//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - Yumi

Pages: 1 ... 10 11 12 13 14 15 16 [17] 18 19 20 21 22 23 24 ... 89
241
103  Kinti Sutta
Bagaimana Pendapat Kalian mengenai Aku?

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kusināra, di Hutan Persembahan. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Bagaimanakah pendapat kalian mengenai Aku, Para bhikkhu? Bahwa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi jubah? Atau bahwa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi makanan? Atau bahwa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi tempat tinggal? Atau bahwa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi kehidupan yang lebih baik?”

“Kami tidak berpendapat demikian mengenai Sang Bhagavā: ‘Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi jubah, atau demi makanan, atau demi tempat tinggal, atau demi kehidupan yang lebih baik.’”

“Jadi, Para bhikkhu, kalian tidak berpendapat demikian mengenai Aku: ‘Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi jubah … atau demi kehidupan yang lebih baik.’ Maka bagaimanakah pendapat kalian mengenai Aku?”

“Yang Mulia, kami berpendapat seperti berikut mengenai Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā berbelaskasihan dan mengusahakan kesejahteraan kami; Beliau mengajarkan Dhamma karena berbelaskasihan.’”

“Jadi, Para bhikkhu, kalian berpendapat demikian mengenai Aku: ‘Sang Bhagavā berbelaskasihan dan mengusahakan kesejahteraan kami; Beliau mengajarkan Dhamma karena berbelaskasihan.’

3. “Maka, Para bhikkhu, hal-hal ini yang telah Kuajarkan kepada kalian setelah mengetahuinya secara langsungyaitu, empat landasan perhatian, empat jenis usaha benar, empat landasan kekuatan batin, lima indria, lima kekuatan, tujuh faktor pencerahan, Jalan Mulia Berunsur Delapandalam hal-hal ini kalian semuanya harus berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa perselisihan.

4. “Sewaktu kalian berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa perselisihan, dua bhikkhu mungkin membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan Dhamma yang lebih tinggi.

5. “Sekarang, jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini berbeda baik dalam makna maupun kata-katanya,’ [ ]maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: Para mulia ini berbeda baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna dan perbedaan dalam kata-katanya; jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan.’ [ ]Kemudian bhikkhu yang mana pun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: [‘]‘Para mulia ini berbeda baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna dan perbedaan dalam kata-katanya; jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan.’ Maka apa yang secara keliru digenggam harus diingat sebagai secara keliru digenggam. Dengan mengingat apa yang secara keliru digenggam sebagai secara keliru digenggam, maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

6. “Sekarang, jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini berbeda dalam makna, tetapi sepakat dalam kata-kata,’ maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: Para mulia ini berbeda dalam makna, tetapi sepakat dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna tetapi terjadi kesepakatan dalam kata-katanya; jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan.’ [ ]Kemudian bhikkhu yang mana pun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini berbeda dalam makna, tetapi sepakat dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna tetapi terjadi kesepakatan dalam kata-katanya; jangan biarkan para mulia itu jatuh dalam perselisihan.’ [204] Maka apa yang secara keliru digenggam harus diingat sebagai secara keliru digenggam dan apa yang secara benar digenggam harus diingat sebagai secara benar digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara keliru digenggam sebagai secara keliru digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara benar digenggam sebagai secara benar digenggam maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

7. “Sekarang, jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat dalam makna, tetapi berbeda dalam kata-kata,’ maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: Para mulia ini sepakat dalam makna, tetapi berbeda dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan dalam makna tetapi terjadi perbedaan dalam kata-katanya. Tetapi kata-kata adalah persoalan sepele. Jangan biarkan para mulia itu jatuh dalam perselisihan karena persoalan sepele.’ [  ]Kemudian bhikkhu yang mana pun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat dalam makna, tetapi berbeda dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan dalam makna tetapi terjadi perbedaan dalam kata-katanya. Tetapi kata-kata adalah persoalan sepele. Jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan karena persoalan sepele.’ Maka apa yang secara keliru digenggam harus diingat sebagai secara keliru digenggam dan apa yang secara benar digenggam harus diingat sebagai secara benar digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara keliru digenggam sebagai secara keliru digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara benar digenggam sebagai secara benar digenggam maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

8. “Sekarang, jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat baik dalam makna maupun kata-katanya,’ maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: Para mulia ini sepakat baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan baik dalam makna maupun dalam kata-katanya; semoga para mulia itu tidak jatuh dalam perselisihan.’ [ ]Kemudian bhikkhu yang mana pun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan baik dalam makna maupun dalam kata-katanya; semoga para mulia itu tidak jatuh dalam perselisihan.’ Maka apa yang secara benar digenggam harus diingat sebagai secara benar digenggam. Dengan mengingat apa yang secara benar digenggam sebagai secara benar digenggam, maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

9. “Sewaktu kalian berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa perselisihan, seorang bhikkhu mungkin melakukan suatu pelanggaran.

10. “Sekarang, Para bhikkhu, kalian tidak boleh terburu-buru menegurnya; melainkan, orang itu harus diperiksa sebagai berikut: ‘Aku tidak akan direpotkan dan orang itu tidak akan terluka; karena orang itu tidak biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan, ia tidak melekat dengan erat pada pandangannya dan ia dapat melepaskannya dengan mudah, dan aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, Para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

11. “Kemudian kalian mungkin berpikir, Para bhikkhu: ‘Aku tidak akan direpotkan, tetapi orang itu mungkin akan terluka; karena orang itu biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan. Akan tetapi, ia tidak melekat dengan erat pada pandangannya dan ia dapat melepaskannya dengan mudah, dan aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat. Adalah hal sepele bahwa ia akan terluka, tetapi adalah lebih penting bahwa aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, Para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

12. “Kemudian kalian mungkin berpikir, Para bhikkhu: ‘Aku akan direpotkan, tetapi orang itu tidak akan terluka; karena orang itu tidak biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan, walaupun ia melekat dengan erat pada pandangannya dan ia sulit melepaskannya; namun aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat. Adalah hal sepele bahwa aku akan direpotkan, tetapi adalah lebih penting bahwa aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, Para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

13. “Kemudian kalian mungkin berpikir, Para bhikkhu: ‘Aku akan direpotkan, dan orang itu mungkin akan terluka; [242] karena orang itu biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan, dan ia melekat dengan erat pada pandangannya dan ia sulit melepaskannya; namun aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat. Adalah hal sepele bahwa aku akan direpotkan dan orang itu mungkin terluka, tetapi adalah lebih penting bahwa aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, Para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

14. “Kemudian kalian mungkin berpikir, Para bhikkhu: ‘Aku akan direpotkan dan orang itu mungkin akan terluka; karena orang itu biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan, dan ia melekat dengan erat pada pandangannya dan ia sulit melepaskannya; dan aku tidak dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan tidak dapat mengukuhkannya dalam yang bermanfaat.’ Seseorang sebaiknya tidak meremehkan keseimbangan terhadap orang seperti itu.

15. “Sewaktu kalian berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa berselisih, mungkin muncul percekcokan verbal, kesombongan dalam pandangan-pandangan, gangguan pikiran, permusuhan, dan kekecewaan, maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak yang memihak salah satu pihak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Sewaktu kami berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa berselisih, mungkin muncul percekcokan verbal, kesombongan dalam pandangan-pandangan, gangguan pikiran, permusuhan, dan kekecewaan. Jika Sang Petapa mengetahui, apakah ia akan mencela hal itu?’ [ ]Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Sewaktu kami berlatih … Jika Sang Petapa mengetahui, maka ia akan mencela hal itu.’

“‘Tetapi, Teman, tanpa meninggalkan hal itu, dapatkah seseorang mencapai Nibbāna?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Teman, tanpa meninggalkan hal itu, ia tidak dapat mencapai Nibbāna.’

16. “Kemudian bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak yang memihak pada pihak yang berlawanan harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Sewaktu kami berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa berselisih, mungkin muncul percekcokan verbal, kesombongan dalam pandangan-pandangan, gangguan pikiran, permusuhan, dan kekecewaan. Jika Sang Petapa mengetahui, apakah ia akan mencela hal itu?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Sewaktu kami berlatih … Jika Sang Petapa mengetahui, maka ia akan mencela hal itu.

“‘Tetapi, Teman, tanpa meninggalkan hal itu, dapatkah seseorang mencapai Nibbāna?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: [243] ‘Teman, tanpa meninggalkan hal itu, ia tidak dapat mencapai Nibbāna.’

17. “Jika orang lain bertanya kepada bhikkhu itu sebagai berikut: ‘Apakah Yang Mulia yang membuat para bhikkhu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkan mereka dalam yang bermanfaat?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Di sini, Teman-teman, aku menghadap Sang Bhagavā. Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku. Setelah mendengarkan Dhamma itu, aku berkata kepada para bhikkhu itu. Para bhikkhu itu mendengarkan Dhamma itu, dan mereka keluar dari yang tidak bermanfaat dan menjadi kukuh dalam yang bermanfaat.’ Dengan menjawab demikian, bhikkhu itu tidak meninggikan dirinya sendiri juga tidak merendahkan orang lain; ia menjawab sesuai dengan Dhamma sedemikian sehingga tidak memberikan peluang bagi celaan yang dapat dengan benar disimpulkan dari pernyataannya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

242
Lanjutan 102  Pañcattaya Sutta
-----------------------------------------

(SPEKULASI TENTANG MASA LAMPAU)

14. “Para bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang berspekulasi tentang masa lampau dan menganut pandangan tentang masa lampau, yang menyatakan berbagai dalil doktrin sehubungan dengan masa lampau.

(1)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(2)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(3)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah abadi dan tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(4)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah bukan abadi juga bukan tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(5)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(6)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(7)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah terbatas dan tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
( 8 )   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah bukan terbatas juga bukan tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(9)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi kesatuan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(10)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi keberagaman: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(11)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(12)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi tidak terukur: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(13)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia [mengalami] kenikmatan luar biasa: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(14)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia [mengalami] kesakitan luar biasa: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(15)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia [mengalami] kenikmatan dan kesakitan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(16)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia tidak [mengalami] kenikmatan maupun kesakitan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’


15. (1) “Di sana, Para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ bahwa terlepas dari keyakinan, terlepas dari persetujuan, terlepas dari tradisi lisan, terlepas dari penalaran, terlepas dari penerimaan pandangan melalui perenungan, mereka akan memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih atas hal iniitu adalah tidak mungkin. [ ]Karena mereka tidak memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih, bahkan sekadar potongan pengetahuan yang dijelaskan oleh para petapa dan brahmana baik itu [atas pandangan mereka] dinyatakan sebagai kemelekatan di pihak mereka. [ ]Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

16. (2-16) “Di sana, Para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah tidak abadi ... abadi dan tidak abadi ... bukan abadi juga bukan tidak abadi ... terbatas ... tidak terbatas ... terbatas dan tidak terbatas ... bukan terbatas juga bukan tidak terbatas ... memiliki persepsi kesatuan ... memiliki persepsi keberagaman ... memiliki persepsi terbatas ... memiliki persepsi tidak terukur ... [mengalami] kenikmatan luar biasa ... [mengalami] kesakitan luar biasa ... [mengalami] kenikmatan dan kesakitan ... tidak [mengalami] kenikmatan maupun kesakitan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ bahwa terlepas dari keyakinan, terlepas dari persetujuan, terlepas dari tradisi lisan, terlepas dari penalaran, terlepas dari penerimaan pandangan melalui perenungan, mereka akan memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih atas hal iniitu adalah tidak mungkin. Karena mereka tidak memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih, bahkan sekadar potongan pengetahuan yang dijelaskan oleh para petapa dan brahmana baik itu [atas pandangan mereka] dinyatakan sebagai kemelekatan di pihak mereka. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

(NIBBĀNA DI SINI DAN SAAT INI)

17. (V) “Di sini, Para bhikkhu, [ ]seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan dan karena sama sekali tidak menyerah pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, masuk dan berdiam dalam kegembiraan keterasingan. [ ]Ia berpikir: ‘Ini damai, ini luhur, bahwa aku masuk dan berdiam dalam kegembiraan keterasingan.’ Kegembiraan keterasingan itu lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan itu, maka kesedihan muncul, dan dengan lenyapnya kesedihan, maka kegembiraan keterasingan muncul. [ ]Seperti halnya cahaya matahari meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh keteduhan, dan keteduhan meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh cahaya matahari, demikian pula, Dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan itu, maka kesedihan muncul, dan dengan lenyapnya kesedihan, maka kegembiraan keterasingan muncul.

18. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … dan dengan lenyapnya kesedihan, maka kegembiraan keterasingan muncul. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

19. “Di sini, Para bhikkhu, seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan, dan karena sama sekali tidak menyerah pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, dan dengan mengatasi kegembiraan keterasingan, masuk dan berdiam dalam kenikmatan nonduniawi. [ ]Ia berpikir: ‘Ini damai, ini luhur, bahwa aku masuk dan berdiam dalam kenikmatan nonduniawi.’ Kenikmatan nonduniawi itu lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya kenikmatan nonduniawi, maka kegembiraan keterasingan muncul, dan dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan, maka kenikmatan nonduniawi muncul. [236] Seperti halnya cahaya matahari meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh keteduhan, dan keteduhan meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh cahaya matahari, demikian pula, dengan lenyapnya kenikmatan nonduniawi, maka kegembiraan keterasingan muncul, dan dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan, maka kenikmatan nonduniawi muncul.

20. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … dan dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan, maka kenikmatan nonduniawi muncul. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

21. “Di sini, Para bhikkhu, seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan, dan karena sama sekali tidak menyerah pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, dan dengan mengatasi kegembiraan keterasingan dan kenikmatan nonduniawi, masuk dan berdiam dalam perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. [ ]Ia berpikir: ‘Ini damai, ini luhur, bahwa aku masuk dan berdiam dalam perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.’ Perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan itu lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan itu, maka kenikmatan nonduniawi muncul, dan dengan lenyapnya kenikmatan nonduniawi, maka perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan muncul. Seperti halnya cahaya matahari meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh keteduhan, dan keteduhan meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh cahaya matahari, demikian pula, dengan lenyapnya perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan itu, maka kenikmatan nonduniawi muncul, dan dengan lenyapnya kenikmatan nonduniawi, maka perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan muncul.

22. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … dan dengan lenyapnya kenikmatan nonduniawi, maka perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan muncul. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

23. “Di sini, Para bhikkhu, seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan, dan karena sama sekali tidak menyerah pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, dan dengan mengatasi kegembiraan keterasingan, kenikmatan nonduniawi, dan perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, menganggap dirinya sebagai berikut: ‘Aku dalam keadaan damai, aku telah mencapai Nibbāna, aku tanpa kemelekatan.’

24. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … menganggap dirinya sebagai berikut: ‘Aku dalam keadaan damai, aku telah mencapai Nibbāna, aku tanpa kemelekatan.’ Tentu saja yang mulia ini menyatakan jalan menuju Nibbāna. Namun petapa atau brahmana baik ini masih melekat, melekat apakah pada pandangan tentang masa lampau atau pada pandangan tentang masa depan atau pada belenggu kenikmatan indria atau pada kegembiraan keterasingan atau pada kenikmatan nonduniawi atau pada perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. Dan ketika yang mulia ini menganggap dirinya sebagai berikut: ‘Aku dalam keadaan damai, aku telah mencapai Nibbāna, aku tanpa kemelekatan,’ itu juga dinyatakan sebagai kemelekatan di pihak petapa atau brahmana baik ini. [ ]Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

25. “Para bhikkhu, kondisi tertinggi dari kedamaian luhur ini telah ditemukan oleh Sang Tathāgata, yaitu, kebebasan melalui ketidakmelekatan, [ ]dengan memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dalam hal enam landasan kontak. Para bhikkhu, itu adalah kondisi tertinggi dari kedamaian luhur ini yang ditemukan oleh Sang Tathāgata, [238] yaitu, kebebasan melalui ketidakmelekatan, dengan memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dalam hal enam landasan kontak.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

243
102  Pañcattaya Sutta
Lima dan Tiga

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu,”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(SPEKULASI TENTANG MASA DEPAN)

2. “Para bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang berspekulasi tentang masa depan dan menganut pandangan tentang masa depan, yang menyatakan berbagai dalil doktrin sehubungan dengan masa depan.

(I)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian.’
(II)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian.’
(III)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian.’
(IV)   Atau mereka menjelaskan pemusnahan, kehancuran, dan kebinasaan dari makhluk yang ada [pada saat kematian].
(V)   Atau beberapa menyatakan Nibbāna di sini dan saat ini.

“Demikianlah (a) mereka menggambarkan keberadaan diri yang tidak hancur setelah kematian; (b) atau mereka menggambarkan pemusnahan kehancuran, dan kebinasaan dari makhluk yang ada [pada saat kematian]; (c) atau mereka menyatakan Nibbāna di sini dan saat ini. Demikianlah [pandangan-pandangan] ini dari lima menjadi tiga, dan dari tiga menjadi lima. Ini adalah ringkasan dari ‘lima dan tiga’.

3. (I) “Di sana, Para bhikkhu, para petapa dan brahmana [229] yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan bahwa diri itu, yang memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai:
   Materi;
   Atau bukan materi;
   Atau materi juga bukan-materi;
   Atau bukan materi juga bukan bukan-materi;
   Atau memiliki persepsi dari kesatuan;
   Atau memiliki persepsi dari keberagaman;
   Atau memiliki persepsi terbatas;
   Atau memiliki persepsi tanpa batas.
Atau yang lainnya, di antara sedikit dari mereka yang melampaui hal ini, beberapa menyatakan tentang kasiṇa-kesadaran, yang tanpa batas dan tanpa gangguan.

4. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai memiliki diri dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu sebagai materi … atau mereka menggambarkannya sebagai memiliki persepsi dan tanpa batas. Atau yang lainnya, [230] beberapa menyatakan tentang landasan kekosongan, tanpa batas dan tanpa gangguan; [bagi mereka] “tidak ada apa-apa” dinyatakan sebagai persepsi yang paling murni, paling tinggi, paling baik, dan tidak terlampauiapakah persepsi bentuk, persepsi tanpa bentuk, persepsi kesatuan, atau persepsi keberagaman. [ ]Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

5. (II) “Di sana, Para bhikkhu, para petapa dan brahmana itu yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai:
   Materi;
   Atau bukan materi;
   Atau materi juga bukan-materi;
   Atau bukan materi juga bukan bukan-materi.

6. “Di sana, Para bhikkhu, mereka mengkritik para petapa dan brahmana yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian. Mengapakah? Karena mereka mengatakan: ‘Persepsi adalah penyakit, persepsi adalah tumor, persepsi adalah anak panah; ini adalah damai, ini adalah luhur, yaitu, tanpa persepsi.’

7. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai materi ... atau bukan materi juga bukan bukan-materi. Bahwa petapa atau brahmana mana pun mengatakan: “Terlepas dari bentuk materi, terlepas dari perasaan, terlepas dari persepsi, terlepas dari bentukan-bentukan, aku akan menjelaskan datang dan perginya kesadaran, lenyapnya dan kemunculan kembalinya, pertumbuhannya, peningkatannya, dan kematangannya.”—itu adalah tidak mungkin. [ ]Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

8. (III) “Di sana, Para bhikkhu, para petapa dan brahmana itu yang menjelaskan diri sebagai bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang memiliki juga tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai:
   Materi;
   Atau bukan materi;
   Atau materi juga bukan-materi;
   Atau bukan materi juga bukan bukan-materi.

9. “Di sana, Para bhikkhu, mereka mengkritik para petapa dan brahmana yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, dan mereka mengkritik para petapa dan brahmana yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian. Mengapakah? Karena mereka mengatakan: ‘Persepsi adalah penyakit, persepsi adalah tumor, persepsi adalah anak panah dan tanpa persepsi adalah kelumpuhan; [ ]ini adalah damai, ini adalah luhur, yaitu, bukan [ ]persepsi juga bukan tanpa-persepsi.’

10. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai bukan memiliki persepsi juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai materi ... atau bukan materi juga bukan bukan-materi. Jika petapa atau brahmana mana pun menjelaskan bahwa memasuki landasan ini terjadi melalui bentukan-bentukan sehubungan dengan apa yang dilihat, didengar, dicerap, dan dikenali, itu dinyatakan sebagai bencana dalam memasuki landasan ini. [232] Untuk landasan ini, dinyatakan, tidak dicapai sebagai pencapaian dengan bentukan-bentukan; landasan ini, dinyatakan, dicapai sebagai pencapaian dengan sisa-sisa bentukan-bentukan. [ ]Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

11. (IV) “Di sana, Para bhikkhu, mereka mengkritik para petapa dan brahmana itu yang menjelaskan pemusnahan, kehancuran, dan kebinasaan suatu makhluk yang ada [pada saat kematian] [ ]mengkritik para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, dan mereka mengkritik para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, dan mereka mengkritik para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian. Mengapakah? Semua petapa dan brahmana baik ini, bergegas ke depan, menyatakan keterikatan mereka sebagai berikut: ‘Kita akan demikian setelah mati, kita akan demikian setelah mati.’ Seperti halnya seorang pedagang yang pergi ke pasar dan berpikir: ‘Karena ini, itu akan menjadi milikku; dengan ini, aku akan mendapatkan itu’; demikian pula, para petapa dan brahmana baik ini tampak seperti para pedagang itu ketika mereka menyatakan: ‘Kita akan demikian setelah mati, kita akan demikian setelah mati.’

12. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan pemusnahan, kehancuran, dan kebinasaan suatu makhluk yang ada [pada saat kematian], karena ketakutan pada identitas dan kejijikan pada identitas, terus-menerus berlari dan berputar di sekeliling identitas yang sama itu. [ ]Seperti halnya seekor anjing yang terikat oleh tali pengikat pada sebuah tiang atau tonggak [233] akan terus-menerus belari dan berputar di sekeliling tiang atau tonggak yang sama itu; demikian pula, para petapa dan brahmana baik itu, karena ketakutan pada identitas dan kejijikan pada identitas, terus-menerus berlari dan berputar di sekeliling identitas yang sama itu. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

13. [ ]“Para bhikkhu, petapa atau brahmana mana pun yang berspekulasi tentang masa depan dan menganut pandangan tentang masa depan, yang menyatakan berbagai dalil doktrin sehubungan dengan masa depan, semuanya menyatakan kelima landasan ini atau salah satu di antaranya.

-----------------------
*** Bersambung

ko indra, yg ini uda betul blm ya? krn beda dgn yg no. 10.
8. (III) “Di sana, ... menggambarkan diri itu, yang memiliki juga tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai:

10. “Sang Tathāgata, ... menggambarkan diri itu, yang bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian,

trus yg ini "mereka mengkritik"nya dihapus kan?
11. (IV) “Di sana, Para bhikkhu, mereka mengkritik para petapa dan brahmana itu yang menjelaskan pemusnahan, kehancuran, dan kebinasaan suatu makhluk yang ada [pada saat kematian] [ ]mengkritik para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan

244
101  Devadaha Sutta
8. “‘Demikian pula, Teman Nigaṇṭha, jika kalian mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak pernah ada … atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu, [ ]maka adalah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”[’]


9. “‘Tetapi karena, Teman Nigaṇṭha, kalian tidak mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak pernah ada … atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu,[ ]maka adalah tidak selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”’

Lanjutan 101  Devadaha Sutta
----------------------------------------

23. “Dan bagaimanakah pengerahan menjadi berbuah, Para bhikkhu, bagaimanakah usaha menjadi berbuah? Di sini, Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang tidak diliputi penderitaan tidak meliputi dirinya dengan penderitaan; dan ia tidak melepaskan kenikmatan yang sesuai dengan Dhamma, namun ia tidak tergila-gila dengan kenikmatan itu. [ ]Ia mengetahui sebagai berikut: ‘Jika aku berusaha dengan penuh tekad, sumber penderitaan ini akan meluruh dalam diriku karena usaha penuh tekad itu; dan jika mengamati dengan keseimbangan, sumber penderitaan ini meluruh dalam diriku selagi aku mengembangkan keseimbangan.’  Ia berusaha dengan penuh tekad sehubungan dengan sumber penderitaan itu yang meluruh dalam dirinya karena usaha penuh tekad itu; dan ia mengembangkan keseimbangan sehubungan dengan sumber penderitaan itu yang meluruh dalam dirinya selagi ia mengembangkan keseimbangan. Ketika ia berusaha dengan penuh tekad, sumber penderitaan ini dan itu meluruh dalam dirinya karena usaha penuh tekad itu; demikianlah penderitaan itu padam dalam dirinya. Ketika ia mengamati dengan keseimbangan, sumber penderitaan ini dan itu meluruh dalam dirinya selagi ia mengembangkan keseimbangan; demikianlah penderitaan itu padam dalam dirinya.

24. “Misalkan, Para bhikkhu, seorang laki-laki mencintai seorang perempuan dengan pikiran terikat padanya oleh keinginan dan nafsu yang kuat. Ia mungkin melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa. Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Tidakkah dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan muncul pada laki-laki itu ketika ia melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa?”

“Ya, Yang Mulia. Mengapakah? Karena laki-laki itu mencintai perempuan itu dengan pikiran terikat padanya oleh keinginan dan nafsu yang kuat; [224] itulah sebabnya mengapa dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan muncul padanya ketika ia melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa.”

25. “Kemudian, Para bhikkhu, laki-laki itu mungkin berpikir: ‘Aku mencintai perempuan ini dengan pikiranku terikat padanya oleh keinginan dan nafsu yang kuat; dengan demikian dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan muncul padaku ketika aku melihatnya berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa. Bagaimana jika aku meninggalkan keinginan dan nafsuku pada perempuan itu?’ Ia meninggalkan keinginan dan nafsunya pada perempuan itu. Belakangan ia mungkin melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa. Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Tidakkah dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan muncul pada laki-laki itu ketika ia melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain …?”

“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena laki-laki itu tidak lagi mencintai perempuan itu; itulah sebabnya mengapa dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan tidak muncul padanya ketika ia melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain ….”

26. “Demikian pula, Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu tidak diliputi penderitaan tidak meliputi dirinya dengan penderitaan … (seperti pada §23 di atas) [225] … demikianlah penderitaan itu padam dalam dirinya. Demikianlah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

27. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang bhikkhu mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Sewaktu aku hidup menuruti kenikmatanku, kondisi-kondisi tidak bermanfaat bertambah dalam diriku dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang; tetapi ketika aku mengerahkan diriku dalam apa yang menyakitkan, kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam diriku dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah. Bagaimana jika aku mengerahkan diriku dalam apa yang menyakitkan?’ Ia mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan. Ketika ia melakukan itu, kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah. [ ]Belakangan ia tidak lagi mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan. Mengapakah? Tujuan yang karenanya bhikkhu itu mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan telah tercapai; itulah sebabnya mengapa belakangan ia tidak lagi mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan.

28. “Misalkan, Para bhikkhu, seorang pembuat anak panah sedang memanaskan sebatang anak panah di antara dua kobaran api, membuatnya lurus dan dapat dikerjakan. Ketika batang anak panah itu telah dipanaskan di antara dua kobaran api dan telah lurus dan dapat dikerjakan, maka belakangan ia tidak lagi memanaskannya untuk membuatnya lurus dan dapat dikerjakan. Mengapakah? Tujuan yang karenanya si pembuat anak panah itu memanaskan anak panah itu dan membuatnya lurus dan dapat dikerjakan telah tercapai; itulah sebabnya mengapa belakangan ia tidak lagi memanaskannya untuk membuatnya lurus dan dapat dikerjakan.

29. “Demikian pula, seorang bhikkhu mempertimbangkan sebagai berikut ... (seperti pada §27 di atas) [226] ... itulah sebabnya mengapa belakangan ia tidak lagi mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan. Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

30-37. “Kemudian, Para bhikkhu, di sini seorang Tathāgata muncul di dunia ini, sempurna, tercerahkan sempurna ... (seperti Sutta 51, §§12-19) ... ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

38. “Setelah meninggalkan kelima rintangan, ketidaksempurnaan pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

39. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

40. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan dengan penuh perhatian dan kewaspadaan penuh, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

41. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya dari kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan kesakitan juga bukan kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

42. [ ]“Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kukuh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti Sutta 51, §24) … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau. Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

43. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kukuh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk … (seperti Sutta 51, §25) … Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah. [227]

44. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kukuh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan[.]’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda’.

45. “Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’ Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

46. “Demikianlah Sang Tathāgata berkata, Para bhikkhu. Dan karena Sang Tathāgata berkata demikian, maka ada sepuluh kesimpulan sah untuk memuji Beliau:

(1) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lampau, maka Sang Tathāgata pasti telah melakukan perbuatan baik di masa lampau, karena Beliau saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.

(2) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh tindakan kreatif Tuhan yang Tertinggi, maka Sang Tathāgata pasti diciptakan oleh Tuhan Tertinggi yang baik, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.

(3) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh situasi dan alam, maka Sang Tathāgata pasti bernasib baik, karena Beliau saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.

(4) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh kelompok [di antara enam kelompok kelahiran], maka Sang Tathāgata pasti berasal dari kelompok yang baik, karena Beliau saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.

(5) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh pengerahan di sini dan saat ini, maka Sang Tathāgata pasti berusaha dengan baik di sini dan saat ini, karena Beliau saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.

(6) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lampau, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.

(7) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh tindakan kreatif Tuhan yang Tertinggi, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.

( 8 ) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh nasib, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.

(9) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh kelompok, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.

(10) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh pengerahan di sini dan saat ini, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, [228] maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.

“Demikianlah Sang Tathāgata berkata, Para bhikkhu. Dan karena Sang Tathāgata berkata demikian, maka ada sepuluh kesimpulan sah ini untuk memuji Beliau.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

245
16. “Kemudian, Para bhikkhu, Aku berkata kepada para Nigaṇṭha: ‘Bagaimana menurutmu, Teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami di sini dan saat ini [ ]dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] dialami dalam kehidupan mendatang?’‘Tidak, Teman.’‘Tetapi mungkinkah suatu perbuatan [yang akibatnya] akan dialami dalam kehidupan mendatang, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami di sini dan saat ini?’—‘Tidak, Teman.’

17. “‘Bagaimana menurutmu, Teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyenangkan dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyakitkan?’’—‘Tidak, Teman.’‘Tetapi mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyakitkan dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyenangkan?’‘Tidak, Teman.’

18. “‘Bagaimana menurutmu, Teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang matang dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang belum matang?’‘Tidak, Teman.’‘Tetapi mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang belum matang dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam pribadi yang matang?’‘Tidak, Teman.’

19. “‘Bagaimana menurutmu, Teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus banyak dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] sedikit dialami?’‘Tidak, Teman.’‘Tetapi mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus sedikit dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] banyak dialami?’‘Tidak, Teman.’

20. “‘Bagaimana menurutmu, Teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] tidak dialami?’‘Tidak, Teman.’‘Tetapi mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] tidak harus dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] dialami?’‘Tidak, Teman.’

21. “‘Jadi sepertinya, Teman Nigaṇṭha, bahwa adalah tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami di sini dan saat ini dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] dialami dalam kehidupan mendatang, dan tidak mungkin suatu perbuatan [yang akibatnya] akan dialami dalam kehidupan mendatang, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami di sini dan saat ini; tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyenangkan dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyakitkan, dan tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyakitkan dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyenangkan; tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang matang dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang belum matang, dan tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang belum matang dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang matang; tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus banyak dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] sedikit dialami, dan tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus sedikit dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] banyak dialami; tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] tidak dialami, dan tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] tidak harus dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] dialami. Oleh karena itu, pengerahan Yang Mulia para Nigaṇṭha adalah tidak berbuah, [22] usaha mereka adalah tidak berbuah.’

22. “Demikianlah para Nigaṇṭha berkata, Para bhikkhu. Dan karena para Nigaṇṭha berkata demikian, maka ada sepuluh kesimpulan sah dari pernyataan mereka yang memberikan dasar untuk mencela mereka:

(1) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lampau, maka para Nigaṇṭha pasti telah melakukan perbuatan buruk di masa lampau, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.

(2) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh tindakan kreatif Tuhan yang Tertinggi, [ ]maka para Nigaṇṭha pasti diciptakan oleh Tuhan Tertinggi yang jahat, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.

(3) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh situasi dan alam,  maka para Nigaṇṭha pasti bernasib buruk, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.

(4) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh kelompok [di antara enam kelompok kelahiran], [ ]maka para Nigaṇṭha pasti berasal dari kelompok yang buruk, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.

(5) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh pengerahan di sini dan saat ini, maka para Nigaṇṭha pasti berusaha dengan buruk di sini dan saat ini, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.

(6) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lampau, maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka para Nigaṇṭha juga harus dicela.

(7) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh tindakan kreatif Tuhan yang Tertinggi, maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka mereka juga harus dicela.

( 8 ) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh nasib, maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka mereka juga harus dicela.

(9) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh kelompok, maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka mereka juga harus dicela.

(10) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh pengerahan di sini dan saat ini, [223] maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka mereka juga harus dicela.

“Demikianlah para Nigaṇṭha berkata, Para bhikkhu. Dan karena para Nigaṇṭha berkata demikian, maka ada sepuluh kesimpulan sah ini dari pernyataan mereka yang memberikan dasar untuk mencela mereka. Dengan demikian, pengerahan mereka adalah tidak berbuah, usaha mereka adalah tidak berbuah.

----------------------
*** Bersambung

246
101  Devadaha Sutta
Di Devadaha

[214] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap Negeri Sakya di mana terdapat sebuah pemukiman Sakya bernama Devadaha. Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Apa pun yang dirasakan oleh orang ini, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, semua itu disebabkan oleh apa yang dilakukan di masa lampau. [ ]Jadi, dengan memusnahkan perbuatan lampau melalui pertapaan  dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada akibat di masa depan. Dengan tidak adanya akibat di masa depan, maka hancurnya perbuatan terjadi. Dengan hancurnya perbuatan, maka hancurnya penderitaan terjadi. Dengan hancurnya penderitaan, maka hancurnya perasaan terjadi. Dengan hancurnya perasaan, maka segala penderitaan akan menjadi padam.’ Demikianlah menurut para Nigaṇṭha, Para bhikkhu.

3. “Aku mendatangi para Nigaṇṭha yang mengatakan demikian dan Aku mengatakan: ‘Teman-teman para Nigaṇṭha, benarkah bahwa kalian menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … maka segala penderitaan akan menjadi padam[.]”?’ Jika, ketika mereka ditanya demikian, para Nigaṇṭha itu mengakui dan mengatakan ‘Ya,’ maka aku mengatakan kepada mereka:

4. “‘Tetapi, Teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian ada di masa lampau, dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak ada?’‘Tidak, Teman.’‘Tetapi, Teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau dan tidak menghindarinya?’‘Tidak, Teman.’‘Tetapi, Teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian melakukan perbuatan jahat ini dan itu?’‘Tidak, Teman.’‘Tetapi, Teman-teman, apakah kalian mengetahui seberapa banyak penderitaan yang telah padam, atau seberapa banyak penderitaan yang masih harus dipadamkan, atau bahwa setelah berapa banyak penderitaan dipadamkan maka semua penderitaan akan padam?’[215] ‘Tidak, Teman.’‘Tetapi, Teman-teman, apakah kalian mengetahui apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini?’‘Tidak, Teman.’

5. “‘Jadi, Teman-teman, sepertinya kalian tidak mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak pernah ada; atau bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau dan tidak menghindarinya; atau bahwa kalian melakukan perbuatan jahat ini dan itu; atau bahwa seberapa banyak penderitaan yang telah padam, atau seberapa banyak penderitaan yang masih harus dipadamkan, atau bahwa setelah berapa banyak penderitaan dipadamkan maka semua penderitaan akan padam; atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu, [ ]tidaklah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, semua itu disebabkan oleh apa yang dilakukan di masa lampau. Jadi, dengan memusnahkan perbuatan lampau melalui pertapaan dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada akibat di masa depan. Dengan tidak adanya akibat di masa depan … segala penderitaan akan menjadi padam.”

6. “‘Jika, Teman Nigaṇṭha, kalian mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak pernah ada; atau bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau dan tidak menghindarinya; atau bahwa kalian melakukan perbuatan jahat ini dan itu; atau bahwa seberapa banyak penderitaan yang telah padam, atau seberapa banyak penderitaan yang masih harus dipadamkan, atau bahwa setelah berapa banyak penderitaan dipadamkan maka semua penderitaan akan padam; atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu, [ ]maka adalah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … [216] … segala penderitaan akan menjadi padam.”

7. “‘Teman Nigaṇṭha, misalkan seseorang terluka oleh anak panah beracun, dan karenanya ia merasakan perasaan sakit, menyiksa, dan menusuk. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak-saudara dan kerabatnya, membawa seorang ahli bedah. Ahli bedah itu membedah luka itu dengan pisau, memeriksa anak panah itu dengan alat periksa, mencabut anak panah itu, dan mengoleskan serbuk obat pada luka itu, dan pada setiap tahapan itu, orang itu akan merasakan perasaan sakit, menyiksa, dan menusuk. Kemudian belakangan, ketika luka itu sembuh dan tertutup kulit, orang itu menjadi baik dan bahagia, tidak bergantung, menguasai dirinya sendiri, mampu bepergian ke mana pun yang ia kehendaki. Ia mungkin berpikir: “Sebelumnya aku tertusuk oleh anak panah beracun, dan karenanya aku merasakan perasaan sakit, menyiksa, dan menusuk. Kemudian teman-teman dan sahabatku, sanak-saudara dan kerabatku, membawa seorang ahli bedah. Ahli bedah itu membedah luka itu dengan pisau, memeriksa anak panah itu dengan alat periksa, mencabut anak panah itu, dan mengoleskan serbuk obat pada luka itu, dan pada setiap tahapan itu, aku merasakan perasaan sakit, menyiksa, dan menusuk. [217] Tetapi sekarang luka itu sembuh dan tertutup kulit, aku menjadi baik dan bahagia, tidak bergantung, menguasai diriku sendiri, mampu bepergian ke mana pun yang kukehendaki.”

8. “‘Demikian pula, Teman Nigaṇṭha, jika kalian mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak pernah ada … atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu, [ ]maka adalah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”’

10. “Ketika hal ini dikatakan, Para Nigaṇṭha berkata kepada-Ku: [218] ‘Teman, Nigaṇṭha Nātaputta mahatahu dan maha-melihat, memiliki pengetahuan dan penglihatan lengkap sebagai berikut: Apakah aku berjalan atau berdiri atau tidur atau terjaga, pengetahuan dan penglihatan terus-menerus dan tanpa terputus ada padaku.” Ia berkata sebagai berikut: Para Nigaṇṭha, kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau, padamkanlah dengan melaksanakan pertapaan keras. Dan ketika kalian di sini dan saat ini terkendali dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, itu berarti tidak melakukan perbuatan jahat di masa depan. Jadi, dengan memusnahkan perbuatan lampau melalui pertapaan dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada akibat di masa depan … maka segala penderitaan akan menjadi padam.” Kami menyetujui dan menerima ini, dan kami merasa puas.’

11. “Ketika hal ini dikatakan, Aku berkata kepada para Nigaṇṭha: [ ]‘Ada lima hal, Teman Nigaṇṭha, yang mungkin terbukti dalam dua cara berbeda di sini dan saat ini. Apakah lima ini? Keyakinan, persetujuan, tradisi lisan, penalaran, dan penerimaan pandangan melalui perenungan. Kelima hal ini mungkin terbukti dalam dua cara berbeda di sini dan saat ini. Di sini, keyakinan yang bagaimanakah yang Para Mulia Nigaṇṭha yakini pada guru yang mengatakan tentang masa lampau? Persetujuan yang bagaimanakah, tradisi lisan yang bagaimanakah, penalaran yang bagaimanakah, penerimaan pandangan melalui perenungan yang bagaimanakah?’ Dengan mengatakan demikian, Para bhikkhu, Aku tidak melihat adanya pembelaan yang sah atas posisi mereka oleh para Nigaṇṭha.

12. “Kemudian, Para bhikkhu, Aku berkata kepada para Nigaṇṭha: ‘Bagaimana menurut kalian, Teman Nigaṇṭha? Ketika ada pengerahan keras, ada usaha keras, apakah kalian merasakan perasaan sakit, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu? Tetapi ketika tidak ada pengerahan keras, tidak ada usaha keras, apakah kalian merasakan perasaan sakit, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu?’—‘Ketika ada pengerahan keras, Teman Gotama, ada usaha keras, maka kami merasakan perasaan sakit, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu; [219] tetapi ketika tidak ada pengerahan keras, tidak ada usaha keras, maka kami tidak merasakan perasaan sakit, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu.’

13. “‘Jadi sepertinya, Teman Nigaṇṭha, bahwa ketika ada pengerahan keras … maka kalian merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu; tetapi ketika tidak ada pengerahan keras … maka kalian tidak merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu. Kalau begitu, tidaklah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: [ ]“Apa pun yang dirasakan oleh orang ini, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, semua itu disebabkan oleh apa yang dilakukan di masa lampau. Jadi, dengan memusnahkan perbuatan lampau melalui pertapaan dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada akibat di masa depan. Dengan tidak adanya akibat … segala penderitaan akan menjadi padam.”

14. “‘Jika, Teman Nigaṇṭha, bahwa ketika ada pengerahan keras, ada usaha keras, maka perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu juga ada, dan ketika tidak ada pengerahan keras, tidak ada usaha keras maka perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu tetap masih ada; Kalau begitu, adalah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”

15. “‘Tetapi karena, Teman Nigaṇṭha, ketika ada pengerahan keras, ada usaha keras, maka kalian merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu, tetapi ketika tidak ada pengerahan keras, tidak ada usaha keras, maka kalian tidak merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu, oleh karena itu, kalian hanya merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk dari pengerahan yang kalian lakukan sendiri, dan adalah karena kebodohan, ketidaktahuan, dan khayalan [220] maka kalian secara keliru menganggap: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”’ Dengan mengatakan demikian, Para bhikkhu, Aku tidak melihat adanya pembelaan yang sah atas posisi mereka oleh para Nigaṇṭha.

ko indra, no. 9 nya di bagian mana ya?

247
thread ini dibuka untuk partisipasi member dalam hal editing, silahkan posting editingnya dan untuk pembahasan diluar editing subjek silahkan ke thread ini => http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17307.60.html

248
DhammaCitta Press / Re: Majjhima Nikaya (Diskusi)
« on: 15 February 2011, 11:14:52 PM »
[at]  ko indra/ko hendra,
sutta "76.  Sandaka Sutta: Kepada Sandaka" tolong dipost dunk..

249
100  Sangārava Sutta
Kepada Sangārava

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di Negeri Kosala bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu.

2. Pada saat itu, seorang brahmana perempuan bernama Dhānañjāni sedang menetap di Caṇḍalakappa, memiliki keyakinan penuh pada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. [ ]Suatu ketika ia tersandung, dan [ketika mengembalikan keseimbangannya] menyerukan tiga kali: “Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna [210] dan tercerahkan sempurna!”

3. Pada saat itu, seorang murid brahmana bernama Sangārava sedang menetap di Caṇḍalakappa. Ia adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Setelah mendengar brahmana perempuan Dhānañjāni mengucapkan kata-kata itu, ia berkata kepadanya: “Brahmana perempuan Dhānañjāni harus dipermalukan dan direndahkan, karena ketika ada para brahmana di sekitar sini, ia justru memuji petapa gundul itu.”

[Ia menjawab:] “Tuan, engkau tidak mengetahui moralitas dan kebijaksanaan Sang Bhagavā. Jika engkau mengetahui moralitas dan kebijaksanaan Sang Bhagavā, Tuan, engkau tidak akan pernah berpikir untuk menghina dan mencacinya.”

“Kalau begitu, Nyonya, beri tahu aku jika Petapa Gotama datang ke Caṇḍalakappa.”

“Baik, Tuan,” brahmana perempuan Dhānañjāni menjawab.

4. Kemudian, setelah mengembara secara bertahap di Negeri Kosala, Sang Bhagavā akhirnya tiba di Caṇḍalakappa. Di Caṇḍalakappa Sang Bhagavā menetap di Hutan Mangga milik para brahmana suku Todeyya.

5. Brahmana perempuan Dhānañjāni mendengar bahwa Sang Bhagavā telah tiba, maka ia mendatangi murid brahmana Sangārava dan memberitahunya: “Tuan, Sang Bhagavā telah tiba di Caṇḍalakappa dan Beliau menetap di sini di Caṇḍalakappa di Hutan Mangga milik para brahmana suku Todeyya. Sekarang, Tuan, silakan engkau pergi.”

“Baik, Nyonya,” ia menjawab. Kemudian ia mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini [211] berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata:

6. “Guru Gotama, terdapat beberapa petapa dan brahmana yang mengaku [mengajarkan] dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan pengetahuan langsung di sini dan saat ini. [ ]Di manakah posisi Guru Gotama di antara para petapa dan brahmana ini?”

7. Bhāradvāja, Aku katakan bahwa ada keberagaman di antara para petapa dan brahmana yang mengaku [mengajarkan] dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan pengetahuan langsung di sini dan saat ini. Ada beberapa petapa dan brahmana yang tradisionalis, yang dengan berdasarkan pada tradisi lisan mengaku [mengajarkan] dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan pengetahuan langsung di sini dan saat ini; seperti para brahmana Tiga Veda. Ada beberapa petapa dan brahmana yang, sepenuhnya hanya berdasarkan pada keyakinan, mengaku [mengajarkan] dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan pengetahuan langsung di sini dan saat ini; seperti para pemikir logis dan penyelidik. [ ]Ada beberapa petapa dan brahmana yang, setelah mengetahui Dhamma secara langsung untuk diri mereka sendiri [ ]di antara hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, mengaku [mengajarkan] dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan pengetahuan langsung di sini dan saat ini.

8. “Aku, Bhāradvāja, adalah salah satu di antara para petapa dan brahmana itu yang, setelah mengetahui Dhamma secara langsung untuk diri mereka sendiri di antara hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, mengaku [mengajarkan] dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan pengetahuan langsung di sini dan saat ini. Sehubungan dengan bagaimana Aku menjadi salah satu di antara para petapa dan brahmana itu, hal ini dapat dipahami dengan cara sebagai berikut:

9. “Di sini, Bhāradvāja, sebelum pencerahan-Ku, sewaktu aku masih menjadi hanya seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kehidupan rumah tangga ramai dan berdebu; kehidupan lepas dari keduniawian terbuka lebar. Tidaklah mudah, selagi hidup dalam sebuah keluarga, menjalani kehidupan suci yang murni dan sempurna bagaikan kulit kerang yang digosok. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.’

10-13. “Belakangan, Bhāradvāja, [212] selagi aku masih muda ... (seperti Sutta 26, §§14-17) ... Dan Aku duduk di sana berpikir: ‘Ini akan membantu usaha.’

14-30. “Sekarang ketiga perumpamaan ini muncul pada-Ku secara spontan yang belum pernah terdengar sebelumnya ... (seperti Sutta 36, §§17-33; tetapi dalam sutta sekarang ini pada §§17-22bersesuaian dengan §§20-25 dari Sutta 36kalimat Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul pada-Ku tidak menyerbu batin-Ku dan tidak menetap di sana.” tidak muncul) … kelima bhikkhu itu menjadi jijik dan meninggalkan Aku, dengan berpikir: ‘Petapa Gotama sekarang hidup dalam kemewahan; ia telah meninggalkan usaha-Nya dan kembali ke kemewahan.’

31-41. “Sekarang ketika Aku telah memakan sedikit makanan padat dan memperoleh kembali kekuatan-Ku, maka dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat … (seperti Sutta 36, §§34-44; tetapi dalam sutta sekarang ini pada §§36, 38, dan 41bersesuaian dengan §§39, 41 dan 44  dari Sutta 36kalimat Tetapi perasaan menyenangkan demikian yang muncul pada-Ku tidak menyerbu batin-Ku dan tidak menetap di sana.” tidak muncul) … seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin, dan teguh.”

42. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Sangārava berkata kepada Sang Bhagavā: “Usaha Guru Gotama tidak tergoyahkan, usaha Guru Gotama adalah usaha seorang manusia sejati, seperti seharusnya bagi seorang Yang Sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sempurna. Tetapi bagaimanakah, Guru Gotama, apakah ada para dewa?”

“Ini diketahui oleh-Ku sebagai kenyataan, Bhāradvāja, bahwa ada para dewa.”

“Tetapi bagaimanakah, Guru Gotama, bahwa ketika Engkau ditanya, ‘apakah ada para dewa?’ engkau mengatakan: ‘Ini diketahui olehku sebagai kenyataan, Bhāradvāja, bahwa ada para dewa’? Kalau begitu, bukankah apa yang Engkau katakan adalah kosong dan keliru?”

“Bhāradvāja, ketika seseorang ditanya, ‘apakah ada para dewa?’ [213] apakah ia menjawab, ‘Ada para dewa,’ atau ‘Ini diketahui olehku sebagai kenyataan, Bhāradvāja, bahwa ada para dewa,’ seorang bijaksana dapat menarik kesimpulan pasti bahwa ada para dewa.”

“Tetapi mengapa Guru Gotama tidak menjawab dengan cara pertama?”

“Telah diterima secara umum di dunia, Bhāradvāja, bahwa ada para dewa.”

43. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Sangārava berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”

250
Lanjutan 99 Subha Sutta
---------------------------

15. Sekarang, ada lima rintangan ini, Murid. Apakah lima ini? Rintangan keinginan indria, rintangan niat buruk, rintangan kelambanan dan ketumpulan, rintangan kegelisahan dan penyesalan, dan rintangan keragu-raguan. Ini adalah lima rintangan. Brahmana Pokkharasāti terhalangi, terintangi, terganjal, dan terselubung oleh kelima rintangan ini. Bahwa ia dapat mengetahui atau melihat atau mencapai kondisi melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para muliaini adalah tidak mungkin.

16. Sekarang, ada lima utas kenikmatan indria ini, Murid. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria. Brahmana Pokkharasāti terikat pada kelima utas kenikmatan indria ini, tergila-gila padanya dan sepenuhnya menjalaninya; ia menikmatinya tanpa melihat bahwaaya di dalamnya atau memahami jalan membebaskan diri darinya. Bahwa ia dapat mengetahui atau melihat atau mencapai kondisi melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para muliaini adalah tidak mungkin.

17. “Bagaimana menurutmu, Murid? Yang manakah dari kedua api ini yang memiliki kobaran, warna, dan cahaya [yang lebih baik]api yang menyala dengan bergantung pada bahan bakar, seperti rumput dan kayu, atau api yang menyala tanpa bergantung pada bahan bakar, seperti rumput dan kayu?”

“Jika memungkinkan, Guru Gotama, bagi api untuk menyala tanpa bergantung pada bahan bakar seperti rumput dan kayu, maka api itu akan memiliki kobaran, warna, dan cahaya [yang lebih baik].”

“Adalah tidak mungkin, Murid, tidak dapat terjadi api menyala tanpa bergantung pada bahan bakar seperti rumput dan kayu kecuali dengan [pengerahan] kekuatan batin. Yang seperti api yang menyala dengan bergantung pada bahan bakar seperti rumput dan kayu, Aku katakan, adalah kegembiraan [204] yang bergantung pada kelima utas kenikmatan indria. Yang seperti api yang menyala tanpa bergantung pada bahan bakar seperti rumput dan kayu, Aku katakan, adalah kegembiraan yang terpisah dari kenikmatan indria, terpisah dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat. Dan apakah, Murid, kegembiraan yang terpisah dari kenikmatan indria, terpisah dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat? Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ini adalah kegembiraan yang terpisah dari kenikmatan indria, terpisah dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat. Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ini juga adalah kegembiraan yang terpisah dari kenikmatan indria, terpisah dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat.

18. “Dari kelima hal itu, Murid, yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat, yang manakah dari kelima itu yang mereka tetapkan sebagai yang paling berbuah bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat?”

“Dari kelima hal itu, Guru Gotama, yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat, mereka menetapkan kedermawanan sebagai yang paling berbuah bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat.”

19. “Bagaimana menurutmu, Murid? Di sini, seorang brahmana mungkin sedang mengadakan upacara pengorbanan besar, dan dua brahmana lainnya pergi ke sana dengan pikiran untuk berpartisipasi dalam upacara besar tersebut. Salah satu brahmana itu berpikir: ‘O, semoga hanya aku yang mendapatkan tempat duduk terbaik, air terbaik, dan makanan terbaik di ruang makan; semoga tidak ada brahmana lain yang mendapatkan tempat duduk terbaik, air terbaik, dan makanan terbaik di ruang makan!’ Dan adalah mungkin bahwa brahmana lainnya, bukan brahmana itu, mendapatkan tempat duduk terbaik, air terbaik, dan makanan terbaik di ruang makan. Karena memikirkan hal ini, [205] brahmana pertama menjadi marah dan tidak senang. Jenis akibat apakah yang dijelaskan oleh para brahmana untuk hal ini?”

“Guru Gotama, para brahmana tidak memberikan persembahan dengan cara itu, dengan berpikir: ‘Semoga orang lain menjadi marah dan tidak senang karena hal ini.’ Sebaliknya, para brahmana memberikan persembahan karena didorong oleh belas kasihan.”

“Oleh karena itu, Murid, tidakkah ini menjadi landasan ke enam para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, yaitu, dorongan belas kasihan?”

“Oleh karena itu, Guru Gotama, ini adalah landasan ke enam para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, yaitu, dorongan belas kasihan.”

20. “Kelima hal itu, Murid, yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaatdi manakah engkau lebih sering melihat kelima hal tersebut, pada para perumah tangga atau pada mereka yang meninggalkan keduniawian?”

“Kelima hal itu, Guru Gotama, yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat, aku lebih sering melihatnya pada mereka yang meninggalkan keduniawian, jarang terlihat pada para perumah tangga. Karena perumah tangga memiliki banyak aktivitas, banyak fungsi, banyak keterlibatan, dan banyak pelaksanaan: ia tidak secara konstan dan senantiasa mengucapkan kebenaran, mempraktikkan pertapaan, menjalani kehidupan selibat, menekuni pelajaran, atau menekuni kedermawanan. Tetapi seseorang yang meninggalkan keduniawian memiliki sedikit aktivitas, sedikit fungsi, sedikit keterlibatan, dan sedikit pelaksanaan: ia secara konstan dan senantiasa mengucapkan kebenaran, mempraktikkan pertapaan, menjalani kehidupan selibat, menekuni pelajaran, dan menekuni kedermawanan. Kelima hal itu, yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat, aku lebih sering melihatnya pada mereka yang meninggalkan keduniawian, jarang terlihat pada para perumah tangga.”

21. “Kelima hal itu, Murid, yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat, [206] Aku menyebutnya sebagai perlengkapan pikiran, yaitu, untuk mengembangkan pikiran yang tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Di sini, Murid, seorang bhikkhu adalah seorang yang mengatakan kebenaran. Dengan berpikir, ‘Aku adalah seorang yang mengatakan kebenaran,’ ia mendapatkan inspirasi dalam makna, mendapatkan inspirasi dalam Dhamma, mendapatkan kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Adalah kegembiraan yang berhubungan dengan yang bermanfaat itu yang Kusebut sebagai perlengkapan pikiran. Di sini, Murid, seorang bhikkhu adalah seorang petapa … seorang yang menjalani kehidupan selibat … seorang yang menekuni pelajaran … seorang yang menekuni kedermawanan. Dengan berpikir, ‘Aku adalah seorang yang menekuni kedermawanan,’ ia mendapatkan inspirasi dalam makna, mendapatkan inspirasi dalam Dhamma, mendapatkan kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Adalah kegembiraan yang berhubungan dengan yang bermanfaat itu yang Kusebut sebagai perlengkapan pikiran. Demikianlah kelima hal itu yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat, Aku menyebutnya sebagai perlengkapan pikiran, yaitu, untuk mengembangkan pikiran yang tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.”

22. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Subha, putra Todeyya, berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, aku telah mendengar bahwa Petapa Gotama mengetahui jalan menuju alam-Brahmā.”

“Bagaimana menurutmu, Murid? Apakah Desa Naḷakāra dekat dari sini, tidak jauh dari sini?”

“Ya, Tuan, Desa Naḷakāra dekat dari sini, tidak jauh dari sini.”

“Bagaimana menurutmu, Murid? Misalkan ada seseorang yang dilahirkan dan dibesarkan di Desa Naḷakāra, dan segera setelah ia meninggalkan Naḷakāra, mereka menanyakan kepadanya tentang jalan menuju desa itu. Apakah orang itu akan lambat atau ragu-ragu dalam menjawabnya?”

“Tidak, Guru Gotama. Mengapakah? Karena orang itu dilahirkan dan dibesarkan di Naḷakāra, dan mengenal dengan baik semua jalan menuju desa itu.”

“Bagaimanapun juga, seseorang yang dilahirkan dan dibesarkan di Desa Naḷakāra [207] mungkin saja lambat atau ragu-ragu dalam menjawab ketika ditanya tentang jalan menuju desa itu, tetapi seorang Tathāgata, ketika ditanya tentang alam-Brahmā atau jalan menuju alam-Brahmā, tidak akan pernah lambat atau ragu-ragu dalam menjawab. Aku memahami[,] Brahmā, Murid, dan Aku memahami alam-Brahmā, dan Aku memahami jalan menuju alam-Brahmā, dan Aku memahami bagaimana seseorang berlatih agar muncul kembali di alam-Brahmā.”

23. “Guru Gotama, aku telah mendengar bahwa Petapa Gotama mengajarkan jalan menuju alam Brahmā. Baik sekali jika Guru Gotama sudi mengajarkan kepadaku jalan menuju alam-Brahmā.”

“Maka, Murid, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Tuan,” ia menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

24. “Apakah, Murid, jalan menuju alam-Brahmā? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh cinta kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ketika kebebasan pikiran melalui cinta kasih dikembangkan dengan cara ini, tidak ada perbuatan yang membatasi yang menetap di sana, tidak ada yang bertahan di sana. Bagaikan seorang peniup trompet yang kuat dapat membuat tiupannya terdengar di empat penjuru tanpa kesulitan, demikian pula, ketika kebebasan pikiran melalui cinta kasih dikembangkan dengan cara ini, tidak ada perbuatan yang membatasi yang menetap di sana, tidak ada yang bertahan di sana. [ ]Ini adalah jalan menuju alam-Brahmā.

25-27. “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh belas kasihan ... dengan pikiran penuh kegembiraan altruistik ... dengan pikiran penuh keseimbangan, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh keseimbangan, berlimpah, luhur, [208] tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ketika kebebasan pikiran melalui keseimbangan dikembangkan dengan cara ini, tidak ada perbuatan yang membatasi yang menetap di sana, tidak ada yang bertahan di sana. Bagaikan seorang peniup trompet yang kuat dapat membuat tiupannya terdengar di empat penjuru tanpa kesulitan, demikian pula, ketika kebebasan pikiran melalui keseimbangan dikembangkan dengan cara ini, tidak ada perbuatan yang membatasi yang menetap di sana, tidak ada yang bertahan di sana. Ini juga adalah jalan menuju alam-Brahmā.

28. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Subha, putra Todeyya, berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.

29. “Dan sekarang, Guru Gotama, kami pergi. Kami sibuk dan banyak yang harus dilakukan.”

Silakan engkau pergi, Murid.”

Kemudian murid brahmana Subha, putra Todeyya, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi.

30. Pada saat itu, Brahmana Jāṇussoṇi sedang berkendara keluar dari Sāvatthī di siang hari dengan mengendarai kereta yang seluruhnya berwarna putih yang ditarik oleh kuda-kuda betina putih. [ ]Dari kejauhan ia melihat kedatangan si murid brahmana Subha, putra Todeyya dan bertanya kepadanya: “Dari manakah Guru Bhāradvāja datang di siang hari ini?”

“Tuan, aku datang dari hadapan Petapa Gotama.”

“Bagaimanakah menurut Guru Bhāradvāja sehubungan dengan kecemerlangan kebijaksanaan Petapa Gotama? Apakah Beliau bijaksana atau tidak?” [209]

“Tuan, siapakah aku yang dapat mengetahui kecemerlangan kebijaksanaan Petapa Gotama? Hanya seorang yang setara dengan Beliau yang dapat mengetahui kecemerlangan kebijaksanaan Petapa Gotama.”

“Guru Bhāradvāja memuji Petapa Gotama dengan sangat tinggi.”

“Tuan, siapakah aku yang dapat memuji Petapa Gotama? Petapa Gotama dipuji oleh pujian sebagai yang terbaik di antara para dewa dan manusia. Tuan, kelima hal itu yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat, Petapa Gotama menyebutnya sebagai perlengkapan pikiran, yaitu, untuk mengembangkan pikiran yang tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.”

31. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Jāṇussoṇi turun dari kereta putihnya yang ditarik oleh kuda-kuda betina putih, dan merapikan jubah atasnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangannya sebagai penghormatan ke arah Sang Bhagavā dan mengucapkan seruan ini: “Suatu keuntungan bagi Raja Pasenadi dari Kosala, sungguh suatu keuntungan besar bagi Raja Pasenadi dari Kosala bahwa Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, menetap di kerajaannya.”

251
99 Subha Sutta
Kepada Subha

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu, murid brahmana Subha, putra Todeyya, sedang menetap di rumah seorang perumah tangga di Sāvatthī untuk suatu urusan. [ ]Kemudian murid brahmana Subha, putra Todeyya, bertanya kepada si perumah tangga yang menjadi tuan rumahnya: “Perumah tangga, aku mendengar bahwa Sāvatthī tidak kosong dari para Arahant. Petapa atau brahmana manakah yang dapat kami kunjungi hari ini untuk memberikan penghormatan?”

“Tuan, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Engkau boleh memberikan penghormatan kepada Sang Bhagavā itu, Tuan.” [197]

3. Kemudian, setelah menyetujui saran si perumah tangga, murid brahmana Subha, putra Todeyya, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Sang Bhagavā:

4. “Guru Gotama, para brahmana mengatakan sebagai berikut: ‘Perumah tangga menyempurnakan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat. Seorang yang meninggalkan keduniawian [dan menjalani kehidupan tanpa rumah] tidak menyempurnakan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat.’ Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal ini?”

“Murid, Aku mengatakan hal ini setelah menganalisis; [ ]aku tidak mengatakan ini secara sepihak. Aku tidak memuji jalan praktik yang salah baik di pihak perumah tangga maupun seorang yang meninggalkan keduniawian; karena apakah seorang perumah tangga ataupun seorang yang meninggalkan keduniawian, ia yang memasuki jalan praktik yang salah, karena jalan praktiknya yang salah, maka ia tidak menyempurnakan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat. Aku memuji jalan praktik yang benar baik di pihak perumah tangga maupun seorang yang meninggalkan keduniawian; karena apakah seorang perumah tangga ataupun seorang yang meninggalkan keduniawian, ia yang memasuki jalan praktik yang benar, karena jalan praktiknya yang benar, maka ia menyempurnakan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat.”

5. “Guru Gotama, para brahmana mengatakan sebagai berikut: ‘Karena pekerjaan dalam kehidupan rumah tangga melibatkan banyak aktivitas, banyak fungsi, banyak keterlibatan, dan banyak pelaksanaan, maka berbuah besar. Karena pekerjaan dari mereka yang meninggalkan keduniawian melibatkan sedikit aktivitas, sedikit fungsi, sedikit keterlibatan, dan sedikit pelaksanaan, maka berbuah kecil.’ Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal ini?”

“Sekali lagi, Murid, Aku mengatakan hal ini setelah menganalisis; aku tidak mengatakan ini secara sepihak. Ada pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas, banyak fungsi, banyak keterlibatan, dan banyak pelaksanaan, yang, jika gagal, maka berbuah kecil. Ada pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas, banyak fungsi, banyak keterlibatan, dan banyak pelaksanaan, yang, jika berhasil, maka berbuah besar. Ada pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas, sedikit fungsi, sedikit keterlibatan, dan sedikit pelaksanaan, yang, jika gagal, maka berbuah kecil. Ada pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas, sedikit fungsi, sedikit keterlibatan, dan sedikit pelaksanaan, yang, jika berhasil, maka berbuah besar.

6. “Apakah, [198] Murid, pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas … yang, jika gagal, maka berbuah kecil? Pertanian adalah pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas … yang jika gagal, maka berbuah kecil. Dan apakah, murid, pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas … yang, jika berhasil, maka berbuah besar? Sekali lagi, pertanian adalah pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas … yang jika berhasil, maka berbuah besar. Dan apakah, Murid, pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas … yang, jika gagal, maka berbuah kecil? Perdagangan adalah pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas … yang jika gagal, maka berbuah kecil.  Dan apakah, Murid, pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas … yang, jika berhasil, maka berbuah besar? Sekali lagi, perdagangan adalah pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas … yang jika berhasil, maka berbuah besar.

7. “Seperti halnya pertanian, Murid, yang merupakan pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas … tetapi berbuah kecil jika gagal, demikian pula pekerjaan dalam kehidupan rumah tangga melibatkan banyak aktivitas, banyak fungsi, banyak keterlibatan, dan banyak pelaksanaan, tetapi berbuah kecil jika gagal. Seperti halnya pertanian yang merupakan pekerjaan yang melibatkan banyak aktivitas … dan berbuah besar jika berhasil, demikian pula pekerjaan dalam kehidupan rumah tangga melibatkan banyak aktivitas, banyak fungsi, banyak keterlibatan, dan banyak pelaksanaan dan berbuah besar jika berhasil. Seperti halnya perdagangan, Murid, yang merupakan pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas … dan berbuah kecil jika gagal, demikian pula pekerjaan dari mereka yang meninggalkan keduniawian melibatkan sedikit aktivitas, sedikit fungsi, sedikit keterlibatan, dan sedikit pelaksanaan, dan berbuah kecil jika gagal. Seperti halnya perdagangan yang merupakan pekerjaan yang melibatkan sedikit aktivitas … tetapi berbuah besar jika berhasil, demikian pula [ ][199] pekerjaan dari mereka yang meninggalkan keduniawian melibatkan sedikit aktivitas, sedikit fungsi, sedikit keterlibatan, dan sedikit pelaksanaan,[ ]tetapi berbuah besar jika berhasil.”

8. “Guru Gotama, para brahmana menetapkan lima hal bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat.”

“Jika tidak menyusahkan engkau, Murid, silakan sebutkan pada kumpulan ini kelima hal yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat.”

“Tidak menyusahkan bagiku, Guru Gotama, ketika Yang Mulia seperti Engkau dan yang lainnya sedang duduk [dalam kumpulan ini].”

“Maka sebutkanlah, Murid.”

9. “Guru Gotama, kebenaran adalah hal pertama yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat. Pertapaan adalah hal ke dua … Kehidupan selibat adalah hal ke tiga … Belajar adalah hal ke empat … Kedermawanan adalah hal ke lima yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat. Ini adalah lima hal yang ditetapkan oleh para brahmana bagi pelaksanaan kebajikan, untuk menyempurnakan yang bermanfaat. Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal ini?”

“Bagaimanakah, Murid, [ ]di antara para brahmana, adakah bahkan seorang brahmana yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku menyatakan akibat dari kelima hal ini setelah mencapainya oleh diriku sendiri dengan pengetahuan langsung’?”“Tidak, Guru Gotama.”

“Bagaimanakah, Murid, di antara para brahmana, adakah bahkan seorang guru atau guru dari para guru sampai tujuh generasi para guru sebelumnya yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku menyatakan akibat dari kelima hal ini setelah mencapainya oleh diriku sendiri dengan pengetahuan langsung’?”“Tidak, Guru Gotama.” [200]

“Bagaimanakah, Murid, para petapa brahmana masa lampau, para pencipta syair-syair pujian, para penggubah syair-syair pujian, yang syair-syair pujiannya dulu dibacakan, diucapkan, dan dihimpun, yang oleh para brahmana sekarang masih dibacakan dan diulangiyaitu, Aṭṭhaka, Vāmaka, Vāmadeva, Vessāmitta, Yamataggi, Angirasa, Bhāradvāja, Vāseṭṭha, Kassapa, dan Bhaguapakah bahkan para petapa brahmana masa lampau ini mengatakan sebagai berikut: ‘Aku menyatakan akibat dari kelima hal ini setelah mencapainya oleh diriku sendiri dengan pengetahuan langsung’?”“Tidak, Guru Gotama.”

“Jadi, Murid, sepertinya di antara para brahmana tidak ada bahkan seorang brahmana yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku menyatakan akibat dari kelima hal ini setelah mencapainya oleh diriku sendiri dengan pengetahuan langsung.’ Dan di antara para brahmana tidak ada bahkan seorang guru atau guru dari para guru sampai tujuh generasi para guru sebelumnya yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku menyatakan akibat dari kelima hal ini setelah mencapainya oleh diriku sendiri dengan pengetahuan langsung.’ Dan para petapa brahmana masa lampau, para pencipta syair-syair pujian, para penggubah syair-syair pujian … bahkan para petapa brahmana masa lampau ini tidak mengatakan sebagai berikut: ‘Aku menyatakan akibat dari kelima hal ini setelah mencapainya oleh diriku sendiri dengan pengetahuan langsung.’ Misalkan terdapat sebaris orang buta yang masing-masing bersentuhan dengan yang berikutnya: orang pertama tidak melihat, yang di tengah tidak melihat, dan yang terakhir tidak melihat. Demikian pula, Murid, sehubungan dengan pernyataan mereka, para brahmana itu tampak seperti sebaris orang buta itu: orang pertama tidak melihat, yang di tengah tidak melihat, dan yang terakhir tidak melihat.”

10. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Subha, putra Todeyya, menjadi marah dan tidak senang dengan perumpamaan sebaris orang buta itu, dan ia mencaci, menghina, dan mencela Sang Bhagavā, dengan mengatakan: “Petapa Gotama akan dikalahkan.” Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, Brahmana Pokkharasāti dari suku Upamaññā, penguasa Hutan Subhaga, berkata sebagai berikut: [ ]‘Beberapa petapa dan brahmana di sini mengaku telah mencapai kondisi melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Tetapi apa yang mereka katakan [201] terbukti menggelikan; terbukti hanya sekadar kata-kata, kosong dan hampa. Karena bagaimana mungkin seorang manusia dapat mengetahui atau melihat atau mencapai kondisi yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia? Itu adalah tidak mungkin.’”

11. “Bagaimanakah, Murid, Brahmana Pokkharasāti memahami pikiran semua petapa dan brahmana, setelah melingkupi pikiran mereka dengan pikirannya sendiri?”

“Guru Gotama, Brahmana Pokkharasāti bahkan tidak memahami pikiran budak perempuannya Puṇṇikā, setelah melingkupinya dengan pikirannya sendiri, jadi bagaimana mungkin ia memahami pikiran semua petapa dan brahmana itu?”

12. “Murid, misalkan ada seorang yang buta sejak lahir yang tidak dapat melihat bentuk-bentuk yang gelap dan terang, yang tidak dapat melihat bentuk-bentuk berwarna biru, kuning, merah, atau merah muda, yang tidak dapat melihat apa yang rata dan tidak rata, yang tidak dapat melihat bintang-bintang atau matahari dan bulan. Ia mungkin berkata sebagai berikut: ‘Tidak ada bentuk-bentuk yang gelap dan terang, tidak ada yang dapat melihat bentuk-bentuk yang gelap dan terang; tidak ada bentuk-bentuk yang berwarna biru, kuning, merah, atau merah muda, tidak ada yang rata dan tidak rata; tidak ada bintang-bintang dan tidak ada matahari dan bulan, dan tidak ada yang dapat melihat bintang-bintang atau matahari dan bulan. Aku tidak mengetahui hal-hal ini, aku tidak melihat hal-hal ini, oleh karena itu, hal-hal ini tidak ada.’ Dengan berkata demikian, Murid, apakah ia mengatakan yang sebenarnya?”

“Tidak, Guru Gotama. Ada bentuk-bentuk yang gelap dan terang, dan ada orang-orang yang melihat bentuk-bentuk yang gelap dan terang … ada bintang-bintang dan ada matahari dan bulan, dan ada orang-orang yang dapat melihat bintang-bintang atau matahari dan bulan. [202] Dengan mengatakan, ‘Aku tidak mengetahui hal-hal ini, aku tidak melihat hal-hal ini, oleh karena itu, hal-hal ini tidak ada,’ maka ia tidak mengatakan yang sebenarnya.”

13. “Demikian pula, Murid, Brahmana Pokkharasāti adalah buta dan tidak berpenglihatan. Bahwa ia dapat mengetahui atau melihat atau mencapai kondisi yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para muliaini adalah tidak mungkin. Bagaimana menurutmu, Murid? Apakah yang lebih baik bagi para brahmana kaya dari Kosala seperti Brahmana Cankī, Brahmana Tārukkha, Brahmana Pokkharasāti, Brahmana Jāṇusonni, atau ayahmu, Brahmana Todeyyabahwa pernyataan mereka selaras dengan konvensi duniawi atau melawan konvensi duniawi?”“Bahwa pernyataan mereka selaras dengan konvensi duniawi, Guru Gotama.”

“Apakah yang lebih baik bagi mereka, bahwa pernyataan mereka adalah penuh pertimbangan atau tanpa pertimbangan?”“Penuh pertimbangan, Guru Gotama.”“Apakah yang lebih baik bagi mereka, bahwa mereka membuat pernyataan setelah merenungkan atau tanpa perenungan?”“Setelah merenungkan, Guru Gotama.”“Apakah yang lebih baik bagi mereka, bahwa pernyataan yang mereka buat adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?”“Bermanfaat, Guru Gotama.”

14. “Bagaimana menurutmu, Murid? Kalau begitu, apakah pernyataan yang dibuat oleh Brahmana Pokkharasāti selaras dengan konvensi duniawi atau melawan konvensi duniawi?Pernyataannya melawan konvensi duniawi, Guru Gotama.”“Apakah pernyataan itu dibuat dengan penuh pertimbangan atau tanpa pertimbangan?”“Tanpa pertimbangan, Guru Gotama.”“Apakah pernyataan itu dibuat setelah direnungkan atau tanpa perenungan?”“Tanpa perenungan, Guru Gotama.”“Apakah pernyataan yang dibuat itu bermanfaat atau tidak bermanfaat?”“Tidak bermanfaat, Guru Gotama.” [203]

--------------
Bersambung

252
98 Vāseṭṭha Sutta
Kepada Vāseṭṭha

[115] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Icchānangala, di dalam hutan di dekat Icchānangala.

2. Pada saat itu, sejumlah brahmana kaya dan terkenal sedang menetap di Icchānangala, yaitu, Brahmana Cankī, Brahmana Tārukkha, Brahmana Pokkharasāti, Brahmana Jāṇussoṇi, Brahmana Todeyya, dan para brahmana kaya dan terkenal lainnya.

3. Kemudian, sewaktu murid brahmana Vāseṭṭha dan Bhāradvāja sedang berjalan-jalan untuk berolahraga, diskusi berikut ini terjadi antara mereka: “Bagaimanakah seseorang disebut seorang brahmana?” Murid brahmana Bhāradvāja berkata: “Jika ia berasal dari kelahiran baik pada kedua pihak, keturunan dari ibu dan ayah yang murni hingga tujuh generasi sebelumnya, tidak dapat dibantah dan tanpa cela dalam hal kelahiran, maka ia adalah seorang brahmana.” Murid brahmana Vāseṭṭha berkata: “Jika ia bermoral dan mematuhi peraturan-peraturan, maka ia adalah seorang brahmana.”

4. Tetapi murid brahmana Bhāradvāja tidak dapat [116] meyakinkan murid brahmana Vāseṭṭha, juga murid brahmana Vāseṭṭha tidak dapat meyakinkan murid brahmana Bhāradvāja.

5. Kemudian murid brahmana Vāseṭṭha berkata kepada murid brahmana Bhāradvāja: “Tuan, Petapa Gotama, putra Sakya, yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, sedang menetap di Icchānangala, di dalam hutan di dekat Icchānangala. Sekarang suatu berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.’ Marilah, Bhāradvāja, kita pergi menemui Petapa Gotama dan menanyakan kepadanya sehubungan dengan persoalan ini. Sebagaimana Beliau menjawabnya, demikianlah kita akan mengingatnya.”“Baik, Tuan,” murid brahmana Bhāradvāja menjawab.

6. Kemudian kedua murid brahmana itu, Vāseṭṭha dan Bhāradvāja, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, mereka duduk di satu sisi dan murid brahmana Vāseṭṭha berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair sebagai berikut:

7. Vāseṭṭha
   1. “Kami berdua diakui memiliki
   Pengetahuan Tiga Veda,
   Karena aku adalah murid Pokkharasāti
   Dan ia adalah murid Tārukkha.

   2. Kami telah mencapai penguasaan penuh
   Atas segala yang diajarkan oleh para ahli Veda;
   Mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa
   Kami setara dengan guru-guru kami dalam hal pembacaan. [117]

   3. Perselisihan muncul di antara kami, Gotama,
   Sehubungan dengan pertanyaan tentang kelahiran dan kasta:
   Bhāradvāja mengatakan seseorang adalah brahmana melalui kelahiran,
   Sedangkan aku mengatakan seseorang adalah brahmana melalui perbuatan.
   Ketahuilah hal ini, O, Petapa, sebagai perdebatan kami.

   4. Karena kami tidak bisa saling meyakinkan satu sama lain,
   Atau membuatnya melihat sudut pandang yang lain,
   Kami telah mendatangi-Mu, Tuan,
   Yang termasyhur sebagai seorang Buddha.

   5. Seperti halnya orang-orang merangkapkan tangannya
   Menyembah bulan ketika bulan mulai mengembang,
   Demikian pula di dunia ini mereka memuliakan Engkau
   Dan menyembah Engkau, Gotama.

   6. Maka sekarang kami bertanya kepada-Mu, Gotama,
   Pembuka mata di dunia ini:
   Apakah seseorang menjadi brahmana melalui kelahiran atau perbuatan?
   Jelaskanlah kepada kami yang tidak mengetahui
   Bagaimana kami seharusnya mengenali seorang brahmana.”

8. Buddha
   7. “Aku akan mengajarkan engkau secara berurutan sebagaimana adanya,
   Vāseṭṭha,” Sang Bhagavā berkata,
   “Pengelompokan umum makhluk-makhluk hidup;
   Karena banyak jenis kelahiran.

   8. Pertama-tama ketahuilah rumput dan pepohonan:
   Walaupun tidak memiliki kesadaran-diri,
   Kelahirannya adalah tanda khususnya;
   Karena banyak jenis kelahiran.

   9. Berikutnya adalah ngengat dan kupu-kupu
   Dan seterusnya hingga semut dan rayap:
   Kelahirannya adalah tanda khususnya;
   Karena banyak jenis kelahiran.

   10. Kemudian ketahuilah jenis-jenis binatang kaki empat
   [dari berbagai jenisnya] baik kecil maupun besar:
   Kelahirannya adalah tanda khususnya;
   Karena banyak jenis kelahiran.

   11. Ketahuilah binatang-binatang yang perutnya adalah kakinya,
   Yaitu, kelompok ular berbadan panjang:
   Kelahirannya adalah tanda khususnya;
   Karena banyak jenis kelahiran.

   12. Ketahui juga ikan-ikan yang berdiam di air
   Habitatnya adalah alam cair:
   Kelahirannya adalah tanda khususnya;
   Karena banyak jenis kelahiran.

   13. Berikutnya ketahuilah burung-burung yang mengepakkan sayapnya
   Ketika terbang di angkasa raya:
   Kelahirannya adalah tanda khususnya;
   Karena banyak jenis kelahiran.

9.
   14. “Sementara dalam kelahiran-kelahiran ini perbedaan-perbedaan
   Kelahiran menjadi tanda khususnya,
   Pada manusia tidak ada perbedaan kelahiran
   Yang menjadi tanda khususnya.
   
   15. Tidak di rambut juga tidak di kepala
   Tidak di telinga juga tidak di mata   
   Tidak di mulut juga tidak di hidung
   Tidak di bibir juga tidak di kening;

   16. Juga tidak di bahu atau di leher
   Juga tidak di perut atau di punggung
   Juga tidak di pantat atau di dada
   Juga tidak di organ kelamin atau cara berhubungan seksual

   17. Tidak di tangan juga tidak di kaki
   Juga tidak di jari tangan atau di kuku
   Tidak di lutut juga tidak di paha
   Juga tidak dalam warna kulit atau dalam suara
   Di sini kelahiran tidak memiliki tanda khusus
   Seperti halnya dengan jenis kelahiran lainnya. [119]

   18. Pada tubuh manusia
   Tidak ada tanda khusus dapat ditemukan
   Perbedaan di antara manusia
   Hanyalah sebutan verbal

10.   
   19. “Siapa yang berpenghidupan di antara manusia
   Melalui pertanian, engkau seharusnya mengetahui
   Disebut seorang petani, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana.

   20. Siapa yang berpenghidupan di antara manusia
   Melalui berbagai keahlian, engkau seharusnya mengetahui
   Disebut seorang ahli, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana

   21. Siapa yang berpenghidupan di antara manusia
   Melalui barang-barang dagangan, engkau seharusnya mengetahui
   Disebut seorang pedagang, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana

   22. Siapa yang berpenghidupan di antara manusia
   Dengan melayani orang-orang lain, engkau seharusnya mengetahui
   Disebut seorang pelayan, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana

   23. Siapa yang berpenghidupan di antara manusia
   Dengan mencuri, engkau seharusnya mengetahui
   Disebut seorang perampok, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana

   24. Siapa yang berpenghidupan di antara manusia
   Melalui keterampilan memanah, engkau seharusnya mengetahui
   Disebut seorang prajurit, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana

   25. Siapa yang berpenghidupan di antara manusia
   Melalui keterampilan religius, engkau seharusnya mengetahui
   Disebut seorang pandita, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana

   26. Siapa pun juga yang memerintah di antara manusia
   Pemukiman dan kerajaan, engkau seharusnya mengetahui
   Disebut seorang penguasa, Vāseṭṭha;
   Ia bukanlah seorang brahmana.

11.
   27. “Aku menyebutnya bukan seorang brahmana
   Karena asal-usul dan silsilahnya
   Jika rintangan masih bersembunyi dalam dirinya,
   Ia hanyalah seorang yang mengatakan ‘Tuan’.
   Siapa pun yang tanpa rintangan dan tidak lagi melekat:
   Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

   28. Yang telah memotong semua belenggu
   Dan tidak lagi terguncang oleh kesedihan,
   Yang telah mengatasi segala ikatan, terlepas:
   Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana. [120]

29. Yang telah memotong tali pengikat
Juga tali kendali dan tali kekang,
Yang palangnya telah dicabut, yang tercerahkan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

30. Yang menahankan tanpa jejak kebencian
Hinaan, kekerasan, dan juga penindasan.
Dengan kekuatan kesabaran tertata baik:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

31. Yang tidak terbakar oleh kemarahan,
Patuh, bermoral, dan rendah-hati,
Lembut, membawa jasmani terakhirnya:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

32. Siapa pun juga, yang bagaikan hujan di atas daun teratai,
Atau biji mostar di atas ujung jarum,
Sama sekali tidak melekat pada kenikmatan indria
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

33. Yang mengetahui di sini di dalam dirinya sendiri
Hancurnya segala penderitaan
Dengan beban diturunkan, dan terlepas:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

34. Yang dengan pemahaman mendalam, bijaksana,
Dapat mengetahui sang jalan dan bukan sang jalan
Dan telah mencapai tujuan tertinggi:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

35. Jauh dari para perumah tangga
Dan mereka yang menjalani kehidupan tanpa rumah,
Yang mengembara tanpa rumah atau keinginan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

36. Yang telah menyingkirkan tongkat pemukul
Terhadap semua makhluk lemah ataupun kuat,
Yang tidak membunuh atau menyebabkan makhluk lain terbunuh:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

37. Yang tidak melawan di antara para lawannya.
Damai di antara mereka yang melakukan kekerasan,
Yang tidak melekat di antara mereka yang melekat:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

38. Yang telah menjatuhkan segala nafsu dan kebencian,
Menjatuhkan keangkuhan dan celaan,
Bagaikan biji mostar di ujung jarum:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana. [121]

39. Yang mengucapkan kata-kata yang bebas dari kekasaran,
Penuh makna, senantiasa jujur,
Yang tidak menghina siapa pun:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

40. Yang di dunia ini tidak akan pernah mengambil
Apa yang tidak diberikan, panjang atau pendek,
Kecil atau besar atau indah atau menjijikkan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

41. Yang tidak lagi memiliki kerinduan
Sehubungan dengan alam ini dan alam mendatang,
Yang hidup tanpa kerinduan dan terlepas:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

42. Yang tidak lagi memiliki kegemaran
Tidak lagi kebingungan karena ia mengetahui;
Yang telah memperoleh pijakan kukuh dalam Keabadian:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

43. Yang telah melampaui segala ikatan di sini
Dari perbuatan baik dan buruk,
Tanpa kesedihan, tanpa noda, dan murni:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

44. [ ]Yang, murni bagaikan bulan tanpa noda,
Bersih dan jernih, dan yang padanya
Kegembiraan dan penjelmaan telah dihancurkan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

45. Yang telah menyeberangi rawa,
Lumpur, saṁsāra, segala kebodohan,
Yang telah menyeberang ke pantai seberang
Dan bermeditasi dalam jhāna-jhāna,
Tidak terganggu dan tidak bingung,
Mencapai Nibbāna melalui ketidakmelekatan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

46. Yang telah meninggalkan kenikmatan-kenikmatan indria
Dan mengembara di sini tanpa rumah
Dengan keinginan indria dan penjelmaan dihancurkan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

47. Yang juga telah meninggalkan keinginan,
Dan mengembara di sini tanpa rumah
Dengan keinginan rendah dan penjelmaan dihancurkan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

48. Yang meninggalkan semua belenggu manusia
Dan telah melepaskan belenggu surgawi,
Terlepas dari segala belenggu di mana pun:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

49. Yang meninggalkan kesenangan dan ketidakpuasan,
Yang sejuk dan tanpa perolehan,
Pahlawan yang telah melampaui seluruh alam:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana. [122]

50. Yang mengetahui bagaimana makhluk-makhluk meninggal dunia
Untuk muncul kembali dalam banyak cara,
Ia tidak mencengkeram, mulia, sadar:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

51. Yang tujuannya tidak diketahui
Oleh para dewa, hantu, dan manusia,
Seorang Arahant dengan noda-noda dihancurkan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

52. Yang tanpa rintangan sama sekali,
Di depan, di belakang, atau di tengah,
Yang tanpa rintangan dan tidak lagi melekat:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

53. Pemimpin kelompok, pahlawan sempurna,
Petapa besar yang kemenangannya telah diraih,
Tanpa gangguan, dimurnikan, tercerahkan:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

54. Yang mengetahui banyak kehidupan lampaunya
Dan melihat alam-alam surga dan alam sengsara,
Yang telah mencapai hancurnya kelahiran:
Ia adalah yang Kusebut seorang brahmana.

12.
   55. “Karena nama dan kasta diberikan
   Sebagai sekadar sebutan di dunia ini;
   Berasal-mula dari konvensi,
   Yang diberikan di sana-sini.

   56. Bagi mereka yang tidak mengetahui fakta ini,
   Pandangan salah telah lama bersembunyi dalam batin mereka;
   Tanpa mengetahui, mereka mengatakan kepada kita:
   ‘Ia adalah seorang brahmana melalui kelahiran.’

   57. Seseorang bukanlah seorang brahmana melalui kelahiran,
   Juga bukan melalui kelahiran seseorang menjadi bukan-brahmana
   Seseorang menjadi brahmana melalui perbuatan,
   Seseorang menjadi bukan-brahmana melalui perbuatan.

   58. Karena orang-orang menjadi petani melalui perbuatan mereka,
   Dan melalui perbuatan mereka menjadi orang-orang ahli;
   Dan orang-orang menjadi pedagang melalui perbuatan mereka,
   Dan juga melalui perbuatan mereka menjadi pelayan.

   59. Dan orang-orang menjadi perampok melalui perbuatan mereka,
   Dan melalui perbuatan mereka menjadi prajurit;
   Dan orang-orang menjadi pandita melalui perbuatan mereka,
   Dan juga melalui perbuatan mereka menjadi penguasa. [123]

13.
   60. “Maka demikianlah bagaimana yang sungguh bijaksana
   Melihat perbuatan sebagaimana adanya,
   Yang melihat sebab-akibat yang saling bergantungan,
   Terampil dalam perbuatan dan akibatnya.

61. Perbuatan menyebabkan dunia berputar,
Perbuatan menyebabkan generasi berganti.
Makhluk-makhluk hidup terikat oleh perbuatan
Bagaikan roda kereta terikat oleh porosnya.

62. Pertapaan, kehidupan suci,
Pengendalian-diri dan latihan batin
Dengan ini seseorang menjadi brahmana,
Terletak dalam kebrahmanaan tertinggi ini.

63. Seseorang yang memiliki tiga pengetahuan,
Damai, dengan segala penjelmaan dihancurkan:
Kenalilah ia demikian, O, Vāseṭṭha,
Sebagai Brahmā dan Sakka bagi mereka yang tidak memahami.”

14. Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Vāseṭṭha dan Bhāradvāja berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! … Mulai hari ini sudilah Guru Gotama mengingat kami sebagai umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”

253
16. “Bagaimana menurutmu, Dhānañjāni? Siapakah yang lebih baik, seorang yang demi orang tuanya berperilaku berlawanan dengan Dhamma, berperilaku tidak jujur, atau seorang yang demi orang tuanya berperilaku sesuai dengan Dhamma, berperilaku jujur?”

“Guru Sāriputta, seorang yang demi orang tuanya berperilaku berlawanan dengan Dhamma, berperilaku tidak jujur, adalah tidak lebih baik; seorang yang demi orang tuanya berperilaku sesuai dengan Dhamma, berperilaku jujur, adalah yang lebih baik.”

“Dhānañjāni, ada jenis pekerjaan lain, yang menguntungkan dan sesuai dengan Dhamma, yang dengannya seseorang dapat menyokong orang tuanya dan pada saat yang sama menghindari kejahatan dan mempraktikkan kebajikan.
 
17-25. “Bagaimana menurutmu, Dhānañjāni? Siapakah yang lebih baik, seorang yang demi istri dan anak-anaknya … [189] … demi budak-budak, pelayan, dan pekerjanya … demi teman-teman dan sahabatnya … [190] … demi sanak-saudara dan kerabatnya … demi tamu-tamunya … demi para leluhurnya yang telah meninggal dunia … demi para dewa … [191] … demi raja … demi mengistirahatkan dan memelihara jasmani ini berperilaku berlawanan dengan Dhamma, berperilaku tidak jujur, atau seorang yang demi mengistirahatkan dan memelihara jasmani ini berperilaku sesuai dengan Dhamma, berperilaku jujur?”

“Guru Sāriputta, seorang yang demi mengistirahatkan dan memelihara jasmani ini berperilaku berlawanan dengan Dhamma, berperilaku tidak jujur, adalah tidak lebih baik; seorang yang demi mengistirahatkan dan memelihara jasmani ini berperilaku sesuai dengan Dhamma, berperilaku jujur, adalah yang lebih baik.”

“Dhānañjāni, ada jenis pekerjaan lain, yang menguntungkan dan sesuai dengan Dhamma, yang dengannya seseorang dapat menyokong orang tuanya dan pada saat yang sama menghindari kejahatan dan mempraktikkan kebajikan.”

26. Kemudian Brahmana Dhānañjāni, setelah merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Sāriputta, bangkit dari duduknya dan pergi.

27. Belakangan Brahmana Dhānañjāni jatuh sakit, menderita, sakit parah. Kemudian ia menyuruh seseorang: “Pergilah, [192] temui Sang Bhagavā, bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kaki Beliau, dan katakan: ‘Yang Mulia, Brahmana Dhānañjāni jatuh sakit, menderita, dan sakit parah; ia bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā.’ Kemudian pergilah menemui Yang Mulia Sāriputta, bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kakinya, dan katakan: ‘Yang Mulia, Brahmana Dhānañjāni jatuh sakit, menderita, dan sakit parah; ia bersujud dengan kepalanya di kaki Yang Mulia Sāriputta.’ Kemudian katakan sebagai berikut: ‘Baik sekali, Yang Mulia, jika Yang Mulia Sāriputta sudi datang ke rumah Brahmana Dhānañjāni, demi belas kasihan.’”

“Baik, Tuan,” orang itu menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi dan menyampaikan pesannya. Kemudian ia mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan setelah bersujud kepada Yang Mulia Sāriputta, ia menyampaikan pesannya, dan berkata: Baik sekali, Yang Mulia, jika Yang Mulia Sāriputta sudi datang ke rumah Brahmana Dhānañjāni, demi belas kasihan.[’]” Yang Mulia Sāriputta menyanggupi dengan berdiam diri.

28. Kemudian Yang Mulia Sāriputta merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia mendatangi kediaman Brahmana Dhānañjāni, duduk di tempat yang telah dipersiapkan, dan berkata kepada Brahmana Dhānañjāni: “Aku harap engkau lebih baik, Brahmana, aku harap engkau cukup nyaman. Aku harap perasaan sakitmu mereda dan tidak bertambah, dan bahwa meredanya, bukan bertambahnya, menjadi nyata.”

29. “Guru Sāriputta, aku tidak lebih baik, aku tidak nyaman. Perasaan sakitku bertambah, bukan mereda; bertambahnya dan bukan meredanya menjadi nyata. Seolah-olah [193] seorang kuat membelah kepalaku dengan pedang tajam, demikian pula, angin kencang menembus kepalaku. Aku tidak lebih baik … Seolah-olah seorang kuat mengikat kepalaku dengan tali kulit yang kuat, demikian pula, ada kesakitan hebat di kepalaku. Aku tidak lebih baik … Seolah-olah seorang penjagal terampil atau muridnya membelah perut sapi dengan pisau daging yang tajam, demikian pula, angin kencang membelah perutku. Aku tidak lebih baik … Seolah-olah dua orang kuat mencengkeram seorang yang lemah pada kedua lengannya dan memangganggnya di atas celah arang panas membara, demikian pula, ada kebakaran hebat dalam tubuhku. Aku tidak lebih baik, aku tidak nyaman. Perasaan sakitku bertambah, bukan mereda; bertambahnya dan bukan meredanya menjadi nyata.

30. “Bagaimana menurutmu, Dhānañjāni? Yang manakah yang lebih baikneraka atau alam binatang?”“Alam binatang, Guru Sāriputta.”“Yang manakah yang lebih baikalam binatang atau alam hantu?”“Alam hantu, Guru Sāriputta.”“Yang manakah yang lebih baikalam hantu atau manusia?”“Manusia, Guru Sāriputta.” [194]“Yang manakah yang lebih baikmanusia atau para dewa di surga Empat Raja Dewa?”“Para dewa di alam Empat Raja Dewa, Guru Sāriputta.”“Yang manakah yang lebih baikpara dewa di surga Empat Raja Dewa atau para dewa di surga Tiga Puluh Tiga?”“Para dewa di surga Tiga Puluh Tiga, Guru Sāriputta.”“Yang manakah yang lebih baikpara dewa di surga Tiga Puluh Tiga atau para dewa Yāma?”“Para dewa Yāma, Guru Sāriputta.”“Yang manakah yang lebih baikpara dewa Yāma atau para dewa di surga Tusita?”“Para dewa di surga Tusita, Guru Sāriputta.”Yang manakah yang lebih baikpara dewa di surga Tusita atau [ ]para dewa yang bergembira dalam penciptaan?”“Para dewa yang bergembira dalam penciptaan, Guru Sāriputta.”Yang manakah yang lebih baikpara dewa yang bergembira dalam penciptaan atau para dewa yang menguasai ciptaan para dewa lain?”“Para dewa yang menguasai ciptaan para dewa lain, Guru Sāriputta.”

31. “Bagaimana menurutmu, Dhānañjāni? Yang manakah yang lebih baikpara dewa yang menguasai ciptaan para dewa lain atau alam Brahmā?”“Guru Sāriputta mengatakan ‘alam Brahmā’. Guru Sāriputta mengatakan ‘alam Brahmā’.

Kemudian Yang Mulia Sāriputta berpikir: “Para brahmana ini membaktikan diri pada alam-Brahma. Bagaimana jika aku mengajarkan kepada Brahmana Dhānañjāni jalan menuju alam Brahmā?” [Dan ia berkata:] “Dhānañjāni, aku akan mengajarkan kepadamu jalan menuju alam Brahmā. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan aku katakan.”“Baik, Yang Mulia,” ia menjawab. [195] Yang Mulia berkata sebagai berikut:

32. “Apakah jalan menuju alam Brahmā? Di sini, Dhānañjāni, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan cinta kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ini adalah jalan menuju alam Brahmā.

33-35. “Kemudian, Dhānañjāni,  seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan belas kasihan ... dengan pikiran yang penuh dengan kegembiraan altruistik ... dengan pikiran yang penuh dengan keseimbangan, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran keseimbangan, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ini juga adalah jalan menuju alam Brahmā.

36. “Kalau begitu, Guru Sāriputta, bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kaki Sang Bhagavā, dan katakan: ‘Yang Mulia, Brahmana Dhānañjāni jatuh sakit, menderita, dan sakit parah; ia bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā.’”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta, setelah mengukuhkan Brahmana Dhānañjāni di dalam alam-Brahmā yang rendah, bangkit dari duduknya dan pergi sementara masih ada yang harus dilakukan. [ ]Segera setelah Yang Mulia Sāriputta pergi, Brahmana Dhānañjāni meninggal dunia dan muncul kembali di alam-Brahmā.

37. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, Sāriputta, setelah mengukuhkan Brahmana Dhānañjāni di alam-Brahmā yang rendah, bangkit dari duduknya dan pergi sementara masih ada yang harus dilakukan.”

38. Kemudian Yang Mulia Sāriputta menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Yang Mulia, Brahmana Dhānañjāni jatuh sakit, menderita, dan sakit parah; ia bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā.”

“Sāriputta, setelah mengukuhkan Brahmana Dhānañjāni [196] di alam-Brahmā yang rendah, mengapa engkau bangkit dari duduk dan pergi sementara masih ada yang harus dilakukan?”

“Yang Mulia, aku berpikir bahwa: ‘Para brahmana ini membaktikan diri pada alam-Brahmā. Bagaimana jika aku mengajarkan kepada Brahmana Dhānañjāni jalan menuju alam Brahmā.’”

“Sāriputta, Brahmana Dhānañjāni telah meninggal dunia dan telah muncul kembali di alam-Brahmā.”

254
97 Dhānañjāni Sutta
Kepada Dhānañjāni

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Pada saat itu, Yang Mulia Sāriputta sedang mengembara di Gunung Selatan bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu. Kemudian seorang [185] bhikkhu yang telah melewatkan masa Vassa di Rājagaha mendatangi Yang Mulia Sariputta di Gunung Selatan dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan Yang Mulia Sāriputta bertanya kepadanya: “Apakah Sang Bhagavā sehat dan kuat, Teman?”

“Sang Bhagavā sehat dan kuat, Teman.”

“Apakah Sangha para bhikkhu sehat dan kuat, Teman?”

“Sangha para bhikkhu juga sehat dan kuat, Teman.”

“Teman, ada seorang brahmana bernama Dhānañjāni yang menetap di Taṇḍulapāla. Apakah Brahmana Dhānañjāni itu sehat dan kuat?”

“Brahmana Dhānañjāni itu juga sehat dan kuat, Teman.”

“Apakah ia tekun, Teman?”

“Bagaimana mungkin ia tekun, Teman? Ia merampas para brahmana perumah tangga atas nama raja, dan ia merampas raja atas nama para brahmana perumah tangga. Istrinya, yang berkeyakinan dan berasal dari suku yang berkeyakinan, telah meninggal dunia dan ia telah memperistri perempuan lain yang tidak berkeyakinan dan berasal dari suku yang tidak berkeyakinan.”

“Ini adalah berita buruk yang kami dengar, Teman. Ini sungguh berita buruk yang kami dengar bahwa Brahmana Dhānañjāni telah menjadi lengah. Mungkin suatu saat kami dapat bertemu dengan Brahmana Dhānañjāni dan berbincang-bincang dengannya.”

3. Kemudian, setelah menetap di Gunung Selatan selama yang ia kehendaki, Yang Mulia Sāriputta melakukan pengembaraan menuju Rājagaha. Dengan mengembara secara bertahap, akhirnya ia tiba di Rājagaha, dan di sana ia menetap di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

4. Kemudian, pada suatu pagi, Yang Mulia Sāriputta merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan. [186] Pada saat itu, Brahmana Dhānañjāni sedang memerah susu di sebuah kandang sapi di luar kota. Maka ketika Yang Mulia Sāriputta telah menerima dana makanan di Rājagaha dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, ia mendatangi Brahmana Dhānañjāni. Dari kejauhan Brahmana Dhānañjāni melihat kedatangan Yang Mulia Sāriputta, dan ia menyambutnya dan berkata: “Minumlah susu segar ini, Guru Sāriputta, hingga waktunya makan.”

“Cukup, Brahmana, aku telah selesai makan hari ini. Aku akan berada di bawah pohon itu untuk melewatkan hari. Engkau boleh datang ke sana.”

“Baik, Tuan,” ia menjawab.

5. Dan kemudian, setelah ia makan pagi, Brahmana Dhānañjāni mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan Yang Mulia Sāriputta berkata kepadanya: “Apakah engkau tekun, Dhānañjāni?”

“Bagaimana mungkin kami dapat tekun, Guru Sāriputta, ketika kami harus menyokong orang tua kami, istri dan anak-anak kami, dan budak-budak, pelayan, dan pekerja kami; ketika kami harus melakukan tugas-tugas kami terhadap teman-teman dan sahabat kami, terhadap sanak-saudara dan kerabat kami, terhadap tamu-tamu kami, terhadap para leluhur kami yang telah meninggal dunia, terhadap para dewa, dan terhadap raja; dan ketika jasmani ini juga harus diistirahatkan dan dipelihara?”

6. “Bagaimana menurutmu, Dhānañjāni? Misalkan seseorang di sini berperilaku berlawanan dengan Dhamma, berperilaku tidak jujur demi orang tuanya, dan kemudian karena perilaku demikian para penjaga neraka menariknya ke dalam neraka. Apakah ia dapat [membebaskan dirinya dengan pembelaan sebagai berikut:] Adalah demi orang tuaku maka aku berperilaku berlawanan dengan Dhamma, maka aku berperilaku tidak jujur, jadi mohon para penjaga neraka tidak [menarikku] ke dalam neraka’? [187] Atau dapatkah orang tuanya [membebaskannya dengan pembelaan sebagai berikut]: Adalah demi kami maka ia berperilaku berlawanan dengan Dhamma, maka ia berperilaku tidak jujur, jadi mohon para penjaga neraka tidak [menariknya] ke dalam neraka’?”

“Tidak, Guru Sāriputta. Bahkan selagi ia menangis, para penjaga neraka akan menjebloskannya ke dalam neraka.”

7-15. “Bagaimana menurutmu, Dhānañjāni? Misalkan seseorang di sini berperilaku berlawanan dengan Dhamma, berperilaku tidak jujur demi istri dan anak-anaknya … demi budak-budak, pelayan, dan pekerjanya … demi teman-teman dan sahabatnya … demi sanak-saudara dan kerabatnya … demi tamu-tamunya … [188] demi para leluhurnya yang telah meninggal dunia … demi para dewa … demi raja … demi mengistirahatkan dan memelihara jasmani ini, karena perilaku demikian para penjaga neraka menariknya ke dalam neraka. Apakah ia dapat [membebaskan dirinya dengan pembelaan sebagai berikut:] Adalah demi mengistirahatkan dan memelihara jasmani ini maka aku berperilaku berlawanan dengan Dhamma, maka aku berperilaku tidak jujur, jadi mohon para penjaga neraka tidak [menarikku] ke dalam neraka’? Atau dapatkah orang lain [membebaskannya dengan pembelaan sebagai berikut]: Adalah demi mengistirahatkan dan memelihara jasmani ini maka ia berperilaku berlawanan dengan Dhamma, maka ia berperilaku tidak jujur, jadi mohon para penjaga neraka tidak [menariknya] ke dalam neraka’?”

“Tidak, Guru Sāriputta. Bahkan selagi ia menangis, para penjaga neraka akan menjebloskannya ke dalam neraka.”

255
96 Esukārī Sutta
Kepada Esukārī

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian Brahmana Esukārī mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata:

3. “Guru Gotama, para brahmana menetapkan empat tingkat pelayanan. Mereka menetapkan tingkat pelayanan kepada seorang brahmana, tingkat pelayanan kepada seorang mulia, tingkat pelayanan kepada seorang pedagang, tingkat pelayanan kepada seorang pekerja. Di dalamnya, Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai tingkat pelayanan kepada seorang brahmana: seorang brahmana boleh melayani seorang brahmana, seorang mulia boleh melayani seorang brahmana, seorang pedagang boleh melayani seorang brahmana, dan seorang pekerja boleh melayani seorang brahmana. Ini adalah tingkat pelayanan kepada seorang brahmana [178] yang ditetapkan oleh para brahmana. Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai tingkat pelayanan kepada seorang mulia: seorang mulia boleh melayani seorang mulia, seorang pedagang boleh melayani seorang mulia, dan seorang pekerja boleh melayani seorang mulia. Ini adalah tingkat pelayanan kepada seorang mulia yang ditetapkan oleh para brahmana. Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai tingkat pelayanan kepada seorang pedagang: seorang pedagang boleh melayani seorang pedagang, dan seorang pekerja boleh melayani seorang pedagang. Ini adalah tingkat pelayanan kepada seorang pedagang yang ditetapkan oleh para brahmana. Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai tingkat pelayanan kepada seorang pekerja: hanya seorang pekerja yang boleh melayani seorang pekerja; karena siapakah orang lainnya yang akan melayani seorang pekerja? Ini adalah tingkat pelayanan kepada seorang pekerja yang ditetapkan oleh para brahmana. Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal ini?”

4. “Baiklah, Brahmana, apakah seluruh dunia memberikan kuasa kepada para brahmana untuk menentukan keempat tingkat pelayanan ini?”“Tidak, Guru Gotama.”“Misalkan, Brahmana, mereka memaksakan sepotong daging kepada seorang miskin, tidak punya uang, melarat, dan memberitahunya: ‘Tuan, engkau harus memakan daging ini dan membayarnya’; demikian pula, tanpa persetujuan dari para petapa dan brahmana [lainnya], namun para brahmana menetapkan keempat tingkat pelayanan itu.

5. “Aku tidak mengatakan, Brahmana, bahwa semuanya harus dilayani, juga Aku tidak mengatakan bahwa tidak ada yang harus dilayani. Karena jika, ketika melayani seseorang, ia menjadi lebih buruk dan tidak lebih baik karena pelayanan itu, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya tidak dilayani. Dan jika, ketika melayani seseorang, ia menjadi lebih baik dan tidak lebih buruk karena pelayanan itu, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya dilayani.

6. “Jika mereka bertanya kepada seorang mulia sebagai berikut: ‘Siapakah di antara orang-orang ini yang seharusnya engkau layaniseorang yang karena pelayanan itu engkau menjadi lebih buruk dan tidak lebih baik ketika melayaninya, atau seorang yang karena pelayanan itu engkau menjadi lebih baik dan tidak lebih buruk ketika melayaninya,’ [179] jika menjawab dengan benar, seorang mulia akan menjawab sebagai berikut: ‘Aku tidak seharusnya melayani seorang yang karena pelayanan itu aku menjadi lebih buruk dan tidak lebih baik ketika melayaninya; aku seharusnya melayani seorang yang karena pelayanan itu aku menjadi lebih baik dan tidak lebih buruk ketika melayaninya.’

“Jika mereka bertanya kepada seorang brahmana … bertanya kepada seorang pedagang … bertanya kepada seorang pekerja … jika menjawab dengan benar, seorang pekerja akan menjawab sebagai berikut: ‘Aku tidak seharusnya melayani seorang yang karena pelayanan itu aku menjadi lebih buruk dan tidak lebih baik ketika melayaninya; aku seharusnya melayani seorang yang karena pelayanan itu aku menjadi lebih baik dan tidak lebih buruk ketika melayaninya.’

7. “Aku tidak mengatakan, Brahmana, bahwa seseorang adalah lebih baik karena ia berasal dari keluarga bangsawan, juga Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih buruk karena ia berasal dari keluarga bangsawan. Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih baik karena ia rupawan, juga Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih buruk karena ia rupawan. Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih baik karena ia kaya, juga Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih buruk karena ia kaya.

8. “Karena di sini, Brahmana, seseorang yang berasal dari keluarga bangsawan mungkin membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, berperilaku salah dalam kenikmatan indria, mengucapkan ucapan salah, mengucapkan ucapan jahat, bergosip, tamak, memiliki pikiran berniat-buruk, dan menganut pandangan salah. Oleh karena itu, Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih baik karena ia berasal dari keluarga bangsawan. Tetapi juga, Brahmana, seseorang dari keluarga bangsawan mungkin menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari mengucapkan ucapan salah, menghindari mengucapkan ucapan jahat, menghindari gosip, tidak tamak, memiliki pikiran tanpa niat-buruk, dan menganut pandangan benar. Oleh karena itu, Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih buruk karena ia berasal dari keluarga bangsawan.

“Di sini, Brahmana, seseorang yang rupawan … seseorang yang kaya mungkin membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah. Oleh karena itu, Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih baik karena ia rupawan … karena ia kaya. Tetapi juga, Brahmana, seseorang yang rupawan … seseorang yang kaya … mungkin menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar. Oleh karena itu, [180] Aku tidak mengatakan bahwa seseorang adalah lebih buruk karena ia rupawan … karena ia kaya.

9. “Aku tidak mengatakan, Brahmana, bahwa semuanya harus dilayani, juga Aku tidak mengatakan bahwa tidak ada yang harus dilayani. Karena jika, ketika melayani seseorang, keyakinan, moralitas, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaannya bertambah dalam pelayanannya, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya dilayani.”

10. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Esukārī berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, para brahmana menetapkan empat jenis kekayaan. Mereka menetapkan kekayaan seorang brahmana, kekayaan seorang mulia, kekayaan seorang pedagang, dan kekayaan seorang pekerja.

“Di dalamnya, Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai kekayaan seorang brahmanamengembara mengumpulkan dana makanan; [ ]seorang brahmana yang menolak kekayaannya sendiri, yaitu mengembara mengumpulkan dana makanan, berarti melecehkan tugasnya bagaikan seorang penjaga yang mengambil apa yang tidak diberikan. Itu adalah kekayaan seorang brahmana yang ditetapkan oleh para brahmana. Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai kekayaan seorang muliabusur dan tempat anak panah; seorang mulia yang menolak kekayaannya sendiri, yaitu busur dan tempat anak panah, berarti melecehkan tugasnya bagaikan seorang penjaga yang mengambil apa yang tidak diberikan. Itu adalah kekayaan seorang mulia yang ditetapkan oleh para brahmana. Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai kekayaan seorang pedagangbercocok-tanam dan mengembangbiakkan ternak; [ ]seorang pedagang yang menolak kekayaannya sendiri, yaitu bercocok-tanam dan mengembangbiakkan ternak, berarti melecehkan tugasnya bagaikan seorang penjaga yang mengambil apa yang tidak diberikan. Itu adalah kekayaan seorang pedagang yang ditetapkan oleh para brahmana. Guru Gotama, para brahmana menetapkan ini sebagai kekayaan seorang pekerjasabit dan galah pengangkut beban; seorang pekerja yang menolak kekayaannya sendiri, yaitu sabit dan galah pengangkut beban, berarti melecehkan tugasnya bagaikan seorang penjaga yang mengambil apa yang tidak diberikan. Itu adalah kekayaan seorang pekerja yang ditetapkan oleh para brahmana. Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal ini?”

11. “Baiklah, Brahmana, apakah seluruh dunia memberikan kuasa kepada para brahmana untuk menentukan keempat jenis kekayaan ini?”[181] “Tidak, Guru Gotama.”“Misalkan, Brahmana, mereka memaksakan sepotong daging kepada seorang miskin, tidak punya uang, melarat, dan memberitahunya: ‘Tuan, engkau harus memakan daging ini dan membayarnya’; demikian pula, tanpa persetujuan dari para petapa dan brahmana [lainnya], namun para brahmana menetapkan keempat jenis kekayaan itu.

12. “Aku, Brahmana, menyatakan Dhamma lokuttara mulia sebagai kekayaan seseorang. [ ]Tetapi dengan mengingat silsilah keluarga ibu dan ayahnya di masa lampau, ia diakui menurut dari mana ia terlahir kembali. [ ]Jika ia terlahir kembali dalam kasta mulia, maka ia diakui sebagai seorang mulia; jika ia terlahir kembali dalam kasta brahmana, maka ia diakui sebagai seorang brahmana; jika ia terlahir kembali dalam kasta pedagang, maka ia diakui sebagai seorang pedagang; jika ia terlahir kembali dalam kasta pekerja, maka ia diakui sebagai seorang pekerja. Seperti halnya api diakui melalui kondisi tertentu yang bergantung pada apa api itu membakarjika api membakar dengan bergantung pada kayu batang, maka api itu dikenal sebagai api kayu batang; jika api membakar dengan bergantung pada kayu ranting, maka api itu dikenal sebagai api kayu ranting; jika api membakar dengan bergantung pada rumput, maka api itu dikenal sebagai api rumput; jika api membakar dengan bergantung pada kotoran-sapi, maka api itu dikenal sebagai api kotoran-sapidemikian pula, Brahmana, Aku menyatakan Dhamma lokuttara mulia sebagai kekayaan seseorang. Tetapi dengan mengingat silsilah keluarga ibu dan ayahnya di masa lampau, ia diakui menurut dari mana ia terlahir kembali. Jika ia terlahir kembali … dalam kasta pekerja, maka ia diakui sebagai seorang pekerja.

13. “Jika, Brahmana, seseorang dari kasta mulia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dan setelah menemukan Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, ia menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari ucapan salah, menghindari ucapan jahat, menghindari ucapan kasar, dan menghindari gosip, dan tidak tamak, memiliki pikiran tanpa niat buruk, dan menganut pandangan benar, maka ia adalah seorang yang menyelesaikan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat. [182]

Jika, Brahmana, seseorang dari kasta brahmana meninggalkan keduniawian … Jika seseorang dari kasta pedagang meninggalkan keduniawian … Jika seseorang dari kasta pekerja meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dan setelah menemukan Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, ia menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, maka ia adalah seorang yang menyelesaikan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat.

14. “Bagaimana menurutmu, Brahmana? Apakah hanya seorang brahmana yang mampu mengembangkan pikiran cinta kasih terhadap suatu wilayah tertentu, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk, dan bukan seorang mulia, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?”

“Tidak, Guru Gotama. Apakah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerjamereka dari keempat kasta itu mampu mengembangkan pikiran cinta kasih terhadap suatu wilayah tertentu, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.”

“Demikian pula, Brahmana, jika seseorang dari kasta mulia meninggalkan keduniawian … (ulangi §13) … ia adalah seorang yang menyelesaikan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat.

15. “Bagaimana menurutmu, Brahmana? Apakah hanya seorang brahmana yang mampu membawa perlengkapan mandi dan bubuk mandi, pergi ke sungai, dan membersihkan diri dari debu dan kotoran, dan bukan seorang mulia, atau seorang pedagang, atau seorang pekerja?”

“Tidak, Guru Gotama. Apakah ia adalah seorang mulia, atau seorang brahmana, atau seorang pedagang, atau seorang pekerjamereka dari keempat kasta itu mampu membawa perlengkapan mandi dan bubuk mandi, pergi ke sungai, dan membersihkan diri dari debu dan kotoran.”

“Demikian pula, Brahmana, jika seseorang dari kasta mulia meninggalkan keduniawian … (ulangi §13) … ia adalah seorang yang menyelesaikan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat.

16. “Bagaimana menurutmu, Brahmana? Misalkan seorang raja mulia yang sah mengumpulkan di sini seratus orang yang berasal dari kelahiran berbeda.” ... (seperti Sutta 93,  §11) [184] … “Karena semua api memiliki kobaran, warna, dan cahaya, dan adalah mungkin untuk menggunakannya sebagai fungsi api.”

“Demikian pula, Brahmana, jika seseorang dari kasta mulia meninggalkan keduniawian … (ulangi §13) … ia adalah seorang yang menyelesaikan jalan yang benar, Dhamma yang bermanfaat.

17. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Esukārī berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! … Mulai hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”

Pages: 1 ... 10 11 12 13 14 15 16 [17] 18 19 20 21 22 23 24 ... 89
anything