Pengembangan Buddhisme > DhammaCitta Press

Majjhima Nikaya (Diskusi)

(1/27) > >>

Indra:
Note: MN1 dipindahkan ke page 2 agar MN1 tidak muncul di setiap page.Detail update tentang MN disini

Indra:
2  Sabbāsava Sutta
Segala noda



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian sebuah khotbah tentang pengendalian segala noda.  [7] Dengarkanlah dan perhatikanlah apa yang akan Aku katakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(RINGKASAN)

3. “Para Bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda adalah untuk seorang yang mengetahui dan melihat, bukan untuk seorang yang tidak mengetahui dan tidak melihat. Yang mengetahui dan melihat apakah? Perhatian bijaksana dan perhatian tidak bijaksana.  Ketika seseorang memperhatikan dengan tidak bijaksana, noda-noda yang belum muncul menjadi muncul dan noda-noda yang telah muncul menjadi bertambah. Ketika seseorang memperhatikan dengan bijaksana, noda-noda yang belum muncul tidak akan muncul dan noda-noda yang telah muncul ditinggalkan.

4. “Para bhikkhu, ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengendalikan. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menggunakan. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menahankan. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menghindari. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengembangkan.

(NODA-NODA YANG HARUS DITINGGALKAN DENGAN MELIHAT)

5. “Apakah noda-noda, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan melihat?  Di sini, para bhikkhu, seorang biasa yang tidak terlatih, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, tidak memahami hal-hal apa yang layak diperhatikan dan hal-hal apa yang tidak layak diperhatikan. Oleh karena itu, ia memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan dan ia tidak memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan.

6. “Apakah hal-hal yang tidak layak untuk diperhatikan yang ia perhatikan? Yaitu hal-hal yang ketika ia memperhatikannya, maka noda-noda keinginan indria yang belum muncul menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda keinginan indria yang telah muncul menjadi bertambah, noda-noda penjelmaan yang belum muncul menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda penjelmaan yang telah muncul menjadi bertambah, noda-noda kebodohan yang belum muncul menjadi muncul dalam dirinya, dan noda-noda kebodohan yang telah muncul menjadi bertambah. Ini adalah hal-hal yang tidak layak diperhatikan yang ia perhatikan.  Dan apakah hal-hal yang layak untuk diperhatikan yang tidak ia perhatikan? Yaitu hal-hal yang ketika ia memperhatikannya, maka noda-noda keinginan indria yang belum muncul tidak muncul dalam dirinya dan noda-noda keinginan indria yang telah muncul ditinggalkan, noda-noda penjelmaan yang belum muncul tidak muncul dalam dirinya dan noda-noda penjelmaan yang telah muncul ditinggalkan, noda-noda kebodohan yang belum muncul tidak muncul dalam dirinya, dan noda-noda kebodohan yang telah muncul ditinggalkan. Ini adalah hal-hal yang layak diperhatikan yang tidak ia perhatikan. [8] Dengan memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan dan dengan tiadk memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan, maka noda-noda yang belum muncul menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda yang telah muncul menjadi bertambah.

7. “Ini adalah bagaimana ia memperhatikan dengan tidak bijaksana: ‘Apakah aku ada di masa lampau? Apakah aku tidak ada di masa lampau? Apakah aku di masa lampau? Bagaimanakah aku di masa lampau? Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa lampau? Apakah aku aka nada di masa depan? Apakah aku akan tidak ada di masa depan? Akan menjadi apakah aku di masa depan? Akan bagaimanakah aku di masa depan? Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa depan? Atau kalau tidak demikian, ia kebingungan sehubungan dengan masa sekarang sebagai berikut: ‘Apakah aku ada? Apakah aku tidak ada? Apakah aku? Bagaimanakah aku? Dari manakah makhluk ini datang? Kemanakah makhluk ini akan pergi?’

8. “Ketika ia memperhatikan dengan tidak bijaksana seperti ini, satu dari enam pandangan muncul dalam dirinya.  Pandangan ‘ada diri bagiku’ muncul dalam dirinya sebagai benar dan kokoh; atau pandangan ‘tidak ada diri bagiku’ muncul dalam dirinya sebagai benar dan kokoh; atau pandangan ‘aku melihat diri dengan diri’ muncul dalam dirinya sebagai benar dan kokoh; atau pandangan ‘aku melihat bukan-diri dengan diri’ muncul dalam dirinya sebagai benar dan kokoh; atau pandangan ‘aku melihat diri dengan bukan-diri’ muncul dalam dirinya sebagai benar dan kokoh; atau kalau tidak demikian, ia memiliki beberapa pandangan sebagai berikut ini: ‘adalah diriku ini yang berbicara dan merasakan dan mengalami di sana-sini akibat dari perbuatan baik dan buruk; tetapi diriku ini adalah kekal, tetap ada, abadi, tidak tunduk pada perubahan, dan akan bertahan selamanya.’  Pandangan spekulatif ini, para bhikkhu, disebut rimba pandangan, belantara pandangan, pemutar-balikan pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. Terbelenggu oleh belenggu pandangan, seorang biasa yang tidak terlatih tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

9. “Para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih baik, yang menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, memahami hal-hal apa yang layak diperhatikan dan hal-hal apa yang tidak layak diperhatikan. Oleh karena itu, [9] ia tidak memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan dan ia memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan.

10. “Apakah hal-hal yang tidak layak diperhatikan yang tidak ia perhatikan? Yaitu hal-hal yang ketika ia memperhatikannya, noda-noda keinginan indria yang belum muncul menjadi muncul … (seperti §6) … dan noda-noda kebodohan yang telah muncul menjadi bertambah. Ini adalah hal-hal yang tidak layak diperhatikan yang tidak ia perhatikan. Dan apakah hal-hal yang layak diperhatikan yang ia perhatikan? Yaitu hal-hal yang ketika ia memperhatikannya, noda-noda keinginan indria yang belum muncul tidak muncul … (seperti §6) … dan noda-noda kebodohan yang telah muncul ditinggalkan. Ini adalah hal-hal yang layak diperhatikan yang ia perhatikan. Dengan tidak memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan dan dengan memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan, noda-noda yang belum muncul tidak muncul dalam dirinya dan noda-noda yang telah muncul ditinggalkan.

11. “Ia memperhatikan dengan bijaksana: ‘Ini adalah penderitaan’; ia memperhatikan dengan bijaksana: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia memperhatikan dengan bijaksana: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia memperhatikan dengan bijaksana: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’  Ketika ia memperhatikan dengan bijaksana seperti ini, tiga belenggu ditinggalkan dalam dirinya: pandangan akan diri, keragu-raguan, dan keterikatan pada peraturan dan upacara. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat.

(NODA-NODA YANG HARUS DITINGGALKAN DENGAN MENGENDALIKAN)

12. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan mengendalikan?  Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, berdiam dengan indria mata terkendali. Sementara noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang berdiam dengan indria mata tidak terkendali, sebaliknya tidak ada noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang berdiam dengan indria mata terkendali.  Merenungkan dengan bijaksana, ia berdiam dengan indria telinga terkendali … dengan indria hidung terkendali … dengan indria lidah terkendali … dengan indria badan terkendali … dengan indria pikiran terkendali … Sementara noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang berdiam dengan indria-indria tidak terkendali, [10] sebaliknya tidak ada noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang berdiam dengan indria-indria terkendali. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengendalikan.

(NODA-NODA YANG HARUS DITINGGALKAN DENGAN MENGGUNAKAN)

13. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan menggunakan?  Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, menggunakan jubah hanya untuk perlindungan dari dingin, untuk perlindungan dari panas, untuk perlindungan dari kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata, dan hanya bertujuan untuk menutupi bagian tubuh yang pribadi.

14. “Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan dana makanan bukan untuk kenikmatan juga bukan untuk kesenangan juga bukan demi kecantikan  dan kemenarikan fisik, tetapi hanya untuk ketahanan dan kelangsungan badan ini, untuk mengakhiri ketidaknyamanan, dan untuk mendukung kehidupan suci, dengan pertimbangan: ‘Dengan demikian aku akan mengakhiri perasaan sebelumnya tanpa memunculkan perasaan baru dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan dapat hidup dengan nyaman.’

15. “Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan tempat bernaung hanya untuk perlindungan dari dingin, untuk perlindungan dari panas, untuk perlindungan dari kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata, dan hanya bertujuan untuk menangkis bahaya iklim dan untuk menikmati latihan.

16. “Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan obat-obatan hanya untuk perlindungan dari penyakit yang telah muncul dan demi kesehatan

17. “Sementara noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang tidak menggunakan benda-benda kebutuhan seperti demikian, sebaliknya tidak ada noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang menggunakannya seperti demikian. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menggunakan.

(NODA-NODA YANG HARUS DITINGGALKAN DENGAN MENAHANKAN)

18. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan menahankan? Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, menahankan dingin dan panas, lapar dan haus, kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata; ia menahankan kata-kata kasar, kata-kata yang tidak ramah dan perasaan jasmani yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, tidak menyenangkan, menyusahkan, dan mengancam kehidupan yang timbul. Sementara noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang tidak menahankan hal-hal demikian, sebaliknya tidak ada noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang menahankan hal-hal demikian. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menahankan.

(NODA-NODA YANG HARUS DITINGGALKAN DENGAN MENGHINDARI)

19. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan menghindari? Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, menghindari gajah liar, kuda liar, sapi liar, anjing liar, ular, tungguln pohon, [11] semak berduri, jurang, ngarai, lubang kakus, saluran pembuangan. Merenungkan dengan bijaksana, ia menghindari duduk di tempat yang tidak sesuai, bepergian ke tempat yang tidak sesuai,  dan bergaul dengan teman-teman yang tidak baik, karena jika ia melakukan hal itu maka teman-teman bijaksana dalam kehidupan suci akan mencurigainya berperilaku buruk. Sementara noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang tidak menghindari hal-hal demikian, sebaliknya tidak ada noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang menghindari hal-hal demikian. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menghindari.

(NODA-NODA YANG HARUS DITINGGALKAN DENGAN MELENYAPKAN)

20. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan? Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, tidak mentolerir pikiran keinginan indria yang muncul; ia meninggalkannya, melenyapkannya, membunuhnya, dan membasminya. Ia tidak mentolerir pikiran permusuhan yang muncul … Ia tidak mentolerir pikiran kejam yang muncul … Ia tidak mentolerir kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat; ia meninggalkannya, melenyapkannya, membunuhnya, dan membasminya.  Sementara noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang tidak melenyapkan pikiran-pikiran ini, sebaliknya tidak ada noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang melenyapkannya. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan.

(NODA-NODA YANG HARUS DITINGGALKAN DENGAN MENGEMBANGKAN)

21. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan mengembangkan? Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, mengembangkan faktor pencerahan perhatian, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan. Ia mengembangkan faktor pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi … faktor pencerahan kegigihan … faktor pencerahan kegembiraan … faktor pencerahan ketenangan … faktor pencerahan konsentrasi … faktor pencerahan keseimbangan, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan.  Sementara noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang tidak mengembangkan faktor-faktor pencerahan ini, sebaliknya tidak ada noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang mengembangkannya. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengembangkan.

(KESIMPULAN)

22. “Para bhikkhu, ketika bagi seorang bhikkhu noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat telah ditinggalkan dengan melihat, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengendalikan telah ditinggalkan dengan mengendalikan, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menggunakan telah ditinggalkan dengan menggunakan, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menahankan telah ditinggalkan dengan menahankan, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menghindari [12] telah ditinggalkan dengan menghindari, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan telah ditinggalkan dengan melenyapkan, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengembangkan telah ditinggalkan dengan mengembangkan – maka ia disebut seorang bhikkhu yang berdiam dengan terkendali oleh pengendalian segala noda. Ia telah memotong keinginan, menghancurkan belenggu-belenggu, dan dengan sepenuhnya menembus keangkuhan ia telah mengakhiri penderitaan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Indra:
3  Dhammadāyāda Sutta
Pewaris dalam Dhamma



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.”  – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi. Demi belas kasihKu kepada kalian Aku berpikir: ‘Bagaimana para siswaKu dapat menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi?’ Jika kalian menjadi pewarisKu dalam benda-benda materi, kalian akan dicela sebagai berikut: ‘para siswa Sang Guru hidup sebagai pewarisNya dalam benda-benda materi, bukan sebagai pewaris dalam Dhamma’; dan Aku akan dicela sebagai berikut: ‘para siswa Sang Guru hidup sebagai pewarisNya dalam benda-benda materi, bukan sebagai pewarisNya dalam Dhamma.’

“Jika kalian menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi, maka kalian tidak akan dicela [seperti dikatakan]: ‘Para siswa Sang Guru hidup sebagai pewarisNya dalam Dhamma, bukan sebagai pewarisNya dalam benda-benda materi’; dan Aku tidak akan dicela [seperti dikatakan]: ‘Para siswa Sang Guru hidup sebagai pewarisNya dalam Dhamma, bukan sebagai pewarisNya dalam benda-benda materi.’ Oleh karena itu, para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi. Demi belas kasihKu kepada kalian Aku berpikir: ‘Bagaimana para siswaKu dapat menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi?’

3. “Sekarang, para bhikkhu, misalkan aku telah makan, menolak makanan tambahan, sudah kenyang, selesai, sudah cukup, telah memakan apa yang Kubutuhkan, dan ada makanan tersisa dan akan dibuang. Kemudian dua orang bhikkhu tiba [13] lapar dan lemah, dan Aku berkata kepada mereka: ‘Para bhikkhu, aku telah makan … telah memakan apa yang Kubutuhkan, tetapi masih ada makanan tersisa dan akan dibuang. Makanlah jika kalian menginginkan; jika kalian tidak memakannya maka Aku akan membuangnya ke mana tidak ada tumbuh-tumbuhan atau membuangnya ke air di mana tidak ada kehidupan.’ Kemudian seorang bhikkhu berpikir: ‘Sang Bhagavā telah makan … telah memakan apa yang Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan dibuang; jika kami tidak memakannya maka Sang Bhagavā akan membuangnya … Tetapi hal ini telah dikatakan oleh Sang Bhagavā: “Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi.” Sekarang, makanan ini adalah salah satu benda materi. Bagaimana jika seandainya tanpa memakan makanan ini aku melewatkan malam dan hari ini dalam keadaan lapar dan lemah.’  Dan tanpa memakan makanan itu ia melewatkan malam dan hari itu dalam keadaan lapar dan lemah. Kemudian bhikkhu ke dua berpikir: ‘Sang Bhagavā telah makan … telah memakan apa yang Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan dibuang … Bagaimana jika seandainya aku memakan makanan ini dan melewatkan malam dan hari ini tanpa merasa lapar dan lemah.’ Sekarang walaupun bhikkhu itu dengan memakan makanan itu melewatkan malam dan hari itu tanpa merasa lapar dan lemah, namun bhikkhu pertama lebih terhormat dan dipuji olehKu. Mengapakah? Karena hal itu dalam waktu lama akan berdampak pada keinginannya yang sedikit, kepuasan, kemurnian, kemudahan dalam disokong, dan membangkitkan kegigihannya.  Oleh karena itu, para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi. Demi belas kasihKu kepada kalian Aku berpikir: ‘Bagaimana para siswaKu dapat menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi?’”

4. Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal tersebut, Yang Sempurna bangkit dari dudukNya dan masuk ke kediamanNya. Segera setelah Beliau pergi, Yang Mulia Sāriputta memanggil para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu.” – “Teman,” mereka menjawab. [14] Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

5. “Teman-teman, dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan? Dan dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan?”

“Sesungguhnya, teman, kami datang dari jauh untuk mempelajari makna pernyataan ini dari Yang Mulia Sāriputta. Baik sekali jika Yang Mulia Sāriputta sudi menjelaskan makna pernyataan ini. Setelah mendengarkannya darinya para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka, teman-teman, dengarkan dan perhatikanlah apa yang akan aku katakan.”

“Baik, Teman,” para bhikkhu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

6. “Teman-teman, dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidupo terasing tidak berlatih dalam keterasingan? Di sini para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan; mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru beritahukan untuk ditinggalkan; mereka hidup dalam kemewahan, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam keterasingan.

“Dalam hal ini para bhikkhu senior dicela untuk tiga alasan.  Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka tidak berlatih dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan pertama ini. Mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dicela untuk alasan ke dua ini. Mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu senior dicela untuk tiga alasan ini.

“Dalam hal ini para bhikkhu menengah dicela untuk tiga alasan. Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka tidak berlatih dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan pertama ini. Mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dicela untuk alasan ke dua ini. Mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu menengah dicela untuk tiga alasan ini.

“Dalam hal ini para bhikkhu baru dicela untuk tiga alasan. Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka tidak berlatih dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan pertama ini. Mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dicela untuk alasan ke dua ini. Mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu baru dicela untuk tiga alasan ini.

“Adalah dalam cara ini para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan.

7. “Dalam cara bagaimanakah, teman-teman, para siswa Sang Guru yang hidup terasing [15] berlatih dalam keterasingan? Di sini para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan; mereka meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan; mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai, mereka tekun menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan.

“Dalam hal ini para bhikkhu senior dipuji untuk tiga alasan. Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka berlatih dalam keterasingan: mereka dipuji untuk alasan pertama ini. Mereka meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dipuji untuk alasan ke dua ini. Mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai; mereka tekun menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan.: mereka dipuji untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu senior dipuji untuk tiga alasan ini.

“Dalam hal ini para bhikkhu menengah dipuji untuk tiga alasan. Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka berlatih dalam keterasingan: mereka dipuji untuk alasan pertama ini. Mereka meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dipuji untuk alasan ke dua ini. Mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai; mereka tekun menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan.: mereka dipuji untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu menengah dipuji untuk tiga alasan ini.

“Dalam hal ini para bhikkhu baru dipuji untuk tiga alasan. Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka berlatih dalam keterasingan: mereka dipuji untuk alasan pertama ini. Mereka meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dipuji untuk alasan ke dua ini. Mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai; mereka tekun menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan.: mereka dipuji untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu baru dipuji untuk tiga alasan ini.

“Dalam cara inilah para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan.

8. “Teman-teman, kejahatan di sini adalah keserakahan dan kebencian.  Terdapat Jalan Tengah untuk meninggalkan keserakahan dan kebencian, menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Dan apakah Jalan Tengah itu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah Jalan Tengah yang menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.

9-15. “Kejahatan di sini adalah kemarahan dan dendam … sikap memandang rendah dan berkuasa … iri hati dan ketamakan … kecurangan dan penipuan … sifat keras kepala [16] dan kesombongan … keangkuhan dan kecongkakan … kepongahan dan kelalaian. Terdapat Jalan Tengah untuk meninggalkan keserakahan dan kebencian, menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Dan apakah Jalan Tengah itu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah Jalan Tengah yang menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu puas dan gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta.

Indra:
4  Bhayabherava Sutta
Kekhawatiran dan Ketakutan



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian Brahmana Jāṇussoṇi  mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Guru Gotama, ketika para anggota keluarga meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah karena berkeyakinan pada Guru Gotama, apakah mereka mereka menjadikan Guru Gotama sebagai pemimpin mereka, penolong mereka, dan penuntun mereka? Dan apakah orang-orang ini mengikuti teladan Guru Gotama?”

“Begitulah, Brahmana, begitulah. ketika para anggota keluarga meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah karena berkeyakinan padaKu, mereka mereka menjadikanKu sebagai pemimpin mereka, penolong mereka, dan penuntun mereka. Dan orang-orang ini mengikuti teladanKu.”

“Tetapi, Guru Gotama, tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan adalah sulit dijalankan, keterasingan adalah sulit dilatih, dan adalah sulit untuk menikmati kesunyian. Seseorang akan berpikir hutan pasti akan merampas pikiran seorang bhikkhu, jika ia tidak memiliki konsentrasi.” [17]

“Begitulah, Brahmana, begitulah. tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan adalah sulit dijalankan, keterasingan adalah sulit dilatih, dan adalah sulit untuk menikmati kesunyian. Seseorang akan berpikir hutan pasti akan merampas pikiran seorang bhikkhu, jika ia tidak memiliki konsentrasi.

3. “Sebelum pencerahanKu, Sewaktu Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, Aku juga mempertimbangkan demikian: “Tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan adalah sulit dijalankan … hutan pasti akan merampas pikiran seorang bhikkhu, jika ia tidak memiliki konsentrasi.”

4. “Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Ketika para petapa atau brahmana yang tidak murni dalam perbuatan jasmani mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan, maka karena cacat dari ketidak-murnian perbuatan jasmani mereka para petapa dan brahmana yang baik akan memunculkan kekhawatiran dan ketakutan yang tidak bermanfaat. Tetapi aku tidak mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan dengan perbuatan jasmani yang tidak murni. Aku murni dalam hal perbuatan jasmani. Aku mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan sebagai satu di antara para mulia dengan perbuatan jasmani yang murni.’ Melihat kemurnian perbuatan jasmani ini dalam diriKu, Aku menemukan penghiburan besar dalam menetap di dalam hutan.

5-7. “Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Ketika para petapa atau brahmana yang tidak murni dalam ucapan … tidak murni dalam pikiran … tidak murni dalam penghidupan mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan …mereka memunculkan kekhawatiran dan ketakutan yang tidak bermanfaat. Tetapi … Aku murni dalam hal penghidupan. Aku mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan sebagai satu di antara para mulia dengan penghidupan yang murni.’ Melihat kemurnian penghidupan ini dalam diriKu, Aku menemukan penghiburan besar dalam menetap di dalam hutan.

8. “Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Ketika para petapa atau brahmana yang iri-hati dan penuh nafsu … Aku tidak iri-hati …’ [18]

9. “’ … dengan pikiran permusuhan dan kecenderungan membenci … Aku memiliki pikiran cinta kasih …’

10. “’ … dikuasai oleh kelambanan dan ketumpulan … Aku adalah tanpa kelambanan dan ketumpulan …’

11. “’ … dikuasai oleh kegelisahan dan pikiran yang tidak tenang … Aku memiliki pikiran yang tenang …’

12. “’ … kebimbangan dan keraguan … Aku telah melampaui keraguan …’

13. “’[19]… memuji diri sendiri dan menghina orang lain … Aku tidak memuji diri sendiri dan menghina orang lain …’

14. “’ … tunduk pada ketakutan dan terror … Aku bebas dari kegentaran …’

15. “’ … menginginkan perolehan, penghormatan, dan kemasyhuran … Aku memiliki sedikit keinginan …’

16. “’ … malas dan membutuhkan kegigihan … Aku bersemangat …’

17. “’ … [20] tanpa perhatian dan tidak waspada … Aku kokoh dalam perhatian …’

18. “’ … tidak terkonsentrasi dan dengan pikiran mengembara … Aku memiliki konsentrasi …’

19. “Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Ketika para petapa atau brahmana yang tanpa kebijaksanaan, bodoh dengan air liur menetes mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan, maka karena cacat dari ketiadaan kebijaksanaan, bodoh dengan aiu liur menetes para petapa dan brahmana yang baik akan memunculkan kekhawatiran dan ketakutan yang tidak bermanfaat. Tetapi aku tidak mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan dengan ke-tiada-an kebijaksanaan, tidak bodoh dengan aiu liur menetes. Aku memiliki kebijaksanaan.  Aku mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan sebagai satu di antara para mulia yang memiliki kebijaksanaan.’ Melihat kebijaksanaan ini dalam diriKu, Aku menemukan penghiburan besar dalam menetap di dalam hutan.

20. “Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Ada malam-malam yang secara khusus sangat baik yaitu tanggal empat belas, tanggal lima belas, dan tanggal delapan setiap setengah bulan.  Sekarang bagaimana jika, pada malam-malam itu, Aku berdiam di tempat-tempat keramat, menakutkan seperti altar-altar di kebun, altar-altar dihutan, dan altar-altar pohon? Mungkin Aku akan menemui kekhawatiran dan ketakutan itu.’ Dan kemudian, pada malam-malam yang sangat baik itu yaitu tanggal empat belas, tanggal lima belas, dan tanggal delapan setiap setengah bulan, Aku berdiam di tempat-tempat keramat, menakutkan seperti altar-altar di kebun, altar-altar dihutan, dan altar-altar pohon. Dan sewaktu Aku berdiam di sana, seekor binatang buas akan muncul, atau seekor burung merak [21] akan mematahkan dahan, atau angin meniup dedaunan sehingga menimbulkan bunyi mendesau. Aku berpikir: ‘Bagaimana sekarang jika kekhawatiran dan ketakutan itu datang?’ Aku berpikir: ‘Mengapa Aku berdiam dengan selalu mengharapkan kekhawatiran dan ketakutan? Bagaimana jika Aku menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu sambil mempertahankan postur yang sama dengan ketika ia mendatangiKu?’

“Sewaktu Aku berjalan, kekhawatiran dan ketakutan mendatangiKu; Aku tidak berdiri atau duduk atau berbaring hingga Aku telah menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu. Ketika Aku berdiri, kekhawatiran dan ketakutan mendatangiKu; Aku tidak berjalan atau duduk atau berbaring hingga Aku telah menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu. Ketika Aku duduk, kekhawatiran dan ketakutan mendatangiKu; Aku tidak berjalan atau berdiri atau berbaring hingga Aku telah menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu. Ketika Aku berbaring, kekhawatiran dan ketakutan mendatangiKu; Aku tidak berjalan atau berdiri atau duduk hingga Aku telah menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu.

21. “Terdapat, Brahmana, beberapa petapa dan brahmana yang melihat siang ketika malam dan melihat malam ketika siang. Aku katakan bahwa di pihak mereka ini adalah kediaman dalam khayalan. Tetapi aku melihat malam ketika malam dan siang ketika siang. Suatu ucapan benar, jika dikatakan sehubungan dengan siapapun: ‘Makhluk yang tidak tunduk pada khayalan telah muncul di dunia demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasih terhadap dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia,’ sesungguhnya adalah sehubungan dengan Aku ucapan benar itu diucapkan.

22. “Kegigihan tanpa lelah muncul dalam diriKu dan perhatian tanpa kendur terbentuk, tubuhku tenang dan tidak terganggu, pikiranku terkonsentrasi dan terpusat.

23. “Cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku memasuki dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan.

24. “Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, Aku memasuki dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan dan keterpusatan pikiran [22] tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi.

25. “Dengan meluruhnya kegembiraan, Aku berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan waspada penuh, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, Aku memasuki dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang sehubungan dengannya para mulia mengatakan: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’

26. “Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan kegembiraan dan kesedihan yang lenyap sebelumnya, Aku memasuki dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan juga bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan.

27. “Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan perenungan kehidupan lampau.  Aku mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penyusutan-dunia, banyak kappa pengembangan-dunia, banyak kappa penyusutan-dan-pengembangan-dunia: ‘Di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan seperti itu, makananku seperti itu, pengalaman kesenangan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di tempat lain; dan di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan seperti itu, makananku seperti itu, pengalaman kesenangan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di sini.’ Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya Aku mengingat banyak kehidupan lampau.

28. “Ini adalah pengetahuan sejati pertama yang dicapai olehKu pada jaga pertama malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan teguh.

29. “Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk.  Dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, beruntung dan tidak beruntung. Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka: ‘Makhluk-makhluk ini yang berperilaku buruk dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, pencela para mulia, keliru dalam pandangan, memberikan dampak pandangan salah dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam rendah, dalam kehancuran, bahkan di dalam neraka; tetapi makhluk-makhluk ini, yang berperilaku baik dalam jasmani, [23] ucapan, dan pikiran, bukan pencela para mulia, berpandangan benar, memberikan dampak pandangan benar dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam yang baik, bahkan di alam surga.’ Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, beruntung dan tidak beruntung, Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka.

30. “Ini adalah pengetahuan sejati ke dua yang dicapai olehKu pada jaga ke dua malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan teguh.

31. “Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

32. “Ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, batinKu terbebas dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘terbebaskan.’  Aku secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

33. “Ini adalah pengetahuan sejati ke tiga yang dicapai olehKu pada jaga ke tiga malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan teguh.

34. “Sekarang, Brahmana, engkau mungkin berpikir: ‘Mungkin Petapa Gotama belum terbebas dari nafsu, kebencian, dan kebodohan bahkan sampai hari ini, sehingga Beliau masih mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan.’ Tetapi engkau jangan berpikir demikian. Adalah karena Aku melihat dua manfaat maka Aku masih mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan: Aku melihat kediaman yang menyenangkan bagi diriKu di sini dan saat ini, dan Aku berbelas kasih pada generasi mendatang.”

35. “Tentu saja, adalah karena Guru Gotama adalah seorang yang sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sepenuhnya, maka Beliau berbelas kasihan pada generasi mendatang. [24] Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam berbagai cara, bagaikan menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan pada mereka yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang pengikut awam yang telah menerima perlindungan dari Beliau seumur hidupku.”

Indra:
5  Anangaṇa Sutta
Tanpa Noda[/size]




1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Yang Mulia Sāriputta memanggil para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu.” – “Teman,” mereka menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

2. “Teman-teman, terdapat empat jenis orang yang ada di dunia ini.  Apakah empat ini? Di sini beberapa orang dengan noda tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku memiliki noda dalam diriku.’ Di sini beberapa orang dengan noda memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku memiliki noda dalam diriku.’ Di sini beberapa orang tanpa noda tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku tidak memiliki noda dalam diriku.’ Di sini beberapa orang tanpa noda memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku tidak memiliki noda dalam diriku.’

“Di sini, orang dengan noda yang tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku memiliki noda dalam diriku’ disebut yang hina di antara kedua jenis orang dengan noda. Di sini, orang dengan noda yang memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku memiliki noda dalam diriku’ disebut yang mulia di antara kedua jenis orang dengan noda ini.

“Di sini, orang tanpa noda [25] yang tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku tidak memiliki noda’ disebut yang hina di antara kedua jenis orang tanpa noda. Di sini, orang tanpa noda yang memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku tidak memiliki noda’ disebut yang mulia di antara kedua jenis orang tanpa noda ini.

3. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mahā Moggallāna bertanya kepada Yang Mulia Sāriputta: “Sahabat Sāriputta, apakah penyebab dan alasan mengapa, di antara kedua jenis orang dengan noda ini, satu disebut orang hina dan satu disebut orang mulia? Apakah penyebab dan alasan mengapa, di antara kedua jenis orang tanpa noda ini, satu disebut orang hina dan satu disebut orang mulia?

4. “Di sini, Sahabat, ketika seorang dengan noda tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan bahwa ia tidak akan membangkitkan semangat, berusaha, atau memicu kegigihan untuk meninggalkan noda itu, dan bahwa ia akan mati dengan nafsu, kebencian, dan kebodohan, dengan noda, dengan batin yang kotor. Misalkan sebuah piring perunggu dibawa dari sebuah toko atau dari bengkel pandai besi dan piring itu berdebu dan ternoda, dan pemiliknya tidak menggunakannya juga tidak membersihkannya melainkan meletakkannya di sudut yang berdebu. Apakah piring perunggu itu akan semakin kotor dan ternoda?” – “Benar, Sahabat.” – “Demikian pula, Sahabat, ketika seorang dengan noda tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: Aku memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan … bahwa ia akan mati … dengan batin yang kotor.

5. “Di sini, Sahabat, ketika seorang dengan noda memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan bahwa ia akan membangkitkan semangat, berusaha, atau memicu kegigihan untuk meninggalkan noda itu, dan bahwa ia akan mati tanpa nafsu, kebencian, dan kebodohan, tanpa noda, dengan batin yang bersih. Misalkan sebuah piring perunggu dibawa dari sebuah toko atau dari bengkel pandai besi dan piring itu berdebu dan ternoda, dan pemiliknya telah membersihkannya dan tidak meletakkannya di sudut yang berdebu. [26] Apakah piring perunggu itu akan semakin bersih dan cemerlang?” – “Benar, Sahabat.” – “Demikian pula, Sahabat, ketika seorang dengan noda memahami sebagaimana adanya bahwa: Aku memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan … bahwa ia akan mati … dengan batin yang bersih.
 
6. “Di sini, Sahabat, ketika seorang yang tanpa noda tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku tidak memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan bahwa ia akan memperhatikan gambaran keindahan,  bahwa dengan melakukan demikian maka nafsu akan menjangkiti pikirannya, dan bahwa ia akan mati dengan nafsu, kebencian, dan kebodohan, dengan noda, dengan batin yang kotor. Misalkan sebuah piring perunggu dibawa dari sebuah toko atau dari bengkel pandai besi dan piring itu bersih dan cemerlang, dan pemiliknya tidak menggunakannya juga tidak membersihkannya melainkan meletakkannya di sudut yang berdebu. Apakah piring perunggu itu akan semakin kotor dan ternoda?” – “Benar, Sahabat.” – “Demikian pula, Sahabat, ketika seorang yang tanpa noda tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: Aku tidak memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan bahwa ia akan mati … dengan batin yang kotor.

7. “Di sini, Sahabat, ketika seorang yang tanpa noda memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku tidak memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan bahwa ia tidak akan memperhatikan gambaran keindahan, bahwa dengan tidak melakukan demikian maka nafsu tidak akan menjangkiti pikirannya, dan bahwa ia akan mati dengan keadaan tanpa nafsu, kebencian, dan kebodohan, tanpa noda, dengan batin yang bersih. Misalkan sebuah piring perunggu dibawa dari sebuah toko atau dari bengkel pandai besi dan piring itu bersih dan cemerlang, dan pemiliknya menggunakannya dan telah membersihkannya dan tidak meletakkannya di sudut yang berdebu. Apakah piring perunggu itu akan semakin bersih dan cemerlang?” – “Benar, Sahabat.” – “Demikian pula, Sahabat, ketika seorang yang tanpa noda memahami sebagaimana adanya bahwa: Aku tidak memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan … bahwa ia akan mati … dengan batin yang bersih. [27]

8. “Ini adalah penyebab dan alasan mengapa, di antara kedua jenis orang dengan noda ini, satu disebut orang hina dan satu disebut orang mulia. Ini adalah penyebab dan alasan mengapa, di antara kedua jenis orang tanpa noda ini, satu disebut orang hina dan satu disebut orang mulia.

9. “’Noda, noda,’ dikatakan, Sahabat, tetapi istilah untuk apakah kata ‘noda’ ini? ‘Noda,’ Sahabat, adalah istilah untuk bidang keinginan tidak bermanfaat yang buruk.

10. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Jika aku melakukan pelanggaran, semoga para bhikkhu tidak mengetahui bahwa aku telah melakukan pelanggaran.’ Dan adalah mungkin bahwa para bhikkhu ternyata mengetahui bahwa bhikkhu itu melakukan pelanggaran. Sehingga ia menjadi marah dan tidak senang: ‘Para bhikkhu mengetahui bahwa aku telah melakukan pelanggaran.’ Kemarahan dan ketidak-senangan itu keduanya adalah noda.

11. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Aku melakukan pelanggaran. Para bhikkhu sebaiknya menegurku secara pribadi, bukan di tengah-tengah Saṅgha.’ Dan adalah mungkin bahwa para bhikkhu menegur bhikkhu itu di tengah-tengah Saṅgha, dan bukan secara pribadi. Sehingga ia menjadi marah dan tidak senang: ‘Para bhikkhu menegurku di tengah-tengah Saṅgha, bukan secara pribadi’ Kemarahan dan ketidak-senangan itu keduanya adalah noda.

12. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Aku melakukan pelanggaran. Seseorang yang setara denganku seharusnya menegurku, bukan seseorang yang tidak setara denganku.’ Dan adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang tidak setara dengannya menegurnya, bukan seseorang yang setara dengannya. Sehingga ia menjadi marah dan tidak senang: ‘Seseorang yang tidak setara denganku menegurku, bukan seseorang yang setara denganku.’ Kemarahan dan ketidak-senangan itu keduanya adalah noda.

13. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Oh semoga Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu dengan mengajukan serangkaian pertanyaan dariku, bukan dari bhikkhu lain!’ Dan adalah mungkin bahwa Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu dengan mengajukan serangkaian pertanyaan dari bhikkhu lain, [28] bukan dari bhikkhu itu. Sehingga ia menjadi marah dan tidak senang: ‘Guru mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu dengan mengajukan serangkaian pertanyaan dari bhikkhu lain, bukan dariku.’ Kemarahan dan ketidak-senangan itu keduanya adalah noda.

14. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Oh semoga para bhikkhu memasuki desa untuk mengumpulkan dana makanan dengan menempatkanku di barisan paling depan, bukan bhikkhu lain!’  Dan adalah mungkin bahwa para bhikkhu memasuki desa untuk mengumpulkan dana makanan dengan menempatkan bhikkhu lain di barisan paling depan, bukan bhikkhu itu. Sehingga ia menjadi marah dan tidak senang: ‘para bhikkhu memasuki desa untuk mengumpulkan dana makanan dengan menempatkan bhikkhu lain di barisan paling depan, bukan aku.’ Kemarahan dan ketidak-senangan itu keduanya adalah noda.

15. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Oh semoga aku memperoleh tempat duduk terbaik, air terbaik, makanan terbaik di ruang makan, bukan bhikkhu lain!’ Dan adalah mungkin bahwa bhikkhu lain memperoleh tempat duduk terbaik …

16. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Oh semoga aku yang memberikan berkah di ruang makan setelah makan, bukan bhikkhu lain!’ Dan adalah mungkin bahwa bhikkhu lain yang memberikan berkah …

17-20. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Oh semoga aku yang mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu … semoga aku yang mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhunī … umat awam laki-laki … umat awam perempuan … yang berkunjung ke vihara, bukan bhikkhu lain!’ Dan adalah mungkin bahwa bhikkhu lain yang mengajarkan Dhamma [29] …

21-24. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Oh semoga para bhikkhu … para bhikkhunī … umat awam laki-laki … umat awam perempuan … menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan aku, bukan bhikkhu lain!’ Dan adalah mungkin bahwa mereka menghormati … bhikkhu lain.

25-28. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Oh semoga Aku adalah orang yang menerima jubah yang baik, [30] … makanan yang baik … tempat tinggal yang baik … obat-obatan yang baik … bukan bhikkhu lain!’ Dan adalah mungkin bahwa bhikkhu lain yang menerima obat-obatan yang baik, bukan bhikkhu itu. Sehingga ia menjadi marah dan tidak senang: ‘Bhikkhu lain yang menerima obat-obatan yang baik, bukan aku.’ Kemarahan dan ketidak-senangan itu keduanya adalah noda.

“‘Noda,’ Sahabat, adalah istilah untuk bidang keinginan tidak bermanfaat yang buruk.

29. “Jika bidang keinginan tidak bermanfaat yang buruk ini terlihat dan terdengar sebagai belum ditinggalkan dalam diri seorang bhikkhu, maka apakah ia adalah seorang penghuni hutan, sering bepergian ke tempat-tempat terpencil, seorang yang memakan dana makanan, yang berkunjung dari rumah ke rumah, pemakai jubah dari kain yang dibuang, pemakai jubah kasar,  namun temannya dalam kehidupan suci tetap tidak akan menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakannya. Mengapakah? Karena bidang keinginan tidak bermanfaat yang buruk ini terlihat dan terdengar sebagai belum ditinggalkan dalam diri yang mulia tersebut.

“Misalkan sebuah mangkuk perunggu dibawa dari toko atau dari pengrajin besi dalam keadaan bersih dan cemerlang; dan pemiliknya meletakkan mayat ular atau anjing atau manusia ke dalamnya, dan menutupnya dengan sebuah mangkuk lainnya, berjalan ke pasar; orang-orang yang melihatnya berkata: ‘Apakah yang sedang engkau bawa bagaikan harta berharga?’ kemudian ia mengangkat penutupnya dan membukanya, mereka melihat ke dalam, dan segera setelah mereka melihatnya mereka menjadi terpengaruh oleh benda yang memuakkan, menjijikkan yang bahkan mereka yang sedang merasa lapar menjadi tidak ingin makan, apalagi yang sudah kenyang.

“Demikian pula, jika bidang keinginan tidak bermanfaat yang buruk ini terlihat dan terdengar sebagai belum ditinggalkan dalam diri seorang bhikkhu, maka apakah ia adalah seorang penghuni hutan … [31] … belum ditinggalkan dalam diri yang mulia tersebut.

30. “Jika bidang keinginan tidak bermanfaat yang buruk ini terlihat dan terdengar sebagai telah ditinggalkan dalam diri seorang bhikkhu, maka apakah ia adalah seorang penghuni desa, penerima undangan, pemakai jubah yang dipersembahkan oleh perumah tangga,  namun temannya dalam kehidupan suci tetap akan menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakannya. Mengapakah? Karena bidang keinginan tidak bermanfaat yang buruk ini terlihat dan terdengar sebagai telah ditinggalkan dalam diri yang mulia tersebut.

“Misalkan sebuah mangkuk perunggu dibawa dari toko atau dari pengrajin besi dalam keadaan bersih dan cemerlang; dan pemiliknya meletakkan nasi yang bersih dan berbagai sop dan kuah ke dalamnya, dan menutupnya dengan sebuah mangkuk lainnya, berjalan ke pasar; orang-orang yang melihatnya berkata: ‘Apakah yang sedang engkau bawa bagaikan harta berharga?’ kemudian ia mengangkat penutupnya dan membukanya, mereka melihat ke dalam, dan segera setelah mereka melihatnya mereka menjadi terpengaruh oleh ras suka, berselera, dan menikmati yang bahkan mereka yang sudah merasa kenyang menjadi ingin makan, apalagi yang masih lapar.

“Demikian pula, Sahabat, jika bidang keinginan tidak bermanfaat yang buruk ini terlihat dan terdengar sebagai telah ditinggalkan dalam diri seorang bhikkhu, maka apakah ia adalah seorang penghuni desa … telah ditinggalkan dalam diri yang mulia tersebut.

31. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mahā Moggallāna berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Sebuah perumpamaan terpikirkan olehku, Sahabat Sāriputta.” – “Katakanlah, Sahabat Moggallāna.” – “Pada suatu ketika, Sahabat, aku sedang menetap di Bukit Benteng di Rājagaha. Pada suatu pagi, Aku merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarku, Aku memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan. Pada saat itu Samīti si putera pembuat kereta sedang menghaluskan bagian lingkaran roda dan Ājīvaka Paṇḍuputta, putera pembuat kereta sebelumnya, berdiri di dekat sana.  kemudian pemikiran ini muncul dalam pikiran Ājīvaka Paṇḍuputta: ‘Oh semoga Samīti si putera pembuat kereta ini dapat menghaluskan lengkungan ini, pilinan ini, kerusakan ini, dari lingkaran roda ini sehingga tanpa lengkungan, pilinan, atau cacat, dan menjadi hanya terdiri dari inti kayu yang murni saja.’ [32] Dan persis ketika pemikiran itu terlintas dalam pikirannya, pada saat yang sama Samitī si putera pembuat kereta menghaluskan lengkungan itu, pilinan itu, cacat itu, dari lingkaran roda itu. Kemudian Ājīvaka Paṇḍuputta, putera pembuat kereta sebelumnya, gembira dan ia mengungkapkan kegembiraannya: ‘Ia menghaluskannya seolah-olah ia mengetahui pikiranku dengan pikirannya!’

32. “Demikian pula, Sahabat, ada orang-orang yang tidak berkeyakinan dan telah meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjalani kehidupan tanpa rumah bukan karena keyakinan melainkan untuk mencari penghidupan, yang curang, pendusta, pengkhianat, angkuh, kosong, tidak berarti, berbicara kasar, berbicara dengan tidak terkendali, indria-indria yang tidak terkendali, makan yang lebih dari secukupnya, tidak mempertahankan kesadaran, mengabaikan pertapaan, tidak menghargai latihan, hidup mewah, lengah, pemimpin dalam kemunduran, melalaikan keterasingan, malas, membutuhkan kegigihan, tidak penuh perhatian, tanpa kebijaksanaan, bodoh dengan air liur menetes. Yang Mulia Sāriputta dengan khotbahnya tentang Dhamma menghaluskan cacat-cacat mereka seolah-oleh ia mengetahui pikiranku dengan pikirannya!

“Tetapi terdapat para anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, yang tidak curang, pendusta, pengkhianat, angkuh, kosong, tidak berarti, berbicara kasar, atau berbicara dengan tidak terkendali; indria-indrianya terkendali, makan secukupnya, mempertahankan kesadaran, menutamakan pertapaan, sangat menghargai latihan, tidak hidup mewah, waspada, tekun menghindari kemunduran, pemimpin dalam keterasingan, bersemangat, teguh, kokoh dalam perhatian, sadar sepenuhnya, terkonsentrasi, dengan pikiran terpusat, memiliki kebijaksanaan, tidak bodoh dengan air liur menetes. Orang-orang ini, setelah mendengarkan khotbah dari Yang Mulia Sāriputta tentang Dhamma, meminumnya dan memakannya, sebagaimana adanya, melalui kata dan pikiran. Sungguh baik bahwa ia telah membantu teman-temannya dalam kehidupan suci untuk keluar dari kondisi tidak bermanfaat dan mengokohkan mereka dalam kondisi yang bermanfaat.

33. “Seperti halnya seorang perempuan – atau seorang laki-laki – muda, belia, menyukai hiasan, dengan kepala tercuci, setelah menerima kalung bunga teratai, melati, atau mawar, akan mengambilnya dengan kedua tangan dan meletakkannya di kepala, demikian pula terdapat para anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan … tidak bodoh dengan air liur menetes. Orang-orang ini, setelah mendengarkan khotbah dari Yang Mulia Sāriputta tentang Dhamma, meminumnya dan memakannya, sebagaimana adanya, melalui kata dan pikiran. Sungguh baik bahwa ia telah membantu teman-temannya dalam kehidupan suci untuk keluar dari kondisi tidak bermanfaat dan mengokohkan mereka dalam kondisi yang bermanfaat.”

Demikianlah kedua orang besar itu saling bergembira mendengarkan kata-kata baik satu sama lain.

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

Go to full version