan yang awalnya ingin ditanyakan oleh Saccaka kepada Sang Buddha. MA menjelaskan bahwa walaupun para Arahant telah melenyapkan kelambanan dan ketumpulan, namun mereka masih perlu tidur untuk mengusir keletihan fisik yang menjadi sifat alami tubuh.

394) MA menjelaskan bahwa walaupun Saccaka tidak mencapai pencapaian apa pun atau bahkan tidak menerima Tiga Perlindungan, namun Sang Buddha mengajarkan kepadanya dua sutta panjang untuk mengumpulkan dalam dirinya suatu kesan batin (vāsanā) yang akan matang di masa depan. Karena Beliau meramalkan bahwa kelak, setelah Ajaran berkembang di Sri Lanka, Saccaka akan terlahir kembali di sana dan akan mencapai Kearahatan sebagai seorang Arahant besar, Kāḷa Buddharakkhita Thera.


SUTTA 37

395) MA memperluas: “Secara singkat, sejauh apa Beliau mengatakan sebagai kebebasan dalam hancurnya keinginan, yaitu, dalam Nibbāna, hancurnya keinginan melalui keterbebasan pikiran [yang muncul] dengan menggunakannya [Nibbāna] sebagai objek. Ajarkanlah aku secara singkat praktik awal dari para bhikkhu Arahant yang dengannya ia terbebaskan dalam hancurnya keinginan.”

396) MA menjelaskan paragraf ini sebagai berikut: “Segala sesuatu” (sabbe dhammā) adalah lima kelompok unsur kehidupan, dua belas landasan, delapan belas unsur. Ini adalah “tidak layak dilekati” melalui keinginan dan pandangan karena pada kenyataannya terbukti berbeda dari caranya digenggam: digenggam sebagai kekal, menyenangkan, dan diri, namun ternyata tidak kekal, penderitaan, dan bukan diri. Ia “secara langsung mengetahui”nya dengan menyelidikinya dengan cara yang sama. “Merenungkan ketidakkekalan,” dan seterusnya, dicapai dengan pengetahuan pandangan terang timbul dan tenggelam dan hancurnya dan lenyapnya. “Ia tidak melekat” pada bentukan apa pun melalui keinginan dan pandangan, tidak menjadi terganggu karena keinginan, dan secara pribadi mencapai Nibbāna melalui padamnya semua kekotoran.

397) Nama kecil Sakka, berarti “burung hantu”.

398) Para dewa dan para raksasa (asura) digambarkan dalam Kanon Pali sebagai terus-menerus dalam kondisi saling berperang. Baca khususnya Sakkasaṁyutta (SN i.216-28).

399) Satu dari Empat Raja Dewa, penguasa para yakkha, kerajaannya berada di sebelah utara.

400) MA: Ia melakukan hal ini dengan cara masuk ke dalam meditasi pada kasiṇa-air dan kemudian berkehendak: “Semoga fondasi istana ini menjadi seperti air.”

401) Sakka dapat merujuk YM. Mahā Moggallāna sebagai seorang “teman dalam kehidupan suci” karena ia sendiri telah mencapai tingkat memasuki-arus (DN 21.2.10/ii.289) dan dengan demikian menjadi seorang siswa mulia yang pasti mencapai kebebasan yang sama yang telah dicapai oleh Mahā Moggallāna.


SUTTA 38

402) Menurut MA, melalui logika keliru berdasarkan fakta kelahiran, Sāti menyimpulkan bahwa kesadaran yang ada yang berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan lain adalah menjelaskan tentang kelahiran kembali. Bagian pertama dari sutta ini (hingga §8) mengulangi pembukaan MN 22, perbedaannya hanya pada pandangan yang menyertai.

403) Ini adalah yang terakhir dari enam pandangan yang digambarkan pada MN 2.8. Baca n.40.

404) MA: tujuan dari perumpamaan ini adalah untuk menunjukkan bahwa tidak ada perpindahan kesadaran pada pintu-pintu indria. Seperti halnya api kayu gelondongan yang membakar dengan bergantung pada kayu gelondongan dan padam ketika bahan bakarnya habis, tanpa berpindah ke kayu ranting dan dikenal sebagai api kayu ranting, demikian pula, kesadaran yang muncul pada pintu mata yang bergantung pada mata dan bentuk menjadi lenyap ketika kondisinya lenyap, tanpa berpindah ke telinga, dan seterusnya, dan menjadi dikenal sebagai kesadaran-telinga, dan seterusnya. Demikianlah Sang Buddha mengatakan yang intinya: “Dalam peristiwa kesadaran bahkan tidak ada perpindahan dari satu pintu ke pintu lain, jadi bagaimana mungkin Sāti sesat ini mengatakan perpindahan dari satu kehidupan ke kehidupan lain?”

405) Bhūtam idan ti. MA: “Ini” merujuk pada kelima kelompok unsur kehidupan. Setelah menunjukkan kondisionalitas kesadaran, Sang Buddha mengatakan paragraf ini untuk menunjukkan kondisionalitas seluruh lima kelompok unsur kehidupan, yang muncul karena kondisi, “makanan”nya, dan berlalu dengan lenyapnya kondisi tersebut. Dalam tadāhārasambhavaṁ berikutnya, MA menganggap tad sebagai suatu bentuk nominatif yang mewakili subjek (= taṁ khandhapañcakaṁ), tetapi sepertinya lebih mungkin bahwa ini berarti āhāra dan keduanya harus dianggap sebagai bentuk ablatif, subjek idaṁ dipahami. Interpretasi ini sepertinya ditegaskan oleh pernyataan ke tiga. Terjemahan Horner “Ini adalah asal-mula makanan” jelas salah.

406) Ini dikatakan untuk menunjukkan kepada para bhikkhu bahwa mereka tidak boleh melekat pada bahkan pandangan benar dari meditasi pandangan terang. Perumpamaan rakit merujuk pada MN 22.13.

407) Tentang empat makanan, baca n.120. MA: Sang Buddha mengatakan paragraf ini dan paragraf berikutnya menghubungkan makanan dengan sebab akibat yang saling bergantungan untuk menunjukkan bahwa Beliau mengetahui bukan hanya kelima kelompok unsur kehidupan, tetapi juga keseluruhan rangkaian kondisi yang bertanggung jawab atas penjelmaan.

408) Ini adalah pernyataan prinsip abstrak dari sebab-akibat yang saling bergantungan yang ditunjukkan oleh dua belas formula. Prinsip abstrak tentang lenyapnya tercantum pada §22. Ñm menerjemahkan munculnya sebagai berikut: Itu ada jika ini ada; itu muncul dengan munculnya ini”. Dan prinsip lenyapnya: “Itu tidak ada jika ini tidak ada; itu lenyap dengan lenyapnya ini”.

409) Tulisan terbaik adalah dari SBJ: samaṇavacanena ca mayaṁ. Ñm jelas menerjemahkan dari PTS samaṇā ca na ca mayaṁ dan dengan demikian menerjemahkannya menjadi, “dan demikian pula dengan para bhikkhu [lainnya], tetapi kami tidak mengatakan demikian”. “Petapa itu” adalah Sang Buddha.

410) Bagian berikutnya dari khotbah ini dapat dipahami sebagi penerapan konkret dari sebab akibat yang saling bergantungansejauh ini hanya diungkapkan sebagai formula doktrinpada perjalanan kehidupan individu. Paragraf §§26-29 dapat dipahami sebagai untuk menunjukkan faktor-faktor dari kesadaran hingga perasaan yang dihasilkan dari kebodohan dan bentukan-bentukan masa lampau, §40 menunjukkan faktor sebab-akibat dari keinginan dan kemelekatan ketika membangun keberlangsungan lingkaran saṁsāra. Bagian berikutnya (§§31-40), menghubungkan sebab-akibat yang saling bergantungan dengan munculnya Sang Buddha dan ajaran Dhamma, menunjukkan praktik Dhamma sebagai alat untuk mengakhiri lingkaran.

411) MA: gandhabba adalah makhluk yang dimaksudkan di sana. Ini bukan seseorang (yaitu, makhluk tanpa jasmani) yang berdiri di dekat sana melihat calon orang tuanya melakukan hubungan seksual, melainkan makhluk yang didorong oleh mekanisme kamma, yang terlahir kembali pada saat itu.

Arti yang tepat dari kata gandhabba sehubungan dengan proses kelahiran kembali tidak dijelaskan dalam Nikāya, dan kata dalam makna ini hanya muncul di sini dan dalam 93.18. DN 15/ii.63 menjelaskan tentang kesadaran sebagai “masuk ke dalam rahim ibu”, ini menjadi kondisi bagi terjadinya kelahiran kembali. Demikianlah kita dapat mengidentifikasikan gandhabba [ ]di sini sebagai arus kesadaran, yang dianggap secara lebih animistik sebagai datang dari kehidupan sebelumnya dan membawa akumulasi total dan kecenderungan kamma dan ciri pribadi. Pembahasan lengkap atas konsep gandhabba ini terdapat pada Wijesekera, “Vedic Gandharva and Pali Gandhabba”, dalam Buddhist and Vedic Studies, pp.191-202.

412) MA menjelaskan bahwa ia bergembira dalam perasaan menyakitkan dengan melekatinya dengan pikiran “aku” dan “milikku”. Dalam mengonfirmasi pernyataan bahwa kaum duniawi mungkin bergembira dalam perasaan menyakitkan, seseorang berpikir bukan hanya suatu sifat menyenangi siksaan, tetapi juga kecenderungan umum dari orang-orang untuk menempatkan diri mereka dalam situasi menderita untuk memperkuat ego mereka.

413) MA: suatu pikiran yang tanpa batas (appamāṇacetaso) adalah pikiran lokuttara; ini berarti bahwa ia memiliki sang jalan.

414) Pernyataan ini mengungkapkan bahwa rantai sebab-akibat yang saling bergantungan putus pada mata rantai antara perasaan dan keinginan. Perasaan muncul karena jasmani yang diperoleh melalui keinginan masa lampau tunduk pada kematangan kamma lampau. Akan tetapi, jika seseorang tidak bergembira dalam perasaan, maka keinginan tidak akan berkesempatan untuk muncul dan memicu reaksi senang dan tidak senang yang menghasilkan bahan bakar lebih banyak bagi lingkaran, dan dengan demikian lingkaran akan berakhir.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #145 on: 26 February 2011, 07:21:09 PM »
SUTTA 39

415) “Brahmana” harus dipahami dalam makna seperti yang dijelaskan di bawah, §24.

416) Rasa malu (hiri) dan takut akan pelanggaran (ottappa) adalah dua kualitas pelengkap yang oleh Sang Buddha disebut “penjaga dunia” (AN i.51) karena kedua itu berfungsi sebagai landasan moralitas. Rasa malu memiliki karakteristik muak pada kejahatan, dikuasai oleh rasa hormat pada diri sendiri, dan bermanifestasi sebagai kehati-hatian. Takut akan pelanggaran memiliki karakteristik takut pada kejahatan, dikuasai oleh kepedulian pada pendapat orang lain, dan bermanifestasi sebagai ketakutan dalam melakukan kejahatan. Baca Vsm XIV, 142.

417) MA mengutip SN 45:35-36/v.25: “Apakah, Para bhikkhu, pertapaan (sāmañña)? Jalan Mulia Berunsur Delapan ...ini disebut pertapaan. Dan apakah, Para bhikkhu, tujuan pertapaan (sāmaññattho)? Hancurnya keserakahan, kebencian, dan kebodohanini disebut tujuan pertapaan.”

418) MA memberikan penjelasan terperinci atas masing-masing dari lima perumpamaan ini. Suatu terjemahan berbahasa Inggris terdapat dalam Nyanaponika Thera, The Five Mental Hindrances, pp.27-34.

419) Masing-masing penjelasan berikutnya melibatkan permainan kata yang tidak dapat diungkapkan dalam bahasa Inggris, misalnya, seorang bhikkhu adalah seorang petapa (samaṇa) karena ia telah menenangkan (samita) kondisi-kondisi kejahatan, seorang brahmana karena ia telah menyingkirkan (bāhita) kondisi-kondisi kejahatan, dan sebagainya.

420) Kata “mencuci” (nhātaka) merujuk pada seorang brahmana yang, pada akhir pelajarannya di bawah seorang guru, telah melakukan upacara mandi yang menandai akhir latihannya. Baca Sn 521.

421) Kata Pali Sotthiya (Skt, srotiya) berarti seorang brahmana yang ahli dalam Veda, seorang yang menguasai pengetahuan suci.


SUTTA 40

422) Sementara sutta sebelumnya menggunakan frasa “hal-hal yang membuat seseorang menjadi seorang petapa” (dhammā samaṇakaraṇā), [ ]di sini sutta ini mengatakan “jalan selayaknya bagi petapa” (samaṇasamīcipaṭipada).

423) Sepuluh pertama dari dua belas “noda bagi seorang petapa” ini termasuk di antara enam belas “ketidaksempurnaan yang mengotori batin” pada MN 7.3.

424) MA: Karena ia telah menenangkan (samita) segala kekotoran, maka ia adalah seorang petapa dalam makna tertinggi (paramatthasamaṇa).

SUTTA 41

425) Ini adalah pandangan nihilis materialis bermoral yang menyangkal adanya kehidupan setelah kematian dan pembalasan kamma. “Tidak ada yang diberikan” berarti tidak ada buah dari pemberian; “tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain” bahwa tidak ada kelahiran kembali ke dunia ini atau dunia setelahnya; “tidak ada ibu, tidak ada ayah” bahwa tidak ada buah perbuatan baik dan perbuatan buruk pada ibu dan ayah. Pernyataan tentang para petapa dan brahmana menyangkal keberadaan para Buddha dan Arahant.

426) MA menjelaskan bahwa “para dewa dengan Cahaya” bukanlah para dewa dari kelompok tersendiri, melainkan nama kolektif bagi ketiga kelompok berikutnya; hal yang sama berlaku pada “para dewa dengan Keagungan”. Tingkatan surga ini dijelaskan dalam Pendahuluan, pp.46-48.

427) Harus dipahami bahwa sementara “perilaku yang sesuai dengan Dhamma” digambarkan dalam sutta sebagai kondisi yang diperlukan untuk kelahiran kembali di alam surga dan untuk hancurnya noda-noda, namun ini bukan kondisi satu-satunya. Kelahiran kembali di alam yang dimulai dengan para pengikut kelompok Brahmā menuntut pencapaian jhāna, kelahiran kembali di Alam Murni (lima alam yang dimulai dari para dewa Avihā) menuntut pencapaian tingkat kesucian yang-tidak-kembali, kelahiran kembali di alam tanpa-bentuk materi menuntut pencapaian yang bersesuaian dengan tingkat pencapaian tanpa materi, dan hancurnya noda-noda menuntut praktik penuh dari Jalan Mulia Berunsur Delapan hingga jalan Kearahatan.


SUTTA 43

428) YM. Mahā Koṭṭhita dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai siswa terunggul di antara para siswa yang telah mencapai pengetahuan analitis (paṭisambhida).

429) Menurut MA, pemahaman Empat Kebenaran Mulia yang dibahas di sini adalah penembusan jalan lokuttara. Dengan demikian jenis individu terendah yang digambarkan sebagai “seorang yang bijaksana” (paññavā) adalah seorang yang telah mencapai jalan memasuki-arus. Terjemahan paññā sebagai “kebijaksanaan” (yang saya gantikan dari “pemahaman” versi Ñm) memiliki kelemahan karena memutuskan keterkaitan, terbukti dalam Pali, dengan kata kerja pajānāti. Untuk mempertahankan keterkaitan ini, di sini dan dalam paragraf sebelumnya, kata kerja ini diterjemahkan “dengan bijaksana memahami”.

430) Frasa Pali yang mendefinisikan kesadaran hanya menggunakan kata kerja, vijānāti vijānāti, [ ]dan ini juga dapat dipahami sebagai bermakna “Seseorang mengenali, seseorang mengenali”. Walaupun Ñm menerjemahkan frasa ini tanpa kata ganti orang, namun kata ganti orang disisipkan demi kemudahan pemahaman. Terjemahan kata kerja perasaan dan persepsi pada §7 dan §8 juga ditambahkan dengan cara serupa dengan menambahkan kata ganti orang.

431) MA: Pertanyaan sehubungan dengan kesadaran yang dengannya seseorang digambarkan sebagai “seorang yang bijaksana” memeriksa bentukan-bentukan; yaitu, kesadaran pandangan terang yang dengannya orang itu sampai (pada pencapaiannya, pikiran yang melakukan pekerjaan meditasi. YM. Sāriputta menjawab dengan menjelaskan subjek meditasi perasaan, jawabannya akhirnya sampai pada yang terkandung dalam Khotbah tentang Empat Landasan Perhatian (MN 10.32). Konstruksi Pali, sukhan ti pi vijānāti, menunjukkan bahwa perasaan diperlakukan lebih sebagai objek langsung kesadaran daripada pengaruh pengalaman; untuk menunjukkan hal ini, kata “ini” dalam tanda kurung disisipkan dan keseluruhan frasa dalam tanda petik.

432) MA: Pernyataan ini merujuk pada kebijaksanaan dan kesadaran pada peristiwa baik pandangan terang maupun jalan lokuttara. Kedua ini bergabung dalam hal bahwa keduanya muncul dan lenyap secara bersamaan dan saling berbagi landasan dan objek indria tunggal yang sama. Akan tetapi, keduanya bukan tidak terpisahkan karena, sementara kebijaksanaan selalu memerlukan kesadaran, namun kesadaran dapat terjadi tanpa kebijaksanaan.

433) Kebijaksanaan, sebagai faktor jalan pandangan benar, harus dikembangkan sebagai satu faktor sang jalan. Kesadaran, karena termasuk di antara kelima kelompok unsur kehidupan yang berada dalam kebenaran mulia penderitaan, harus dipahami sepenuhnyasebagai tidak kekal, penderitaan, dan bukan-diri.

434) MA mengatakan bahwa pertanyaan dan jawaban ini merujuk pada perasaan lokiya yang merupakan jangkauan objek pandangan terang. Konstruksi Pali di sini, sukham pi vedeti, dan seterusnya, menunjukkan perasaan secara bersamaan sebagai suatu kualitas objek dan sebagai pengalaman yang berpengaruh yang dengannya perasaan itu dipahami. MA menunjukkan bahwa perasaan itu sendiri merasakan; tidak ada perasa lainnya (yang terpisah).
« Last Edit: 26 February 2011, 07:22:49 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #146 on: 26 February 2011, 07:39:00 PM »
435) MA: Pertanyaan dan jawaban ini merujuk pada persepsi lokiya yang merupakan jangkauan objek pandangan terang.

436) MA: Kebijaksanaan tidak termasuk dalam pertukaran ini karena tujuannya adalah menunjukkan hanya kondisi-kondisi yang tergabung dalam setiap peristiwa kesadaran.

437) MA: Kesadaran-pikiran yang dimurnikan (parisuddha manoviññāṇa) adalah kesadaran jhāna ke empat. Kesadaran ini mengetahui pencapaian tanpa-bentuk sejauh seseorang yang mencapai jhāna ke empat mampu menjangkaunya. Landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi tidak termasuk di sini, karena sangat halus, sehingga tidak berada dalam jangkauan perenungan untuk pencapaian pandangan terang.

438) MA: Mata kebijaksanaan (paññācakkhu) adalah kebijaksanaan itu sendiri, disebut mata dalam makna bahwa mata itu adalah suatu organ penglihatan spiritual.

439) Untuk perbedaan antara pengetahuan langsung (abhiññā) dan pemahaman penuh (pariññā), baca n.23.

440) MA: “Kata-kata orang lain” (purato ghosa) adalah ajaran Dhamma yang bermanfaat. Kedua kondisi ini adalah diperlukan bagi para siswa untuk sampai pada pandangan benar dari pandangan terang dan pandangan benar dari jalan lokuttara. Tetapi para Pacceka Buddha dan para Buddha yang tercerahkan sempurna dan mahatahu hanya bergantung pada perhatian bijaksana tanpa “kata-kata orang lain”.

441) MA: Pandangan benar di sini adalah pandangan benar yang berhubungan dengan jalan Kearahatan. “Kebebasan pikiran” dan kebebasan melalui kebijaksanaan” keduanya merujuk pada buah Kearahatan[’], baca n.83. Ketika seseorang memenuhi lima faktor ini, maka jalan Kearahatan muncul dan menghasilkan buah.

442) “Penjelmaan baru di masa depan” (āyatiṁ punabbhavābhinibbatti) adalah kelahiran kembali, kelanjutan dalam lingkaran. Pertanyaan ini dan yang berikutnya dapat dianggap sebagai ringkasan yang mendekati keseluruhan dua belas formula sebab-akibat yang saling bergantungan yang dibabarkan pada MN 38.17 dan 20.

443) Kelima organ indria luar masing-masing memiliki objeknya masing-masingbentuk-bentuk untuk mata, suara-suara untuk telinga, dan seterusnyatetapi organ pikiran mampu menembus objek-objek dari kelima organ indria serta objek-objek pikiran yang khusus untuk organ pikiran. Karenanya, kelima organ indria lainnya memiliki pikiran sebagai penentunya.

444) MA mengidentifikasikan vitalitas (āyu) sebagai indria kehidupan (jivitindriya), yang berfungsi memelihara dan menghidupkan fenomena materi lainnya dari jasmani hidup.

445) Panas (usmā) adalah panas yang dihasilkan oleh kamma yang terdapat dalam jasmani hidup.

446) “Bentukan-bentukan vital” (āyusankhāra), menurut MA, menunjukkan vitalitas itu sendiri. Bentukan-bentukan vital bukan kondisi-kondisi perasaan karena diperlukan untuk mempertahankan jasmani seorang bhikkhu agar tetap hidup ketika ia mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan. Pencapaian meditatif khusus ini, yang mana semua aktivitas batin berhenti, hanya dapat dilakukan oleh para yang-tidak-kembali dan para Arahant yang telah menguasai delapan pencapaian pada bidang ketenangan. Untuk pembahasan singkat baca Pendahuluan, p.41, dan untuk pembahasan lengkap, baca Vsm XXIII, 16-52. Lenyapnya persepsi dan perasaan akan diangkat lagi dalam MN 44.

447) Yaitu, mati. Perginya kesadaran dari jasmani tidak cukup untuk menjadi mati; vitalitas dan panas vital juga harus musnah.

448) Bentukan-bentukan jasmani adalah napas masuk dan napas keluar, bentukan-bentukan ucapan adalah awal pikiran dan kelangsungan pikiran, bentukan-bentukan pikiran adalah persepsi dan perasaanbaca MN 44.14-15. MA mengatakan bahwa indria-indria sepanjang perjalanan kehidupan normal, karena berhubungan dengan objek-objek indria, menjadi menderita dan kotor bagaikan sebuah cermin yang diletakkan di persimpangan jalan; tetapi indria-indria dari seseorang yang berada dalam lenyapnya menjadi sangat jernih bagaikan cermin yang diletakkan dalam kotak dan disimpan dalam peti.

449) MA: “Kebebasan pikiran tanpa gambaran” (animittā cetovimutti) adalah pencapaian buah; “gambaran” adalah objek-objek seperti bentuk-bentuk dan seterusnya; “unsur tanpa gambaran” adalah Nibbāna, yang mana semua gambaran dari segala sesuatu yang terkondisi tidak ada.

450) MA mengidentifikasikan suññatā cetovimutti ini sebagai pandangan terang ke dalam kekosongan akan diri dalam orang-orang dan benda-benda.

451) Seperti di atas, kebebasan pikiran tanpa gambaran diidentifikasikan oleh MA sebagai pencapaian buah. Dari empat kebebasan pikiran yang disebutkan dalam §30, hanya satu ini yang lokuttara. Tiga pertamabrahmavihāra, tiga pencapaian tanpa bentuk, dan pandangan terang ke dalam kekosongan bentukan-bentukansemuanya adalah pada tingkat lokiya.

452) Nafsu, kebencian, dan kebodohan dapat dipahami sebagai “pembuat penilaian” (pamāṇakaraṇa) dalam hal bahwa ketiga itu memberikan batasan pada jangkauan dan kedalaman pikiran; akan tetapi, MA menjelaskan frasa ini bermakna bahwa kekotoran memungkinkan seseorang menilai seseorang sebagai kaum duniawi, seorang pemasuk-arus, seorang yang-kembali-sekali, atau seorang yang-tidak-kembali.

453) MA: Terdapat dua belas kebebasan pikiran yang tanpa batas: empat brahmavihāra, [ ]empat jalan, dan empat buah. Kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan adalah buah Kearahatan. Pernyataan bahwa kebebasan yang tidak tergoyahkan ini hampa dari nafsu, kebencian, dan kebodohanyang juga diulangi di akhir §36 dan §37juga mengidentifikasikannya sebagai kebebasan pikiran lokuttara melalui kehampaan.

454) Kata kiñcana dijelaskan oleh MA sebagai bermakna “kesukaran” atau “rintangan”. Ñm menerjemahkannya sebagai “kepemilikan”. Saya kembali pada makna asalnya “sesuatu hal” untuk mempertahankan hubungan dengan pernyataan yang pelepasannya berakhir pada kebebasan pikiran melalui kehampaan.

455) MA: Ada sembilan kebebasan pikiran melalui kekosongan: landasan kekosongan dan empat jalan dan buah.

456) MA menginterpretasikan frasa “pembuat gambaran” (nimittakaraṇa) sebagai bermakna bahwa nafsu, kebencian, dan kebodohan menandai seseorang sebagai seorang duniawi atau seorang mulia, sebagai penuh nafsu, kebencian, atau kebodohan. Tetapi juga dapat bermakna bahwa kekotoran-kekotoran ini menyebabkan pikiran menganggap makna palsu pada segala sesuatu sebagai kekal, menyenangkan, diri, atau indah.

457) MA: Ada tiga belas kebebasan pikiran tanpa gambaran: pandangan terang, karena melenyapkan gambaran kekekalan, menyenangkan, dan diri; empat pencapaian tanpa materi, karena tidak memiliki gambaran bentuk materi; dan empat jalan dan buah, karena tidak adanya gambaran kekotoran.

458) Semua empat kebebasan pikiran adalah bermakna sama dalam hal bahwa semuanya merujuk pada buah pencapaian Kearahatan. MA juga menunjukkan bahwa empat kebebasan ini adalah bermakna sama karena kata-katayang tanpa batas, kekosongan, kehampaan, dan tanpa gambaransemuanya adalah sebutan bagi Nibbāna, yang merupakan objek dari buah pencapaian Kearahatan.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #147 on: 26 February 2011, 07:54:02 PM »
SUTTA 44

459) Visakha adalah seorang pedagang kaya dari Rājagaha dan seorang yang-tidak-kembali. Dhammadinnā, mantan istrinya dalam kehidupan awam, telah mencapai Kearahatan segera setelah penahbisannya sebagai seorang bhikkhunī. Ia dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai bhikkhunī terunggul dalam hal membabarkan Dhamma.

460) MA menjelaskan kata majemuk panc’ upādānakkhandhā [ ]sebagai kelima kelompok unsur kehidupan yang menjadi kondisi bagi kemelekatan (MṬ: sebagai objeknya). Karena kelima kelompok unsur kehidupan ini, singkatnya, adalah keseluruhan kebenaran mulia penderitaan (MN 9.15; 28.3), terlihat bahwa empat pertanyaan pertama mengajukan penyelidikan ke dalam Empat Kebenaran Mulia yang diungkapkan dalam kata identitas pribadi, bukan penderitaan.

461) MA: Karena kemelekatan adalah hanya satu bagian dari kelompok bentukan-bentukan (seperti didefinisikan di sini, keserakahan), maka ini tidak sama dengan kelima kelompok unsur kehidupan; dan karena kemelekatan tidak dapat terpisahkan sama sekali dari kelompok-kelompok unsur kehidupan, maka tidak ada kemelekatan yang terpisah dari kelompok-kelompok unsur kehidupan.

462) Ini adalah dua puluh jenis pandangan identitas. MA mengutip Pṭs i.144-45 untuk mengilustrasikan empat modus dasar pandangan identitas sehubungan dengan bentuk materi. Seseorang mungkin menganggap bentuk materi sebagai diri[.], dengan cara yang sama api dari lampu minyak yang menyala adalah identik dengan warna (api tersebut). Atau seseorang mungkin menganggap diri sebagai memiliki bentuk materi, seperti pohon memiliki bayangan; atau seseorang mungkin menganggap bentuk materi sebagai di dalam diri, bagaikan aroma terdapat dalam bunga; atau seseorang mungkin menganggap diri sebagai di dalam bentuk materi, bagaikan permata di dalam kotaknya.

463) Kata khandha di sini memiliki makna berbeda dari konteks yang lebih umum dari kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan. Kata itu di sini merujuk pada batang tubuh prinsip latihan, ketiga kelompok Jalan Mulia Berunsur Delapan dalam moralitas (sīla), konsentrasi (samādhi), [ ]dan kebijaksanaan (paññā).

464) Empat landasan perhatian adalah landasan konsentrasi (samādhinimitta) dalam makna kondisinya (MA). Di sini sepertinya tidak tepat menerjemahkan nimitta sebagai “gambaran”, dalam makna tanda-tanda yang jelas terlihat atau objek. Empat jenis usaha benar dijelaskan pada MN 77.16.

465) MA: Dhammadinnā mengantisipasi niat Vishākha untuk menanyakan tentang bentukan-bentukan yang lenyap ketika seseorang masuk ke dalam pencapaian lenyapnya. Dengan demikian ia menjelaskan ketiga bentukan dengan cara ini bukan sebagai kehendak jasmani, ucapan, dan pikiran yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, makna yang relevan dalam konteks sebab-akibat yang saling bergantungan.

466) MA menjelaskan lebih jauh bahwa bentukan jasmani dan bentukan pikiran dikatakan sebagai bentukan-bentukan “yang terikat” dengan jasmani dan pikiran dalam makna bahwa kedua bentukan itu dibentuk oleh jasmani dan oleh pikiran, sedangkan bentukan ucapan adalah bentukan dalam makna bahwa bentukan itu membentuk ucapan. Bentuk kata kerja vitakketvā vicāretvā telah diterjemahkan dengan cara yang mempertahankan konsistensi dengan terjemahan kata benda vitakka dan vicāra sebagai “awal pikiran” dan “kelangsungan pikiran”.

467) Lenyapnya dapat dicapai hanya oleh seorang yang-tidak-kembali atau seorang Arahant yang menguasai delapan pencapaian jhāna. Meditator memasuki tiap-tiap pencapaian berturut-turut, keluar dari sana, dan merenungkannya dengan pandangan terang sebagai tidak kekal, penderitaan, dan bukan-diri. Setelah menyelesaikan prosedur ini melalui landasan kekosongan, ia melakukan tugas-tugas persiapan tertentu, dan kemudian bertekad untuk tanpa pikiran selama jangka waktu tertentu. Kemudian ia secara cepat memasuki landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, setelahnya pikiran dan fungsi-fungsi pikiran lenyap sama sekali. Demikianlah tekadnya, didukung oleh pencapaian dan persiapan sebelumnya, menuntunnya menuju pencapaian lenyapnya. Baca Vsm XXIII, 32-43.

468) Awal pikiran dan kelangsungan pikiran lenyap pertama kali dalam jhāna ke dua; napas masuk dan napas keluar lenyap berikutnya dalam jhāna ke empat; dan persepsi dan perasaan lenyap dalam pencapaian terakhir, yaitu pencapaian lenyapnya itu sendiri.

469) Ketika waktu yang ditentukan oleh tekad untuk pencapaian itu telah berlalu, berdasarkan pada tekad sebelumnya itu sang meditator secara spontan keluar dari pencapaian lenyapnya itu dan proses-pikiran berlanjut.

470) MA: Ketika seseorang keluar dari lenyapnya, kesadaran buah pencapaian muncul pertama kali, dan persepsi dan perasaan yang berhubungan dengan itu adalah bentukan pikiran yang muncul pertama kali. Kemudian, dengan secara berurutan turun ke dalam rangkaian kehidupan, bentukan jasmani, yaitu pernapasan, dimulai kembali. Dan selanjutnya, ketika meditator melanjutkan aktivitas normalnya, bentukan ucapan muncul.

471) Kondisi kesadaran pertama yang muncul ketika keluar dari lenyapnya adalah kesadaran buah pencapaian, yang disebut kehampaan, tanpa gambaran, dan tanpa keinginan karena kualitas mendasarnya dan karena objeknya, Nibbāna. Di sini, ketiga sebutan bagi buah ini adalah sebutan bagi kontak yang berhubungan dengan buah.

472) MṬ: Nibbāna, objek kesadaran buah yang muncul ketika keluar dari lenyapnya, disebut keterasingan (viveka) karena terasing dari segala hal-hal yang terkondisi.

473) MṬ: ketiga kekotoran ini disebut anusaya, kecenderungan tersembunyi, dalam makna bahwa kekotoran-kekotoran ini belum ditinggalkan dalam rangkaian kehidupan dari mana kekotoran itu berasal dan karena kekotoran-kekotoran itu dapat muncul ketika suatu sebab yang sesuai muncul.

474) MA menjelaskan bahwa bhikkhu itu menekan kecenderungan pada nafsu dan mencapai jhāna pertama. Setelah dengan baik menekan kecenderungan pada nafsu dengan jhāna, ia mengembangkan pandangan terang dan melenyapkan kecenderungan pada nafsu dengan jalan yang-tidak-kembali. Tetapi karena telah ditekan oleh jhāna, maka dikatakan “kecenderungan tersembunyi pada nafsu tidak mendasari itu”.

475) MA mengidentifikasikan “landasan itu” (tadāyatana) serta “kebebasan tertinggi”, sebagai Kearahatan. Kesedihan yang muncul karena kerinduan itu di tempat lain disebut “kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian” (MN 137.13). MA menjelaskan bahwa seseorang tidak benar-benar meninggalkan kecenderungan pada kebencian dengan kesedihan itu; sebaliknya, terdorong oleh kerinduan akan kebebasan tertinggi itu, ia menjalankan praktik dengan tekad teguh dan melenyapkan kecenderungan pada kebencian dengan mencapai jalan yang-tidak-kembali.

476) MA: Bhikkhu itu menekan kecenderungan pada kebodohan dengan jhāna ke empat, menekannya dengan baik, dan kemudian melenyapkan kecenderungan pada kebodohan dengan mencapai jalan Kearahatan.

477) Kata “pasangan” (paṭibhāga) digunakan untuk mengungkapkan hubungan baik hubungan perlawanan maupun hubungan yang menguatkan.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #148 on: 26 February 2011, 08:04:22 PM »
478) Kebodohan adalah pasangannya karena perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-bukan-menyenangkan adalah halus dan sulit dikenali.

479) MṬ: Nibbāna juga memiliki pasangan yang berlawanan, yaitu, kondisi-kondisi yang terkondisi. Tetapi dalam makna sesungguhnya, Nibbāna tidak memiliki pasangan yang menguatkan, karena bagaimana mungkin ada yang dapat memperkuat Nibbāna, yang tidak terkondisi?

480) MA: Dengan mengatakan ini, Sang Buddha menjadikan sutta ini sebagai Kata Sang penakluk, mensahkannya dengan stempel Penakluk.


SUTTA 46

481) Analisa lengkap terhadap hal-hal yang seharusnya diikuti dan seharusnya tidak diikuti disajikan dalam MN 114.


SUTTA 47

482) Parassa cetopariyāyaṁ ajānantena, kata terakhir lebih mengikuti BBS dan SBJ daripada PTS sebagai ājānantena, yang memberikan makna positif “mengetahui”. Dalam konteks ini jelas dibutuhkan makna negatif, karena bhikkhu yang tidak mengetahui pikiran Sang Buddha melalui pengenalan langsung bahwa Beliau tercerahkan sempurna harus sampai pada kesimpulan ini melalui kesimpulan yang ditarik dari perilaku jasmani dan ucapan dan bukti-bukti lainnya yang dijelaskan oleh sutta.

483) Perbuatan-perbuatan jasmani adalah “kondisi-kondisi yang dikenali melalui mata”. Kata-kata adalah “kondisi-kondisi yang dikenali melalui telinga”. MA: Seperti halnya seseorang menyimpulkan adanya ikan dari riakan dan gelembung air, demikian pula dari perbuatan atau ucapan kotor seseorang menyimpulkan bahwa pikiran yang berasal dari orang itu juga kotor.

484) MṬ: “Kondisi-kondisi campuran” (vittimisā dhammā) merujuk pada perilaku seseorang yang menjalani pemurnian perilaku tetapi tidak mampu mempertahankannya secara konsisten. Kadang-kadang perilakunya murni atau cerah, kadang-kadang tidak murni atau gelap.

485) MA: Bahayanya adalah keangkuhan, kesombongan, dan sebagainya. Bagi beberapa bhikkhu, selama mereka belum menjadi terkenal atau memiliki pengikut, maka bahaya ini tidak ada, dan mereka sangat tenang; tetapi ketika mereka telah menjadi terkenal dan memiliki pengikut, mereka bepergian dengan berperilaku tidak selayaknya, menyerang para bhikkhu lain bagaikan seekor macan menerkam sekumpulan rusa.

486) MA: Lawan dari mereka yang mengajar suatu kelompokmereka yang berdiam terlepas dari suatu kelompokwalaupun tidak disebutkan, harus dipahami juga.

487) MA: Paragraf ini menunjukkan sifat Sang Buddha yang tidak-membeda-bedakan (tādibhāva) terhadap makhluk-makhluk: Beliau tidak memuji seseorang dan menghina orang lain.

488) No ca tena tammayo. MA mengemas: “Aku tidak mengidentifikasikan sebagai moralitas murni tersebut, Aku adalah tanpa keinginan terhadap itu.”

489) So tasmiṁ dhamme abhiññāya idh’ ekaccaṁ dhammaṁ dhammesu niṭṭhaṁ gacchati. Untuk menyampaikan makna yang dimaksudkan, saya menerjemahkan kata dhamma yang ke dua di sini sebagai “ajaran”, yaitu, doktrin tertentu yang diajarkan kepadanya, bentuk jamak dhammesu sebagai “ajaran-ajaran”, dan tasmiṁ dhamme sabagai “Dhamma itu”, dalam makna keseluruhan ajaran. MA dan MṬ sama-sama menjelaskan maknanya sebagai berikut: Ketika Dhamma telah diajarkan oleh Sang Guru, dengan secara langsung mengetahui Dhamma melalui penembusan sang jalan, buah, dan Nibbāna, bhikkhu itu sampai pada kesimpulan tentang ajaran awal dari Dhamma tentang bantuan-bantuan menuju pencerahan (bodhipakkhiyā dhammā).

490) Ākāravati saddhā dassanamūlikā daḷhā. Frasa ini merujuk pada keyakinan seorang pemasuk-arus yang telah melihat Dhamma melalui jalan lokuttara dan tidak akan pernah berpaling pada guru lain selain Sang Buddha.


SUTTA 48

491) Latar belakang sutta ini adalah pertengkaran di Kosambi, yang diceritakan dalam Vin Mv Kh 10 (Vin i.337 ff.) dan dalam Ñāṇamoli, The Life of the Buddha, pp.109-19. Pertengkaran ini, yang dimulai dengan kesalahpahaman biasa pada aturan-aturan disiplin minor dengan cepat berkembang dan membagi Sangha dan umat awam penduduk Kosambi dalam dua kelompok yang saling bermusuhan.

492) Cha dhammā sārāṇiyā. Ñm menerjemahkan ungkapan ini “enam kualitas yang harus diingat”, yang diadopsi dalam edisi pertama. Dalam buku ini ia mengikuti komentar, yang mengemas frasa itu, “layak diingat; jangan dilupakan bahkan dengan berlalunya waktu” (saritabbayuttā addhāne atikkante pi na pamusitabbā). Akan tetapi, turunan yang benar, seperti catatan PED, adalah dari Skt saṁrañjaniya, “menyebabkan kegembiraan”.

493) MA: Ini adalah pandangan benar yang menjadi milik jalan mulia.

494) Empat Kebenaran Mulia.

495) Dhammatā.

496) Ini adalah pelanggaran aturan disiplin monastik yang dari sana seorang bhikkhu dapat direhabilitasi melalui sidang resmi Sangha atau dengan pengakuan kepada bhikkhu lain. Walaupun seorang siswa mulia mungkin melakukan pelanggaran demikian secara tidak sengaja atau karena tidak tahu, namun ia tidak berusaha untuk menyembunyikannya namun segera mengungkapkannya dan mencari cara untuk mendapatkan rehabilitasi.

497) Baca n.91.

498) MA menyebut ketujuh faktor itu “pengetahuan peninjauan besar” (mahāpaccavekkhaṇañāṇa) dari seorang pemasuk-arus. Mengenai pengetahuan peninjauan ini, baca Vsm XXII, 19-21.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #149 on: 26 February 2011, 08:24:44 PM »
SUTTA 49

499) Mūlapariyāya Sutta (MN 1) juga dibabarkan oleh Sang Buddha sewaktu Beliau sedang menetap di Hutan Subhaga di Ukkaṭṭhā, dan kemiripan dalam formula dan tema antara kedua sutta inimungkin hanya dua yang tercatat sebagai berasal dari Ukkaṭṭhāsangat menonjol. Bahkan mungkin untuk melihat sutta yang sekarang ini sebagai representasi dramatis dari gagasan yang sama seperti yang disampaikan oleh Mūlapariyāya dalam kata-kata ringkas dan filosofis. Demikianlah Brahmā Baka dapat dianggap sebagai mewakili penjelmaan (bhava) atau personalitas (sakkāya) dalam bentuk yang paling menonjol, yang secara membuta terlibat dalam aktivitas menganggap (maññanā), memelihara dirinya dengan kebodohan akan kekekalan, kesenangan, dan ke-diri-an. Penjelmaan yang mendasari adalah keinginan, dilambangkan oleh Māratampak kurang menonjol dalam kumpulan itu, namun merupakan pencipta sebenarnya dari curahan penganggapan, seorang yang mencengkeram keseluruhan alam semesta dalam genggamannya. Persekutuan Brahmā dan Māra, Tuhan dan Setan, persekutuan yang tidak masuk akal dari perspektif Theisme Barat, menunjukkan kehausan pada kelanjutan penjelmaan sebagai akar tersembunyi dari segala penegasan dunia, apakah theistik ataupun nontheistik. Dalam sutta ini, kontes teoritis sepintas antara Baka dan Sang Buddha segera memberikan jalan pada konfrontasi lebih dalam antara Māra dan Sang BuddhaMāra sebagai keinginan yang menuntut penegasan penjelmaan, Yang Tercerahkan menunjukkan lenyapnya penjelmaan melalui tercabutnya kenikmatan.

500) Pertemuan serupa antara Sang Buddha dan Baka tercatat dalam SN 6:4/i.142-44, walaupun tanpa hiasan pertemuan ini dan dengan saling berbalas-balasan dalam syair. Menurut MA dan MṬ, ia menganut pandangan eternalis ini sehubungan dengan individu personalnya dan dunia di mana ia berada. Penyangkalannya atas “jalan membebaskan diri di luar” adalah penolakan atas alam jhāna yang lebih tinggi, sang jalan dan buah, dan Nibbāna, yang tidak ada satu pun ia ketahui ada.

501) MA: Ketika Māra mengetahui bahwa Sang Buddha telah datang ke alam-Brahmā, ia menjadi cemas bahwa para Brahmā dapat dikuasai oleh Dhamma dan membebaskan diri dari kekuasaannya; demikianlah ia mendesak Sang Buddha untuk tidak mengajarkan Dhamma.

502) MA: Karena mereka menganggapnya sebagai tidak kekal, penderitaan, dan bukan-diri.

503) MA: Dalam empat kondisi sengsara. Di sini, dan pada §10 dan §29, kata “jasmani” (kāya) digunakan dalam makna alam kehidupan.

504) MA: Mereka memujinya sebagai kekal, bertahan lama, abadi, dan seterusnya, dan bergembira di dalamnya melalui keinginan dan pandangan.

505) MA: di alam Brahmā.

506) MA: Māra berniat untuk menunjukkan: “Jika engkau melakukan sesuai apa yang dikatakan oleh Brahmā tanpa melampaui kata-katanya, engkau juga akan bersinar dengan kemegahan dan keagungan yang sama seperti kelompok Brahmā ini.”

507) MA mengatakan bahwa dengan kedua kata pertama, ia mencoba untuk membujuk Sang Buddha, dengan kedua kata berikutnya, ia mengancam Beliau. “Menggenggam tanah” adalah melekatinya melalui keinginan, keangkuhan, dan pandangan. Daftar kategori di sini, walaupun singkat namun mengingatkan pada MN 1.

508) MA: Brahmā Baka adalah Brahmā yang menguasai lebih dari seribu sistem-dunia, tetapi di atasnya terdapat para Brahmā yang menguasai lebih dari dua, tiga, empat, lima, sepuluh ribu dan seratus ribu sistem-dunia.

509) Jasmani dengan Cahaya Gemerlap adalah alam kelahiran kembali yang berhubungan dengan jhāna ke dua, sedangkan alam Brahmā Baka hanya berhubungan dengan jhāna pertama. Jasmani dengan Keagungan Gemilang dan jasmani dengan Buah Besar dalam paragraf berikutnya berhubungan dengan jhāna ke tiga dan ke empat.

510) Dalam Brahmajāla Sutta (DN 1.2.2-6/ii.17-19), Sang Buddha menunjukkan bagaimana Mahā Brahmā memunculkan kebodohan bahwa ia adalah Tuhan maha pencipta. Ketika dunia mulai terbentuk setelah suatu periode penghancuran, sesosok makhluk dengan jasa besar pertama kali terlahir kembali di alam Brahmā yang baru terbentuk. Selanjutnya, makhluk-makhluk lain menyusul terlahir kembali di alam Brahmā dan hal ini menyebabkan Mahā Brahmā beranggapan bahwa ia adalah pencipta dan pemimpin mereka. Baca Bodhi, The Discourse on the All-Embracing Net of Views, pp.69-70, 159-166.

511) Paragraf ini, paralel secara struktur dengan paragraf yang bersesuaian dari MN 1, adalah paragraf yang sulit. Kata kerja negatif berbeda di antara ketiga edisi yang saya pelajari. PTS menuliskan nāhosi, BBS nāpahosiṁ, SBJ nāhosiṁ. Ñm lebih menyukai nāpahosiṁ, yang mana ia menganggapnya sebagai bentuk aorist dari pabbhavati, yang berarti “menghasilkan, menjadikan”. Akan tetapi, adalah lebih mungkin, bahwa nāpahosiṁ harus dipecah hanya sebagai na + api + ahosiṁ. Dengan demikian maknanya tidak jauh berbeda antara BBS dan SBJ. MA mengemas: “Aku tidak menggenggam tanah melalui gangguan keinginan, keangkuhan, dan pandangan”. Ñm menerjemahkan ananubhūtaṁ sebagai “tidak serupa dengan”. Ini telah digantikan dengan “tidak menjadi bagian dari”, mengikuti kemasan MA, “tidak terjangkau oleh tanah” dan MṬ: “sifatnya tidak sama dengan tanah”. MA mengatakan bahwa apa yang “tidak menjadi bagian dari tanah” adalah Nibbāna, yang terlepas dari segala yang terkondisi.

512) PTS pasti keliru dalam menghilangkan ti [ ]di sini yang menutup kutipan langsung; ini menyesatkan Horner dalam memperkirakan bahwa paragraf berikutnya adalah dari Baka dan bukan dari Sang Buddha (MLS 1:392). BBS dan SBJ mencantumkan ti. Baka sepertinya menyiratkan bahwa karena objek pengetahuan Sang Buddha “tidak menjadi bagian dari sifat keseluruhan”, maka itu hanyalah sekadar konsepsi kosong.

513) Dalam edisi pertama, saya mempertahankan terjemahan Ñm pada kalimat-kalimat ini, yang tertulis:

   Kesadaran yang tidak terwujud,
   Juga tidak berhubungan dengan keterbatasan,
   Tidak mengaku makhluk sehubungan dengan keseluruhan.

Setelah merenungkan kembali, saya menganggap bahwa terjemahan ini jauh dari memuaskan dan dengan demikian di sini saya memberikan terjemahan saya. Kalimat-kalimat ini (yang juga muncul sebagai bagian dari syair lengkap dalam DN 11.85/i.223) telah menjadi tantangan selama bertahun-tahun bagi para terpelajar Buddhis, dan bahkan Acariya Buddhaghosa sepertinya terjebak di dalamnya. MA menganggap subjek kalimat ini adalah Nibbāna, yang disebut “kesadaran” (viññāṇaṁ) dalam makna bahwa “itu dapat dikenali” (vijānitabbaṁ). Turunan ini hampir tidak dapat diterima, karena tidak ada di mana pun dalam Nikāya terdapat Nibbāna digambarkan sebagai kesadaran, juga tidak mungkin menurunkan suatu kata benda aktif dari kata kerja yang dibentuk dari kata benda. MA menjelaskan anidassanaṁ sebagai berarti tidak terlihat, “karena itu (Nibbāna) tidak muncul dalam jangkauan kesadaran-mata”, tetapi sekali lagi ini adalah suatu penjelasan hambar. Kata anidassana muncul pada MN 21.14 dalam penggambaran ruang kosong sebagai suatu media yang tidak tepat untuk menggambar; demikianlah gagasan ini sepertinya adalah sesuatu yang tidak berwujud.

MA memberikan tiga penjelasan atas sabbato pabhaṁ: (1) sepenuhnya memiliki kecerahan (pabbā); (2) memiliki penjelmaan (panbhūtaṁ) di mana-mana; dan (3) suatu penyeberangan (pabhaṁ) yang dapat dijangkau dari segala arah, yaitu, melalui satu dari tiga puluh delapan objek meditasi. Hanya yang pertama dari ketiga ini yang sepertinya memiliki kecocokan linguistik. Ñm, dalam Ms, menjelaskan bahwa ia menganggap pabhaṁ sebagai kata kerja negatif dari pabhavati - apabhaṁ - awalan negatif meluruh dalam gabungan dengan sabbato: “Makna ini dapat dituliskan secara bebas dengan ‘tidak menyebutkan penjelmaan sehubungan dengan “keseluruhan”’, atau ‘tidak menganggap “keseluruhan” bahwa itu ada atau tidak tidak ada dalam makna absolut’.” Tetapi jika kita menganggap pabhaṁ sebagai “bercahaya”, yang sepertinya lebih dapat dibenarkan, maka syair ini berhubungan dengan gagasan pikiran sebagai yang pada hakikatnya terang (pabhassaram idaṁ cittaṁ, AN i.10) dan juga menyiratkan cahaya kebijaksanaan (paññāpabhā), yang disebut cahaya terbaik (AN ii.139). Saya memahami kesadaran ini adalah, bukan Nibbāna itu sendiri, tetapi kesadaran Arahant selama pengalaman meditatif Nibbāna. Sehubungan dengan hal ini, baca AN v.7-10,318-26, perhatikan bahwa pengalaman meditatif ini tidak mewujudkan fenomena terkondisi apa pun dari dunia, dan dengan demikian dapat dengan benar digambarkan sebagai “tidak berwujud”.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

 

anything