//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)  (Read 43032 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #45 on: 16 August 2010, 01:50:54 AM »

terjemahan yg aneh

untuk komentar mohon lakukan di sini http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17307.0.html, atau baca post #1

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #46 on: 16 August 2010, 08:37:47 PM »
Tambahan
19  Dvedhāvitakka Sutta



3. Kapan pun pikiran keinginan indria muncul

4-5. Kapan pun pikiran kekejaman muncul

8. pikiran ini mendukung kebijaksanaan, tidak menyebabkan kesulitan-kesulitan, dan menuntun menuju Nibbāna’.
Tetapi dengan terlalu memikirkan dan merenungkan, Aku dapat melelahkan
membawanya menuju keterpusatan, dan mengonsentrasikannya. Mengapakah?

9-10. Tetapi dengan terlalu memikirkan dan merenungkan, Aku dapat melelahkan
membawanya menuju keterpusatan, dan mengonsentrasikannya. Mengapakah?

24. “Ini adalah pengetahuan sejati ke tiga yang Kucapai pada jaga ke tiga malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin, dan teguh.

25. sehingga kumpulan rusa itu dapat berkembang, bertambah, dan berlimpah.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #47 on: 16 August 2010, 11:30:21 PM »
21  Kakacūpama Sutta
Perumpamaan Gergaji

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu, Yang Mulia Moliya Phagguna bergaul terlalu akrab dengan para bhikkhunī. [ ]Ia begitu akrab dengan para bhikkhunī sehingga jika ada bhikkhu yang mencela para bhikkhunī itu di hadapannya, maka ia akan menjadi marah dan tidak senang dan akan menegurnya; dan jika ada bhikkhu yang mencela Yang Mulia Moliya Phagguna di hadapan para bhikkhunī itu, maka mereka kan menjadi marah dan tidak senang dan akan menegurnya. Demikianlah pergaulan akrab Yang Mulia Moliya Phagguna dengan para bhikkhunī.

3. Kemudian seorang bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberitahu Sang Bhagavā tentang apa yang sedang terjadi.

4. Kemudian Sang Bhagavā memanggil seorang bhikkhu sebagai berikut: “Ke sinilah, [123] Bhikkhu, beritahu Bhikkhu Moliya Phagguna atas nama-Ku bahwa Sang Guru memanggilnya.”“Baik, Yang Mulia,” ia menjawab, dan ia mendatangi Yang Mulia Moliya Phagguna dan memberitahunya: “Sang Guru memanggilmu, Teman Phagguna.”“Baik, Teman,” ia menjawab, dan ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā bertanya kepadanya:

5. “Phagguna, benarkah bahwa engkau bergaul terlalu akrab dengan para bhikkhunī, Bahwa engkau begitu akrab dengan para bhikkhunī ,sehingga jika ada bhikkhu yang mencela para bhikkhunī itu di hadapanmu, maka engkau akan menjadi marah dan tidak senang dan akan menegurnya; dan jika ada bhikkhu yang mencela engkau di hadapan para bhikkhunī itu, maka mereka kan menjadi marah dan tidak senang dan akan menegurnya? Apakah engkau bergaul terlalu akrab dengan para bhikkhunī seperti yang terlihat?”“Benar, Yang Mulia.”“Phagguna, bukankah engkau adalah seorang anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?”“Benar, Yang Mulia.”

6. “Phagguna, tidaklah selayaknya bagimu, seorang anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, bergaul terlalu akrab dengan para bhikkhunī. Oleh karena itu, jika seseorang mencela para bhikkhunī itu di hadapanmu, maka engkau harus meninggalkan segala keinginan dan pikiran yang berlandaskan pada kehidupan rumah tangga. Dan di sini engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiranku tidak akan terpengaruh, dan aku tidak akan mengucapkan kata-kata kasar; aku akan berdiam dengan berbelas kasih demi kesejahteraannya, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam batin’. Demikianlah engkau harus berlatih, Phagguna.

“Jika seseorang memukul para bhikkhunī itu dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau di hadapanmu, maka engkau harus meninggalkan segala keinginan dan pikiran yang berlandaskan pada kehidupan rumah tangga. Dan di sini engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiranku tidak akan terpengaruh …’ Jika seseorang mencela di hadapanmu, maka engkau harus meninggalkan segala keinginan dan pikiran yang berlandaskan pada kehidupan rumah tangga. Dan di sini engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiranku tidak akan terpengaruh …’ Jika seseorang memukulmu itu dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau [124], maka engkau harus meninggalkan segala keinginan dan pikiran yang berlandaskan pada kehidupan rumah tangga. Dan di sini engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiranku tidak akan terpengaruh, dan aku tidak akan mengucapkan kata-kata kasar; aku akan berdiam dengan berbelas kasih demi kesejahteraannya, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam batin’. Demikianlah engkau harus berlatih, Phagguna.

7. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, pernah terjadi suatu peristiwa di mana para bhikkhu memuaskan pikiran-Ku. Di sini Aku berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, Aku makan sekali sehari. Dengan melakukan hal itu, Aku terbebas dari penyakit dan penderitaan, dan Aku menikmati kesehatan, kekuatan, dan kediaman yang nyaman. Ayo, Para bhikkhu, makanlah sekali sehari. Dengan melakukan hal itu, kalian akan terbebas dari penyakit dan penderitaan, dan kalian akan menikmati kesehatan, kekuatan, dan kediaman yang nyaman’. Dan Aku tidak perlu terus-menerus memberikan instruksi kepada para bhikkhu itu; Aku hanya perlu membangkitkan perhatian dalam diri mereka. [ ]Misalkan ada sebuah kereta di tanah yang datar di persimpangan jalan, ditarik oleh kuda-kuda berdarah murni, menunggu dengan tongkat kendali siap untuk digunakan, sehingga seorang pelatih terampil, seorang kusir dari kuda-kuda yang harus dijinakkan, dapat menaikinya, dan memegang tali kekang dengan tangan kirinya dan tongkat kendali di tangan kanannya, dapat menjalankannya maju dan mundur melalui jalan mana pun yang ia sukai. Demikian pula, Aku tidak perlu terus-menerus memberikan instruksi kepada para bhikkhu itu; Aku hanya perlu membangkitkan perhatian dalam diri mereka.

8. “Oleh karena itu, Para bhikkhu, tinggalkanlah apa yang tidak bermanfaat dan tekunilah kondisi-kondisi yang bermanfaat, karena itu adalah bagaimana kalian akan mengalami kemajuan, peningkatan dan pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin ini. Misalkan terdapat hutan besar pepohonan sāla di dekat sebuah desa atau kota, dan hutan itu terganggu oleh rerumputan jarak, dan seseorang yang menghendaki kebaikan, kesejahteraan, dan perlindungan. Ia akan menebang dan menyingkirkan anak-anak pohon yang bengkok yang merampas getah, dan ia kan membersihkan bagian dalam hutan dan memelihara anak-anak pohon yang lurus dan berbentuk baik, sehingga, hutan pohon-sāla itu akan mengalami kemajuan, peningkatan dan pemenuhan. Demikian pula, Para bhikkhu, tinggalkanlah apa yang tidak bermanfaat dan tekunilah kondisi-kondisi yang bermanfaat, [125] karena itu adalah bagaimana kalian akan mengalami kemajuan, peningkatan dan pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin ini.

9. “Sebelumnya, Para bhikkhu, di Sāvatthī yang sama ini terdapat seorang ibu rumah tangga bernama Vedehikā. Dan berita baik sehubungan dengan Nyonya Vedehikā telah menyebar sebagai berikut: ‘Nyonya Vedehikā adalah orang yang baik, Nyonya Vedehikā adalah orang yang lembut, Nyonya Vedehika adalah orang yang cinta damai’. Nyonya Vedehikā memiliki seorang pembantu bernama Kālī, yang cerdas, gesit, dan rapi dalam pekerjaannya. Kālī si pembantu berpikir: ‘berita baik sehubungan dengan majikanku telah menyebar sebagai berikut: “Nyonya Vedehikā adalah orang yang baik, Nyonya Vedehikā adalah orang yang lembut, Nyonya Vedehika adalah orang yang cinta damai.” Bagaimanakah sekarang, walaupun ia tidak memperlihatkan kemarahan, tetapi apakah saat ini ada kemarahan dalam dirinya atau tidak ada? Atau kalau tidak demikian, apakah karena pekerjaanku rapi, maka majikanku tidak memperlihatkan kemarahan walaupun ada kemarahan dalam dirinya? Bagaimana jika aku menguji majikanku

“Maka Kālī si pembantu bangun terlambat. Nyonya Vedehikā berkata: ‘Hei, Kālī!’‘Ada apa, Nyonya?’‘Ada apa denganmu sehingga bangun terlambat?’‘Tidak ada apa-apa, Nyonya’.‘Tidak ada apa-apa, engkau perempuan nakal, namun engkau bangun terlambat!’ Dan ia marah dan tidak senang. Kemudian Kālī si pembantu berpikir: ‘Kenyataannya adalah walaupun majikanku tidak memperlihatkan kemarahan, namun kemarahan ada dalam dirinya, bukan tidak ada; dan adalah karena pekerjaanku rapi maka majikanku tidak memperlihatkan kemarahan walaupun kemarahan ada dalam dirinya, bukan tidak ada. Bagaimana jika aku menguji majikanku lebih jauh lagi’.

“Maka Kālī si pembantu bangun terlambat di siang hari. Nyonya Vedehikā berkata: ‘Hei, Kālī!’‘Ada apa, Nyonya?’‘Ada apa denganmu sehingga bangun terlambat di siang hari?’‘Tidak ada apa-apa, Nyonya.’‘Tidak ada apa-apa, engkau perempuan nakal, namun engkau bangun terlambat di siang hari!’ Dan ia marah dan tidak senang dan ia mengucapkan kata-kata ketidaksenangan. Kemudian Kālī si pembantu berpikir: ‘Kenyataannya adalah walaupun majikanku tidak memperlihatkan kemarahan, namun kemarahan ada dalam dirinya, bukan tidak ada. Bagaimana jika aku menguji majikanku lebih jauh lagi’.

“Maka Kālī si pembantu bangun lebih terlambat lagi di siang hari. Nyonya Vedehikā [126] berkata: ‘Hei, Kālī!’‘Ada apa, Nyonya?'‘Ada apa denganmu sehingga bangun lebih terlambat di siang hari?’‘Tidak ada apa-apa, Nyonya’.‘Tidak ada apa-apa, engkau perempuan nakal, namun engkau bangun lebih terlambat lagi di siang hari’! Dan ia marah dan tidak senang, dan ia mengambil penggilingan dan memukulnya di kepalanya, dan melukai kepalanya.

“Kemudian Kālī si pembantu, dengan darah menetes dari kepalanya yang terluka, mengadukan majikannya kepada para tetangga: ‘Lihat, nyona-nyona, perbuatan nyonya yang baik! Lihat, nyonya-nyonya, perbuatan nyonya yang lembut! Lihat, nyonya-nyonya, perbuatan nyonya yang cinta damai! Bagaimana mungkin ia menjadi marah dan tidak senang pada pembantu satu-satunya karena bangun terlambat? Bagaimana mungkin ia mengambil penggilingan, memukulnya di kepala, dan melukai kepalanya?’ kemudian berita buruk sehubungan dengan Nyonya Vedehikā menyebar sebagai berikut: “Nyonya Vedehikā adalah orang yang kasar, Nyonya Vedehikā adalah orang yang kejam, Nyonya Vedehika adalah orang yang tanpa belas kasihan.”

"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #48 on: 16 August 2010, 11:36:04 PM »
10. “Demikian pula, Para bhikkhu, beberapa bhikkhu sangat baik, sangat lembut, sangat cinta damai, selama ucapan-ucapan yang tidak menyenangkan tidak menyentuhnya. Tetapi ketika ucapan-ucapan yang tidak menyenangkan menyentuhnya, maka dapat diketahui apakah bhikkhu itu sungguh-sungguh baik, lembut, dan cinta damai. Aku tidak mengatakan seorang bhikkhu mudah dinasihati pada ia yang mudah dinasihati dan membuatnya mudah dinasihati hanya demi mendapatkan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Mengapakah? Karena bhikkhu itu tidak mudah dinasihati dan tidak membuat dirinya mudah dinasihati ketika ia tidak memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Tetapi ketika seorang bhikkhu mudah dinasihati dan membuat dirinya mudah dinasihati karena ia menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi Dhamma, ia Kukatakan mudah dinasihati. Oleh karena itu, Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan mudah dinasihati dan membuat diri kami mudah dinasihati karena kami menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi Dhamma’. Demikianlah kalian harus berlatih, Para bhikkhu.

11. “Para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini yang digunakan oleh orang lain ketika berbicara dengan kalian: ucapan mereka tepat atau tidak tepat pada waktunya, benar atau tidak benar, halus atau kasar, berhubungan dengan kebaikan atau dengan kejahatan, diucapkan dengan pikiran cinta kasih atau kebencian dalam batin. Ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin tepat atau tidak tepat pada waktunya; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin benar atau tidak benar; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin halus atau kasar; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin berhubungan dengan kebaikan [127] atau dengan kejahatan; ketika orang lain berbicara dengan kalian, [ ]ucapan mereka mungkin diucapkan dengan pikiran cinta kasih atau kebencian dalam batin. Di sini, Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh, dan kami tidak akan mengucapkan kata-kata jahat; kami akan berdiam dengan penuh belas kasihan demi kesejahteraan mereka, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam batin. Kami akan berdiam dengan melingkupi orang itu dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih; dan dimulai dengan dirinya,  kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk’. Demikianlah kalian harus berlatih.

12. “Para bhikkhu, misalkan seseorang datang dengan membawa cangkul dan keranjang dan berkata: ‘Aku akan mengosongkan bumi ini dari tanah’. Ia akan menggali di sana-sini, menebarkan tanah di sana-sini, meludah di sana-sini, buang air di sana-sini, sambil berkata: ‘jadilah tanpa tanah, jadilah tanpa tanah’! Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Dapatkah orang itu mengosongkan bumi ini dari tanah?”“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena bumi ini sungguh dalam dan besar; tidak mungkin dapat dikosongkan dari tanah. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”

13. “Demikian pula, Para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini … (seperti pada §11) … Di sini, Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh … dan dimulai dengan dirinya, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk’. Demikianlah kalian harus berlatih.

14. “Para bhikkhu, misalkan seseorang datang dengan membawa pewarna merah, jingga, nila, atau merah tua dan berkata: ‘Aku akan melukis gambar yang muncul dari ruang kosong’. Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu, dapatkah orang itu melukis gambar yang muncul dari ruang kosong?”“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena ruang kosong adalah tanpa bentuk dan tidak terlihat; ia tidak mungkin dapat melukis gambar yang muncul dari sana. [128] Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”

15. “Demikian pula, Para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini … Di sini, Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh … dan dimulai dengan dirinya, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk’. Demikianlah kalian harus berlatih.

16. “Para bhikkhu, misalkan seseorang datang dengan membawa obor dari rumput yang menyala dan berkata: ‘Aku akan memanaskan dan membakar sungai Gangga dengan obor rumput menyala ini’. Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu, dapatkah orang itu memanaskan dan membakar sungai Gangga dengan obor rumput menyala itu?”“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena sungai Gangga dalam dan sangat besar; tidak mungkin dapat dipanaskan dan dibakar dengan obor rumput menyala. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”

17. “Demikian pula, Para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini … Di sini, Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh … dan dimulai dengan dirinya, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk’. Demikianlah kalian harus berlatih.

18. “Para bhikkhu, misalkan terdapat sebuah tas kulit kucing yang telah digosok, digosok dengan baik, digosok dengan sangat baik, lembut, halus, bebas dari bunyi gesekan, bebas dari bunyi gemerisik, dan seseorang datang dengan membawa tongkat atau pecahan tembikar dan berkata: ‘Terdapat tas kulit kucing ini yang telah digosok … bebas dari bunyi gesekan, bebas dari bunyi gemerisik. Aku akan membuatnya berbunyi gesekan dan bergemerisik’. Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Dapatkah orang itu membuatnya berbunyi gesekan dan bergemerisik dengan menggunakan tongkat atau pecahan tembikar?”“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena tas kulit kucing ini yang telah digosok … bebas dari bunyi gesekan, bebas dari bunyi gemerisik, tidak mungkin dapat dibuat berbunyi gesekan atau berbunyi gemerisik dengan menggunakan tongkat atau pecahan tembikar. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”

19. “Demikian pula, Para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini yang digunakan oleh orang lain ketika berbicara dengan kalian: ucapan mereka tepat [129] atau tidak tepat pada waktunya, benar atau tidak benar, halus atau kasar, berhubungan dengan kebaikan atau dengan kejahatan, diucapkan dengan pikiran cinta kasih atau kebencian dalam batin. Ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin tepat atau tidak tepat pada waktunya; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin benar atau tidak benar; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin halus atau kasar; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin berhubungan dengan kebaikan atau dengan kejahatan; ketika orang lain berbicara dengan kalian, [ ]ucapan mereka mungkin diucapkan dengan pikiran cinta kasih atau kebencian dalam batin. Di sini, Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh, dan kami tidak akan mengucapkan kata-kata jahat; kami akan berdiam dengan penuh belas kasihan demi kesejahteraan mereka, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam batin. Kami akan berdiam dengan melingkupi orang itu dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih; dan dimulai dengan dirinya, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk’. Demikianlah kalian harus berlatih.

20. “Para bhikkhu, bahkan jika para penjahat memotong kalian dengan kejam bagian demi bagian tubuh dengan gergaji berpegangan ganda, ia yang memendam pikiran benci terhadap mereka berarti tidak melaksanakan ajaran-Ku. Di sini, Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh, dan kami tidak akan mengucapkan kata-kata jahat; kami akan berdiam dengan penuh belas kasihan demi kesejahteraan mereka, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam batin. Kami akan berdiam dengan melingkupi mereka dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih; dan dimulai dengan diri mereka, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk’. Demikianlah kalian harus berlatih.

21. “Para bhikkhu, jika kalian terus-menerus mengingat nasihat tentang perumpamaan gergaji ini, apakah kalian melihat ada ucapan, halus atau kasar, yang tidak dapat kalian terima?”—“Tidak, Yang Mulia.”—“Oleh karena itu, Para bhikkhu, kalian harus terus-menerus mengingat nasihat tentang perumpamaan gergaji ini. Hal ini akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan kalian untuk waktu yang lama.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #49 on: 17 August 2010, 04:19:37 PM »
Tambahan
21  Kakacūpama Sutta


2. maka mereka akan menjadi marah dan tidak senang dan akan menegurnya

3. ia duduk di satu sisi dan memberi tahu Sang Bhagavā tentang apa yang sedang terjadi.

4. “Ke sinilah, [123] Bhikkhu, beri tahu Bhikkhu Moliya Phagguna atas nama-Ku bahwa Sang Guru memanggilnya

5. “Phagguna, benarkah bahwa engkau bergaul terlalu akrab dengan para bhikkhunī, begitu akrab sehingga jika ada bhikkhu yang mencela
maka mereka akan menjadi marah dan tidak senang dan akan menegurnya?

6.  ‘Pikiranku tidak akan terpengaruh …’. Jika seseorang mencela di hadapanmu
‘Pikiranku tidak akan terpengaruh …’. Jika seseorang memukulmu itu dengan tangan

Demikianlah engkau harus berlatih, Phagguna.

7. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:


8. karena itu adalah bagaimana kalian akan mengalami kemajuan, peningkatan, dan pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin ini.
dan seseorang yang menghendaki kebaikan, kesejahteraan, dan perlindungan, ia akan menebang dan menyingkirkan
hutan pohon-sāla itu akan mengalami kemajuan, peningkatan, dan pemenuhan.
kalian akan mengalami kemajuan, peningkatan, dan pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin ini.

9. Nyonya Vedehikā adalah orang yang cinta damai’.
Kālī si pembantu berpikir: ‘Berita baik
Nyonya Vedehikā adalah orang yang cinta damai.”
Bagaimana jika aku menguji majikanku’?

‘Hei, Kālī’!—‘Ada apa, Nyonya’?—‘Ada apa denganmu sehingga bangun terlambat’?
‘Tidak ada apa-apa, engkau Perempuan nakal, namun engkau bangun terlambat’!

‘Hei, Kālī’!—‘Ada apa, Nyonya’?—‘Ada apa denganmu sehingga bangun terlambat di siang hari’?—‘Tidak ada apa-apa, Nyonya’.
‘Tidak ada apa-apa, engkau Perempuan nakal, namun engkau bangun terlambat di siang hari’!

‘Hei, Kālī’!—‘Ada apa, Nyonya’?—‘Ada apa denganmu sehingga bangun lebih terlambat di siang hari’?
‘Tidak ada apa-apa, engkau Perempuan nakal, namun engkau bangun lebih terlambat lagi di siang hari’!

‘Lihat, Nyonya-nyonya, perbuatan nyonya yang baik! Lihat, Nyonya-nyonya, perbuatan nyonya yang lembut! Lihat, Nyonya-nyonya, perbuatan nyonya yang cinta damai!
Bagaimana mungkin ia mengambil penggilingan, memukulnya di kepala, dan melukai kepalanya’?

11. dan dimulai dengan dirinya, [ ]kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih

12. sambil berkata: ‘Jadilah tanpa tanah, jadilah tanpa tanah’!
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #50 on: 17 August 2010, 04:31:21 PM »
3  Dhammadāyāda Sutta

6. mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru beri tahukan untuk ditinggalkan


12  Mahāsīhanāda Sutta

3. dan setelah bersujud, ia duduk di satu sisi dan memberi tahu Sang Bhagavā
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline mitta

  • Teman
  • **
  • Posts: 55
  • Reputasi: 2
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #51 on: 17 August 2010, 05:19:24 PM »
Quote


49  Brahmanimantanika Sutta
Undangan Brahmā

[326] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana, Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, pada suatu ketika, Aku sedang menetap di Ukkaṭṭhā di Hutan Subhaga di bawah pohon sāla besar.  Pada saat itu, suatu pandangan sesat telah muncul pada Brahmā Baka sebagai berikut: ‘Ini kekal, ini bertahan selamanya, ini abadi, ini adalah keseluruhan, ini tidak tunduk pada kematian; karena tidak ada yang terlahir, atau menua, atau mati, atau meninggal dunia, atau muncul kembali, dan di luar ini tidak ada jalan membebaskan diri.’

3. “Dengan pikiran-Ku, Aku mengetahui pikiran Brahmā Baka, maka secepat seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Aku lenyap dari bawah pohon sāla besar di Hutan Subhaga di Ukkaṭṭhā dan muncul di alam-Brahmā. Dari jauh Brahmā Baka melihat kedatangan-Ku dan berkata: ‘Silahkan, Tuan! Selamat datang, Tuan! Telah lama, Tuan, sejak Engkau berkesempatan datang ke sini. Sekarang, Tuan, Ini kekal, ini bertahan selamanya, ini abadi, ini adalah keseluruhan, ini tidak tunduk pada kematian; karena tidak ada yang terlahir, atau menua, atau mati, atau meninggal dunia, atau muncul kembali, dan di luar ini tidak ada jalan membebaskan diri.’

4. “Ketika hal ini dikatakan, Aku memberitahu Brahmā Baka: ‘Brahmā Baka Yang Agung telah tergelincir dalam kebodohan; ia telah tergelincir dalam kebodohan sehingga ia mengatakan yang tidak kekal sebagai kekal, yang sementara sebagai bertahan selamanya, yang tidak abadi sebagai abadi, yang tidak lengkap sebagai keseluruhan, yang tunduk pada kematian sebagai tidak tunduk pada kematian, yang terlahir, menua, mati, meninggal dunia, dan muncul kembali sebagai tidak terlahir, juga tidak menua, juga tidak mati, juga tidak meninggal dunia, juga tidak muncul kembali; dan ketika ada jalan membebaskan diri dari hal-hal ini, ia mengatakan tidak ada jalan membebaskan diri.’

5. “Kemudian, Māra si Jahat menguasai salah satu anggota kelompok Brahmā,  dan ia berkata kepada-Ku: ‘Bhikkhu, bhikkhu, jangan mencelanya, jangan mencelanya; karena Brahmā ini adalah Brahmā Agung, [327] Maharaja, yang tidak terlampaui, memiliki penglihatan yang tidak mungkin keliru, maha kuasa, maha pembuat dan pencipta, ketuhanan yang tertinggi, Penguasa dan Ayah dari mereka yang ada dan yang akan ada. Sebelum Engkau, Bhikkhu, terdapat para petapa dan brahmana yang mencela tanah karena kejijikan pada tanah,[ ] yang mencela air karena kejijikan pada air, yang mencela api karena kejijikan pada api, yang mencela udara karena kejijikan pada udara, yang mencela makhluk-makhluk karena kejijikan pada makhluk-makhluk, yang mencela dewa-dewa karena kejijikan pada dewa-dewa, yang mencela Pajāpati karena kejijikan pada Pajāpati, yang mencela Brahmā karena kejijikan pada Brahmā; dan ketika hancurnya jasmani, ketika kehidupan mereka terpotong, mereka terlahir dalam jasmani yang hina.  Sebelum Engkau, Bhikkhu, terdapat para petapa dan brahmana yang memuji tanah karena bergembira dalam tanah,  yang memuji air karena bergembira dalam air, yang memuji api karena bergembira dalam api, yang memuji udara karena bergembira dalam udara, yang memuji makhluk-makhluk karena bergembira dalam makhluk-makhluk, yang memuji dewa-dewa karena bergembira dalam dewa-dewa, yang memuji Pajāpati karena bergembira dalam Pajāpati, yang memuji Brahmā karena bergembira dalam Brahmā; dan ketika hancurnya jasmani, ketika kehidupan mereka terpotong, mereka terlahir dalam jasmani yang mulia.  Maka, Bhikkhu, aku memberitahukan kepada-Mu: Pastikan, Tuan, hanya melakukan apa yang Brahmā katakan; jangan melampaui kata-kata Brahmā. Jika Engkau melampaui kata-kata Brahmā, Bhikkhu, maka, bagaikan seseorang yang yang berusaha membelokkan sinar yang datang dengan sebatang tongkat, atau bagaikan seseorang yang kehilangan pegangan tangan atau pijakan kakinya di tanah ketika ia terjatuh ke dalam jurang yang dalam, itulah yang akan menimpamu, Bhikkhu. Pastikan, Tuan, hanya melakukan apa yang Brahmā katakan; jangan melampaui kata-kata Brahmā. Tidakkah Engkau melihat kumpulan Brahmā yang duduk di sini, Bhikkhu?’ dan Māra mengalihkan perhatian-Ku pada kelompok Brahmā.

6. “Ketika hal ini dikatakan, Aku memberitahu Māra: ‘Aku mengenalmu, Sang Jahat. Jangan berpikir: “Ia tidak mengenalku.” Engkau adalah Māra, si Jahat, dan Brahmā dan kelompok Brahmā dan para pengikut Kelompok Brahmā semuanya telah jatuh ke dalam genggamanmu, mereka telah jatuh ke dalam kekuatanmu. Engkau, si Jahat, berpikir: “Yang ini juga telah jatuh ke dalam genggamanku, yang ini juga telah jatuh ke dalam kekuatanku.”; tetapi Aku tidak jatuh ke dalam genggamanmu, Sang Jahat, Aku tidak jatuh ke dalam kekuatanmu.’

7. “Ketika hal ini dikatakan, Brahmā Baka berkata kepada-Ku: ‘Tuan, aku mengatakan yang kekal sebagai kekal, [328] yang bertahan selamanya sebagai bertahan selamanya, yang abadi sebagai abadi, yang seluruhnya sebagai seluruhnya, yang tidak tunduk pada kematian sebagai tidak tunduk pada kematian, yang tidak terlahir, juga tidak menua, juga tidak mati, juga tidak meninggal dunia, juga tidak muncul kembali sebagai tidak terlahir, juga tidak menua, juga tidak mati, juga tidak meninggal dunia, juga tidak muncul kembali; dan ketika tidak ada jalan membebaskan diri dari hal-hal ini, aku mengatakan tidak ada jalan membebaskan diri dari hal-hal ini. Sebelum Engkau, Bhikkhu, terdapat para petapa dan brahmana di dunia ini yang menjalani pertapaan seumur hidup-Mu. Mereka mengetahui, jika ada jalan membebaskan diri, maka ada jalan membebaskan diri, dan ketika tidak ada jalan membebaskan diri, maka tidak ada jalan membebaskan diri. Maka, Bhikkhu, aku memberitahukan kepadaMu: Engkau tidak akan menemukan jalan membebaskan diri, dan akhirnya Engkau hanya akan menemui kelelahan dan kekecewaan. Jika engkau menggenggam tanah, maka engkau akan dekat denganku, dalam wilayahku, bagiku untuk melakukan kehendakku dan menghukum.  Jika engkau menggenggam air ... api ... udara ... makhluk-makhluk ... para dewa ... Pajāpati ... Brahmā, maka engkau akan dekat denganku, dalam wilayahku, bagiku untuk melakukan kehendakku dan menghukum.’

8. “’Aku juga mengetahui hal itu, Brahmā. Jika Aku menggenggam tanah, maka aku akan dekat denganmu, dalam wilayahmu, bagimu untuk melakukan kehendakmu dan menghukum. Jika aku menggenggam air ... api ... udara ... makhluk-makhluk ... para dewa ... Pajāpati ... Brahmā, maka aku akan dekat denganmu, dalam wilayahmu, bagimu untuk melakukan kehendakmu dan menghukum. Lebih jauh lagi, Aku memahami jangkauan dan kekuasaanmu sejauh: Brahmā Baka memiliki kekuatan sebesar ini, keperkasaan sebesar ini, pengaruh sebesar ini.’

“’Sekarang, Tuan, bagaimanakah engkau memahami jangkauan dan kekuasaan-Mu sejauh itu?’

9.    “’ Sejauh bulan dan matahari berputar
   Bersinar dan bercahaya di langit
   Lebih dari seribu dunia
   Kekuasaanmu menjangkau.

   Dan di sana engkau mengetahui yang tinggi dan yang rendah,
   Dan mereka yang bernafsu dan yang bebas dari nafsu,
   Kondisi yang demikian dan yang sebaliknya,
   Kedatangan dan kepergian makhluk-makhluk.

Brahmā, Aku memahami jangkauan dan kekuasaanmu sejauh: Brahmā Baka memiliki kekuatan sebesar ini, keperkasaan sebesar ini, [329] pengaruh sebesar ini.

10. “’Tetapi, Brahmā, terdapat tiga tubuh lain, yang tidak engkau ketahui juga tidak engkau lihat, dan yang Aku ketahui dan Aku lihat. Ada tubuh yang disebut [para dewa] dengan Cahaya Gemerlap, yang dari mana engkau mati dan muncul kembali di sini.[ ] Karena engkau telah berdiam di sini cukup lama, ingatmu akan hal itu telah hilang, dan karenanya, engkau tidak mengetahui atau melihatnya, tetapi Aku mengetahui dan melihatnya. Demikianlah, Brahmā, sehubungan dengan pengetahuan langsung, Aku tidak berdiri sama tinggi denganmu, bagaimana mungkin Aku mengetahui lebih sedikit? Sebaliknya, Aku mengetahui lebih banyak daripada engkau.

“’Terdapat, tubuh yang disebut [para dewa] dengan Keagungan Gemilang ... Terdapat tubuh yang disebut [para dewa] dengan Buah Besar. Engkau tidak mengetahui atau melihatnya, tetapi Aku mengetahui dan melihatnya. Demikianlah, Brahmā, sehubungan dengan pengetahuan langsung, Aku tidak berdiri sama tinggi denganmu, bagaimana mungkin Aku mengetahui lebih sedikit? Sebaliknya, Aku mengetahui lebih banyak daripada engkau.

11. “’Brahmā, setelah dengan secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, dan setelah dengan secara langsung mengetahui yang tidak menjadi bagian dari sifat tanah, Aku tidak mengaku sebagai tanah, Aku tidak mengaku ada di dalam tanah, Aku tidak mengaku terpisah dari tanah, Aku tidak mengakui tanah sebagai “milikku”, Aku tidak menegaskan tanah.  Demikianlah, Brahmā, sehubungan dengan pengetahuan langsung, Aku tidak berdiri sama tinggi denganmu, bagaimana mungkin Aku mengetahui lebih sedikit? Sebaliknya, Aku mengetahui lebih banyak daripada engkau.

12-23. “’Brahmā, setelah dengan secara langsung mengetahui air sebagai air ... api sebagai api ... udara sebagai udara ... makhluk-makhluk sebagai makhluk-makhluk ... para dewa sebagai para dewa ... Pajāpati sebagai Pajāpati ... Brahmā sebagai Brahmā ... para dewa dengan Cahaya Gemerlap sebagai para dewa dengan Cahaya Gemerlap ...  para dewa dengan Keagungan Gemilang sebagai para dewa dengan Keagungan Gemilang ...  para dewa dengan Buah Besar sebagai para dewa dengan Buah Besar ... Maharaja sebagai Maharaja ... keseluruhan sebagai keseluruhan, dan setelah dengan secara langsung mengetahui yang tidak menjadi bagian dari sifat keseluruhan, Aku tidak mengaku sebagai keseluruhan, Aku tidak mengaku ada di dalam keseluruhan, Aku tidak mengaku terpisah dari keseluruhan, Aku tidak mengakui keseluruhan sebagai “milikku”, Aku tidak menegaskan keseluruhan. Demikianlah, Brahmā, sehubungan dengan pengetahuan langsung, Aku tidak berdiri sama tinggi denganmu, bagaimana mungkin Aku mengetahui lebih sedikit? Sebaliknya, Aku mengetahui lebih banyak daripada engkau.’

24. “’Tuan, Jika tidak menjadi bagian dari sifat keseluruhan, maka itu terbukti percuma dan kosong bagi-Mu!’

25.    “’Kesadaran yang tidak terwujud,
   Tanpa batas, cerah dalam segala hal.
   
Yang tidak menjadi bagian dari sifat tanah, yang tidak menjadi bagian dari sifat air … [330] … yang tidak menjadi bagian dari sifat keseluruhan.’

26. “’Tuan, aku akan menghilang dari hadapan-Mu.’

'Menghilanglah dari hadapan-Ku jika engkau mampu, Brahmā.’

“Kemudian Brahmā Baka, dengan berkata: ‘Aku akan menghilang dari hadapan Petapa Gotama, Aku akan menghilang dari hadapan Petapa Gotama,’ tidak mampu menghilang. Kemudian Aku berkata: ‘Brahmā, Aku akan menghilang dari hadapanmu.’

'Menghilanglah dari hadapanku jika engkau mampu, Tuan.’

“Kemudian, Aku mengerahkan kekuatan batin sehingga Brahmā dan kelompok Brahmā dan para pengikut kelompok Brahmā dapat mendengar suara-Ku namun tidak dapat melihat-Ku. Setelah aku menghilang, Aku mengucapkan syair ini:

27.    “’Setelah melihat ketakutan dalam penjelmaan
   Dan [setelah melihat] bahwa penjelmaan itu akan lenyap,
   Aku tidak menyambut segala jenis penjelmaan apapun,
   Juga tidak melekat pada kenikmatan.’

28. “Saat itu Brahmā dan Kelompok Brahmā dan para pengikut Kelompok Brahmā merasa takjub dan kagum, berkata: ‘Sungguh mengagumkan, Tuan, sungguh menakjubkan, kekuatan dan kesaktian Petapa Gotama! Kami belum pernah menyaksikan atau mendengar petapa atau brahmana lain yang memiliki kekuatan dan kesaktian seperti yang dimiliki Petapa Gotama ini, yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya. Tuan, walaupun hidup dalam generasi yang menikmati penjelmaan, yang menyukai penjelmaan, yang bersukacita dalam penjelmaan, Beliau telah mencabut penjelmaan bersama dengan akarnya.’

29. “Kemudian Māra si Jahat menguasai salah satu pengikut Kelompok Brahmā, dan berkata kepadaKu: ‘Tuan, jika itu adalah apa yang Engkau ketahui, jika itu adalah apa yang telah engkau temukan, janganlah Engkau menuntun para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian, janganlah Engkau mengajarkan Dhamma kepada para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian, janganlah Engkau membangkitkan kerinduan pada para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian. Sebelum Engkau, Bhikkhu, terdapat para petapa dan brahmana yang mengaku sempurna dan tercerahkan sempurna, dan mereka menuntun para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian; mereka mengajarkan Dhamma kepada para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian; mereka membangkitkan kerinduan pada para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian; dan ketika hancurnya jasmani, ketika kehidupan mereka terpotong, mereka terlahir dalam jasmani yang hina. Sebelum Engkau, Bhikkhu, terdapat juga para petapa dan brahmana yang mengaku sempurna dan tercerahkan sempurna, [331] dan mereka tidak menuntun para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian; mereka tidak mengajarkan Dhamma kepada para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian ; mereka tidak membangkitkan kerinduan pada para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian; dan ketika hancurnya jasmani, ketika kehidupan mereka terpotong, mereka terlahir dalam jasmani yang mulia. Maka, Bhikkhu, aku beritahukan kepada-Mu: Pastikan, Tuan, untuk berdiam secara tidak aktif, jalanilah kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini, hal ini lebih baik dibiarkan tidak dibabarkan, dan karena itu, Tuan, janganlah nasihati siapapun.’

30. “Ketika hal ini dikatakan, Aku memberitahu Māra: ‘Aku mengenalmu, Sang Jahat. Jangan berpikir: “Ia tidak mengenalku.” Engkau adalah Māra, si Jahat. Bukanlah demi belas kasihan terhadap kesejahteraan mereka maka engkau berkata demikian, melainkan adalah tanpa belas kasihan terhadap kesejahteraan mereka maka engkau berkata demikian. Engkau berpikir seperti ini, Yang Jahat: “Mereka kepada siapa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma akan membebaskan diri dari wilayahku.” Para petapa dan brahmanamu itu, Yang Jahat, yang mengaku sempurna dan tercerahkan sempurna, tidaklah benar-benar tercerahkan sempurna. Tetapi Aku, yang mengaku tercerahkan sempurna, adalah benar-benar tercerahkan sempurna. Jika Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepada para siswa-Nya, Beliau tetap seorang Tathāgata, Yang Jahat, dan jika Sang Tathāgata tidak mengajarkan Dhamma kepada para siswa-Nya, Beliau tetap seorang Tathāgata.  Jika Sang Tathāgata menuntun para siswa-Nya, Beliau tetap seorang Tathāgata, Yang Jahat, dan jika Sang Tathāgata tidak menuntun para siswa-Nya, Beliau tetap seorang Tathāgata. Mengapakah? Karena Sang Tathāgata telah meninggalkan noda-noda yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, memberikan kesusahan, yang matang dalam penderitaan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan; Beliau telah memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak akan muncul kembali di masa depan. Seperti halnya pohon palem yang dipotong pucuknya tidak akan mempu untuk tumbuh lebih tinggi lagi, demikian pula Sang Tathāgata telah meninggalkan noda-noda yang mengotori-Nya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak akan muncul kembali di masa depan.’”

31. Demikianlah, karena Māra tidak mampu menjawab, dan karena [diawali] dengan undangan Brahmā, maka khotbah ini dinamakan “Tentang Undangan Brahmā.”


CMIIW

Offline mitta

  • Teman
  • **
  • Posts: 55
  • Reputasi: 2
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #52 on: 17 August 2010, 05:24:19 PM »
Quote


48  Kosambiya Sutta
Orang-Orang Kosambi

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Kosambī, di Taman Ghosita.

 2. Pada saat itu, para bhikkhu di Kosambī bertengkar dan bercek-cok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan. Mereka tidak dapat saling meyakinkan atau diyakinkan oleh yang lain; mereka tidak dapat saling membujuk atau dibujuk oleh yang lain.

3. Kemudian, [321] seorang bhikkhu menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberitahu Beliau[ ] tentang apa yang sedang terjadi.

4. Kemudian, Sang Bhagavā memanggil seorang bhikkhu sebagai berikut: “Pergilah, bhikkhu, katakan kepada para bhikkhu itu atas nama-Ku bahwa Sang Guru memanggil mereka.” – “Baik, Yang Mulia,” ia menjawab, dan mendatangi para bhikkhu itu dan memberitahu mereka: “Sang Guru memanggil para mulia.”

“Baik, teman,” mereka menjawab, dan mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā bertanya kepada mereka: “Para bhikkhu, benarkah bahwa kalian telah bertengkar dan bercek-cok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan. Bahwa kalian tidak dapat saling meyakinkan atau diyakinkan oleh yang lain; bahwa kalian tidak dapat saling membujuk atau dibujuk oleh yang lain?”

“Benar, Yang Mulia.”

5. “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Ketika kalian bertengkar dan bercek-cok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan, apakah pada saat itu kalian memelihara perbuatan cinta kasih melalui jasmani, ucapan, dan pikiran secara terbuka dan secara pribadi terhadap teman-temanmu dalam kehidupan suci?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Demikianlah, para bhikkhu, ketika kalian bertengkar dan bercek-cok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan, maka pada saat itu kalian tidak memelihara perbuatan cinta kasih melalui jasmani, ucapan, dan pikiran secara terbuka dan secara pribadi terhadap teman-temanmu dalam kehidupan suci. Orang-orang sesat, apakah yang mungkin dapat kalian ketahui, apakah yang dapat kalian lihat, sehingga kalian bertengkar dan bercek-cok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan? Sehingga kalian tidak dapat saling meyakinkan atau diyakinkan oleh yang lain, sehingga kalian tidak dapat saling membujuk atau dibujuk oleh yang lain? Orang-orang sesat, hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaan kalian, untuk waktu yang lama.”

6. Kemudian, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, terdapat enam prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan. Apakah enam ini?

“Di sini seorang bhikkhu memelihara perbuatan jasmani cinta kasih, baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan ucapan cinta kasih, baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan pikiran cinta kasih, baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu menggunakan benda-benda bersama-sama dengan teman-teman baiknya dalam kehidupan suci; tanpa merasa keberatan, ia berbagi dengan mereka apapun jenis yang ia peroleh yang sesuai dengan Dhamma dan telah diperoleh dengan cara yang sesuai dengan Dhamma, bahkan termasuk isi mangkuknya. Ini adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam, baik di depan umum maupun di tempat pribadi, memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal moralitas yang tidak rusak, tidak robek, tidak berbintik, tidak bercoreng, membebaskan, dihargai oleh para bijaksana, tidak disalah-pahami, dan mendukung konsentrasi. Ini adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam, baik di depan umum maupun di tempat pribadi, memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal pandangan yang mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang mempraktikkan sesuai pandangan itu menuju kehancuran total penderitaan.  Ini adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

“Ini adalah enam prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

7. “Di antara prinsip-prinsip kerukunan ini, yang tertinggi, yang paling luas, yang paling menentukan adalah pandangan yang mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang mempraktikkan sesuai pandangan itu menuju kehancuran total penderitaan ini. Seperti halnya yang tertinggi, yang paling luas, yang paling menentukan dari sebuah bangunan berkubah adalah kubahnya itu sendiri, demikian pula, [323] di antara enam prinsip kerukunan, yang tertinggi … adalah pandangan yang mulia dan membebaskan ….

8. “Dan, apakah pandangan yang mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang mempraktikkan sesuai pandangan itu menuju kehancuran total penderitaan ini?

“Di sini seorang bhikkhu, pergi ke hutan, atau ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, merenungkan sebagai berikut: ‘Adakah gangguan apapun yang belum ditinggalkan dalam diriku, yang dapat mengganggu pikiranku, sehingga aku tidak dapat mengetahui atau melihat segala sesuatu sebagaimana adanya?’ Jika seorang bhikkhu terganggu oleh nafsu indria, maka pikirannya terganggu. Jika ia terganggu oleh niat buruk, maka pikirannya terganggu. Jika ia terganggu oleh kelambanan dan ketumpulan, maka pikirannya terganggu. Jika ia terganggu oleh kegelisahan dan penyesalan, maka pikirannya terganggu. Jika ia terganggu oleh keragu-raguan, maka pikirannya terganggu. Jika seorang bhikkhu tenggelam dalam spekulasi sehubungan dengan dunia, maka pikirannya terganggu. Jika seorang bhikkhu terlibat dalam pertengkaran, percek-cokan, dan perselisihan, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan, maka pikirannya terganggu.

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Tidak ada gangguan yang belum ditinggalkan dalam diriku, yang dapat mengganggu pikiranku sehingga aku tidak dapat mengetahui atau melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Pikiranku siap untuk menembus kebenaran-kebenaran.’  Ini adalah pengetahuan pertama yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

9. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Ketika aku mengejar, mengembangkan, dan melatih pandangan ini, apakah aku memperoleh ketenangan internal, apakah aku secara pribadi memperoleh ketenangan?’

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Ketika aku mengejar, mengembangkan, dan melatih pandangan ini, aku memperoleh ketenangan internal, aku secara pribadi memperoleh ketenangan.’ Ini adalah pengetahuan ke dua yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

10. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Adakah petapa atau brahmana lain di luar [Pengajaran Buddha] yang memiliki pandangan seperti yang kumiliki?’

“ia memahami sebagai berikut: ‘Tidak ada petapa atau brahmana lain di luar [Pengajaran Buddha] yang memiliki pandangan [324] seperti yang kumiliki.’ Ini adalah pengetahuan ke tiga yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

11. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki karakter  dari seorang yang berpandangan benar?’ Apakah karakter dari seorang yang berpandangan benar? Ini adalah karakter dari seorang yang berpandangan benar: walaupun ia mungkin melakukan beberapa jenis pelanggaran yang karenanya suatu cara rehabilitasi telah ditentukan,[ ] begitu ia mengaku, mengungkapkan, dan memberitahukan pelanggaran itu kepada guru atau kepada teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci, dan setelah melakukan hal itu, ia memasuki pengendalian di masa depan. Seperti halnya, seorang bayi muda dan lembut yang sedang berbaring seketika mundur ketika ia meletakkan tangan atau kakinya pada arang membara, demikian pula karakter seseorang yang berpandangan benar.

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Aku memiliki karakter dari seorang yang berpandangan benar.’ Ini adalah pengetahuan ke empat yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

12. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki karakter dari seorang yang berpandangan benar?’ Apakah karakter dari seorang yang berpandangan benar? Ini adalah karakter dari seorang yang berpandangan benar: walaupun ia mungkin aktif dalam berbagai urusan menyangkut teman-temannya dalam kehidupan suci, namun ia memiliki perhatian kuat pada latihan moralitas yang lebih tinggi, latihan pikiran yang lebih tinggi, dan latihan kebijaksanaan yang lebih tinggi. Seperti halnya seekor sapi dengan anaknya yang baru lahir, sambil merumput, sapi itu juga mengawasi anaknya, demikian pula, itu adalah karakter dari seorang yang berpandangan benar.

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Aku memiliki karakter dari seorang yang berpandangan benar.’ Ini adalah pengetahuan ke lima yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

13. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki kekuatan  dari seorang yang berpandangan benar?’ Apakah kekuatan dari seorang yang berpandangan benar? Ini adalah kekuatan dari seorang yang berpandangan benar: ketika Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, ia memperhatikannya, menekuninya dengan segenap pikirannya, mendengarkan Dhamma dengan sungguh-sungguh.

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Aku memiliki kekuatan dari seorang yang berpandangan benar.’ Ini adalah pengetahuan ke enam yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa. [325]

14. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki kekuatan dari seorang yang berpandangan benar?’ Apakah kekuatan dari seorang yang berpandangan benar? Ini adalah kekuatan dari seorang yang berpandangan benar: ketika Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, ia memperoleh inspirasi dalam maknanya, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan sehubungan dengan Dhamma.

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Aku memiliki kekuatan dari seorang yang berpandangan benar.’ Ini adalah pengetahuan ke tujuh yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

15. “Jika seorang siswa mulia memiliki tujuh faktor ini, maka ia telah dengan baik menemukan karakter bagi pencapaian Buah Memasuki-Arus. “Jika seorang siswa mulia memiliki tujuh faktor ini, maka ia memiliki Buah Memasuki-Arus.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


CMIIW

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #53 on: 17 August 2010, 11:19:38 PM »
tambahan 48  Kosambiya Sutta

4. Sang Guru memanggil mereka.”“Baik, Yang Mulia,” ia menjawab, dan mendatangi para bhikkhu itu dan memberi tahu mereka: “Sang Guru memanggil para mulia.”

“Baik, Teman,” mereka menjawab, dan mereka 

5.“Demikianlah, Para bhikkhu, ketika kalian bertengkar

6. “Kemudian, seorang bhikkhu menggunakan benda-benda bersama-sama dengan teman-teman baiknya dalam kehidupan suci; tanpa merasa keberatan, ia berbagi dengan mereka apa pun jenis yang ia peroleh yang sesuai dengan Dhamma dan telah diperoleh dengan cara yang sesuai

menuju kehancuran total penderitaan. [ ]Ini adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

8. “Dan, apakah pandangan yang mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang mempraktikkan sesuai pandangan itu menuju kehancuran total penderitaan ini?

 ‘Adakah gangguan apa pun yang belum ditinggalkan dalam diriku, yang dapat mengganggu pikiranku, sehingga aku tidak dapat mengetahui atau melihat segala sesuatu sebagaimana adanya’? Jika seorang bhikkhu terganggu oleh nafsu indria, maka pikirannya terganggu. Jika ia terganggu oleh niat buruk, maka pikirannya terganggu. Jika ia terganggu oleh kelambanan dan ketumpulan, maka pikirannya terganggu. Jika

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Tidak ada gangguan yang belum ditinggalkan dalam diriku, yang dapat mengganggu pikiranku sehingga aku tidak dapat mengetahui atau melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Pikiranku siap untuk menembus kebenaran-kebenaran’.  Ini adalah pengetahuan pertama yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

9. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Ketika aku mengejar, mengembangkan, dan melatih pandangan ini, apakah aku memperoleh ketenangan internal, apakah aku secara pribadi memperoleh ketenangan’?

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Ketika aku mengejar, mengembangkan, dan melatih pandangan ini, aku memperoleh ketenangan internal, aku secara pribadi memperoleh ketenangan’. Ini adalah pengetahuan ke dua yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

10. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Adakah petapa atau brahmana lain di luar [Pengajaran Buddha] yang memiliki pandangan seperti yang kumiliki’?

“ia memahami sebagai berikut: ‘Tidak ada petapa atau brahmana lain di luar [Pengajaran Buddha] yang memiliki pandangan [324] seperti yang kumiliki’. Ini adalah pengetahuan ke tiga yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

11. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki karakter  dari seorang yang berpandangan benar’?Apakah karakter dari seorang yang berpandangan benar? Ini adalah karakter dari seorang yang berpandangan benar: walaupun ia mungkin melakukan beberapa jenis pelanggaran yang karenanya suatu cara rehabilitasi telah ditentukan, begitu ia mengaku, mengungkapkan, dan memberitahukan
“Ia memahami sebagai berikut: ‘Aku memiliki karakter dari seorang yang berpandangan benar’. Ini adalah pengetahuan ke empat yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

12. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki karakter dari seorang yang berpandangan benar’? Apakah karakter
“Ia memahami sebagai berikut: ‘Aku memiliki karakter dari seorang yang berpandangan benar’. Ini adalah pengetahuan ke lima yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

13. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki kekuatan  dari seorang yang berpandangan benar’? Apakah kekuatan dari seorang yang berpandangan benar? Ini adalah kekuatan dari seorang yang berpandangan benar: ketika Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, ia memerhatikannya, menekuninya dengan segenap pikirannya, mendengarkan Dhamma dengan sungguh-sungguh.

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Aku memiliki kekuatan dari seorang yang berpandangan benar’. Ini adalah pengetahuan ke enam yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa. [325]

14. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki kekuatan dari seorang yang berpandangan benar’?
“Ia memahami sebagai berikut: ‘Aku memiliki kekuatan dari seorang yang berpandangan benar’. Ini adalah pengetahuan ke tujuh
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline antidote

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 249
  • Reputasi: 25
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #54 on: 18 August 2010, 02:02:24 PM »
20  Vitakkasaṇṭhāna Sutta
Pelenyapan Pikiran-pikiran Kacau


3. (i) “Di sini, Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu sedang memerhatikan beberapa gambaran, dan karena gambaran itu, muncul dalam dirinya pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan, maka ia harus memerhatikan gambaran lain yang berhubungan dengan apa yang bermanfaat. [–]Ketika ia memerhatikan gambaran lain yang bermanfaat, maka pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu, maka pikirannya menjadi kukuh secara internal, tenang, dan menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seorang tukang kayu terampil atau muridnya, dapat menghancurkan, menghilangkan, dan mencabut pasak besar dengan menggunakan pasak kecil, demikian pula … ketika seorang bhikkhu memerhatikan gambaran lain yang berhubungan dengan apa yang bermanfaat … pikirannya menjadi kukuh secara internal, tenang, dan menjadi terpusat, dan terkonsentrasi.

6. (iv) “Jika, sewaktu ia berusaha melupakan pikiran-pikiran itu dan tidak memerhatikannya, masih muncul dalam dirinya pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan, maka ia harus mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut. [–]Ketika ia mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu, maka pikirannya menjadi kukuh secara internal, tenang, dan menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seseorang yang berjalan cepat akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku berjalan cepat? Bagaimana jika aku berjalan lambat’? dan ia akan berjalan lambat; kemudian ia akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku berjalan lambat? Bagaimana jika aku berdiri’? dan ia akan berdiri; kemudian ia akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku berjalan berdiri? Bagaimana jika aku duduk’? dan ia akan duduk; kemudian ia akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku duduk? Bagaimana jika aku berbaring’? dan ia akan berbaring. Dengan melakukan hal tersebut ia akan menggantikan setiap postur kasar dengan yang lebih halus. Demikian pula … Ketika seorang bhikkhu mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut … pikirannya menjadi kukuh secara internal, tenang, dan menjadi terpusat, dan terkonsentrasi.

8. “Para bhikkhu, [–]ketika seorang bhikkhu sedang memerhatikan beberapa gambaran, dan karena gambaran itu, muncul dalam dirinya pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan, kemudian ketika ia memerhatikan gambaran lain yang bermanfaat, maka pikiran jahat yang tidak bermanfaat ditinggalkan dalam dirinya dan mereda, dan dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu, maka pikirannya menjadi kukuh secara internal, tenang, dan menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Ketika ia memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran tersebut … Ketika ia berusaha melupakan pikiran-pikiran tersebut dan tidak memerhatikannya … Ketika, dengan menggertakkan giginya dan menekan lidahnya ke langit-langit mulutnya, ia harus menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu, maka pikirannya menjadi kukuh secara internal, tenang, dan [122] menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bhikkhu ini dapat disebut seorang guru dalam perjalanan pikiran. Ia akan memikirkan pikiran apapun yang ingin ia pikirkan dan ia tidak akan memikirkan pikiran apa pun yang tidak ingin ia pikirkan. Ia telah mematahkan keinginan, membuang belenggu-belenggu, dan dengan sepenuhnya menembus keangkuhan ia mengakhiri penderitaan.”


NOW

Offline antidote

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 249
  • Reputasi: 25
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #55 on: 18 August 2010, 02:50:28 PM »
23  Vammika Sutta
Gundukan Sarang Semut

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.  Pada saat itu Yang Mulia Kumāra Kassapa sedang menetap di Hutan Orang Buta.

Kemudian, pada larut malam, sesosok dewa dengan penampilan memesona yang menerangi seluruh Hutan Orang Buta mendatangi Yang Mulia Kumāra Kassapa dan berdiri di satu sisi.  Sambil berdiri, dewa itu berkata kepadanya:

2. “Bhikkhu, bhikkhu, gundukan sarang semut ini berasap pada malam hari dan menyala pada siang hari.

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana’. Setelah Menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat sebuah palang: ‘Sebuah palang, O Yang Mulia’.

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Buanglah palang itu; galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana’. Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat seekor kodok: ‘Seekor kodok, O Yang Mulia’.

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Buanglah kodok itu; galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana’. Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat sebuah garpu: ‘Sebuah garpu, O Yang Mulia’.

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Buanglah garpu itu; galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana’. Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat sebuah saringan: ‘Sebuah saringan, O Yang Mulia’.

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: [143] ‘Buanglah saringan itu; galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana’. Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat seekor kura-kura: ‘Seekor kura-kura, O Yang Mulia’.

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Buanglah kura-kura itu; galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana’. Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat sebuah parang dan balok pengganjal: ‘Sebuah parang dan balok pengganjal, O Yang Mulia’.

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Buanglah parang dan balok pengganjal itu; galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana’. Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat sepotong daging: ‘Sepotong daging, O Yang Mulia’.

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Buanglah sepotong daging itu; galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana’. Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat seekor ular Nāga: ‘Seekor ular Nāga, O Yang Mulia’.

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Biarkan ular Nāga itu; jangan melukai ular Nāga, hormatilah ular Nāga’.

“Bhikkhu, engkau harus menghadap Sang Bhagavā dan menanyakan tentang teka-teki ini. Sebagaimana Sang Bhagavā menjelaskan, demikianlah engkau harus mengingatnya. Bhikkhu, selain Sang Tathāgata atau siswa Sang Tathāgata yang telah mempelajarinya dari Beliau, aku tidak melihat seorangpun di dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya, yang mampu menjelaskan teka-teki ini dengan memuaskan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh dewa itu, yang kemudian lenyap seketika.

3.  Kemudian, ketika malam telah berlalu, Yang Mulia Kumāra Kassapa menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberitahu Sang Bhagavā tentang apa yang telah terjadi. Kemudian ia bertanya: “Yang Mulia, apakah gundukan sarang semut? Apakah berasap di malam hari, apakah menyala di siang hari? Siapakah brahmana itu, siapakah sang bijaksana? Apakah pisau, apakah menggali, apakah palang, apakah kodok, apakah garpu, apakah saringan, apakah kura-kura, apakah kapak dan balok pengganjal, apakah sepotong daging, apakah ular Nāga?” [144]

4. “Bhikkhu, gundukan sarang semut adalah perumpamaan bagi jasmani ini, terbuat dari bentuk materi, terdiri dari empat unsur utama, dihasilkan oleh ibu dan ayah, dibangun oleh nasi dan bubur,  dan tunduk pada ketidak-kekalan, pada keusangan, pada kehancuran.

“Apa yang seseorang pikirkan dan renungkan pada malam hari berdasarkan pada perbuatannya di siang hari adalah ‘berasap di malam hari’.

“Perbuatan yang dilakukan pada siang hari oleh jasmani, ucapan, dan pikiran setelah memikirkan dan merenungkan pada malam hari adalah ‘menyala di siang hari’.

“Brahmana adalah perumpamaan bagi Sang Tathāgata, sempurna dan tercerahkan sempurna. Sang bijaksana adalah perumpamaan bagi seorang bhikkhu dalam latihan yang lebih tinggi. Pisau adalah perumpamaan bagi kebijaksanaan mulia. Menggali adalah perumpamaan bagi pengerahan kegigihan.

“Palang adalah perumpamaan bagi kebodohan.  ‘Buanglah palang itu: tinggalkanlah kebodohan. Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana’.Ini adalah maknanya.

“Kodok adalah perumpamaan bagi keputus-asaan karena kemarahan: ‘Buanglah kodok itu: tinggalkanlah keputus-asaan karena kemarahan. Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana’. Ini adalah maknanya.

“Garpu adalah perumpamaan bagi keragu-raguan.  ‘Buanglah garpu itu: tinggalkanlah keragu-raguan. Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana’. Ini adalah maknanya.

“Saringan adalah perumpamaan bagi kelima rintangan, yaitu, rintangan keinginan indria, rintangan niat buruk, rintangan kelambanan dan ketumpulan, rintangan kegelisahan dan penyesalan, dan rintangan keragu-raguan. ‘Buanglah saringan itu: tinggalkanlah kelima rintangan. Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana’. Ini adalah maknanya.

“Kura-kura adalah perumpamaan bagi kelima kelompok unsur kehidupan yang dipengaruhi oleh kemelekatan, yaitu, kelompok bentuk materi yang dipengaruhi oleh kemelekatan, kelompok perasaan yang dipengaruhi oleh kemelekatan, kelompok persepsi yang dipengaruhi oleh kemelekatan, kelompok bentukan-bentukan yang dipengaruhi oleh kemelekatan, kelompok kesadaran yang dipengaruhi oleh kemelekatan. ‘Buanglah kura-kura itu: tinggalkanlah kelima kelompok unsur kehidupan yang dipengaruhi oleh kemelekatan. Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana’. Ini adalah maknanya.

“Parang dan balok pengganjal adalah perumpamaan bagi kelima utas kenikmatan indria  – bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan disukai, berhubungan dengan keinginan indria, dan merangsang nafsu; suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan disukai, berhubungan dengan keinginan indria, [145] dan merangsang nafsu. ‘Buanglah parang dan balok pengganjal itu: tinggalkanlah kelima utas kenikmatan indria. Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana’. Ini adalah maknanya.

“Sepotong daging adalah perumpamaan bagi kesenangan dan nafsu.  ‘Buanglah sepotong daging itu: tinggalkanlah kesenangan dan nafsu. Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana’. Ini adalah maknanya.

“Ular Nāga adalah perumpamaan bagi seorang bhikkhu yang telah menghancurkan noda-noda.  ‘Biarkanlah ular Nāga itu; jangan melukai ular Nāga, hormatilah ular Nāga’. Ini adalah maknanya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Kumāra Kassapa merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


NOW

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #56 on: 18 August 2010, 11:29:50 PM »
Tambahan  49  Brahmanimantanika Sutta

[326] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī
bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2.  atau muncul kembali, dan di luar ini tidak ada jalan membebaskan diri’.

3.  atau muncul kembali, dan di luar ini tidak ada jalan membebaskan diri’.

4.  jalan membebaskan diri dari hal-hal ini, ia mengatakan tidak ada jalan membebaskan diri’.

5. anggota kelompok Brahmā, [ ]dan ketika kehidupan mereka terpotong,

yang hina. [ ]Sebelum Engkau, Bhikkhu, terdapat

bergembira dalam tanah, [ ]yang memuji air karena bergembira dalam air,

mereka terlahir dalam jasmani yang mulia. [ ]Maka, Bhikkhu, aku

Brahmā. Tidakkah Engkau melihat kumpulan Brahmā yang duduk di sini, Bhikkhu’? dan Māra

6.  Sang Jahat, Aku tidak jatuh ke dalam kekuatanmu’.

7.  Jika engkau menggenggam air ... api ... udara ... makhluk-makhluk ... para dewa ... Pajāpati ... Brahmā, maka engkau akan dekat denganku, dalam wilayahku, bagiku untuk melakukan kehendakku dan menghukum’.

8. keperkasaan sebesar ini, pengaruh sebesar ini’.

“’Sekarang, Tuan, bagaimanakah engkau memahami jangkauan dan kekuasaan-Mu sejauh itu’?

9. [ ][ ] “’ Sejauh bulan dan matahari berputar

12-23. tidak berdiri sama tinggi denganmu, bagaimana mungkin Aku mengetahui lebih sedikit? Sebaliknya, Aku mengetahui lebih banyak daripada engkau’.

24. “’Tuan, Jika tidak menjadi bagian dari sifat keseluruhan, maka itu terbukti percuma dan kosong bagi- Mu’!

25.[ ][ ] “’Kesadaran yang tidak terwujud,
   
   Yang tidak menjadi bagian dari sifat tanah, yang tidak menjadi bagian dari sifat air … [330] … yang tidak menjadi bagian dari sifat keseluruhan’.

26. “’Tuan, aku akan menghilang dari hadapan-Mu’.
dari hadapan-Ku jika engkau mampu, Brahmā’.
akan menghilang dari hadapan Petapa Gotama’, tidak mampu menghilang. Kemudian Aku berkata: ‘Brahmā, Aku akan menghilang dari hadapanmu’.
“'Menghilanglah dari hadapanku jika engkau mampu, Tuan’.

27. [ ][ ]“’Setelah melihat ketakutan dalam penjelmaan
   Dan [setelah melihat] bahwa penjelmaan itu akan lenyap,
   Aku tidak menyambut segala jenis penjelmaan apa pun,
   Juga tidak melekat pada kenikmatan’.

28. penjelmaan, yang bersukacita dalam penjelmaan, Beliau telah mencabut penjelmaan bersama dengan akarnya’.

29. dan karena itu, Tuan, janganlah nasihati siapa pun’.

30. “Ketika hal ini dikatakan, Aku memberitahu Māra: ‘Aku mengenalmu, Sang Jahat. Jangan berpikir: “Ia tidak mengenalku.” Engkau adalah Māra, si Jahat. Bukanlah demi belas kasihan terhadap kesejahteraan mereka, maka engkau berkata demikian, melainkan adalah tanpa belas kasihan terhadap kesejahteraan mereka, maka engkau berkata demikian. Engkau berpikir seperti ini, Yang Jahat: “Mereka kepada siapa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma akan membebaskan diri dari wilayahku.” Para petapa dan
dan jika Sang Tathāgata tidak menuntun para siswa-Nya, Beliau tetap seorang Tathāgata. Mengapakah? Karena Sang Tathāgata telah meninggalkan noda-noda yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, memberikan kesusahan, yang matang dalam penderitaan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan; Beliau telah memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak akan muncul kembali di masa depan. Seperti halnya pohon palem yang dipotong pucuknya tidak akan mampu untuk
menyingkirkannya sehingga tidak akan muncul kembali di masa depan’.”


"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #57 on: 19 August 2010, 08:20:20 PM »
Tambahan
20  Vitakkasaṇṭhāna Sutta


Pelenyapan Pikiran-Pikiran Kacau

3. dan karena gambaran itu, muncul dalam dirinya pikiran jahat yang tidak bermanfaat

6. ‘Mengapa aku berjalan berdiri? Bagaimana jika aku duduk’?
Dengan melakukan hal tersebut, ia akan menggantikan setiap postur kasar

8.  dan karena gambaran itu, muncul dalam dirinya pikiran jahat yang tidak bermanfaat
Ia akan memikirkan pikiran apa pun yang ingin ia pikirkan
Ia telah mematahkan keinginan, membuang belenggu-belenggu, dan dengan sepenuhnya menembus keangkuhan, ia mengakhiri penderitaan.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #58 on: 19 August 2010, 10:31:56 PM »
tambahan 48  Kosambiya Sutta

2. Pada saat itu, para bhikkhu di Kosambī bertengkar dan bercekcok dan berselisih

3. dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberi tahu Beliau

4. Kemudian, Sang Bhagavā memanggil seorang bhikkhu sebagai berikut: “Pergilah, Bhikkhu,

Kemudian Sang Bhagavā bertanya kepada mereka: “Para bhikkhu, benarkah bahwa kalian telah bertengkar dan bercekcok dan berselisih

5.“Demikianlah, Para bhikkhu, ketika kalian bertengkar dan bercekcok dan berselisih

apakah yang dapat kalian lihat, sehingga kalian bertengkar dan bercekcok dan berselisih
Orang-orang sesat, hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaan kalian[,] untuk waktu yang lama.”

6. tidak berbintik, tidak bercoreng, membebaskan, dihargai oleh para bijaksana, tidak disalahpahami, dan mendukung konsentrasi.

8. Jika seorang bhikkhu terlibat dalam pertengkaran, percekcokan, dan perselisihan

10. “Ia memahami sebagai berikut:

11. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki karakter [ ]dari seorang

13. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki kekuatan [ ]dari seorang

15. “Jika seorang siswa mulia memiliki tujuh faktor ini, maka ia telah dengan baik menemukan karakter bagi pencapaian Buah Memasuki-Arus. [“]Jika seorang siswa mulia memiliki tujuh faktor ini, maka ia memiliki Buah Memasuki-Arus.”


[at]  mitta, yg "cekcok" wa balikin ke semula ya, tlsnnya memang gitu.. ;)
 [at]  ko hendra, biar ga susah nampak bagian2 mananya yg ada diubah, disaranin liat reply kami pake zoom ya ko..
;D
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline antidote

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 249
  • Reputasi: 25
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #59 on: 20 August 2010, 09:06:37 PM »
24  Rathavinīta Sutta
Barisan Kereta


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu, ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Kemudian sejumlah bhikkhu yang berasal dari negeri asal [Sang Bhagavā],  yang melewatkan musim hujan di sana, menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā bertanya kepada mereka: Para bhikkhu, siapakah yang di negeri asal[Ku] yang dihormati oleh para bhikkhu si sana, oleh teman-temannya dalam kehidupan suci, sebagai berikut: ‘Memiliki sedikit keinginan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang keinginan yang sedikit; puas terhadap dirinya sendiri, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang kepuasan; terasing, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang keterasingan; jauh dari pergaulan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang menjauhi pergaulan; bersemangat, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang membangkitkan semangat; mencapai moralitas, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian moralitas; mencapai konsentrasi, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian konsentrasi; mencapai kebijaksanaan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian kebijaksanaan; mencapai kebebasan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian kebebasan; mencapai pengetahuan dan penglihatan kebebasan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian pengetahuan dan penglihatan kebebasan;  ia adalah seorang yang menasihati, memberitahu, memberi instruksi, mendesak, [146] membangkitkan, dan mendorong teman-temannya dalam kehidupan suci’?”

“Yang Mulia, Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta sangat dihornati di negeri asal [Sang Bhagavā] oleh para bhikkhu di sana, oleh teman-temannya dalam kehidupan suci.”

3. Pada saat itu Yang Mulia Sāriputta sedang duduk di dekat Sang Bhagavā. Kemudian Yang Mulia Sāriputta berpikir: “Suatu keuntungan bagi Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, suatu keuntungan besar baginya bahwa teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci memujinya dalam segala hal di hadapan Sang Guru. Mungkin suatu saat kami dapat bertemu dengan Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta dan berbincang-bincang dengannya.”

4. Kemudian, ketika Sang Bhagavā telah menetap di Rājagaha selama yang Beliau inginkan, Beliau melakukan perjalanan secara bertahap menuju Sāvatthī. Dengan mengembara secara bertahap, Beliau akhirnya sampai di Sāvatthī, dan di sana Beliau menetap di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

5. Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta mendengar: “Sang Bhagavā telah tiba di Sāvatthī dan menetap di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.” Kemudian Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta merapikan tempat kediamannya, dan membawa jubah luar dan mangkuknya, melakukan perjalanan secara bertahap menuju Sāvatthī. Dengan melakukan perjalanan secara bertahap, ia akhirnya sampai di Sāvatthī dan pergi ke Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika, untuk menjumpai Sang Bhagavā. Setelah bersujud pada Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi dan Sang Bhagavā memberikan instruksi, menasihati, membangkitkan semangat, dan mendorongnya dengan khotbah Dhamma. Kemudian Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇioutta, setelah menerima instruksi, dinasihati, dibangkitkan semangatnya, dan didorong oleh khotbah Dhamma dari Sang Bhagavā, senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud pada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi ke Hutan Orang Buta untuk melewatkan hari itu.

6. Kemudian seorang bhikkhu mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan berkata kepadanya: “Teman Sāriputta, Bhikkhu Puṇṇa Mantāṇiputta yang sering engkau puji [147] baru saja diberi instruksi, dinasihati, dibangkitkan semangatnya, dan didorong oleh Sang Bhagavā dengan khotbah Dhamma; setelah senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, ia bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud pada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi ke Hutan Orang Buta untuk melewatkan hari.

7. Kemudian Yang Mulia Sāriputta segera mengambil alas duduk dan mengikuti persis di belakang Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, dengan tetap mempertahankan kepalanya dalam jarak pandangan. Kemudian Yang Mulia Puṇna Mantāṇiputta memasuki Hutan Orang Buta dan duduk  di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari. Yang Mulia Sāriputta juga memasuki Hutan Orang Buta dan duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.

8. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Sāriputta bangkit dari meditasi, mendatangi Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah tamah itu berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta:

9. “Apakah kehidupan suci dijalankan di bawah Sang Bhagavā kita, teman?” – “Benar, Teman.” – “Tetapi, Teman, apakah demi pemurnian moralitas maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, Teman.” – “Kalau begitu apakah demi pemurnian pikiran maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, Teman.” “Kalau begitu apakah demi pemurnian pandangan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, Teman.”   “Kalau begitu apakah demi pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, Teman.” “Kalau begitu apakah demi pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, Teman.” “Kalau begitu apakah demi pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, Teman.” “Kalau begitu apakah demi pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, Teman.” 

10. “Teman, ketika ditanya: ‘Tetapi, Teman, apakah demi pemurnian moralitas maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā’? Engkau menjawab: ‘Bukan, Teman’. Ketika ditanya: ‘Kalau begitu apakah demi pemurnian pikiran … pemurnian pandangan  … pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā’? Engkau menjawab: ‘Bukan, Teman’. Kalau begitu demi apakah, Teman [148] kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?”

“Teman, adalah demi Nibbāna akhir yang tanpa kemelekatan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā.”

11. “Tetapi, Teman, apakah pemurnian moralitas adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, Teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian pikiran adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, Teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian pandangan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, Teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, Teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, Teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, Teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, Teman.” – “Tetapi, Teman, apakah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan dicapai tanpa kondisi-kondisi ini?” – “Tidak, Teman.”

12. “Ketika ditanya: ‘Tetapi, Teman, apakah pemurnian moralitas adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan’? Engkau menjawab: ‘Bukan, Teman’. Ketika ditanya: ‘Kalau begitu apakah pemurnian pikiran … pemurnian pandangan … pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan’? Engkau menjawab: ‘Bukan, Teman’. Tetapi bagaimanakah, Teman, makna dari pernyataan-pernyataan ini dipahami?”

13. “Teman, jika Sang Bhagavā menjelaskan pemurnian moralitas sebagai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan, maka Beliau juga menjelaskan apa yang masih disertai dengan kemelekatan sebagai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan. Jika Sang Bhagavā menjelaskan pemurnian pikiran … pemurnian pandangan … pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan sebagai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan, maka Beliau juga menjelaskan apa yang masih disertai dengan kemelekatan sebagai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan.  Dan jika Nibbāna akhir tanpa kemelekatan dicapai tanpa kondisi-kondisi ini, maka orang biasa juga mencapai Nibbāna akhir, karena orang biasa tidak memiliki kondisi-kondisi ini.

14. “Sehubungan dengan hal tersebut, Teman, aku akan memberikan sebuah perumpamaan, karena orang-orang bijaksana memahami makna dari suatu pernyataan melalui perumpamaan. Misalkan bahwa Raja Pasenadi dari Kosala sewaktu menetap di Sāvatthī [149] menghadapi suatu urusan yang harus diselesaikan segera di Sāketa, dan bahwa antara Sāvatthī dan Sāketa tujuh kereta telah dipersiapkan untuknya. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala, meninggalkan Sāvatthī melalui pintu istana dalam, menaiki kereta pertama, dan dengan mengendarai kereta pertama ia akan tiba di kereta ke dua; kemudian ia akan turun dari kereta pertama dan naik ke kereta ke dua, dan dengan mengendarai kereta ke dua, ia akan tiba di kereta ke tiga … dengan mengendarai kereta ke tiga, ia akan tiba di kereta ke empat … dengan mengendarai kereta ke empat, ia akan tiba di kereta ke lima … dengan mengendarai kereta ke lima, ia akan tiba di kereta ke enam … dengan mengendarai kereta ke enam, ia akan tiba di kereta ke tujuh, dan dengan mengendarai kereta ke tujuh, ia akan tiba di pintu istana dalam di Sāketa. Kemudian, ketika ia telah sampai di pintu istana dalam, teman-teman dan kenalannya, kerabat dan sanak saudaranya, akan bertanya: ‘Baginda, apakah engkau datang dari Sāvatthī dengan mengendarai kereta ini’? Bagaimanakah seharusnya Raja Pasenadi dari Kosala menjawabnya dengan benar?”

“Untuk menjawab dengan benar, Teman, ia harus menjawab sebagai berikut: ‘Di sini, sewaktu menetap di Sāvatthī aku menghadapi suatu urusan yang harus diselesaikan segera di Sāketa, dan antara Sāvatthī dan Sāketa tujuh kereta telah dipersiapkan untukku. Kemudian, meninggalkan Sāvatthī melalui pintu istana dalam, aku menaiki kereta pertama, dan dengan mengendarai kereta pertama aku tiba di kereta ke dua; kemudian aku turun dari kereta pertama dan naik ke kereta ke dua, dan dengan mengendarai kereta ke dua, aku tiba di kereta ke tiga … ke empat … ke lima … ke enam … kereta ke tujuh, dan dengan mengendarai kereta ke tujuh, aku tiba di pintu istana dalam di Sāketa’. Untuk menjawabnya dengan benar ia harus menjawab demikian.”

15. “Demikian pula, Teman, pemurnian moralitas adalah demi untuk mencapai pemurnian pikiran; pemurnian pikiran adalah demi untuk mencapai pemurnian pandangan; pemurnian pandangan adalah demi untuk mencapai pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan; pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan [150] adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan adalah demi untuk mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan. Adalah demi untuk  mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan inilah kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā.”

16. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta bertanya kepada Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta: “Siapakah nama Yang Mulia, dan bagaimanakah teman-temannya dalam kehidupan suci mengenali Yang Mulia?”

“Namaku adalah Puṇṇa, Teman, dan teman-temanku dalam kehidupan suci mengenalku sebagai Mantāṇiputta.”

“Sungguh menakjubkan, Teman, sungguh mengagumkan! Semua pertanyaan yang mendalam telah dijawab, pokok demi pokok, oleh Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta sebagai seorang siswa terpelajar yang memahami Ajaran Sang Guru dengan benar. Suatu keuntungan bagi teman-temannya dalam kehidupan suci, suatu keuntungan besar bagi mereka bahwa mereka berkesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepada Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta. Bahkan jika dengan membawa Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta di atas alas duduk di atas kepala mereka agar teman-temannya dalam kehidupan suci memperoleh kesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepadanya, itu adalah keuntungan bagi mereka, keuntungan besar bagi mereka. Dan adalah keuntungan bagi kami, keuntungan besar bagi kami bahwa kami berkesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepada Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta.”

17. Ketika ini dikatakan, Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta bertanya kepada Yang Mulia Sāriputta: “Siapakah nama Yang Mulia, dan bagaimanakah teman-temannya dalam kehidupan suci mengenali Yang Mulia?”

“Namaku adalah Upatissa, Teman, dan teman-temanku dalam kehidupan suci mengenalku sebagai Sāriputta.”

“Sungguh, Teman, kami tidak mengetahui bahwa kami sedang berbicara dengan Yang Mulia Sāriputta, siswa yang menyerupai Sang Guru sendiri.  Jika kami mengetahui sebelumnya bahwa engkau adalah Yang Mulia Sāriputta, maka kami tidak akan berbicara begitu banyak. Sungguh menakjubkan, Teman, sungguh mengagumkan! Semua pertanyaan yang mendalam telah diajukan, pokok demi pokok, oleh Yang Mulia Sāriputta sebagai seorang siswa terpelajar yang memahami Ajaran Sang Guru dengan benar. Suatu keuntungan bagi teman-temannya dalam kehidupan suci, suatu keuntungan besar bagi mereka bahwa mereka berkesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepada Yang Mulia Sāriputta. Bahkan jika dengan membawa Yang Mulia Sāriputta di atas alas duduk di atas kepala mereka agar teman-temannya dalam kehidupan suci memperoleh kesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepadanya, [151] itu adalah keuntungan bagi mereka, keuntungan besar bagi mereka. Dan adalah keuntungan bagi kami, keuntungan besar bagi kami bahwa kami berkesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepada Yang Mulia Sāriputta.”

Demikianlah kedua manusia agung itu bergembira mendengar kata-kata baik masing-masing.

NOW