//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)  (Read 42538 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #120 on: 26 September 2010, 06:52:07 PM »
47  Vīmaṁsaka Sutta
Penyelidik

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang penanya, tidak mengetahui bagaimana mengukur pikiran orang lain, [ ]seharusnya menyelidiki pikiran Sang Tathāgata untuk mengetahui apakah Beliau tercerahkan sempurna atau tidak.”

3. “Yang Mulia, ajaran kami berakar dalam Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, dilindungi oleh Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan makna dari kata-kata ini. Setelah mendengarkan dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, Para bhikkhu, dan perhatikanlah pada [318] apa yang akan Kukatakan.”

“Baik, Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagava berkata sebagai berikut:

4. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang penanya, tidak mengetahui bagaimana mengukur pikiran orang lain, seharusnya menyelidiki pikiran Sang Tathāgata sehubungan dengan dua kondisi, kondisi yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga sebagai berikut: ‘Ada atau tidakkah terdapat pada Sang Tathāgata, kondisi apa pun yang mengotori yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’ [ ]Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Tidak ada kondisi apa pun yang mengotori yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga yang dapat ditemukan pada Sang Tathāgata.’

5. “Ketika ia mengetahui hal ini, ia menyelidiki Beliau lebih lanjut sebagai berikut: ‘Ada atau tidakkah terdapat pada Sang Tathāgata kondisi gabungan apa pun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’ [ ]Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Tidak ada kondisi gabungan apa pun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga yang dapat ditemukan pada Sang Tathāgata.’

6. “Ketika ia mengetahui hal ini, ia menyelidiki Beliau lebih lanjut sebagai berikut: ‘Ada atau tidakkah terdapat pada Sang Tathāgata kondisi bersih apa pun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’ Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Kondisi bersih yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga [ ]terdapat pada Sang Tathāgata.’

7. “Ketika ia mengetahui hal ini, ia menyelidiki Beliau lebih lanjut sebagai berikut: ‘Apakah Yang Mulia ini telah mencapai kondisi bermanfaat ini sejak waktu yang lama atau apakah ia baru saja mencapainya?’ Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Yang Mulia ini telah mencapai kondisi bermanfaat ini sejak waktu yang lama; ia bukan baru saja mencapainya.’

8. “Ketika ia mengetahui hal ini, ia menyelidiki Beliau lebih lanjut sebagai berikut: ‘Apakah Yang Mulia ini telah memiliki reputasi dan mencapai kemasyhuran, sehingga bahaya [yang berhubungan dengan reputasi dan kemasyhuran] terdapat padanya?’ Karena, Para bhikkhu, selama seorang bhikkhu belum memiliki reputasi dan belum mencapai kemasyhuran, maka bahaya [yang berhubungan dengan reputasi dan kemasyhuran] tidak terdapat padanya; tetapi ketika ia telah memiliki reputasi dan mencapai kemasyhuran, maka bahaya-bahaya itu terdapat padanya. [ ]Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Yang Mulia ini telah memiliki reputasi dan mencapai kemasyhuran, tetapi bahaya [yang berhubungan dengan reputasi dan kemasyhuran] [ ]tidak terdapat padanya.’

9. “Ketika ia mengetahui hal ini, [319] ia menyelidiki Beliau lebih lanjut sebagai berikut: ‘Apakah Yang Mulia ini terkendali tanpa ketakutan, bukan terkendali oleh ketakutan, dan apakah ia menghindari perbuatan yang melibatkan diri dalam kenikmatan indria karena ia adalah tanpa nafsu melalui hancurnya nafsu?’ Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Yang Mulia ini terkendali tanpa ketakutan, bukan terkendali oleh ketakutan, dan ia menghindari perbuatan yang melibatkan diri dalam kenikmatan indria karena ia adalah tanpa nafsu melalui hancurnya nafsu.’

10. “Sekarang, Para bhikkhu, jika orang lain bertanya kepada bhikkhu itu sebagai berikut: ‘Apakah alasan yang mulia dan apakah buktinya sehingga ia mengatakan: “Yang Mulia itu terkendali tanpa ketakutan, bukan terkendali oleh ketakutan, dan ia menghindari perbuatan yang melibatkan diri dalam kenikmatan indria karena ia adalah tanpa nafsu melalui hancurnya nafsu.”?’Jika menjawab dengan benar, bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Apakah Yang Mulia itu bersama dengan Sangha atau sendirian, sementara terdapat beberapa orang yang berperilaku baik dan beberapa orang berperilaku buruk dan beberapa orang mengajarkan kepada suatu kelompok, [ ]sementara beberapa orang di sini mementingkan benda-benda materi dan beberapa orang tidak ternoda oleh benda-benda materi, namun Yang Mulia itu tidak merendahkan siapa pun karena hal tersebut. [ ]Dan aku telah mendengar dan mengetahui hal ini dari mulut Sang Bhagavā: Aku terkendali tanpa ketakutan, bukan terkendali oleh ketakutan, dan Aku menghindari perbuatan yang melibatkan diri dalam kenikmatan indria karena Aku adalah tanpa nafsu melalui hancurnya nafsu.”’

11. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, harus ditanya lebih jauh mengenai hal ini sebagai berikut: ‘Apakah terdapat atau tidak terdapat pada Sang Tathāgata kondisi apa pun yang mengotori yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’ Sang Tathāgata akan menjawab: ‘Tidak ada kondisi apa pun yang mengotori yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga terdapat pada Sang Tathāgata.’

12. “Jika ditanya, ‘Ada atau tidakkah terdapat pada Sang Tathāgata kondisi gabungan apa pun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’S Sang Tathāgata akan menjawab: ‘Tidak ada kondisi gabungan apa pun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga yang dapat ditemukan pada Sang Tathāgata.’

13. “Jika ditanya, ‘Ada atau tidakkah terdapat pada Sang Tathāgata kondisi bersih apa pun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’ Sang Tathāgata akan menjawab: ‘Kondisi bersih yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga [ ]terdapat pada Sang Tathāgata. Itu adalah jalan dan wilayah-Ku, namun Aku tidak mengidentifikasikan dengannya.’

14. “Para bhikkhu, seorang siswa seharusnya mendatangi Sang Guru yang mengajarkan demikian untuk mendengarkan Dhamma. Sang Guru mengajarkan kepadanya Dhamma dengan tingkat yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, dengan tingkat yang lebih luhur dan lebih luhur lagi, dan pasangan-pasangan gelap dan cerahnya. Ketika Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu dengan cara ini, melalui pengetahuan langsung terhadap suatu ajaran tertentu di sini dalam Dhamma itu, [320] bhikkhu itu sampai pada kesimpulan mengenai ajaran. [ ]Ia berkeyakinan pada Sang Guru sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’

15. “Sekarang jika orang lain bertanya kepada bhikkhu itu sebagai berikut: ‘Apakah alasan yang mulia dan apakah buktinya sehingga ia mengatakan: “Sang Bhagavā telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.”?’Jika menjawab dengan benar, bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Di sini, Teman, aku mendatangi Sang Bhagavā untuk mendengarkan Dhamma. Sang Bhagavā mengajarkan kepadaku Dhamma dengan tingkat yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, dengan tingkat yang lebih luhur dan lebih luhur lagi, dan pasangan-pasangan gelap dan cerahnya. Ketika Sang Guru mengajarkan Dhamma kepadaku dengan cara ini, melalui pengetahuan langsung terhadap suatu ajaran tertentu di sini dalam Dhamma itu, aku sampai pada kesimpulan mengenai ajaran. IaAku berkeyakinan pada Sang Guru sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’

16. “Para bhikkhu, ketika keyakinan siapa pun telah ditanam, berakar, dan kukuh dalam Sang Tathāgata melalui alasan-alasan, kata-kata, dan frasa-frasa ini, keyakinannya dikatakan sebagai didukung oleh alasan-alasan, berakar dalam penglihatan, kukuh; [ ]tidak terkalahkan oleh petapa atau brahmana mana pun atau dewa atau Mara atau Brahmā atau siapa pun di dunia ini. Itulah, Para bhikkhu, bagaimana terdapat suatu penyelidikan terhadap Sang Tathāgata sesuai Dhamma, dan itulah bagaimana Sang Bhagavā diselidiki dengan baik sesuai Dhamma.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


yg no. 2 maknanya kontras ya dgn yg SP & awake:
Para bhikkhu, bila seorang bhikkhu menjadi penyelidik (penilai) yang mempunyai pengetahuan tentang (cara menilai) keadaan batin orang lain. Sebaliknya dia melaksanakan penilaian terhadap Sang Tathagata untuk mengetahui apakah Sang Tathagata sudah mencapai Penerangan Sempurna.
Bhikkhus, by a bhikkhu who could read the thought processes of another, an examination of the Thus Gone One should be done

MN 1 selesai ya :)
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #121 on: 28 September 2010, 09:50:49 AM »
51  Kandaraka Sutta
Kepada Kandaraka

[339] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Campā, di tepi Danau Gaggarā bersama sejumlah besar Sangha para bhikkhu. Kemudian Pessa, putera penungangg gajah, dan Kandaraka si pengembara mendatangi Sang Bhagavā. Pessa, setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, duduk di satu sisi, sementara Kandaraka saling bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, dan setelah ramah-tamah ini berakhir, ia berdiri di satu sisi. [ ]Sambil berdiri di sana, ia mengamati Sangha para bhikkhu yang sedang duduk dalam keheningan sepenuhnya, [ ]dan kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā:

1. “Sungguh menakjubkan, Guru Gotama, sungguh mengagumkan bagaimana Sangha para bhikkhu telah diarahkan untuk mempraktikkan jalan yang benar oleh Guru Gotama. Mereka yang terberkahi, sempurna dan tercerahkan sempurna di masa lampau, paling jauh hanya mengarahkan Sangha para bhikkhu untuk mempraktikkan jalan yang benar seperti yang telah dilakukan oleh Guru Gotama sekarang. Dan Mereka yang akan terberkahi, sempurna dan tercerahkan sempurna di masa depan, paling jauh akan hanya mengarahkan Sangha para bhikkhu untuk mempraktikkan jalan yang benar seperti yang telah dilakukan oleh Guru Gotama sekarang.”

3. “Demikianlah, Kandaraka, demikianlah! Mereka yang terberkahi, sempurna dan tercerahkan sempurna di masa lampau, paling jauh hanya mengarahkan Sangha para bhikkhu untuk mempraktikkan jalan yang benar seperti yang telah dilakukan olehKu sekarang. Dan Mereka yang akan terberkahi, sempurna dan tercerahkan sempurna di masa depan, paling jauh akan hanya mengarahkan Sangha para bhikkhu untuk mempraktikkan jalan yang benar seperti yang telah dilakukan oleh-Ku sekarang.

“Karena, Kandaraka, dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang adalah para Arahant dengan noda-noda telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu penjelmaan, dan yang terbebaskan sepenuhnya melalui pengetahuan akhir. Dan dalam Sangha para bhikkhu ini terdapat para bhikkhu yang dalam tingkat latihan yang lebih tinggi dari moralitas yang konstan, menjalani kehidupan dengan moralitas konstan, bijaksana, menjalani kehidupan dengan kebijaksanaan konstan. Mereka berdiam dengan pikiran kokoh dalam empat landasan perhatian. [ ]Apakah empat ini? Di sini, Kandaraka, [340] seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan akan dunia. Ia berdiam dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan akan dunia. Ia berdiam dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan akan dunia. Ia berdiam dengan merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan akan dunia.”

4. Ketika hal ini dikatakan, Pessa, putera penunggang gajah, berkata: “Sungguh menakjubkan, Yang Mulia, Sungguh mengagumkan betapa baiknya empat landasan perhatian telah dibabarkan oleh Sang Bhagavā: untuk pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan ratapan, untuk lenyapnya kesakitan dan kesedihan, untuk pencapaian jalan sejati, untuk penembusan Nibbāna. Karena, Yang Mulia, kami para umat awam berbaju-putih juga dari waktu ke waktu juga berdiam dengan pikiran kami kokoh dalam empat landasan perhatian ini. [ ]Di sini, Yang Mulia, kami berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani … perasaan sebagai perasaan … pikiran sebagai pikiran … objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan akan dunia. Sungguh menakjubkan, Yang Mulia, Sungguh mengagumkan betapa di tengah-tengah kekusutan, kecurangan, dan muslihat manusia, Sang Bhagavā mengetahui kesejahteraan dan bahaya pada makhluk-makhluk. Karena manusia adalah kekusutan sedangkan binatang lebih terbuka. Yang Mulia, aku dapat menunggang seekor gajah yang harus dijinakkan, dan dalam waktu selama yang diperlukan untuk berjalan bolak-balik di Campā, gajah itu akan memperlihatkan segala jenis tipu daya, muslihat, ketidakjujuran, dan kecurangan [yang mampu ia lakukan]. [ ]Tetapi mereka yang disebut budak, kurir, dan pelayan kami berperilaku dalam satu cara melalui jasmaninya, dalam cara lain melalui ucapannya, sementara pikirannya bekerja dalam cara lain lagi. Sungguh menakjubkan, Yang Mulia, Sungguh mengagumkan betapa di tengah-tengah kekusutan, kecurangan, dan muslihat manusia, Sang Bhagavā mengetahui kesejahteraan dan bahaya pada makhluk-makhluk. Karena manusia adalah kekusutan sedangkan binatang lebih terbuka.”

5. “Demikianlah, Pessa, demikianlah! [341] Manusia adalah kekusutan sedangkan binatang lebih terbuka. Pessa, terdapat empat jenis orang di dunia ini.  Apakah empat ini? Di sini jenis orang tertentu menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya. Di sini jenis orang tertentu menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain. Di sini jenis orang tertentu menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain. Di sini jenis orang tertentu tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lain. Karena ia tidak meyiksa dirinya dan makhluk lain, maka ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suci.  Yang manakah dari empat jenis orang ini yang memuaskan pikiranmu, Pessa?”

“Tiga yang pertama tidak memuaskan pikiranku, Yang Mulia, tetapi yang ke empat memuaskan pikiranku.”

6. “Tetapi, Pessa, mengapakah tiga yang pertama tidak memuaskan pikiranmu?”

“Yang Mulia, jenis orang yang menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya, menyiksa dan melukai dirinya, walaupun ia menginginkan kesenangan dan menjauhi kesakitan; itulah sebabnya jenis orang ini tidak memuaskan pikiranku. Dan jenis orang yang menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain, menyiksa dan melukai makhluk lain yang menginginkan kesenangan dan menjauhi kesakitan; itulah sebabnya jenis orang ini tidak memuaskan pikiranku. Dan jenis orang yang menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain, menyiksa dan melukai dirinya dan makhluk lain, yang mana keduanya menginginkan kesenangan dan menjauhi kesakitan; itulah sebabnya jenis orang ini tidak memuaskan pikiranku. [342] Tetapi jenis orang yang tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lain; yang, karena tidak menyiksa dirinya dan orang kain, ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suciia tidak menyiksa dan melukai dirinya maupun makhluk lain, yang mana keduanya menginginkan kesenangan dan menjauhi kesakitan. Itulah sebabnya jenis orang ini memuaskan pikiranku. Dan sekarang, Yang Mulia, kami pergi. Kami sibuk dan banyak urusan yang harus dilakukan.”

“Silahkan Engkau pergi, Pessa.”

Kemudian Pessa, putera seorang penunggang gajah, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi.

7. Segera setelah ia pergi, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, Pesa, putera penunggang gajah, adalah seorang bijaksana, ia memiliki kebijaksanaan luas. Jika ia duduk sedikit lebih lama hingga Aku membabarkan kepadanya secara terperinci tentang ke empat jenis orang ini, ia akan sangat beruntung. Namun ia tetap sudah memperoleh manfaat besar bahkan sebanyak ini.”

“Ini adalah saatnya, Bhagavā, ini adalah waktu, Yang Mulia, bagi Sang Bhagabā untuk membabarkan secara terperinci tentang ke empat jenis orang ini, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka, Para bhikkhu, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

8. “Para bhikkhu, orang-orang jenis apakah yang menyiksa dirinya sendiri dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri? [ ]Di sini seseorang tertentu bepergian dengan telanjang, melanggar kebiasaan, menjilat tangan mereka, tidak datang ketika diminta, tidak berhenti ketika diminta; ia tidak menerima makanan yang diserahkan atau tidak menerima makanan yang secara khusus dipersiapkan atau tidak menerima undangan makan; ia tidak menerima dari kendi, dari mangkuk, melintasi ambang pintu, terhalang tongkat kayu, terhalang alat penumbuk, dari dua orang yang sedang makan bersama, dari perempuan hamil, dari perempuan yang sedang menyusui, dari perempuan yang sedang berbaring bersama laki-laki, dari mana terdapat pengumuman pembagian makanan, dari mana seekor anjing sedang menunggu, dari mana lalat beterbangan; mereka tidak menerima ikan atau daging, mereka tidak meminum minuman keras, anggur, atau minuman fermentasi. Mereka mendatangi satu rumah, satu suap; mereka mendatangi dua rumah, dua suap; … mereka mendatangi tujuh rumah, tujuh suap. Mereka makan satu mangkuk sehari, dua mangkuk sehari … tujuh mangkuk sehari. Mereka makan sekali dalam sehari, [343] sekali dalam [ ]dua hari … sekali dalam tujuh hari, dan seterusnya hingga sekali setiap dua minggu; mereka berdiam dengan menjalani praktik makan pada interval waktu yang telah ditentukan. Ia adalah pemakan sayur-sayuran dan padi-padian atau beras kasar atau kulit kupasan buah atau lumut atau kulit padi atau sekam atau tepung wijen atau rumput atau kotoran sapi. [ ]Ia hidup dari akar-akaran dan buah-buahan di hutan; ia memakan buah-buahan yang jatuh. Ia mengenakan pakaian terbuat dari rami, dari rami dan kain, dari kain pembungkus mayat, dari selimut yang dibuang, dari kulit pohon, dari kulit rusa, dari cabikan kulit rusa, dari kain rumput kusa, dari kain kulit kayu, dari kain serutan kayu, dari kain rambut, dari kain bulu binatang, dari bulu sayap burung hantu. Ia adalah seorang yang mencabut rambut dan janggut, menjalani praktik mencabut rambut dan janggut. Ia adalah seorang yang berdiri terus-menerus, menolak tempat duduk. Ia adalah seorang yang berjongkok terus-menerus, senantiasa mempertahankan posisi jongkok. Ia adalah seorang yang menggunakan alas tidur paku; ia menjadikan alas tidur paku sebagai tempat tidurnya. Ia berdiam dengan menjalani praktik mandi tiga kali sehari termasuk malam hari. Demikianlah, dalam berbagai cara ia berdiam dengan menjalankan praktik menyiksa dan menyakiti tubuhnya. Ini disebut jenis orang yang meyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri.

9. “Orang jenis apakah, Para bhikkhu, yang menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain? Di sini seseorang tertentu adalah seorang penyembelih domba, penyembelih babi, penyembelih unggas, penjebak binatang-binatang liar, pemburu, nelayan, pencuri, algojo, sipir penjara, atau seorang yang menekuni pekerjaan berdarah itu. Ini disebut jenis orang yang menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain.

10. “Orang-orang jenis apakah, Para bhikkhu, yang menyiksa dirinya sendiri dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri dan juga menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain? Di sini beberapa orang yang adalah raja mulia yang sah atau seorang brahmana kaya. [ ]Setelah membangun sebuah kuil pengorbanan baru di sebelah timur kota, dan setelah mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah dari kulit kasar, dan melumuri tubuhnya dengan ghee dan minyak, menggaruk punggungnya dengan tanduk rusa, ia memasuki kuil pengorbanan bersama dengan ratunya dan brahmana pendeta tertinggi. Di sana ia berbaring di atas tanah yang ditebari rumput. [ ]Raja bertahan hidup dengan meminum susu yang berasal dari puting susu pertama seekor sapi yang memiliki anak dengan warna yang sama [344] sedangkan ratu bertahan hidup dengan meminum susu yang berasal dari puting susu ke dua dan brahmana pendeta tertinggi bertahan hidup dengan meminum susu yang berasal dari puting susu ke tiga; susu dari puting susu ke empat dituangkan ke dalam api, dan anak sapi itu hidup dari apa yang tersisa. Ia berkata sebagai berikut: ‘Mari menyembelih sapi-sapi sebagai pengorbanan, mari menyembelih sapi-sapi muda sebagai pengorbanan, mari menyembelih anak-anak sapi sebagai pengorbanan, mari menyembelih domba-domba sebagai pengorbanan, mari menebang banyak pepohonan sebagai tiang pengorbanan, mari memotong banyak rumput sebagai rumput pengorbanan’. Dan kemudian para budak, kurir, dan pelayannya membuat persiapan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, karena didorong oleh ancaman hukuman dan oleh ketakutan. Ini disebut jenis orang menyiksa dirinya sendiri dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri dan juga menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #122 on: 28 September 2010, 09:51:51 AM »
sambungan

11. Orang-orang jenis apakah, Para bhikkhu, yang tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lainseorang yang, karena tidak menyiksa dirinya dan orang lain, ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suci?

12. “Di sini, Para bhikkhu, seorang Tathāgata muncul di dunia ini, sempurna, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan. Beliau menyatakan kepada dunia ini bersama para dewa, Māra, dan Brahmā, generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, raja dan rakyatnya, yang telah Beliau tembus oleh dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar, dan Beliau mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan sempurna.

13.  “Seorang perumah tangga atau putra perumah tangga atau seorang yang terlahir dari beberapa suku lainnya mendengarkan Dhamma itu. Ketika mendengarkan Dhamma itu ia memperoleh keyakinan dalam Sang Tathāgata. Dengan memiliki keyakinan itu, ia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kehidupan rumah tangga ramai dan berdebu; kehidupan lepas dari keduniawian terbuka lebar. Tidaklah mudah, selagi hidup dalam sebuah keluarga, menjalani kehidupan suci yang murni dan sempurna bagaikan kulit kerang yang digosok. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah’. Kemudian pada kesempatan lain, dengan meninggalkan harta yang banyak atau sedikit, [345] meninggalkan sanak saudara yang banyak atau sedikit, ia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.

14. “Setelah meninggalkan keduniawian demikian dan memiliki latihan dan gaya hidup kebhikkhuan, dengan meninggalkan pembunuhan makhluk-makhluk hidup, ia menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup; dengan tongkat kayu dan senjata di singkirkan, berhati-hati, penuh belas kasihan, ia berdiam dengan berbelas kasihan kepada semua makhluk hidup. Dengan meninggalkan perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan, ia menghindari perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan; hanya mengambil apa yang diberikan, mengharapkan hanya apa yang diberikan, dengan tidak mencuri ia berdiam dalam kemurnian. Dengan meninggalkan kehidupan tidak selibat, ia menjalani hidup selibat, hidup terpisah, menghindari praktik vulgar hubungan seksual.

“Dengan meninggalkan ucapan salah, ia menghindari ucapan salah; ia mengatakan kebenaran, terikat pada kebenaran, terpercaya dan dapat diandalkan, seorang yang bukan penipu dunia. Dengan menghindari ucapan jahat, ia menghindari ucapan jahat; ia tidak mengulangi di tempat lain apa yang telah ia dengar di sini dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang itu] dari orang-orang ini, juga tidak mengulangi pada orang-orang ini apa yang telah ia dengar di tempat lain dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang ini] dari orang-orang itu; demikianlah ia menjadi seorang yang merukunkan mereka yang terpecah-belah, seorang penganjur persahabatan, yang menikmati kerukunan, bergembira dalam kerukunan, senang dalam kerukunan, pengucap kata-kata yang menganjurkan kerukunan. Dengan meninggalkan ucapan kasar, ia menghindari ucapan kasar; ia mengucapkan kata-kata yang lembut, menyenangkan di telinga, dan indah, ketika masuk dalam batin, sopan, disukai banyak orang dan menyenangkan banyak orang. Dengan meninggalkan gosip, ia menghindari gosip; ia berbicara pada saat yang tepat, mengatakan apa yang sebenarnya, mengatakan apa yang baik, membicarakan Dhamma dan Disiplin; pada saat yang tepat ia mengucapkan kata-kata yang layak dicatat, yang logis, selayaknya, dan bermanfaat.

“Ia menghindari merusak benih dan tanaman. Ia berlatih makan hanya dalam satu bagian hari, menghindari makan di malam hari dan di luar waktu yang selayaknya. Ia menghindari menari, menyanyi, musik, dan pertunjukan hiburan. Ia menghindari mengenakan kalung bunga, mengharumkan dirinya dengan wewangian, dan menghias dirinya dengan salep. Ia menghindari dipan yang tinggi dan besar. Ia menghindari menerima emas dan perak. Ia menghindari menerima beras mentah. Ia menghindari menerima daging mentah. Ia menghindari menerima perempuan-perempuan dan gadis-gadis. Ia menghindari menerima budak laki-laki dan perempuan. Ia menghindari menerima kambing dan domba. Ia menghindari menerima unggas dan babi. Ia menghindari menerima gajah, sapi, kuda jantan, dan kuda betina. Ia menghindari menerima ladang dan tanah. Ia menghindari menjadi pesuruh dan penyampai pesan. Ia menghindari membeli dan menjual. Ia menghindari timbangan salah, logam salah, dan ukuran salah. [346] Ia menghindari kecurangan, penipuan, penggelapan, dan muslihat. Ia menghindari melukai, membunuh, mengikat, merampok, menjarah, dan kekerasan.

15. “Ia menjadi puas dengan jubah untuk melindungi tubuhnya dan makanan persembahan untuk memelihara perutnya, dan kemanapun ia pergi ia hanya membawa ini bersamanya. Seperti halnya seekor burung, kemanapun ia pergi, ia terbang hanya dengan sayap-sayapnya sebagai beban satu-satunya, demikian pula, bhikkhu itu menjadi puas dengan jubah untuk melindungi tubuhnya dan makanan persembahan untuk memelihara perutnya, dan kemanapun ia pergi ia hanya membawa ini bersamanya. Dengan memiliki kelompok moralitas mulia ini, ia mengalami dalam dirinya suatu kebahagiaan yang tanpa noda.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #123 on: 04 October 2010, 09:01:23 PM »
mengendali => mengenali

33  Mahāgopālaka Sutta
Khotbah Panjang tentang Penggembala Sapi


7. Ketika mengendali objek-pikiran dengan pikiran,

20. Ketika mengendali objek-pikiran dengan pikiran,
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #124 on: 25 February 2011, 11:45:30 PM »
SUTTA 1

1) Untuk penjelasan lebih lengkap atas Sutta yang sulit dan penting ini, baca Bhikkhu Bodhi, Discourse on the Root of Existence. Karya ini berisikan, selain terjemahan sutta, juga sebuah analisa lengkap atas makna filosofis dan banyak kutipan dari literatur komentar yang sangat membantu yang telah ditambahkan di sana-sini. Terjemahan Ñm atas sutta ini dalam Ms sangat bersifat dugaan; dengan demikian, walaupun saya mempertahankan sebagian besar terminologi dari Ñm, namun secara sintaksis saya telah menggantikan dengan terjemahan saya untuk memberikan makna yang sesuai dengan interpretasi tradisional dan hal itu sepertinya dibenarkan oleh versi Pali Text yang asli. Kalimat-kalimat kunci seperti yang diterjemahkan oleh Ñm akan diberikan dalam catatan.

2) MA menjelaskan bahwa Sang Buddha membabarkan sutta ini untuk menaklukkan keangkuhan yang telah muncul pada lima ratus bhikkhu sehubungan dengan penguasaan pengetahuan dan intelektual atas ajaran Buddha. Para bhikkhu ini dulunya adalah para brahmana yang terpelajar dalam hal literatur Veda, dan ucapan-ucapan tersamar dari Sang Buddha mungkin dimaksudkan untuk menantang pandangan brahmanis yang mungkin masih mereka lekati.

3) Sabbadhammamūlapariyāya. MṬ menjelaskan bahwa kata “semua” (sabba) digunakan di sini dalam pengertian terbatas “segala identitas pribadi” (sakkāyasabba), yaitu, sehubungan dengan segala kondisi atau fenomena (dhammā) yang terdapat dalam kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan (baca MN 28.4). Kondisi-kondisi lokuttarajalan, buah, dan Nibbāna tidak termasuk. “Akar segala sesuatu”yaitu, kondisi khusus yang memelihara kelangsungan proses kelahiran berulangMṬ menjelaskan sebagai keinginan, keangkuhan, dan pandangan (yang merupakan sumber yang mendasari “anggapan”), dan ini pada gilirannya didasari oleh kebodohan, disiratkan dalam Sutta dengan frasa “ia belum sepenuhnya memahaminya”.

4) “Orang biasa yang tidak terpelajar” (assutavā puthujjana) adalah kaum duniawi pada umumnya, yang tidak memiliki pembelajaran maupun pencapaian spiritual dalam Dhamma para mulia, dan membiarkan diri mereka dikuasai oleh banyak kekotoran dan pandangan salah. Baca Bodhi, Discourse on the Root of Existence, pp. 40-46.

5) Paṭhaviṁ paṭhavito sañjānāti. Walaupun melihat “tanah sebagai tanah” sepertinya menyiratkan melihat objek sebagaimana adanya, tujuan dari meditasi pandangan terang Buddhis, konteksnya menjelaskan bahwa persepsi orang-orang biasa atas “tanah sebagai tanah” telah memasukkan sedikit penyimpangan atas objek, suatu penyimpangan yang akan ditingkatkan menjadi kesalahpahaman sepenuhnya ketika proses kognitif memasuki tahap “menganggap”. MA menjelaskan bahwa orang biasa menangkap ungkapan konvensional “ini adalah tanah”, dan menerapkannya pada objek, melihatnya melalui suatu “penyimpangan persepsi” (saññāvipallāsa). Istilah “penyimpangan persepsi” adalah ungkapan teknis yang dijelaskan sebagai melihat apa yang tidak-kekal sebagai kekal, apa yang menyakitkan sebagai menyenangkan, apa yang bukan-diri sebagai diri, apa yang menjijikkan sebagai indah (AN 4:49/ii.52). Ñm menuliskan bentuk akhiran ablatif –to dari Pali sebagai menyiratkan turunan dan menerjemahkan frasa itu: “Dari tanah ia mendapatkan kesan tanah”.

6) Kata Pali “menganggap” (maññati), yang berasal dari akar kata man, “berpikir”, sering digunakan dalam sutta-sutta Pali untuk mengartikan pemikiran-pemikiran yang menyimpangpikiran yang berasal dari karakteristik objek dan suatu pemahaman yang diturunkan bukan dari objek itu sendiri, melainkan dari imajinasi subjektif seseorang. Penyimpangan kognitif yang diusulkan oleh menganggap terdiri dari, secara singkat, pemaksaan dari persepktif egosentris ke dalam pengalaman yang telah sedikit menyimpang oleh persepsi spontan. Menurut komentar, aktivitas menganggap diatur oleh tiga kekotoran, yang muncul dalam berbagai cara manifestasinyakeinginan (taṇha), keangkuhan (māna), [ ]dan pandangan (diṭṭhi).
MA menuliskan teks ini sebagai: “Setelah melihat tanah dengan persepsi menyimpang, orang biasa setelah itu menganggapnyamenafsirkan atau menilainyamelalui kecenderungan-kecenderungan berkembangan yang kasar (papañca) dari keinginan, keangkuhan, dan pandangan, yang disebut ‘anggapan’ … Ia memahaminya dalam beragam cara yang bertolak-belakang [dengan kenyataan].”

Empat cara menganggap (maññanā). Sang Buddha menunjukkan bahwa anggapan atas objek apa pun dapat terjadi dalam salah satu dari empat cara, diungkapkan oleh teks sebagai empat pola linguistik: akusatif, lokatif, ablatif, dan pemberian. Makna utama dari pola iniyang juga tersamar dalam Palisepertinya filosofis. Saya menganggap pola itu menunjukkan beragam cara yang mana seorang biasa mencoba memberikan makna positif pada makna keegoan yang ia bayangkan dengan memposisikan, di bawah ambang bayangan, suatu hubungan antara dirinya sebagai subjek kognisi dan fenomena yang dilihat sebagai objek. Menurut empat pola yang diberikan, hubungan ini dapat berupa salah satu dari identifikasi langsung (“ia melihat X”), atau yang mendasari (“ia membayangkan di dalam X”), atau perbedaan atau turunan (“ia membayangkan dari X”), atau hanya sekadar pemberian (“ia menganggap X sebagai ‘milikku’”).

Tetapi hati-hati dalam menginterpretasikan frasa-frasa ini. Pali tidak menyediakan objek langsung bagi cara ke dua dan ke tiga, dan ini menyiratkan bahwa proses penganggapan berlangsung dari tingkat yang lebih dalam dan lebih umum daripada yang terlibat dalam pembentukan pandangan diri secara eksplisit, seperti yang dijelaskan misalnya pada MN 2.8 atau MN 44.7. Dengan demikian, aktivitas penganggapan sepertinya terdiri dari keseluruhan wilayah kognisi yang diwarnai secara subjektif, dari impuls dan pikiran yang mana makna identitas pribadi masih belum lengkap untuk menjelaskan struktur intelektual yang telah dijelaskan secara lengkap.

Akan tetapi Ñm, memahami objek anggapan implisit sebagai persepsi itu sendiri, dan karena itu menerjemahkan: “setelah mempersepsikan tanah dari tanah, ia menganggap [itu sebagai] tanah, ia menganggap [itu sebagai] di dalam tanah, ia menganggap [itu terpisah] dari tanah,” dan seterusnya.

Frasa ke lima, “ia bergembira di dalam X”, secara eksplisit menghubungkan penganggapan dengan keinginan, yang mana di tempat lain dikatakan “bergembira di sana-sini”. Hal ini, lebih jauh lagi, menyiratkan bahaya dalam proses pemikiran kaum duniawi, karena keinginan dikatakan oleh Sang Buddha sebagai asal-mula penderitaan.

MA memberikan banyak contoh yang mengilustrasikan segala jenis penganggapan yang berbeda, dan ini jelas menegaskan bahwa objek penganggapan yang dimaksudkan adalah makna egoistis yang keliru.

7) MA menyebutkan bahwa seseorang yang sepenuhnya memahami tanah melakukannya melalui tiga jenis pemahaman penuh: pemahaman penuh atas apa yang diketahui (ñātapariññā)definisi unsur tanah menurut karakteristik khusus, fungsi, manifestasi, dan penyebab terdekat; pemahaman penuh dengan menyelidiki (tīraṇapariññā)perenungan unsur tanah melalui karakteristik umum ketidakkekalan, penderitaan, dan tanpa-diri; dan pemahaman penuh atas pelepasan (pahānapariññā)meninggalkan keinginan dan nafsu pada unsur tanah melalui jalan tertinggi (Kearahatan).

8 ) Bhūtā. MA mengatakan bahwa “makhluk-makhluk” di sini menyiratkan hanya makhluk hidup di bawah alam surga Empat Raja Dewa, alam terendah di antara surga alam-indria; tingkatan makhluk hidup yang lebih tinggi tercakup oleh sebutan-sebutan berikutnya. MA memberikan contoh penerapan ketiga jenis penganggapan dalam situasi ini sebagai berikut: Ketika seseorang menjadi terikat pada makhluk-makhluk sebagai akibat dari penglihatan, pendengaran, dan seterusnya, atau menginginkan kelahiran kembali dalam kelompok makhluk tertentu, ini adalah penganggapan karena keinginan. Jika ia menilai dirinya sebagai lebih tinggi, sama, atau lebih rendah dari orang lain, ini adalah penganggapan karena keangkuhan. Dan jika ia berpikir, “Makhluk-makhluk adalah kekal, stabil, abadi,” dan seterusnya, ini adalah penganggapan karena pandangan.

9) MA: Yang dimaksudkan adalah para dewa dari enam surga alam-indria, kecuali Māra dan para pengikutnya di alam para dewa yang menguasai ciptaan para dewa lain. Baca penjelasan Kosmoslogi Buddhis pada Pendahuluan, pp.45-48.

10) Prajāpati, “Raja penciptaan”, adalah nama yang diberikan oleh Veda kepada Indra, Agni, dan sebagainya, sebagai yang tertinggi dalam ketuhanan Veda. Tetapi menurut MA, Pajāpati di sini adalah nama bagi Māra karena ia adalah penguasa “generasi” ini (pajā) yang terdiri dari makhluk-makhluk hidup.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #125 on: 26 February 2011, 12:09:38 AM »
11) Brahmā di sini adalah Mahābrahmā, dewa pertama yang dilahirkan pada awal siklus kosmis dan yang rentang umur kehidupannya sepanjang keseluruhan sikluspara Menteri Brahmā dan pengikut Brahmāpara dewa lain yang posisinya ditentukan melalui pencapaian jhāna pertamajuga termasuk.

12) MA: Dengan menyebutkan hal-hal ini, semua makhluk yang menempati alam jhāna ke duapara dewa dengan cahaya terbatas dan para dewa dengan cahaya tanpa batasharus dimasukkan, karena semuanya menempati tingkatan yang sama.

13) MA: Dengan menyebutkan hal-hal ini, semua makhluk yang menempati alam jhāna ke tigapara dewa dengan keagungan terbatas dan para dewa dengan keagungan tanpa batasharus dimasukkan.

14) Ini adalah para dewa di alam jhāna ke empat.

15) Abhibhū. MA mengatakan kata ini adalah sebutan bagi alam tanpa-persepsi, disebut demikian karena menaklukkan (abhibhavati) empat kelompok unsur tanpa materi lainnya. Identifikasi ini sepertinya terencana, khususnya karena kata “abhibhū” adalah bentuk tunggal kelaki-lakian. Di tempat lain (MN 49.5) kata ini muncul sebagai bagian dari pangakuan ketuhanan dari Brahmā Baka, namun MA menolak identifikasi Abhibhū sebagai Brahmā di sini sebagai sesuatu yang berlebihan.

16) Ini dan tiga bagian selanjutnya membahas penganggapan sehubungan dengan empat alam tanpa materipadanan kosmologis dari pencapaian empat meditasi tanpa materi. Dengan §18 pembagian penganggapan melalui alam-alam kehidupan selesai.

17) Dalam hal empat bagian fenomena yang terdiri dari identitas pribadi yang dianggap sebagai objek persepsi yang dikelompokkan dalam empat kelompok dilihat, didengar, dicerap, dan dikenali. Di sini, dicerap (muta) menyiratkan data bau-bauan, rasa kecapan, dan sentuhan, dikenali (viññāta) menyiratkan data introspeksi, pikiran abstrak, dan imajinasi. Objek persepsi “dianggap” ketika dikenali dalam hal “milikku”, “aku”, dan “diri”, atau dalam cara-cara yang menghasilkan keinginan, keangkuhan, dan pandangan.

18) Dalam bagian ini dan berikutnya, fenomena yang terdiri dari identitas pribadi diperlakukan sebagai duamelalui kesatuan dan keragaman. Penekanan pada kesatuan (ekatta), MA mengatakan, adalah karakteristik dari seorang yang mencapai jhāna-jhāna, yang mana pikiran muncul dalam modus tunggal pada objek tunggal. Penekanan pada keragaman (nānatta) berlaku bagi yang belum mencapai yang tidak memiliki pengalaman kesatuan jhāna yang meliputi. Penganggapan-penganggapan yang menekankan pada keragaman terdapat dalam ungkapan dalam filosofi pluralis, yang menekankan pada kesatuan terdapat dalam ungkapan dalam filofosi monistis.

19) Dalam bagian ini, semua fenomena identitas pribadi dikumpulkan dan ditampilkan sebagai satu. Gagasan totalitas ini dapat membentuk landasan filosofis phanteis atau monistis, tergantung pada hubungan antara diri dan seluruhnya.

20) MA memahami “Nibbāna” di sini merujuk pada lima jenis “Nibbāna tertinggi di sini dan saat ini” yang termasuk dalam enam puluh dua pandangan salah dari Brahmajāla Sutta (DN 1.3.19-25/i.36-38), yaitu, Nibbāna yang diidentifikasikan dengan kenikmatan sepenuhnya pada kenikmatan indria atau dengan empat jhāna. Dengan menikmati kondisi-kondisi ini, atau merindukannya, ia membayangkannya dengan keinginan. Bangga pada dirinya ketika mencapainya, ia membayangkannya dengan keangkuhan. Menganggap Nibbāna ilusi ini sebagai kekal, dan seterusnya, ia membayangkannya dengan pandangan.

21) Sekha, siswa dalam latihan yang lebih tinggi, adalah seorang yang telah mencapai satu dari tiga alam kesucian yang [ ]lebih rendahmemasuki arus, yang-kembali-sekali, yang-tidak-kembalitetapi masih harus berlatih lebih jauh lagi untuk mencapai tujuan, Kearahatan, keamanan tertinggi dari belenggu. MN 53 dikhususkan untuk menjelaskan latihan yang harus dilaksanakan. Arahant kadang-kadang disebut asekha, [ ]seorang yang melampaui latihan, dalam pengertian bahwa ia telah menyelesaikan latihan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Ñm menerjemahkan sekha sebagai “praktisi” dan asekha sebagai “seorang yang terampil”, yang telah berubah di sini untuk menghindari konotasi “esoteris”.

22) Harus dimengerti bahwa, sementara orang biasa dikatakan melihat masing-masing landasan, seorang yang dalam latihan yang lebih tinggi dikatakan secara langsung mengetahuinya (abhijānāti). MA menjelaskan bahwa ia mengetahuinya dengan pengetahuan luhur, mengetahuinya sesuai sifat sejatinya sebagai tidak kekal, penderitaan, dan tanpa-diri. Ñm menerjemahkan: “Dari tanah ia memiliki pengetahuan langsung atas tanah”.

23) Siswa dalam latihan yang lebih tinggi didorong oleh Sang Buddha untuk menjauhi penganggapan dan kesenangan karena kecondongan pada proses-proses batin ini masih menetap dalam dirinya. Dengan pencapaian tingkat memasuki-arus, ia melenyapkan belenggu pandangan identitas dan dengan demikian tidak lagi menganggap dalam hal pandangan salah. Tetapi kekotoran-kekotoran keinginan dan keangkuhan hanya tercabut oleh jalan Kearahatan, dan dengan demikian sekha  masih rentan pada penganggapan yang karenanya anggapan-anggapan itu dapat muncul. Sementara pengetahuan langsung (abhiññā) adalah wilayah sekha dan Arahant, pemahaman sepenuhnya (pariññā) adalah wilayah Arahant secara eksklusif, karena melibatkan ditinggalkannya sepenuhnya semua kekotoran.



24) Ini adalah penggambaran umum Arahant, yang diulangi dalam banyak sutta.

25) Ketika kebodohan telah terhapuskan oleh pencapaian pemahaman penuh, kecenderungan terhalus pada keinginan dan keangkuhan juga tersingkirkan. Demikianlah Arahant tidak lagi terlibat dalam penganggapan dan kesenangan.

26) Bagian ini dan dua berikutnya disebutkan untuk menunjukkan bahwa Arahant tidak menganggap, bukan hanya karena ia telah sepenuhnya memahami objek, tetapi karena ia telah menyingkirkan ketiga akar tidak bermanfaatnafsu (atau keserakahan), kebencian, dan kebodohan. Frasa “bebas dari nafsu melalui hancurnya nafsu” digunakan untuk menekankan bahwa Arahant tidak sekadar dalam keadaan tanpa nafsu untuk sementara, melainkan telah menghancurkannya pada tingkat yang paling mendasar. Demikian pula dengan kebencian dan kebodohan.

27) Mengenai kata ini, gelar Sang Buddha yang paling sering digunakan ketika merujuk diri-Nya sendiri, baca pendahuluan, p.24. Komentar memberikan etimologi yang panjang dan terperinci, berusaha untuk memampatkan keseluruhan Dhamma. Bagian itu telah diterjemahkan dalam Bhikkhu Bodhi, Discourse on the All-Embracing Net of Views, pp.331-44.

28) Pariññātantaṁ tathāgatassa. Demikianlah menurut SBJ dan MA, walaupun PTS menuliskan hanya pariññātaṁ. MA mengemas: “sepenuhnya memahami kesimpulannya, sepenuhnya memahami batasnya, sepenuhnya memahami tanpa sisa.” Ini menjelaskan bahwa sementara para Buddha dan para siswa Arahant adalah serupa dalam hal meninggalkan segala kekotoran, namun terdapat perbedaan dalam cakupan pemahaman penuh itu: sementara para siswa dapat mencapai Nibbāna setelah memahaminya dengan pandangan terang hanya sejumlah bentukan secara terbatas, para Buddha memahami sepenuhnya segala bentukan tanpa kecuali.

29) Kalimat ini memberikan pernyataan yang sangat padat atas formula sebab-akibat yang saling bergantungan (paṭicca samuppāda). Seperti diinterpretasikan oleh MA, “kesenangan” adalah keinginan dari kehidupan lampau yang memunculkan “penderitaan” dari kelima kelompok unsur kehidupan dalam kehidupan sekarang, “makhluk” aspek penentu secara kamma dari kehidupan sekarang yang menghasilkan kelahiran di masa depan, diikuti oleh penuaan dan kematian di masa depan. Paragraf ini menunjukkan penyebab lenyapnya penganggapan Sang Buddha adalah penembusan pada sebab-akibat yang saling bergantungan pada malam pencerahan-Nya. Penyebutan “kesenangan” (mandī) sebagai akar penderitaan menghubungkan dengan judul sutta; lebih jauh lagi, dengan merujuk pada pernyataan sebelumnya bahwa orang biasa senang dalam tanah, dan seterusnya, menunjukkan bahwa penderitaan adalah akibat tertinggi dari kesenangan.

30) MA menjelaskan urutan dari gagasan-gagasan ini sebagai berikut: Sang Tathāgata tidak membayangkan tanah dan tidak bersenang-senang dalam tanah karena Beliau telah memahami bahwa kesenangan adalah akar penderitaan. Lebih jauh lagi, dengan memahami sebab-akibat yang saling bergantungan, ia telah sepenuhnya meninggalkan keinginan yang di sini disebut “kesenangan” dan telah tercerahkan pada Pencerahan sempurna yang tertinggi. Sebagai akibatnya, Beliau tidak membayangkan tanah atau bersenang-senang dalam tanah.

31) Para bhikkhu tidak bergembira mendengar kata-kata Sang Buddha, jelas karena khotbah itu menggali terlalu dalam pada wilayah yang halus dari keangkuhan mereka, dan mungkin pandangan-pandangan brahmanis mereka yang masih tersisa. Belakangan, MA memberitahukan, ketika keangkuhan mereka telah mereda, Sang Buddha membabarkan Gotamaka Sutta (AN 3:123/i.276) kepada para bhikkhu yang sama ini, yang akhirnya mereka semua mencapai Kearahatan.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #126 on: 26 February 2011, 12:41:18 AM »
SUTTA 2

32) Noda-noda (āsava), pengelompokan kekotoran yang terdapat pada tingkat yang paling mendasar, dibahas dalam Pendahuluan, p.38. MA menjelaskan bahwa pengendalian (saṁvara) ada lima: melalui moralitas, perhatian, pengetahuan, usaha, dan kesabaran. Dalam sutta ini, pengendalian melalui moralitas diilustrasikan dengan menghindari tempat-tempat duduk dan tempat-tempat tinggal yang tidak sesuai (§19); pengendalian melalui perhatian, dengan mengendalikan kelima indria (§12); pengendalian melalui pengetahuan, dengan mengulang-ulangi frasa “merenungkan dengan bijaksana”; pengendalian melalui usaha, dengan melenyapkan pikiran-pikiran tidak bermanfaat; dan pengendalian melalui kesabaran, dengan paragraf tentang menahankan (§18).


33) Perhatian bijaksana (yoniso manasikāra) dikemas sebagai perhatian yang merupakan cara yang benar (upāya), di jalur yang benar (patha). Ini dijelaskan sebagai perhatian pikiran, pertimbangan, atau pikiran yang sesuai dengan kebenaran, yaitu, perhatian pada ketidakkekalan sebagai ketidakkekalan, dan sebagainya. Perhatian tidak bijaksana (ayoniso manasikāra) adalah perhatian yang merupakan cara yang salah, di jalur yang salah (uppatha), berlawanan dengan kebenaran, yaitu, perhatian pada ketidakkekalan sebagai kekekalan, menyakitkan sebagai menyenangkan, apa yang bukan diri sebagai diri[.], dan apa yang menjijikkan sebagai indah. Perhatian tidak bijaksana, MA memberitahukan, adalah akar dari lingkaran kehidupan, karena menyebabkan keinginan meningkat; perhatian bijaksana adalah akar dari kebebasan dari lingkaran, karena menuntun menuju pengembangan Jalan Mulia Berunsur Delapan. MA merangkum inti dari paragraf ini sebagai: hancurnya noda-noda adalah bagi seseorang yang mengetahui bagaimana meningkatkan perhatian bijaksana dan yang melihat sehingga perhatian tidak bijaksana tidak muncul.


34) Enam di antara inimenghilangkan bagian noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihatdisebutkan dalam tanya-jawab tentang noda-noda dalam AN 6:58/iii.387-90.

35) Kata “melihat” (dassana) di sini merujuk pada yang pertama dari empat jalan lokuttarajalan memasuki-arus (sotāpattimagga)disebut demikian karena memberikan penglihatan sepintas pada Nibbāna. Tiga jalan yang lebih tinggi disebut jalan pengembangan (bhāvanā) karena mengembangkan penglihatan Nibbāna hingga pada titik di mana semua kekotoran tersingkirkan.


36) MA menambahkan hal penting bahwa tidak ada ketetapan dalam segala sesuatu sehubungan dengan apakah layak atau tidak layak bagi perhatian. Perbedaannya terdapat lebih kepada modus perhatian. Bahwa modus perhatian yang menjadi landasan bagi kondisi-kondisi pikiran yang tidak bermanfaat harus dihindari, sedangkan modus perhatian yang menjadi landasan bagi kondisi-kondisi yang bermanfaat harus dikembangkan. Prinsip yang sama ini berlaku juga pada §9.

37) MA mengilustrasikan pertumbuhan noda-noda melalui perhatian tidak bijaksana sebagai berikut: Ketika ia memperhatikan kepuasan dalam lima utas kenikmatan indria, noda-noda keinginan indria muncul dan meningkat; ketika ia memperhatikan kepuasan dalam kondisi-kondisi luhur (jhāna-jhāna), noda-noda penjelmaan muncul dan meningkat; ketika ia memperhatikan hal-hal lokuttara apa pun melalui empat “perlawanan” (dari kekekalan, dan sebagainya), noda-noda kebodohan muncul dan meningkat.

38) Menurut MA, paragraf ini bertujuan untuk menunjukkan noda-noda pandangan (diṭṭhāsava, [ ]tidak disebutkan dalam khotbah) di bawah judul keragu-raguan. Akan tetapi, akan lebih tepat untuk mengatakan bahwa noda-noda pandangan, yang dijelaskan oleh §8, keluar dari perhatian tidak bijaksana dalam bentuk keragu-raguan. Berbagai jenis keragu-raguan telah dipenuhi dengan pandangan salah yang akan dijelaskan pada bagian berikutnya.

39) Dari keenam pandangan ini, dua pertama mewakili lawan dari eternalisme dan nihilisme; pandangan bahwa “tidak ada diri yang ada padaku” bukanlah doktrin bukan-diri dari Sang Buddha, melainkan pandangan materialis yang mengidentifikasikan seseorang sebagai jasmani dan dengan demikian menganut bahwa tidak ada kelanjutan diri setelah kematian. Tiga pandangan berikutnya dapat dimengerti muncul dari pengamatan yang secara filosofis lebih rumit bahwa pengalaman memiliki struktur reflektif yang memperbolehkan kesadaran-diri, kapasitas pikiran untuk mengenali dirinya sendiri, isinya, dan jasmani yang dengannya saling berhubungan. Menekuni pencarian “sifat sejati”nya, orang biasa yang tidak terpelajar akan mengidentifikasikan diri sebagai kedua aspek pengalaman (pandangan 3), atau sebagai hanya si pengamat (pandangan 4), atau sebagai hanya yang diamati (pandangan 5). Pandangan terakhir adalah versi lengkap dari eternalisme dengan semua batasan telah dihilangkan.

40) Diri sebagai pembicara mewakili konsep diri sebagai pelaku perbuatan; diri sebagai yang merasakan, konsep diri sebagai subjek pasif. “Di sana-sini” menyiratkan diri sebagai entitas yang berpindah yang mempertahankan identitasnya di sepanjang kelahiran yang berbeda berturut-turut. Pandangan yang sama dianut oleh Bhikkhu Sāti pada MN 38.2.

41) Ini, tentu saja, adalah formula Empat Kebenaran Mulia, yang diperlakukan sebagai subjek perenungan dan pandangan terang. MA mengatakan bahwa hingga pencapaian jalan memasuki-arus, perhatian adalah pandangan terang (vipassanā), tetapi pada saat jalan perhatian adalah pengetahuan-jalan. Pandangan terang secara langsung memahami dua buah pertama, karena wilayah sasarannya adalah fenomena batin dan materi yang terdapat dalam dukkha [ ]dan asal-mulanya; pandangan terang ini dapat mengetahui asal-mula hanya dengan cara menyimpulkan. Pengetahuan-jalan menjadikan kebenaran lenyapnya sebagai objeknya, memahaminya dengan penembusan sebagai objek (ārammaṇa). Pengetahuan-jalan melakukan empat fungsi sehubungan dengan Empat Kebenaran: memahami sepenuhnya kebenaran penderitaan, meninggalkan asal-mula penderitaan, menembus lenyapnya penderitaan, dan mengembangkan jalan menuju lenyapnya penderitaan.

42) Jalan memasuki-arus berfungsi memotong ketiga belenggu pertama yang mengikat pada saṁsāra. MA mengatakan bahwa pandangan identitas dan keterikatan pada aturan dan upacara, karena termasuk pada noda-noda pandangan, adalah noda-noda serta belenggu, sedangkan keragu-raguan (biasanya) dikelompokkan hanya sebagai belenggu; tetapi karena termasuk di sini di antara “noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat”, maka dikatakan sebagai sebuah noda.

43) Jika ditinggalkannya noda-noda dipahami dalam makna tepat sebagai kehancuran tertinggi, maka hanya dua dari tujuh metode yang disebutkan dalam sutta ini yang berdampak pada pelepasanmelihat dan mengembangkanyang di antaranya terdapat empat jalan lokuttara. Kelima metode lainnya tidak dapat secara langsung memenuhi kehancuran noda-noda, tetapi dapat mengendalikannya selama pada tahap persiapan praktik dan karenanya memfasilitasi pembasmian pada akhirnya oleh jalan lokuttara.

44) Faktor utama yang bertanggung jawab untuk melakukan pengendalian indria ini adalah perhatian. Formula yang lebih lengkap atas pengendalian indria diberikan dalam banyak sutta lainnyamisalnya, MN 27.15dan dianalisa secara terperinci pada Vsm I, 53-59. MA menjelaskan “demam” (pariḷāha) dalam paragraf di atas sebagai demam kekotoran dan akibat (kamma)nya.

45) Paragraf yang mengikuti di sini telah menjadi formula standar yang digunakan oleh para bhikkhu dalam perenungan sehari-hari mereka terhadap empat kebutuhan dalam kehidupan suci. Empat ini dijelaskan secara terperinci dalam Vsm I, 85-97.

46) Tempat-tempat duduk yang tidak layak ada dua jenis disebutkan dalam Pātimokkhaduduk bersama dengan seorang perempuan di tempat duduk bertirai yang memungkinkan untuk melakukan hubungan seksual, dan duduk sendiri dengan seorang perempuan di tempat pribadi. Berbagai jenis tempat yang tidak layak disebutkan dalam Vsm I, 45.

47) Ketiga jenis pertama dari pikiran tidak bermanfaatkeinginan indria, niat buruk, dan kekejamanmerupakan pikiran salah atau kehendak salah, lawan dari faktor ke dua dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Ketiga jenis pikiran salah dan lawannya ini dibahas secara lebih lengkap dalam MN 19.

48) Terdapat tujuh faktor pencerahan sempurna (satta bojjhangā) yang termasuk dalam tiga puluh tujuh persyaratan pencerahan, dan dibahas secara lebih luas di bawah pada MN 10.42 dan MN 118.29-40. Bagian ini menjelaskan tujuh faktor pencerahan sempurna secara khusus sebagai bantuan untuk mengembangkan ketiga jalan lokuttara yang lebih tinggi, yang dengannya noda-noda yang lolos dari pencabutan oleh jalan pertama akan tercabut. Kata “keterasingan” (viveka), “kebosanan” (virāga), dan “lenyapnya” (nirodha) semuanya dapat dipahami sebagai merujuk pada Nibbāna. Penggunaan kata-kata itu dalam konteks ini menyiratkan bahwa pengembangan faktor-faktor pencerahan mengarah pada Nibbāna sebagai tujuannya selama tahap-tahap persiapan sang jalan, dan sebagai objeknya dengan pencapaian jalan lokuttara. MA menjelaskan bahwa kata vossaga, diterjemahkan sebagai “pelepasan”, memiliki dua makna “melepaskan” (pariccāga), yaitu, ditinggalkannya kekotoran, dan “memasuki” (pakkhandana), yaitu, memuncak pada Nibbāna.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #127 on: 26 February 2011, 01:04:37 AM »
49) Noda keinginan indria tercabut oleh jalan yang-tidak-kembali, noda penjelmaan dan kebodohan hanya oleh jalan terakhir, Kearahatan.

50) Sepuluh belenggu harus dihancurkan untuk mencapai kebebasan sepenuhnya telah diuraikan dalam Pendahuluan, pp.42-43. Keangkuhan, pada tingkat yang paling halus, adalah keangkuhan “aku”, yang bertahan di dalam rangkaian batin hingga pencapaian Kearahatan. “Penembusan keangkuhan” (mānābhisamaya) berarti melihat menembus keangkuhan dan meninggalkannya, yang keduanya tercapai bersamaan oleh jalan Kearahatan. Bhikkhu itu telah “mengakhiri penderitaan” dalam makna bahwa ia telah mengakhiri penderitaan dalam lingkaran saṁsāra (vaṭṭadukkha).

 
SUTTA 3

51) MA: Sang Buddha membabarkan sutta ini karena banyak bhikkhu yang menjadi gembira karena perolehan dan penghormatan yang diterima Sangha, sehingga mengabaikan latihan spiritual mereka. Sang Buddha jelas tidak mungkin menetapkan peraturan yang melarang penggunaan benda-benda kebutuhan, tetapi Beliau ingin menunjukkan praktik para pewaris Dhamma kepada para bhikkhu yang sungguh-sungguh ingin berlatih.

52) MA menjelaskan bahwa kelima kualitas ini secara perlahan-lahan memenuhi semua tahap praktik yang memuncak pada Kearahatan.

53) Para bhikkhu senior (thera) adalah mereka yang telah menjalani kebhikkhuan selama lebih dari sepuluh musim hujan sejak penahbisan (upasampada); bhikkhu menengah telah menjalani antara lima sampai sembilan musim hujan; bhikkhu junior kurang dari lima musim hujan.

54) Kualitas-kualitas jahat yang disebutkan di sini, dan pada bagian berikutnya, diperkenalkan untuk menunjukkan kondisi-kondisi yang disebutkan di atas (§6) dengan pernyataan: “Mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru beri tahukan untuk ditinggalkan.” Kualitas-kualitas ini juga merupakan faktor-faktor yang menunjang seorang bhikkhu untuk lebih menjadi pewaris dalam hal benda-benda materi daripada pewaris Dhamma. Dalam MN 7.3, enam belas kualitas yang sama, dengan “niat buruk” menggantikan “kebencian” dirujuk sebagai “ketidaksempurnaan yang mengotori pikiran” (cittass’ upakkilesā). Baca n.87 di bawah.


55) Jalan Mulia Berunsur Delapan diperkenalkan di sini untuk menunjukkan praktik yang membuat seseorang menjadi seorang “pewaris Dhamma”. Perlawanan antara kekotoran dan sang jalan menegaskan kembali, dari sudut pandang baru, perlawanan antara “pewaris dalam benda-benda materi” dan “pewaris Dhamma” yang dengannya Sang Buddha memulai sutta ini.


SUTTA 4

56) MA mengatakan bahwa Jāṇussoṇi bukanlah nama aslinya, melainkan suatu gelar kehormatan yang berarti “brahmana kerajaan” (purohita) yang dianugerahkan kepadanya oleh raja. MN 27 juga ditujukan kepada Brahmana Jāṇussoṇi.

57) Bhoto Gotamassa sā janatā diṭṭhānugatiṁ āpajjati. Ñm menerjemahkan: “Apakah orang-orang ini mengikuti makna dari pandangan Guru Gotama?” dan Horner: “orang-orang ini meniru pandangan-pandangan Gotama Mulia” (MLS 1:22). MA juga mengemas: “Orang-orang ini memiliki pandangan dan opini [ ]yang sama dengan Guru Gotama.” Akan tetapi, akan lebih tepat dalam konteks ini untuk menuliskan diṭṭha bukan sebagai bentuk sandhi dari diṭṭhi, melainkan sebagai bentuk lampau, dan mengartikan frasa ini sebagai “mengikuti apa yang mereka lihat dari dirinya”, yaitu, teladannya. Makna ini jelas diperlukan oleh frasa yang terdapat pada SN ii.203, AN i.126, AN iii.108, 251, 422.

58) Ñm awalnya telah menerjemahkan frasa ini sebagai “sempurna dalam pemahaman”, dan frasa yang bersesuaian pada bagian sebelumnya sebagai “sempurna dalam konsentrasi”.[ ]Akan tetapi, karena sepertinya tidak tepat untuk memasangkan kesempurnaan pada samādhi dan paññā kepada Bodhisatta sebelum pencerahan-Nya, maka saya memilih untuk menerjemahkan akhiran sampanna di sepanjang sutta ini sebagai “memiliki”. MA menjelaskan bahwa ini bukanlah kebijaksanaan pandangan terang juga bukan kebijaksanaan sang jalan, melainkan kebijaksanaan yang mendefinisikan sifat dari objek itu (ārammaṇavavatthānapaññā).


59) Tahun India, menurut sistem kuno yang diwarisi oleh Buddhisme, terbagi dalam tiga musimmusim dingin, musim panas, dan musim hujanmasing-masing berlangsung selama empat bulan. Empat bulan itu dibagi lagi dalam periode dua mingguan (pakkha), yang ke empat dan ke tujuh terdiri dari empat belas hari dan yang lainnya terdiri dari lima belas hari. Pada masing-masing dua mingguan, malam bulan purnama dan bulan baru (baik tanggal empat belas atau lima belas) dan malam bulan setengah (hari ke delapan) dianggap sebagai hari yang keramat. Dalam Buddhisme masa sekarang menjadi Uposatha, hari pelaksanaan aturan-aturan religius. Pada hari bulan purnama dan bulan baru, para bhikkhu membacakan aturan-aturan dan umat-umat awam mengunjungi vihara untuk mendengarkan khotbah atau mempraktikkan meditasi.


60) Empat postur (iriyāpatha) yang sering disebutkan dalam teks Buddhis adalah berjalan, berdiri, duduk, dan berbaring.

61) Dimulai dari bagian ini, Sang Buddha menunjukkan perjalanan praktik yang menuntun-Nya menuju puncak ketidakbodohan.

62) MA mengatakan bahwa Sang Bodhisatta mengembangkan empat jhāna menggunakan perhatian pada pernapasan sebagai subjek meditasi-Nya.

63) Dijelaskan secara terperinci dalam Vsm XIII, 13-71.

64) Dijelaskan secara terperinci dalam Vsm XIII, 72-101.

65) MA: Setelah menunjukkan Empat Kebenaran Mulia dalam sifat sejatinya (yaitu, dalam hal penderitaan), paragraf tentang noda-noda disebutkan untuk menunjukkan secara tidak langsung melalui kekotoran.

66) Menurut MA, frasa “Ketika aku mengetahui dan melihat demikian” merujuk pada pandangan terang dan sang jalan; yang mencapai puncaknya dalam jalan Kearahatan; frasa “batin-Ku terbebaskan” menunjukkan saat buah, dan frasa “muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan’” menunjukkan pengetahuan peninjauan (baca Vsm XXII, 20-21), demikian pula dengan kalimat berikutnya yang dimulai dengan “Aku secara langsung mengetahui”.

67) Ini adalah pernyataan umum Kanonis atas pencapaian pengetahuan akhir atau Kearahatan. MA menjelaskan bahwa pernyataan “Kelahiran telah dihancurkan” berarti bahwa kelahiran jenis apa pun juga yang mungkin telah muncul jika sang jalan belum dikembangkan telah tidak mampu muncul lagi melalui pengembangan sang jalan. “Kehidupan suci” yang telah dijalani adalah kehidupan suci sesuai sang jalan (maggabrahmacariya). Frasa “apa yang harus dilakukan telah dilakukan” (kataṁ karaṇīyaṁ) menunjukkan empat tugas dari jalan muliamemahami sepenuhnya penderitaan, meninggalkan asal-mulanya, menembus lenyapnya, dan mengembangkan sang jalantelah diselesaikan seluruhnya pada masing-masing dari empat jalan lokuttara. Frasa ke empat, nāparaṁ itthattāya, dikemas oleh MA sebagai berikut: “Sekarang tidak perlu lagi bagiku untuk mengembangkan sang jalan karena ‘kondisi demikian’, yaitu, demi enam belas fungsi (dari sang jalan) atau demi hancurnya kekotoran. Atau dengan kata lain: setelah ‘kondisi demikian’, yaitu, rangkaian kelompok-kelompok unsur kehidupan yang terjadi saat ini, tidak ada lagi rangkaian kelompok-kelompok unsur kehidupan yang lebih jauh lagi bagiku. Kelima kelompok unsur kehidupan ini, setelah dipahami sepenuhnya, berdiri bagaikan pohon yang ditebang di akarnya. Dengan lenyapnya kesadaran terakhir, kelompok-kelompok unsur kehidupan itu akan padam bagaikan api tanpa bahan bakar.” Saya telah memilih interpretasi ke dua, tetapi mengartikan itthattāya sebagai bentuk objek tidak langsung. Kata ini, yang secara literal berarti “kondisi ini” atau “kondisi demikian”, menyiratkan manifestasi kondisi kehidupan konkret. Ñm menerjemahkan: “Tidak ada lagi yang melampaui ini”.

68) MA: Beliau memiliki “belas kasihan kepada generasi mendatang” sejauh generasi-generasi para bhikkhu di masa depan, dengan melihat bahwa Sang Buddha mendatangi tempat-tempat tinggal di dalam hutan, akan mengikuti teladan-Nya dan dengan demikian mempercepat kemajuan mereka menuju akhir penderitaan.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #128 on: 26 February 2011, 09:27:35 AM »
SUTTA 5

69) MA, mengutip penggunaan kata “orang” (puggala) oleh Yang Mulia Sāriputta, menjelaskan bahwa Sang Buddha memiliki dua ajaranajaran konvensional (sammutidesanā) yang diungkapkan sehubungan dengan orang, makhluk, perempuan, dan laki-laki dan sebagainya[,]. Dan ajaran mutlak (paramatthadesanā) yang diungkapkan hanya sehubungan dengan apa yang memiliki validitas filosofis tertinggi, seperti kelompok-kelompok unsur kehidupan, unsur-unsur, landasan-landasan indria, ketidakkekalan, penderitaan, bukan-diri, dan sebagainya. Sang Buddha membabarkan ajaran-Nya dengan cara yang sesuai untuk membantu si pendengar menembus maknanya, menyingkirkan kebodohan, dan mencapai kemuliaan. Oleh karena itu, penggunaan kata “orang”, tidak menyiratkan kekeliruan dalam arti orang sebagai diri.


70) Subhanimitta: suatu objek yang menarik yang menjadi landasan bagi nafsu. Sang Buddha mengatakan bahwa perhatian tidak bijaksana pada gambaran keindahan adalah makanan (āhāra) bagi munculnya keinginan indria yang belum muncul dan bagi berkembangnya keinginan indria yang telah muncul (SN 46:2/v.64).

71) Ini adalah praktik pertapaan keras, penghuni hutan, pemakan makanan yang didanakan, berkunjung dari rumah ke rumah, pemakai jubah dari kain yang dibuang dijelaskan dalam Vsm II.

72) Ini adalah praktik “yang lebih lunak” daripada yang disebutkan pada §29, umumnya dianggap sebagai gambaran komitmen usaha yang kurang kuat demi mencapai tujuan.

73) Para Ājīvaka atau Ājīvika, adalah aliran saingan yang ajarannya menekankan pada praktik keras berdasarkan pada filosofi yang berbatasan dengan fatalisme. Baca Basham, History and Doctrines of the Ājivikas.

74) Kata ganti milik mensyaratkan bahwa hati tidak terdapat dalam Pali, tetapi makna frasa ini harus dipahami dengan mempertimbangkan perumpamaan. Seperti halnya Samīti menghaluskan cacat dari lingkaran roda seolah-olah ia mengetahui hati Paṇḍuputta dengan hatinya, demikian pula Sāriputta menghaluskan cacat dari para bhikkhu seolah-olah ia mengetahui keinginan Moggallāna yang ingin melenyapkannya. MLS (1:40) kehilangan maknanya dengan menerjemahkan: “karena ia mengetahui hati mereka dengan hatinya”, menganggap rujukan pertama adalah kepada para bhikkhu bukan kepada YM. Moggallāna.

75) Mahānāga. Nāga adalah kelompok makhluk yang menyerupai naga dalam mitologi India yang dipercaya menghuni wilayah bawah tanah dan menjadi penjaga harta tersembunyi. Kata ini muncul mewakili makhluk-makhluk besar dan perkasa, seperti gajah bergading atau kobra dan, dengan memperluasnya, seorang bhikkhu Arahant. Baca Dhp, ch.23, Nāgavagga.


SUTTA 6

76) MA mengatakan bahwa ungkapan sampannasīlā, yang diterjemahkan di sini sebagai “memiliki moralitas”, dapat bermakna “sempurna dalam moralitas” (paripuṇṇasīlā) atau “memiliki moralitas” (sīlasamangino). Pātimokkha adalah aturan disiplin monastik, yang dalam versi Pali terdiri dari 227 aturan[,]. [ ]Gocara menyiratkan tempat yang sesuai untuk menerima dana makanan, walaupun kata ini juga dapat berarti penampilan selayaknya dari seorang bhikkhu, ketenangannya dan pengendalian dirinya. Kata kunci dalam paragraf ini dianalisa dalam Vsm I, 43-52.


77) MA: paragraf yang dimulai dengan “maka ia harus memenuhi aturan-aturan”, diulangi pada tiap-tiap bagian berikutnya hingga akhir sutta, terdiri dari keseluruhan tiga latihan. Frasa mengenai memenuhi aturan-aturan menyiratkan latihan dalam moralitas yang lebih tinggi (adhisīlasikkhā); frasa “menekuni ketenangan pikiran internal, tidak mengabaikan meditasi” menyiratkan latihan dalam konsentrasi yang lebih tinggi (adhicittasikkhā); dan frasa “memiliki pandangan terang” merujuk pada latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi (adhipaññāsikkhā). Frasa “berdiam dalam gubuk kosong” menggabungkan kedua latihan yang terakhir, karena seseorang mendatangi gubuk kosong bertujuan untuk mengembangkan ketenangan dan pandangan terang.

78) Yaitu, jika sanak saudara yang telah terlahir kembali di alam hantu atau di alam dewa yang rendah mengingat moralitas bhikkhu dengan penuh keyakinan, maka keyakinan itu akan menjadi sumber kebajikan bagi mereka, melindungi mereka dari kelahiran kembali yang buruk dan menjadi kondisi positif untuk mencapai Nibbāna.

79) Ini adalah empat pencapaian tanpa materi yang mana formula lengkapnya terdapat dalam MN 8.8-11, MN 25.16-19, dan sebagainya. MA mengemas “tubuh” sebagai “tubuh batin” (nāmakāya).

80) Tiga belenggu yang dihancurkan oleh pemasuk-arus adalah pandangan identitas, keragu-raguan, dan keterikatan pada aturan dan upacara, seperti disebutkan pada MN 2.11.

81) Sebagai tambahan pada tiga belenggu pertama, yang-tidak-kembali menghancurkan dua “belenggu yang lebih rendah” lainnya, yaitu, keinginan-indria dan niat buruk. Yang-tidak-kembali terlahir kembali di wilayah khusus di alam Brahmā yang disebut dengan Alam Murni, dan mengakhiri penderitaan di sana.

82) §§140-19 menyajikan enam belas pengetahuan langsung (abhiññā). Baca Pendahuluan, p.37; untuk penjelasan lebih lengkap, baca Vsm XII dan XVIII.

83) MA: Dalam paragraf ini, “pikiran” dan “kebijaksanaan” berturut-turut menyiratkan, konsentrasi dan kebijaksanaan yang berhubungan dengan Buah Kearahatan. Konsentrasi disebut “kebebasan pikiran” (cetovimutti) karena terbebaskan dari nafsu; kebijaksanaan disebut “kebebasan melalui kebijaksanaan” (paññāvimutti) karena terbebas dari kebodohan. Kebebasan pikiran biasanya adalah hasil dari ketenangan, kebebasan melalui kebijaksanaan biasanya adalah hasil dari pandangan terang. Tetapi ketika digabungkan dan digambarkan sebagai tanpa-noda (anāsava), secara bersama-sama merupakan hasil dari hancurnya noda-noda melalui jalan lokuttara Kearahatan.


SUTTA 7

84) Untuk penjelasan yang lebih lengkap atas sutta ini dan sutta berikutnya, dengan pendahuluan yang sangat membantu dan penjelasan panjang pada catatan kaki, baca Nyanaponika Thera, The Simile of the Colth and The Discourse of Effacement.

85) Alam tujuan kelahiran yang buruk (duggati) adalah kelahiran kembali di tiga alam sengsaraneraka, alam binatang, dan alam hantu. Alam tujuan kelahiran yang bahagia (sugati), yang disebutkan persis di bawahnya, adalah kelahiran kembali di antara manusia, dan di alam-alam surga.

86) Cittassa upakkilesā. Kata upakkilesā kadang-kadang digunakan dalam makna tanpa noda atau ketidaksempurnaan konsentrasi meditatif, seperti pada MN 128:27, 30; kadang-kadang dalam makna noda atau ketidaksempurnaan pandangan terang, seperti pada Vsm XX, 106; dan kadang-kadang menyiratkan kekotoran minor yang muncul dari ketiga akar tidak bermanfaatkeserakahan, kebencian, dan kebodohanapakah sebagai modusnya atau cabangnya. Di sini digunakan dalam makna ke tiga, tetapi mempertahankan hubungan dengan kedua penggunaan pertama, diterjemahkan oleh frasa “ketidaksempurnaan yang mengotori batin.”

87) MA memberikan beberapa perbedaan sementara antara ketamakan (abhijjhā) dan perbuatan tidak baik (visamalobha), tetapi kemudian karena, dari sudut pandang latihan yang lebih tinggi, semua keserakahan adalah tidak baik, maka kedua kata ini dapat dipahami sebagai hanya perbedaan sebutan untuk faktor batin yang sama, keserakahan atau nafsu. Di sini saya menuliskan penjelasan MA atas beberapa kekotoran batin lainnya: Kekesalan (upanāha) terbentuk setelah kemarahan berulang-ulang menyelimuti pikiran. Meremehkan (makkha) adalah penurunan manfaat atas seseorang oleh orang lain. Kecongkakan (paḷāsa) adalah dugaan (yugaggāha) yang muncul ketika seseorang menempatkan dirinya setara dengan orang lain yang memiliki kualitas lebih. Kecemburuan (issā) adalah kekesalan terhadap penghormatan, dan lain-lain yang diterima orang lain[.]; kekikiran (macchariya) adalah keengganan untuk membagi miliknya dengan orang lain. Sifat keras kepala (thambha) adalah ketidaklenturan, kekakuan, kesukaran, bagaikan pipa pengembus yang penuh dengan angin. Persaingan (sārambha) [ ]adalah usaha untuk mengalahkan orang lain, terdorong untuk melampaui pencapaian orang lain. Beberapa dari kekotoran ini juga didefinisikan pada Vbh §§45-46, 891-94.

88) MA mengatakan bahwa meninggalkan yang dibicarakan di sini harus dipahami sebagai “meninggalkan melalui pemberantasan” (samucchedappahāna), yaitu, mencabut secara total melalui jalan lokuttara. Enam belas kekotoran ditinggalkan oleh jalan mulia dalam urutan sebagai berikut:
1.   Jalan memasuki-arus meninggalkan: meremehkan, kepongahan, kecemburuan, kekikiran, penipuan, kecurangan.
2.   Jalan yang-tidak-kembali meninggalkan: niat buruk, kemarahan, kekesalan, kelengahan.
3.   Jalan Kearahatan meninggalkan: ketamakan dan keserakahan yang tidak baik, kekeraskepalaan, persaingan, keangkuhan, kesombongan, kebanggaan.

MA mempertahankan, dengan referensi pada sumber penafsiran kuno, bahwa paragraf ini menjelaskan jalan yang-tidak-kembali. Oleh karena itu, kita harus memahami bahwa kekotoran-kekotoran yang harus ditinggalkan sepenuhnya melalui jalan Kearahatan pada titik ini hanya ditinggalkan sebagian, melalui manifestasinya yang lebih kasar.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #129 on: 26 February 2011, 09:48:19 AM »
89) Keyakinan yang tidak tergoyahkan (aveccappasāda) pada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha adalah atribut seorang siswa mulia pada minimal seorang pemasuk-arus, yang keyakinannya sempurna karena ia telah melihat kebenaran Dhamma itu oleh dirinya sendiri. Formula perenungan Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha dijelaskan secara lengkap dalam Vsm VII.

90) Terjemahan ini mengikuti tulisan yatodhi dan penjelasan MA atas kata ini sebagai meninggalkan sebagian kekotoran melalui tiga jalan pertama, berlawanan dengan total (anodhi) kekotoran yang harus ditinggalkan oleh jalan ke empat atau terakhir. Ñm, mengikuti tulisan yatodhi, menerjemahkan: “Dan apa pun [dari ketidaksempurnaan itu] yang telah, menurut batasan [yang ditetapkan tiga jalan pertama yang mana pun yang telah ia capai], dihentikan, dijatuhkan [selamanya], dibiarkan berlalu, ditinggalkan, dilepaskan”. Kedua variasi ini sepertinya berasal dari zaman dulu karena keduanya dikenali oleh MA.

91) Labhati atthavedaṁ labhati dhammavedaṁ. [ ]YM. Nyanaponika menerjemahkan: “Ia memperoleh antusiasme pada tujuan, [ ]ia memperoleh antusiasme pada Dhamma”. MA menjelaskan veda sebagai bermakna kegembiraan dan pengetahuan yang berhubungan dengan kegembiraan itu, dan mengatakan: “Atthaveda adalah inspirasi yang muncul dalam diri seseorang yang merenungkan ditinggalkannya kekotoran secara sebagian, penyebab keyakinan yang tidak tergoyahkan.”

92) Padanan dalam Pali, dalam bentuk kata benda, atas kata dalam rangkaian ini adalah: pāmojja, kegembiraan; piti, kegembiraan meluap; passaddhi, ketenangan; samādhi, konsentrasi. [ ]Ketenangan, dengan melenyapkan gangguan-gangguan batin dan jasmani yang halus yang berhubungan dengan kegembiraan dan kegembiraan meluap, membawa kenikmatan tenang dan mempersiapkan pikiran untuk konsentrasi yang semakin mendalam.

93) Kata dalam Pali adalah: evaṁsīlo evaṁdhammo evaṁpañño. Kata yang di tengah, dalam konteks ini, jelas merujuk pada tahap ke dua dari tiga latihan, yaitu, konsentrasi, walaupun cukup mengherankan mengapa kata samādhiī tidak digunakan. Komentar MN 123.2 mengemas sebuah ungkapan paralel dengan samādhi-pakkha-dhammā, “kondisi-kondisi yang diperlukan oleh konsentrasi”.

94) Pernyataan ini menggarisbawahi pencapaian tingkat yang-tidak-kembali. Karena yang-tidak-kembali telah melenyapkan keinginan indria, maka makanan lezat tidak dapat merintanginya dalam perjalanannya menuju jalan dan buah terakhir.

95) §§13-16 menyajikan formula-formula sutta standar mengenai empat “kediaman Brahma” (brahmavihāra). Secara singkat, cinta kasih (mettā) adalah keinginan akan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk-makhluk lain; belas kasihan (karuṇā), empati kepada mereka yang menderita; kegembiraan altruistik (muditā), bergembira atas kebajikan dan keberhasilan mereka; dan keseimbangan (upekkha), sikap tidak-membeda-bedakan yang bebas terhadap makhluk-makhluk (bukan ketidakpedulian atau ketidakacuhan). Untuk penjelasan lebih lengkap, baca Vsm IX.

96) MA: Bagian ini menunjukkan praktik meditasi pandangan terang dari yang-tidak-kembali yang ditujukan pada Kearahatan dan bagian berikutnya menunjukkan pencapaian Kearahatannya. Frasa “Ada ini” menyiratkan kebenaran penderitaan; “ada yang rendah”, asal-mula penderitaan; “ada yang mulia”, kebenaran sang jalan; dan “ada jalan membebaskan diri dari keseluruhan bidang persepsi ini” adalah Nibbāna, lenyapnya penderitaan.

97) MA: Sang Buddha menggunakan frasa ini untuk membangkitkan perhatian Brahmana Sundarika Bhāradvāja, yang berada dalam kumpulan itu dan memercayai pemurnian melalui ritual mandi. Sang Buddha meramalkan bahwa brahmana itu akan terinspirasi dan menerima penahbisan di bawah Beliau dan akan mencapai Kearahatan.

98) Ini adalah sungai-sungai dan penyeberangan yang dipercaya dapat memurnikan.

99) Kata Pali adalah phaggu, satu hari untuk pemurnian brahmana di bulan Phagguna (Februari-Maret), dan uposatha, hari pelaksanaan religius yang diatur dalam penanggalan lunar. Baca n.59.

100) Pelepasan keduniawian (pabbajja) adalah penahbisan resmi untuk menjalani kehidupan tanpa rumah sebagai sāmaṇera; penahbisan penuh (upasampadā) memberikan status bhikkhu, anggota penuh dari Sangha.


SUTTA 8

101) Baca n.84

102) Pandangan-pandangan yang berhubungan dengan doktrin diri (attavādapaṭisaṁyuttā), menurut MA, ada dua puluh jenis pandangan identitas yang diuraikan pada MN 44.7, walaupun pandangan-pandangan itu juga dapat dipahami memasukkan doktrin yang lebih luas tentang diri yang dibahas dalam MN 102. Pandangan-pandangan yang berhubungan dengan doktrin tentang dunia (lokavādapaṭisaṁyutta) ada delapan pandangan; dunia adalah abadi, tidak abadi, keduanya, atau bukan keduanya; dunia adalah terbatas, tidak terbatas, keduanya, atau bukan keduanya. Baca MN 63 dan MN 72 mengenai penolakan Sang Buddha atas pandangan-pandangan ini.


103) MA: Pertanyaan ini merujuk pada seseorang yang telah mencapai hanya tahap awal dari meditasi pandangan terang tanpa mencapai tingkat memasuki-arus, jenis pelepasan yang dibahas adalah melepaskan melalui pencabutan, yang hanya dapat terjadi pada jalan memasuki-arus. YM. Mahā Cunda mengajukan pertanyaan ini karena beberapa meditator terlalu meninggikan pencapaian mereka, menganggap bahwa mereka telah meninggalkan pandangan-pandangan itu sementara mereka belum benar-benar melenyapkannya.

104) MA menjelaskan bahwa kata “muncul” (uppajjanti) di sini merujuk pada munculnya pandangan-pandangan yang belum muncul sebelumnya; “berlandaskan” (anusenti) pada kekuatannya yang terkumpul melalui keterikatan terus-menerus pada pandangan-pandangan itu; dan “diterapkan” (samudācaranti) pada perbutan jasmani atau ucapan mereka. “Objek” di mana pandangan-pandangan itu berlandaskan adalah kelima kelompok unsur kehidupan (khandha) yang merupakan sesosok orang atau makhluk hidupbentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan batin, dan kesadaran.

105) Dengan pernyataan ini, Sang Buddha menunjukkan cara yang dengannya pandangan-pandangan tercabut: perenungan pada kelima kelompok unsur kehidupan sebagai “bukan milikku”, dan seterusnya, dengan kebijaksanaan pandangan terang yang memuncak pada jalan memasuki-arus.

106) MA menjelaskan bahwa Sang Buddha, setelah menjawab pertanyaan bhikkhu itu, sekarang membicarakan jenis orang yang terlalu meninggikanmereka yang mencapai delapan pencapaian meditatif dan percaya bahwa mereka mempraktikkan pemurnian yang sesungguhnya (sallekha). Kata sallekha, yang berarti praktik pertapaan atau praktik keras, digunakan oleh Sang Buddha untuk menyiratkan penghapusan atau pelenyapan kekotoran secara radikal. Walaupun delapan pencapaian di tempat lain diletakkan dalam Latihan Buddhis (baca MN 25.12-19, MN 26.34-41), di sini dikatakan bahwa pencapaian itu tidak disebut sebagai pemurnian karena bhikkhu yang mencapainya tidak menggunakannya sebagai landasan bagi pandangan terangseperti dijelaskan, misalnya, dalam MN 52 dan MN 64melainkan hanya sebagai alat untuk menikmati kebahagiaan dan kedamaian.

107) Empat puluh empat “cara pemurnian” yang dijelaskan, jatuh dalam beberapa kelompok ajaran sebagai berikut. Yang tidak disebutkan di sini berarti tidak termasuk dalam kelompok mana pun.
(2)-(11) adalah sepuluh perbuatan tidak bermanfaat dan perbuatan bermanfaat (kammapatha)baca MN 9.4, 9.6;
(12)-(18) adalah tujuh faktor terakhir dari Jalan Delapanburuk dan baikfaktor pertama identik dengan (1);
(19)-(20) kadang-kadang ditambahkan pada dua Jalan Delapanbaca MN 117.34-36;
(21)-(23) adalah tiga terakhir dari lima rintanganbaca MN 10.36dua yang pertama identik dengan (9) dan (10);
(24)-(33) adalah sepuluh dari enam belas ketidaksempurnaan yang mengotori batin, yang disebutkan dalam MN 7.3;
(37)-(43) adalah tujuh kualitas buruk dan tujuh kualitas baik (saddhammā) yang disebutkan dalam MN 53.11-17.

108) MṬ: Ketidakkejaman (avihiṁsā), yang merupakan sinonim dari belas kasihan, disebutkan pertama karena merupakan akar dari segala kebajikan, khususnya penyebab-akar dari moralitas.

109) MA: Ini adalah penjelasan dari mereka yang menggenggam erat-erat pada pandangan yang telah muncul dalam diri mereka, dengan memercayai “Hanya inilah kebenaran”; mereka tidak melepaskannya bahkan jika disuruh oleh Sang Buddha dengan argumen yang masuk akal.

110) MA: Kecenderungan pikiran bermanfaat besar karena secara eksklusif membawa kesejahteraan dan kebahagiaan, dan karena menjadi penyebab dari perbuatan selanjutnya yang bersesuaian.

111) Kata Pali yang diterjemahkan sebagai “padam” adalah parinibbuto, yang juga dapat berarti “mencapai Nibbāna”; dan kata Pali yang diterjemahkan “membantu memadamkan” adalah parinibbāpessati, yang juga dapat berarti “membantu mencapai Nibbāna” atau “membawa menuju Nibbāna”. Kata Pali untuk ungkapan selanjutnya “yang dengannya memadamkannya”, parinibbānaya, mungkin dapat diterjemahkan “untuk mencapai Nibbāna”. Walaupun dalam seluruh tiga kasus terjemahan alternatif ini akan menjadi terlalu dipaksakan secara literal, maknanya berperan pada usulan atas makna asli dalam cara yang tidak dapat ditangkap dalam terjemahan.

112) MA menunjukkan bahwa pernyataan ini dapat dipahami dalam dua cara: (1) Seseorang yang bebas dari kekejaman dapat menggunakan ketidakkejamannya untuk membantu memadamkan kekejaman orang lain; dan (2) seseorang yang kejam dapat mengembangkan ketidakkejaman untuk memadamkan watak kejamnya. Seluruh kasus berikutnya harus dipahami dalam dua cara serupa.

113) MA: Tugas guru yang berbelaskasihan adalah ajaran Dhamma yang benar; di luar itu adalah praktik, yang merupakan tugas para siswa.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #130 on: 26 February 2011, 10:25:21 AM »
SUTTA 9

114) MA: Pandangan benar ada dua: lokiya dan lokuttara: Pandangan benar lokiya dibagi menjadi dua lagi: pandangan bahwa kamma menghasilkan buahnya, yang dianut oleh baik para Buddhis maupun diluar Buddhis, dan pandangan yang sesuai dengan Empat Kebenaran Mulia, yang eksklusif pada Ajaran Buddha. Pandangan benar lokuttara adalah pemahaman atas Empat Kebenaran Mulia yang dicapai melalui penembusan empat jalan dan buah kesucian. Pertanyaan yang diajukan oleh Yang Mulia Sāriputta adalah sehubungan dengan sekha, siswa dalam latihan yang lebih tinggi, yang memiliki pandangan benar yang satu arah menuju kebebasan. Ini disiratkan oleh frasa “keyakinan tidak tergoyahkan” dan “telah sampai pada Dhamma sejati ini”.

115) Di sini yang tidak bermanfaat (akusala) dijelaskan melalui sepuluh perbuatan tidak bermanfaat. Tiga pertama berhubungan dengan perbuatan jasmani, empat berikutnya berhubungan dengan ucapan, dan tiga terakhir berhubungan dengan pikiran. Sepuluh ini dijelaskan secara lengkap pada MN 41.8-10.

116) Tiga ini disebut akar yang tidak bermanfaat karena mendorong semua perbuatan tidak bermanfaat. Untuk pembahasan yang lebih lengkap dan informatif dari faktor-faktor ini dan lawan-lawannya, baca Nyanaponika Thera, The Roots of Good and Evil.

117) Sepuluh perbuatan tidak bermanfaat ini dijelaskan dalam MN 42.12-14.

118) MA menjelaskan pemahaman siswa atas keempat hal ini melalui Empat Kebenaran Mulia adalah sebagai berikut: semua perbuatan adalah kebenaran penderitaan; akar bermanfaat dan tidak bermanfaat adalah kebenaran asal-mula; tidak terjadinya perbuatan itu dan akar-akarnya adalah kebenaran lenyapnya; dan jalan mulia yang mencapai lenyapnya adalah kebenaran sang jalan. Hingga sejauh ini seorang siswa mulia pada salah satu dari ketiga tingkat telah dijelaskanseorang yang telah sampai pada pandangan benar lokuttara namun belum melenyapkan semua kekotoran.

119) Paragraf dari “ia sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu” hingga “ia mengakhiri penderitaan” menunjukkan tugas yang diselesaikan oleh jalan yang-tidak-kembali dan jalan Kearahatanlenyapnya kekotoran yang paling halus dan membandel dan pencapaian pengetahuan akhir. Di sini, kecenderungan tersembunyi pada nafsu indria dan kebencian dilenyapkan melalui jalan yang-tidak-kembali, kecenderungan tersembunyi pada pandangan dan keangkuhan “aku” dan kebodohan melalui jalan Kearahatan. MA menjelaskan bahwa ungkapan “kecenderungan tersembunyi pada pandangan dan keangkuhan ‘aku’” (asmī ti diṭṭhimānānusaya) harus diinterpretasikan sebagai bermakna kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan yang serupa dengan pandangan karena, seperti halnya pandangan diri yang menangkap gagasan “aku ada”.

120) Di sini saya menganggap sambhavesīnam sebagai bentuk (jarang digunakan) kata kerja aktif masa depan dalam  -esin. [ ](baca Norman, Elders; Verses I: Theragāthā, n.527, dan Gelger, A Pali Grammar, 193A.) Para komentator, yang saya ikuti dalam edisi pertama buku ini, menganggap –esin sebagai bentuk kata sifat dari esati, mencari, dan dengan demikian menjelaskan frasa ini sebagai bermakna “mereka yang mencari kehidupan baru”. Baca juga n.514. Makanan (āhāra) di sini harus dipahami dalam makna yang luas sebagai kondisi yang menonjol bagi kelangsungan hidup individu. Makanan fisik (kabalinkāra āhāra) adalah kondisi penting bagi tubuh fisik, kontak bagi perasaan, kehendak pikiran bagi kesadaran, dan kesadaran bagi batin-jasmani, organisme yang memiliki batin dan jasmani secara keseluruhan. Keinginan disebut asal-mula makanan dalam hal bahwa keinginan dari kehidupan sebelumnya adalah sumber dari individu sekarang dengan ketergantungannya pada konsumsi terus-menerus akan empat makanan dalam kehidupan ini. Untuk kompilasi kanon yang disertai keterangan dan komentar atas makanan-makanan, baca Nyanaponika Thera, The Four Nutriments of Life.

121) Dua belas bagian selanjutnya menyajikan, dalam urutan mundur, penelaahan faktor demi faktor dari sebab-akibat yang saling bergantungan. Kata penting dari formula ini dijelaskan secara ringkas pada Pendahuluan, pp.30-31. Penafsiran terperinci terdapat dalam Vsm XVII. Di sini masing-masing faktor terpola menurut Empat Kebenaran Mulia.

122) Ini merujuk pada kelima kelompok unsur kehidupan. Baca MN 10.38 dan MN 44.2.

123) Enam landasan bagi kontak diuraikan pada §50 di bawah.

124) Tiga jenis penjelmaan dijelaskan dalam Pendahuluan, pp.46-48, dalam pembahasan mengenai kosmologi Buddhis. Di sini, “penjelmaan” harus dipahami baik sebagai alam kelahiran kembali yang sesungguhnya maupun jenis kamma yang menghasilkan kelahiran kembali di alam tersebut.

125) Kemelekatan pada aturan dan upacara adalah keterikatan pada pandangan bahwa pemurnian dapat dicapai dengan mengadopsi aturan eksternal tertentu atau mengikuti upacara tertentu, khususnya disiplin-diri pertapaan; kemelekatan pada doktrin diri adalah bersinonim dengan pandangan diri dalam salah satu dari dua puluh jenisnya (baca MN 44.7); kemelekatan pada pandangan adalah kemelekatan pada seluruh jenis lain pandangan kecuali dua yang disebutkan secara terpisah. Kemelekatan dalam salah satu variasinya merupakan suatu penguatan keinginan, kondisinya.

126) Keinginan akan objek-objek pikiran (dhammataṇhā) adalah keinginan akan segala objek kesadaran kecuali objek-objek dari kelima jenis kesadaran indria. Contohnya adalah keinginan akan khayalan dan gambaran pikiran, keinginan akan gagasan-gagasan abstrak dan sistem intelektual, keinginan akan perasaan-perasaan dan kondisi-kondisi emosi, dan sebagainya.

127) Kontak (phassa) dijelaskan pada MN 18.16 sebagai pertemuan antara organ indria, objeknya, dan kesadaran.

128) Landasan-pikiran (manāyatana) adalah kata gabungan untuk segala jenis kesadaran. Satu bagian landasan ini“rangkaian kehidupan” (bhavanga) atau kesadaran bawah sadaradalah “pintu” bagi munculnya kesadaran-pikiran. Baca n.130.

129) Batin-jasmani (nāma-rūpa) adalah sebuah kata yang memayungi organisme yang memiliki batin-jasmani yang secara khusus memiliki kesadaran. Kelima faktor batin yang disebutkan dalam kelompok nāma adalah tidak dapat dipisahkan dari kesadaran dan dengan demikian berhubungan dengan seluruh pengalaman kesadaran. Empat unsur utama secara nyata mewakili kualitas materi kepadatan, kohesi, panas, dan perluasan. Bentuk materi diturunkan dari unsur-unsur termasuk, menurut analisa Abhidhamma, zat sensitif kelima indria; empat objek indriawarna, suara, bau-bauan, dan rasa kecapan. (objek sentuhan merupakan tiga unsur tanah, api, dan udara); kemampuan hidup secara fisik, inti makanan, perbedaan jenis kelamin, dan jenis lain fenomena materi. Baca Pendahuluan, p.56.

130) Kesadaran-pikiran (manoviññāṇa) terdiri dari seluruh kesadaran kecuali lima jenis kesadaran indria yang telah disebutkan. Termasuk kesadaran dari gambaran pikiran, gagasan-gagasan abstrak, dan kondisi internal pikiran, serta kesadaran dalam merenungkan objek-objek indria.

131) Dalam konteks doktrin sebab-akibat yang saling bergantungan, bentukan-bentukan (sankhārā) adalah kehendak-kehendak yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat, atau, singkatnya, kamma. Bentukan jasmani adalah kehendak yang dinyatakan melalui jasmani, bentukan ucapan adalah kehendak yang dinyatakan melalui ucapan, dan bentukan batin adalah kehendak yang tetap berada di dalam tanpa berubah menjadi ungkapan jasmani atau ucapan.

132) Harus dipahami bahwa sementara kebodohan adalah kondisi bagi noda-noda, noda-nodatermasuk noda kebodohanpada gilirannya adalah kondisi bagi kebodohan. MA mengatakan bahwa pengondisian kebodohan oleh kebodohan harus dipahami sebagai bermakna bahwa kebodohan dalam satu kehidupan dikondisikan oleh kebodohan dalam kehidupan sebelumnya. Karena itu, kesimpulan yang mengikuti adalah bahwa tidak ada titik awal yang dapat ditemukan bagi kebodohan, dan dengan demikian maka saṁsāra adalah tanpa awal yang dapat diketahui.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #131 on: 26 February 2011, 10:46:07 AM »
SUTTA 10

133) Ini adalah salah satu terpenting dalam Kanon Pali, berisikan pernyataan yang paling luas dari jalan paling langsung pada pencapaian tujuan Buddhis. Sebenarnya sutta serupa juga terdapat pada DN 22, walaupun dengan tambahan analisa yang diperluas pada Empat Kebenaran Mulia, yang menjadikannya lebih panjang. Sutta ini, komentarnya, dan kutipan-kutipannya telah disajikan beserta terjemahannya oleh Soma Thera dalam The Way of Mindfulness. Suatu terjemahan atas sutta ini yang sangat mudah dibaca, dengan komentarnya yang jelas dan mendalam, dapat ditemukan dalam Nyanaponika Thera, The Heart of Buddhist Meditation.

134) Pemukiman ini dikatakan oleh beberapa terpelajar berlokasi di sekitar Delhi Modern.

135) Dalam Pali tertulis ekāyano ayaṁ bhikkhave maggo, yang hampir semua penerjemah memahaminya sebagai suatu pernyataan yang menganggap satipaṭṭhāna sebagai suatu jalan yang eksklusif. Demikianlah YM. Soma menerjemahkannya: “Ini adalah jalan satu-satunya, O, Para bihkkhu”. dan YM. Nyanaponika: “Ini adalah jalan tunggal, Para bhikkhu”. Akan tetapi, Ñm menunjukkan bahwa ekāyana magga pada MN 12.37-42 memiliki makna yang tidak membingungkan sebagai “jalan satu arah”, dan demikianlah ia menerjemahkan frasa ini dalam paragraf ini. Ungkapan yang digunakan di sini, “jalan langsung”, adalah suatu usaha untuk melestarikan makna yang lebih luwes. MA menjelaskan ekāyana magga sebagai jalan tunggal, bukan jalan bercabang; sebagai jalan yang harus dijalani oleh diri sendiri, tanpa pendamping; dan merupakan jalan yang menuju ke satu tujuan, Nibbāna. Walaupun tidak ada dasar Kanonis atau komentar atas pandangan ini, namun dapat dikatakan bahwa satipaṭṭhāna disebut ekāyana magga, jalan langsung, untuk membedakannya dari pendekatan pencapaian meditatif yang melalui jhāna atau brahmavihāra. Walaupun jhāna atau brahmavihāra dapat menuntun menuju Nibbāna, namun juga dapat menyimpang, sedangkan satipaṭṭhāna pasti menuntun menuju tujuan akhir.

136) Kata satipaṭṭhāna adalah kata majemuk. Bagian pertama, sati, secara literal berarti “ingatan”, tetapi dalam penggunaan Buddhis Pali lebih sering bermakna perhatian yang diarahkan pada masa sekarangdemikianlah perubahan penerjemahan menjadi “perhatian”. Bagian ke dua dijelaskan dalam dua cara: sebagai bentuk singkat dari upaṭṭhāna, [ ]yang berarti “menegakkan” atau “membentuk”di sini, dalam hal perhatian; atau sebagai paṭṭhāna, [ ]yang berarti “wilayah” atau “landasan”sekali lagi, dalam hal perhatian. Dengan demikian empat satipaṭṭhāna dapat dipahami sebagai empat cara menegakkan perhatian atau sebagai empat wilayah objek perhatian, yang diperkuat dalam isi sutta ini. Makna pertama sepertinya turunan yang benar secara etimologi (ditegaskan oleh Sanskrit sm tyupasthāna), tetapi para komentator Pali, walaupun menerima kedua penjelasan ini, lebih menyukai makna ke dua.

137) MA mengatakan bahwa dalam konteks ini, “bhikkhu” adalah kata yang menunjukkan seseorang yang dengan sungguh-sungguh berusaha untuk melatih ajaran: “Siapa pun yang menjalankan praktik itu ... di sini termasuk dalam kata ‘bhikkhu’.

138) Pengulangan dalam frasa “merenungkan jasmani sebagai jasmani” (kaye kāyānupassī), menurut MA, bertujuan untuk secara tepat menentukan objek perenungan dan mengisolasi objek tersebut dari yang lainnya yang dapat membingungkan. Dengan demikian, dalam praktik ini, jasmani harus direnungkan sebagaimana adanya, dan bukan perasaan, gagasan, atau emosi yang berhubungan dengan jasmani. Frasa ini juga bermakna bahwa jasmani harus direnungkan hanya sebagai jasmani, bukan sebagai laki-laki, perempuan, diri, atau makhluk hidup. Pertimbangan serupa berlaku pada pengulangan dalam masing-masing dari ketiga landasan perhatian lainnya. “Ketamakan dan kesedihan”, MA mengatakan, adalah keinginan indria dan niat buruk, rintangan utama yang harus diatasi agar praktik ini berhasil, diuraikan secara terpisah di bawah pada §36.

139) Struktur sutta ini sangat sederhana. Setelah pembukaan, batang tubuh khotbah ini jatuh dalam empat bagian menurut empat landasan perhatian:
I.   Perenungan jasmani, yang terdiri dari empat belas latihan: perhatian pada pernapasan; perenungan pada empat postur; kewaspadaan penuh; perhatian pada kejijikan; perhatian pada unsur-unsur; dan sembilan “perenungan tanah pekuburan”perenungan pada mayat dalam berbagai tahap kerusakan.
II.   Perenungan perasaan, dianggap satu latihan.
III.   Perenungan pikiran, juga satu latihan.
IV.   Perenungan objek-objek pikiran, yang terdiri dari lima sub-bagianlima rintangan; lima kelompok unsur kehidupan; tujuh faktor pencerahan; dan Empat Kebenaran Mulia.

Demikianlah sutta ini menjelaskan keseluruhan dua puluh satu latihan perenungan. Masing-masing latihan pada gilirannya memiliki dua aspek: latihan dasar, dijelaskan pertama kali, dan bagian tambahan mengenai pandangan terang (yang intinya sama untuk semua latihan), yang menunjukkan bagaimana perenungan dikembangkan untuk memperdalam pemahaman akan fenomena yang diselidiki.

Akhirnya, sutta ini ditutup dengan pernyataan jaminan yang mana Sang Buddha secara pribadi menjamin efektivitas metode ini dengan menyatakan buah dari praktik yang dilakukan terus-menerus ini adalah Kearahatan atau yang-tidak-kembali,

140) Praktik perhatian pada pernapasan (ānāpānasati) tidak melibatkan usaha untuk mengatur napas, seperti pada hatha yoga, tetapi mempertahankan usaha memusatkan kewaspadaan pada napas sewaktu masuk dan keluar secara alami. Perhatian ditegakkan di lubang hidung atau bibir atas, di mana pun sentuhan napas paling jelas dirasakan; panjang napas diperhatikan namun tidak dengan sengaja dikendalikan. Pengembangan meditasi ini secara lengkap dijelaskan dalam MN 118. Untuk koleksi yang lebih terstruktur atas topik ini, baca Bhikkhu Ñāṇamoli, Mindfulness of Breathing, baca juga Vsm VIII, 145-244.

141) MA menjelaskan “mengalami keseluruhan tubuh” (sabbakāyapaṭisaṁvedī) sebagai bermakna bahwa meditator mewaspadai tiap-tiap napas masuk dan keluar melalui tiga tahap awal, pertengahan, dan akhir. Pada edisi pertama, saya mengikuti penjelasan ini dan menambahkan dalam kurung “napas” setelah “keseluruhan tubuh”. Akan tetapi, setelah mempertimbangkan kembali, interpretasi ini sepertinya terlalu dipaksakan, dan sekarang saya lebih suka mengartikan frasa ini secara literal. Juga adalah sulit melihat bagaimana paṭisaṁvedi dapat berarti “mewaspadai”, karena kata ini didasarkan pada kata kerja yang berarti “mengalami”.

142) “Bentukan jasmani” (kāyasankhāra) didefinisikan pada MN 44.13 sebagai napas masuk dan keluar itu sendiri. Demikianlah, seperti yang dijelaskan MA, dengan pengembangan praktik yang berhasil, napas si meditator menjadi semakin halus, tenang, dan damai.

143) MA: “secara internal”: merenungkan napas dalam tubuhnya sendiri. “Secara eksternal”: merenungkan napas pada tubuh orang lain. “Secara internal dan eksternal”: merenungkan napas dalam tubuh sendiri dan tubuh orang lain bergantian, dengan perhatian tanpa terputus. Penjelasan serupa berlaku untuk bagian pengulangan pada tiap-tiap bagian lainnya, kecuali [ ]bahwa dalam perenungan perasaan, pikiran, dan objek-objek pikiran, perenungan secara eksternal, selain dari mereka yang memiliki kekuatan telepatis, harus dilakukan dengan menyimpulkan.


144) Ungkapan samudayadhammānupassi kāyasmiṁ viharati biasanya diterjemahkan “ia berdiam merenungkan faktor-faktor munculnya dalam jasmani” (seperti yang terdapat pada edisi pertama), dengan asumsi bahwa kata majemuk itu berisikan bentuk jamak, samudayadhammā. Akan tetapi, makna jamak, bukanlah keharusan, dan adalah lebih konsisten dengan penggunaan akhiran –dhamma di tempat lain dengan menganggapnya berarti “tunduk pada” atau “memiliki sifat” di sini juga. Penjelasan komentar terhadap faktor-faktor pengondisi bagi masing-masing dari keempat landasan tidak menyiratkan bahwa komentar memahami –dhamma sebagai berarti faktor-faktor pengondisi yang sebenarnya.

MA menjelaskan bahwa sifat munculnya (samudayadhammā) dari jasmani dapat diamati dalam kondisi asal-mulanya melalui kebodohan, keinginan, kamma, dan makanan, serta asal-mula saat demi saat dari fenomena materi dalam jasmani. Dalam hal perhatian pada pernapasan, suatu kondisi adalah perlengkapan pernapasan fisiologis. “Sifat lenyapnya” (vayadhammā) bagi jasmani dapat dilihat dalam lenyapnya fenomena jasmani melalui lenyapnya kondisi-kondisinya serta dalam saat demi saat lenyapnya fenomena jasmani.


ko hendra, ini ada 5 sub bagian, tapi cuma 4 yg disebutkan. kurang yg 6 landasan indria, di englishnya apa memang gini jg?
IV.   Perenungan objek-objek pikiran, yang terdiri dari lima sub-bagianlima rintangan; lima kelompok unsur kehidupan; tujuh faktor pencerahan; dan Empat Kebenaran Mulia.
« Last Edit: 26 February 2011, 10:59:06 AM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #132 on: 26 February 2011, 12:11:05 PM »
145) MA: Demi pengetahuan dan perhatian yang lebih luas dan lebih tinggi.

146) Pemahaman atas postur tubuh yang dirujuk dalam latihan ini bukanlah pengetahuan alami yang biasa kita miliki sehubungan dengan aktivitas jasmani, melainkan kewaspadaan penuh dan terus-menerus terhadap jasmani dalam setiap posisi, yang disertai dengan pemeriksaan analitis yang dimaksudkan untuk melenyapkan kebodohan yang beranggapan diri sebagai pelaku gerakan jasmani.

147) Sampajañña, juga diterjemahkan sebagai “pemahaman jernih” (Soma, Nyanaponika), dianalisa dalam komentar dalam empat jenis: kewaspadaan penuh atas tujuan perbuatan, kewaspadaan penuh atas kesesuaian caranya; kewaspadaan penuh atas wilayah, yaitu, tidak meninggalkan subjek meditasi selama aktivitas rutin sehari-hari; dan kewaspadaan penuh atas kenyataan, pengetahuan bahwa di balik aktivitas seseorang tidak ada diri yang berdiam. Baca The Way of Mindfulness, pp.60-100; The Heart of Buddhist Meditation, pp. 46-55.

148) Dalam karya Pali belakangan, otak ditambahkan pada daftar di atas membentuk tiga puluh dua bagian. Rincian praktik meditasi ini dijelaskan dalam Vsm VIII, 42-144.

149) Empat unsur utama ini dijelaskan oleh tradisi Buddhis sebagai atribut materi utamakepadatan, kohesi, panas, dan perluasan. Penjelasan terperinci terdapat pada Vsm XI, 27-117.

150) Kata “seolah-olah” (seyyathāpi) menyiratkan bahwa meditasi ini, dan yang berikutnya, tidak harus berdasarkan pada penglihatan sesungguhnya pada mayat dalam kondisi rusak seperti digambarkan, tetapi dapat dilakukan dengan latihan membayangkan. “Jasmani yang sama ini” adalah, tentu saja, jasmani di meditator.

151) Masing-masing dari empat jenis mayat yang disebutkan di sini, dan tiga jenis berikutnya, dapat dianggap sebagai subjek meditasi terpisah dan mencukupi; atau keseluruhannya dapat digunakan sebagai rangkaian progresif untuk menekankan gagasan pikiran akan kesementaraan dan ketanpaintian jasmani ini. Kemajuan berlanjut pada §§26-30, daftar tulang-belulang di sini diterjemahkan dari versi yang lebih lengkap dari edisi BBS.

152) Perasaan (vedanā) menyiratkan kualitas efektif dari pengalaman, jasmani dan batin, baik menyenangkan, menyakitkan, maupun bukan keduanya, yaitu, perasaan netral. Contoh dari bentuk-bentuk “duniawi” dan “nonduniawi” yang membentuk perasaan-perasaan ini diberikan pada MN 137.9-15 di bawah rubrik enam jenis kegembiraan, kesedihan, dan keseimbangan berdasarkan berturut-turut pada kehidupan rumah tangga dan pelepasan keduniawian.

153) Kondisi-kondisi bagi muncul dan lenyapnya perasaan adalah sama dengan kondisi-kondisi muncul dan lenyapnya jasmani (baca n.144) kecuali bahwa makanan digantikan dengan kontak, karena kontak adalah kondisi bagi perasaan (baca MN 9.42).

154) Pikiran (citta) sebagai suatu objek perenungan merujuk pada kondisi dan tingkatan umum kesadaran. Karena kesadaran itu sendiri, secara alami, hanyalah sekadar mengetahui atau mengenali suatu objek, kualitas kondisi pikiran apa pun ditentukan oleh faktor-faktor batin tertentu, seperti nafsu, kebencian, dan kebodohan atau lawannya, seperti disebutkan dalam sutta.

155) Contoh berpasangan dari citta yang diberikan dalam paragraf ini memperlawankan kondisi pikiran yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, atau karakter yang terkembang dan tidak terkembang. Akan tetapi, suatu pengecualian, adalah pasangan “mengerut” dan “kacau”, yang keduanya adalah tidak bermanfaat, mengerut karena kelambanan dan ketumpulan, kacau karena kegelisahan dan penyesalan. MA menjelaskan “pikiran luhur” dan “pikiran yang tanpa batas” adalah pikiran yang berhubungan dengan tingkatan jhāna dan pencapaian meditatif tanpa materi, dan “pikiran tidak luhur” dan “pikiran terbatas” adalah berhubungan dengan tingkatan kesadaran alam-indria. “Pikiran terbebaskan” harus dipahami sebagai pikiran yang secara sementara dan secara sebagian terbebas dari kekotoran-kekotoran melalui pandangan terang atau jhāṅa. Karena praktik satipaṭṭhāna berhubungan dengan tahap persiapan dari sang jalan yang ditujukan pada jalan kebebasan lokuttara, kategori terakhir ini jangan diartikan sebagai pikiran yang terbebas melalui pencapaian jalan lokuttara.

156) Kondisi-kondisi muncul dan lenyapnya pikiran adalah serupa dengan kondisi-kondisi muncul dan lenyapnya jasmani kecuali bahwa makanan digantikan oleh batin-jasmani, karena batin-jasmani adalah kondisi bagi kesadaran (baca DN 15.22/ii.63).


157) Kata yang diterjemahkan sebagai “objek-objek pikiran” adalah dhammā yang memiliki banyak makna. Dalam konteks ini, dhammā dapat dipahami sebagai terdiri dari segala fenomena yang dikelompokkan melalui “pengategorian Dhamma, Ajaran Sang Buddha tentang kenyataan. Perenungan ini mencapai puncaknya pada penembusan ajaran ke dalam jantung DhammaEmpat Kebenaran Mulia.

158) Lima rintangan (pañcanīvaraṇā) adalah halangan batin utama pada pengembangan konsentrasi dan pandangan terang. Keinginan indria muncul melalui perhatian yang tidak bijaksana pada kemenarikan objek indria dan ditinggalkan melalui meditasi pada objek menjijikkan (seperti dalam §10 dan §§14-30); niat buruk muncul melalui perhatian yang tidak bijaksana pada objek yang menjijikkan dan ditinggalkan melalui pengembangan cinta kasih; kelambanan dan ketumpulan muncul karena menyerah pada kebosanan dan kemalasan dan ditinggalkan dengan membangkitkan semangat; kegelisahan dan penyesalan muncul melalui perenungan yang tidak bijaksana pada pikiran-pikiran yang mengganggu dan ditinggalkan melalui perenungan yang bijaksana pada ketenangan; keragu-raguan muncul melalui perenungan yang tidak bijaksana pada hal-hal yang meragukan dan ditinggalkan melalui pembelajaran, penyelidikan, dan bertanya. Rintangan-rintangan ini dilenyapkan sepenuhnya hanya melalui jalan lokuttara. Untuk pembahasan lebih lengkap, baca The Way of Mindfulness, pp.119-130; Nyanaponika Thera, The Five Mental Hindrances; dan juga MN 27.18 dan MN 39.13-14 di bawah.

159) Kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan (pañc’ upādānakkhandhā) adalah lima kelompok faktor yang menyusun individu personal. Kelompok-kelompok unsur kehidupan ini dibahas dalam Pendahuluan, p.26, dan dianalisa serta dijelaskan dalam hal asal-mula dan lenyapnya pada MN 109.9.

160) Landasan-landasan internal adalah, seperti ditunjukkan, enam organ indria; landasan-landasan eksternal adalah objek-objeknya masing-masing. Belenggu yang muncul dengan bergantung pada pasangan ini dapat dipahami melalui sepuluh belenggu yang dijelaskan dalam Pendahuluan, pp.42-43, atau secara lebih sederhana sebagai ketertarikan (keserakahan), ketidaksenangan (kebencian), dan kebodohan yang mendasari.

161) Bagaimana ketujuh faktor pencerahan ini terungkap dalam urutan bertahap dijelaskan pada MN 118.29-40. Untuk pembahasan lebih terperinci, baca Piyadassi Thera, The Seven Factor of Enlightenment.

162) “Penyelidikan kondisi-kondisi” (dhammavicaya) berarti meneliti fenomena batin dan jasmani yang muncul dalam pikiran meditator melalui perhatian.

163) Komentar menjelaskan secara terperinci kondisi-kondisi yang mendukung kematangan faktor-faktor pencerahan. Baca The Way of Mindfulness, pp.134-149.

164) Dalam bagian ini, perenungan dhammā sebagai objek-objek pikiran memuncak pada pemahaman Dhamma dalam formula inti sebagai Empat Kebenaran Mulia. Mahāsatipaṭṭhāna Sutta yang lebih panjang dalam Dīgha Nikāya memberikan definisi dan penjelasan yang lebih luas pada masing-masing kebenaran.

165) Pengetahuan akhir, aññā, adalah pengetahuan kebebasan akhir seorang Arahant. Tidak Kembali (anāgāmitā) tentu saja adalah kondisi yang-tidak-kembali, yang terlahir kembali di alam yang lebih tinggi di mana ia mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali ke alam manusia.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #133 on: 26 February 2011, 12:26:57 PM »
SUTTA 11

166) Frasa “hanya di sini” berarti hanya dalam Pengajaran Buddha. Empat petapa (samaṇa) merujuk pada empat tingkat siswa ariyapemasuk-arus, yang-kembali-sekali, yang-tidak-kembali, dan Arahant. “Auman singa” (sīhanāda), menurut MA, adalah auman keunggulan dan tanpa ketakutan, auman yang tidak dapat dibantah. Sehubungan dengan pernyataan Sang Buddha ini, baca juga khotbah-Nya kepada Subhadda dalam Mahāparinibbāna Sutta (DN 16:5.27/ii.151-52).

167) MA: Walaupun para pengikut sekte lain semuanya menyatakan Kearahatanyang dipahami secara umum sebagai kesempurnaan spiritualsebagai tujuan, namun mereka menunjukkan pencapaian lain sebagai tujuan sesuai dengan pandangan mereka. Demikianlah para brahmana menyatakan alam-Brahmā sebagai tujuan, para petapa menyatakan dewa dengan Cahaya Gemerlap, para pengembara menyatakan dewa dengan Keagungan Gemilang, dan para Ājīvaka menyatakan kondisi tanpa-persepsi, yang mereka bayangkan sebagai “pikiran yang tanpa batas”.

168) “Menyukai dan menolak” (anurodhapaṭivirodha) berarti bereaksi dengan ketertarikan melalui nafsu dan dengan ketidaksenangan melalui kebencian.

169) Proliferasi (papañca), menurut MA, ini adalah aktivitas pikiran yang diatur oleh keinginan dan pandangan. Penjelasan lebih lanjut sehubungan dengan kata penting ini, baca n.229.

170) Pandangan penjelmaan (bhavadiṭṭhi) adalah eternalisme, kepercayaan akan diri yang abadi; pandangan tanpa-penjelmaan (vibhadiṭṭhi) [ ]adalah nihilisme, penyangkalan pada prinsip kelangsungan sebagai suatu landasan bagi kelahiran kembali dan pembalasan kamma. Pengadopsian salah satu pandangan merupakan penolakan pada pandangan lainnya yang berhubungan dengan pernyataan sebelumnya bahwa tujuan itu adalah untuk seorang yang tidak menyukai dan tidak menolak.

171) Sehubungan dengan asal-mula (samudaya) dari pandangan-pandangan ini, MA menyebutkan delapan kondisi: kelima kelompok unsur kehidupan, kebodohan, kontak, persepsi, pikiran, perhatian tidak bijaksana, teman-teman yang buruk, dan kata-kata orang lain. Lenyapnya (atthangama) pandangan-pandangan ini adalah jalan memasuki-arus, yang melenyapkan semua pandangan salah. Kepuasan (assāda) [ ]dapat dipahami sebagai kepuasan pada kebutuhan psikologis yang diberikan oleh pandangan-pandangan itu; bahaya (ādīnava) adalah belenggu yang terus-menerus yang dibawa oleh pandangan-pandangan itu; jalan membebaskan diri (nissaraṇa) dari pandangan-pandangan itu adalah Nibbāna.

172) MA mengemas pemahaman penuh (pariññā) di sini sebagai mengatasi, melampaui (samatikkama), dengan merujuk pada gagasan komentar atas pahānapariññā, “pemahaman penuh sebagai pelepasan”. Baca n.7.

173) Paragraf ini dengan jelas menyebutkan faktor penting yang membedakan ajaran Buddha dari kepercayaan filosofis dan religius lainnya adalah “pemahaman penuh terhadap kemelekatan pada ajaran itu sendiri”. Ini berarti, intinya, bahwa Sang Buddha sendiri mampu menunjukkan bagaimana mengatasi semua pandangan diri dengan mengembangkan penembusan pada kebenaran tanpa-diri. Karena para guru spiritual lainnya tidak memiliki pemahaman tanpa-diri ini, pengakuan mereka sehubungan dengan pemahaman sepenuhnya ketiga jenis kemelekatan ini juga adalah dugaan.

174) MA: Yaitu, Sang Buddha mengajarkan bagaimana kemelekatan pada kenikmatan indria (dipahami sebagai terdiri dari segala bentuk keserakahan, MṬ) ditinggalkan melalui jalan Kearahatan, ketiga kemelekatan lainnya melalui jalan memasuki-arus.

175) Paragraf ini disebutkan untuk menunjukkan bagaimana kemelekatan ditinggalkan. Kemelekatan ditelusuri hingga penyebab-akarnya dalam kebodohan, dan kemudian hancurnya kebodohan ditunjukkan sebagai cara untuk melenyapkan kemelekatan.

176) Idiom Pali, n’ eva kāmupādānaṁ upādiyati, seharusnya diterjemahkan secara literal sebagai “ia tidak melekat pada kemelekatan pada kenikmatan indria”, yang dapat mengaburkan maknanya daripada menjelaskannya. Ūpādāna dalam Pali adalah objek dari kata kerjanya sendiri, sementara “kemelekatan” (clinging, Ing.) bukan. Pada satu tahapan dalam terjemahannya, Ñm mencoba untuk menghindari persoalan ini dengan meminjam makna lain dari kata ūpādāna, yaitu, “bahan bakar” dan menerjemahkannya: “ia tidak lagi melekat pada kenikmatan indria [sebagai bahan bakar bagi] kemelekatan”. Akan tetapi, ini juga masih kabur, dan oleh karena itu, saya mencoba untuk melewati kesulitan ini dengan menerjemahkannya secara langsung sesuai maknanya daripada menyesuaikan dengan kalimat idiom tersebut.


SUTTA 12

177) Sunakkhata Sutta (MN 105) telah dibabarkan kepadanya oleh Sang Buddha, jelas sebelum ia bergabung dalam Sangha; kisah mengenai peralihannya dijelaskan dalam Pāṭika Sutta (DN 24). Ia menjadi tidak puas dan meninggalkan Sangha karena Sang Buddha tidak memperlihatkan kesaktian apa pun padanya atau menjelaskan kepadanya tentang awal dari segala sesuatu.

178) Kondisi-kondisi melampaui manusia (uttari manussadhammā) adalah kondisi-kondisi, moralitas, atau pencapaian yang lebih tinggi daripada manusia biasa yang terdiri dari sepuluh perbuatan baik (baca MN 9.6); termasuk jhāna-jhāna, jenis-jenis pengetahuan langsung, dan jalan dan buah. “Keluhuran dalam hal pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia” (alamariyañāṇadassanavisesa), ungkapan yang sering muncul dalam sutta-sutta, menyiratkan semua tingkatan pengetahuan meditatif yang lebih tinggi yang menjadi karakteristik individu mulia. Di sini, menurut MA, ini secara khusus berarti jalan lokuttara, yang disangkal oleh Sunakkhatta pada Sang Buddha.

179) Inti dari kritikannya adalah bahwa Sang Buddha mengajarkan suatu doktrin yang Beliau capai sendiri dalam pikiran-Nya bukan seorang yang telah mencapainya melalui kebijaksanaan transenden. Jelas ia percaya bahwa dengan dituntun menuju kehancuran total penderitaan adalah, sebagai suatu tujuan, lebih rendah daripada mencapai kekuatan gaib.

180) Semua bagian berikutnya disampaikan sebagai bantahan terhadap kritikan Sunakkhatta pada Sang Buddha. §§6-8 mencakup tiga pertama dari enam pengetahuan langsung (abhiññā), tiga terakhir adalah yang terakhir dari sepuluh kekuatan Sang Tathāgata. Sepuluh kekuatan Sang Tathāgata, menurut MA, dipahami sebagai kekuatan pengetahuan (ñāṇabala) yang dicapai oleh semua Buddha sebagai buah akumulasi jasa mereka. Vibhanga (§§809-31/440-51) dari Abhidhamma Piṭaka menguraikan analisanya.

181) Tentang Sang Buddha mengaumkan auman singa-Nya, baca SN 22:78/iii.84-86. Roda Brahmā adalah yang tertinggi, terbaik, roda yang terunggul, Roda Dhamma (dhammacakka) dalam dua maknanya: pengetahuan menembus kebenaran dan pengetahuan bagaimana membabarkan ajaran (MA).

182) Vbh §809 menjelaskan pengetahuan ini dengan mengutip MN 115.12-17. Akan tetapi, MA, menjelaskan secara berbeda sebagai pengetahuan atas hubungan antara sebab dan akibatnya.

183) Pengetahuan ini dapat ditunjukkan oleh analisis kamma menurut Sang Buddha dalam MN 57, MN 135, dan MN 136. MA menjelaskan kemungkinan (ṭhāna) [ ]seperti alam, situasi, waktu, dan usahafaktor-faktor yang dapat menghalangi atau mendorong akibatnya; penyebabnya (hetu) adalah kamma itu sendiri.

184) Pengetahuan ini akan dijelaskan dalam §§35-42 di bawah.

185) Pemahaman Sang Tathāgata atas banyak unsur yang menyusun dunia terdapat dalam MN 115.4-9.

186) Vbh §813 menjelaskan bahwa Sang Tathāgata memahami makhluk-makhluk berkecenderungan rendah dan berkecenderungan mulia, dan bahwa mereka condong kepada mereka yang memiliki kecenderungan sama.

187) Vbh §814-27 memberikan analisa terperinci. MA menyebutkan maknanya secara lebih ringkas sebagai pengetahuan Sang Tathāgata terhadap indria keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan makhluk-makhluk yang rendah maupun mulia.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #134 on: 26 February 2011, 12:40:25 PM »
188) Vbh §828: “kekotoran” (sankilesa) adalah suatu kondisi yang [ ]menyebabkan kemunduran, “pemurnian” (vodāna) adalah suatu kondisi yang [ ]menyebabkan kemajuan, “kemunculan” (vuṭṭhāna) adalah pemurnian dan kemunculan pencapaian. Delapan kebebasan (vimokkhā) diuraikan dalam MN 77.22 dan MN 137.26; sembilan pencapaian (samāpatti) adalah empat jhāna, empat pencapaian tanpa materi, dan lenyapnya persepsi dan perasaan seperti pada MN 25.12-20.

189) Idiom yathābhataṁ nikkhitto evaṁ niraye agak rumit; terjemahan di sini mengikuti komentar: “Ia akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa dan diletakkan di sana oleh penjaga neraka.”

190) Dalam tradisi Buddhis belakangan, asura, raksasa atau “lawan-para dewa”, ditambahkan sebagai alam terpisah menjadikan enam alam tujuan kehidupan.

191) MA: walaupun penggambarannya sama dengan kebahagiaan alam surga, maknanya berbeda. Karena kebahagiaan alam surga tidaklah sungguh-sungguh sangat menyenangkan karena demam nafsu, dan sebagainya, masih ada di sana. Tetapi kebahagiaan Nibbāna sungguh sangat menyenangkan dalam segala hal karena lenyapnya segala demam.

192) Pada titik ini, MA memberitahukan kita, Sang Buddha menceritakan kisah praktik pertapaan masa lampau-Nya karena Sunakkhatta adalah seorang pemuja pertapaan keras (seperti yang ditunjukkan dalam Paṭika Sutta) dan Sang Buddha ingin memberitahukan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menyamai-Nya dalam hal praktik pertapaan keras. Paragraf-paragraf berikutnya harus digabungkan dengan MN 4.20 dan MN 36.20-30 untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang percobaan Sang Bodhisatta dalam penyiksaan diri ekstrem.

193) Gagasan ini sepertinya bahwa belas kasihnya terarah, bukan pada kuman dalam setetes air (seperti yang disiratkan dalam terjemahan edisi pertama), melainkan pada makhluk-makhluk yang mungkin terluka atau terbunuh karena tidak berhati-hati dalam membuang air.

194) MA mengatakan bahwa “Delapan hari interval beku” (antaraṭṭhaka himapātasamaya) terjadi pada empat hari pertama bulan Magha dan empat hari pertama bulan Phagguna (yaitu, akhir Februari). Akan tetapi, musim dingin di Asia Selatan biasanya jatuh pada akhir Desember atau awal Januari.

195) Yaitu, mereka menganut pandangan bahwa makhluk-makhluk dimurnikan dengan cara mengurangi makanan.

196) Kelahiran kembali di Alam Murni (suddhāvāsa) hanya mungkin bagi para yang-tidak-kembali.

197) Kata Pali untuk empat istilah ini adalah sati, gati, dhiti, paññāveyyattiya. MA menjelaskan sati sebagai kemampuan untuk menangkap dalam pikiran seratus atau seribu frasa sewaktu diucapkan; gati sebagai kemampuan untuk mengingat dan mempertahankannya dalam pikiran; dithi sebagai kemampuan untuk mengucapkan kembali apa yang telah ditangkap dan diingat; dan paññāveyyattiya sebagai kemampuan untuk melihat makna dan logika dari frasa-frasa tersebut.

198) YM. Nāgasamāla menjadi pelayan pribadi Sang Buddha selama dua puluh tahun pertama pengajaran-Nya.

199) Lomahaṁsanapariyāya. Sutta ini dirujuk dengan nama itu pada Miln 398 dan dalam Komentar Dīgha Nikāya.


SUTTA 13

200) MA: “Pemahaman penuh” (pariññā) di sini berarti mengatasi (samatikkama) atau meninggalkan (pahāna). Para pengembara sekte lain mengidentifikasikan pemahaman penuh pada kenikmatan indria sebagai jhāna pertama, pemahaman penuh pada bentuk materi sebagai alam penjelmaan tanpa materi, dan pemahaman penuh pada perasaan sebagai alam penjelmaan tanpa-perasaan. Sang Buddha, sebaliknya, menggambarkan pemahaman penuh pada kenikmatan indria sebagai jalan yang-tidak-kembali, dan pemahaman penuh pada bentuk materi dan perasaan sebagai jalan Kearahatan.

201) MA memberikan penggambaran grafis pada masing-masing bentuk siksaan ini.

202) Harus dipahami bahwa sementara bahaya dalam kenikmatan indria yang sebelumnya disebut “kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini” (sandiṭṭhiko dukkhakkhandho), yang ini disebut “kumpulan penderitaan dalam kehidupan mendatang” (samparāyiko dukkhakkhandho).

203) MA mengatakan bahwa Nibbāna adalah lenyapnya dan ditinggalkannya keinginan dan nafsu akan kenikmatan indria, karena dengan bergantung pada Nibbāna, keinginan dan nafsu dilenyapkan dan ditinggalkan. Ini juga dapat dianggap termasuk jalan yang-tidak-kembali, yang sempurna meninggalkan keinginan dan nafsu akan kenikmatan indria.

204) Untuk mengungkapkan bahaya dalam perasaan, Sang Buddha memilih kenikmatan lokiya yang paling halus dan luhur, kebahagiaan dan kedamaian jhāna, dan menunjukkan bahwa bahkan kondisi-kondisi demikian adalah tidak kekal dan dengan demikian tidak memuaskan.


SUTTA 14

205) Mahānāma orang Sakya adalah saudara sepupu Sang Buddha dan saudara dari YM. Anuruddha dan Ānanda. Ia memilih untuk tetap menjadi perumah tangga dan membiarkan Anuruddha menjadi bhikkhu, kisah ini terdapat dalam Ñāṇamoli, The Life of the Buddha, pp.80-81.

206) Menurut MA, Mahānāma telah lama mencapai buah yang-kembali-sekali, yang hanya melemahkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan, namun belum melenyapkannya. MA mengatakan bahwa ia memiliki gagasan keliru bahwa keserakahan, kebencian, dan kebodohan dilenyapkan melalui jalan yang-kembali-sekali. Dengan demikian, ketika ia melihat bahwa keserakahan, kebencian, dan kebodohan masih muncul dalam pikirannya, ia menyadari bahwa ia belum meninggalkannya dan menanyakan sebab kemunculannya kepada Sang Buddha. Para siswa mulia dapat keliru mengenai kekotoran apa yang ditinggalkan oleh jalan apa.

207) Dari pembahasan selanjutnya tentang bahaya dalam kenikmatan indria, sepertinya “kondisi” (dhamma) yang belum ditinggalkan oleh Mahānāma adalah keinginan indria, yang masih mengikatnya pada kehidupan rumah tangga dan menikmati kenikmatan indria.

208) “Kegembiraan dan kenikmatan yang terpisah dari kenikmatan indria” adalah kegembiraan dan kenikmatan dalam jhāna pertama dan ke dua; kondisi-kondisi yang “lebih damai daripada itu” adalah jhāna-jhāna yang lebih tinggi. Dari paragraf ini, sepertinya bahwa seorang siswa dapat mencapai bahkan hingga jalan dan buah ke dua tanpa memiliki jhāna lokiya.

209) Para Nigaṇṭha atau Jain, para pengikut Guru Nigaṇṭha Nātaputta (juga dikenal dengan nama Mahāvīra), menekankan praktik pertapaan keras untuk meluruhkan akumulasi kamma buruk masa lampau. Tujuan paragraf ini, menurut MA, adalah untuk menunjukkan jalan membebaskan diri, yang belum ditunjukkan sebelumnya bersama dengan kepuasan dan bahaya dalam kenikmatan indria. Sang Buddha manyebutkan praktik pertapaan Jain untuk memperlihatkan bahwa ajarannya adalah “Jalan Tengah” yang bebas dari kedua ekstrem menikmati kenikmatan indria dan penyiksaan diri.

210) Para Jain menganut pandangan bahwa apa pun yang dialami seseorang adalah disebabkan oleh kamma lampau. Jika demikian, Sang Buddha membantah, maka kesakitan yang mereka alami sebagai bagian dari disiplin pertapaan mereka adalah berakar pada perbuatan buruk mereka dalam kehidupan sebelumnya.

211) MA: ini merujuk pada pengalaman-Nya sendiri akan kenikmatan pencapaian buah, yaitu, pencapaian buah Kearahatan (arahattaphalasamāpatti).
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

 

anything