//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - Adhitthana

Pages: 1 ... 25 26 27 28 29 30 31 [32] 33
466
Humor / Mengapa Anak Laki-Laki harus pakai celana ?
« on: 06 November 2008, 11:24:04 PM »


 

 

 

NGilu ngga sickk ... ;D ...  :))




467
Pengembangan DhammaCitta / Calon Moderator Kesehatan yang Baru
« on: 03 November 2008, 11:36:54 PM »
waaah ..... forum kesehatan sekarang tambah keren ^ Top  :jempol:

ada sis .. meta girl  :) bisa bagi ilmu disini
ayukk Fox .... lamar sis meta girl jadi moderator kesehatan  ;D

mengenai daging babi ......
ayee kok lbih suka/brani makan daging babi daripada daging kambing
makan sop kambing ato sate kambing .... besok bisa langsung sariawan  :))

468
Film / Sejarah Wong Fei Hung
« on: 31 October 2008, 02:05:08 AM »


nih buat para penggemar film Wong Fei Hung
Wong Fei Hung: Laki-laki dan Legenda


Wong Fei Hung yang juga terkenal dengan nama Huang Fei-hong adalah seorang di antara para pahlawan rakyat yang paling diagungkan dalam kebudayaan Tiongkok selatan. Karena ketenarannya, maka figur Wong diabadikan ke dalam beberapa serial novel dan lebih dari 100 serial film utama bersambung. Walaupun demikian, hanya sedikit orang yang mengetahui latar belakang kehidupan pribadi Fei-hung ini, selebihnya orang mengenal Fei-hung sebagai ahli kungfu, tabib, filsuf, dan penegak keadilan yang telah terukir dalam perfilman Hongkong dan dunia seni bela diri.



Sejarah Fei-hung
Ayah Fei-hung, Wong Kai-ying terkenal sebagai salah satu dari "Sepuluh Harimau Kanton." Menurut Bey Logan dalam bukunya yang berjudul, Hongkong Action Cinema, "semua pria ini adalah kelompok pahlawan yang hidup dengan kitab undang-undang kehormatan." Kai-ying mempelajari kungfu Hung Kuen atau Hung Gar dari guru Luk Ah-choy. Kungfu Hung Kuen, juga mempelajari pengobatan Tiongkok dan seni bela diri yang sering dianggap sebagai keturunan langsung dari kungfu Shaolin tradisional.
Dalam kungfu Tiongkok, garis silsilah seni bela diri hampir setara pentingnya dengan garis silsilah sebuah keluarga. Mengajarkan beberapa teknik kungfu dari sifu (guru) kepada beberapa siswa sangat berat karena begitu banyaknya bentuk dan teknik yang secara luas yang digunakan hari ini sering dapat dilacak kembali ke satu bilangan. Hal seperti itu biasanya untuk teknik "Tinju Selatan" yang menjadi dasar dari gaya kungfu Hung Kuen Fei-hung.
Fei-hung lahir di desa Xiqiao dalam provinsi Kanton pada tahun 1847. Menurut satu catatan sejarah, ayahnya tidak ingin mengajari Fei-hung seni bela diri, karena takut nanti akan membahayakan jiwa anaknya tersebut. Karena masih adanya keinginan untuk belajar, maka Fei-hung mempelajarinya melalui guru ayahnya, Ah Coy. Pada masa remajanya, Fei-hung terkenal memperagakan kungfu di jalanan untuk mendapatkan uang. Saat usianya menanjak dewasa, dia mengambil tanggung jawab sebagai instruktur seni bela diri terhadap Resimen kelima tentara Kanton sama baiknya dengan Guangzhou Civilian Militia. Dia kemudian sedikit terlibat dengan pemerintahan setempat setelah melatih dua orang jenderal dan menjadi asisten gubernur provinsi Fujian.
Sebagian besar kekacauan politik disekitar Fei-hung di mana saat itu warga Fujian meminta Gubernur Tang Jinsong dipilih sebagai pemimpin pemerintahan demokrasi baru sedangkan Fei-hung akan menjadi panglima tertinggi. Kerusuhan ini diredakan oleh ribuan pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Li Hongzhang. Tak ada yang perlu dikatakan lagi, hal tersebut menyebabkan berakhirnya karir politik Fei-hung , di mana dia dan Tang akhirnya melarikan diri ke Kanton. Di sana, fei-hung membuka sebuah toko obat yang diberi nama "Bo Chi Lam" dan menghasilkan keuntungan yang sedikit.



Dia menikah beberapa kali dan mengalami penderitaan akibat kematian yang terjadi di dalam keluarganya sendiri disebabkan oleh penyakit. Istri terakhirnya ialah, Mok Kwei Lan, pada saat dinikahinya, masih berusia remaja. Fei-hung hidup sampai usia 77 tahun di mana dia meninggal pada tahun 1924.
Sebagai seorang seniman ilmu bela diri, Fei-hung terkenal akan keterampilan ilmu bela diri Hung Kuen. Dia menguasai beberapa jenis seni bela diri tinju. Tidak hanya cukup sampai di situ, Fei-hung juga unggul dalam seni tradisional Tiongkok Selatan, Tarian Singa. Di dalam Kanton sendiri, Fei-hung terkenal sebagai, " Raja Singa."

photo aslinya nih







 

469
Sutta Vinaya / Dhammapada Atthakatha
« on: 30 October 2008, 01:53:09 AM »
Bab I-YAMAKA VAGGA (Syair Berpasangan)

Syair 1 (I:1. Kisah Cakkhupala Thera )

Suatu hari, Cakkhupala Thera berkunjung ke Vihara Jetavana untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Malamnya, saat melakukan meditasi jalan kaki, sang thera tanpa sengaja menginjak banyak serangga sehingga mati. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali serombongan bhikkhu yang mendengar kedatangan sang thera bermaksud mengunjunginya. Di tengah jalan, di dekat tempat sang thera menginap mereka melihat banyak serangga yang mati.

"Iiih, mengapa banyak serangga yang mati di sini ?" seru seorang bhikkhu. "Aah, jangan jangan ...," celetuk yang lain. "Jangan-jangan apa?" sergah beberapa bhikkhu. "Jangan-jangan ini perbuatan sang thera!" jawabnya. "Kok bisa begitu?" tanya yang lain lagi. "Begini, sebelum sang thera berdiam di sini, tak ada kejadian seperti ini. Mungkin sang thera terganggu oleh serangga-serangga itu. Karena jengkelnya ia membunuhinya."

"Itu berarti ia melanggar vinaya, maka perlu kita laporkan kepada Sang Buddha!" seru beberapa bhikkhu. "Benar, mari kita laporkan kepada Sang Buddha, bahwa Cakkhupala Thera telah melanggar vinaya," timpal sebagian besar dari bhikkhu tersebut.

Alih-alih dari mengunjungi sang thera, para bhikkhu itu berubah haluan, berbondong-bondong menghadap Sang Buddha untuk melaporkan temuan mereka, bahwa ‘Cakkhupala Thera telah melanggar vinaya !’

Mendengar laporan para bhikkhu, Sang Buddha bertanya, "Para bhante, apakah kalian telah melihat sendiri pembunuhan itu ?"

"Tidak Bhante," jawab mereka serempak.

Sang Buddha kemudian menjawab, "Kalian tidak melihatnya, demikian pula Cakkhupala Thera juga tidak melihat serangga-serangga itu, karena matanya buta. Selain itu Cakkhupala Thera telah mencapai kesucian arahat. Ia telah tidak mempunyai kehendak untuk membunuh."

"Bagaimana seorang yang telah mencapai arahat tetapi matanya buta?" tanya beberapa bhikkhu.

Maka Sang Buddha menceritakan kisah di bawah :

Pada kehidupan lampau, Cakkhupala pernah terlahir sebagai seorang tabib yang handal. Suatu ketika datang seorang wanita miskin. "Tuan, tolong sembuhkanlah penyakit mata saya ini. Karena miskin, saya tak bisa membayar pertolongan tuan dengan uang. Tetapi, apabila sembuh, saya berjanji dengan anak-anak saya akan menjadi pembantu tuan," pinta wanita itu. Permintaan itu disanggupi oleh sang tabib.

Perlahan-lahan penyakit mata yang parah itu mulai sembuh. Sebaliknya, wanita itu menjadi ketakutan, apabila penyakit matanya sembuh, ia dan anak-anaknya akan terikat menjadi pembantu tabib itu. Dengan marah-marah ia berbohong kepada sang tabib, bahwa sakit matanya bukannya sembuh, malahan bertambah parah.

Setelah diperiksa dengan cermat, sang tabib tahu bahwa wanita miskin itu telah berbohong kepadanya. Tabib itu menjadi tersinggung dan marah, tetapi tidak diperlihatkan kepada wanita itu. "Oh, kalau begitu akan kuganti obatmu," demikian jawabnya. "Nantikan pembalasanku!" serunya dalam hati. Benar, akhirnya wanita itu menjadi buta total karena pembalasan sang tabib.

Sebagai akibat dari perbuatan jahatnya, tabib itu telah kehilangan penglihatannya pada banyak kehidupan selanjutnya.

Mengakhiri ceriteranya, Sang Buddha kemudian membabarkan syair di bawah ini :

Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.

Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, di antara para bhikkhu yang hadir ada yang terbuka mata batinnya dan mencapai tingkat kesucian arahat dengan mempunyai kemampuan batin analitis pandangan Terang’ (pati-sambhida).




470
Kafe Jongkok / Kisah Nyata - Kebesaran Jiwa Seorang Ibu
« on: 29 October 2008, 12:03:39 AM »


Kejadian ini terjadi di sebuah kota kecil di Taiwan, Dan sempat dipublikasikan lewat media cetak dan electronic.
Ada seorang pemuda bernama A be (bukan nama sebenarnya). Dia anak yg cerdas, rajin dan cukup cool. Setidaknya itu pendapat cewe2 yang kenal dia. Baru beberapa tahun lulus dari kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan swasta, dia sudah di promosikan ke posisi manager. Gaji-nya pun lumayan.
Tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari kantor. Tipe orangnya yang humoris dan gaya hidupnya yang sederhana membuat banyak teman2 kantor senang bergaul dengan dia, terutama dari kalangan cewe2 jomblo. Bahkan putri owner perusahaan tempat ia bekerja juga menaruh perhatian khusus pada A be.
Dirumahnya ada seorang wanita tua yang tampangnya seram sekali. Sebagian kepalanya botak dan kulit kepala terlihat seperti borok yang baru mengering. Rambutnya hanya tinggal sedikit dibagian kiri dan belakang. Tergerai seadanya sebatas pundak. Mukanya juga cacat seperti luka bakar. Wanita tua ini betul2 seperti monster yang menakutkan. Ia jarang keluar rumah bahkan jarang keluar dari kamarnya kalau tidak ada keperluan penting. Wanita tua ini tidak lain adalah Ibu kandung A Be.
Walau demikian, sang Ibu selalu setia melakukan pekerjaan rutin layaknya ibu rumah tangga lain yang sehat. Membereskan rumah, pekerjaan dapur, cuci-mencuci (pakai mesin cuci) dan lain-lain. Juga selalu memberikan perhatian yang besar kepada anak satu2-nya A be. Namun A be adalah seorang pemuda normal layaknya anak muda lain. Kondisi Ibunya yang cacat menyeramkan itu membuatnya cukup sulit untuk mengakuinya. Setiap kali ada teman atau kolega business yang bertanya siapa wanita cacat dirumahnya, A be selalu menjawab wanita itu adalah pembantu yang ikut Ibunya dulu sebelum meninggal. “Dia tidak punya saudara, jadi saya tampung, kasihan.” jawab A be.
Hal ini sempat terdengar dan diketahui oleh sang Ibu. Tentu saja Ibunya sedih sekali. Tetapi ia tetap diam dan menelan ludah pahit dalam hidupnya. Ia semakin jarang keluar dari kamarnya, takut anaknya sulit untuk menjelaskan pertanyaan mengenai dirinya. Hari demi hari kemurungan sang Ibu kian parah. Suatu hari ia jatuh sakit cukup parah. Tidak kuat bangun dari ranjang. A be mulai kerepotan mengurusi rumah, menyapu, mengepel, cuci pakaian, menyiapkan segala keperluan sehari-hari yang biasanya di kerjakan oleh Ibunya. Ditambah harus menyiapkan obat-obatan buat sang Ibu sebelum dan setelah pulang kerja (di Taiwan sulit sekali cari pembantu, kalaupun ada mahal sekali).
Hal ini membuat A be jadi BT (bad temper) dan uring-uringan dirumah. Pada saat ia mencari sesuatu dan mengacak-acak lemari Ibunya, A be melihat sebuah box kecil. Didalam box hanya ada sebuah foto dan potongan koran usang. Bukan berisi perhiasan seperti dugaan A be. Foto berukuran postcard itu tampak seorang wanita cantik. Potongan koran usang memberitakan tentang seorang wanita berjiwa pahlawan yang telah menyelamatkan anaknya dari musibah kebakaran. Dengan memeluk erat anaknya dalam dekapan, menutup dirinya dengan sprei kasur basah menerobos api yang sudah mengepung rumah. Sang wanita menderita luka bakar cukup serius sedang anak dalam dekapannya tidak terluka sedikitpun.
Walau sudah usang, A be cukup dewasa untuk mengetahui siapa wanita cantik di dalam foto dan siapa wanita pahlawan yang dimaksud dalam potongan koran itu. Dia adalah Ibu kandung A be. Wanita yang sekarang terbaring sakit tak berdaya. Spontan air mata A be menetes keluar tanpa bisa di bendung. Dengan menggenggam foto dan koran usang tersebut, A be langsung bersujud disamping ranjang sang Ibu yang terbaring. Sambil menahan tangis ia meminta maaf dan memohon ampun atas dosa-dosanya selama ini. Sang Ibu-pun ikut menangis, terharu dengan ketulusan hati anaknya. ” Yang sudah-sudah nak, Ibu sudah maafkan. Jangan di ungkit lagi”.
Setelah ibunya sembuh, A be bahkan berani membawa Ibunya belanja kesupermarket. Walau menjadi pusat perhatian banyak orang, A be tetap cuek bebek. Kemudian peristiwa ini menarik perhatian kuli tinta (wartawan). Dan membawa kisah ini kedalam media cetak dan elektronik.
Teman2 yang masih punya Ibu (Mama atau Mami) di rumah, biar bagaimanapun kondisinya, segera bersujud di hadapannya. Selagi masih ada waktu. Jangan sia-sia kan budi jasa ibu selama ini yang merawat dan membesarkan kita tanpa pamrih. kasih seorang ibu sungguh mulia.
– happy ending  –
nb. gambar hanya representatif
sumber : forum.kapanlagi.com
 _/\_

471
Buddhisme untuk Pemula / Asal Usul Hari Kathina
« on: 08 October 2008, 12:00:16 AM »
Asal Usul Hari Kathina


Oleh: Yang Mulia Bhikkhu Dhammavicaro


Dalam menyambut masa Kathina yang berlangsung selama satu bulan, ada baiknya kita mengingat dan menelusuri kembali sejarah Kathina. Bagi umat Buddha, masa Kathina erat kaitannya dengan berdana kepada Sangha. Masa Kathina selalu disambut umat Buddha dengan begitu meriah, ini dapat dilihat dari semangat umat Buddha memperingati Kathina dengna berbondong-bondong datang ke Vihara. Mereka dengan perasaan bahagia, dan penuh ketulusan hati melakukan persembahan kepada Sangha.

Peristiwa ini sudah berlangsung beribu-ribu tahun lamanya dan menarik sekali apabila kita telusuri bagaimana sesungguhnya Kathina sampai ditetapkan oleh Sang Buddha Gotama?

Sejarah mencatat bahwa setelah meraih Pencerahan Agung, Sang Buddha melakukan perjalanan ke Taman Rusa Isipatana, di dekat Benares. Beliau membabarkan Dhamma yang dikenal dengan Dhammacakkapavatana Sutta kepada lima orang pertapa yang pernah menjadi sahabatNya? Kondana, Vappa, Bhaddiya, Mahanama, dan Assaji. Setelah menguraikan khotbah pertama, Sang Buddha tetap tinggal disana. Beliau bertemu dengan Yasa -- anak seorang pedagang kaya raya di Benares -- dan memberikan wejangan Dhamma kepadanya. Disamping itu, Sang Buddha juga membabarkan Dhamma kepada ayah Yasa dan empat sahabat Yasa. Mereka beserta para pengikutnya -- semuanya berjumlah lima puluh lima orang -- meninggalkan kehidupan berumah tangga, memasuki kehidupan tanpa rumah (menjadi Bhikkhu), dan mencapai tingkat kesucian Arahat.

Jumlah siswa Sang Buddha yang telah mencapai tingkat kesucian Arahat pada saat itu sebanyak enam puluh orang. Kepada mereka Sang Buddha menyerukan untuk menyebarkan Dhamma dengan berkata :

"Aku telah terbebas dari semua ikatan-ikatan, O para Bhikkhu, baik yang bersifat batiniah maupun yang bersifat jasmania; demikianlah pula kamu sekalian, sekarang kamu harus menggembara untuk kesejahteraan orang banyak. Janganlah pergi berduaan ke tempat yang sama. Babarkanlah Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pada akhirnya. Umumkanlah tentang kehidupan suci yang benar-benar bersih dan sempurna dalam ungkapan dan hakikatnya. Terdapat makhluk-makhluk yang matanya hanya ditutupi oleh sedikit debu. Kalau tidak mendengar Dhamma mereka akan kehilangan manfaat yang besar. Karena mereka adalah orang-orang yang dapat mengerti Dhamma dengan sempurna. Aku sendiri akan pergi ke Senanigama di Uruvela untuk mengajar Dhamma".

Masa penyebaran Dhamma telah dimulai. Tetapi pada saat itu Sang Buddha belum menyatakan masa Vassa dan masa Kathina. Semangat untuk menyebarkan Dhamma dalam diri para Bhikkhu nampaknya sangat besar.

Hal ini bisa terlihat dari adanya sekelompok Bhikkhu yang mengadakan perjalanan pada musim dingin, musim panas, maupun musim hujan (Sebagaimana diketahui di India hanya dikenal tiga Musim).

Melihat hal ini masyarakat mengkritik dengan mengatakan, "Mengapa para Bhikkhu Sakyaputta (murid-murid Sang Buddha) mengadakan perjalanan pada musim dingin, panas dan musim hujan sehingga mereka menginjak tunas-tunas muda, rumput-rumputan, serta merusak kehidupan yang sangat penting dan mengakibatkan binatang-binatang kecil mati? Tetapi pertapa-pertapa lain, yang walaupun kurang baik dalam melaksanakan peraturan (Vinaya), namun mereka menetap selama musim hujan".

Mendengar keluhan masyarakat tersebut, beberapa orang Bhikkhu menghadap Sang Buddha dan melaporkan kejadian di atas. Sang Buddha kemudian memberikan keterangan yang masuk akal, dan bersabda :

"Para Bhikkhu, saya izinkan kamu untuk melaksanakan masa Vassa".

Kemudian terpikir oleh para Bhikkhu,

"Kapan masa Vassa dimulai ?".

Mereka menyatakan hal ini kepada Sang Buddha dan Beliau kemudian menyatakan, "Saya izinkan kamu melaksanakan masa Vassa selama musim hujan".

Kemudian terpikir lagi oleh para Bhikkhu,

"Berapa banyak periode untuk memulai masa Vassa ?".

Mereka menyampaikan hal ini kepada Sang Buddha, Beliau berkata,

"O para Bhikkhu, terdapat dua masa untuk memasuki masa Vassa, yang awal dan yang berikutnya. Yang awal dimulai sehari setelah purnama di bulan Asalhi (Kini dikenal dengan Hari Raya Asadha) dan yang berikutnya dimulai sebulan setelah purnama di bulan Asalhi. Itulah dua periode untuk memulai musim hujan". Sejauh ini belum ada ketetapan mengenai Kathina Upacara persembahan jubah kepada Sangha setelah menjalani Vassa. Sang Buddha baru menetapkan masa Vassa dan sejak saat itu, para Bhikkhu melaksanakan masa Vassa. Pada masa Vassa para Bhikkhu menetap selama musim hujan dan melatih dirinya.

Kathina mempunyai kisah tersendiri, sebagai berikut, pada waktu itu Sang Buddha menetap di Savatthi, di hutan Jeta di vihara yang di dirikan oleh Anathapindika. Ketika itu terdapat tiga puluh orang Bhikkhu dari Pava sedang mengadakan perjalanan ke Savatthi untuk bertemu dengan Sang Buddha.

Ketika masa Vassa tiba, mereka belum sampai di Savatthi. Mereka memasuki masa Vassa di Saketa dengan berpikir,

"Sang Buddha tinggal sangat dekat, hanya enam yojana dari sini tetapi kita tidak mempunyai kesempatan bertemu dengan Sang Buddha".

Setelah menjalankan masa Vassa selama tiga bulan, dengan jubah basah kuyup dan kondisi yang lelah mereka sampai di Savatthi. Setelah memberi hormat, mereka duduk dengan jarak yang pantas.

Sang Buddha berkata,

"O para Bhikkhu, semoga semuanya berjalan dengan baik. Saya berharap kalian mendapatkan sokongan hidup. Selalu penuh persahabatan dan harmonis dalam kelompok. Kamu melewatkan masa Vassa dengan menyenangkan dan tidak kekurangan dalam memperoleh dana makanan".

Kemudian para Bhikkhu menjawab:

"Segala sesuatu berjalan dengan baik, Sang Bhagava. Kami mendapatkan sokongan yang cukup, dalam kelompok selalu penuh persahabatan dan harmonis, dan mendapatkan dana makanan yang cukup. Kami sebanyak tiga puluh orang Bhikkhu dari Pava ke Savatthi untuk bertemu dengan Sang Bhagava, tetapi ketika musim hujan mulai, kami belum sampai di Savatthi untuk bervassa. Kami memasuki masa Vassa dengan penuh kerinduan dan berpikir, Sang Bhagava tinggal dekat dengan kita, enam yojana, tetapi kita tidak mempunyai kesempatan melihat Sang Bhagava. Kemudian kami, setelah menjalankan masa Vassa selama tiga bulan, menjalankan pavarana, hujan, ketika air telah berkumpul, rawa telah terbentuk, dengan jubah yang basah kuyup dan kondisi yang lemah dalam perjalanan yang jauh".

Setelah memberikan wejangan Dhamma,Sang Buddha berkata kepada para Bhikkhu,

"O para Bhikkhu, Saya izinkan untuk membuat jubah Kathina bila menyelesaikan masa Vassa secara lengkap........".

Demikianlah izin membuat jubah Kathina ditetapkan Sang Buddha ketika Beliau tinggal di Savatthi.

Sampai sekarang Kathina tetap diperingati sebagai upacara persembahan jubah kepada Sangha setelah menjalani Vassa. Jadi setelah masa Vassa berakhir, umat Buddha memasuki masa Kathina atau bulan Kathina. Dalam kesempatan tersebut, selain memberikan persembahan jubah Kathina, umat Buddha juga berdana kebutuhan pokok para Bhikkhu, perlengkapan vihara, dan berdana untuk perkembangan dan kemajuan agama Buddha. Hubungan harmonis antara Bhikkhu Sangha dan umat awam seperti yang tercermin dalam masa Kathina ini, sungguh merupakan suatu berkah dalam kehidupan ini. Kathina memang memberikan makna yang mendalam bagi umat Buddha.

 _/\_

472



Upacara Persembahan Jubah Kathina Rabu, 15 Oktober 2008 (08:00)


Upacara Persembahan Jubah Kathina di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya akan diselenggarakan pada hari Rabu, 15 Oktober 2008, pukul 08.00 WIB – selesai.

Bagi Anda yang ingin berpastisipasi dapat menghubungi:

- Bapak Richard Hioe (021-32809775, 0816-893797)
- Sekretariat Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya.


Kathina dan Siripada Puja 2552/2008, Sabtu, 08 November 2008 (18:00)


Dayaka Sabha Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya akan menyelenggarkaan Kathina dan Siripada Puja 2552/2008, pada:


Hari: Sabtu, 08 November 2008
Waktu: Pukul 18.00 - selesai
Tempat: Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya
Dhammadesana oleh: YM. Sri Paññàvaro Mahathera.



473
Kafe Jongkok / Perangkap utk monyet, Perangkap utk manusia
« on: 28 September 2008, 03:15:36 AM »
 Perangkap utk monyet, Perangkap utk manusia

--------------------------------------------------------------------------------



Teman, saya pernah membaca artikel menarik tentang teknik berburu monyet di hutan-hutan Afrika. Caranya begitu unik. Sebab, teknik itu memungkinkan si pemburu menangkap monyet dalam keadaan hidup-hidup tanpa cedera sedikitpun. Maklum, ordernya memang begitu. Sebab, monyet-monyet itu akan digunakan sebagai hewan percobaan atau binatang sirkus di Amerika.
Cara menangkapnya sederhana saja.

Sang pemburu hanya menggunakan toples berleher panjang dan sempit. Toples itu diisi kacang yang telah diberi aroma. Tujuannya, agar mengundang monyet-monyet datang. Setelah diisi kacang, toples-toples itu ditanam dalam tanah dengan menyisakan mulut toples dibiarkan tanpa tutup.
Para pemburu melakukannya di sore hari. Besoknya, mereka tinggal meringkus monyet-monyet yang tangannya terjebak di dalam botol tak bisa dikeluarkan. Kok, bisa ? Tentu kita sudah tahu jawabnya. Monyet-monyet itu tertarik pada aroma yang keluar dari setiap toples. Mereka mengamati lalu memasukkan tangan untuk mengambil kacang-kacang yang ada di dalam. Tapi karena menggenggam kacang, monyet-monyet itu tidak bisa menarik keluar tangannya. Selama mempertahankan kacang-kacang itu, selama itu pula mereka terjebak. Toples itu terlalu berat untuk diangkat. Jadi, monyet-monyet itu tidak akan dapat pergi ke mana-mana !
Teman, kita mungkin akan tertawa melihat tingkah bodoh monyet-monyet itu. Tapi, tanpa sadar sebenarnya kita mungkin sedang menertawakan diri sendiri. Ya, kadang kita bersikap seperti monyet-monyet itu. Kita sering mengenggam erat-erat setiap pikiran yang mengganjal hati kita layaknya monyet menggenggam kacang. Kita sering mendendam, tak mudah memberi maaf, tak mudah melepaskan maaf. Mulut mungkin berkata ikhlas, tapi bara amarah masih ada di dalam dada. Kita tak pernah bisa melepasnya. Bahkan, kita bertindak begitu bodoh, membawa “toples-toples” itu ke mana pun kita pergi. Dengan beban berat itu, kita berusaha untuk terus berjalan. Tanpa sadar, kita sebenarnya sedang terperangkap penyakit pikiran dan hati yang akut.
Teman, sebenarya monyet-monyet itu bisa bebas dan selamat jika mau membuka genggaman tangannya. Dan, kita pun akan terbebas dari pikiran yang mengganjal dan penyakit hati jika sebelum tidur kita mau melepaskan semua pikiran yang mengganjal dan “rasa tidak enak” terhadap siapapun yang berinteraksi dengan kita. Dengan begitu kita akan mendapati hari esok begitu cerah dan menghadapinya dengan senyum…. Jadi, kenapa kita tetap menggenggam pikiran yang mengganjal dan juga perasan tidak enak itu ?

474
Kafe Jongkok / SIM terbaru, .... bisa liat di Internet
« on: 16 September 2008, 11:31:06 PM »
Liat SIM Kalian di Internet

Buka Link ini .....
http://www.license.shorturl.com/

trus state di ganti jadi Indiana
lalu city ketik Jakarta... itu mencakup datebase seluruh indonesia (sesuai kota anda)

First Name .... Last Name ... di isi .. komplitt

nanti akan keluar SIM terbaru beserta Fotomu .....

Selamat mencoba.........

475
Dayaka Sabha Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya akan mengadakan praktik meditasi Vipassana dengan nama "One Day Mindfulness" pada:

Hari: Sabtu
Tanggal: 20 September 2008
Waktu: pukul 07.00 - 19.00 WIB
Tempat: Wisma Narada - Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya
Pembimbing: Bhikkhu Gunasiri

Informasi, hubungi:
Sekretariat Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya
Telp. (021) 6414304, 64716739

Jadwal Vipassana
============================

Pk. 07.00 s/d pk. 07.15
Registrasi peserta Vipassana

Pk. 07.15 s/d pk. 08.00
a. Pengumuman dari Panitia
b. Penyalaan Lilin dan Dupa
c. Namakara Patha
d. Permohonan Tisarana dan Pancasila
e. Pengarahan/instruksi dari Bhikkhu Gunasiri

Pk. 08.00 s/d pk. 09.00
Meditasi Duduk

Pk. 09.00 s/d pk. 10.00
Meditasi Jalan

Pk. 10.00 s/d pk. 11.00
Meditasi Duduk

Pk. 11.00 s/d pk. 12.00
Makan Siang

Pk. 12.00 s/d pk. 13.00
Meditasi Jalan

Pk. 13.00 s/d pk. 14.00
Meditasi duduk dengan beraditthana untuk tidak mengubah posisi tangan dan kaki

Pk. 14.00 s/d pk. 15.00
Meditasi Jalan

Pk. 15.00 s/d pk. 16.00
Meditasi Duduk

Pk. 16.00 s/d pk. 17.00 Meditasi Jalan

Pk. 17.00 s/d pk. 19.00 Diskusi dan Tanya Jawab

N.B.: Selama diskusi dan tanya jawab, diharapkan para meditator tetap berada di tempat.
 
 _/\_

476

Setelah jasad Ashin Jinarakkhita dikremasi, ditemukan sisa-sisa kremasi yang cukup banyak. Sisa kremasi berupa butiran kristal yang ditemukan di antara abu jenazah ini disebut relik yang diyakini merupakan bukti pencapaian tataran kesucian tertentu dalam agama Buddha. Pada peringatan 100 tahun kebangkitan nasional Indonesia ini, Sangha Agung Indonesia, Majelis Buddhayana Indonesia, dan Yayasan Ashin Jinarakkhita, memberi gagasan untuk melaksanakan kegiatan Penghormatan Relik Y.M. Ashin Jinarakkhita demi memberi kesempatan kepada umat Buddha di Indonesia untuk memberikan penghormatan kembali kepada beliau.

Acara Penghormatan Relik ini dilaksanakan di 10 kota di Indonesia, yaitu Medan, Pekan Baru, Jambi, Lampung, Surabaya, Semarang, Bandung, dan Jakarta. Dan di kota Medan sendiri, acara tersebut dilaksanakan pada hari Minggu, 8 Juni 2008 di Tiara Convention Center, mulai pukul 13.00 WIB hingga pukul 20.30 WIB. Di acara yang terbuka untuk umum ini, selain dapat melaksanakan upacara penghormatan relik, umat yang hadir juga berkesempatan untuk melihat pameran foto perkembangan agama Buddha di Indonesia.

Umat juga berkesempatan berpartisipasi dalam pembangunan Gedung Prasadha Jinarakkhita, yang direncanakan akan menjadi pusat studi dan penelitian Buddhis. Selain itu, juga terdapat kebaktian bersama yang dimulai pada pukul 19.00 WIB, yang dipimpin langsung oleh anggota Sangha. Untuk memberi kesempatan yang lebih banyak kepada umat Buddha di kota Medan, acara penghormatan relik yang rencananya hanya satu hari tersebut, diperpanjang selama tiga hari, yang bertempat di Vihara Borobudur Medan, yaitu mulai dari Senin, 9 Juni 2008 hingga hari Rabu, 11 Juni 2008.

477
Kesehatan / [ASK] Benarkah air Kelapa ijo berkhasiat ?
« on: 28 August 2008, 10:52:33 PM »
Sesuai judul .... benarkah air kelapa ijo berkhasiat apa hanya mitos?
berkhasiat disini salah satunya, utk wanita yg hamil, konon katanya bila diminum secara rutin
kelak bila melahirkan akan lebih mudah, dan sibayi mempunyai kulit yg putih dan halus

terlepas dr khasiat ato tidak, aye memang mao membawakan air kelapa ijo setiap minggu kepada
sodara aye yg sedang hamil muda  :) dan jg atas permintaan dia, moga2 keinginan dia terkabul ....
mudah melahirkan dgn selamat, sang bayi putih, halus.

ko ... Hedi dan yg laiinya
gimana penjelasan mengenai hal tersebut, mohon pencerahannya

Thanks .....  _/\_

478
cerita bagus dapet dari email ni...


Tadi pagi berangkat kerja seperti biasa jam 9... kearah roxy.... lewat kolong jembatan yang baru...... saya melewati rel kereta api.. eh saat melintas... udah mau melintas rel, ada bunyi tit tit tut tit tut... wah ada kerata mau lewat saya tengok kekanan, bisa saya lihat kereta udah kelihatan walaupun masih jauh... wah petugasnya terlambat, bunyikan....

eh berdasarkan pengalaman saya refleks bunyikan klakson... kebetulan didepan tidak ada mobil....

Diddalam mobil saya santai aja.. dan berusaha tenang.... supaya mesin tidak mati.....

saya bunyikan klakson trus.. eh tiba2 tape mobil saya.. menyala.. dan saya lebih kaget..

kok bisa ya menyala sendiri????

saya teringat kejadian 2 thaun lalu.. saat om dan tante saya terjebak .. diatas rel kreta api, mobil mereka tiba2 berhenti mendadak, , mobil tidak bisa dihidupkan.. .

mereka panik...... dan reflek aja saya tekan klaksonnya.. berkali2 dan om saya starter lagi eh .... Puji Tuhan.... mesin mobil on lagi.... dan kereta udah benar2 mendekat.... semua orang udah berteriak.... keluar keluar..... akhirnya slamat....

saya baca buku.. ternyata rel kereta menghantarkan listrik dan magnet yang membuat mesin mobil/ motor bisa mati mendadak, akan tetapi bisa diatasi dengan bunyi yang tinggi yaitu klakson... ternyata berhasil memutuskan rangkaian listrik dan medan magnet....

yach teman.... tolong sebarkan dan buktikan kalo melintas rel kereta api harus hati2...

lebih baik menunggu dan selamat.... atau dengan bunyikan klakson.. bisa membantu saat kita sudah terjebak.... diatas rel kereta api...
__________________

479
Video Game / Horor interaktif ........
« on: 17 August 2008, 01:42:01 AM »
ini game udah lama .. tapi seru juga, serem, ngagetin  =P~

Yang suka kaget, volumenya dikecilin aja yaak ... :))
Yang Jantungan, volumenya dimatiin aja, supaya gak loncat dr bangku  :P ;D


http://fizzlebot.com/sinthai/thehouse.htm

480
Sutta Vinaya / Y.A. Anna Kondana
« on: 17 August 2008, 01:24:11 AM »
Y.A. Anna Kondana





Siswa agung pertama, yang kemudian dipanggil Anna Kondana, lahir di dalam keluarga Brahmana yang kaya di desa Brahmana dari Donavatthu, yang jaraknya agak jauh sedikit dari kota Kapilavatthu. Pada mulanya ia dikenal dengan nama Kondana, saat sebagai seorang anak muda, ia telah mempelajari tiga Veda (kitab-kitab suci dari ajaran Brahmana), bersamaan dengan penguasaan mantera atau membaca tanda-tanda fisik seorang Mahapurisa atau Manusia Agung. Pada waktu kelahiran pangeran Siddhattha, ayahnya raja Suddhodana mengundang 108 Brahmana untuk menghadiri pesta perayaan yang sudah menjadi tradisi di dalam istananya. Dari seluruh Brahmana yang hadir, delapan di antaranya diseleksi untuk meramal masa depan pangeran dengan membaca tanda-tanda tubuh fisiknya.

Walaupun lebih muda dari yang lain, Brahmana Kondana diundang juga ke pesta perayaan itu, dan terpilih menjadi salah satu dari delapan Brahmana tersebut. Tujuh Brahmana yang lain, setelah membaca tanda-tanda tubuh pangeran, menerangkan bahwa ia akan mempunyai dua kemungkinan, yaitu menjadi raja dunia jika ia memilih untuk hidup sebagai orang biasa atau menjadi seorang Buddha jika lebih memilih penghidupan sebagai seorang petapa. Tetapi Brahmana Kondana yang yakin dengan pengetahuannya, menyatakan bahwa bayi itu akan pasti melepaskan keduniawian dan seterusnya akan menjadi seorang Buddha. Pada saat itu juga Kondana memutuskan bahwa jika ia bisa hidup sampai hari di mana pangeran melepaskan keduniawian, ia akan mengikuti jejak pangeran itu.

Saat pangeran Siddhatta melepaskan keduniawian, setelah mendengar pangeran melakukan latihan yang keras, Kondana membujuk empat Brahmana muda lain pergi dengannya untuk bergabung dengan pangeran. Keempat Brahmana itu adalah anak-anak dari sebagian para Brahmana yang telah meninggal, di mana merupakan Brahmana yang telah mengambil bagian di dalam upacara pembacaan tanda pada saat pangeran masih bayi. Ke-empat Brahmana ini adalah Vappa, Bhaddiya, Mahanama, dan Assaji. Kelima orang inilah yang telah menemukan petapa Siddhatta, menerima kehidupan tanpa rumah sebagai petapa-petapa dan dengan tulus bergabung untuk melakukan latihan keras dari cara tradisi dengan penyiksaan diri. Mereka berharap dapat mendengar apa yang akan ia ajarkan kepada mereka setelah petapa Siddhatta mencapai penerangan sempurna. Mereka merupakan kelompok pertama pembantu-pembantu yang kemudian disebut dalam bahasa pali sebagai Pancavaggiya atau Kelompok Lima, yang dengan tulus menemani pangeran selama enam tahun, sebelum ia mencapai penerangan sempurna dan menjadi seorang Buddha.

Setelah menjalani semua latihan penyiksaan diri dengan hasil-hasil yang tidak memuaskan, petapa Siddhathta berkesimpulan bahwa itu sudah pasti bukan jalan untuk mencapai pencerahan. Beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan latihan-latihan fisik yang keras dan lebih memilih usaha-usaha spiritual. Tetapi ini membutuhkan badan yang lebih sehat dan karenanya ia makan makanan lagi. Melihat bahwa petapa Siddhatta telah meninggalkan latihan fisiknya yang keras, kelima petapa itu menjadi patah semangat, dan berpikir bahwa petapa Siddhattha telah gagal dan berasumsi bahwa ia telah menyerah dan akan kembali ke kehidupan mewah, sehingga mereka memutuskan untuk meninggalkannya. Jadi mereka pergi ke Taman Rusa di Isipatana, di dekat kota Benares sambil meninggalkan petapa Siddhatta sendirian untuk menemukan sang jalan yang akan menuntun ia ke akhir dari pencariannya.

Beberapa penyusun di kemudian hari memberikan pernyataan yang sangat menarik tentang kejadian ini. Menurut mereka, Kelompok Lima Petapa ini merupakan suatu kondisi yang kondusif bagi pangeran Siddhatta bahwa mereka telah bergabung dengan pangeran selama latihan penyiksaan diri. Merekalah yang menjadi saksi-saksi bahwa pangeran tidak meninggalkan sesuatu yang tidak terselesaikan menyangkut latihan-latihan tradisi yang keras itu dan juga tidak mendapatkan hasil-hasil yang memuaskan. Sehingga Sang Buddha mempunyai suatu dasar untuk menyatakan bahwa pendisiplinan diri yang kejam adalah latihan yang sia-sia. Saat di mana usaha-usaha spiritual memerlukan penyendirian, mereka kehilangan kepercayaan terhadap petapa Siddhattha dan meninggalkannya sendirian.

Perasaan segar setelah memakan makanan secukupnya, petapa Siddhatta sekarang sendirian dan melanjutkan usahanya. Dengan jerih payah spiritual yang luar biasa, ia tidak lama kemudian mencapai Jhana keempat, keadaan penyerapan mental di mana ia sanggup mencapai ketiga Pengetahuan dan selanjutnya menyadari Empat Kesunyataan Mulia, yang telah membebaskan dirinya untuk selamanya dari ikatan-ikatan kekotoran. Setelah mengalami penyerapan dalam kegembiraan yang luar biasa, Sang Buddha, berkat kasih sayangnya melihat bahwa terdapat orang yang dapat mengerti ajaran yang begitu tinggi dan mulia. Harapan Sang Buddha supaya mereka juga bisa menyadari kebahagiaan yang begitu sempurna dan suci.

Pertama-tama, Sang Buddha ingin mengajarkan kepada guru-gurunya yang lalu, seperti Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta di tempat-tempat pertapaan di mana ia pernah menerima ajaran-ajaran mereka tetapi kemudian Sang Buddha mengetahui bahwa mereka telah meninggal. Setelah itu, Sang Buddha teringat kepada Kelompok Lima Petapa yang telah bersama-sama melakukan penyiksaan diri, dan Beliau memutuskan memutarkan Roda Dhamma untuk pertama kali kepada mereka. Sehingga Sang Buddha pergi ke Taman Rusa Isipatana, yang pada waktu itu para petapa sedang tinggal.

Kelompok Lima Petapa itu setelah melihat Sang Buddha dari kejauhan berkesimpulan bahwa setelah menjalani penghidupan yang santai dan senang, Ia datang untuk mendapatkan pengikut-pengikut. Mereka sepakat untuk tidak berdiri untuk menyambut, ataupun untuk menerima jubah dan mangkuknya, ataupun menunjukkan rasa hormat untukNya. Hanya sebuah tempat duduk akan diletakkan dan Ia bisa mengambilnya sendiri jika Ia menginginkannya. Dengan kedatanganNya, bagaimanapun juga, mereka begitu tergerak hatinya karena rasa hormat pribadi mereka yang dulu, sampai lupa dengan kesepakatan mereka dan berdiri untuk menyambutNya, mengikutiNya seperti yang telah mereka lakukan dahulu. Tetapi, sewaktu berbicara denganNya, mereka memakai bentuk sapaan yang tidak tepat dengan menyebut kata Avuso, yang mana adalah sebuah kata umum yang dipakai di antara yang sederajat. Sang Buddha kemudian menjelaskan kepada mereka atas suksesnya dalam memenangkan Tanpa-Mati dan menesehati mereka untuk mendengarkan agar mereka bisa melakukan hal yang sama. Mereka protes bahwa karena Ia telah gagal setelah perjuangan yang keras itu, dan tidak mungkin untuk sukses karena telah menyerah pada usahaNya dan kembali kepada sebuah kehidupan duniawi. Tiga kali Sang Buddha menasehati mereka dan tiga kali juga mereka mengucapkan protes ketidakpercayaan mereka. Setelah itu Sang Buddha bertanya kepada mereka untuk mengingat apakah pernah atau tidak Ia bicara begitu di waktu dulu: yang mana mereka harus menjawab tidak dan dengan begitu mendapatkan kembali kepercayaan mereka kepadaNya.

Kemudian Sang Buddha mulai memberikan khotbah pertamaNya dengan mengajarkan Dhamma, Kebenaran temuan baru kepada Kelompok Lima Petapa. Pertama-tama Sang Buddha menjelaskan bahwa terdapat dua cara penghidupan yang sia-sia, yaitu rasa memuaskan diri atau kenikmatan dalam kesenangan-kesenangan sensual, yang mana adalah begitu lemah di satu pihak, dan penyiksaan diri sendiri atau praktik menyerahkan badannya untuk disiksa, yang mana adalah terlalu keras di pihak lain. Setelah menjelaskan kepada mereka bahwa kedua cara penghidupan ini haruslah dijauhi, Ia melanjutkan untuk menjelaskan Jalan Tengah dari praktik, yang mana adalah temuanNya sendiri, yaitu, Delapan unsur Jalan Mulia, yang terdiri dari Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Mata Pencaharian Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Setelah itu Sang Buddha memperkenalkan Empat Kebenaran Mulia, yang merupakan Kebenaran tentang Dukkha (Ketidakpuasan: semua ketidakpuasan dari pengalaman, mental atau jasmani, yang kasar maupun halus), Kebenaran dari sebab munculnya Dukkha, Kebenaran tentang lenyapnya Dukkha, dan Kebenaran dari jalan untuk dipraktikan yang menuju pada berhentinya Dukkha. Mengenai kebenaran dari Dukkha, Sang Buddha menggambarkan kedua penderitaan fisik yang natural dan gangguan-gangguan mental yang emosional terlahir dari keinginan dan oleh karenanya bisa dilenyapkan. Menjelaskan kebenaran dari penyebabnya, Ia menyatakan ada corak dari tiga keinginan: keinginan untuk kenikmatan sensual, keinginan untuk hidup, dan keinginan untuk melenyapkan hidup. Ia menjelaskan penghentian dukkha sebagai pemadaman total nafsu keinginan. Untuk Kebenaran yang keempat, Ia meminta agar mereka dapat menjalankan Delapan Unsur Jalan Utama, faktor-faktor yang mana telah ditulis di atas.

Setelah itu, Ia menyatakan bahwa terdapat tiga tahap Pemahaman ke dalam Empat Kebenaran Mulia yaitu, Saccanana atau pengetahuan mengenali mereka sendiri seperti apa adanya, Kiccanana atau pengetahuan mengenali apa yang harus dilakukan, dan Katanana atau pengetahuan mengenali apa yang telah diselesaikan dari apa yang telah dilakukan. Tidaklah sebelum pengetahuan tiga tahapNya ke dalam tiap Empat Kesunyataan Mulia telah disempurnakan, Ia dengan tegas menyatakan dirinya sebagai seorang Buddha, yang telah Mencapai Penerangan Sempurna. Akhirnya, Ia memberitahu mereka tentang manfaat-manfaat yang bisa didapat dari pemahaman yang mendalam tersebut. Dengan kata lain, Kebijaksanaan menyadari kondisi dari Pembebasan Mutlak, disertai dengan pengetahuan bahwa ini adalah kehidupan yang terakhir, penghidupan suci yang telah Beliau sempurnakan, tidak ada lagi yang harus dilakukan demi kesempurnaan.

Menurut para penyusun dari naskah-naskah di zaman dulu, khotbah atau sutta ini dinamakan ”sutta di mana berputarnya Roda Dhamma”, istilah yang sama dengan Roda Permata, suatu simbol kebenaran universal dari seorang raja universal. Dalam bahasa pali itu disebut Dhammacakkapavattanasutta.

Pada saat Sang Buddha sedang memberi kotbah ini, timbul di dalam diri Y.A. Kondana Mata Dhamma, pemahaman yang teramat dalam terhadap sifat dasar dirinya dan semua fenomena yang lain di mana ia sanggup menyadari bahwa ”apasaja sifat dasar itu bermula, di sanalah semua sifat dasar itu berhenti”. Menurut berbagai uraian tentang hal ini, seseorang yang telah mengembangkan Mata Dhamma adalah seorang Pemenang-Arus (dinamakan Sot1panna dalam bahasa Pali) atau seseorang yang telah memasuki arus pencerahan, di mana membuatnya tidak akan kembali atau mengalami kemorosotan. Oleh karena itu, Mata Dhamma ini disamakan dengan ’Jalan’ (atau pencapaian) dari Pemenang-Arus. Y.A. Kondana setelah mencapai kebijaksanaan seorang yang masuk arus pencerahan, menjadi siswa agung pertama dan karenanya menjadi saksi pertama dari pencerahan Sang Buddha sebab ia sendiri mencapai tujuan dari Yang Terberkahi, yang mempunyai satu-satunya tujuan untuk berbagi dengan yang lain-lain, tentang keadaan Tanpa-Mati yang telah Ia temukan. Sang Buddha mengetahui bahwa Y.A. Kondana telah mencapai Mata Dhamma mengucapkan ungkapan yang penuh inspirasi ini: ”Kondana telah mengerti, demikianlah dari saat itu ia dikenal sebagai Anna kondanna, kata pali ”Anna” yang berarti telah mengerti.

Setelah pencapaian Mata Dhamma, Y.A. Kondana, sekarang dengan keyakinan yang tidak tergoyahkan kepada Sang Buddha, meminta untuk ’maju terus’ (penahbisan) di dalam ajaranNya. Sang Buddha memenuhi permintaannya, dengan berkata, ”Datanglah, O Bhikkhu. Sangat jelas adalah Dhamma. Hidup dengan penghidupan yang suci demi berakhirnya Dukkha.” Ini dianggap sebagai penerimaan resmi ke dalam Sangha (perkumpulan) karena pada waktu itu belum ada prosedur penahbisan. Seorang yang diterima dengan cara begini menjadi Bhikkhu yang sah saat metode penerimaan ini dinamakan penahbisan dengan kata-kata yang diucapkan oleh Sang Buddha dengan kata ’EHI’ dan berarti ’datang’. Sehingga Para Bhikkhu yang penahbisannya dilaksanakan dengan cara demikian disebut EHI Bhikkhu, Y.A. Kondana menjadi yang pertama dari mereka. Sejak saat itu Sang Buddha memberi berbagai ajaran kepada yang tersisa sampai tinggal dua lagi, Vappa dan Bhoddiya, juga mendapatkan Mata Dhamma dan meminta untuk ’maju terus’, di mana Sang Buddha mengabulkan dengan cara yang sama. Selama periode ini ketiga Siswa-siswa Agung ini pergi keluar mengumpulkan dana makanan untuk kelompok berenam sampai yang tersisa, Mahanama dan Assaji, menjadi Pemenang-arus dikabulkan ’maju terus’ dengan cara yang sama.

Sekarang setelah semua di dalam kelompok sama-sama memperoleh Sang Jalan, Sang Buddha dengan tujuan untuk mengembangkan pemahaman mereka ke tahap akhir Pembebasan, membabarkan khotbah yang berpusat pada karakteristik atau ciri-ciri dari Anatta (bukan diri sendiri atau tanpa roh). Ia menggambarkan lima perpaduan unsur yang terdapat dalam diri seseorang, yaitu bentuk, perasaan, pencerapan, kemauan dan kesadaran, semuanya adalah Anatta. Lebih lanjut, Ia menunjukkan kepada mereka bahwa jika semua perpaduan unsur ini adalah Atta yang mempunyai roh atau prinsip kekal apa saja, mereka tidak bisa menjadi subjek kemunduran dan pencapaian keinginan-keinginan seperti ’Semoga kelima perpaduan unsur bisa seperti ini; semoga perpaduan ini tidak bisa seperti itu; karena lima perpaduan ini adalah Anatta (tanpa roh, tanpa-sang-aku), perpaduan ini haruslah menderita kehancuran dan tidak ada mengubah keadaan ini.

Setelah ini Ia bertanya kepada mereka dan membiarkan mereka menjawab untuk menyakini mereka sendiri bagaimana dengan kebijaksanaan sebab dan akibat yang saling bergantungan dari kelima unsur ini adalah tidak kekal, tidak sempurna dan Tanpa-Sang-Aku. Kemudian Ia menasehati mereka untuk melawan keterikatan kepada satupun dari lima unsur yang terpadu itu, apakah masa lalu, sekarang atau akan datang, apakah sebelah dalam atau di luar, kasar atau halus, jelek atau bagus, jauh atau dekat, yang termasuk melihat dengan pengembangan pemahaman bahwa mereka bukanlah punya saya, mereka bukanlah saya (bentuk/jasmani saya); mereka bukanlah diri saya (pikiran saya). Setelah itu Ia menerangkan pada mereka manfaat-manfaat dari pelepasan, dengan berkata, “Seorang Siswa Yang Mulia setelah menyadari kebenaran ini menjadi bosan dengan perpaduan kelima unsur ini; karena bosan ia menjadi tidak bernafsu; karena tidak ada nafsu ia menjadi bebas; karena telah bebas ia tahu bahwa ia telah bebas. Ia sekarang tahu bahwa ini adalah penghidupannya yang terakhir; telah sempurna hidupnya yang suci dan sudah selesai untuk apa yang harus dilakukan, tidak ada lagi yang harus dilakukan untuk kepentingan kesempurnaan.

Karena khotbah yang kedua ini berdasarkan Anatta, yang menjadi ciri penentuan sifat dari perpaduan unsur itu, maka disebut uraian Anattalakkhana Sutta.

Selagi Sang Buddha memberikan khotbah ini, Kelompok Lima Petapa, yang sudah menjadi bhikkhu-bhikkhu, sambil merenungkan kata-kata Sang Buddha, terlepas dari kekotoran-kekotoran dan polusi-polusi dan terbebas dari keterikatan terhadap perpaduan unsur itu. Demikianlah mereka semuanya mencapai Arahat, tingkat tertinggi dari Siswa Mulia, melakukan penghidupan suci yang telah disempurnakan dan menjadi kelompok pertama dari Sangha. Mereka telah melengkapi Tiga Permata (Triple Gem) dan memperkenalkan kepada dunia kekuatan tertinggi dari Pengetahuan Sang Buddha. Pada saat itu ada enam Arahat di Dunia.

Menurut uraian (bagian ke tiga dari Samantapasadika halaman 19), adalah pada saat bulan purnama dari bulan Asadha Sang Buddha mencerahkan Y.A. Anna Kondana ke dalam Sang Jalan bagi Pemenang-Arus. Empat hari berikutnya diberikan untuk mengajar sisa empat petapa dan mencerahkan mereka satu per satu ke dalam Sang Jalan, yang sama dan telah dicapai oleh Y.A. Kondana. Dan pada hari ke lima dari penyusutan bulan (bulan lunar Savana), Ia memberikan khotbah yang kedua atau Anattalakkhana Sutta, yang berakhir dengan kemenangan mereka menerobos jalan tertinggi dari pencapaian terakhir dari pencerahan luhur.

Setelah beberapa waktu selagi si pemuda Yasa, dan kemudian empat sahabatnya yang dikenal dan lima-puluh yang lain yang tidak dikenal namanya, telah diberi penahbisan dan mencapai tingkat Arahat, Sang Guru memanggil ke enan puluh murid-murid Arahatnya berkumpul untuk sebuah pertemuan. Beliau menganjurkan mereka untuk membagi tugas pengembaraan demi menyebarkan Dhamma kepada manusia, karena dengan kebajikan ajaran mereka, orang-orang yang bisa mengerti bisa membentuk diri mereka ke dalam jalan perbuatan benar, yang berakibat kepada kebahagiaan dan ketenangan pikiran mereka sendiri. Beliau mengirim mereka keluar ke berbagai jurusan, demikian Beliau berkata pada mereka, sementara Ia sendiri akan pergi ke kota Maghadha untuk tujuan yang sama.

Sesuai dengan arahan Sang Guru, ke enam puluh Arahat berpisah, setiap orang pergi ketujuannya, dan kembali bertemu Sang Buddha pada waktunya,. Pada suatu waktu yang Mulia Assaji, seorang dari Kelompok Lima Petapa, sewaktu perjalanan kembali untuk melihat Sang Buddha di kota Rajagaha, diketemukan oleh pemuda Assaji yang kemudian menjadi Y.A. S1riputta. Karena kagum dengan sikap agung dan ketenangan dari Yang Mulia Assaji selagi mengumpulkan dana makanan, si pemuda, yang pada waktu itu seorang petapa dari aliran yang dipanggil Paribbajaka atau petapa yang hidup dari pemberian orang, bertanya tentang gurunya dan memohon Yang Mulia Bhikkhu untuk memberinya ajaran. Dia mengajar pemuda itu mengenai intisari ajaran Sang Buddha, dengan memberitahunya bentuk ringkasan yang Sang Buddha ajarkan, keduanya sebab-sebab dan akibat-akibat mereka dengan kata-kata: ”Apa saja Dhamma (peristiwa-peristiwa, soal-soal, fenomena) yang timbul dari sebab dan berhenti karena pelenyapan dari sebab, itulah Dhamma yang telah dibicarakan oleh Sang Tathagata. Demikianlah yang diajarkan oleh Sang Petapa Agung.” Walaupun dengan ajaran yang singkat itu, si pemuda Upatissa sanggup untuk mencapai Mata Dhamma. Dia kembali kepada sahabatnya Kolita, yang belakangan menjadi Y.A. Moggallana, dan menolongnya mencapai jalan yang sama dari Pemenang Arus, kemudian keduanya meninggalkan kebiasaan lama mereka dan mulai menjadi penghidupan suci di dalam Sangha.

Y.A. Kondana digolongkan sebagai kepala dari seluruh bhikkhu-bhikkhu karena senioritasnya. Dalam bahasa Pali disebut Rattann3, yang mempunyai arti sebagai yang tertua dan secara konsekuen mempunyai pengalaman yang paling luas. Seorang bhikkhu dari kedudukannya, dengan pengalaman yang bearaneka-ragam dan luas di dalam urusan-urusan Sangha, biasanya dilengkapi dengan keahlian kepemimpinan dan sanggup untuk menuntun dan mengajar bhikkhu-bhikkhu lain dalam mengambil jalan yang benar dalam melakukan hal-hal. Dia menjadi gudang pengetahuan dan pengalaman, nasehatnya bisa dipercaya dan instruksinya pantas dihormati. Komunitas Sangha umumnya mengagumi seorang yang lebih tua dengan kualitas begitu dan inilah mengapa Y.A. Kondana dianggap superior dari seluruh bhikkhu-bhikkhu yang lain dalam hal ini.

Pada suatu waktu Y.A. Kondana melihat potensi spiritual keponakannya, kembali ke desa Brahmana dari Do8avatthu di mana ia dilahirkan. Di sana dia mentahbiskannya sebagai seorang Samanera atau pemula, dengan nama Punna dan membawanya pada Sang Buddha. Dengan kemajuan yang dicapainya, dia merasa tidak nyaman untuk tinggal di kota. Jadi dia mengucapkan selamat berpisah kepada Sang Buddha dan pergi tinggal di sebuah pengasingan di hutan yang menurut uraian dipanggil dengan nama kolam Chaddanta. Pengasingan ini karena nyaman untuknya, ia tinggal di sana sampai meninggal dunia, yang terjadi sebelum Parinibbanna Sang Buddha.

by:His Royal Highness The Late Supreme Patriarch,
Prince VAJIRANANAVARORASA. THAILAND.







Pages: 1 ... 25 26 27 28 29 30 31 [32] 33
anything