//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Diskriminasi bhikkhunikah?  (Read 41925 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #30 on: 07 August 2010, 08:48:26 AM »
Quote
Quote from: NOYA on Today at 04:07:22 PM
Quote
Meskipun tidak ada seorang bhikkhu mengikuti Sang Buddha ketika memberikan Dhamma ke para bhikkhuni, seharusnya sang Buddha akan mengulang Dhamma yang sama ke bhikkhu Ananda.

Tadi disebutkan "MENILIK TIPIṬAKA", pertanyaan saya, apakah Tipiṭaka yang kita temui saat ini adalah sama persis dengan apa yang diulang oleh Bhante Ananda pada saat konsili pertama???

 

Yang dikutip di atas dengan pertanyaan, hubungannya apa ya? 

Hehe,,, gak ada hubungannya kaleee… ???.

Pertanyaan saya mungkin harus saya tambahi begini : Tadi disebutkan MENILIK TIPITAKA, yang saat ini kita pahami terdiri dari kelompok Dhamma (sutta dan Abhidhamma) dan Vinaya, pertanyaan saya, apakah ‘Dhamma yang saat ini ada di Tipitaka’ adalah sama persis dengan Dhamma yang diulang oleh Bhante Ananda pada konsili pertama?
Samanera Peacemind menyebutkan bahwa “Meskipun tidak ada seorang bhikkhu mengikuti Sang Buddha ketika memberikan Dhamma ke para bhikkhuni ‘seharusnya’ Sang Buddha mengulang Dhamma yang sama ke bhikkhu Ananda”. Kalimat ini saya pahami bahwa, kemungkinan Dhamma yang disampaikan kepada bhikkhuni dan tidak diulang di dalam konsili pertama dengan alasan tidak ada bhikkhu yang mengikuti Sang Buddha ketika membabarkan Dhamma kepada bhikkhuni adalah sangat kecil, mengingat bahwa Buddha pasti mengulangnya kepada Bhikkhu Ananda.

Nah, kenapa saya menanyakan apakah Tipiṭaka yang kita temui saat ini adalah sama persis dengan apa yang diulang oleh Bhante Ananda pada saat konsili pertama adalah untuk mencari benang merah dengan pertanyaan awal dari thread ini bahwa ‘apakah sedikitnya ajaran Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhuni sebagaimana yang kita temuai dalam Tipiṭaka saat ini merupakan diskriminasi terhadap bhikkhuni’?

Memang saya akui, walaupun saya bertanya, saya telah menyimpan sebuah asumsi tersendiri di dalam pikiran saya. Dalam hal ini, saya berasumsi bahwa, tidak ada diskriminasi dari Buddha kepada bhikkhuni. Jika memang ada semacam diskrimasi tentang sedikitnya ajaran Dhamma kepada para bhikkhuni sebagaimana yang terdapat di dalam Tipitaka saat ini, hal ini dilakukan oleh para bhikkhu peserta konsili. Kalaupun tidak ada diskriminasi dari para bhikkhu peserta konsili, kemungkinan hal ini terjadi karena factor alami atau suatu kewajaran mengingat peserta konsili adalah para bhikkhu saja.

Dengan demikian, pertanyaan saya tujukan untuk mensupport pendapat saya bahwa sedikitnya Dhamma yang diajarkan oleh Buddha kepada para bhikkhuni seperti yang kita temui saat ini di dalam Tipitaka adalah karena faktor ‘pengulangan dan penulisannya’ yang dilakukan oleh para bhikkhu saja. Selain itu, juga adanya factor ‘pengembangan’ Buddhist literature, yang berarti bahwa ada banyak literature yang ditulis belakangan, dan lagi-lagi, penulisannya juga dilakukan oleh para bhikkhu.

 
Quote
Tentu ada banyak indikasi bahwa Tipitaka yang diulang pada konsili pertama dengan sekarang tidak sama persis. Contoh yang paling nyata adalah, kathavatthu disusun pada konsili ketiga.

Benar sekali! Dan bukan hanya Kathavatthu sebagai bagian dari Abhidhamma Pitaka, ada beberapa literature dari Khuddaka Nikāya yang disinyalir sebagai “later literature”. Sebut saja diantaranya adalah Vimanavatthu, Buddhavamsa, Cariyapitaka dan Niddesa. Banyak indikasi untuk mengkategorikan mereka sebagai ‘later literature’. Salah satu indikasinya misalnya dengan menyelidiki nama-nama tempat dalam literature. Nidesa sebagai contohnya banyak menyebutkan nama-nama kota yang ada pada zaman pemerintahannya Raja Asoka dan kota-kota ini tidak diketahui pada canon yang disusun sebelumnya. Kota-kota tersebut seperti: Takkola, Takkasilā, Tambapanni, Tamalim, Bārukacca, Vanga, Suraṭtha, dan Suvannabhūmi. Dengan demikian, banyak orang yang menyimpulkan bahwa Niddesa disusun tidak lama sebelum Konsili ketiga.

Dengan demikian saya kok semakin kuat berasumsi bahwa tidak ada diskriminasi dari Buddha dalam hal ini.  Kalau memang hal ini dianggap diskriminasi, hal ini karena adanya tida factor tadi yaitu factor ‘pengulangan, penulisan dan pengembangan’ literature Buddhist yang dilakukan oleh para bhikkhu saja.

Mohon dikoreksi lagi jika ada yang salah. Semua koreksi sangat welcome.

Terima kasih.
 _/\_

Dari apa yang saya tangkap setelah membaca pendapat sdr Noya, sebenarnya tidak ada diskriminasi terhadap bhikkkhuni dari Sang Buddha. Ini juga merupakan indikasi bahwa Sang Buddha memberikan banyak khotbah kepada para bhikkhuni. Namun karena pada konsili pertama, mereka yang menjadi anggota konsili kesemuanya bhikkhu maka khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni tidak diulang dan dicatat dalam konsili pertama. Jadi jika memang ada diskriminasi, hal ini dilakukan pertama-tama oleh para bhikkhu pada konsili pertama. Jika memang demikian adanya, timbul beberapa pertanyaan: 1. Bhikkhu2 yang menjadi anggota konsili pertama adalah para arahat, mungkinkah mereka melakukan diskriminasi terhadap bhikkhuni dengan mennghapus khotbah2 Sang Buddha terhadap mereka? Jika para arahat ini menghapus khotbah2 Sang BUddha terhadap bhikkhuni, mengapa ada satu khotbah dari seorang bhikkhuni yakni Culavedallasutta diulang dalam konsili pertama? Apakah khotbah Cullavedallasutta lebih penting dari khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni lainnya yang kemungkinan tidk diulang dalam konsili pertama? Kemudian juga, kenapa para bhikkhu pada konsili pertama tidak menghapus beberapa khotbah dalam bhikkhunisamyutta yang mana khotbah2 itu tidak ada kaitannya dengan Buddha? Apakah khotbah2 dalam Bhikkhunisamyuttta lebih penting dari khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni lainnya yang sengaja tidak diulang dalam konsili pertama? Kemudian bagaimana dengan Therigatha? Pertanyaan lainnya adlaah, jika para members konsili pertama menghapus khotbah2 Sang Buddha kepada bhikkhuni, kemudian mengapa khotbah2 Sang Buddha kepada umat awam seperti yang tampak dalam Brahmanavagga, rajavagga, gahapativagga dari majjhimanikaya, atau kosalasamyutta dari samyuttanikaya, dll, diulang pada konsili pertama? Apakah khotbah2 Sang Buddha terhadap umat awam ini lebih penting dari khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni yang tidak diulang pada konsili pertama? Anyway, sdr Noya di atas juga mengatakan bahwa kalaupun tidak ada diskriminasi dari para bhikkhu, itu pun wajar karena peserta konsili adalah para bhikkhu saja. Meskipun ini dikatakn wajar / alami, tetapi pertanyaan2 di atas masih muncul, yakni 'mengapa mereka menghapus khotbah2 itu'?

Alasan lain yang diungkapkan oleh sdr Noya adlh karena pengembangan literatur. Setahu saya, yang namanya pengembangan literatur bersifat menambah, dan bukan mengurangi. Jik pengembangan literatur berdifat menambah, justru khotbah2 atau cerita2 yang tidak ditulis dalam konsili pertama atau konsili2 selanjutnya akan dibuka lagi. Dan sangat mungkin melalui pengembangan literatur,seharusnya khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni yang kemungkinan tidak dicatat dalam konsili pertama, akan diungkap kembali. Tapi nyatanya tidak........
« Last Edit: 07 August 2010, 08:50:24 AM by Peacemind »

Offline NOYA

  • Teman
  • **
  • Posts: 66
  • Reputasi: 7
  • Gender: Female
  • I still need to learn more.
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #31 on: 07 August 2010, 09:34:40 AM »
Quote
Dari apa yang saya tangkap setelah membaca pendapat sdr Noya, sebenarnya tidak ada diskriminasi terhadap bhikkkhuni dari Sang Buddha. Ini juga merupakan indikasi bahwa Sang Buddha memberikan banyak khotbah kepada para bhikkhuni.

Iya, saya pikir begitu. Sang Buddha pun banyak memberikan banyak ajaran kepada para bhikkhuni, walaupun jumlahnya tidak sama persis tidak sebanyak dengan kotbah yang diberikan kepada bhikkhu. Apalagi kan Sangha bhikkhuni muncul belakangan.

Quote
Namun karena pada konsili pertama, mereka yang menjadi anggota konsili kesemuanya bhikkhu maka khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni ‘tidak diulang dan dicatat dalam konsili pertama.

Bukan berarti tidak diulang dan dicatat sama sekali lho ya. Saya berasumsi bahwa ada beberapa saja dan itupun mungkin karena memang 'tidak tahu'.

Quote
Jadi jika memang ada diskriminasi, hal ini dilakukan pertama-tama oleh para bhikkhu pada konsili pertama. Jika memang demikian adanya, timbul beberapa pertanyaan: 1. Bhikkhu2 yang menjadi anggota konsili pertama adalah para arahat, mungkinkah mereka melakukan diskriminasi terhadap bhikkhuni dengan mennghapus khotbah2 Sang Buddha terhadap mereka? Jika para arahat ini menghapus khotbah2 Sang BUddha terhadap bhikkhuni, mengapa ada satu khotbah dari seorang bhikkhuni yakni Culavedallasutta diulang dalam konsili pertama? Apakah khotbah Cullavedallasutta lebih penting dari khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni lainnya? Kemudian juga, kenapa para bhikkhu pada konsili pertama tidak menghapus beberapa khotbah dalam bhikkhunisamyutta yang mana khotbah2 itu tidak ada kaitannya dengan Buddha? Apakah khotbah2 dalam Bhikkhunisamyuttta lebih penting dari khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni lainnya yang sengaja tidak diulang dalam konsili pertama? Kemudian bagaimana dengan Therigatha? Pertanyaan lainnya adlaah, jika para members konsili pertama menghapus khotbah2 Sang Buddha kepada bhikkhuni, kemudian mengapa khotbah2 Sang Buddha kepada umat awam seperti yang tampak dalam Brahmanavagga, rajavagga, gahapativagga dari majjhimanikaya, atau kosalasamyutta dari samyuttanikaya, dll, diulang pada konsili pertama? Apakah khotbah2 Sang Buddha terhadap umat awam ini lebih penting dari khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni yang tidak diulang pada konsili pertama? Anyway, sdr Noya di atas juga mengatakan bahwa kalaupun tidak ada diskriminasi dari para bhikkhu, itu pun wajar karena peserta konsili adalah para bhikkhu saja. Meskipun ini dikatakn wajar / alami, tetapi pertanyaan2 di atas masih muncul, yakni 'mengapa mereka menghapus khotbah2 itu'?

Saya pernah menyebutkan bahwa “Kalaupun tidak ada diskriminasi dari para bhikkhu peserta konsili, kemungkinan hal ini terjadi karena factor alami atau suatu kewajaran mengingat peserta konsili adalah para bhikkhu saja”. Dalam hal ini saya ‘tidak’ berpendapat bahwa para bhikkhu peserta konsili (apalagi beliau-beliau adalah para Arahat) sengaja menghapus, atau sengaja mengikut sertakan ajaran ini dan itu dan sengaja pula tidak mengikutsertakan ajaran ini dan itu. Tetapi saya katakan sebagai factor alami /kewajaran adalah karena, kemungkinan mereka tidak tahu bahwa ada ajaran sang Buddha kepada para bhikkhuni. Ya kalau tidak tahu mau apa lagi? Jadi tidak tahu, berarti tidak ada istilah menghapus atau mengurangi. Saya tidak tahu sih, apakah para Arahat peserta konsili mempunyai kemampuan batin untuk mengecheck semua ajaran yang dibabarkan oleh Sang Buddha termasuk ajaran yang diajarkan oleh para bhikkhuni atau tidak. Jika, peserta konsili mempunyainya, berarti asumsi saya memang harus GUGUR.

Jadi sebetulnya saya mempermasalhkan keikutsertaan bhikkhuni sebagai peserta konsili saja. JIka ada bhikkhuni yang menjadi peserta konsili mungkin saya tidak akan berasumsi demikian. Walaupun oleh beberapa orang2, pertanyaan saya ini selalu dijawab dengan alasan pandangan social dan alasan ketersediaan t4 tinggal pada saat konsili apalagi konsili berlangsung berbulan-bulan dan tidak memungkinkan para bhikkhu dan bhikkhuni tinggal bersama. Apalagi, kan konsilinya berlangsung di Gua.

Lagi-lagi, kalau ada kesimpulan bahwa “kan semua ajaran Buddha telah diulang di depan Bhante Ananda dan seharusnya juga telah diulang di dalam Konsili pertama” sehingga mungkin premis saya bahwa adanya ajaran kepada Bhikkhuni yang tidak diajarkan oleh Sang Buddha tidak terekam didalam konsili ini sangat lemah, saya telah mempertanyakan bahwa, seperti yang dinyatakan di awal thread ini “menilik Tipitaka” pertanyaan saya kan “apakah semua ajaran didalam Tipiṭaka saat ini merupakan apa yang diulang oleh Bhante Ananda?”. Dan itulah mengapa, akhirnya saya berasumsi bahwa lebih sedikitnya ajaran kepada para bhikkhuni yang terdapat didalam Tipitaka saat ini adalah karena dipengaruhi ‘pengembangan’ Tipitaka. Dan pengembangan ini dilakukan oleh para bhikkhu.


Quote
Alasan lain yang diungkapkan oleh sdr Noya adlh karena pengembangan literatur. Setahu saya, yang namanya pengembangan literatur bersifat menambah, dan bukan mengurangi. Jik pengembangan literatur berdifat menambah, justru khotbah2 atau cerita2 yang tidak ditulis dalam konsili pertama atau konsili2 selanjutnya akan dibuka lagi. Dan sangat mungkin melalui pengembangan literatur,seharusnya khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni yang kemungkinan tidak dicatat dalam konsili pertama, akan diungkap kembali. Tapi nyatanya tidak........

Sekali lagi, saya berpikir bahwa para bhikkhu mungkin tidak mengetahui ‘semua’ ajaran yang Sang Buddha ajarkan kepada para bhikkhuni. Jadi ‘tidak’ ada istilah mengurangi ataupun sengaja tidak memasukkan ajaran2 Sang Buddha ke dalam Tipitaka, karena MEMANG TIDAK TAHU.

Pengembangan literature saya ungkapkan adalah untuk menunjukkan kenapa ajaran yang diajarkan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhuni lebih sedikit dan ajaran kepada para bhikkhu menjadi lebih banyak. Hal yang perlu diingat, pengembangan atau penambahan literature ini dilakukan oleh para bhikkhu dan menggunakan perspective para bhikkhu dan juga memasukkan cerita-cerita yang berkaitan dengan bhikkhu. Sehingga, wajarlah jika ajaran Sang Buddha kepada para bhikkhu menjadi lebih banyak dibanding ajaran yang disampaikan kepada para bhikkhuni seperti yang kita temui didalam Tipitaka saat ini, karena Tipitaka saat ini memang memuat beberapa texts yang dikembangkan dan ditambahi oleh para bhikkhu.

Koreksi selalu welcome.
Terima kasih
 _/\_
« Last Edit: 07 August 2010, 09:38:10 AM by NOYA »

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #32 on: 07 August 2010, 09:49:00 AM »
yg di bold,
mending tanya langsung aja ke Buddha ... soalnya, khan pernah ada yg post sebuah topik dimana kita tidak boleh menalar Buddha.

btw, apakah semua khotbah Buddha selalu di catat?

Buddha sudah tidak ada, jadi kita tidak bisa bertanya pada Beliau. Tidak boleh menalar Buddha? Apakah jika kita menalar Buddha adalah orang bijaksana pun sebenarnya tidak boleh? :D Thread ini kan untuk sharing opini, Bro...

Menurut kepercayaan Theravada, semua khotbah Sang Buddha harusnya tercatat dan diulangi di Konsili I.

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #33 on: 07 August 2010, 10:04:22 AM »
 [at] Noya:

Membaca komen terakhir anda, anda menyimpulkan bahwa beberapa khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni tidak diulang dalam konsili pertama dimungkinkan karena para bhikkhu tidak mengetahui adanya khotbah2 Sang BUddha terhadap para bhikkhuni. Hal itu mungkin, tapi kemungkinannya sangat kecil. Pertama, setelah bhikkhu  Ananda menjadi pembantu tetap Sang Buddha, beliau mengakui bahwa beliau hampir tidak pernah meninggalkan Sang Buddha layaknya bayangan dari bendanya (lihat Theragathā) dan khotbah yang tidak didengar oleh Ananda diminta untuk diulang lagi. Kedua, Sang BUddha selalu dikelilingi oleh murid2nya saat pergi perpindapata, keluar vihara atau dalam pengembaraan. Ketiga, secara vinaya, seorang bhikkhu termasuk Buddha tidak layak berbicara dengan wanita tanpa ditemani orang lain. Keempat, anggota konsili pertama terdiri dari 500 arahat. Apakah jumlah besar arahat ini sama sekali tidak tahu jika Sang Buddha banyak berkhotbah kepada para bhikkhuni sehingga tidak mengulangnya dalam konsili pertama? Mungkinkah? Mengapa mereka hanya mampu mengingat SATU khotbah Sang BUddha kepada bhikkhuni Mahāpājapati gotami dari keseluruhan empat nikaya pertama?

Anda mengatakan bahwa karena anggota konsili pertama semuanya para bhikkhu, maka wajar jika mereka tidak mengulang bebrapa / bahkan banyak khotbah2 Sang Buddha terhadap para bhikkhuni dengan alasan mereka tidak tahu ada khotbah2 demikian. Seperti yang saya katakan di komen sebelumnya, kalau pun ini wajar dan alami, pertanyaan2 yang saya cantumkan di komen sebelumnya juga masih akan muncul.

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #34 on: 07 August 2010, 10:09:05 AM »
Tidak online seharian kemarin udah ketinggalan ratusan posting, termasuk ketinggalan masalah ini, numpang ikutan sharing boleh ya….

Saya pernah membaca buku dari seorang dosen wanita kebangsaan Thailand, beliau menulis disertasi utk PhDnya ttg hal ini. Ada beberapa hal yg sy ingat (yg lain lupa, musti nyari dulu bukunya):
1.   Sang Buddha menasehati Ven.Ananda ttg jangan melihat, berbicara, dekat2 dg wanita karena beliau dg “mata buddha” nya melihat Ven.Ananda sangat dicintai para wanita dan para bhikkhuni. Bahkan para bhikkhuni terang2an selalu membela Ven.Ananda, dimana  ada tercatat suatu saat Ven.Ananda dimarahi oleh Ven.Mahakassapa lalu dibela oleh para bhikkhuni (yg tdk tahu bhw beliau berhadapan dg Ven.Mahakassapa).
Tentang beliau dicintai para wanita, dosen sy pernah memberikan cerita ini yaitu pd wkt beliau memberikan dhamma desana di istana raja Bimbisara utk para istri raja, saat itu yg hadir 300 istri, karena saking jatuh cintanya (atau apalah kurang tahu) semua istri raja ini menjadi hamil dan melahirkan anak yg mukanya mirip Ven.Ananda, saya wkt itu langsung tanya ke dosen sy apakah nama sutta yg menceritakan hal ini, beliau tidak ingat, sy disuruh mencari sendiri di library, saya paling angkat tangan kalau mencari di library, diantara jutaan buku.
2.   Sang Buddha tidak memandang rendah dengan wanita/bhikkhuni dg terbukti beliau memberikan ijin wanita memasuki sasana, mendirikan Bhikkhuni sasana serta dalam paritta yg notabene juga Buddha’s words selalu penyebutan utk wanita dimuka, spt yg tercermin dlm mettasutta, mahamangalasutta, penyebutan “matapita” mencerminkan beliau menghormati wanita.
3.   Pengalaman pribadi sang Buddha yg memiliki istana 4 musim dg dilengkapi 10.000 wanita, dosen ini menulis bhw dapat dipastikan ribuan wanita ini berusaha menarik perhatian beliau dan pasti terjadi saling cemburu diantara mereka, membuat wanita nampak tolol dimata beliau, saya pribadi juga setuju hal ini tentu saat itu beliau amat muak melihat persingan kecemburuan para wanita memperebutkan perhatian beliau, walau hal ini tidak dilakukan terang2an namun dpt dirasakan oleh beliau bhw telah terjadi persaingan diantara para wanita tsb. Sehingga beliau mengatakan bahwa wanita adalah mahluk tolol jadi jangan berassosiasi dg wanita.
Untuk yg lainnya sy lupa, sy musti nyari dulu buku yg pernah sy baca tsb. Kemudian dosen wanita ini kalau ga salah malah menjadi seorang nun juga akhirnya.

Kalau saya pribadi saya tidak mempermasalahkan mau diskriminasi atau tidak karena yang penting kita mencapai kesucian, setelah kita berhasil mengikis kekotoran bathin kita, setelah kita berhasil mencapai kesucian, maka kita mengakhiri samsara, toh ini tujuan kita semua, tidak ada lagi wanita atau pria karena telah berakhir, habis.  Tetapi kalau sy baca2 kisah kehidupan monastic Mahayana yang ada di internet salah satunya ada yg menceritakan kehidupan didalam vihara amat kekeluargaan tidak ada diskriminasi, semua murid duduk sejajar, semua murid diperlakukan setara, murid Nun pun diberi kesempatan berbicara didepan kelas yg terdiri para monk pula, sungguh indah kehidupan mereka penuh dg welas asih, cinta kasih dan kasih sayang.

Mettacittena,

Offline Hendra Susanto

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.197
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • haa...
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #35 on: 07 August 2010, 10:45:41 AM »
Quote
3.   Pengalaman pribadi sang Buddha yg memiliki istana 4 musim dg dilengkapi 10.000 wanita, dosen ini menulis bhw dapat dipastikan ribuan wanita ini berusaha menarik perhatian beliau dan pasti terjadi saling cemburu diantara mereka, membuat wanita nampak tolol dimata beliau, saya pribadi juga setuju hal ini tentu saat itu beliau amat muak melihat persingan kecemburuan para wanita memperebutkan perhatian beliau, walau hal ini tidak dilakukan terang2an namun dpt dirasakan oleh beliau bhw telah terjadi persaingan diantara para wanita tsb. Sehingga beliau mengatakan bahwa wanita adalah mahluk tolol jadi jangan berassosiasi dg wanita.
Untuk yg lainnya sy lupa, sy musti nyari dulu buku yg pernah sy baca tsb. Kemudian dosen wanita ini kalau ga salah malah menjadi seorang nun juga akhirnya.

YTH Samaneri, bagian yang di bold mohon diperjelas

Offline NOYA

  • Teman
  • **
  • Posts: 66
  • Reputasi: 7
  • Gender: Female
  • I still need to learn more.
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #36 on: 07 August 2010, 10:54:44 AM »
Quote
[at] Noya:

Membaca komen terakhir anda, anda menyimpulkan bahwa beberapa khotbah2 Sang Buddha terhadap bhikkhuni tidak diulang dalam konsili pertama dimungkinkan karena para bhikkhu tidak mengetahui adanya khotbah2 Sang BUddha terhadap para bhikkhuni. Hal itu mungkin, tapi kemungkinannya sangat kecil….”

Anda mengatakan bahwa karena anggota konsili pertama semuanya para bhikkhu, maka wajar jika mereka tidak mengulang bebrapa / bahkan banyak khotbah2 Sang Buddha terhadap para bhikkhuni dengan alasan mereka tidak tahu ada khotbah2 demikian. Seperti yang saya katakan di komen sebelumnya, kalau pun ini wajar dan alami, pertanyaan2 yang saya cantumkan di komen sebelumnya juga masih akan muncul.


Karena ada kata “menilik Tipitaka”, sekarang kita mencoba melihat bagian Tipitaka lain, yaitu Vinaya Pitaka.  Apakah peserta konsili pertama juga mengetahui semua Vinaya Bhikkhuni sebagaimana Vinaya Pitaka yang kita temuai saat ini? Sebagai contohnya saja, ada pernyataan bahwa Tattha ubhayāni pātimokkhāni dve vibhaṅgā dvāvīsati khandhakā soḷasa parivārāti idaṃ vinayapiṭakaṃ nāma. Kita ambil contohnya saja, kata ‘dve vibhanga’. Hal ini menunjukkan adanya dua vibhanga yaitu: bhikkhu dan bhikkhuni vibhanga. Pertanyaan saya juga, dimana sebetulnya letak dua vibhanga ini di dalam present Vinaya Pitaka, vinaya pitaka yang ada saat ini? Sedangkan kita tahu bahwa dalam present Vinaya Pitaka ada lima kelompok buku yaitu parajika pali, pacittiya pali, mahavagga pali, cullavagga pali and parivara pali yang dikelompokkan dalam tiga kelompok besar sebagai vibhanga, khandhaka, and parivara. Dan, apabila kita melihat Vibhanga yang ada saat ini, kita mendapatkan Parajika dan Pacittiya Pali. Apakah Parajika dan Pacittiya Pali merupakan representasi dari apa yang disebut ‘dve vibhanga’ tadi?

Maaf kalau OOT ya. Jujur saya juga malah jadi bingung nih.  :o :o :ohehe

Terima kasih.
 _/\_


Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #37 on: 07 August 2010, 11:04:12 AM »
Quote
3.   Pengalaman pribadi sang Buddha yg memiliki istana 4 musim dg dilengkapi 10.000 wanita, dosen ini menulis bhw dapat dipastikan ribuan wanita ini berusaha menarik perhatian beliau dan pasti terjadi saling cemburu diantara mereka, membuat wanita nampak tolol dimata beliau, saya pribadi juga setuju hal ini tentu saat itu beliau amat muak melihat persingan kecemburuan para wanita memperebutkan perhatian beliau, walau hal ini tidak dilakukan terang2an namun dpt dirasakan oleh beliau bhw telah terjadi persaingan diantara para wanita tsb. Sehingga beliau mengatakan bahwa wanita adalah mahluk tolol jadi jangan berassosiasi dg wanita.
Untuk yg lainnya sy lupa, sy musti nyari dulu buku yg pernah sy baca tsb. Kemudian dosen wanita ini kalau ga salah malah menjadi seorang nun juga akhirnya.

YTH Samaneri, bagian yang di bold mohon diperjelas

om haa yg baik,
thanks atas pertanyaan nya, hal ini terjadi pada saat kehidupan beliau sebagai pangeran Siddhatta (Bodhisattva) bukan sebagai Buddha Gotama, saya tahu kok maksud anda....bahwa jangan sampai pernyataan ini dipelintir oleh pihak lain.
jadi anda menanyakan hal ini, pdhal andapun tahu kehidupan beliau amat detail, sedang pihak lain belum tentu jadi jangan sampai disalah artikan.

mettacittena,

Offline fabian c

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.095
  • Reputasi: 128
  • Gender: Male
  • 2 akibat pandangan salah: neraka atau rahim hewan
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #38 on: 07 August 2010, 11:05:24 AM »
Bhikkhu Mettanando ini memang kontroversial, saya pernah membaca artikelnya tentang kematian Sang Buddha yang mendobrak pandangan yg selama ini kita anut dari Mahaparinibbana Sutta.

Bro Indra yang baik,
saya setuju bro, bahwa beliau memang kontroversial, saya masih ingat dulu saya pernah berargumen di Samaggi Phala beberapa tahun yang lalu. Mengenai komentarnya terhadap Mahaparinibbana Sutta.

Bhikkhu Mettanando nampaknya mengomentari berdasarkan asumsi pribadi, tanpa didukung fakta referensi yang kredibel. Ada satu hal menarik dari tulisannya, ketika ia mengatakan  bahwa kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali adalah karangan belaka dan tak ditemukan di Tipitaka.

Padahal kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali, ada tertulis di Achariyabhuta Sutta, Majjhima Nikaya.

Pendapat-pendapat yang tak berdasar seperti itu tidak sepantasnya keluar dari seorang intelektual, apalagi beliau seorang Bhikkhu.

 _/\_
« Last Edit: 07 August 2010, 11:13:40 AM by fabian c »
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #39 on: 07 August 2010, 11:15:10 AM »
Bhikkhu Mettanando ini memang kontroversial, saya pernah membaca artikelnya tentang kematian Sang Buddha yang mendobrak pandangan yg selama ini kita anut dari Mahaparinibbana Sutta.

Bro Indra yang baik,
saya setuju bro, bahwa beliau memang kontroversial, saya masih ingat dulu saya pernah berargumen di Samaggi Phala beberapa tahun yang lalu. Mengenai komentarnya terhadap Mahaparinibbana Sutta.

Bhikkhu Mettanando nampaknya mengomentari berdasarkan asumsi pribadi, tanpa didukung fakta referensi yang kredibel. Ada satu hal menarik dari tulisannya, ketika ia mengatakan  bahwa kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali adalah karangan belaka dan tak ditemukan di Tipitaka.

Padahal kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali, ada tertulis di Achariyabhuta Sutta, Majjhima Nikaya.

Pendapat-pendapat yang tak berdasar seperti itu tidak sepantasnya keluar dari seorang intelektual, apalagi beliau seorang Bhikkhu.

 _/\_
kelahiran pangeran itu memang ada di tipitaka tapi katanya itu hanyalah simbolik, kata Ven. S. Dhammika
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #40 on: 07 August 2010, 11:16:05 AM »
IMO, saat itu lebih banyak pria(Bhikku) daripada wanita(Bhikkuni), sehingga terlihat seolah2 tidak pernah memberikan khotbah pada wanita(Bhikkuni). dan bisa jadi saat itu tidak ada wanita(Bhikkuni) atau belum banyak wanita yg mengikuti jalan sang Buddha. sang Buddha tidak pernah membedakan antara pria dan wanita.

ajaran Buddha sendiri bisa dijalankan oleh pria dan wanita maupun waria, walaupun belum pernah ada kisah sang Buddha memberikan khotbah kepada waria.
saya rasa inti dari ajaran sang Buddha yaitu jalan menuju pembebasan dari penderitaan untuk semua mahluk adalah yg terpenting, tanpa harus memilah2 apakah saat itu terjadi begini atau apakah saat itu terjadi begitu.

Sangha Bhikkhuni didirikan oleh Sang Buddha pada tahun ke-5 setelah Pencerahan-Nya. Setelah itu Sang Buddha masih hidup selama 40 tahun ke depan untuk membabarkan Dhamma... Selama 40 tahun sejak Sangha Bhikkhuni didirkan, tapi sangat jarang kita temukan Sang Buddha membabarkan Dhamma ke para Bhikkhuni di Tipitaka. Ini jelas mengindikasikan Sang Buddha jarang berinteraksi secara langsung dengan Sangha Bhikkhuni. Setidaknya itulah yang dapat kita simpulkan dari Tipitaka.

bro upasaka yg baik,
mohon di quote kan data pendukung nya, karena yg saya terima di kuliah sy kok agak beda sedikit. thanks sebelumnya.

mettacittena,

Offline fabian c

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.095
  • Reputasi: 128
  • Gender: Male
  • 2 akibat pandangan salah: neraka atau rahim hewan
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #41 on: 07 August 2010, 11:34:35 AM »
Bhikkhu Mettanando ini memang kontroversial, saya pernah membaca artikelnya tentang kematian Sang Buddha yang mendobrak pandangan yg selama ini kita anut dari Mahaparinibbana Sutta.

Bro Indra yang baik,
saya setuju bro, bahwa beliau memang kontroversial, saya masih ingat dulu saya pernah berargumen di Samaggi Phala beberapa tahun yang lalu. Mengenai komentarnya terhadap Mahaparinibbana Sutta.

Bhikkhu Mettanando nampaknya mengomentari berdasarkan asumsi pribadi, tanpa didukung fakta referensi yang kredibel. Ada satu hal menarik dari tulisannya, ketika ia mengatakan  bahwa kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali adalah karangan belaka dan tak ditemukan di Tipitaka.

Padahal kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali, ada tertulis di Achariyabhuta Sutta, Majjhima Nikaya.

Pendapat-pendapat yang tak berdasar seperti itu tidak sepantasnya keluar dari seorang intelektual, apalagi beliau seorang Bhikkhu.

 _/\_
kelahiran pangeran itu memang ada di tipitaka tapi katanya itu hanyalah simbolik, kata Ven. S. Dhammika

Bro Ryu yang baik,

Bila kita mau kritis kita juga bisa pertanyakan bhante Dhammika, darimana Bhante Dhammika tahu itu hanya simbolik...? Apa kredibilitas beliau...?
Jadi saya hanya menerima pendapat bhante Dhammika hanya sebatas pendapat juga, itu boleh-boleh saja.
Bukan berarti pendapat beliau benar.

 _/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #42 on: 07 August 2010, 11:43:29 AM »
bro upasaka yg baik,
mohon di quote kan data pendukung nya, karena yg saya terima di kuliah sy kok agak beda sedikit. thanks sebelumnya.

mettacittena,

Seingat saya, Raja Suddhodana meninggal dunia pada tahun ke-5 setelah Pencerahan Sang Buddha. Setelah meninggal, Mahapajapti Gotami yang menjanda beserta wanita-wanita Sakya memohon untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Cuma setelah diingat-ingat lagi, sepertinya agak keliru yah. Soalnya tidak mungkin Bhikkhu Ananda sudah menjadi pelayan Sang Buddha di tahun ke-5. Hmm.. Tolong koreksinya, Sam.

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #43 on: 07 August 2010, 11:44:41 AM »
Quote
3.   Pengalaman pribadi sang Buddha yg memiliki istana 4 musim dg dilengkapi 10.000 wanita, dosen ini menulis bhw dapat dipastikan ribuan wanita ini berusaha menarik perhatian beliau dan pasti terjadi saling cemburu diantara mereka, membuat wanita nampak tolol dimata beliau, saya pribadi juga setuju hal ini tentu saat itu beliau amat muak melihat persingan kecemburuan para wanita memperebutkan perhatian beliau, walau hal ini tidak dilakukan terang2an namun dpt dirasakan oleh beliau bhw telah terjadi persaingan diantara para wanita tsb. Sehingga beliau mengatakan bahwa wanita adalah mahluk tolol jadi jangan berassosiasi dg wanita.
Untuk yg lainnya sy lupa, sy musti nyari dulu buku yg pernah sy baca tsb. Kemudian dosen wanita ini kalau ga salah malah menjadi seorang nun juga akhirnya.

YTH Samaneri, bagian yang di bold mohon diperjelas

om haa yg baik,
thanks atas pertanyaan nya, hal ini terjadi pada saat kehidupan beliau sebagai pangeran Siddhatta (Bodhisattva) bukan sebagai Buddha Gotama, saya tahu kok maksud anda....bahwa jangan sampai pernyataan ini dipelintir oleh pihak lain.
jadi anda menanyakan hal ini, pdhal andapun tahu kehidupan beliau amat detail, sedang pihak lain belum tentu jadi jangan sampai disalah artikan.

mettacittena,

Setahu saya, Siddhattha Gotama dahulu hanya punya 3 istana untuk 3 musim saja.

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: Diskriminasi bhikkhunikah?
« Reply #44 on: 07 August 2010, 12:09:55 PM »
bro upasaka yg baik,
mohon di quote kan data pendukung nya, karena yg saya terima di kuliah sy kok agak beda sedikit. thanks sebelumnya.

mettacittena,

Seingat saya, Raja Suddhodana meninggal dunia pada tahun ke-5 setelah Pencerahan Sang Buddha. Setelah meninggal, Mahapajapti Gotami yang menjanda beserta wanita-wanita Sakya memohon untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Cuma setelah diingat-ingat lagi, sepertinya agak keliru yah. Soalnya tidak mungkin Bhikkhu Ananda sudah menjadi pelayan Sang Buddha di tahun ke-5. Hmm.. Tolong koreksinya, Sam.

bro upasaka yg baik,
memang berdasarkan ingatan sy juga demikian, setelah raja wafat maka Mahapajapati Gotami memohon kepada sang Buddha untuk diperkenankan bergabung dlm ajaran Dhamma dan Vinaya yg diajarkan oleh sang Buddha, sehingga rentang wkt sekitar 5 tahun, memang benar, hal ini pula yg dulu sy ajukan ke dosen sy, tp beliau tersenyum sy disuruh cek sendiri ke vinayapitaka, dalam cullavaggapali, krn disana cerita detail ttg hal ini, jadi yg menurut pitaka demikian, maka berarti setelah 20 thn beliau mencapai penerangan sempurna. Hal ini ttg 5thn stlh pencapaian penerangan sempurna pernah ada dimuat oleh bro NPNG kalo ga salah, tp wkt itu sy masih sibuk mengetik tugas PR maka sy ga posting komentar, hanya baca dan sy pikir pasti ada yg komentar, rupanya tidak ada yg pernah komentar ttg hal ini, maka sy menanggapi anda pas anda menulis 5 thn ini krn sekalian sy ingin sharing info kpd member yg lain juga.

mettacittena,
« Last Edit: 07 August 2010, 12:11:41 PM by pannadevi »

 

anything