//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - Yumi

Pages: 1 ... 11 12 13 14 15 16 17 [18] 19 20 21 22 23 24 25 ... 89
256
Lanjutan Canki Sutta
-----------------------

15. “Tetapi, Guru Gotama, dengan cara bagaimanakah pelestarian kebenaran itu? [ ]Bagaimanakah seseorang melestarikan kebenaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang pelestarian kebenaran.”

“Jika seseorang memiliki keyakinan, Bhāradvāja, ia melestarikan kebenaran ketika ia mengatakan: ‘Keyakinanku adalah demikian’; tetapi ia belum sampai pada kesimpulan pasti: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Dengan cara ini terjadi pelestarian kebenaran; dengan cara inilah ia melestarikan kebenaran; dengan cara ini kami menjelaskan pelestarian kebenaran. Tetapi belum terjadi penemuan kebenaran.

“Jika seseorang menyetujui sesuatu … jika ia menerima penyampaian tradisi lisan … jika ia [sampai pada kesimpulan yang berdasarkan pada] penalaran … jika ia memperoleh penerimaan pandangan melalui perenungan, ia melestarikan kebenaran ketika ia mengatakan: ‘Penerimaanku atas suatu pandangan setelah merenungkan adalah demikian’; tetapi ia belum sampai pada kesimpulan pasti: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Dengan cara ini juga, Bhāradvāja, terjadi pelestarian kebenaran; dengan cara ini ia melestarikan kebenaran; dengan cara ini kami menjelaskan pelestarian kebenaran. Tetapi belum terjadi penemuan kebenaran.”

16. “Dengan cara itu, Guru Gotama, terjadi pelestarian kebenaran; dengan cara itu seseorang melestarikan kebenaran; dengan cara itu kami mengetahui pelestarian kebenaran. Tetapi dengan cara bagaimanakah, Guru Gotama, penemuan kebenaran itu? Dengan cara bagaimanakah seseorang menemukan kebenaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang penemuan kebenaran.”

17. “Di sini, Bhāradvāja, seorang bhikkhu mungkin hidup dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman. [ ]Kemudian seorang perumah tangga atau putra perumah tangga mendatanginya dan menyelidikinya sehubungan dengan tiga jenis kondisi: [172] sehubungan dengan kondisi-kondisi yang berdasarkan pada keserakahan, sehubungan dengan kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebencian, dan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebodohan: ‘Adakah pada Yang Mulia ini kondisi-kondisi apa pun yang berdasarkan pada keserakahan sehingga, dengan pikirannya dikuasai oleh kondisi-kondisi tersebut, walaupun tidak mengetahui, ia akan mengatakan, “Aku tahu,” atau walaupun tidak melihat, ia akan mengatakan “Aku melihat,” atau ia mungkin mendorong orang lain untuk berbuat dalam suatu cara yang akan mengarahkannya pada bahaya dan penderitaan untuk waktu yang lama?’ Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Tidak ada kondisi-kondisi yang berdasarkan pada keserakahan demikian pada Yang Mulia ini. Perilaku jasmani dan perilaku ucapan dari Yang Mulia ini tidak seperti seorang yang terpengaruh oleh keserakahan. Dan Dhamma yang diajarkan oleh Yang Mulia ini adalah mendalam, sulit dilihat dan sulit dipahami, damai dan luhur, tidak dapat dicapai hanya melalui logika, halus, untuk dialami oleh para bijaksana. Dhamma ini tidak mungkin dengan mudah diajarkan oleh seorang yang terpengaruh oleh keserakahan.’

18. “Ketika ia telah menyelidikinya dan telah melihat bahwa ia murni dari kondisi-kondisi yang berdasarkan pada keserakahan, selanjutnya ia menyelidikinya sehubungan dengan kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebencian: ‘Adakah pada Yang Mulia ini kondisi-kondisi apa pun yang berdasarkan pada kebencian sehingga, dengan pikirannya dikuasai oleh kondisi-kondisi tersebut … ia mungkin mendorong orang lain untuk berbuat dalam suatu cara yang akan mengarahkannya pada bahaya dan penderitaan untuk waktu yang lama?’ Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Tidak ada kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebencian demikian pada Yang Mulia ini. Perilaku jasmani dan perilaku ucapan dari Yang Mulia ini tidak seperti seorang yang terpengaruh oleh kebencian. Dan Dhamma yang diajarkan oleh Yang Mulia ini adalah mendalam … untuk dialami oleh para bijaksana. Dhamma ini tidak mungkin dengan mudah diajarkan oleh seorang yang terpengaruh oleh kebencian.’

19. Ketika ia telah menyelidikinya dan telah melihat bahwa ia murni dari kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebencian, selanjutnya ia menyelidikinya sehubungan dengan kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebodohan: ‘Adakah pada Yang Mulia ini kondisi-kondisi apa pun yang berdasarkan pada kebodohan sehingga, dengan pikirannya dikuasai oleh kondisi-kondisi tersebut … ia mungkin mendorong orang lain untuk berbuat dalam suatu cara yang akan mengarahkannya pada bahaya dan penderitaan untuk waktu yang lama?’ Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Tidak ada kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebodohan demikian pada Yang Mulia ini. Perilaku jasmani dan perilaku ucapan dari Yang Mulia ini tidak seperti seorang yang terpengaruh oleh kebodohan. Dan Dhamma yang diajarkan oleh Yang Mulia ini adalah mendalam … untuk dialami oleh para bijaksana. Dhamma ini tidak mungkin dengan mudah diajarkan oleh seorang yang terpengaruh oleh kebodohan.’

20. “Ketika ia telah menyelidikinya dan telah melihat bahwa ia murni dari kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebodohan, kemudian ia berkeyakinan padanya; dengan penuh keyakinan ia mengunjunginya dan memberikan penghormatan kepadanya; setelah memberikan penghormatan, ia mendengarkan; ketika ia mendengarkan, ia mendengar Dhamma; setelah mendengar Dhamma, ia menghafalnya dan meneliti makna dari ajaran yang telah ia hafalkan; ketika ia meneliti makna-maknanya, ia memperoleh penerimaan atas ajaran-ajaran itu melalui perenungan; ketika ia memperoleh penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran itu, semangat muncul; ketika semangat muncul, ia mengerahkan tekadnya; setelah mengerahkan tekadnya, ia menyelidiki; [ ]setelah menyelidiki, ia berusaha; [ ]karena berusaha dengan tekun, ia dengan tubuhnya mencapai kebenaran tertinggi dan melihat dengan menembusnya dengan kebijaksanaan. [ ]Dengan cara ini, Bhāradvāja, terjadi penemuan kebenaran; dengan cara ini seseorang menemukan kebenaran; dengan cara ini kami menjelaskan penemuan kebenaran. Tetapi masih belum kedatangan akhir pada kebenaran.”

21. “Dengan cara itu, Guru Gotama, terjadi penemuan kebenaran; dengan cara itu seseorang menemukan kebenaran; dengan cara itu kami mengetahui penemuan kebenaran. Tetapi dengan cara bagaimanakah, Guru Gotama, terjadi kedatangan akhir pada kebenaran? Dengan cara bagaimanakah seseorang akhirnya sampai pada kebenaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang kedatangan akhir pada kebenaran.” [174]

“Kedatangan akhir pada kebenaran, Bhāradvāja, terletak pada pengulangan, pengembangan, dan pelatihan hal-hal yang sama itu. Dengan cara inilah, Bhāradvāja, terjadi kedatangan akhir pada kebenaran; dengan cara ini seseorang akhirnya sampai pada kebenaran; dengan cara ini kami menjelaskan kedatangan akhir pada kebenaran.”

22. “Dengan cara itu, Guru Gotama, terjadi kedatangan akhir pada kebenaran; dengan cara itu seseorang akhirnya sampai pada kebenaran; dengan cara itu kami mengetahui kedatangan akhir pada kebenaran. Tetapi dengan cara apakah, Guru Gotama, hal yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran.”

“Usaha adalah yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak berusaha, maka ia tidak akan pada akhirnya sampai pada kebenaran; tetapi karena ia berusaha, maka ia akhirnya sampai pada kebenaran. Itulah sebabnya mengapa usaha adalah yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran.”

23. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi usaha? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi usaha.”

“Penyelidikan adalah yang paling membantu bagi usaha, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak menyelidiki, maka ia tidak akan berusaha; tetapi karena ia menyelidiki, maka ia berusaha. Itulah sebabnya mengapa penyelidikan adalah yang paling membantu bagi usaha.”

24. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi penyelidikan? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi penyelidikan.”

“Pengerahan tekad adalah yang paling membantu bagi penyelidikan, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak mengerahkan tekadnya, maka ia tidak akan menyelidiki; tetapi karena ia mengerahkan tekadnya, maka ia menyelidiki. Itulah sebabnya mengapa pengerahan tekad adalah yang paling membantu bagi penyelidikan.”

25. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi pengerahan tekad? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi pengerahan tekad.”

“Semangat adalah yang paling membantu bagi pengerahan tekad, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak membangkitkan semangat, maka ia tidak akan mengerahkan tekadnya; tetapi karena ia membangkitkan semangat, maka ia berusahamengerahkan tekadnya. Itulah sebabnya mengapa semangat adalah yang paling membantu bagi pengerahan tekad.”

26. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi semangat? [175] Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi semangat.”

“Penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran adalah yang paling membantu bagi semangat, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak memperoleh penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran, maka semangat tidak akan muncul; tetapi karena ia memperoleh penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran, maka semangat muncul. Itulah sebabnya mengapa penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran adalah yang paling membantu bagi semangat.”

27. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran.”

“Penelitian makna adalah yang paling membantu bagi penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak meneliti makna-maknanya, maka ia tidak akan memperoleh penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran; tetapi karena ia meneliti makna-maknanya, maka ia memperoleh penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran. Itulah sebabnya mengapa penelitian adalah yang paling membantu bagi penerimaan melalui perenungan atas ajaran-ajaran.”

28. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi penelitian makna? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi penelitian makna.”

“Penghafalan ajaran-ajaran adalah yang paling membantu bagi penelitian makna, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak menghafalkan ajaran, maka ia tidak akan meneliti maknanya; tetapi karena ia menghafalkan ajaran, maka ia meneliti maknanya.”

29. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi penghafalan ajaran-ajaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi penghafalan ajaran-ajaran.”

“Mendengarkan Dhamma adalah yang paling membantu bagi penghafalan ajaran-ajaran, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak mendengarkan Dhamma, maka ia tidak akan menghafalkan ajaran-ajaran; tetapi karena ia mendengarkan Dhamma, maka ia menghafalkan ajaran-ajaran. Itulah sebabnya mengapa mendengarkan Dhamma adalah yang paling membantu bagi penghafalan ajaran-ajaran.”

30. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi mendengarkan Dhamma? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi mendengarkan Dhamma.”

“Mendengar adalah yang paling membantu bagi mendengarkan Dhamma, Bhāradvāja. [176] Jika seseorang tidak mendengar, maka ia tidak akan mendengarkan Dhamma; tetapi karena ia mendengar, maka ia mendengarkan Dhamma. Itulah sebabnya mengapa Mendengar adalah yang paling membantu bagi mendengarkan Dhamma.”

31. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu dalam mendengar? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu dalam mendengar.”

“Memberikan penghormatan adalah yang paling membantu dalam mendengar, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak menghormat, maka ia tidak akan mendengar; tetapi karena ia menghormat, maka ia mendengar. Itulah sebabnya mengapa memberi penghormatan adalah yang paling membantu dalam mendengar.”

32. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu dalam memberi penghormatan? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu dalam memberi penghormatan.”

“Mengunjungi adalah yang paling membantu dalam memberi penghormatan, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak mengunjungi [seorang guru], maka ia tidak akan memberi penghormatan; tetapi karena ia mengunjungi [seorang guru], maka ia memberi penghormatan. Itulah sebabnya mengapa mengunjungi adalah yang paling membantu dalam memberi penghormatan.”

33. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu dalam mengunjungi? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu dalam mengunjungi.”

“Keyakinan adalah yang paling membantu dalam mengunjungi, Bhāradvāja. Jika keyakinan [pada seorang guru] tidak muncul, maka ia tidak akan mengunjunginya; tetapi karena keyakinan [pada seorang guru] muncul, maka ia mengunjunginya. Itulah sebabnya mengapa keyakinan adalah yang paling membantu dalam mengunjungi.”

34. “Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang pelestarian kebenaran, dan Guru Gotama menjawab tentang pelestarian kebenaran; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan karena itu kami merasa puas. Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang penemuan kebenaran, dan Guru Gotama menjawab tentang penemuan kebenaran; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan karena itu kami merasa puas. Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang kedatangan akhir pada kebenaran, dan Guru Gotama menjawab tentang kedatangan akhir pada kebenaran; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan karena itu kami merasa puas. [177] Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran, dan Guru Gotama menjawab tentang hal yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan karena itu kami merasa puas. Apa pun yang kami tanyakan kepada Guru Gotama, Beliau telah menjawab kami; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan karena itu kami merasa puas. Sebelumnya, Guru Gotama, kami biasanya berpikir: ‘Siapakah petapa berkepala gundul ini, keturunan rendah dan gelap dari kaki Leluhur, sehingga mereka dapat memahami Dhamma?’ [ ]Tetapi Guru Gotama sungguh telah menginspirasiku dalam cinta kasih kepada para petapa, keyakinan pada para petapa, hormat pada para petapa.

35. “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama, … (seperti Sutta 91, §38) … Mulai hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”

257
95 Cankī Sutta
Bersama Cankī

[164] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di Negeri Kosala bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu, dan akhirnya Beliau tiba di sebuah desa brahmana Kosala bernama Opasāda. Di sana Sang Bhagavā menetap di Hutan Para Dewa, [ ]Hutan Pohon-Sāla di utara Opasāda.

2. Pada saat itu, Brahmana Cankī adalah penguasa Opasāda, wilayah tanah kerajaan dengan makhluk hidup yang berlimpah, kaya akan padang rumput, hutan, sungai, dan sawah, suatu anugerah kerajaan, pemberian keramat yang diberikan kepadanya oleh Raja Pasenadi dari Kosala.

3. Para brahmana perumah tangga di Opasāda mendengar: “Petapa Gotama … (seperti Sutta 91, §3) … Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”

4. Kemudian para brahmana perumah tangga dari Opasāda berjalan dari Opasāda secara berkelompok dan berbaris mengarah ke utara menuju Hutan Para Dewa, Hutan Pohon Sāla.

5. Pada saat itu, Brahmana Cankī telah naik ke lantai atas istananya untuk beristirahat siang. Kemudian ia melihat para brahmana perumah tangga dari Opasāda berjalan dari Opasāda secara berkelompok dan berbaris mengarah ke utara menuju Hutan Para Dewa, Hutan Pohon Sāla. Ketika ia melihat mereka, ia bertanya kepada menterinya: “Menteriku, mengapakah brahmana perumah tangga dari Opasāda berjalan dari Opasāda secara berkelompok dan berbaris mengarah ke utara menuju Hutan Para Dewa, Hutan Pohon Sāla?”

6. “Tuan, ada Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, yang sedang mengembara di Negeri Kosala … (seperti Sutta 91, §3) … Mereka pergi menemui Guru Gotama.”

“Kalau begitu, Menteriku, temui para brahmana perumah tangga itu dan katakan: ‘Tuan-tuan, Brahmana Cankī berkata sebagai berikut: “Mohon Tuan-tuan menunggu sebentar. Brahmana Cankī juga akan pergi menemui Petapa Gotama[.]”’”

“Baik, Tuan,” menteri itu menjawab, [165] dan ia menjumpai para brahmana perumah tangga dari Opasāda dan menyampaikan pesannya.

7. Pada saat itu, lima ratus brahmana dari berbagai wilayah sedang menetap di Opasāda untuk suatu urusan. Mereka mendengar: “Brahmana Cankī, dikatakan, akan menemui Petapa Gotama.” Kemudian mereka mendatangi Brahmana Cankī dan bertanya kepadanya: “Tuan, benarkah bahwa engkau akan menemui Petapa Gotama?”

“Demikianlah, Tuan-tuan. Aku akan menemui Petapa Gotama.”

8. “Tuan, jangan pergi menemui Petapa Gotama. Tidaklah selayaknya, Guru Cankī, bagimu untuk pergi menemui Petapa Gotama; sebaliknya, adalah selayaknya bagi Petapa Gotama untuk datang menemui engkau. Karena engkau, Tuan, terlahir dari kedua pihak, ibu dan ayah yang murni sampai tujuh generasi sebelumnya, tidak terbantahkan dan tidak tercela dalam hal kelahiran. Oleh karena itu, Guru Cankī, tidaklah selayaknya bagimu untuk pergi menemui Petapa Gotama, adalah selayaknya bagi Petapa Gotama untuk datang menemui engkau. Engkau, Tuan, kaya, dengan kekayaan berlimpah dan banyak kepemilikan. Engkau, Tuan, adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Engkau, Tuan, tampan, menarik, dan anggun, memiliki keindahan kulit yang luar biasa, dengan keindahan luar biasa dan penampilan luar biasa, menyenangkan dipandang. Engkau, Tuan, bermoral, matang dalam moralitas, memiliki moralitas yang matang. Engkau, Tuan, adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik; [166] engkau mengucapkan kata-kata yang ramah, jelas, tanpa cacat, dan menyampaikan maknanya. Engkau, Tuan, mengajarkan guru-guru dari banyak orang, dan engkau mengajarkan pembacaan syair puji-pujian kepada tiga ratus murid brahmana. Engkau, Tuan, dihormati, dihargai, dipuja, dimuliakan, dan dijunjung oleh Raja Pasenadi dari Kosala. Engkau, Tuan, dihormati, dihargai, dipuja, dimuliakan, dan dijunjung oleh Brahmana Pokkharasāti. [ ]Engkau, Tuan, menguasai Opasāda, wilayah tanah kerajaan dengan makhluk hidup yang berlimpah … pemberian keramat yang diberikan kepadanya oleh Raja Pasenadi dari Kosala. Oleh karena itu, Guru Cankī, tidaklah selayaknya bagimu untuk pergi menemui Petapa Gotama, adalah selayaknya bagi Petapa Gotama untuk datang menemui engkau.”

9. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Cankī berkata kepada para brahmana itu: “Sekarang, Tuan-tuan, dengarkanlah dariku mengapa selayaknya bagiku untuk pergi menemui Guru Gotama, dan mengapa tidak selayaknya bagi Guru Gotama untuk datang menemuiku. Tuan-tuan, Petapa Gotama terlahir dari kedua pihak, ibu dan ayah yang murni sampai tujuh generasi sebelumnya, tidak terbantahkan dan tidak tercela dalam hal kelahiran. Oleh karena itu, Tuan-tuan, tidaklah selayaknya bagi Petapa Gotama untuk datang menemuiku, adalah selayaknya bagiku untuk pergi menemui Guru Gotama. Tuan-tuan, Petapa Gotama meninggalkan keduniawian dengan melepaskan banyak emas dan perak yang tersimpan dalam gudang dan lumbung. Tuan-tuan, Petapa Gotama meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi masih muda, seorang pemuda berambut hitam yang memiliki berkah kemudaan, dalam masa utama kehidupannya. Tuan-tuan, Petapa Gotama mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah walaupun ibu dan ayahnya menginginkan sebaliknya dan menangis dengan wajah berlinang air mata. Tuan-tuan, Petapa Gotama tampan, menarik, dan anggun, memiliki keindahan kulit yang luar biasa, [167] dengan keindahan luar biasa dan penampilan luar biasa, menyenangkan dipandang. Tuan-tuan, Petapa Gotama bermoral, dengan moralitas mulia, dengan moralitas bermanfaat, memiliki moralitas yang bermanfaat. Tuan-tuan, Petapa Gotama adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik; Beliau mengucapkan kata-kata yang ramah, jelas, tanpa cacat, dan menyampaikan maknanya. Tuan-tuan, Petapa Gotama adalah guru bagi guru-guru dari banyak orang. Tuan-tuan, Petapa Gotama bebas dari nafsu indria dan tidak membanggakan diri. Tuan-tuan, Petapa Gotama menganut doktrin efektivitas tindakan bermoral, doktrin efektivitas perbuatan bermoral; Beliau tidak berniat mencelakai silsilah para brahmana. Tuan-tuan, Petapa Gotama meninggalkan keduniawian dari keluarga kerajaan, dari salah satu keluarga mulia yang asli. Tuan-tuan, Petapa Gotama meninggalkan keduniawian dari keluarga kaya, dari keluarga dengan kekayaan berlimpah dan kepemilikan berlimpah. Tuan-tuan, orang-orang datang dari kerajaan-kerajaan yang jauh dan daerah-daerah yang jauh untuk bertanya kepada Petapa Gotama. Tuan-tuan, ribuan dewa telah berlindung seumur hidup kepada Petapa Gotama. Tuan-tuan, berita baik sehubungan dengan Petapa Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia. Tercerahkan, terberkahi.’ Tuan-tuan, Petapa Gotama memiliki tiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa. Tuan-tuan, Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha dan istrinya dan anak-anaknya telah berlindung seumur hidup kepada Petapa Gotama. Tuan-tuan, Raja Pasenadi dari Kosala dan istrinya dan anak-anaknya telah berlindung seumur hidup kepada Petapa Gotama. Tuan-tuan, Brahmana Pokkharasāti dan istrinya dan anak-anaknya telah berlindung seumur hidup kepada Petapa Gotama. Tuan-tuan, Petapa Gotama telah tiba di Opasāda dan menetap di Opasāda di Hutan Para Dewa, di Hutan Pohon Sāla di utara Opasāda. Sekarang, setiap petapa atau brahmana yang datang ke pemukiman kita adalah tamu kita, dan tamu seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan oleh kita. Karena Petapa Gotama telah tiba di Opasāda, maka Beliau adalah tamu kita, dan karena tamu kita seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan oleh kita. [168] Oleh karena itu, Tuan-tuan, tidaklah selayaknya bagi Guru Gotama untuk datang menemuiku; sebaliknya, adalah selayaknya bagiku untuk pergi menemui Guru Gotama.

“Tuan-tuan, sebanyak ini pujian atas Guru Gotama yang telah kuketahui, tetapi pujian atas Guru Gotama tidak terbatas pada itu, karena pujian atas Guru Gotama adalah tidak terbatas. Karena Guru Gotama memiliki masing-masing dari faktor-faktor ini, maka tidaklah selayaknya bagi Beliau untuk datang menemuiku; sebaliknya, adalah selayaknya bagiku untuk pergi menemui Guru Gotama. Oleh karena itu, Tuan-tuan, marilah kita semuanya pergi menemui Petapa Gotama.”

10. Kemudian Brahmana Cankī, bersama dengan sejumlah besar brahmana, pergi mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi.

11. Pada saat itu, Sang Bhagavā sedang duduk dan beramah-tamah dengan beberapa brahmana yang sangat senior. Ketika itu, duduk dalam kumpulan itu, seorang murid brahmana bernama Kāpaṭhika. Muda, berkepala-gundul, berusia enam belas tahun, ia adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Sementara para brahmana yang sangat senior sedang berbincang-bincang dengan Sang Bhagavā, ia berulang-ulang menyela pembicaraan mereka. Kemudian Sang Bhagavā menegur murid brahmana Kāpaṭhika sebagai berikut: “Mohon Yang Mulia Bhāradvāja tidak menyela pembicaraan para brahmana senior ketika mereka sedang berbicara. Mohon Yang Mulia Bhāradvāja menunggu hingga pembicaraan selesai.”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Cankī berkata kepada Sang Bhagavā: “Mohon Guru Gotama tidak menegur murid brahmana Kāpaṭhika. Murid brahmana Kāpaṭhika adalah seorang anggota keluarga, ia sangat terpelajar, ia adalah penyampai ajaran yang baik, ia bijaksana; ia mampu mengambil bagian dalam diskusi dengan Guru Gotama.”

12. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Tentu saja, [169] karena para brahmana menghormatinya demikian, murid brahmana Kāpaṭhika pasti mahir dalam kitab-kitab Tiga Veda.”

Kemudian murid brahmana Kāpaṭhika berpikir: “Ketika Petapa Gotama melihatku, aku akan mengajukan pertanyaan kepada Beliau.”

Kemudian, mengetahui pikiran murid brahmana Kāpaṭhika dengan pikiran Beliau sendiri, Sang Bhagavā berpaling kepadanya. Kemudian murid brahmana Kāpaṭhika berpikir: “Petapa Gotama telah berpaling kepadaku. Bagaimana jika aku mengajukan sebuah pertanyaan.” Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, sehubungan dengan syair-syair pujian brahmanis kuno yang diturunkan melalui penyampaian lisan, yang dilestarikan dalam kitab-kitab, para brahmana sampai pada kesimpulan pasti: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal ini?”

13. “Bagaimanakah, Bhāradvāja, di antara para brahmana adakah bahkan seorang brahmana yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah’?”“Tidak, Guru Gotama.”

“Bagaimanakah, Bhāradvāja, di antara para brahmana adakah bahkan seorang guru atau guru dari para guru sampai tujuh generasi para guru sebelumnya yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah’?”“Tidak, Guru Gotama.”

“Bagaimanakah, Bhāradvāja, para petapa brahmana masa lampau, para pencipta syair-syair pujian, para penggubah syair-syair pujian, yang syair-syair pujiannya dulu dibacakan, diucapkan, dan dihimpun, yang oleh para brahmana sekarang masih dibacakan dan diulangiyaitu, Aṭṭhaka, Vāmaka, Vāmadeva, Vessāmitta, Yamataggi, Angirasa, Bhāradvāja, Vāseṭṭha, Kassapa, dan Bhaguapakah bahkan para petapa brahmana masa lampau ini mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah’?”[170] “Tidak, Guru Gotama.”

“Jadi, Bhāradvāja, sepertinya di antara para brahmana tidak ada bahkan seorang brahmana yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Dan di antara para brahmana tidak ada bahkan seorang guru atau guru dari para guru sampai tujuh generasi para guru sebelumnya yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Dan para petapa brahmana masa lampau, para pencipta syair-syair pujian, para penggubah syair-syair pujian … bahkan para petapa brahmana masa lampau ini tidak mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Misalkan terdapat sebaris orang buta yang masing-masing bersentuhan dengan yang berikutnya: orang pertama tidak melihat, yang di tengah tidak melihat, dan yang terakhir tidak melihat. Demikian pula, Bhāradvāja, sehubungan dengan pernyataan mereka, para brahmana itu tampak seperti sebaris orang buta itu: orang pertama tidak melihat, yang di tengah tidak melihat, dan yang terakhir tidak melihat. Bagaimana menurutmu, Bhāradvāja, oleh karena itu, apakah keyakinan para brahmana itu terbukti tidak berdasar?”

14. “Para brahmana menghormati ini hanya karena keyakinan, Guru Gotama. Mereka juga menghormatinya sebagai tradisi lisan.”

[ ]“Bhāradvāja, pertama-tama engkau berpegang pada keyakinan, sekarang engkau mengatakan tradisi lisan. Ada lima hal, Bhāradvāja, yang mungkin terbukti dalam dua cara berbeda di sini dan saat ini. Apakah lima ini? Keyakinan, persetujuan, tradisi lisan, penalaran, dan penerimaan pandangan melalui perenungan. [ ]Kelima hal ini mungkin terbukti dalam dua cara berbeda di sini dan saat ini. Sekarang, sesuatu mungkin sepenuhnya diterima karena keyakinan, namun hal itu mungkin kosong, hampa, dan salah; tetapi hal lainnya mungkin tidak sepenuhnya diterima karena keyakinan, namun hal itu mungkin adalah fakta, benar, dan tidak salah. Kemudian, [171] sesuatu mungkin sepenuhnya disetujui … disampaikan dengan baik … dinalar dengan baik … direnungkan dengan baik, namun hal itu mungkin kosong, hampa, dan salah; tetapi hal lainnya mungkin tidak direnungkan dengan baik, namun hal itu mungkin adalah fakta, benar, dan tidak salah. [Dalam kondisi-kondisi ini] adalah tidak selayaknya bagi seorang bijaksana yang melestarikan kebenaran untuk sampai pada kesimpulan pasti: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’”

------------
Bersambung

258
94  Ghoṭamukha Sutta
Kepada Ghoṭamukha

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Benares di Hutan Mangga Khemiya.

2. Pada saat itu, Brahmana Ghoṭamukha telah tiba di Benares untuk suatu urusan. Sewaktu ia sedang [158] berjalan-jalan untuk berolahraga, ia sampai di Hutan Mangga Khemiya. Pada saat itu, Yang Mulia Udena sedang berjalan mondar-mandir di ruang terbuka. Kemudian Brahmana Ghoṭamukha mendatangi Yang Mulia Udena dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, sambil berjalan mondar-mandir bersama Yang Mulia Udena, ia berkata: “Petapa Mulia, tidak ada kehidupan pengembara yang sesuai dengan Dhamma: demikianlah sepertinya bagiku, dan itu mungkin karena aku belum pernah melihat para mulia seperti dirimu atau [karena aku belum pernah melihat] Dhamma di sini.”

3. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Udena melangkah turun dari jalan setapak dan masuk ke kediamannya, di mana ia duduk di tempat yang telah tersedia. [ ]Dan Ghoṭamukha juga melangkah turun dari jalan setapak dan masuk ke kediaman, di mana ia berdiri di satu sisi. Kemudian Yang Mulia Udena berkata kepadanya: “Ada tempat duduk, Brahmana, silakan duduk jika engkau menginginkan.”

“Kami tidak duduk karena kami sedang menunggu Guru Udena [berbicara]. Karena bagaimana mungkin seseorang seperti diriku berani duduk di tempat duduk tanpa sebelumnya diundang untuk duduk?”

4. Kemudian Brahmana Ghoṭamukha mengambil bangku rendah, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Yang Mulia Udena: Petapa Mulia, tidak ada kehidupan pengembara yang sesuai dengan Dhamma: demikianlah sepertinya bagiku, dan itu mungkin karena aku belum pernah melihat para mulia seperti dirimu atau [karena aku belum pernah melihat] Dhamma di sini.

“Brahmana, jika engkau merasa bahwa apa pun pernyataanku harus diterima, maka terimalah; jika engkau merasa bahwa apa pun pernyataanku harus diperdebatkan, maka perdebatkanlah, tanyakanlah untuk mengklarifikasinya dengan pertanyaan: ‘Bagaimanakah ini, Guru Udena? Apakah makna dari pernyataan ini?’ Dengan cara ini, kita dapat mendiskusikan persoalan ini.”

“Guru Udena, jika aku merasa bahwa apa pun pernyataan Guru Udena harus diterima, maka aku akan menerima; jika aku merasa bahwa apa pun pernyataannya harus diperdebatkan, maka aku akan memperdebatkannya; dan jika aku [159] tidak memahami makna dari pernyataan Guru Udena, maka aku akan menanyakan kepada Guru Udena untuk mengklarifikasinya dengan pertanyaan: ‘Bagaimanakah ini, Guru Udena? Apakah makna dari pernyataan ini?’ Dengan cara ini, marilah kita mendiskusikan persoalan ini.”

5-6. “Brahmana, terdapat empat jenis orang di dunia ini. Apakah empat ini?” … (seperti Sutta 51, §§5-6) [160] …

“Tetapi, Guru Udena, jenis orang yang tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya dan yang tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lain; yang, karena tidak menyiksa dirinya dan orang lain, ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suciia tidak menyiksa dan melukai dirinya maupun makhluk lain, yang mana keduanya menginginkan kesenangan dan menjauhi kesakitan. Itulah sebabnya jenis orang ini memuaskan pikiranku.”

7. “Brahmana, ada dua jenis kelompok. Apakah dua ini? Di sini kelompok tertentu bernafsu pada perhiasan dan anting-anting dan mencari istri dan anak-anak, budak laki-laki dan perempuan, ladang dan tanah, emas dan perak. Tetapi di sini kelompok tertentu tidak bernafsu pada perhiasan dan anting-anting, melainkan setelah meninggalkan istri dan anak-anak, budak laki-laki dan perempuan, ladang dan tanah, emas dan perak, meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Sekarang, ada jenis orang yang tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya dan yang tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lain; yang, karena tidak menyiksa dirinya dan orang lain, ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suci. Dalam kelompok manakah dari kedua jenis kelompok ini engkau biasanya melihat orang jenis ini, Brahmanadalam kelompok yang bernafsu pada perhiasan dan anting-anting dan mencari istri dan anak-anak, budak laki-laki dan perempuan, ladang dan tanah, emas dan perak; atau dalam kelompok yang tidak bernafsu pada perhiasan dan anting-anting, melainkan setelah meninggalkan istri dan anak-anak, budak laki-laki dan perempuan, ladang dan tanah, emas dan perak, meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?”

[161] “Aku biasanya melihat orang jenis ini, Guru Udena, dalam kelompok yang tidak bernafsu pada perhiasan dan anting-anting, melainkan setelah meninggalkan istri dan anak-anak … meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

8. “Tetapi baru saja, Brahmana, kami mendengar engkau mengatakan: ‘Petapa Mulia, tidak ada kehidupan pengembara yang sesuai dengan Dhamma: demikianlah sepertinya bagiku, dan itu mungkin karena aku belum pernah melihat para mulia seperti dirimu atau [karena aku belum pernah melihat] Dhamma di sini.’”

“Tentu saja, Guru Udena, adalah dengan tujuan untuk belajar, maka aku mengatakan kata-kata itu. Ada kehidupan pengembara yang sesuai dengan Dhamma; demikianlah sepertinya bagiku, dan sudilah Guru Udena mengingatku [telah berkata] demikian. Baik sekali jika, demi belas kasihan, Guru Udena sudi menjelaskan kepadaku secara terperinci mengenai keempat jenis orang yang telah disebutkan secara singkat.”

9. “Maka, Brahmana, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan aku katakan,”“Baik, Tuan,” Brahmana Ghoṭamukha menjawab. Yang Mulia Udena berkata sebagai berikut:

10-30. “Brahmana, orang-orang jenis apakah yang menyiksa dirinya sendiri dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri? Di sini, seseorang tertentu bepergian dengan telanjang ... (seperti Sutta 51,§§8-28) [162] ... dan berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah ia sendiri menjadi suci.”

31. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Ghoṭamukha berkata kepada Yang Mulia Udena: “Mengagumkan, Guru Udena! Mengagumkan, Guru Udena! Guru Udena telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Udena dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Udena mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”

32. “Jangan berlindung padaku, Brahmana. Berlindunglah pada Sang Bhagavā yang sama dengan yang pada-Nya aku berlindung.”

“Di manakah Beliau menetap sekarang, Guru Gotama itu, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, Guru Udena?”

“Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna itu telah mencapai Nibbāna akhir, Brahmana.”

11. “Jika kami mendengar bahwa Guru Gotama berada sepuluh liga jauhnya, maka kami akan pergi sejauh sepuluh liga untuk menemui Guru Gotama, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Jika kami mendengar bahwa Guru Gotama berada dua puluh liga ... tiga puluh liga ... empat puluh liga ... lima puluh liga ... seratus liga, [163] maka kami akan pergi sejauh seratus liga untuk menemui Guru Gotama, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Tetapi karena Guru Gotama telah mencapai Nibbāna akhir, maka kami berlindung pada Guru Gotama itu, dan kepada Dhamma, dan kepada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Udena mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.

33. “Sekarang, Guru Udena, Raja Anga memberikan persembahan harian kepadaku. Dari persembahan itu, izinkan aku memberikan persembahan rutin kepada Guru Udena.”

“Persembahan rutin apakah yang diberikan oleh Raja Anga kepadamu, Brahmana?”

“Lima ratus kahāpaṇa, Guru Udena.”

“Kami tidak diperbolehkan menerima emas dan uang, Brahmana.”

“Jika tidak diperbolehkan bagi Guru Udena, maka aku akan membangun sebuah vihara untuk Guru Udena.”

“Jika engkau ingin membangun sebuah vihara untukku, Brahmana, bangunlah sebuah aula untuk Sangha di Pāṭaliputta.”

“Aku bahkan menjadi lebih puas dan lebih senang dengan usul Guru Udena untuk memberikan persembahan kepada Sangha. Maka dengan persembahan rutin ini dan persembahan rutin lainnya, aku akan membangun sebuah aula untuk Sangha di Pāṭaliputta.”

Kemudian dengan persembahan rutin [yang ia persembahkan kepada Guru Udena] dan persembahan rutin lainnya [yang ditambahkan], Brahmana Ghoṭamukha membangun sebuah aula untuk Sangha di Pāṭaliputta. Dan sekarang dikenal sebagai Ghoṭamukhi.

259
11. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

Bagaimana menurutmu, Assalāyana? [152] Misalkan seorang raja mulia yang sah mengumpulkan di sini seratus orang yang berasal dari kelahiran berbeda dan berkata kepada mereka: ‘Tuan-tuan, silakan siapa pun juga di sini yang terlahir dalam keluarga mulia atau keluarga brahmana atau keluarga bangsawan mengambil sebatang kayu api kayu sāla, kayu salala, kayu cendana, [ ]atau kayu padumaka dan menyalakan api dan menghasilkan panas. Dan juga silakan siapa pun juga di sini yang terlahir dalam keluarga buangan, keluarga pemburu, keluarga pembuat keranjang, keluarga pembuat kereta, atau keluarga pemungut sampah, mengambil kayu dari tempat minum anjing, dari tempat makan babi, dari tempat sampah, atau dari kayu jarak dan menyalakan api dan menghasilkan panas.’

“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Ketika api dinyalakan dan panas dihasilkan oleh seseorang dalam kelompok pertama, apakah api itu memiliki kobaran, warna, dan cahaya, dan apakah mungkin untuk menggunakannya sebagai fungsi api, sementara ketika api dinyalakan dan panas dihasilkan oleh seseorang dari kelompok ke dua, api itu tidak memiliki kobaran, tanpa warna, dan tanpa cahaya, dan tidak mungkin menggunakannya sebagai fungsi api?”

“Tidak, Guru Gotama. Ketika api dinyalakan dan panas dihasilkan oleh seseorang dalam kelompok pertama, api itu memiliki kobaran, warna, dan cahaya, dan adalah mungkin untuk menggunakannya sebagai fungsi api. Dan api yang dinyalakan dan panas yang dihasilkan oleh seseorang dalam kelompok ke dua, api itu juga memiliki kobaran, warna, dan cahaya, dan adalah mungkin untuk menggunakannya sebagai fungsi api. Karena semua api memiliki kobaran, [153] warna, dan cahaya, dan adalah mungkin untuk menggunakannya sebagai fungsi api.”

“Kalau begitu, atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut:[ :] ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā[.]’?”

12. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seorang pemuda mulia hidup bersama dengan seorang gadis brahmana, dan seorang anak lahir dari mereka. Apakah anak yang terlahir dari pemuda brahmana dan gadis mulia itu disebut seorang mulia mengikuti sang ayah atau seorang brahmana mengikuti sang ibu?”

“Ia dapat disebut keduanya, Guru Gotama.”

13. “Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seorang pemuda brahmana hidup bersama dengan seorang gadis mulia, dan seorang anak lahir dari mereka. Apakah anak yang terlahir dari pemuda brahmana dan gadis mulia itu disebut seorang mulia mengikuti sang ibu atau seorang brahmana mengikuti sang ayah?”

“Ia dapat disebut keduanya, Guru Gotama.”

14. “Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seekor kuda betina dikawinkan dengan seekor keledai jantan, dan seekor anak kuda terlahir sebagai akibatnya. Apakah anak kuda itu disebut seekor kuda mengikuti sang ibu atau seekor keledai mengikuti sang ayah?”

“Itu adalah seekor bagal, Guru Gotama, karena anak kuda itu tidak berasal dari jenis mana pun. [154] Aku melihat perbedaan dalam kasus terakhir ini, tetapi aku tidak melihat perbedaan dalam kasus-kasus sebelumnya.”

15. Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan ada dua orang murid brahmana bersaudara, terlahir dari ibu yang sama, yang satu rajin belajar dan cerdas, dan yang lainnya tidak rajin belajar dan tidak cerdas. Yang manakah yang akan diberi makanan pertama kali oleh para brahmana pada suatu upacara pemakaman, atau pada suatu upacara persembahan nasi-susu, atau pada suatu upacara pengorbanan, atau pada suatu pesta menyambut tamu?”

“Pada kesempatan itu, para brahmana akan memberi makan pertama kali kepada seorang yang rajin belajar dan cerdas, Guru Gotama; karena bagaimana mungkin apa yang diberikan kepada seorang yang tidak rajin belajar dan tidak cerdas dapat menghasilkan buah besar?”

16. Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan ada dua orang murid brahmana bersaudara, terlahir dari ibu yang sama, yang satu rajin belajar dan cerdas tetapi tidak bermoral dan berkarakter buruk, dan yang lainnya tidak rajin belajar dan tidak cerdas, tetapi bermoral dan berkarakter baik. Yang manakah yang akan diberi makanan pertama kali oleh para brahmana pada suatu upacara pemakaman, atau pada suatu upacara persembahan nasi-susu, atau pada suatu upacara pengorbanan, atau pada suatu pesta menyambut tamu?”

“Pada kesempatan itu, para brahmana akan memberi makan pertama kali kepada seorang yang tidak rajin belajar dan tidak cerdas, tetapi bermoral dan berkarakter baik, Guru Gotama; karena bagaimana mungkin apa yang diberikan kepada seorang yang tidak bermoral dan berkarakter buruk dapat menghasilkan buah besar?”

17. “Pertama-tama, Assalāyana, engkau berpegang pada kelahiran, dan setelah itu engkau berpegang pada pembelajaran kitab-kitab, dan setelah itu engkau akhirnya berpegang pada landasan pemurnian bagi keseluruhan empat kasta, seperti yang Kujelaskan.”

Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Assalāyana duduk diam dan cemas, dengan bahu terkulai dan kepala menunduk, muram, dan tidak mampu menjawab. Mengetahui hal ini, Sang Bhagavā berkata kepadanya:

18. “Suatu ketika, Assalāyana, ketika tujuh petapa brahmana sedang berdiskusi di dalam sebuah gubuk daun di dalam hutan, pandangan sesat ini muncul pada mereka: ‘Para Brahmana adalah kasta tertinggi ... [155] ... pewaris Brahmā.’ Petapa Devala si Gelap mendengar hal ini.  Kemudian ia merapikan rambut dan janggutnya, mengenakan pakaian berwarna kuning, memakai sandal besar, dan memegang tongkat emas, ia muncul di halaman gubuk ketujuh petapa brahmana itu. Kemudian, selagi berjalan mondar-mandir di halaman gubuk ketujuh petapa brahmana itu, Petapa Devala si Gelap berkata sebagai berikut: ‘Ke manakah para petapa brahmana mulia itu pergi? Ke manakah para petapa brahmana mulia itu pergi?’ Kemudian ketujuh petapa brahmana itu berpikir: ‘Siapakah yang berjalan mondar-mandir di halaman gubuk ketujuh petapa brahmana seperti orang dusun dan mengatakan: “Ke manakah para petapa brahmana mulia itu pergi? Ke manakah para petapa brahmana mulia itu pergi?” mari kita mengutuknya!’ Kemudian ketujuh petapa brahmana itu mengutuk petapa Devala si Gelap sebagai berikut: ‘Jadilah abu, orang busuk! Jadilah abu, orang busuk!’ Tetapi semakin ketujuh petapa brahmana itu mengutuknya, Petapa Devala si Gelap itu [ ]menjadi semakin menarik dan tampan. Kemudian ketujuh petapa brahmana itu berpikir: ‘Pertapaan kami sia-sia, kehidupan suci kami tidak berbuah; karena sebelumnya jika kami mengutuk seseorang sebagai berikut: ‘Jadilah abu, orang busuk! Jadilah abu, orang busuk!’ maka ia pasti menjadi abu; tetapi semakin kami mengutuk orang ini, ia menjadi semakin menarik dan tampan.’

“‘Pertapaan kalian tidak sia-sia, Tuan-tuan, kehidupan suci kalian bukan tidak berbuah. Tetapi, Tuan-tuan, singkirkanlah kebencian kalian terhadapku.’ [156]

“‘Kami telah menyingkirkan kebencian kami terhadapmu, Tuan. Siapakah engkau?’

“‘Pernahkah kalian mendengar tentang Petapa Devala si Gelap, Tuan-tuan?’‘Pernah, Tuan.’Akulah Petapa si gelap itu, Tuan-tuan.’

“Kemudian ketujuh petapa brahmana itu mendatangi Petapa Devala si Gelap dan bersujud padanya. Kemudian ia berkata kepada mereka: ‘Tuan-tuan, aku mendengar ketika ketujuh petapa brahmana sedang berdiam di dalam gubuk daun di dalam hutan, pandangan sesat ini muncul pada mereka: “Para Brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.”’‘Demikianlah, Tuan.’

“‘Tetapi, Tuan-tuan, tahukah kalian bahwa ibu yang melahirkan kalian hanya menikah dengan seorang brahmana dan tidak pernah dengan seorang bukan brahmana?’‘Tidak, Tuan.’

“‘Tetapi, Tuan-tuan, tahukah kalian bahwa ibu dari ibu kalian sampai tujuh generasi sebelumnya hanya menikah dengan seorang brahmana dan tidak pernah dengan seorang bukan brahmana?’‘Tidak, Tuan.’

“‘Tetapi, Tuan-tuan, tahukah kalian bahwa ayah yang menurunkan kalian hanya menikah dengan seorang perempuan brahmana dan tidak pernah dengan seorang perempuan bukan brahmana?’‘Tidak, Tuan.’

“‘Tetapi, Tuan-tuan, tahukah kalian bahwa ayah dari ayah kalian sampai tujuh generasi sebelumnya hanya menikah dengan seorang perempuan brahmana dan tidak pernah dengan seorang perempuan bukan brahmana?’‘Tidak, Tuan.’

“‘Tetapi, Tuan-tuan, tahukah kalian bagaimana munculnya janin terjadi?’

“‘Tuan, kami mengetahui bagaimana munculnya janin terjadi. [157] Di sini, penyatuan ibu dan ayah, dan ibu sedang dalam masa subur, dan gandhabba hadir. Demikianlah munculnya janin terjadi melalui perpaduan ketiga hal ini.’

“‘Kalau begitu, Tuan-tuan, apakah kalian mengetahui dengan pasti apakah gandhabba itu adalah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?’

“‘Tuan, kami tidak mengetahui dengan pasti apakah gandhabba itu adalah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja.’

“‘Kalau begitu, Tuan-tuan, jadi siapakah kalian?’

“‘Kalau begitu, Tuan, kami tidak mengetahui siapa kami ini.’

“Sekarang, Assalāyana, bahkan ketujuh petapa brahmana itu, ketika ditekan dan dipertanyakan dan didebat oleh Petapa Devala si Gelap tentang pernyataan mereka sendiri sehubungan dengan kelahiran, tidak mampu mempertahankannya. Tetapi bagaimana mungkin engkau, ketika ditekan dan dipertanyakan dan didebat oleh-Ku tentang pernyataanmu sehubungan dengan kelahiran, mampu mempertahankannya? Engkau, yang mengandalkan doktrin-doktrin gurumu, [bahkan] tidak [sebanding dengan] Puṇṇa pemegang sendok mereka.”

19. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Assalāyana berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! ... (seperti Sutta 91, §37)  ... Mulai hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”

260
93  Assalāyana Sutta
Kepada Assalāyana


[147] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu, lima ratus brahmana dari berbagai provinsi sedang menetap di Sāvatthī untuk suatu urusan. Kemudian para brahmana itu berpikir: “Petapa Gotama ini menjelaskan pemurnian bagi seluruh empat kasta. [ ]Siapakah di sini yang mampu membantah-Nya atas pernyataan ini?”

3. Pada saat itu, seorang murid brahmana bernama Assalāyana sedang menetap di Sāvatthī. Muda, berkepala-gundul, berusia enam belas tahun, ia adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Kemudian para brahmana berpikir: “Ada seorang murid brahmana muda bernama Assalāyana yang sedang menetap di Sāvatthī. Muda ... mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Ia akan mampu berdebat dengan Petapa Gotama mengenai pernyataan ini.”

4. Maka para brahmana itu mendatangi murid brahmana Assalāyana dan berkata kepadanya: “Guru Assalāyana, Petapa Gotama ini menjelaskan pemurnian bagi seluruh empat kasta. Sudilah Guru Assalāyana pergi dan berdebat dengan Petapa Gotama mengenai pernyataan ini.”

Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Assalāyana menjawab: “Tuan-tuan, Petapa Gotama adalah seorang yang membicarakan Dhamma. Sekarang mereka yang membicarakan Dhamma adalah sulit untuk didebat. Aku tidak mampu mendebat Petapa Gotama mengenai pernyataan ini.”

Untuk ke dua kalinya para brahmana berkata kepadanya: “Guru Assalāyana, Petapa Gotama ini menjelaskan pemurnian bagi seluruh empat kasta. Sudilah Guru Assalāyana pergi dan berdebat dengan Petapa Gotama mengenai pernyataan ini. Karena latihan petapa pengembara telah diselesaikan oleh Guru Assalāyana[.]

Untuk ke dua kalinya murid brahmana Assalāyana menjawab: “Tuan-tuan, Petapa Gotama adalah seorang yang membicarakan Dhamma. Sekarang mereka yang membicarakan Dhamma adalah sulit untuk didebat. Aku tidak mampu mendebat Petapa Gotama mengenai pernyataan ini.”

Untuk ke tiga kalinya para brahmana berkata kepadanya: “Guru Assalāyana, Petapa Gotama ini menjelaskan pemurnian bagi seluruh empat kasta. Sudilah Guru Assalāyana pergi dan berdebat dengan Petapa Gotama mengenai pernyataan ini. Karena latihan petapa pengembara telah diselesaikan oleh Guru Assalāyana. Jangan sampai Guru Assalāyana kalah sebelum bertempur.”

Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Assalāyana menjawab: “Tentu saja, Tuan-tuan, aku belum selesai ketika aku mengatakan: ‘Petapa Gotama adalah seorang yang membicarakan Dhamma.’ Sekarang mereka yang membicarakan Dhamma adalah sulit untuk didebat. Aku tidak mampu mendebat Petapa Gotama mengenai pernyataan ini. Tetapi, Tuan-tuan, atas permintaan kalian, [ ]aku akan pergi.”

5. Kemudian murid brahmana Assalāyana pergi bersama dengan sejumlah besar para brahmana mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, para brahmana mengatakan sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi, para kasta lainnya adalah rendah; para brahmana adalah kasta yang paling cerah, para kasta lainnya adalah gelap; hanya para brahmana yang dimurnikan, bukan nonbrahmana; hanya para brahmana yang merupakan para putra Brahmā, keturunan Brahmā, lahir dari mulutnya, lahir dari Brahmā, diciptakan oleh Brahmā, pewaris Brahmā.’ Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal itu?”

“Sekarang, Assalāyana, para perempuan brahmana terlihat mengalami periode menstruasi, menjadi hamil, melahirkan, dan menyusui. [ ]Namun para brahmana itu, walaupun terlahir dari rahim, mengatakan sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... hanya para brahmana yang merupakan para putra Brahmā, keturunan Brahmā, lahir dari mulutnya, lahir dari Brahmā, diciptakan oleh Brahmā, pewaris Brahmā.’” [149]

6. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Pernahkah engkau mendengar bahwa Yona dan Kamboja [ ]dan di negeri asing lainnya terdapat hanya dua kasta, majikan dan budak, dan bahwa para majikan menjadi budak dan budak menjadi majikan?”

“Demikianlah yang kudengar, Tuan.”

“Kalau begitu, atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut:[ :] ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā[.]’?”

7. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

Bagaimana menurutmu, Assalāyana? [ ]Misalkan seorang mulia membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, berperilaku salah dalam kenikmatan indria, mengucapkan ucapan salah, mengucapkan ucapan jahat, bergosip, tamak, memiliki pikiran berniat-buruk, dan menganut pandangan salah. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah hanya ia [yang sewajarnya] muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di nerakadan bukan seorang brahmana? Misalkan seorang pedagang … seorang pekerja membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah hanya ia [yang sewajarnya] muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di nerakadan bukan seorang brahmana?”

“Tidak, Guru Gotama. Apakah ia adalah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerjamereka dari keempat kasta itu yang membunuh makhluk-makhluk hidup [150] … dan menganut pandangan salah, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah [sewajarnya] muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka.

“Kalau begitu, atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut:[ :] ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā[.]’?”

8. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Misalkan seorang brahmana menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari ucapan salah, menghindari ucapan jahat, menghindari ucapan kasar, dan menghindari gosip, dan tidak tamak, memiliki pikiran tanpa niat buruk, dan menganut pandangan benar. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, apakah ia [sewajarnya] muncul kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surgadan bukan seorang mulia, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?”

“Tidak, Guru Gotama. Apakah ia adalah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerjamereka dari keempat kasta itu yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah [sewajarnya] muncul kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga.”

“Kalau begitu, atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut:[ :] ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā[.]’?”

9. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, [151] tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Apakah hanya seorang brahmana yang mampu mengembangkan pikiran cinta kasih terhadap wilayah ini, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk, dan bukan seorang mulia, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?”

“Tidak, Guru Gotama. Apakah ia adalah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerjamereka dari keempat kasta itu mampu mengembangkan pikiran cinta kasih terhadap wilayah ini, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.”

“Kalau begitu, atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut:[ :] ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā[.]’?”

10. “Walaupun Guru Gotama mengatakan hal ini, tetapi para brahmana tetap berpikir sebagai berikut: ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā.’”

“Bagaimana menurutmu, Assalāyana? Apakah hanya seorang brahmana yang mampu membawa perlengkapan mandi dan bubuk mandi, pergi ke sungai, dan membersihkan diri dari debu dan kotoran, dan bukan seorang mulia, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?”

“Tidak, Guru Gotama. Apakah ia adalah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerjamereka dari keempat kasta itu mampu membawa perlengkapan mandi dan bubuk mandi, pergi ke sungai, dan membersihkan diri dari debu dan kotoran.”

“Kalau begitu, atas kekuatan [argumentasi] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah para brahmana dalam hal ini mengatakan sebagai berikut:[ :] ‘Para brahmana adalah kasta tertinggi ... pewaris Brahmā[.]’?”

261
16.  Sela
“O, yang sempurna tubuhnya, menarik,
Indah dan menyenangkan dipandang;
O, Sang Bhagavā, keemasan warna kulit-Mu,
Dan putih gigi-Mu; Engkau kuat.

Ciri-ciri yang terlihat seluruhnya
Yang membedakan seorang yang berkelahiran baik;
Semuanya terdapat pada tubuh-Mu,
Tanda-tanda ini mengungkapkan seorang Manusia Luar Biasa.

Dengan mata yang jernih, dengan wajah cerah,
Agung, tegak bagaikan kobaran api,
Di tengah-tengah sosok para petapa ini
Engkau bersinar bagaikan matahari yang menyala.

Seorang bhikkhu yang begitu indah dipandang
Dengan kulit yang berkilau keemasan
Dengan ketampanan yang begitu jarang terdapat, mengapa Engkau
Puas dengan kehidupan seorang petapa?

Engkau layak menjadi seorang raja, pemimpin barisan kereta,
Seorang raja yang memutar roda,
Seorang pemenang di empat penjuru
Dan pemimpin Hutan Pohon Jambu.

   Dengan para prajurit dan para pangeran mulia
   Semuanya mengabdi pada-Mu,
   O, Gotama, Engkau seharusnya berkuasa
   Sebagai pemimpin manusia, raja di atas segala raja.”

17. Buddha
   “Aku memang adalah seorang raja, O, Sela,”
   Sang Bhagavā menjawab.
   “Aku adalah raja Dhamma yang tertinggi;
   Dengan Dhamma Aku memutar roda,
   Roda yang tidak dapat dihentikan oleh siapa pun.”

18. Sela
   “Engkau mengaku tercerahkan sempurna,” Brahmana Sela berkata,
   “Engkau mengatakan kepadaku, O, Gotama,
   ‘Aku adalah raja Dhamma yang tertinggi;
   Dengan Dhamma Aku memutar roda.’

   Siapakah Jenderal-Mu, siswa-Mu
   Yang mengikuti dalam jalan Sang Guru?
   Siapakah yang membantu-Mu memutar
   Roda Dhamma yang Engkau putar?”

19. Buddha
   “Roda yang Kuputar,”
   Sang Bhagavā menjawab,
   “Roda Dhamma tertinggi yang sama itu,
   Sāriputta putra Sang Tathāgata
   membantu-Ku memutar roda ini.

   Apa yang harus diketahui telah diketahui secara langsung,
   Apa yang harus dikembangkan telah dikembangkan,
   Apa yang harus ditinggalkan telah ditinggalkan,
   Oleh karena itu, Brahmana, Aku adalah seorang Buddha.

   Maka singkirkanlah keragu-raguanmu pada-Ku
   Dan biarkan tekad muncul,
   Karena adalah sulit untuk menyaksikan
   Pemandangan Para Yang Tercerahkan. [110]

   Aku adalah seorang yang kehadirannya di dunia ini
   Adalah sangat jarang terjadi,
   Aku adalah Yang Tercerahkan Sempurna,
   Aku, O, Brahmana, adalah tabib tertinggi.

   Aku adalah Yang Suci, tanpa tandingan,
   Yang telah menggilas gerombolan Māra;
   Setelah mengalahkan semua musuh-Ku,
   Aku bergembira bebas dari ketakutan.”

20. Sela
   “O, Tuan-tuan, dengarkan ini, dengarkan apa yang Beliau katakan,
   Orang berpenglihatan, sang tabib,
   Pahlawan perkasa yang mengaum
   Bagaikan singa di dalam hutan.

   Siapakah, bahkan walaupun seorang yang berkelahiran hina,
   Yang tidak memercayainya ketika ia melihat
   Bahwa Beliau adalah Yang Suci, tanpa tandingan,
   Yang telah menggilas gerombolan Māra?

   Sekarang silakan mengikuti bagi yang menginginkan
   Dan yang tidak menginginkan, silakan pergi.
   Karena aku akan meninggalkan keduniawian di bawah Beliau,
   Orang ini yang berkebijaksanaan mulia.”

21. Murid-murid
   Jika, O, Tuan, sekarang engkau menyetujui
   Ajaran dari Yang Tercerahkan ini,
   Kami juga akan meninggalkan keduniawian di bawah Beliau,
   Orang ini yang berkebijaksanaan mulia.”

22. Sela
   “Ada tiga ratus brahmana di sini
   Yang dengan tangan teracung memohon:
   ‘O, semoga kami menjalani kehidupan suci
   Di bawah Engkau, O, Sang Bhagavā.’”

23. Buddha
   “Kehidupan suci telah dinyatakan dengan sempurna,
   O, Sela,” Sang Bhagavā berkata,
   “Terlihat di sini dan tidak tertunda;
   Seorang yang berlatih dengan tekun
   Akan memperoleh buah pelepasan keduniawian.”

24. Kemudian Brahmana Sela dan kelompoknya menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, dan mereka menerima penahbisan penuh.

25. Kemudian, ketika malam telah berlalu, si petapa berambut kusut Keṇiya mempersiapkan berbagai jenis makanan baik di pertapaannya [111] dan mengumumkan waktunya kepada Sang Bhagavā: “Sudah waktunya, Guru Gotama, makanan sudah siap.” Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, Beliau pergi bersama dengan Sangha para bhikkhu menuju pertapaan si petapa berambut kusut Keṇiya dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian, dengan kedua tangannya sendiri, si petapa berambut kusut melayani Sangha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sang Bhagavā dengan berbagai jenis makanan baik. Ketika Sang Bhagavā telah selesai makan dan telah menggeser mangkuk-Nya ke samping, si petapa berambut kusut mengambil bangku rendah dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā memberikan pemberkahan kepadanya dengan syair ini:

26.    “Persembahan yang terbakar adalah keagungan api,
   Sāvitri adalah keagungan syair pujian Veda,
   Seorang raja adalah keagungan manusia,
   Samudra adalah keagungan sungai yang mengalir;

   Bulan adalah keagungan bintang-bintang,
   Matahari adalah keagungan dari segala yang bersinar;
   Jasa adalah keagungan dari semua yang mengharapkannya;
   Sangha adalah keagungan dari mereka yang memberi.”

Setelah Sang Bhagavā memberikan berkah dengan syair-syair ini, Beliau bangkit dari duduknya dan pergi.

27. Kemudian tidak lama setelah penahbisan penuh mereka, dengan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan teguh, Yang Mulia Sela dan kelompoknya, [112] dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Mereka secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’ Dan Yang Mulia Sela dan kelompoknya menjadi para Arahant.

28. Kemudian Yang Mulia Sela dan kelompoknya menghadap Sang Bhagavā. Setelah mengatur jubah atasnya di salah satu bahunya, dengan merangkapkan tangannya sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā, ia berkata dalam syair sebagai berikut:

   “Delapan hari telah berlalu, Yang Maha-Melihat,
   Sejak kami berlindung pada-Mu.
   Dalam tujuh malam ini, O, Sang Bhagavā,
   Kami telah dijinakkan di dalam ajaran-Mu.

   Engkau adalah Sang Buddha, Engkau adalah Sang Guru,
   Engkau adalah Sang Bijaksana, penakluk Māra.
   Setelah memotong segala kecenderungan buruk,
   Engkau telah menyeberang dan menuntun umat manusia menyeberang.

   Engkau telah mengatasi segala perolehan,
   Engkau telah melenyapkan segala noda.
   Engkau adalah singa yang bebas dari kemelekatan,
   Engkau telah meninggalkan ketakutan dan kekhawatiran.

   Di sini ketiga ratus bhikkhu ini berdiri
   Dengan tangan dirangkapkan dalam penghormatan.
   O, Pahlawan, julurkanlah kaki-Mu,
   Dan izinkan makhluk-makhluk agung ini menyembah Sang Guru.”

262
92 Sela Sutta
Kepada Sela

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di negeri para Anguttarāpa bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu, [102] yang berjumlah seribu dua ratus lima puluh bhikkhu, dan akhirnya Beliau tiba di sebuah pemukiman Anguttarāpa bernama Āpaṇa.

2. Petapa berambut kusut Keṇiya mendengar: “Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengembara di negeri para Anguttarāpa bersama dengan sejumlah besar para bhikkhu, berjumlah seribu dua ratus lima puluh [103] [ ]bhikkhu, dan Beliau telah tiba di Āpaṇa. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut … (seperti Sutta 91, §3) … Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”

3. Kemudian petapa berambut kusut Keṇiya mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi. Sang Bhagavā memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakannya dengan khotbah Dhamma. Kemudian, setelah diberikan instruksi, didorong, dibangkitkan semangatnya, dan digembirakan oleh Sang Bhagavā dengan khotbah Dhamma, petapa berambut kusut Keṇiya berkata kepada Sang Bhagavā: “Sudilah Guru Gotama bersama dengan Sangha para bhikkhu menerima persembahan makanan dariku besok.”

Ketika hal ini dikatakan, Sang Bhagava berkata kepadanya: “Sangha para bhikkhu berjumlah besar, Keṇiya, [104] terdiri dari seribu dua ratus lima puluh bhikkhu, dan engkau berkeyakinan penuh pada para brahmana.”

Untuk ke dua kalinya petapa berambut kusut Keṇiya berkata kepada Sang Bhagavā: “Walaupun Sangha para bhikkhu berjumlah besar, Guru Gotama, terdiri dari seribu dua ratus lima puluh bhikkhu, dan walaupun aku berkeyakinan penuh pada para brahmana, namun sudilah Guru Gotama bersama dengan Sangha para bhikkhu menerima persembahan makanan dariku besok.” Untuk ke dua kalinya Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Sangha para bhikkhu berjumlah besar, Keṇiya …”

Untuk ke tiga kalinya petapa berambut kusut Keṇiya berkata kepada Sang Bhagavā: “Walaupun Sangha para bhikkhu berjumlah besar, Guru Gotama … namun sudilah Guru Gotama bersama dengan Sangha para bhikkhu menerima persembahan makanan dariku besok.” Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri.

4. Kemudian, setelah mengetahui bahwa Sang Bhagavā telah menerima, petapa berambut kusut Keṇiya bangkit dari duduknya dan kembali ke pertapaannya di mana ia berkata kepada teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya sebagai berikut: “Dengarkan aku, Tuan-tuan, teman-teman dan sahabatku, sanak saudara dan kerabatku. Petapa Gotama telah diundang olehku untuk menerima persembahan makanan dariku besok bersama dengan Sangha para bhikkhu. Lakukanlah pembelanjaan dan persiapan yang diperlukan untukku.”

“Baik, Tuan,” mereka menjawab, dan beberapa orang menggali lubang untuk membuat tungku, beberapa memotong kayu, beberapa mencuci piring, beberapa mempersiapkan kendi air, beberapa mempersiapkan tempat duduk, sementara si petapa berambut kusut Keṇiya sendiri mendirikan sebuah paviliun.

5. Pada saat itu, Brahmana Sela sedang menetap di Āpaṇa. [105] Ia adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa, dan sedang mengajarkan pembacaan syair puji-pujian kepada tiga ratus murid brahmana.

6. Ketika ia si petapa berambut kusut Keṇiya berkeyakinan penuh pada Brahmana Sela. Kemudian Brahmana Sela, sewaktu berjalan-jalan untuk berolahraga, mendatangi pertapaan si petapa berambut kusut Keṇiya. Di sana ia melihat beberapa orang menggali lubang untuk membuat tungku, beberapa memotong kayu, beberapa mencuci piring, beberapa mempersiapkan kendi air, beberapa mempersiapkan tempat duduk, sementara si petapa berambut kusut Keṇiya[ ]sendiri mendirikan sebuah paviliun.

7. Ketika ia melihat ini, ia bertanya kepada si petapa berambut kusut Keṇiya: “Apa? Apakah Guru Keṇiya akan mengadakan pesta perkawinan atau mengawinkan anaknya? Atau apakah akan mengadakan upacara pengorbanan besar? Atau apakah Raja Seniya Bimbisara dari Magadha telah diundang bersama dengan sejumlah besar pengikutnya untuk makan besok?”

8. “Aku tidak mengadakan pesta perkawinan atau mengawinkan anakku, Guru Sela, juga tidak mengundang Raja Seniya Bimbisara dari Magadha bersama dengan sejumlah besar pengikutnya untuk makan besok, tetapi aku merencanakan suatu pengorbanan besar. Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengembara di negeri para Anguttarāpa bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu, berjumlah seribu dua ratus lima puluh bhikkhu, dan telah sampai di Āpaṇa. [106] Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia. tercerahkan [Buddha], terberkahi.’ Beliau telah diundang olehku untuk menerima persembahan makanan besok bersama dengan Sangha para bhikkhu.”

9. “Apakah engkau mengatakan ‘Buddha’, Keṇiya?”

“Aku mengatakan ‘Buddha’, Sela.”

“Apakah engkau mengatakan ‘Buddha’, Keṇiya?”

“Aku mengatakan ‘Buddha’, Sela.”

10. Kemudian Brahmana Sela berpikir: “Bahkan kata ‘Buddha’ saja sulit terdengar di dunia ini. Sekarang tiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa telah diturunkan dalam syair-syair pujian kita, dan Manusia Luar Biasa yang memiliki tanda-tanda itu hanya memiliki dua takdir yang mungkin, tidak ada yang lain. Jika ia menjalani kehidupan rumah tangga, maka ia akan menjadi seorang Raja Pemutar-Roda, seorang raja yang adil yang memerintah sesuai Dhamma, penguasa keempat penjuru, maha-penakluk, yang telah menstabilkan negerinya dan memiliki tujuh pusaka. Ia memiliki tujuh pusaka ini: pusaka-roda, pusaka-gajah, pusaka-kuda, pusaka-permata, pusaka-perempuan, pusaka-pelayan, dan pusaka-penasihat sebagai yang ke tujuh. Anak-anaknya, yang lebih dari seribu, berani dan gagah perkasa, dan menggilas bala tentara lainnya; di seluruh bumi ini yang dibatasi oleh samudra, ia memerintah tanpa menggunakan tongkat, tanpa senjata, dengan menggunakan Dhamma. Tetapi jika ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, maka ia akan menjadi Yang Sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sempurna, yang menyingkapkan selubung dunia.”

11. [Ia berkata]: “Keṇiya yang baik, di manakah Guru Gotama, Yang Sempurna, Yang Tercerahkan Sempurna, sekarang menetap?”

Ketika hal ini dikatakan, si petapa berambut kusut Keṇiya merentangkan lengan kanannya dan berkata: [107] “Di sana, di mana batas hijau hutan terletak, Guru Sela.”

12. Kemudian Brahmana Sela pergi bersama tiga ratus murid brahmana mendatangi Sang Bhagavā. Ia berkata kepada para murid brahmana: “Berjalanlah dengan tenang, Tuan-tuan, melangkahlah dengan hati-hati; karena Para Bhagavā ini sulit didekati bagaikan singa yang mengembara sendirian. Ketika aku sedang berbicara dengan Petapa Gotama, jangan menyelaku, tetapi tunggulah hingga pembicaraan kami selesai.”

13. Kemudian Brahmana Sela mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan mencari ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh Sang Bhagavā. Ia melihat, lebih kurang, ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh Sang Bhagavā, kecuali dua; ia ragu dan bimbang mengenai dua dari tanda-tanda tersebut, dan ia tidak dapat menentukan dan memutuskannya: mengenai organ kelamin yang terselubung lapisan penutup dan mengenai besarnya lidah.

Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Brahmana Sela ini melihat, lebih kurang, ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh-Ku, kecuali dua; ia ragu dan bimbang mengenai dua dari tanda-tanda tersebut, dan ia tidak dapat menentukan dan memutuskannya: mengenai organ kelamin yang terselubung lapisan penutup dan mengenai besarnya lidah.”

14. Kemudian Sang Bhagavā mengerahkan kekuatan batin-Nya sehingga Brahmana BrahmāyuSela melihat bahwa organ kelamin Sang Bhagavā terselubung lapisan penutup. [108] Selanjutnya Sang Bhagavā menjulurkan lidah-Nya, dan Beliau berulang-ulang menyentuh kedua telinga-Nya dan kedua lubang hidung-Nya, dan Beliau menutupi seluruh kening-Nya dengan lidah-Nya.

15. Kemudian Brahmana Sela berpikir: “Petapa Gotama memiliki ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa; tanda-tanda itu lengkap, bukan tidak lengkap. Tetapi aku tidak tahu apakah Beliau adalah Buddha atau bukan. Akan tetapi, aku telah mendengar dari para para sesepuh brahmana yang lanjut usia yang berbicara menurut silsilah para guru bahwa mereka yang adalah Para Sempurna, Para Tercerahkan Sempurna, mengungkapkan diri mereka ketika puji-pujian diucapkan. Bagaimana jika aku memuji Petapa Gotama dengan syair-syair selayaknya.”

Kemudian ia memuji Sang Bhagava dengan syair-syair selayaknya.

263
Lanjutan Brahmayu Sutta
---------------------------

21. “Ketika Beliau telah kembali ke vihara, Beliau mengajarkan Dhamma kepada para hadirin. Beliau tidak menyanjung juga tidak mencela para hadirin; Beliau memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan para pendengar dengan khotbah yang hanya tentang Dhamma. Kata-kata yang keluar dari mulut-Nya memiliki delapan kualitas: jelas, dapat dipahami, berirama, dapat didengar, bergema, merdu, dalam, dan nyaring. Tetapi walaupun suaranya menjangkau keseluruhan pendengar, namun kata-katanya tidak keluar dari keseluruhan pendengar. Ketika orang-orang telah diberikan instruksi, didorong, dibangkitkan semangatnya, dan digembirakan oleh Beliau, mereka bangkit dari duduk dan pergi dengan menatap Beliau dan tidak mempedulikan hal lainnya.

22. “Kami telah melihat Guru Gotama berjalan, Tuan, kami telah melihat Beliau berdiri, kami telah melihat Beliau memasuki rumah, kami telah melihat Beliau di dalam rumah duduk dalam keheningan, kami telah melihat Beliau makan di dalam rumah. Kami telah melihat Beliau duduk diam setelah makan, kami telah melihat Beliau memberikan pemberkahan setelah makan, kami telah melihat Beliau kembali ke vihara, kami telah melihat Beliau di dalam vihara duduk dalam keheningan, kami telah melihat Beliau di dalam vihara mengajarkan Dhamma kepada para pendengar. Demikianlah Guru Gotama; demikianlah Beliau, dan lebih dari itu.”

23. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Brahmāyu bangkit dari duduknya, dan setelah mengatur jubah atasnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā dan mengucapkan seruan ini tiga kali: “Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Mungkin suatu saat kami dapat bertemu dengan Guru Gotama, mungkin kami dapat berbincang-bincang dengan Beliau.”

24. Kemudian, dalam pengembaraan-Nya, Sang Bhagavā akhirnya tiba di Mithilā. Di sana Sang Bhagavā menetap di Hutan Mangga Makhādeva. Para brahmana perumah tangga di Mithilā mendengar: [141] “Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengembara di Negeri Videha bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu, berjumlah lima ratus bhikkhu, dan sekarang Beliau telah tiba di Mithilā dan menetap di Hutan Mangga Makhādeva. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut … (seperti pada § 3 di atas) … Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”

25. Kemudian para brahmana perumah tangga di Mithilā mendatangi Sang Bhagavā. Beberapa bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, duduk di satu sisi; beberapa lainnya merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya menyebutkan nama dan suku mereka di hadapan Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa hanya berdiam diri dan duduk di satu sisi.

26. Brahmana Brahmāyu mendengar: “Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah tiba di Mithilā dan menetap di Hutan Mangga Makhādeva.”

Kemudian Brahmana Brahmāyu mendatangi Hutan Mangga Makhādeva bersama dengan sejumlah besar murid brahmana. “Tidaklah selayaknya bagiku untuk menemui Petapa Gotama tanpa terlebih dulu diperkenalkan.” Maka ia berkata kepada seorang murid brahmana: “Pergilah, Murid brahmana, temui Petapa Gotama dan tanyakan atas namaku apakah Beliau terbebas dari penyakit, apakah sehat, kuat dan berdiam dengan nyaman, dengan mengatakan: ‘Guru Gotama, Brahmana Brahmāyu menanyakan apakah Guru Gotama terbebas dari penyakit … dan berdiam dengan nyaman,’ dan katakan ini: ‘Brahmana Brahmāyu, Guru Gotama, sudah tua, jompo, terbebani tahun demi tahun, lanjut usia, dan sampai pada tahap akhir kehidupan; ia berusia seratus dua puluh tahun. Ia adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Dari semua brahmana perumah tangga di Mithilā, Brahmana Brahmāyu dinyatakan sebagai yang terkemuka di antara mereka dalam hal kekayaan, dalam hal pengetahuan syair puji-pujian, [142] dan dalam hal usia dan kemasyhuran. Ia ingin bertemu dengan Guru Gotama.’”

“Baik, Tuan,” murid brahmana itu menjawab. Ia mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah itu berakhir, ia berdiri di satu sisi dan menyampaikan pesannya. [Sang Bhagavā berkata:]

“Murid, silakan Brahmana Brahmāyu datang.”

27. Kemudian murid brahmana itu mendatangi Brahmana Brahmāyu dan berkata: “Izin telah diberikan oleh Petapa Gotama. Silakan engkau datang, Tuan.”

Maka Brahmana Brahmāyu mendatangi Sang Bhagavā. Dari kejauhan orang-orang yang berkumpul di sana melihat kedatangannya, dan seketika mereka memberi jalan kepadanya sebagai seorang yang terkenal dan termasyhur. Kemudian Brahmana Brahmāyu berkata kepada kumpulan itu: “Cukup, Tuan-tuan, silakan semuanya duduk. Aku akan duduk di sini di sebelah Petapa Gotama.”

28. Kemudian ia mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau, ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan mencari ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa dalam tubuh Sang Bhagavā. [143] Ia melihat, lebih kurang, ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh Sang Bhagavā, kecuali dua; ia ragu dan bimbang mengenai dua dari tanda-tanda tersebut, dan ia tidak dapat menentukan dan memutuskannya: mengenai organ kelamin yang terselubung lapisan penutup dan mengenai besarnya lidah.

29. Kemudian Brahmana Brahmāyu berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:

   “Tiga puluh dua tanda yang kupelajari
   Yang merupakan tanda-tanda seorang Manusia Luar Biasa
   Aku masih belum melihat dua tanda ini
   Pada tubuh-Mu, Gotama.
   Apakah yang seharusnya terbungkus kain
   Tersembunyi dalam lapisan penutup, Manusia tertinggi?
   Walaupun disebut dengan kata berjenis perempuan,
   Mungkinkah lidahmu adalah lidah laki-laki?
   Mungkinkah lidahmu juga lebar,
   Sesuai dengan apa yang telah kami pelajari?
   Sudilah memperlihatkannya sedikit
   Dan dengan demikian, O, Yang Bijaksana, mengobati keragu-raguan kami
   Demi kesejahteraan dalam kehidupan ini
   Dan kebahagiaan dalam kehidupan mendatang
   Dan sekarang kami menginginkan izin untuk bertanya
   Tentang sesuatu yang sangat ingin kami ketahui.”

30. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Brahmana Brahmāyu ini melihat, lebih kurang, ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh-Ku, kecuali dua; ia ragu dan bimbang mengenai dua dari tanda-tanda tersebut, dan ia tidak dapat menentukan dan memutuskannya: mengenai organ kelamin yang terselubung lapisan penutup dan mengenai besarnya lidah.”

Kemudian Sang Bhagavā mengerahkan kekuatan batin-Nya sehingga Brahmana Brahmāyu melihat bahwa organ kelamin Sang Bhagavā terselubung lapisan penutup. Selanjutnya Sang Bhagavā menjulurkan lidah-Nya, dan Beliau berulang-ulang menyentuh kedua telinga-Nya dan kedua lubang hidung-Nya, dan Beliau menutupi seluruh kening-Nya dengan lidah-Nya.

31. Kemudian Sang Bhagavā mengucapkan syair ini sebagai jawaban kepada Brahmana Brahmāyu:

   “Tiga puluh dua tanda yang engkau pelajari
   Yang merupakan tanda-tanda seorang Manusia Luar Biasa
   Semuanya dapat ditemukan pada tubuh-Ku:
   Oleh karena itu, Brahmana, janganlah engkau meragukan hal itu lagi.

   Apa yang harus diketahui telah Kuketahui secara langsung,
   Apa yang harus dikembangkan telah Kukembangkan,
   Apa yang harus ditinggalkan telah Kutinggalkan,
   Oleh karena itu, Brahmana, Aku adalah seorang Buddha.

   Demi kesejahteraan dalam kehidupan ini
   Dan kebahagiaan dalam kehidupan mendatang,
   Karena izin telah diberikan kepadamu, silakan engkau bertanya
   Tetang apa pun yang ingin engkau ketahui.”

32. Kemudian Brahmana Brahmāyu berpikir: “Izin telah diberikan kepadaku oleh Petapa Gotama. Apakah yang harus kutanyakan kepadanya: kebaikan dalam kehidupan ini atau kebaikan dalam kehidupan mendatang?” Kemudian ia berpikir: “Aku mahir dalam hal kebaikan dalam kehidupan ini, dan orang-orang lain juga bertanya kepadaku tentang kebaikan dalam kehidupan ini. Mengapa aku tidak menanyakan hanya tentang kebaikan dalam kehidupan mendatang?” Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:

   “Bagaimanakah seseorang menjadi seorang brahmana?
   Dan bagaimanakah ia mencapai pengetahuan?
   Bagaimanakah agar ia memiliki tiga pengetahuan?
   Dan bagaimanakah ia disebut seorang terpelajar suci?
   Bagaimanakah ia menjadi seorang Arahant?
   Dan bagaimanakah ia mencapai kesempurnaan?
   Bagaimanakah ia menjadi seorang yang hening?
   Dan bagaimanakah ia disebut seorang Buddha?”

33. Kemudian Sang Bhagavā menjawab dalam syair:

   “Yang mengetahui kehidupan-kehidupan lampaunya.
   Melihat surga dan alam-alam sengsara,
   Dan telah sampai pada hancurnya kelahiran
   Seorang bijaksana yang mengetahui melalui pengetahuan langsung,
   Yang mengetahui pikirannya murni,
   Sepenuhnya bebas dari segala nafsu.
   Yang telah meninggalkan kelahiran dan kematian,
   Yang sempurna dalam kehidupan suci,
   Yang melampaui segalanya
   Seorang yang seperti ini disebut seorang Buddha.”

34. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Brahmāyu bangkit dari duduknya, dan setelah mengatur jubah atasnya di salah satu bahunya, ia bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, dan ia membanjiri kaki Sang Bhagavā dengan ciuman dan mengusapnya dengan tangannya, memperkenalkan namanya: “Aku adalah Brahmana Brahmāyu, Guru Gotama; Aku adalah Brahmana Brahmāyu, Guru Gotama.”

35. Mereka yang berada dalam kumpulan itu merasa heran dan takjub, dan mereka berkata: “Sungguh mengagumkan, Tuan-tuan, sungguh menakjubkan, betapa besar kekuasaan dan kekuatan Petapa Gotama, karena Brahmana Brahmāyu yang terkenal dan termasyhur pun menunjukkan kerendahan hati seperti itu.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Brahmana Brahmāyu: [145] “Cukup, Brahmana, bangkitlah; duduklah di tempatmu karena pikiranmu telah berkeyakinan pada-Ku.”

Brahmana Brahmāyu kemudian bangkit dan duduk di tempat duduknya.

36. Kemudian Sang Bhagavā memberikan instruksi bertingkat kepadanya, [ ]yaitu, khotbah tentang berdana, khotbah tentang moralitas, khotbah tentang alam surga; Beliau menjelaskan bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kenikmatan indria dan berkah pelepasan keduniawian. Ketika Beliau mengetahui bahwa pikiran Brahmana Brahmāyu telah siap, bisa menerima, bebas dari rintangan, gembira, dan berkeyakinan, Beliau membabarkan kepadanya ajaran yang khas para Buddha: penderitaan, asal-mulanya, lenyapnya, dan sang jalan. Seperti halnya sehelai kain yang bersih dengan segala noda telah dihilangkan akan menerima warna dengan merata, demikian pula, selagi Brahmana Brahmāyu duduk di sana, penglihatan Dhamma yang bersih tanpa noda muncul padanya: “Segala sesuatu yang tunduk pada kemunculan juga tunduk pada kelenyapan.” Kemudian Brahmana Brahmāyu melihat Dhamma, mencapai Dhamma, memahami Dhamma, mengukur Dhamma; ia menyeberang melampaui keragu-raguan, menyingkirkan kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak tergantung pada orang lain dalam Pengajaran Sang Guru.

37. Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup. Sudilah Sang Bhagavā, bersama dengan Sangha para bhikkhu, menerima persembahan makanan dariku besok.”

Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri. Kemudian, setelah mengetahui bahwa Sang Bhagavā telah menerima, Brahmana Brahmāyu bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi.

38. Kemudian, ketika malam telah berlalu, Brahmana Brahmāyu mempersiapkan berbagai jenis makanan baik di tempat kediamannya, dan ia mengumumkan waktunya kepada Sang Bhagavā: “Sudah waktunya, Guru Gotama, makanan telah siap.” [146]

Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, Beliau pergi bersama dengan Sangha para bhikkhu menuju tempat kediaman Brahmana Brahmāyu dan duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian, selama satu minggu, dengan kedua tangannya sendiri, Brahmana Brahmāyu melayani Sangha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sang Buddha dengan berbagai jenis makanan baik.

39. Di akhir satu minggu tersebut, Sang Bhagavā melakukan perjalanan mengembara di Negeri Videha. Tidak lama setelah Beliau pergi, Brahmana Brahmāyu meninggal dunia. Kemudian sejumlah bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan berkata: “Yang Mulia, Brahmana Brahmāyu telah meninggal dunia. Apakah alam tujuan kelahirannya? Bagaimanakah perjalanannya di masa depan?”

“Para bhikkhu, Brahmana Brahmāyu bijaksana, ia memasuki jalan Dhamma, dan ia tidak menyulitkan Aku dalam mengartikan Dhamma. Dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, ia telah muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan akan mencapai Nibbāna akhir di sana, tanpa pernah kembali lagi dari alam itu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

264
91 Brahmāyu Sutta
Brahmāyu

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di Negeri Videha bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu, berjumlah lima ratus bhikkhu.

2. Pada saat itu, Brahmana Brahmāyu sedang menetap di Mithilā. Ia sudah tua, jompo, terbebani tahun demi tahun, lanjut usia, dan sampai pada tahap akhir kehidupan; ia berusia seratus dua puluh tahun. Ia adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa.

3. Brahmana Brahmāyu mendengar: “Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengembara di Negeri Videha bersama dengan sejumlah besar para bhikkhu, berjumlah lima ratus bhikkhu. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia. Beliau menyatakan kepada dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, kepada generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya, yang  telah Beliau tembus oleh diri-Nya sendiri dengan pengetahuan langsung. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, dan Beliau mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan sempurna sepenuhnya.’ Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.” [134]

4. Pada saat itu, Brahmana Brahmāyu memiliki seorang murid brahmana bernama Uttara yang menguasai Tiga Veda ... mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Ia berkata kepada muridnya: “Muridku Uttara, Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengembara di Negeri Videha bersama dengan sejumlah besar para bhikkhu, berjumlah lima ratus bhikkhu ... Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian. Pergilah, Muridku Uttara, temui Petapa Gotama dan lihat apakah berita yang menyebar tentangnya benar atau tidak, dan apakah Guru Gotama adalah seorang yang seperti ini atau bukan. Dengan demikian kami akan mengenal Guru Gotama melalui dirimu.”

5. “Tetapi bagaimanakah aku mengetahuinya, Tuan, apakah berita yang menyebar tentangnya benar atau tidak, dan apakah Guru Gotama adalah seorang yang seperti ini atau bukan?”

“Muridku Uttara, tiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa telah diturunkan dalam syair-syair pujian kita, dan Manusia Luar Biasa yang memiliki tanda-tanda itu hanya memiliki dua takdir yang mungkin, tidak ada yang lain. [ ]Jika ia menjalani kehidupan rumah tangga, maka ia akan menjadi seorang Raja Pemutar-Roda, seorang raja yang adil yang memerintah sesuai Dhamma, penguasa keempat penjuru, maha-penakluk, yang telah menstabilkan negerinya dan memiliki tujuh pusaka. Ia memiliki tujuh pusaka ini: Pusaka-roda, pusaka-gajah, pusaka-kuda, pusaka-permata, pusaka-perempuan, pusaka-pelayan, dan pusaka-penasihat sebagai yang ke tujuh.  Anak-anaknya, yang lebih dari seribu, berani dan gagah perkasa, dan menggilas bala tentara lainnya; di seluruh bumi ini yang dibatasi oleh samudra, ia memerintah tanpa menggunakan tongkat, tanpa senjata, dengan menggunakan Dhamma. Tetapi jika ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, maka ia akan menjadi Yang Sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sempurna, yang menyingkapkan selubung dunia. [ ]Tetapi aku, Muridku Uttara, adalah pemberi syair-syair pujian; engkau adalah penerimanya.”

6. “Baik, Tuan,” ia menjawab. Ia bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Brahmana Brahmāyu, dengan Brahmana Brahmāyu tetap di sisi kanannya, ia pergi menuju Negeri Videha, di mana Sang Bhagavā sedang mengembara. [135] Dengan berjalan secara bertahap, ia mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan mencari ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh Sang Bhagavā. Ia melihat, lebih kurang, ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh Sang Bhagavā, kecuali dua; ia ragu dan bimbang mengenai dua dari tanda-tanda tersebut, dan ia tidak dapat menentukan dan memutuskannya: mengenai organ kelamin yang terselubung lapisan penutup dan mengenai besarnya lidah.

Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Murid brahmana Uttara ini melihat, lebih kurang, ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa pada tubuh-Ku, kecuali dua; ia ragu dan bimbang mengenai dua dari tanda-tanda tersebut, dan ia tidak dapat menentukan dan memutuskannya: mengenai organ kelamin yang terselubung lapisan penutup dan mengenai besarnya lidah.”

7. Kemudian Sang Bhagavā mengerahkan kekuatan batin-Nya sehingga murid brahmana Uttara melihat bahwa organ kelamin Sang Bhagavā terselubung lapisan penutup. [ ]Selanjutnya Sang Bhagavā menjulurkan lidah-Nya, dan Beliau berulang-ulang menyentuh kedua telinga-Nya dan kedua lubang hidung-Nya, dan Beliau menutupi seluruh kening-Nya dengan lidah-Nya.

8. Kemudian murid brahmana Uttara berpikir: “Petapa Gotama memiliki ketiga puluh dua tanda seorang Manusia Luar Biasa. Bagaimana jika aku mengikuti Petapa Gotama dan mengamati perilakunya?”

Kemudian ia mengikuti Sang Bhagavā selama tujuh bulan bagaikan bayangan, tidak pernah meninggalkan-Nya. Di akhir tujuh bulan itu di Negeri Videha, ia melakukan perjalanan menuju Mithilā di mana Brahmana Brahmāyu berada. Ketika ia tiba, ia bersujud kepadanya dan duduk di satu sisi. Kemudian, Brahmana Brahmāyu bertanya kepadanya: “Baiklah, Muridku Uttara, apakah berita yang menyebar sehubungan dengan Petapa Gotama [136] benar atau tidak? Dan apakah Guru Gotama adalah seorang yang seperti ini atau bukan?”

9. “Berita yang menyebar sehubungan dengan Petapa Gotama adalah benar, Tuan, dan bukan sebaliknya; dan Guru Gotama adalah seorang yang seperti ini dan bukan sebaliknya. Beliau memiliki tiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa.

Guru Gotama menapakkan kakinya secara merataini adalah tanda seorang Manusia Luar Biasa dalam diri Guru Gotama.

Di telapak kaki-Nya terdapat roda-roda dengan seribu jeruji dan lingkar dan pusatnya semua lengkap …

Tumitnya menonjol …
Jari-jari tangan dan kakinya panjang …
Tangan dan kakinya lunak dan lembut …
Beliau memiliki tangan dan kaki dengan jaring-jaring …
Kakinya melengkung …
Kakinya seperti kaki kijang …

Jika ia berdiri tanpa membungkuk, kedua telapak tangan-Nya dapat menyentuh dan mengusap lutut-Nya …
Organ kelamin-Nya terselubung dalam lapisan penutup …
Beliau berwarna keemasan, kulit-Nya berkilau keemasan …
Kulit-Nya halus, dan karena kehalusan kulit-Nya, debu dan kotoran tidak menempel di tubuh-Nya …

Bulu badan-Nya tumbuh secara tunggal, sehelai bulu badan tumbuh pada setiap pori-pori-Nya …
Ujung bulu badan-Nya menghadap ke atas; bulu badan-Nya yang menghadap ke atas itu berwarna hitam-kebiruan, berwarna collyrium, keriting, dan melingkar ke kanan …
Beliau memiliki lengan dan kaki lurus bagaikan lengan dan kaki Brahmā …
Beliau memiliki tujuh bagian cembung …

Beliau memiliki batang-tubuh seekor singa …
Alur di antara kedua bahu-Nya terisi …
Beliau memiliki rentangan pohon banyan; rentang kedua lengan-Nya sama dengan tinggi badan-Nya, dan tinggi badan-Nya sama dengan rentang kedua lengan-Nya …

Leher dan bahu-Nya rata …
Kecapan-Nya sangat tajam …
Beliau memiliki rahang seperti singa … [137]
Beliau memiliki empat puluh gigi …
Gigi-gigi-Nya rata …
Gigi-gigi-Nya tanpa celah …
Gigi-gigi-Nya sangat putih …
Beliau memiliki lidah yang lebar …
Beliau memiliki suara surgawi, bagaikan kicauan burung Karavīka …
Mata-Nya biru gelap …
Beliau memiliki bulu mata seekor sapi …
Beliau memiliki rambut yang tumbuh di antara kedua alis mata-Nya, yang berwarna putih dengan kemilau katun yang halus …
Kepala-Nya berbentuk turbanini adalah tanda seorang Manusia Luar Biasa.

Guru Gotama memiliki ketiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa ini.

10. “Ketika Beliau berjalan, Beliau melangkahkan kaki kanan terlebih dulu. Beliau tidak melangkahkan kaki-Nya terlalu jauh atau terlalu dekat. Beliau tidak berjalan terlalu cepat juga tidak terlalu lambat. Beliau berjalan tanpa kedua lututnya saling beradu. Beliau berjalan tanpa mengangkat atau menurunkan paha-Nya, dan tanpa merapatkan atau merenggangkannya. Ketika Beliau berjalan, hanya bagian bawah tubuh-Nya yang bergerak, dan Beliau tidak berjalan dengan usaha tubuh-Nya. Ketika Beliau melihat ke belakang, Beliau melakukannya dengan seluruh tubuh-Nya. Beliau tidak melihat ke atas; Beliau tidak melihat ke bawah. Beliau tidak berjalan dengan melihat ke sekeliling. Beliau melihat sejauh panjang gandar-bajak di depan; di luar itu Beliau memiliki pengetahuan dan penglihatan yang tanpa halangan.

11. “Ketika Beliau memasuki rumah, Beliau tidak mengangkat atau menurunkan badan-Nya, atau membungkuk ke depan atau ke belakang. [138] Beliau berputar tidak terlalu jauh juga tidak terlalu dekat dari tempat duduk. Beliau tidak bersandar pada tempat duduk dengan tangan-Nya. Beliau tidak melemparkan badan-Nya ke tempat duduk.

12. “Ketika duduk di dalam rumah, Beliau tidak menggerak-gerakkan tangan-Nya karena gelisah. Beliau tidak menggerak-gerakkan kaki-Nya karena gelisah. Beliau tidak duduk dengan lutut bersilang. Beliau tidak duduk dengan pergelangan kaki bersilang. Beliau tidak duduk dengan bertopang dagu. Ketika duduk di dalam rumah, Beliau tidak takut, Beliau tidak menggigil dan gemetar, Beliau tidak gugup. Karena tidak takut, tidak menggigil atau gemetar atau gugup, Beliau tidak merinding dan Beliau mengarahkan perhatian pada keterasingan.

13. “Ketika Beliau menerima air untuk mencuci mangkuk-Nya, Beliau tidak mengangkat atau menurunkan mangkuk-Nya atau memiringkannya ke depan atau ke belakang. Beliau tidak menerima terlalu banyak atau terlalu sedikit air untuk mencuci mangkuk-Nya. Beliau mencuci mangkuk-Nya tanpa menimbulkan suara berkecipak. Beliau mencuci mangkuk-Nya tanpa membalikkannya. Beliau tidak meletakkan mangkuk-Nya di lantai untuk mencuci tangan-Nya: ketika mencuci tangan-Nya, mangkuk-Nya juga tercuci; dan ketika mencuci mangkuk-Nya, tangan-Nya juga tercuci. Beliau menuangkan air pencuci mangkuk dengan tidak terlalu jauh juga tidak terlalu dekat dan Beliau tidak menuangkannya ke sekeliling.

14. “Ketika Beliau menerima nasi, Beliau tidak mengangkat atau menurunkan mangkuk-Nya atau memiringkannya ke depan atau ke belakang. Beliau tidak menerima terlalu banyak atau terlalu sedikit nasi. Beliau menambahkan kuah dengan porsi selayaknya; Beliau tidak melebihi takaran yang seharusnya dalam suapannya. Beliau membalikkan suapan itu dua atau tiga kali di dalam mulut-Nya dan kemudian menelannya, dan tidak ada butiran nasi yang memasuki tubuh-Nya tanpa dikunyah, dan tidak ada butiran nasi yang tertinggal di mulut-Nya; kemudian Beliau mengambil suapan berikutnya. Beliau memakan makanan-Nya dengan mengalami rasanya, namun tanpa mengalami keserakahan akan rasanya. Makanan yang Beliau makan memiliki delapan faktor: bukan demi kesenangan juga bukan untuk mabuk juga bukan demi keindahan dan kemenarikan fisik, tetapi hanya demi ketahanan dan kelangsungan jasmani ini, untuk mengakhiri ketidaknyamanan, dan untuk membantu kehidupan suci; [139] Beliau mempertimbangkan: “Dengan demikian Aku akan menghilangkan perasaan lama tanpa memunculkan perasaan baru dan Aku akan sehat dan tanpa cela dan hidup dalam kenyamanan.”

15. “Ketika Beliau telah selesai makan dan menerima air untuk mencuci mangkuk-Nya, Beliau tidak mengangkat atau menurunkan mangkuk-Nya atau memiringkannya ke depan atau ke belakang. Beliau tidak menerima terlalu banyak atau terlalu sedikit air untuk mencuci mangkuk-Nya. Beliau mencuci mangkuk-Nya tanpa menimbulkan suara berkecipak. Beliau mencuci mangkuk-Nya tanpa membalikkannya. Beliau tidak meletakkan mangkuk-Nya di lantai untuk mencuci tangan-Nya: ketika mencuci tangan-Nya, mangkuk-Nya juga tercuci; dan ketika mencuci mangkuk-Nya, tangan-Nya juga tercuci. Beliau menuangkan air pencuci mangkuk dengan tidak terlalu jauh juga tidak terlalu dekat dan Beliau tidak menuangkannya ke sekeliling.

16. “Ketika Beliau telah selesai makan, Beliau meletakkan mangkuk-Nya di lantai tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat; dan Beliau sama sekali tidak mengabaikan mangkuk-Nya juga tidak terlalu mencemaskannya.

17. “Ketika Beliau telah selesai makan, Beliau duduk sebentar, tetapi tidak melewatkan waktu untuk memberikan pemberkahan. [ ]Ketika Beliau telah selesai makan dan memberikan berkah, Beliau tidak melakukannya dengan mengkritik makanan atau mengharapkan makanan lainnya; Beliau memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan para pendengar dengan khotbah yang hanya tentang Dhamma. Ketika Beliau telah melakukan semua itu, Beliau bangkit dari duduk-Nya dan pergi.

18. “Beliau tidak berjalan terlalu cepat atau terlalu lambat, dan Beliau tidak pergi bagaikan seorang yang ingin melarikan diri.

19. “Jubah-Nya tidak dikenakan terlalu tinggi atau terlalu rendah di badan-Nya, juga tidak terlalu ketat di badan-Nya, juga tidak terlalu longgar di badan-Nya, juga angin tidak meniup terbang jubah-Nya dari badan-Nya. Debu dan kotoran tidak mengotori badan-Nya.

20. “Ketika Beliau telah kembali ke vihara, Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Setelah duduk, Beliau mencuci kaki-Nya, walaupun Beliau tidak peduli dengan keindahan kaki-Nya. Setelah mencuci kaki-Nya, Beliau duduk bersila, menegakkan tubuh-Nya, dan menegakkan perhatian di depan-Nya. Beliau tidak memenuhi pikiran-Nya dengan penderitaan diri-Nya sendiri, atau penderitaan makhluk lain, atau penderitaan keduanya; Beliau duduk dengan pikiran terarah pada kesejahteraan diri sendiri, pada kesejahteraan makhluk lain, dan pada kesejahteraan keduanya, bahkan pada kesejahteraan seluruh dunia. [140]

--------------
Bersambung

265
90 Kaṇṇakatthala Sutta
Di Kaṇṇakatthala

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Ujuññā, di Taman Rusa Kaṇṇakatthala.

2. Pada saat itu, Raja Pasenadi dari Kosala telah tiba di Ujuññā untuk suatu urusan. [ ]Kemudian ia berkata kepada orangnya: “Pergilah, temui Sang Bhagavā dan bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kaki Beliau, dan tanyakan apakah Beliau terbebas dari penyakit, apakah sehat, kuat dan berdiam dengan nyaman, dengan mengatakan: ‘Yang Mulia, Raja Pasenadi dari Kosala bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, dan ia menanyakan apakah Sang Bhagavā terbebas dari penyakit … dan berdiam dengan nyaman.’ Kemudian katakan ini: ‘Yang Mulia, hari ini Raja Pasenadi dari Kosala akan menghadap Sang Bhagavā setelah ia sarapan pagi.’”

“Baik, Baginda,” orang itu menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan menyampaikan pesannya.

3. Dua bersaudari Somā dan Sakulā  mendengar: “Hari ini [126] Raja Pasenadi dari Kosala akan menghadap Sang Bhagavā setelah ia sarapan pagi.”

Kemudian, ketika makanan sedang dihidangkan, kedua bersaudari itu menghadap raja dan berkata: “Baginda, bersujudlah atas nama kami dengan kepalamu di kaki Sang Bhagavā, dan tanyakan apakah Beliau terbebas dari penyakit, apakah sehat, kuat, dan berdiam dengan nyaman, dengan mengatakan: ‘Yang Mulia, kedua bersaudari Somā dan Sakulā bersujud dengan kepala mereka di kaki Sang Bhagavā, dan mereka menanyakan apakah Sang Bhagavā terbebas dari penyakit … dan berdiam dengan nyaman.’”

4. Kemudian, ketika ia telah menyelesaikan sarapannya, Raja Pasenadi dari Kosala menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan menyampaikan pesan dari kedua bersaudari Somā dan Sakulā.

“Tetapi, Baginda, apakah kedua bersaudari Somā dan Sakulā tidak dapat mengutus utusan lain?”

“Yang Mulia, kedua bersaudari Somā dan Sakulā mendengar: ‘Hari ini Raja Pasenadi dari Kosala akan menghadap Sang Bhagavā setelah ia sarapan pagi.’ Kemudian, sewaktu makanan sedang dihidangkan, kedua bersaudari Somā dan Sakulā mendatangiku dan berkata: ‘Baginda, bersujudlah atas nama kami dengan kepalamu di kaki Sang Bhagavā, dan tanyakan apakah Beliau terbebas dari penyakit …  dan berdiam dengan nyaman.’”

“Semoga kedua bersaudari Somā dan Sakulā berbahagia, Baginda.”

5. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, aku telah mendengar sebagai berikut: ‘Petapa Gotama mengatakan: “Tidak ada petapa atau brahmana yang mahatahu dan maha-melihat, memiliki pengetahuan dan penglihatan lengkap; itu adalah tidak mungkin.” Yang Mulia, apakah mereka yang mengatakan demikian [127] mengatakan apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā, dan tidak salah memahami Beliau dengan apa yang berlawanan dengan fakta? Apakah mereka menjelaskan sesuai dengan Dhamma sedemikian sehingga tidak memberikan peluang bagi celaan yang dapat dengan benar disimpulkan dari pernyataan mereka?”

“Baginda, mereka yang mengatakan demikian tidak mengatakan apa yang telah dikatakan oleh-Ku, melainkan salah memahami-Ku dengan apa yang tidak benar dan berlawanan dengan fakta.”

6. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Jenderal Viḍūḍabha: “Jenderal, siapakah yang menyampaikan kisah ini ke istana?”

“Ia adalah Sañjaya, Baginda, brahmana dari suku Ākāsa.”

7. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala memanggil orangnya: “Pergilah, atas namaku beri tahulah Sañjaya, brahmana dari suku Ākāsa: ‘Yang Mulia, Raja Pasenadi dari Kosala memanggil engkau.’”

“Baik, Baginda,” orang itu menjawab. Ia mendatangi Sañjaya, brahmana dari suku Ākāsa, dan memberitahunya: “Yang Mulia, Raja Pasenadi dari Kosala memanggil engkau.”

8. Sementara itu, Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, mungkinkah sesuatu yang lain telah dikatakan oleh Sang Bhagavā dengan merujuk pada hal itu, dan seseorang memahaminya secara keliru? Bagaimanakah Sang Bhagavā ingat telah mengucapkan ucapan demikian?”

“Aku ingat pernah mengucapkan sebagai berikut, Baginda: ‘Tidak ada petapa atau brahmana yang mengetahui segalanya, yang melihat segalanya, secara bersamaan; itu adalah tidak mungkin.’”

“Apa yang Sang Bhagavā katakan cukup masuk akal, apa yang Sang Bhagavā katakan didukung oleh logika. ‘Tidak ada petapa atau brahmana [128] yang mengetahui segalanya, yang melihat segalanya, secara bersamaan; itu adalah tidak mungkin.’”

9. “Ada empat kasta ini, Yang Mulia: para mulia, para brahmana, para pedagang, dan para pekerja. Adakah perbedaan di antara mereka?”

“Ada empat kasta ini, Baginda: para mulia, para brahmana, para pedagang, dan para pekerja. Dua di antaranya, yaitu, para mulia dan para brahmana, dianggap lebih tinggi karena orang-orang menyembah mereka, bangkit untuk mereka, dan memberikan penghormatan dan pelayanan yang sopan kepada mereka.”

10. “Yang Mulia, aku tidak menanyakan tentang kehidupan sekarang; aku menanyakan tentang kehidupan mendatang. [ ]Ada empat kasta, Yang Mulia: para mulia, para brahmana, para pedagang, dan para pekerja. Adakah perbedaan di antara mereka?”

“Baginda, ada lima faktor usaha ini. [ ]Apakah lima ini? Di sini seorang bhikkhu memiliki keyakinan, ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā sempurna, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal segenap alam, pemimpin tanpa tandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.’ Kemudian ia bebas dari penyakit dan kesusahan, memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas melainkan menengah dan mampu menahankan tekanan usaha. Kemudian ia jujur dan tulus, dan memperlihatkan dirinya sebagaimana adanya kepada Guru dan teman-temannya dalam kehidupan suci. Kemudian ia bersemangat dalam meninggalkan kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan dalam mengusahakan kondisi-kondisi yang bermanfaat, mantap, mengerahkan usahanya dengan keteguhan dan tekun dalam melatih kondisi-kondisi yang bermanfaat. Kemudian ia bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan sehubungan dengan kemunculan  dan kelenyapan yang mulia dan menembus dan mengarah pada kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ini adalah lima faktor usaha.

“Ada empat kasta ini, Baginda: para mulia, para brahmana, para pedagang, dan para pekerja. Sekarang jika mereka memiliki kelima faktor usaha ini, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama.”

11. “Ada empat kasta ini, Yang Mulia: para mulia, para brahmana, para pedagang, [129] dan para pekerja. Sekarang jika mereka memiliki kelima faktor usaha ini, apakah ada perbedaan di antara mereka?”

“Di sini, Baginda, Aku katakan bahwa perbedaan di antara mereka terletak pada keberagaman usaha mereka. Misalkan terdapat dua ekor gajah yang dapat dijinakkan atau kuda yang dapat dijinakkan atau sapi yang dapat dijinakkan yang telah jinak dan disiplin, dan dua ekor gajah yang dapat dijinakkan atau kuda yang dapat dijinakkan atau sapi yang dapat dijinakkan yang belum jinak dan belum disiplin. Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah kedua ekor gajah yang dapat dijinakkan atau kuda yang dapat dijinakkan atau sapi yang dapat dijinakkan yang telah jinak dan disiplin, karena jinak, memiliki perilaku yang jinak, apakah mereka akan sampai pada tingkat yang jinak?

“Benar, Yang Mulia.”

“Dan apakah kedua ekor gajah yang dapat dijinakkan atau kuda yang dapat dijinakkan atau sapi yang dapat dijinakkan yang belum jinak dan belum disiplin, karena belum jinak, dapat memiliki perilaku yang jinak, seperti kedua ekor gajah yang dapat dijinakkan atau kuda yang dapat dijinakkan atau sapi yang dapat dijinakkan yang telah jinak dan disiplin?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Demikian pula, Baginda, tidaklah mungkin bahwa apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang memiliki keyakinan, yang bebas dari penyakit, yang jujur dan tulus, yang bersemangat, dan yang bijaksana, dapat dicapai oleh seseorang yang tidak memiliki keyakinan, yang memiliki penyakit, yang curang dan penuh tipuan, yang malas, dan yang tidak bijaksana.”

12. “Apa yang Sang Bhagavā katakan cukup masuk akal, apa yang Sang Bhagavā katakan didukung oleh logika.

“Ada empat kasta ini, Yang Mulia: para mulia, para brahmana, para pedagang, dan para pekerja. Sekarang jika mereka memiliki kelima faktor usaha ini, dan jika usaha mereka benar, apakah ada perbedaan di antara mereka dalam hal itu?”

“Di sini, Baginda, dalam hal ini Aku katakan bahwa di antara mereka tidak ada perbedaan, yaitu, antara kebebasan yang satu dengan kebebasan yang lainnya. Misalkan seseorang mengambil kayu sāka kering, menyalakan api, dan menghasilkan panas; dan kemudian seorang lainnya mengambil kayu sāla kering, menyalakan api, dan menghasilkan panas; [130] dan kemudian seorang lainnya lagi mengambil kayu mangga kering, menyalakan api, dan menghasilkan panas; dan kemudian seorang lainnya lagi mengambil kayu ara kering, menyalakan api, dan menghasilkan panas. Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah ada perbedaan antara api-api ini yang dinyalakan oleh jenis kayu yang berbeda-beda, yaitu, antara nyala api yang satu dengan nyala api yang lainnya, atau antara warna api yang satu dengan warna api lainnya, atau antara cahaya api yang satu dengan cahaya api lainnya?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Demikian pula, Baginda, ketika api [spiritual] dibangkitkan oleh kegigihan, dinyalakan oleh usaha, Aku katakan, tidak ada perbedaan, yaitu, antara kebebasan yang satu dengan kebebasan yang lainnya.”

13. “Apa yang Sang Bhagavā katakan cukup masuk akal, apa yang Sang Bhagavā katakan didukung oleh logika. Tetapi, Yang Mulia, bagaimanakah ini: apakah ada para dewa?”

“Mengapa engkau menanyakan itu, Baginda?”

“Yang Mulia, aku menanyakan apakah para dewa itu kembali di alam [manusia] ini atau tidak.”

“Baginda, para dewa yang masih tunduk pada niat buruk akan kembali ke alam [manusia] ini, para dewa yang tidak lagi tunduk pada niat buruk tidak akan kembali ke alam [manusia] ini.”

14. Ketika hal ini dikatakan, Jenderal Viḍūḍabha bertanya kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, dapatkah para dewa yang masih tunduk pada niat buruk dan kembali ke alam [manusia] ini menjatuhkan atau mengusir para dewa yang tidak lagi tunduk pada niat buruk dan tidak [ ]kembali ke alam [manusia] ini dari tempat itu?”

Kemudian Yang Mulia Ānanda berpikir: “Jenderal Viḍūḍabha ini adalah putra Raja Pasenadi dari Kosala, dan aku adalah putra Sang Bhagavā. Ini adalah waktunya bagi satu putra berbicara dengan putra lainnya.” Ia berkata kepada Jenderal Viḍūḍabha: “Jenderal, aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sebagai jawaban. Jawablah sesuai apa yang engkau anggap benar. Jenderal, bagaimanakah menurutmu? Terdapat seluruh wilayah kekuasaan Raja Pasenadi dari Kosala, di mana [131] ia berkuasa dan memerintah; sekarang dapatkah Raja Pasenadi dari Kosala menjatuhkan atau mengusir petapa atau brahmana mana pun dari tempat itu, tanpa memandang apakah petapa atau brahmana itu memiliki jasa kebajikan atau tidak dan apakah ia menjalani kehidupan suci atau tidak?”

“Ia dapat melakukannya, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Jenderal? [ ]Terdapat seluruh wilayah yang bukan kekuasaan Raja Pasenadi dari Kosala, di mana ia tidak berkuasa dan tidak memerintah; sekarang dapatkah Raja Pasenadi dari Kosala menjatuhkan atau mengusir petapa atau brahmana mana pun dari tempat itu, tanpa memandang apakah petapa atau brahmana itu memiliki jasa kebajikan atau tidak dan apakah ia menjalani kehidupan suci atau tidak?”

“Ia tidak dapat melakukannya, Yang Mulia.”

“Jenderal, bagaimana menurutmu? Pernahkah engkau mendengar tentang para dewa Tiga Puluh Tiga?”

“Ya, Yang Mulia, aku pernah mendengarnya. Dan Raja Pasenadi dari Kosala juga pernah mendengarnya.”

“Bagaimana menurutmu, Jenderal? Dapatkah Raja Pasenadi dari Kosala menjatuhkan atau mengusir para dewa Tiga Puluh Tiga dari tempat itu?”

“Yang Mulia, Raja Pasenadi dari Kosala bahkan tidak dapat melihat para dewa Tiga Puluh Tiga, jadi bagaimana mungkin ia menjatuhkan atau mengusir mereka dari tempat itu?

“Demikian pula, Jenderal, para dewa yang masih tunduk pada niat-buruk dan yang kembali ke alam [manusia] ini bahkan tidak dapat melihat para dewa yang tidak lagi tunduk pada niat-buruk dan yang tidak kembali lagi ke alam [manusia] ini; jadi bagaimana mungkin mereka menjatuhkan atau mengusir mereka dari tempat itu?

15. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala bertanya kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, siapakah nama bhikkhu ini?”

“Namanya adalah Ānanda, Baginda.”

“Sungguh ia adalah Ānanda (kegembiraan), Yang Mulia, dan ia tampak Ānanda. Apa [ ][132] yang Yang Mulia Ānanda katakan cukup masuk akal, apa yang ia katakan didukung oleh logika. Tetapi, Yang Mulia, apakah ada Brahmā?”

“Mengapa engkau menanyakan itu, Baginda?”

“Yang Mulia, aku menanyakan apakah Brahmā itu kembali di alam [manusia] ini atau tidak.”

“Baginda, Brahmā yang masih tunduk pada niat buruk akan kembali ke alam [manusia] ini, Brahmā yang tidak lagi tunduk pada niat buruk tidak akan kembali ke alam [manusia] ini.”

16. Kemudian seseorang mengumumkan kepada Raja Pasenadi dari Kosala: “Baginda, Sañjaya, brahmana dari suku Ākāsa, telah tiba.”

Raja Pasenadi dari Kosala bertanya kepada Sañjaya, brahmana dari suku Ākāsa: “Brahmana, siapakah yang menyampaikan kisah ini ke istana?”

“Baginda, ia adalah Jenderal Viḍūḍabha.”

Jenderal Viḍūḍabha berkata: “Baginda, Ia adalah Sañjaya, brahmana dari suku Ākāsa.”

17. Kemudian seseorang mengumumkan kepada Raja Pasenadi dari Kosala: “Baginda, sekarang waktunya untuk pergi.”

Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, kami telah menanyakan kepada Sang Bhagavā tentang kemahatahuan, dan Sang Bhagavā telah menjawab tentang kemahatahuan; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan kami puas. Kami telah menanyakan kepada Sang Bhagavā tentang pemurnian empat kasta, dan Sang Bhagavā telah menjawab tentang pemurnian empat kasta; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan kami puas. Kami telah menanyakan kepada Sang Bhagavā tentang para dewa, dan Sang Bhagavā telah menjawab tentang para dewa; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan kami puas. Kami telah menanyakan kepada Sang Bhagavā tentang para Brahmā, dan Sang Bhagavā telah menjawab tentang para Brahmā; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan kami puas. Apa pun yang kami tanyakan kepada Sang Bhagavā, telah dijawab oleh Sang Bhagavā; kami menyetujui dan menerima jawaban-jawaban itu. [133] Dan sekarang, Yang Mulia, kami pergi. Kami sibuk dan banyak yang harus dilakukan.”

Silakan engkau pergi, Baginda.”

18. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala, dengan merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi.

266
89 Dhammacetiya Sutta
Monumen Dhamma

[118] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Sakya di mana terdapat sebuah pemukiman Sakya bernama Medaḷumpa.

2. Pada saat itu, Raja Pasenadi dari Kosala telah tiba di Nagaraka untuk suatu urusan. Kemudian ia berkata kepada Dīgha Kārāyaṇa: [ ]Kārāyaṇa, siapkan kereta-kereta kerajaan. Mari kita pergi ke taman rekreasi untuk melihat pemandangan indah.”

“Baik, Baginda,” Dīgha Kārāyaṇa menjawab. Ketika kereta-kereta kerajaan telah siap, ia melaporkan kepada raja: “Baginda, kereta-kereta kerajaan telah siap untukmu. Silakan engkau berangkat.”

3. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala menaiki sebuah kereta kerajaan, dan disertai dengan kereta-kereta lainnya, ia berkendara keluar dari Nagaraka dengan kemegahan kerajaan dan bergerak menuju taman. Ia berkendara sejauh jalan yang dapat dilalui kereta-kereta dan kemudian turun dari keretanya dan memasuki taman dengan berjalan kaki.

4. Ketika ia berjalan-jalan di taman untuk berolahraga, Raja Pasenadi melihat bawah pepohonan yang indah dan memberikan inspirasi, tenang dan tidak terganggu oleh suara-suara, dengan atmosfer keheningan, jauh dari orang-orang, cocok untuk melatih diri. Pemandangan ini mengingatkannya pada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Bawah pepohonan ini indah dan memberikan inspirasi, tenang dan tidak terganggu oleh suara-suara, dengan atmosfer keheningan, jauh dari orang-orang, cocok untuk melatih diri, seperti tempat-tempat di mana kami biasanya memberi penghormatan kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna.” Kemudian ia memberitahukan apa yang telah ia pikirkan kepada Dīgha Kārāyaṇa dan bertanya: “Di manakah Beliau menetap saat ini, [119] Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna?”

5. “Ada, Baginda, sebuah pemukiman Sakya bernama Medaḷumpa. Sang Bhagava, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, saat ini menetap di sana.”

“Berapa jauhkah Nagaraka ke Medaḷumpa?”

“Tidak jauh, Baginda, tiga liga. [ ]Masih cukup siang untuk ke sana.”

“Kalau begitu, Kārāyaṇa, siapkan kereta-kereta kerajaan. Mari kita pergi menemui Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna.”

“Baik, Baginda,” ia menjawab. Ketika kereta-kereta kerajaan telah siap, ia melaporkan kepada raja: “Baginda, kereta-kereta kerajaan telah siap untukmu. Silakan engkau berangkat.”

6. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala menaiki sebuah kereta kerajaan, dan disertai dengan kereta-kereta lainnya, pergi dari Nagaraka menuju pemukiman Sakya di Medaḷumpa. Ia tiba di sana ketika hari masih siang dan melanjutkan perjalanan menuju taman. Ia berkendara sejauh jalan yang dapat dilalui kereta-kereta dan kemudian turun dari keretanya dan memasuki taman dengan berjalan kaki.

7. Pada saat itu, sejumlah bhikkhu sedang berjalan mondar-mandir di ruang terbuka. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala mendatangi mereka dan bertanya: “Para Mulia, di manakah Beliau berada saat ini, Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna? Kami ingin menemui Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna.”

8. “Itu adalah tempat kediaman Beliau, Baginda, yang pintunya tertutup. Pergilah ke sana dengan tenang, tanpa terburu-buru, masuki berandanya, berdehamlah, dan ketuk pintunya. Sang Bhagavā akan membukakan pintunya untukmu.” Raja Pasenadi menyerahkan pedang dan turbannya kepada Dīgha Kārāyaṇa di sana pada saat itu juga. Kemudian Dīgha Kārāyaṇa berpikir: “Raja akan melakukan pertemuan pribadi sekarang! Dan aku harus menunggu di sini sendirian!” [ ]Tanpa terburu-buru, Raja Pasenadi dengan tenang mendatangi kediaman dengan pintu tertutup itu, memasuki beranda, berdeham, dan mengetuk pintu. Sang Bhagavā membuka pintu.

9. Kemudian Raja Pasenadi [120] memasuki tempat kediaman itu. Bersujud dengan kepala di kaki Sang Bhagavā, ia membanjiri kaki Sang Bhagavā dengan ciuman dan mengusapnya dengan tangannya, memperkenalkan namanya: “Aku adalah Raja Pasenadi dari Kosala, Yang Mulia; aku adalah Raja Pasenadi dari Kosala, Yang Mulia.”

“Tetapi, Baginda, atas alasan apakah yang engkau lihat sehingga memberikan penghormatan yang begitu tinggi pada tubuh ini dan memperlihatkan persahabatan demikian?”

10. “Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’ Sekarang, Yang Mulia, aku melihat beberapa petapa dan brahmana yang menjalani kehidupan suci terbatas selama sepuluh tahun, dua puluh tahun, tiga puluh tahun, atau empat puluh tahun, dan kemudian belakangan aku melihat mereka berpenampilan rapi dan dengan hiasan indah, dengan rambut dan janggut tercukur rapi, menikmati dan memiliki lima utas kenikmatan indria. Tetapi di sini aku melihat para bhikkhu menjalani kehidupan yang murni dan sempurna selama mereka hidup dan bernapas. Sesungguhnya, aku tidak melihat ada kehidupan suci lainnya yang semurni dan sesempurna ini. Itulah sebabnya mengapa, Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’

11. “Kemudian, Yang Mulia, para raja bertengkar dengan para raja, para mulia dengan para mulia, para brahmana dengan para brahmana, para perumah tangga dengan para perumah tangga, ibu bertengkar dengan putranya, putra dengan ibunya, ayah dengan putranya, putra dengan ayahnya, saudara laki-laki bertengkar dengan saudara laki-laki, saudara laki-laki dengan saudara perempuan, saudara perempuan dengan saudara laki-laki, teman dengan teman. [ ]Tetapi di sini aku melihat para bhikkhu hidup dengan rukun, dengan saling menghargai, tanpa berselisih, bercampur bagaikan susu dan air, [121] saling melihat satu sama lain dengan tatapan ramah. Aku tidak melihat adanya kelompok lain dengan kerukunan demikian. Ini juga, Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’

12. “Kemudian, Yang Mulia, aku telah berjalan dan mengembara dari taman ke taman, dari kebun ke kebun. Di sana aku melihat beberapa petapa dan brahmana yang kurus, menyedihkan, buruk rupa, kekuningan, dengan urat menonjol keluar dari bagian-bagian tubuh mereka, sehingga orang-orang tidak ingin melihat mereka lagi. Aku berpikir: ‘Pasti para mulia ini tidak puas dalam menjalani kehidupan suci, atau mereka telah melakukan perbuatan jahat dan berusaha menyembunyikannya, mereka begitu kurus dan menyedihkan … sehingga orang-orang tidak ingin melihat mereka lagi. Aku mendatangi mereka dan bertanya: “Mengapakah kalian, Para mulia, begitu kurus dan menyedihkan … sehingga orang-orang tidak ingin melihat kalian lagi?’ Jawaban mereka adalah: ‘Ini adalah penyakit keluarga kami, Baginda.’ Tetapi di sini aku melihat para bhikkhu tersenyum dan ceria, gembira, bersukacita, indria-indria mereka segar, hidup dengan nyaman, tenang, hidup dari apa yang diberikan oleh orang lain, berdiam dengan pikiran [terasing] bagaikan pikiran rusa liar. Aku berpikir: ‘Pasti para mulia ini melihat kondisi bertahap dari keluhuran dalam Pengajaran Sang Bhagavā, karena mereka berdiam dengan tersenyum dan ceria … dengan pikiran [terasing] bagaikan pikiran rusa liar demikian.’ Ini juga, Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’

13. “Kemudian, Yang Mulia, sebagai seorang raja mulia yang sah, [122] aku dapat mengeksekusi mereka yang patut dieksekusi, menghukum mereka yang patut dihukum, mengusir mereka yang patut diusir. Namun ketika aku sedang duduk dalam persidangan, mereka menyelaku. Walaupun aku mengatakan: ‘Tuan-tuan, jangan menyelaku ketika aku sedang duduk dalam persidangan; tunggulah hingga pembicaraanku berakhir,’ mereka tetap menyelaku. Tetapi di sini aku melihat para bhikkhu sewaktu Sang Bhagavā sedang mengajarkan Dhamma [ ]kepada sekelompok yang terdiri dari beberapa ratus pengikut dan di sana bahkan tidak ada suara dari siswa Sang Bhagavā yang batuk atau berdeham. Suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengajarkan Dhamma kepada sekelompok beberapa ratus pengikut dan di sana seorang siswa berdeham. Kemudian salah satu temannya dalam kehidupan suci menyentuhnya dengan lututnya untuk mengisyaratkan: “Diamlah, Yang Mulia, jangan berisik; Sang Bhagavā, Sang Guru, sedang membabarkan Dhamma.” Aku berpikir: ‘Sungguh mengagumkan, sungguh menakjubkan bagaimana kelompok ini dapat begitu disiplin tanpa paksaan atau senjata!’ Ini juga, Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’

14. “Kemudian, Yang Mulia, aku telah melihat di sini para mulia terpelajar tertentu yang cerdas, berpengetahuan tentang doktrin-doktrin sekte lain, setajam ahli menembak pembelah rambut; [ ]mereka mengembara, membantah pandangan-pandangan sekte lain dengan ketajaman kecerdasan mereka. Ketika mereka mendengar: ‘Petapa Gotama akan mengunjungi desa atau pemukiman itu,’ mereka menyusun pertanyaan sebagai berikut: ‘Kami akan mendatangi Petapa Gotama dan mengajukan pertanyaan kepada Beliau. Jika Beliau ditanya seperti ini, Beliau akan menjawab seperti ini, dan kemudian kami akan membantah doktrinnya seperti ini; dan jika Beliau ditanya seperti itu, Beliau akan menjawab seperti itu, dan kemudian kami akan membantah doktrinnya seperti itu.’ Mereka mendengar: ‘Petapa Gotama akan mengunjungi desa atau pemukiman itu,’ mereka mendatangi Sang Bhagavā, dan Sang Bhagavā memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, [123] dan menggembirakan mereka dengan khotbah Dhamma. Setelah mereka menerima instruksi, didorong, dibangkitkan semangatnya, dan digembirakan oleh Sang Bhagavā dengan khotbah Dhamma, mereka tidak lagi berkeinginan untuk mengajukan pertanyaan, jadi bagaimana mereka dapat membantah doktrin Beliau? Pada kenyataannya, mereka justru menjadi siswa Beliau. Ini juga, Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’

15. “Kemudian, Yang Mulia, aku telah melihat di sini para brahmana terpelajar tertentu …

16. “Kemudian, Yang Mulia, aku telah melihat di sini para perumah tangga terpelajar tertentu …

17. “Kemudian, Yang Mulia, aku telah melihat di sini para petapa terpelajar tertentu … Mereka tidak lagi berkeinginan untuk mengajukan pertanyaan, jadi bagaimana mereka dapat membantah doktrin Beliau? Pada kenyataannya, mereka justru memohon agar Sang Bhagavā memperbolehkan mereka meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dan Beliau memberikan pelepasan keduniawian kepada mereka. Tidak lama setelah mereka meninggalkan keduniawian, dengan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun dan teguh, dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung mereka di sini dan saat ini juga masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh anggota-anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Mereka mengatakan sebagai berikut: ‘Kami nyaris tersesat, kami nyaris binasa, karena sebelumnya kami mengaku bahwa kami adalah para petapa walaupun kami bukanlah para petapa yang sesungguhnya; kami mengaku bahwa kami adalah para brahmana walaupun kami bukanlah para brahmana yang sesungguhnya; kami mengaku bahwa kami adalah para Arahant walaupun kami bukanlah para Arahant yang sesungguhnya. Tetapi sekarang kami adalah para petapa, sekarang kami adalah para brahmana, sekarang kami adalah para Arahant.’ Ini juga, Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’

18. “Kemudian, Yang Mulia, Isidatta dan Purāṇa,  kedua pengawasku, memakan makanan dariku dan menggunakan keretaku; aku memberikan penghidupan dan kemasyhuran kepada mereka. Namun walaupun demikian, mereka tidak memberikan penghormatan kepadaku [124] seperti yang mereka lakukan terhadap Sang Bhagavā. Suatu ketika aku pergi dengan memimpin bala tentaraku dan menguji kedua pengawasku, Isidatta dan Purāṇa, aku ditempatkan dalam suatu tempat yang sempit. Kemudian kedua pengawas ini, Isidatta dan Purāṇa, setelah membicarakan Dhamma semalam suntuk, berbaring dengan kepala mereka menghadap ke arah di mana mereka mendengar Sang Bhagavā berada dan dengan kaki mereka menghadap ke arahku. Aku berpikir: ‘Sungguh mengagumkan, sungguh menakjubkan! Kedua pengawasku ini, Isidatta dan Purāṇa, yang memakan makanan dariku dan menggunakan keretaku; aku memberikan penghidupan dan kemasyhuran kepada mereka. Namun walaupun demikian, mereka lebih menghormati Sang Bhagavā daripada aku. Pasti kedua orang baik ini melihat kondisi bertahap dari keluhuran dalam Pengajaran Sang Bhagavā.’ Ini juga, Yang Mulia, aku menyimpulkan menurut Dhamma tentang Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā telah mencapai Penerangan Sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang benar.’

19. “Kemudian, Yang Mulia, Sang Bhagavā berasal dari kasta mulia dan aku juga berasal dari kasta mulia; Sang Bhagavā adalah orang Kosala dan aku juga adalah orang Kosala; Sang Bhagavā berusia delapan puluh tahun dan aku juga berusia delapan puluh tahun. [ ]Karena hal itu, aku rasa adalah selayaknya memberikan penghormatan tertinggi kepada Sang Bhagavā dan menunjukkan persahabatan.

20. “Dan sekarang, Yang Mulia, kami pergi. Kami sibuk dan banyak yang harus dilakukan.”

Silakan engkau pergi, Baginda.”

Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi.

21. Kemudian segera setelah ia pergi, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, sebelum bangkit dari duduknya dan pergi, Raja Pasenadi ini telah mengucapkan monumen Dhamma. [ ]Pelajarilah monumen Dhamma ini, Para bhikkhu, kuasailah [125] monumen Dhamma ini; ingatlah monumen Dhamma. Monumen Dhamma sangat bermanfaat, Para bhikkhu, dan merupakan landasan kehidupan suci.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

267
88  Bāhitika Sutta
Mantel

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, pada suatu pagi, Yang Mulia Ānanda merapikan jubah, dan membawa jubah luarnya, pergi menuju Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ketika ia telah menerima dana makanan dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, ia pergi ke Taman Timur, menuju Istana Ibu Migāra, untuk melewatkan hari.

3. Pada saat itu, Raja Pasenadi dari Kosala sedang menunggang gajah Ekapuṇḍarika dan pergi keluar dari Sāvatthī di tengah hari. Dari kejauhan ia melihat kedatangan Yang Mulia Ānanda dan bertanya kepada menteri Sirivaḍḍha: “Bukankah itu adalah Yang Mulia Ānanda?”“Benar, Baginda, itu adalah Yang Mulia Ānanda.”

4. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala menyuruh orangnya: “Pergilah, temui Yang Mulia Ānanda dan bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kakinya, dengan mengatakan: ‘Yang Mulia, Raja Pasenadi dari Kosala bersujud dengan kepalanya di kaki Yang Mulia Ānanda.’ Kemudian katakan: ‘Yang Mulia, jika Yang Mulia Ānanda tidak memiliki urusan mendesak, mungkin Yang Mulia Ānanda sudi menunggu [113] sebentar, demi belas kasihan.’”

5. “Baik, Baginda,” orang itu menjawab, dan ia mendatangi Yang Mulia Ānanda, dan setelah bersujud kepadanya, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Yang Mulia, Raja Pasenadi dari Kosala bersujud dengan kepalanya di kaki Yang Mulia Ānanda dan ia mengatakan ini: [‘]Yang Mulia, jika Yang Mulia Ānanda tidak memiliki urusan mendesak, mungkin Yang Mulia Ānanda sudi menunggu sebentar, demi belas kasihan.’”

6. Yang Mulia Ānanda menerima dengan berdiam diri. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala menunggang gajahnya sejauh gajah itu dapat pergi, dan kemudian ia turun dan mendatangi Yang Mulia Ānanda dengan berjalan kaki. Setelah bersujud kepadanya, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda: [‘]Yang Mulia, jika Yang Mulia Ānanda tidak memiliki urusan mendesak, mungkin Yang Mulia Ānanda sudi mendatangi tepi Sungai Aciravati, demi belas kasihan.[’]

7. Yang Mulia Ānanda menerima dengan berdiam diri. Ia pergi ke tepi Sungai Aciravati dan duduk di bawah sebatang pohon di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala menunggang gajahnya sejauh gajah itu dapat pergi, dan kemudian ia turun dan mendatangi Yang Mulia Ānanda dengan berjalan kaki. Setelah bersujud kepadanya, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Ini, Yang Mulia, adalah permadani kulit gajah. Silakan Yang Mulia Ānanda duduk di sini.”

“Tidak perlu, Baginda, duduklah. Aku sudah duduk di alas dudukku sendiri.”

8. Raja Pasenadi dari Kosala duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan berkata: “Yang Mulia Ānanda, mungkinkah Sang Bhagavā berperilaku melalui jasmani sedemikian sehingga Beliau dapat dicela oleh para petapa dan brahmana?”

“Baginda, Sang Bhagavā tidak mungkin berperilaku melalui jasmani sedemikian sehingga Beliau dapat dicela oleh para petapa dan brahmana.” [114]

“Mungkinkah Sang Bhagavā berperilaku melalui ucapan … berperilaku melalui pikiran sedemikian sehingga Beliau dapat dicela oleh para petapa dan brahmana?”

“Baginda, Sang Bhagavā tidak mungkin berperilaku melalui ucapan … berperilaku melalui pikiran sedemikian sehingga Beliau dapat dicela oleh para petapa dan brahmana.”

9. “Sungguh mengagumkan, Yang Mulia, sungguh menakjubkan! Karena apa yang tidak mampu kami capai dengan sebuah pertanyaan telah dicapai oleh Yang Mulia Ānanda dengan jawaban atas pertanyaan tersebut. Kami tidak mengenali sesuatu yang tidak berharga dalam pujian dan celaan orang lain yang diucapkan oleh orang-orang dungu, yang mengucapkan dengan tanpa menyelidiki dan mengevaluasi; tetapi kami mengenalinya sebagai berharga pujian dan celaan orang-orang lain yang diucapkan oleh orang-orang bijaksana, cerdas dan pintar yang mengucapkan setelah menyelidiki dan mengevaluasi.

10. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana?”

“Segala perilaku jasmani yang tidak bermanfaat, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang tidak bermanfaat?”

Segala perilaku jasmani yang tercela, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang tercela?”

Segala perilaku jasmani yang membawa penderitaan, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang membawa penderitaan?”

Segala perilaku jasmani yang memiliki akibat menyakitkan, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia[,] Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang memiliki akibat menyakitkan?”

Segala perilaku jasmani, Baginda, yang mengarah menuju penderitaan diri sendiri, atau menuju penderitaan makhluk lain, atau menuju penderitaan keduanya, dan yang karenanya maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat menjadi bertambah, dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang. Perilaku jasmani demikian dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana, Baginda.”

11. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku ucapan apakah yang dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana?”

“Segala perilaku ucapan yang tidak bermanfaat ... (lengkap seperti §10, dengan menggantikan “perilaku jasmani” menjadi “perilaku ucapan”) ...”

12. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku pikiran apakah yang dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana?”

“Segala perilaku pikiran yang tidak bermanfaat ... (lengkap seperti §10, dengan menggantikan “perilaku jasmani” menjadi “perilaku pikiran”) [115] ...”

13. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, apakah Sang Bhagavā hanya memuji tindakan meninggalkan segala kondisi tidak bermanfaat?”

“Sang Tathāgata, Baginda, telah meninggalkan segala kondisi tidak bermanfaat dan Beliau memiliki kondisi-kondisi bermanfaat.”

14. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang tidak dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana?”

“Segala perilaku jasmani yang bermanfaat, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang bermanfaat?”

Segala perilaku jasmani yang tidak tercela, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang tidak tercela?”

Segala perilaku jasmani yang tidak membawa penderitaan, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang tidak membawa penderitaan?”

Segala perilaku jasmani yang memiliki akibat menyenangkan, Baginda.”

“Sekarang, Yang Mulia[,] Ānanda, jenis perilaku jasmani apakah yang memiliki akibat menyenangkan?”

Segala perilaku jasmani, Baginda, yang tidak mengarah menuju penderitaan diri sendiri, atau menuju penderitaan makhluk lain, atau menuju penderitaan keduanya, dan yang karenanya maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat menjadi berkurang, dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah. Perilaku jasmani demikian, Baginda, tidak dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana.”

15. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku ucapan apakah yang tidak dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana?”

“Segala perilaku ucapan yang bermanfaat ... (lengkap seperti §14, dengan menggantikan “perilaku jasmani” menjadi “perilaku ucapan”) ...”

16. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, jenis perilaku pikiran apakah yang tidak dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana?”

“Segala perilaku pikiran yang bermanfaat ... (lengkap seperti §14, dengan menggantikan “perilaku jasmani” menjadi “perilaku pikiran”) [116] ...”

17. “Sekarang, Yang Mulia Ānanda, apakah Sang Bhagavā hanya memuji tindakan mengembangkan segala kondisi bermanfaat?”

“Sang Tathāgata, Baginda, telah meninggalkan segala kondisi tidak bermanfaat dan Beliau memiliki kondisi-kondisi bermanfaat.”

18. “Sungguh mengagumkan, Yang Mulia, sungguh menakjubkan betapa baiknya hal itu diungkapkan oleh Yang Mulia Ānanda! Dan kami merasa puas dan senang dengan apa yang telah begitu baik diungkapkan olehnya. Yang Mulia, Dan kami begitu puas dan senang dengan apa yang telah begitu baik diungkapkan oleh Yang Mulia Ānanda sehingga jika pusaka-gajah boleh dipersembahkan untuknya, maka kami akan memberikannya kepadanya; jika pusaka-kuda boleh dipersembahkan untuknya, maka kami akan memberikannya kepadanya; jika anugerah desa boleh dipersembahkan untuknya, maka kami akan memberikannya kepadanya. Tetapi kami mengetahui, Yang mulia, bahwa hal-hal ini tidak boleh dipersembahkan kepada Yang Mulia Ānanda. Tetapi mantelku ini, [ ]Yang Mulia, yang dikirim kepadaku dalam payung kerajaan oleh Raja Ajāttasattu dari Magadha, enam belas lengan panjangnya dan delapan lengan lebarnya. Sudilah Yang Mulia Ānanda menerimanya demi belas kasihnya.”

“Tidak perlu, Baginda. Tiga jubahku sudah lengkap.” [117]

19. “Yang Mulia, Sungai Aciravati ini telah dilihat baik oleh Yang Mulia Ānanda maupun oleh kami sendiri ketika awan tebal menurunkan hujat lebat di gunung-gunung; kemudian Sungai Aciravati ini meluap di kedua tepinya. Demikian pula, Yang Mulia Ānanda dapat membuat tiga jubah dari mantel ini, dan ia dapat membagikan tiga jubahnya yang lama dengan teman-temannya dalam kehidupan suci. Dengan demikian, persembahan kami akan meluap. Yang Mulia, sudilah Yang Mulia Ānanda menerima mantel ini.”

20. Yang Mulia Ānanda menerima mantel itu. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala berkata: “Dan sekarang, Yang Mulia, kami pergi. Kami sibuk dan banyak yang harus kami lakukan.”

Silakan engkau pergi, Baginda.”

Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Ānanda, bangkit dari duduknya; dan setelah bersujud kepada Yang Mulia Ānanda, dengan Yang Mulia Ānanda tetap di sisi kanannya, ia pergi.

21. Kemudian segera setelah ia pergi, Yang Mulia Ānanda menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi, menceritakan keseluruhan percakapannya dengan Raja Pasenadi dari Kosala, dan mempersembahkan mantel itu kepada Sang Bhagavā.

22. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Sungguh suatu keuntungan, Para bhikkhu, bagi Raja Pasenadi dari Kosala, sungguh suatu keuntungan besar bagi Raja Pasenadi dari Kosala bahwa ia mendapat kesempatan bertemu dan bersujud kepada Ānanda.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

268
87  Piyajātika Sutta
Terlahir dari Mereka yang Disayangi

[106] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu, seorang putra tunggal tersayang dari seorang perumah tangga telah meninggal dunia[,]. Setelah kematian putranya, ia tidak lagi berkeinginan untuk bekerja ataupun makan. Ia terus-menerus pergi ke pekuburan dan menangis: “Putra tunggalku, di manakah engkau[ ]? Putra tunggalku, di manakah engkau[ ]?”

3. Kemudian perumah tangga itu mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Perumah tangga, indria-indriamu tidak seperti indria-indria mereka yang mengendalikan pikirannya. Indria-indriamu tidak sewajarnya.”

“Bagaimana mungkin indria-indriaku bisa sewajarnya, Yang Mulia? Karena putra tunggalku yang tersayang dan tercinta telah meninggal dunia. Sejak ia mati, aku tidak lagi berkeinginan untuk bekerja ataupun makan. Aku terus-menerus pergi ke pekuburan dan menangis: “Putra tunggalku, di manakah engkau[ ]? Putra tunggalku, di manakah engkau[ ]?”

“Demikianlah, Perumah tangga, demikianlah! Dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.”

“Yang Mulia, siapakah yang beranggapan bahwa dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi? Yang Mulia, kebahagiaan dan kegembiraan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.” Kemudian, karena tidak senang dengan kata-kata Sang Bhagavā, dengan tidak menyetujuinya, perumah tangga itu bangkit dari duduknya dan pergi.

4. Pada saat itu, beberapa orang penjudi sedang bermain dadu tidak jauh dari Sang Bhagavā. Kemudian perumah tangga itu mendatangi para penjudi itu dan berkata: “Baru saja, Tuan-tuan, [107] aku mendatangi Petapa Gotama, dan setelah bersujud kepada Beliau, aku duduk di satu sisi. Ketika aku telah melakukan demikian, Petapa Gotama berkata kepadaku: ‘Perumah tangga, indria-indriamu tidak seperti indria-indria mereka yang mengendalikan pikirannya.’ ... (ulangi keseluruhan percakapan seperti di atas) ... [‘]Yang Mulia, kebahagiaan dan kegembiraan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.[”][’] Kemudian, karena tidak senang dengan kata-kata Sang Bhagavā, dengan tidak menyetujuinya, aku bangkit dari dudukku dan pergi.”

“Demikianlah, Perumah tangga, demikianlah! Kebahagiaan dan kegembiraan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.”

Kemudian perumah tangga itu pergi dengan pikiran: “Aku sependapat dengan para penjudi itu.”

5. Akhirnya kisah ini sampai ke istana raja. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Ratu Mallikā: “Ini adalah apa yang telah dikatakan oleh Petapa Gotama, Mallikā: ‘Dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.’”

“Jika itu telah dikatakan oleh Sang Bhagavā, Baginda, maka demikianlah adanya.”

“Tidak peduli apa yang dikatakan oleh Petapa Gotama, Mallikā selalu memujinya sebagai berikut: ‘Jika itu telah dikatakan oleh Sang Bhagavā, Baginda, maka demikianlah adanya.’ Bagaikan seorang murid yang memuji apa pun yang dikatakan oleh gurunya kepadanya, dengan mengatakan: ‘Demikianlah, Guru, demikianlah!’; demikian pula Mallikā, tidak peduli apa yang dikatakan oleh Petapa Gotama, Mallikā selalu memujinya sebagai berikut: ‘Jika itu [108] telah dikatakan oleh Sang Bhagavā, Baginda, maka demikianlah adanya.’ Pergilah, Mallikā, pergilah engkau!”

6. Kemudian Ratu Mallikā berkata kepada Brahmana Nāḷijangha: “Pergilah, Brahmana, temui Sang Bhagavā dan bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kaki Beliau, dan tanyakan apakah Beliau bebas dari sakit dan apakah Beliau sehat, kuat, dan berdiam dengan nyaman, dengan mengatakan: [‘]Yang Mulia, Ratu Mallikā bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā dan menanyakan apakah Sang Bhagavā bebas dari sakit ... dan berdiam dengan nyaman.’ Kemudian katakan ini: ‘Yang Mulia, apakah kata-kata ini telah diucapkan oleh Sang Bhagavā: “Dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi[.]”?’ Dengarkanlah baik-baik apa jawaban Sang Bhagavā dan laporkanlah kepadaku; karena Sang Bhagavā tidak mengucapkan kebohongan.”

“Baik, Nyonya,” ia menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Guru Gotama, Ratu Mallikā bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā dan menanyakan apakah Sang Bhagavā bebas dari sakit ... dan berdiam dengan nyaman. Dan ia mengatakan ini: ‘Yang Mulia, apakah kata-kata ini telah diucapkan oleh Sang Bhagavā: “Dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi[.]”?’”

7. “Demikianlah, Brahmana, demikianlah! Dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.

8. “Dapat dipahami dari ini, Brahmana, bagaimana dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi. Suatu ketika di Sāvatthī yang sama ini ada seorang wanita yang ibunya meninggal dunia. Karena kematian ibunya, ia menjadi gila, menjadi tidak waras, dan berkeliaran dari jalan ke jalan dan dari persimpangan ke persimpangan, dengan mengatakan: ‘Apakah kalian melihat ibuku? Apakah kalian melihat ibuku?’ [109]

9-14. “Dan juga dapat dipahami dari ini, Brahmana, bagaimana dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi. Suatu ketika di Sāvatthī yang sama ini ada seorang wanita yang ayahnya meninggal dunia ... yang saudara laki-lakinya meninggal dunia ... yang saudara perempuannya meninggal dunia ... yang putranya meninggal dunia ... yang putrinya meninggal dunia ... yang suaminya meninggal dunia. Karena kematian suaminya, ia menjadi gila, menjadi tidak waras, dan berkeliaran dari jalan ke jalan dan dari persimpangan ke persimpangan, dengan mengatakan: ‘Apakah kalian melihat suamiku? Apakah kalian melihat suamiku?’

15-21. “Dan juga dapat dipahami dari ini, Brahmana, bagaimana dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi. Suatu ketika di Sāvatthī yang sama ini ada seorang laki-laki yang ibunya meninggal dunia ... yang ayahnya meninggal dunia ... yang saudara laki-lakinya meninggal dunia ... yang saudara perempuannya meninggal dunia ... yang putranya meninggal dunia ... yang putrinya meninggal dunia ... yang istrinya meninggal dunia. Karena kematian istrinya, ia menjadi gila, menjadi tidak waras, dan berkeliaran dari jalan ke jalan dan dari persimpangan ke persimpangan, dengan mengatakan: ‘Apakah kalian melihat istriku? Apakah kalian melihat istriku?’

22. “Dan juga dapat dipahami dari ini, Brahmana, bagaimana dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi. Suatu ketika di Sāvatthī yang sama ini ada seorang perempuan yang menetap bersama keluarga sanak saudaranya. Sanak saudaranya ingin menceraikan dirinya dari suaminya dan menyerahkan dirinya kepada orang yang tidak ia sukai. Kemudian perempuan itu berkata kepada suaminya: ‘Suamiku, sanak-saudaraku ingin menceraikan aku darimu dan menyerahkan aku kepada orang lain yang tidak aku sukai.’ Kemudian sang suami memotong perempuan itu menjadi dua [110] dan menusuk perutnya sendiri, dengan pikiran: ‘Kita akan bersama-sama lagi dalam kehidupan berikut.’ [Ini] Juga dapat dipahami dari ini, Brahmana, bagaimana dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.

23. Kemudian, dengan merasa senang dan gembira mendengarkan kata-kata Sang Bhagavā, Brahmana Nāḷijangha bangkit dari duduknya, menghadap Ratu Mallikā, dan melaporkan kepadanya seluruh percakapannya dengan Sang Bhagavā.

24. Kemudian Ratu Mallikā menghadap Raja Pasenadi dari Kosala dan bertanya: “Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah engkau menyayangi Putri Vajiri?”

“Tentu, Mallikā, aku menyayangi Putri Vajiri.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Jika perubahan [ ]terjadi pada Putri Vajiri, akankah dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan muncul pada dirimu?”

“Perubahan pada Putri Vajiri berarti perubahan dalam hidupku. Bagaimana mungkin dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan tidak muncul dalam diriku?”

“Adalah sehubungan dengan hal ini, Baginda, maka Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata: ‘Dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.’

25-28. “Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah engkau menyayangi Ratu Vāsabhā? … Apakah engkau menyayangi Jenderal Viḍūḍabha? … [111] … Apakah engkau menyayangiku? … Apakah engkau menyayangi Kāsi dan Kosala?”

“Tentu, Mallikā, aku menyayangi Kāsi dan Kosala. Kita berhutang pada Kāsi dan Kosala dalam hal bahwa kita menggunakan kayu cendana dan memakai kalung bunga, dupa, dan salep dari Kāsi[.]

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Jika perubahan terjadi pada Kāsi dan Kosala, akankah dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan muncul dalam dirimu?”

“Perubahan pada Kāsi dan Kosala berarti perubahan dalam hidupku. Bagaimana mungkin dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan tidak muncul dalam diriku?”

“Adalah sehubungan dengan hal ini, Baginda, maka Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata: ‘Dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan ditimbulkan dari mereka yang disayangi, muncul dari mereka yang disayangi.’”

29. “Sungguh mengagumkan, Mallikā, sungguh menakjubkan betapa jauhnya [112] Sang Bhagavā menembus dengan kebijaksanaan dan melihat dengan kebijaksanaan! Pergilah, Mallikā, ambilkan aku air pencuci.”

Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala bangkit dari duduknya, dan setelah membenahi jubah atasnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangannya sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā dan mengucapkan seruan ini tiga kali: “Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna!”

269
86  Angulimāla Sutta
Tentang Angulimāla

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu, terdapat seorang penjahat di wilayah kerajaan Raja Pasenadi dari Kosala bernama Angulimāla, yang adalah seorang pembunuh, dengan tangan darah, kejam, tanpa belas kasihan terhadap makhluk-makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, [98] dan wilayah-wilayah dihancurkan olehnya. Ia terus-menerus membunuh orang dan ia menggunakan jari korbannya sebagai kalung.

3. Kemudian, pada suatu pagi hari, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Setelah berkeliling menerima dana makanan di Sāvatthī dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, Beliau merapikan tempat tinggal-Nya, dan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, berjalan ke arah Angulimāla. Para penggembala sapi, penggembala kambing, pekerja-pekerja bajak, dan para pejalan kaki melihat Sang Bhagavā berjalan di jalan yang menuju Angulimāla dan berkata kepada Beliau: “Jangan melewati jalan ini, Petapa. Di jalan ini, ada penjahat bernama Angulimāla, yang adalah seorang pembunuh, dengan tangan darah, kejam, tanpa belas kasihan terhadap makhluk-makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, dan wilayah-wilayah dihancurkan olehnya. Ia terus-menerus membunuh orang dan ia menggunakan jari korbannya sebagai kalung. Orang-orang melewati jalan ini dalam rombongan berjumlah sepuluh, dua puluh, tiga puluh, dan bahkan empat puluh, tetapi mereka masih jatuh ke tangan Angulimāla.” Ketika ini diucapkan, Sang Bhagavā berlalu sambil berdiam diri.

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya para penggembala sapi, penggembala kambing, pekerja-pekerja bajak, dan para pejalan kaki melihat Sang Bhagavā berjalan di jalan yang menuju Angulimāla dan berkata kepada Sang Bhagavā, namun Sang Bhagavā tetap berlalu sambil berdiam diri.

4. Dari jauh penjahat Angulimāla melihat Sang Bhagavā datang. Ketika ia melihat Beliau, ia berpikir: “Sungguh menakjubkan, sungguh mengagumkan! Orang-orang melewati jalan ini dalam rombongan berjumlah sepuluh, dua puluh, [99] tiga puluh, dan bahkan empat puluh, tetapi mereka masih jatuh ke tanganku. Tetapi sekarang petapa ini datang sendirian, tanpa teman, seolah-olah memaksakan diri. Mengapa aku tidak mengambil nyawa petapa ini?” Angulimāla kemudian mengambil pedang dan tamengnya, mengikat busur dan sarung anak panah, dan mengikuti persis di belakang Sang Bhagavā.

5. Kemudian Sang Bhagavā mengerahkan kekuatan batin-Nya sehingga penjahat Angulimāla, walaupun berlari secepat yang ia mampu, namun tidak dapat mengejar Sang Bhagavā, yang berjalan dengan kecepatan biasa. Kemudian penjahat Angulimāla berpikir: “Sungguh menakjubkan, sungguh mengagumkan! Sebelumnya aku bahkan mampu mengejar gajah yang tercepat dan menangkapnya; aku bahkan mampu mengejar kuda yang tercepat dan menangkapnya; aku bahkan mampu mengejar kereta yang tercepat dan menangkapnya; aku bahkan mampu mengejar rusa yang tercepat dan menangkapnya; tetapi sekarang, walaupun aku berlari secepat yang aku mampu, namun tidak dapat mengejar Petapa ini, yang berjalan dengan kecepatan biasa!” Ia berhenti dan berteriak kepada Sang Bhagavā: “Berhenti, Petapa! Berhenti, Petapa!”

“Aku telah berhenti, Angulimāla, Engkau juga berhentilah.”

Kemudian Penjahat Angulimāla berpikir: “Para Petapa ini, putra-putra suku Sakya, mengatakan yang sebenarnya, menegaskan kebenaran; tetapi walaupun petapa ini masih berjalan, ia mengatakan: ‘Aku telah berhenti, Angulimāla, Engkau juga berhentilah.’ Aku akan menanyai petapa ini.”

6. Kemudian Penjahat Angulimāla berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair sebagai berikut:

“Selagi engkau berjalan, Petapa, engkau berkata bahwa engkau telah berhenti;
Tetapi sekarang, ketika aku telah berhenti, engkau berkata bahwa aku belum berhenti.
Aku bertanya kepadamu, O, Petapa, mengenai makna:
Bagaimanakah bahwa Engkau telah berhenti dan aku belum?”

“Angulimāla, Aku telah berhenti untuk selamanya,
Aku menghindari kekerasan terhadap makhluk-makhluk hidup;
Tetapi engkau tidak memiliki pengendalian terhadap segala sesuatu yang hidup:
Itulah mengapa Aku telah berhenti dan engkau belum.” [100]

O, setelah sekian lama Petapa ini, seorang bijaksana terhormat,
Telah datang ke hutan ini demi kesejahteraanku.
Setelah mendengar syair-Mu mengajarkan aku Dhamma,
Aku akan meninggalkan kejahatan selamanya.”

Setelah mengatakan hal itu, penjahat itu mengambil pedang dan senjata-senjatanya
Dan melemparkannya ke dalam celah dalam;
Sang penjahat menyembah kaki Yang Tertinggi,
Dan pada saat itu dan di tempat itu juga memohon penahbisan.

Yang Tercerahkan, Sang Bijaksana yang penuh belas kasih,
Sang Guru dunia bersama dengan [semua] dewa,
Berkata kepadanya, “Datanglah, Bhikkhu.”
Dan demikianlah ia menjadi seorang bhikkhu.

7. Kemudian Sang Bhagavā berjalan kembali ke Sāvatthī bersama dengan Angulimāla sebagai pelayan-Nya. Berjalan setahap demi setahap, akhirnya Beliau tiba di Sāvatthī, dan di sana Beliau menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

8. Pada saat itu, banyak orang berkumpul di gerbang istana dalam Raja Pasenadi, gaduh dan berisik, meneriakkan: “Baginda, Penjahat Angulimāla di wilayahmu; ia adalah seorang pembunuh, dengan tangan darah, kejam, tanpa belas kasihan terhadap makhluk-makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, dan wilayah-wilayah dihancurkan olehnya. Ia terus-menerus membunuh orang dan ia menggunakan jari korbannya sebagai kalung. Raja harus menangkapnya!”

9. Kemudian pada tengah hari itu, Raja Pasenadi dari Kosala keluar dari Sāvatthī bersama dengan lima ratus orang prajurit dan pergi menuju taman. Ia berkendara sejauh yang bisa dilalui keretanya, dan kemudian turun dari kereta dan melanjutkan dengan berjalan kaki menuju Sang Bhagavā. [101] Setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi, dan Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Ada apa, Baginda? Apakah Raja Seniya Bimbisara dari Magadha menyerangmu, atau para Licchavi dari Vesāli, atau raja-raja kejam lainnya?”

10. Yang Mulia, Raja Seniya Bimbisara dari Magadha tidak menyerangku, juga tidak para Licchavi dari Vesāli, juga tidak raja-raja kejam lainnya. Tetapi ada seorang penjahat di wilayahku bernama Angulimāla, yang adalah seorang pembunuh, dengan tangan darah, kejam, tanpa belas kasihan terhadap makhluk-makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, dan wilayah-wilayah dihancurkan olehnya. Ia terus-menerus membunuh orang dan ia menggunakan jari korbannya sebagai kalung. Aku tidak akan bisa menangkapnya, Yang Mulia.”

11. “Baginda, seandainya engkau melihat Angulimāla mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan duniawi dan menjalani kehidupan tanpa rumah; bahwa ia menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan dan menghindari ucapan salah; makan sekali sehari, dan hidup selibat, bermoral, bersikap baik. Jika engkau melihatnya demikian, bagaimanakah engkau memperlakukannya?”

“Yang Mulia, kami akan memberi hormat kepadanya, atau bangkit untuknya atau mengundangnya untuk duduk,[;] atau kami akan mengundangnya untuk menerima jubah, dana makanan, tempat peristirahatan, atau obat-obatan; atau kami akan menyediakan penjagaan, pertahanan, dan perlindungan. Tetapi, Yang Mulia, bagaimana mungkin seorang yang tidak bermoral demikian, seorang yang bersifat jahat, mungkin memiliki moralitas dan pengendalian seperti itu?”

12. Pada saat itu, Yang Mulia Angulimāla duduk tidak jauh dari Sang Bhagavā. Kemudian Sang Bhagavā merentangkan lengan kanannya dan berkata kepada Raja Pasenadi dari Kosala: “Baginda, inilah Angulimāla.”

Kemudian Raja Pasenadi ketakutan, gelisah, dan waswas. Mengetahui ini, Sang Bhagavā memberitahunya: “Jangan takut, Baginda, jangan takut. Tidak ada yang perlu engkau takutkan darinya.”

Kemudian rasa takut, [102] gelisah, dan waswas lenyap. Ia mendekati Yang Mulia Angulimāla dan berkata: “Yang Mulia, benarkah Yang Mulia adalah Angulimāla?”

“Benar, Baginda.”

“Yang Mulia, dari keluarga apakah ayah dari Yang Mulia? Dari keluarga apakah ibunya?”

“Ayahku adalah seorang Gagga, Baginda; ibuku adalah seorang Mantāṇi.”

“Semoga Yang Mulia Gagga Mantāṇiputta berdiam dengan nyaman. Aku akan menyediakan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan untuk Yang Mulia Gagga Mantāṇiputta.”

13. Yang Mulia Angulimāla sebelumnya adalah seorang penghuni hutan, pemakan dana makanan, pemakai jubah dari kain terbuang, dan membatasi dirinya dengan tiga jubah. Ia menjawab: “Cukup, Baginda, tiga jubahku sudah lengkap.”

Raja Pasenadi kemudian kembali ke Sang Bhagavā, dan setelah memberi hormat kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Sungguh menakjubkan, Yang Mulia, sungguh mengagumkan bagaimana Bhagavā menjinakkan yang belum jinak, membawa kedamaian bagi yang tidak damai, dan menuntun ke Nibbāna bagi mereka yang belum mencapai Nibbāna. Yang Mulia, kami sendiri tidak mampu menjinakkannya dengan kekerasan dan senjata[.], namun Sang Bhagavā menjinakkannya tanpa menggunakan kekerasan dan senjata. Dan sekarang, Yang Mulia, kami pamit. Kami sibuk dan banyak yang harus dikerjakan.”

Silakan pergi, Baginda.”

Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala bangkit dari duduknya, dan setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dan dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi.

14. Kemudian, pagi harinya, Yang Mulia Angulimāla merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ketika ia sedang berjalan untuk menerima dana makanan dari rumah ke rumah di Sāvatthī, ia menyaksikan seorang perempuan yang sedang kesulitan dan kesakitan melahirkan anaknya. [103] Ketika ia melihat hal itu, ia berpikir: “Betapa makhluk-makhluk menderita! Sungguh, betapa makhluk-makhluk menderita!”

Ketika ia telah berkeliling untuk menerima dana makanan di Sāvatthī dan telah kembali dari menerima dana makanan, setelah makan, ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Yang Mulia, pagi hari ini aku merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarku, pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ketika aku sedang berjalan untuk menerima dana makanan dari rumah ke rumah di Sāvatthī, aku menyaksikan seorang perempuan yang sedang kesulitan dan kesakitan melahirkan anaknya. Ketika aku melihat hal itu, aku berpikir: ‘Betapa makhluk-makhluk menderita! Sungguh, betapa makhluk-makhluk menderita!’”

15. “Kalau begitu, Angulimāla, pergilah ke Sāvatthī dan katakan kepada perempuan itu: ‘Saudari, sejak aku dilahirkan, aku tidak ingat bahwa aku pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga engkau sejahtera dan semoga bayimu sejahtera!’”

“Yang Mulia, bukankah dengan demikian aku mengatakan kebohongan dengan sengaja, karena aku telah dengan sengaja membunuh banyak makhluk hidup?”

“Kalau begitu, pergilah ke Sāvatthī dan katakan kepada perempuan itu: ‘Saudari, sejak aku terlahir mulia, aku tidak ingat bahwa aku pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga engkau sejahtera dan semoga bayimu sejahtera!’” 

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Angulimāla menjawab, dan setelah pergi ke Sāvatthī, ia berkata kepada perempuan itu: “Saudari, sejak aku terlahir mulia, aku tidak ingat bahwa aku pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga engkau sejahtera dan semoga bayimu sejahtera!” Kemudian perempuan itu dan bayinya selamat.

16. Tidak lama, berdiam sendirian, mengasingkan diri, rajin, tekun, dan teguh, Yang Mulia Angulimāla, dengan mengalami oleh dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini memasuki dan berdiam dalam tujuan tertinggi dari kehidupan suci yang dicari oleh anggota-anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ia mengetahui secara langsung: “‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.” [104] Dan Yang Mulia Angulimāla menjadi salah satu dari para Arahant.

17. [ ]Kemudian, pagi harinya, Yang Mulia Angulimāla merapikan jubah dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Pada saat itu, seseorang melemparkan segumpal tanah dan mengenai tubuh Yang Mulia Angulimāla, seorang lainnya melemparkan tongkat dan mengenai tubuhnya, dan seorang lainnya melemparkan pecahan tembikar dan mengenai tubuhnya. Kemudian, dengan darah mengucur dari kepalanya yang terluka, dengan mangkuk pecah, dan dengan jubah luar robek, Yang Mulia Angulimāla mendatangi Sang Bhagavā. Dari jauh Sang Bhagavā melihatnya datang dan berkata kepadanya: “Tahankanlah, Brahmana! Tahankanlah, Brahmana! Engkau mengalami di sini dan saat ini akibat dari perbuatanmu yang karenanya engkau seharusnya disiksa di neraka selama bertahun-tahun, selama ratusan tahun, selama ribuan tahun.”

18. Kemudian, selagi Yang Mulia Angulimāla sedang sendirian dalam keheningan mengalami kebahagiaan kebebasan, ia mengucapkan seruan berikut ini:

[ ]Siapa pun yang dulu hidup dalam kelengahan
Dan kemudian menjadi tidak lengah lagi,
Ia menerangi dunia ini
Bagaikan bulan yang bebas dari awan.

Yang melawan perbuatan jahat yang ia lakukan
Dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik,
Ia menerangi dunia ini
Bagaikan bulan yang bebas dari awan.

Bhikkhu muda yang mengabdikan
Usahanya pada Ajaran Sang Buddha
Ia menerangi dunia ini
Bagaikan bulan yang bebas dari awan.

Semoga musuh-musuhku mendengarkan Khotbah Dhamma
Semoga mereka mengabdi pada Ajaran Buddha
Semoga musuh-musuhku melayani orang-orang baik
Yang menuntun orang lain untuk menerima Dhamma

[105] Semoga musuh-musuhku memberikan telinga dari waktu ke waktu
Untuk mendengarkan Dhamma dari mereka yang membabarkan kesabaran,
Dan mereka yang membicarakan serta memuji kebajikan,
Dan semoga mereka melanjutkan perbuatan baik.

Karena pasti mereka tidak akan ingin mencelakaiku,
Juga mereka tidak berpikir untuk mencelakai makhluk lain,
Demikianlah mereka yang melindungi semua makhluk, lemah atau kuat,
Semoga mereka mencapai kedamaian yang tanpa banding.

Pembuat saluran menuntun air,
Pembuat anak panah meluruskan batang anak panah,
Tukang kayu meluruskan kayu,
Tetapi orang bijaksana menjinakkan dirinya sendiri.

Ada beberapa yang jinak dengan pukulan,
Beberapa dengan tongkat kendali dan beberapa dengan cambukan;
Tetapi aku dijinakkan oleh Orang
Yang tidak memiliki tongkat kayu atau senjata apa pun.

“Tanpa-bahaya” adalah nama yang kubawa,
Walaupun aku berbahaya di masa lalu.
Nama yang kubawa sekarang adalah benar:
Aku tidak menyakiti makhluk hidup sama sekali.

Dan walaupun aku pernah hidup sebagai penjahat
Yang dikenal sebagai si ‘Kalung-jari’,
Seorang yang terhanyutkan oleh banjir besar,
Aku berlindung pada Sang Buddha.

Dan walaupun aku pernah bertangan-darah
Dengan nama si ‘Kalung-jari’
Bertemu dengan perlindungan yang kutemukan:
Belenggu penjelmaan telah terpotong.

Walaupun aku melakukan banyak perbuatan yang mengarah
pada kelahiran kembali di alam rendah,
namun akibatnya telah mendatangiku sekarang,
dan karenanya aku makan bebas dari hutang.

Mereka adalah orang-orang dungu dan tidak berakal sehat
Yang menyerahkan diri mereka pada kelengahan,
Tetapi mereka yang bijaksana menjaga ketekunan
Dan memperlakukannya sebagai kebaikan yang terbesar.

Jangan menyerah pada kelengahan
Juga jangan mencari kegembiraan dalam kenikmatan indria,
Tetapi bermeditasilah dengan tekun
Agar dapat mencapai kebahagiaan sempurna.

Selamat datang pada pilihanku
Dan semoga tegak berdiri, tidak cacat
Dari semua ajaran yang dipelajari
Aku telah mendapatkan yang terbaik.

Selamat datang pada pilihanku
Dan semoga tegak berdiri, tidak cacat
Aku telah mencapai tiga pengetahuan
Dan telah menyelesaikan semua yang diajarkan oleh Sang Buddha.

270
85  Bodhirājakumāra Sutta
Kepada Pangeran Bodhi

[91] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Bhagga di Suṁsumāragira di Hutan Bhesakaḷā, Taman Rusa.

2. Pada saat itu, sebuah istana bernama Kokanada baru saja dibangun untuk Pangeran Bodhi, dan istana itu belum ditempati oleh petapa atau brahmana atau manusia mana pun juga.

3. Kemudian Pangeran Bodhi berkata kepada murid brahmana Sañjikāputta sebagai berikut: “Pergilah, Sañjikāputta, temui Sang Bhagavā dan bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kaki Beliau, dan tanyakan apakah Beliau terbebas dari penyakit, apakah sehat, kuat, dan berdiam dengan nyaman, dengan mengatakan: ‘Yang Mulia, Pangeran Bodhi bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, dan ia menanyakan apakah Sang Bhagavā terbebas dari penyakit … dan berdiam dengan nyaman.’ Kemudian katakan ini: ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā bersama dengan Sangha para bhikkhu menerima makanan besok dari Pangeran Bodhi.’”

“Baik, Tuan,” Sañjikāputta menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Guru Gotama, Pangeran Bodhi bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, dan ia menanyakan apakah Sang Bhagavā terbebas dari penyakit … dan berdiam dengan nyaman.’ Dan ia mengatakan ini: ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā bersama dengan Sangha para bhikkhu menerima makanan besok dari Pangeran Bodhi.’”

4. Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri. Kemudian, setelah mengetahui bahwa Sang Bhagavā telah menerima, Sañjikāputta bangkit dari duduknya, mendatangi Pangeran Bodhi, dan memberitahukan apa yang telah terjadi [92], dengan menambahkan: “Petapa Gotama telah menerima.”

5. Kemudian, ketika malam telah berlalu, Pangeran Bodhi mempersiapkan berbagai jenis makanan baik di tempat kediamannya, dan ia menutupi Istana Kokanada dengan kain putih hingga ke anak tangga terakhir. Kemudian ia berkata kepada murid brahmana Sañjikāputta sebagai berikut: “Pergilah, Sañjikāputta, temui Sang Bhagavā dan umumkan waktunya sebagai berikut: ‘Sudah waktunya, Yang Mulia, makanan telah siap.’”

“Baik, Tuan,” Sañjikāputta menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā dan mengumumkan bahwa waktunya telah tiba: “Sudah waktunya, Guru Gotama, makanan telah siap.”

6. Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, pergi ke kediaman Pangeran Bodhi.

7. Pada saat itu, Pangeran Bodhi sedang berdiri di serambi luar menunggu Sang Bhagavā. Ketika dari kejauhan ia melihat kedatangan Sang Bhagavā, ia keluar untuk menyambut dan bersujud kepada Beliau; dan kemudian, setelah mempersilakan Sang Bhagavā untuk mendahuluinya, ia berjalan menuju Istana Kokanada. Tetapi Sang Bhagavā berhenti di anak tangga paling bawah. Pangeran Bodhi berkata kepada Beliau: ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā menginjak kain ini, sudilah Yang Sempurna menginjak kain ini, hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama.” Ketika hal ini dikatakan, Sang Bhagavā berdiam diri.

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya Pangeran Bodhi berkata kepada Beliau: ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā menginjak kain ini, sudilah Yang Sempurna menginjak kain ini, hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama.”

Sang Bhagavā menatap Yang Mulia Ānanda. [93] Yang Mulia Ānanda berkata kepada Pangeran Bodhi: “Pangeran, singkirkanlah kain ini. Sang Bhagavā tidak akan menginjak sehelai kain; Sang Tathāgata memperhitungkan generasi mendatang.”

8. Maka Pangeran Bodhi memerintahkan agar kain itu disingkirkan, dan ia mempersiapkan tempat-tempat duduk di kamar atas Istana Kokanada. Sang Bhagavā dan Sangha para bhikkhu menaiki Istana Kokanada dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan.

9. Kemudian, dengan tangannya sendiri, Pangeran Bodhi melayani Sangha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sang Buddha dengan berbagai jenis makanan baik. Ketika Sang Bhagavā telah selesai makan dan telah menggeser mangkuk-Nya ke samping, Pangeran Bodhi mengambil bangku rendah, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, kami memiliki pikiran sebagai berikut: ‘Kenikmatan tidak dapat diperoleh melalui kenikmatan; kenikmatan harus diperoleh melalui kesakitan.’”

10. “Pangeran, sebelum pencerahan-Ku, sewaktu Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, Aku juga berpikir sebagai berikut: ‘Kenikmatan tidak dapat diperoleh melalui kenikmatan; kenikmatan harus diperoleh melalui kesakitan.’

11-14. “Belakangan, Pangeran, ketika Aku masih muda, seorang pemuda berambut hitam yang memiliki berkah kemudaan, dalam masa utama kehidupan … (seperti Sutta 36, §§15-17) … dan aku duduk di sana berpikir: ‘Ini akan membantu usaha.’

15-42. “Saat itu, tiga perumpamaan muncul pada-Ku secara spontan, yang belum pernah terdengar sebelumnya ... (seperti Sutta 36, §§17-44, tetapi dalam sutta sekarang ini dalam §§18-23 – bersesuaian dengan §§20-25 dari Sutta 36 – kalimat “Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul pada-Ku tidak menyerbu batin-Ku dan tidak menetap di sana” tidak muncul; dan di sutta yang sekarang ini pada §§37, 39 dan 42 – bersesuaian dengan §§39, 41 dan 44 dari Sutta 36 – kalimat “Tetapi perasaan menyenangkan demikian yang muncul pada-Ku tidak menyerbu batin-Ku dan tidak menetap di sana” tidak muncul) … seperti yang terjadi dalam diri seseorang yang berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh.

45-53. “Aku merenungkan: ‘Dhamma ini yang telah Kucapai sungguh mendalam’ … (seperti Sutta 26, §§19-29) [94] … dan kami berenam bertahan hidup dari apa yang dibawa kembali oleh kedua bhikkhu dari perjalanan mereka menerima dana makanan.

54. “Kemudian para bhikkhu dari kelompok lima, tidak lama setelah diajari dan diberikan instruksi oleh-Ku, dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

55. Ketika hal ini dikatakan, Pangeran Bodhi berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, ketika seorang bhikkhu menemukan Sang Tathāgata untuk mendisiplinkannya, berapa lamakah hingga dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci itu yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Sehubungan dengan hal itu, Pangeran, Aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sebagai jawaban. Jawablah dengan apa yang menurutmu benar. Bagaimana menurutmu, Pangeran? Apakah engkau mahir dalam seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah?”

“Benar, Yang Mulia.”

56. “Bagaimana menurutmu, Pangeran? Misalkan seseorang datang ke sini dengan pikiran: ‘Pangeran Bodhi mengetahui seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah; aku akan mempelajari seni itu darinya.’ Jika ia tidak memiliki keyakinan, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang memiliki keyakinan; Jika ia memiliki penyakit, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bebas dari penyakit; jika ia curang dan penuh tipuan, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang jujur dan tulus; jika ia malas, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bersemangat; jika ia tidak bijaksana, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bijaksana. Bagaimana menurutmu, Pangeran? Dapatkah orang itu mempelajari darimu seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah?”

“Yang Mulia, bahkan jika ia memiliki salah satu kekurangan itu, maka ia tidak akan dapat mempelajarinya dariku, apa lagi lima?”

57. “Bagaimana menurutmu, Pangeran? Misalkan seseorang datang ke sini dengan pikiran: [95] ‘Pangeran Bodhi mengetahui seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah; aku akan mempelajari seni itu darinya.’ Jika ia memiliki keyakinan, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang memiliki keyakinan; Jika ia bebas dari penyakit, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bebas dari penyakit; jika ia jujur dan tulus, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang jujur dan tulus; jika ia bersemangat, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bersemangat; jika ia  bijaksana, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bijaksana. Bagaimana menurutmu, Pangeran? Dapatkah orang itu mempelajari darimu seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah?”

“Yang Mulia, bahkan jika ia memiliki salah satu kualitas itu, maka ia akan dapat mempelajarinya dariku, apa lagi lima?”
 
58. “Demikian pula, Pangeran, terdapat lima faktor usaha. Apakah lima ini? Di sini seorang bhikkhu memiliki keyakinan, ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā sempurna, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal segenap alam, pemimpin tanpa tandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.’

“Kemudian ia bebas dari penyakit dan kesusahan, memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas melainkan menengah dan mampu menahankan tekanan usaha.

“Kemudian ia jujur dan tulus, dan memperlihatkan dirinya sebagaimana adanya kepada Guru dan teman-temannya dalam kehidupan suci.

“Kemudian ia bersemangat dalam meninggalkan kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan dalam mengusahakan kondisi-kondisi yang bermanfaat, mantap, mengerahkan usahanya dengan keteguhan dan tekun dalam melatih kondisi-kondisi yang bermanfaat.

“Kemudian ia bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan sehubungan dengan kemunculan [ ]dan kelenyapan yang mulia dan menembus dan mengarah pada kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ini adalah lima faktor usaha.

59. “Pangeran, ketika seorang bhikkhu yang memiliki kelima faktor usaha ini menemukan Sang Tathāgata untuk mendisiplinkannya, ia mungkin berdiam selama tujuh tahun hingga dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci itu yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. [96]

“Jangankan tujuh tahun, Pangeran. Ketika seorang bhikkhu yang memiliki kelima faktor usaha ini menemukan Sang Tathāgata untuk mendisiplinkannya, ia mungkin berdiam selama enam tahun ... lima tahun ... empat tahun ... tiga tahun ... dua tahun ... satu tahun ... Jangankan satu tahun, Pangeran, ... ia mungkin berdiam selama tujuh bulan ... enam bulan ... lima bulan ... empat bulan ... tiga bulan ... dua bulan ... satu bulan ... setengah bulan ... Jangankan setengah bulan, Pangeran, ... ia mungkin berdiam selama tujuh hari tujuh malam ... enam hari enam malam ... lima hari lima malam ... empat hari empat malam ... tiga hari tiga malam ... dua hari dua malam ... dan sehari semalam.

“Jangankan sehari semalam, Pangeran. Ketika seorang bhikkhu yang memiliki kelima faktor usaha ini menemukan Sang Tathāgata untuk mendisiplinkannya, maka dengan diberikan instruksi pada malam hari, ia mungkin mencapai kemuliaan di pagi hari; dengan diberikan instruksi di pagi hari, ia mungkin mencapai kemuliaan di malam hari.”

60. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Sañjikāputta berkata kepada Pangeran Bodhi: “Tuan Bodhi mengatakan: ‘O, Buddha! O, Dhamma! O, betapa Dhamma dibabarkan dengan baik!’ Tetapi ia tidak mengatakan: ‘Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu.’”

“Jangan berkata begitu, Sañjikāputta, jangan berkata begitu. Aku mendengar dan mengetahui ini dari mulut ibuku: [97] Pernah pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kosambi di Taman Ghosita. Kemudian ibuku, yang sedang hamil, mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau: ‘Yang Mulia, pangeran atau putri dalam rahimku, yang mana pun itu, berlindung pada Sang Bhagavā dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sudilah Sang Bhagavā mengingat [anak ini] sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.’ Juga pernah pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Bhagga di Suṁsumāragira di Hutan Bhesakaḷā, Taman Rusa. Kemudian perawatku, dengan menggendongku di pinggulnya, mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau: ‘Yang Mulia, Pangeran Bodhi ini berlindung pada Sang Bhagavā dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sudilah Sang Bhagavā mengingatnya sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.’ Sekarang, Sañjikāputta, untuk ke tiga kalinya aku berlindung pada Sang Bhagavā dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sudilah Sang Bhagavā mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”


45-53. => 43-53?

Pages: 1 ... 11 12 13 14 15 16 17 [18] 19 20 21 22 23 24 25 ... 89