//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - Yumi

Pages: 1 ... 4 5 6 7 8 9 10 [11] 12 13 14 15 16 17 18 ... 89
151
SUTTA 24

285) Suatu sisipan diberikan oleh MA. Tanah asal Sang Buddha adalah Kapilavatthu, di kaki Pegunungan Himalaya.

286) Kelima hal terakhir membentuk suatu kumpulan yang disebut lima kelompok unsur Dhamma (dhammakkhandhā). “Kebebasan” diidentifikasikan dengan buah mulia, “pengetahuan dan penglihatan kebebasan” dengan pengetahuan peninjauan.

287) YM. Puṇṇa Mantāṇiputta berasal dari keluarga brahmana dan ditahbiskan oleh YM. Aññā Kodañña di Kapilavatthu, yang mana ia terus menetap di sana hingga ia memutuskan untuk mengunjungi Sang Buddha di Sāvatthī. Ia belakangan dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai bhikkhu yang paling menonjol di antara para pembabar Dhamma.

288) Walaupun ketujuh pemurnian (satta visuddhi) ini disebutkan di tempat lain dalam Kanon Pali (dalam DN iii.288, dengan dua tambahan: pemurnian melalui kebijaksanaan dan pemurnian melalui kebebasan), yang mengherankan adalah bahwa kedua tambahan ini tidak dianalisa sebagai satu kelompok di mana pun dalam Nikāya; dan hal ini menjadi semakin mengherankan ketika kedua siswa besar ini sepertinya mengenalinya sebagai satu kelompok pembagian ajaran. Bagaimanapun juga, ketujuh skema ini membentuk kerangka bagi keseluruhan Visuddhimagga, yang mendefinisikan perbedaan tahapan melalui tradisi komentar yang lengkap tentang meditasi konsentrasi dan pandangan terang.

Singkatnya, “pemurnian moralitas” (sīlavisuddhi) adalah ketaatan pada aturan-aturan moral yang dijalani seseorang, dijelaskan oleh Vsm dengan merujuk pada latihan moral dari seorang bhikkhu sebagai “empat pemurnian moralitas”. “Pemurnian pikiran (cittavisuddhi) adalah mengatasi kelima rintangan melalui pencapaian konsentrasi awal dan jhāna-jhāna. “Pemurnian pandangan” (diṭṭhivisuddhi) adalah pemahaman yang mendefinisikan sifat dari kelima kelompok unsur kehidupan yang menyusun sesosok makhluk hidup. “Pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan” (kankhāvitaraṇavisuddhi) adalah memahami kondisionalitas. “Pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan pada apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan” (maggāmaggañāṇadassanavisuddhi) adalah pembedaan benar antara jalan pertapaan yang keliru, menggembirakan pengalaman dan jalan pandangan yang benar ke dalam ketidakkekalan, penderitaan, dan bukan-diri. “Pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan pada sang jalan” (paṭipadāñāṇadassanavisuddhi) membentuk rangkaian meningkat dari pengetahuan pandangan terang hingga jalan lokuttara. Dan “Pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan” (ñāṇadassanavisuddhi) adalah jalan lokuttara.

289) MA mengemas anupādā parinibbāna sebagai appacayaparinibbāna, “Nibbāna akhir yang tanpa kemelekatan”, menjelaskan bahwa upādāna memiliki dua makna: genggaman (gahaṇa), [ ]seperti dalam kalimat biasa tentang empat jenis kemelekatan dan kondisi (paccaya), seperti diilustrasikan oleh paragraf ini. Para komentator menjelaskan “Nibbāna akhir tanpa kemelekatan” adalah sebagai buah Kearahatan; karena tidak dapat digenggam oleh satu dari empat jenis kemelekatan; atau sebagai Nibbāna, yang tidak terkondisi, karena tidak muncul melalui kondisi apa pun.

290) MA menjelaskan bahwa enam tingkat pertama adalah “disertai kemelekatan” dalam makna dikondisikan dan dalam makna ada dalam diri seseorang yang masih menggenggam; tingkat ke tujuh, karena lokuttara, hanya dalam makna terkondisikan.

291) MA mengatakan bahwa Sāriputta menanyakan ini hanya sebagai cara untuk menyapa Puṇṇa Mantāṇiputta karena ia telah mengetahui namanya. Akan tetapi, Puṇṇa, belum pernah bertemu dengan Sāriputta sebelumnya dan karena itu ia pasti sungguh-sungguh terkejut bertemu dengan siswa utama itu.

292) Satthukappa. MA mengatakan bahwa ini adalah pujian tertinggi yang dapat diucapkan oleh seorang siswa.


SUTTA 25

293) Cetovimutti: MA menjelaskan bahwa mereka hanya meninggalkan tekad mereka untuk menetap dalam hutan, walaupun ini juga dapat dianggap bahwa para petapa itu telah mencapaidan kehilangandelapan pencapaian meditatif yang biasanya disiratkan oleh kata cetovimutti.

294) Ini adalah sepuluh pandangan spekulatif yang diperdebatkan oleh para petapa filsuf pada masa Sang Buddha. Semuanya ditolak oleh Sang Buddha dengan alasan tidak berhubungan dengan dasar-dasar kehidupan suci dan tidak mendukung kebebasan dari penderitaan. Baca MN 63, MN 72.

295) Delapan pencapaian meditatif di sini harus dipahami, seperti yang dijelaskan MA, sebagai landasan bagi pandangan terang. Ketika seorang bhikkhu telah memasuki jhāna demikian, Māra tidak dapat melihat bagaimana pikirannya bekerja. Akan tetapi, kekebalan dari pengaruh Māra ini hanya bersifat sementara.

296) Bhikkhu terakhir ini, dengan menghancurkan noda-noda, telah menjadi bukan hanya tidak terlihat oleh Māra secara sementara, namun secara permanen tidak terjangkau oleh Māra. Mengenai lenyapnya persepsi dan perasaan, baca Pendahuluan, p.41.


SUTTA 26

297) Judul ini mengikuti MN edisi PTS dan SBJ. MA edisi BBS, dan MA edisi PTS dan BBS, merujuk pada khotbah ini sebagai Pāsarāsi Sutta, tumpukan perangkap dengan referensi pada perumpamaan dalam §§32-33.

298) MA menunjukkan bahwa jhāna ke dua dan subjek meditasi utama seseorang keduanya disebut “keheningan mulia” (ariyo tuṇhibhāvo). Mereka yang tidak mampu mencapai jhāna ke dua disarankan untuk mempertahankan keheningan mulia dengan memperhatikan subjek meditasi utama mereka.

299) Upadhi: [ ]makna akarnya adalah fondasi, dasar, landasan (PED). Dalam komentar dijelaskan berbagai jenis upadhi, di antaranya adalah kelima kelompok unsur kehidupan, objek-objek kenikmatan indria, kekotoran-kekotoran, dan kamma. Ñm menerjemahkan kata ini secara konsisten sepanjang sutta sebagai “sifat dasar kehidupan”, yang sering kali mengaburkan makna kontekstualnya. Saya mencoba menangkap beberapa konotasi kata ini dengan menerjemahkannya menjadi “perolehan-perolehan” yang mana makna objektifnya lebih menonjol (seperti di sini) dan sebagai “perolehan” yang mana makna subjektifnya lebih menonjol. Pada MN 26.19, Nibbāna disebut “lepasnya segala perolehan” (sabb’ ūpadhipaṭinissagga), [ ]dengan kedua makna itu yang dimaksudkan.

300) Emas dan perak dikecualikan dari benda-benda yang tunduk pada penyakit, kematian, dan dukacita, tetapi benda-benda tersebut tunduk pada kekotoran, menurut MA, karena benda-benda tersebut dapat dicampur dengan logam yang bernilai lebih rendah.

301) MA: ia mengajarkan Beliau tujuh pencapaian (meditasi ketenangan) yang berakhir pada landasan kekosongan, ke tiga dari empat pencapaian tanpa-materi. Walaupun pencapaian-pencapaian ini adalah luhur secara spiritual, namun masih dalam lingkup lokiya dan tidak secara langsung mengarah pada Nibbāna.

302) Yaitu, menuntun menuju kelahiran kembali di alam kehidupan yang disebut landasan kekosongan, tujuan dari pencapaian meditatif ke tujuh. Di sini umur kehidupannya adalah 60.000 kappa, tetapi ketika jangka waktu itu telah berlalu, seseorang akan meninggal dunia dan kembali ke alam yang lebih rendah. Dengan demikian, seseorang yang mencapai ini masih belum terbebas dari kelahiran dan kematian, namun terperangkap dalam jebakan Māra (MA). Horner melewatkan hal penting bahwa kelahiran kembali adalah intinya dengan menerjemahkan “hanya sejauh mencapai alam kekosongan” (MLS 1:209).

152
261) Pariggahaṁ parigaṇheyyātha, secara literal, “Kalian mungkin memiliki kepemilikan itu”. Ini berhubungan dengan §18 tentang gangguan sehubungan dengan kepemilikan eksternal.

262) Attavādupādānaṁ upādiyetha. Secara literal “Kalian mungkin melekat pada kemelekatan doktrin diri itu”. Mengenai persoalan yang dilibatkan oleh idiom ini pada terjemahan, baca n.176. Paragraf ini berhubungan dengan §20 tentang gangguan yang timbul dari pandangan diri.

263) Penyokong pandangan (diṭṭhinissaya), menurut MA, adalah enam puluh dua pandangan yang disebutkan dalam Brahmajāla Sutta (DN 1), yang muncul dari pandangan diri atau “doktrin diri”. Juga termasuk pandangan sesat yang dianut Ariṭṭha pada awal sutta ini.

264) Gagasan “apa yang menjadi milik diri” atau “milik diri” (attaniya) berasal dari apa pun di antara kelima kelompok unsur kehidupan yang tidak diidentifikasikan sebagai diri, serta seluruh kepemilikan eksternal individu. Paragraf ini menunjukkan saling ketergantungan, dan dengan demikian sama-sama tidak dapat dipertahankan, dari kedua gagasan “aku” dan “milikku”.

265) Menurut komentar, kekecewaan (nibbidā, juga diterjemahkan “kejijikan” atau “kemuakan”) menyiratkan tahap puncak dari pandangan terang, kebosanan (virāga) menyiratkan pencapaian jalan lokuttara, dan kebebasan (vimutti) menyiratkan buah. Pengetahuan peninjauan Arahant (paccavekkhaṇañāṇa) ditunjukkan oleh frasa “muncullah pengetahuan” dan “ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan …’.”

266) “Pergi demikian” adalah, dalam Pali, tathāgata, gelar yang biasanya diberikan pada Sang Buddha, tetapi di sini diterapkan lebih luas pada Arahant. MA menginterpretasikan paragraf ini dalam dua cara alternatif sebagai berikut: (1) Arahant bahkan selagi masih hidup adalah tidak terlacak di sini dan saat ini sebagai makhluk atau individu (dalam makna tidak ada makhluk (sebagai diri)). (2) Arahat tidak terlacak di sini dan saat ini karena adalah tidak mungkin bagi para dewa, dan sebagainya untuk menemukan penyokong bagi batin pandangan terangnya, batin sang jalannya, batin buahnya (vipassanācitta, maggacitta, phalacitta); yaitu, karena objeknya adalah Nibbāna, maka batinnya tidak dapat dikenali oleh kaum duniawi.

267) Ini merujuk kembali pada §20, di mana para penganut eternalis salah memahami ajaran Buddha tentang Nibbāna, lenyapnya penjelmaan, sebagai melibatkan pemusnahan makhluk yang sekarang yang dianggap sebagai diri.

268) Maksud dari pernyataan ini lebih dalam daripada apa yang tampak di permukaan. Dalam konteks tuduhan keliru pada §37, Sang Buddha menyebutkan bahwa Beliau mengajarkan bahwa makhluk hidup bukanlah diri, melainkan hanya kumpulan faktor-faktor, peristiwa-peristiwa jasmani dan batin, yang saling berhubungan dalam proses yang bersifat dukkha, dan bahwa Nibbāna, lenyapnya penderitaan, bukanlah pemusnahan makhluk, melainkan terhentinya proses yang tidak memuaskan yang sama itu. Pernyataan ini harus dibaca bersama dengan SN 12:15/ii.17, di mana Sang Buddha mengatakan bahwa seorang yang berpandangan benar, yang telah melenyapkan semua doktrin diri, melihat bahwa apa pun yang muncul hanyalah munculnya dukkha, [ ]dan apa pun yang lenyap hanyalah lenyapnya dukkha.

269) “Apa yang sebelumnya telah dipahami sepenuhnya” (pubbe pariññātaṁ) adalah kelima kelompok unsur kehidupan. Karena hanya pada ini kehormatan dan hinaan ditunjukkan, bukan “aku” atau diri, tidak ada alasan untuk merasa senang atau kesal.

270) MA menunjukkan bahwa ini adalah kemelekatan pada kelima kelompok unsur kehidupan yang harus ditinggalkan; kelompok-kelompok unsur kehidupan itu sendiri tidak dapat dicabut atau dihancurkan.

271) MA: “Chinna-pilotika: pilotikā adalah kain usang dan robek yang dijahit dan ditambal di sana-sini; tidak ada (dalam Dhamma ini) yang seperti inirobek, usang, dijahit, dan ditambal dengan kemunafikan dan muslihat.”

272) Yaitu, karena para Arahant telah mencapai kebebasan dari seluruh lingkaran kehidupan, maka adalah tidak mungkin menunjukkan di alam mana dalam lingkaran itu mereka mungkin terlahir kembali.

273) Ini adalah dua kelompok individu yang berdiri di jalan memasuki-arus. “Pengikut-Dhamma” (dhammānusārin) dan para siswa yang indria kebijaksanaannya (paññindriya) menonjol dan yang mengembangkan jalan mulia dengan dipimpin oleh kebijaksanaan; ketika mereka mencapai buah maka mereka disebut “mencapai pandangan” (diṭṭhipatta). [ ]“Pengikut keyakinan” (saddhānusārin) adalah para siswa yang indria keyakinannya (saddhindriya) menonjol dan yang mengembangkan jalan mulia dengan dipimpin oleh keyakinan; ketika mereka mencapai buah maka mereka disebut “terbebaskan melalui keyakinan” (saddhāvimutta). Baca MN 70.20,21; juga Pug I 35-36/15 dan Vsm XXI,75.

274) MA mengatakan bahwa ini merujuk pada orang-orang yang menekuni praktik meditasi pandangan terang yang belum mencapai tahap pencapaian lokiya yang mana pun. Perhatikan bahwa praktik ini hanya menuntun menuju alam surga, bukan pencerahan, walaupun jika praktik ini telah matang maka dapat mencapai jalan memasuki-arus dan dengan demikian memperoleh jaminan pencerahan. Ungkapan saddhāmattaṁ pemamattaṁ dapat diterjemahkan “hanya keyakinan, hanya cinta kasih” atau “sekadar keyakinan, sekadar cinta kasih” (seperti kadang-kadang diterjemahkan), tetapi ini tidak menjelaskan jaminan kelahiran kembali di alam surga. Oleh karena itu, sepertinya adalah suatu keharusan untuk menambahkan akhiran matta di sini untuk menyiratkan jumlah keyakinan dan cinta kasih yang diperlukan, bukan sekadar memiliki kualitas-kualitas ini.


SUTTA 23

275) YM. Kumāra Kassapa adalah anak yang diadopsi oleh Raja Pasenadi dari Kosala, yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang, karena tidak mengetahui bahwa ia sedang hamil, meninggalkan keduniawian menjadi seorang bhikkhunī setelah kehamilannya. Pada saat sutta ini dibabarkan, ia masih seorang sekha; ia mencapai Kearahatan dengan menggunakan sutta ini sebagai subjek meditasinya.

276) Menurut MA, dewa ini adalah yang-tidak-kembali yang hidup di Alam Murni. Ia dan Kumāra Kassapa adalah anggota kelompok lima bhikkhu yang, pada masa pengajaran Buddha Kassapa, telah berlatih meditasi bersama-sama di puncak gunung. Adalah dewa yang sama dengan yang mendorong Bāhiya Dāruciriya, anggota kelompok lainnya, untuk mengunjungi Sang Buddha (baca Ud 1:10/7).

277) Makna atas penggambaran oleh dewa tersebut akan dijelaskan dalam sutta itu sendiri.

278) Kummāsa: Vinaya dan komentar menjelaskannya sebagai sesuatu yang terbuat dari yava, gandum. Ñm menerjemahkan kata ini sebagai roti, tetapi dari MN 82.18 jelas bahwa kummāsa mengental dan membusuk setelah lewat semalam. PED mendefinisikannya sebagai susu kental asam; Horner menerjemahkannya sebagai “susu asam”.

279) MA: Bagaikan sebuah palang di gerbang kota mencegah orang-orang memasukinya, demikian pula kebodohan mencegah orang-orang mencapai Nibbāna.

280) Dvedhāpatha juga pernah diterjemahkan sebagai “persimpangan jalan”, jelas melambangkan keragu-raguan.

281) MA menyebutkan bahwa empat kaki dan kepala seekor kura-kura menyerupai kelima kelompok unsur kehidupan.

282) MA: Makhluk-makhluk yang menginginkan kenikmatan indria terpotong oleh parang keinginan indria di atas balok pengganjal objek indria.

283) Simbolisasi ini dijelaskan dalam MN 54.16.

284) Ini adalah seorang Arahant. Untuk simbolisasinya, baca n.75.

153
SUTTA 21

245) Pada SN 12:12/ii.13, Moliya Phagguna mengajukan serangkaian pertanyaan kepada Sang Buddha, yang mana Sang Buddha menolaknya karena disusun secara keliru. Belakangan dilaporkan bahwa ia kembali ke kehidupan rumah tangga (SN 12:32/ii.50).

246) Menurut MA, Sang Buddha mengatakan hal ini karena Phagguna masih tidak ingin menuruti nasihat Beliau, melainkan terus-menerus menentang-Nya, dan ini mendorong Sang Buddha untuk memuji para bhikkhu penurut selama masa awal pengajaran Beliau. Untuk paragraf tentang makan sekali sehari, baca MN 65.2 dan MN 70.2.

247) Tadārammaṇaṁ, secara literal, “dengan dirinya sebagai objek”. MA: Pertama-tama seseorang mengembangkan cinta-kasih kepada orang yang berbicara kepada seseorang atau orang lain yang mengucapkan satu dari lima ucapan, kemudian ia mengarahkan pikiran cinta kasih itu kepada semua makhluk, menjadikan seluruh dunia sebagai objeknya.


SUTTA 22

248) Sutta ini dengan pendahuluan yang baik dan catatan yang terperinci tersedia dalam sebuah terjemahan oleh Nyanaponika Thera, The Discourse on the Snake Simile.

249) Dalam menegaskan hal ini, ia secara langsung menyangkal yang ke tiga dari empat keberanian Sang Tathāgatabaca MN 12.25. Menurut MA, sewaktu merenungkan dalam keterasingan, ia sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada bahaya jika para bhikkhu terlibat dalam hubungan seksual dengan perempuan dan ia mempertahankan bahwa hal ini seharusnya tidak dilarang oleh peraturan monastik. Walaupun pernyataannya tidak secara langsung menyebutkan masalah seksual, namun perumpamaan mengenai kenikmatan seksual ini dibawakan oleh para bhikkhu ini berasal dari komentar.

250) Tujuh perumpamaan pertama mengenai kenikmatan indria dijabarkan pada MN 54.15-21.

251) Bagian pertama dari kisah Ariṭṭha muncul dua kali dalam Vinaya Piṭaka. Pada Vin ii.25, mendorong Sangha menjatuhkan sanksi penangguhan (ukkhepaniyakamma) atas Ariṭṭha karena menolak melepaskan pandangan salahnya. Pada Vin iv.133-34, penolakannya untuk melepaskan pandangan salahnya setelah beberapa kali diberi nasihat ditetapkan sebagai pelanggaran monastik dalam kelompok Pācittiya.

252) Walaupun Pali menggunakan satu kata kāma dalam seluruh empat kasus, dari konteks ini frasa pertama harus dipahami sebagai merujuk pada kenikmatan indria objektif, yaitu, objek-objek kenikmatan indria, frasa lainnya merujuk pada kekotoran subjektif yang berhubungan dengan indria, yaitu, keinginan indria. MA mengemas “seseorang yang dapat melibatkan diri dalam kenikmatan indria” dengan “seseorang yang menikmati hubungan seksual”. MṬ mengatakan bahwa tindakan fisik lainnya yang melibatkan keinginan seksual seperti merangkul dan menepuk juga termasuk.

253) MA menjelaskan bahwa paragraf ini disebutkan untuk menunjukkan pelanggaran dalam perolehan pengetahuan intelektual Dhamma dengan motivasi kelirujelas merupakan jebakan ke dalam mana Ariṭṭha terjatuh. “Kebaikan (attha) yang karenanya mereka mempelajari Dhamma” adalah jalan dan buah.

254) “Perumpamaan rakit” yang terkenal melanjutkan argumen yang sama terhadap kekeliruan dalam menggunakan pembelajaran yang diperkenalkan oleh perumpamaan ular. Seseorang yang terlena menggunakan Dhamma untuk memicu kontroversi dan memenangkan perdebatan membawa Dhamma di lehernya bukannya menggunakannya untuk menyeberangi banjir.

255) Dhammā pi vo pahātabbā pageva adhammā. Kata dhammā bermakna ganda di sini. MA menginterpretasikannya sebagai bermakna kondisi-kondisi baik, yang mengidentifikasikannya sebagai ketenangan dan pandangan terang (samatha-vipassanā) dalam penulisannya pada teks: “Aku mengajarkan, Para bhikkhu, bahkan meninggalkan keinginan dan kemelekatan pada kondisi-kondisi yang damai dan luhur seperti ketenangan dan pandangan terang, apalagi hal-hal yang rendah, vulgar, tercela, kasar, dan tidak murni itu yang oleh si dungu Ariṭṭha yang dilihat sebagai tidak berbahaya ketika ia mengatakan bahwa tidak ada rintangan dalam keinginan dan nafsu pada kelima utas kenikmatan indria.” Komentator mengutip MN 66.26-33 sebagai contoh dari ajaran Sang Buddha tentang ditinggalkannya kemelekatan pada ketenangan, MN 38.14 sebagai contoh ajaran-Nya tentang ditinggalkannya kemelekatan pada pandangan terang. Perhatikan bahwa dalam masing-masing kasus, adalah kemelekatan pada kondisi-kondisi baik itu yang harus ditinggalkan, bukan kondisi-kondisi baik itu sendiri.

Terlepas dari MA, sepertinya bagi saya bahwa dhammā di sini menyiratkan, bukan kondisi-kondisi baik itu sendiri, melainkan ajaran-ajaran, sikap yang seharusnya yang digambarkan di atas dalam perumpamaan ular. Perumpamaan rakit mengisyaratkan bahwa bahkan ajaran-ajaran yang seharusnya digenggam dengan baik akhirnya harus dilepaskan. Akan tetapi, ini bukanlah undangan pada nihilisme moral, melainkan suatu peringatan bahwa bahkan kemelekatan pada ajaran mulia adalah suatu rintangan bagi kemajuan. Apa yang berlawanan dengan ajaran-ajaran, adhammā, termasuk kelemahan moral yang menguasai Ariṭṭha.

256) Bagian ini terbukti bertujuan mencegah jenis lain konsepsi keliru dan interpretasi keliru dari Dhamma, yaitu, pengenalan pandangan diri ke dalam ajaran. Menurut MA, sudut pandang bagi pandangan (diṭṭhiṭṭhāna) adalah pandangan-pandangan salah itu sendiri sebagai landasan bagi pandangan salah-pandangan salah lainnya yang lebih besar; objek-objek pandangan, yaitu, kelima kelompok unsur kehidupan, dan kondisi-kondisi bagi pandangan-pandangan, yaitu, faktor-faktor seperti kebodohan, persepsi sesat, dan pikiran-pikiran keliru, dan sebagainya.

257) MA menyebutkan bahwa gagasan “ini milikku” dicetuskan oleh keinginan, gagasan “ini aku” oleh keangkuhan, dan gagasan “ini diriku” oleh pandangan salah. Ketiga inikeinginan, keangkuhan, dan pandangan salahdisebut tiga penguasaan (gāha). Ketiga ini juga merupakan penyebab utama dibalik penganggapan (MN 1) dan proliferasi pikiran (MN 18).

258) Rangkaian kata ini menunjukkan kelompok unsur kesadaran secara tidak langsung, melalui objeknya. Yang “terlihat” menunjukkan kesadaran-mata, yang “terdengar” menunjukkan kesadaran-telinga, yang “tercerap” menunjukkan ketiga jenis kesadaran indria lainnya, dan terakhir pada kesadaran-pikiran.

259) Ini adalah pandangan eternalis lengkap yang muncul dengan berdasarkan pada satu yang sebelumnya, jenis yang lebih mendasar dari pandangan personalitas; di sini menjadi objek keinginan, keangkuhan, dan pandangan salah pada diri. Pandangan ini sepertinya mencerminkan filosofi Upanishads, yang menegaskan identitas diri individual (ātman) dengan sosok universal (Brahman), [ ]walaupun sulit untuk menentukan dengan berdasarkan pada teks apakah Sang Buddha secara pribadi memahami Upanishad awal itu sendiri.

260) Asati na paritassati. Bentuk kata benda paritassanā, menurut MA, memiliki dua konotasi ketakutan dan keinginan, dengan demikian “gangguan” terpilih untuk mencakup keduanya. Gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal (§18) merujuk pada keputusasaan duniawi karena kehilangan atau tidak mendapatkan kepemilikan; gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal (§20) merujuk pada keputusasaan eternalis ketika ia secara keliru memahami ajaran Buddha tentang Nibbāna sebagai doktrin nihilisme.

154
230) YM. Mahā Kaccāna dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai siswa terunggul dalam menjelaskan secara terperinci dari suatu ucapan singkat. MN 133 dan MN 138 juga dijelaskan olehnya dalam situasi serupa.

231) Cakkhubhūto ñāṇabhūto dhammabhūto brahmabhūto. MA: Beliau adalah penglihatan dalam makna bahwa Beliau adalah pemimpin dalam penglihatan; Beliau adalah pengetahuan dalam makna bahwa Beliau mengetahui segala sesuatu; Beliau adalah Dhamma dalam makna bahwa Beliau merupakan Dhamma yang Beliau ucapkan secara verbal setelah merenungkannya dalam batin; Beliau adalah Brahmā, yang suci, dalam makna yang terbaik.

232) Paragraf ini menunjukkan bagaimana papañca, keluar dari proses kognisi, memunculkan persepsi dan gagasan yang meliputi dan memangsa penciptanya yang malang. Ms mencantumkan sebuah catatan oleh Ñm: “Pertemuan mata, bentuk, dan kesadaran-mata disebut kontak. Kontak, menurut sebab-akibat yang saling bergantungan, adalah kondisi utama bagi perasaan. Perasaan dan persepsi adalah tidak terpisahkan (MN 43.9). Apa yang dilihat sebagai ‘ini’ adalah pikiran dalam perbedaan dan dengan demikian dibedakan dari ‘itu’ dan dari ‘aku’. Pembedaan inimelibatkan keinginan akan bentuk, pandangan salah tentang kekekalan bentuk, dan sebagainya, dan keangkuhan ‘aku’mengarah pada keterlenaan dengan perhitungan keinginan pada bentuk-bentuk masa lampau dan masa sekarang dengan pandangan untuk memperoleh bentuk yang diinginkan di masa depan.” Mungkin kunci untuk menginterpretasikan paragraf ini adalah penjelasan YM. Mahā Kaccāna pada syair dalam MN 133, di sana terlalu gembira dalam unsur-unsur kognisi memainkan peran penting dalam menyebabkan belenggu, dan penjelasan syair ini dalam hal ketiga periode waktu berhubungan dengan referensi pada ketiga masa dalam sutta ini.

233) Idiom Pali phassapaññattiṁ paññāpessati, yang mana kata kerja mengambil objek yang diturunkan dari kata itu sendiri, agak rumit. Ñm awalnya menerjemahkan “Itu akan menggambarkan suatu penggambaran kontak”. “Untuk menunjukkan sebuah manifestasi” adalah kurang literal, tetapi lebih sesuai dengan maknanya tanpa menimbulkan risiko kerancuan. MA mengatakan bahwa paragraf ini dimaksudkan untuk menunjukkan keseluruhan lingkaran kehidupan (vaṭṭa) melalui dua belas landasan indria; §18 menunjukkan lenyapnya lingkaran (vivaṭṭa) dengan menegaskan kedua belas landasan indria.

234) Kue manis dan besar, atau sebuah bola terbuat dari tepung, ghee, sirop, madu, gula, dan sebagainya. Baca juga AN 5:194/iii.237.


SUTTA 19

235) Dua kelompok pikiran Sang Bodhisatta terjadi selama enam tahun usahanya dalam mencapai pencerahan.

236) Pikiran tanpa-niat buruk dan pikiran tanpa-kekejaman juga dapat dijelaskan secara positif sebagai pikiran cinta kasih (mettā) dan pikiran belas kasihan (karuṇā).

237) MA: pemikiran dan perenungan yang berlebihan mengarah pada kegelisahan. Untuk menjinakkan dan melunakkan pikiran, Sang Bodhisatta akan memasuki pencapaian meditatif, kemudian ia akan keluar dari sana dan mengembangkan pandangan terang.


SUTTA 20

238) Sutta ini beserta komentarnya tersedia dalam suatu terjemahan oleh Soma Thera, The Removal of Distracting Thoughts.

239) MA: Pikiran yang lebih tinggi (addhicitta) adalah pikiran dari delapan pencapaian meditatif yang digunakan sebagai landasan pandangan terang; disebut “pikiran yang lebih tinggi” karena lebih tinggi dari pikiran (bermanfaat) biasa dari sepuluh perbuatan bermanfaat. Lima “gambaran” (nimitta) dapat dipahami sebagai metode praktis untuk melenyapkan pikiran kacau. Hanya dilatih jika pikiran kacau menjadi menetap dan merintangi; pada saat lainnya meditator harus tetap pada subjek meditasi utamanya.

240) MA: Ketika pikiran keinginan indria muncul terarah pada makhluk-makhluk hidup, “gambaran lain” adalah meditasi pada kejijikan (baca MN 10.10); ketika pikiran diarahkan pada benda-benda mati, “gambaran lain” adalah perhatian pada ketidakkekalan. Ketika pikiran kebencian muncul terarah pada makhluk-makhluk hidup, “gambaran lain” adalah meditasi cinta kasih; ketika pikiran diarahkan pada benda-benda mati, “gambaran lain” adalah perhatian pada unsur-unsur (baca MN 10.12). Obat bagi pikiran-pikiran yang berhubungan dengan kebodohan adalah menetap di bawah seorang guru, mempelajari Dhamma; mempertanyakan maknanya, mendengarkan Dhamma, dan mempertanyakan penyebabnya.

241) Metode ini dapat diilustrasikan dengan perenungan Bodhisatta dalam MN 19.3-5. Mengingat keburukan dari pikiran-pikiran jahat menghasilkan rasa malu (hiri); mengingat akibatnya yang berbahaya menghasilkan rasa takut pada pelanggaran (ottappa).

242) Vitakka-sankhāra-saṇṭhānaṁ. MA memahami sankhāra di sini sebagai kondisi, sebab, atau akar, dan mengartikan kata majemuk ini sebagai “menghentikan sebab pikiran”. Ini dicapai dengan bertanya, ketika suatu pikiran tidak bermanfaat muncul: “Apakah penyebabnya? Apakah penyebab dari sebab itu?” dan seterusnya. Pertanyaan demikian, menurut MA, akan mengendurkan, dan akhirnya melenyapkan, arus pikiran yang tidak bermanfaat.

243) MA: Ia harus menggilas kondisi pikiran yang tidak bermanfaat dengan kondisi pikiran yang tidak bermanfaat.

244) Ini menunjukkan pencapaian Kearahatan. Baca n.50.

155
SUTTA 15

212) Vadantu, secara literal berarti “semoga mereka berbicara kepadaku”, menyiratkan makna: “Semoga mereka berbicara kepadaku dengan memberikan instruksi dan nasihat” (MA).

213) Baca MN 5.10-29.

214) Baca MN 8.44 dan n.109.

215) Adalah dari paragraf ini judul sutta ini berasal.

216) MA: teks-teks tua menyebut sutta ini “Bhikkhupātimokkha”. Seorang bhikkhu harus meninjau kembali dirinya tiga kali sehari dengan cara yang dijelaskan dalam sutta. Jika ia tidak dapat melakukannya tiga kali, maka ia harus melakukan dua kali atau, minimal satu kali.


SUTTA 16

217) MA menjelaskan cetokhila, diterjemahkan “belantara dalam batin”, sebagai kekakuan, sampah, atau tunggul dalam batin. Ini menjelaskan cetaso vinibandha sebagai sesuatu yang mengikat batin, mencengkeramnya bagaikan kepalan; karena itu disebut “belenggu dalam batin”. Belantara dalam batin, seperti akan terlihat, terdiri dari empat kasus keragu-raguan, satu dari kebencian; belenggu dalam batin terdiri dari lima variasi keserakahan.

218) MA menjelaskan “Dhamma” di sini sebagai ajaran tekstual dan penembusan pada jalan, buah, dan Nibbāna. Dhamma sebagai praktik disebutkan secara terpisah di bawah sebagai latihan (sikkhā)yaitu, tiga latihan dalam moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan.

219) “Badan jasmani” di sini adalah tubuhnya sendiri, sedangkan “bentuk” di bagian bawah adalah bentuk luar, jasmani orang lain.

220) Empat landasan kekuatan batin (iddhipāda) termasuk dalam tiga puluh tujuh prasyarat pencerahan; merupakan landasan khusus bagi lima jenis pengetahuan langsung lokiya (abhiññā). [ ]Menurut MA, semangat (ussoḷhi) adalah kegigihan, yang diterapkan di mana-mana.

221) Lima belas faktor adalah meninggalkan lima belantara dalam batin, meninggalkan lima belenggu, dan lima yang baru disebutkan. “Keamanan tertinggi dari belenggu” (anuttara yogakkhema) adalah Kearahatan, seperti pada MN 1.27.

222) Perumpamaan ini muncul kembali pada MN 53.19-22 sehubungan dengan penembusan siswa pada tiga jenis pengetahuan sejati (tevijjā).


SUTTA 17

223) Pola yang dibangun oleh §§3-6 dapat disebutkan secara sederhana sebagai berikut:
   Tidak ada kemajuan dan sulit memperoleh benda-benda kebutuhan = pergi;
   Tidak ada kemajuan dan mudah memperoleh benda-benda kebutuhan = pergi;
   Ada kemajuan dan sulit memperoleh benda-benda kebutuhan = tinggal;
   Ada kemajuan dan mudah memperoleh benda-benda kebutuhan = tinggal;

224) Pola yang sama diterapkan dalam §§7-22 pada desa, pemukiman, kota, dan negeri.

225) PTS, di sini dalam menulis anāpucchā, “tanpa pamit”, sepertinya keliru. BBS dan BBJ menulis āpucchā, “setelah pamit”, sepertinya lebih tepat. Karena orang yang padanya seorang bhikkhu bergantungdiduga seorang guru atau penyokong awammenyediakan benda-benda kebutuhan yang cukup, sopan-santun diperlukan bahwa seorang bhikkhu pamit darinya sebelum pergi.

SUTTA 18

226) Daṇḍapāni, yang namanya berarti “tongkat-di-tangan”, dinamai demikian karena ia biasanya berjalan dengan memamerkan tongkat emasnya, walaupun ia masih muda dan sehat. Menurut MA, ia memihak Devadatta, musuh Sang Buddha, ketika Devadatta mencoba memecah-belah para pengikut Sang Buddha. Caranya mengajukan pertanyaan terkesan sombong dan dengan sengaja memprovokasi.

227) Bagian pertama dari jawaban Sang Buddha secara langsung membalas sikap agresif Daṇḍapāni. Sehubungan dengan hal ini, MA mengutip [ ]SN 22:94/iii.138: “Para bhikkhu, Aku tidak berselisih dengan dunia, adalah dunia yang berselisih dengan-Ku. Seorang pembabar Dhamma tidak berselisih dengan siapa pun di dunia ini.” Bagian ke dua dapat dianggap berarti, karena persepsi-persepsi Sang Arahant ([ ]dikatakan di sini sebagai “brahmana itu” dengan merujuk pada Sang Buddha sendiri), tidak lagi membangkitkan kecenderungan tersembunyi yang tertidur pada kekotoran, diuraikan dalam §8.

228) Reaksi ini sepertinya merupakan ungkapan frustrasi dan kebingungan.

229) Interpretasi atas paragraf yang tersamar ini berpusat pada kata papañca dan kata majemuk papañca-saññā-sankhā. Ñm menerjemahkan papañca sebagai “keberagaman” dan papañca-saññā-sankhā sebagai “perhitungan mengenai persepsi keberagaman”. Akan tetapi, sepertinya persoalan utama yang ditunjukkan dengan kata papañca bukanlah “keberagaman”, yang mungkin cukup sesuai jika bidang indria itu sendiri memperlihatkan keragaman, tetapi kecenderungan imajinasi kaum duniawi untuk meledak dalam pencurahan komentar pikiran yang menghalangi pengenalan data. Dalam suatu pembahasan penembusan, Concept and Reality in Early Buddhism, Bhiikhu Ñāṇananda menjelaskan papañca sebagai “proliferasi konseptual”, dan saya mengikutinya dengan menggantikan “keberagaman” dari Ñm menjadi “proliferasi”. Komentar mengidentifikasikan timbulnya proliferasi ini sebagai tiga faktorkeinginan, keangkuhan, dan pandanganyang karenanya pikiran menjadi “membubuhi” pengalaman dengan meginterpretasikannya dengan sebutan “milikku”, “aku”, dan “diriku”. Papañca dengan demikian adalah berhubungan dekat dengan maññanā, “menganggap”, dalam MN 1baca n.6.

Kata majemuk papañca-saññā-sankhā lebih rumit. YM Ñāṇananda menginterpretasikannya sebagai “konsep-konsep yang dikarakteristikkan oleh pikiran yang cenderung berkembang”, tetapi penjelasan ini masih belum memasukkan kata saññā. MA mengemas sankhā dengan koṭṭhāsa, “bagian”, dan mengatakan bahwa saññā adalah persepsi yang berhubungan dengan papañca ataupun papañca itu sendiri. Saya sependapat dengan Ñāṇananda dalam menganggap sankhā lebih sebagai berarti konsep atau gagasan (“Perhitungan” dari Ñm adalah terlalu literal) daripada bagian. Keputusan saya memperlakukan saññā-sankhā sebagai kata majemuk dvanda, “persepsi dan gagasan”, mungkin akan dipertanyakan, tetapi karena ungkapan saññā-sankhā jarang muncul dalam Kanon dan tidak pernah dianalisa secara verbal, maka tidak ada terjemahan yang benar-benar melampaui keragu-raguan. Pada interpretasi alternatif dari komponennya, ungkapan itu mungkin dapat diterjemahkan “gagasan-gagasan [yang muncul dari] proliferasi persepsi” atau “gagasan-gagasan persepsi [yang muncul dari] proliferasi”.

Lanjutannya akan menjelaskan bahwa proses kognisi itu sendiri adalah “sumber yang melaluinya persepsi dan gagasan [yang timbul dari] proliferasi pikiran menyerang seseorang”. Jika dalam proses kognisi tersebut tidak ada yang disenangi, disambut, atau digenggam, maka kecenderungan tersembunyi pada kekotoran-kekotoran akan berakhir.

156
188) Vbh §828: “kekotoran” (sankilesa) adalah suatu kondisi yang [ ]menyebabkan kemunduran, “pemurnian” (vodāna) adalah suatu kondisi yang [ ]menyebabkan kemajuan, “kemunculan” (vuṭṭhāna) adalah pemurnian dan kemunculan pencapaian. Delapan kebebasan (vimokkhā) diuraikan dalam MN 77.22 dan MN 137.26; sembilan pencapaian (samāpatti) adalah empat jhāna, empat pencapaian tanpa materi, dan lenyapnya persepsi dan perasaan seperti pada MN 25.12-20.

189) Idiom yathābhataṁ nikkhitto evaṁ niraye agak rumit; terjemahan di sini mengikuti komentar: “Ia akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa dan diletakkan di sana oleh penjaga neraka.”

190) Dalam tradisi Buddhis belakangan, asura, raksasa atau “lawan-para dewa”, ditambahkan sebagai alam terpisah menjadikan enam alam tujuan kehidupan.

191) MA: walaupun penggambarannya sama dengan kebahagiaan alam surga, maknanya berbeda. Karena kebahagiaan alam surga tidaklah sungguh-sungguh sangat menyenangkan karena demam nafsu, dan sebagainya, masih ada di sana. Tetapi kebahagiaan Nibbāna sungguh sangat menyenangkan dalam segala hal karena lenyapnya segala demam.

192) Pada titik ini, MA memberitahukan kita, Sang Buddha menceritakan kisah praktik pertapaan masa lampau-Nya karena Sunakkhatta adalah seorang pemuja pertapaan keras (seperti yang ditunjukkan dalam Paṭika Sutta) dan Sang Buddha ingin memberitahukan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menyamai-Nya dalam hal praktik pertapaan keras. Paragraf-paragraf berikutnya harus digabungkan dengan MN 4.20 dan MN 36.20-30 untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang percobaan Sang Bodhisatta dalam penyiksaan diri ekstrem.

193) Gagasan ini sepertinya bahwa belas kasihnya terarah, bukan pada kuman dalam setetes air (seperti yang disiratkan dalam terjemahan edisi pertama), melainkan pada makhluk-makhluk yang mungkin terluka atau terbunuh karena tidak berhati-hati dalam membuang air.

194) MA mengatakan bahwa “Delapan hari interval beku” (antaraṭṭhaka himapātasamaya) terjadi pada empat hari pertama bulan Magha dan empat hari pertama bulan Phagguna (yaitu, akhir Februari). Akan tetapi, musim dingin di Asia Selatan biasanya jatuh pada akhir Desember atau awal Januari.

195) Yaitu, mereka menganut pandangan bahwa makhluk-makhluk dimurnikan dengan cara mengurangi makanan.

196) Kelahiran kembali di Alam Murni (suddhāvāsa) hanya mungkin bagi para yang-tidak-kembali.

197) Kata Pali untuk empat istilah ini adalah sati, gati, dhiti, paññāveyyattiya. MA menjelaskan sati sebagai kemampuan untuk menangkap dalam pikiran seratus atau seribu frasa sewaktu diucapkan; gati sebagai kemampuan untuk mengingat dan mempertahankannya dalam pikiran; dithi sebagai kemampuan untuk mengucapkan kembali apa yang telah ditangkap dan diingat; dan paññāveyyattiya sebagai kemampuan untuk melihat makna dan logika dari frasa-frasa tersebut.

198) YM. Nāgasamāla menjadi pelayan pribadi Sang Buddha selama dua puluh tahun pertama pengajaran-Nya.

199) Lomahaṁsanapariyāya. Sutta ini dirujuk dengan nama itu pada Miln 398 dan dalam Komentar Dīgha Nikāya.


SUTTA 13

200) MA: “Pemahaman penuh” (pariññā) di sini berarti mengatasi (samatikkama) atau meninggalkan (pahāna). Para pengembara sekte lain mengidentifikasikan pemahaman penuh pada kenikmatan indria sebagai jhāna pertama, pemahaman penuh pada bentuk materi sebagai alam penjelmaan tanpa materi, dan pemahaman penuh pada perasaan sebagai alam penjelmaan tanpa-perasaan. Sang Buddha, sebaliknya, menggambarkan pemahaman penuh pada kenikmatan indria sebagai jalan yang-tidak-kembali, dan pemahaman penuh pada bentuk materi dan perasaan sebagai jalan Kearahatan.

201) MA memberikan penggambaran grafis pada masing-masing bentuk siksaan ini.

202) Harus dipahami bahwa sementara bahaya dalam kenikmatan indria yang sebelumnya disebut “kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini” (sandiṭṭhiko dukkhakkhandho), yang ini disebut “kumpulan penderitaan dalam kehidupan mendatang” (samparāyiko dukkhakkhandho).

203) MA mengatakan bahwa Nibbāna adalah lenyapnya dan ditinggalkannya keinginan dan nafsu akan kenikmatan indria, karena dengan bergantung pada Nibbāna, keinginan dan nafsu dilenyapkan dan ditinggalkan. Ini juga dapat dianggap termasuk jalan yang-tidak-kembali, yang sempurna meninggalkan keinginan dan nafsu akan kenikmatan indria.

204) Untuk mengungkapkan bahaya dalam perasaan, Sang Buddha memilih kenikmatan lokiya yang paling halus dan luhur, kebahagiaan dan kedamaian jhāna, dan menunjukkan bahwa bahkan kondisi-kondisi demikian adalah tidak kekal dan dengan demikian tidak memuaskan.


SUTTA 14

205) Mahānāma orang Sakya adalah saudara sepupu Sang Buddha dan saudara dari YM. Anuruddha dan Ānanda. Ia memilih untuk tetap menjadi perumah tangga dan membiarkan Anuruddha menjadi bhikkhu, kisah ini terdapat dalam Ñāṇamoli, The Life of the Buddha, pp.80-81.

206) Menurut MA, Mahānāma telah lama mencapai buah yang-kembali-sekali, yang hanya melemahkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan, namun belum melenyapkannya. MA mengatakan bahwa ia memiliki gagasan keliru bahwa keserakahan, kebencian, dan kebodohan dilenyapkan melalui jalan yang-kembali-sekali. Dengan demikian, ketika ia melihat bahwa keserakahan, kebencian, dan kebodohan masih muncul dalam pikirannya, ia menyadari bahwa ia belum meninggalkannya dan menanyakan sebab kemunculannya kepada Sang Buddha. Para siswa mulia dapat keliru mengenai kekotoran apa yang ditinggalkan oleh jalan apa.

207) Dari pembahasan selanjutnya tentang bahaya dalam kenikmatan indria, sepertinya “kondisi” (dhamma) yang belum ditinggalkan oleh Mahānāma adalah keinginan indria, yang masih mengikatnya pada kehidupan rumah tangga dan menikmati kenikmatan indria.

208) “Kegembiraan dan kenikmatan yang terpisah dari kenikmatan indria” adalah kegembiraan dan kenikmatan dalam jhāna pertama dan ke dua; kondisi-kondisi yang “lebih damai daripada itu” adalah jhāna-jhāna yang lebih tinggi. Dari paragraf ini, sepertinya bahwa seorang siswa dapat mencapai bahkan hingga jalan dan buah ke dua tanpa memiliki jhāna lokiya.

209) Para Nigaṇṭha atau Jain, para pengikut Guru Nigaṇṭha Nātaputta (juga dikenal dengan nama Mahāvīra), menekankan praktik pertapaan keras untuk meluruhkan akumulasi kamma buruk masa lampau. Tujuan paragraf ini, menurut MA, adalah untuk menunjukkan jalan membebaskan diri, yang belum ditunjukkan sebelumnya bersama dengan kepuasan dan bahaya dalam kenikmatan indria. Sang Buddha manyebutkan praktik pertapaan Jain untuk memperlihatkan bahwa ajarannya adalah “Jalan Tengah” yang bebas dari kedua ekstrem menikmati kenikmatan indria dan penyiksaan diri.

210) Para Jain menganut pandangan bahwa apa pun yang dialami seseorang adalah disebabkan oleh kamma lampau. Jika demikian, Sang Buddha membantah, maka kesakitan yang mereka alami sebagai bagian dari disiplin pertapaan mereka adalah berakar pada perbuatan buruk mereka dalam kehidupan sebelumnya.

211) MA: ini merujuk pada pengalaman-Nya sendiri akan kenikmatan pencapaian buah, yaitu, pencapaian buah Kearahatan (arahattaphalasamāpatti).

157
SUTTA 11

166) Frasa “hanya di sini” berarti hanya dalam Pengajaran Buddha. Empat petapa (samaṇa) merujuk pada empat tingkat siswa ariyapemasuk-arus, yang-kembali-sekali, yang-tidak-kembali, dan Arahant. “Auman singa” (sīhanāda), menurut MA, adalah auman keunggulan dan tanpa ketakutan, auman yang tidak dapat dibantah. Sehubungan dengan pernyataan Sang Buddha ini, baca juga khotbah-Nya kepada Subhadda dalam Mahāparinibbāna Sutta (DN 16:5.27/ii.151-52).

167) MA: Walaupun para pengikut sekte lain semuanya menyatakan Kearahatanyang dipahami secara umum sebagai kesempurnaan spiritualsebagai tujuan, namun mereka menunjukkan pencapaian lain sebagai tujuan sesuai dengan pandangan mereka. Demikianlah para brahmana menyatakan alam-Brahmā sebagai tujuan, para petapa menyatakan dewa dengan Cahaya Gemerlap, para pengembara menyatakan dewa dengan Keagungan Gemilang, dan para Ājīvaka menyatakan kondisi tanpa-persepsi, yang mereka bayangkan sebagai “pikiran yang tanpa batas”.

168) “Menyukai dan menolak” (anurodhapaṭivirodha) berarti bereaksi dengan ketertarikan melalui nafsu dan dengan ketidaksenangan melalui kebencian.

169) Proliferasi (papañca), menurut MA, ini adalah aktivitas pikiran yang diatur oleh keinginan dan pandangan. Penjelasan lebih lanjut sehubungan dengan kata penting ini, baca n.229.

170) Pandangan penjelmaan (bhavadiṭṭhi) adalah eternalisme, kepercayaan akan diri yang abadi; pandangan tanpa-penjelmaan (vibhadiṭṭhi) [ ]adalah nihilisme, penyangkalan pada prinsip kelangsungan sebagai suatu landasan bagi kelahiran kembali dan pembalasan kamma. Pengadopsian salah satu pandangan merupakan penolakan pada pandangan lainnya yang berhubungan dengan pernyataan sebelumnya bahwa tujuan itu adalah untuk seorang yang tidak menyukai dan tidak menolak.

171) Sehubungan dengan asal-mula (samudaya) dari pandangan-pandangan ini, MA menyebutkan delapan kondisi: kelima kelompok unsur kehidupan, kebodohan, kontak, persepsi, pikiran, perhatian tidak bijaksana, teman-teman yang buruk, dan kata-kata orang lain. Lenyapnya (atthangama) pandangan-pandangan ini adalah jalan memasuki-arus, yang melenyapkan semua pandangan salah. Kepuasan (assāda) [ ]dapat dipahami sebagai kepuasan pada kebutuhan psikologis yang diberikan oleh pandangan-pandangan itu; bahaya (ādīnava) adalah belenggu yang terus-menerus yang dibawa oleh pandangan-pandangan itu; jalan membebaskan diri (nissaraṇa) dari pandangan-pandangan itu adalah Nibbāna.

172) MA mengemas pemahaman penuh (pariññā) di sini sebagai mengatasi, melampaui (samatikkama), dengan merujuk pada gagasan komentar atas pahānapariññā, “pemahaman penuh sebagai pelepasan”. Baca n.7.

173) Paragraf ini dengan jelas menyebutkan faktor penting yang membedakan ajaran Buddha dari kepercayaan filosofis dan religius lainnya adalah “pemahaman penuh terhadap kemelekatan pada ajaran itu sendiri”. Ini berarti, intinya, bahwa Sang Buddha sendiri mampu menunjukkan bagaimana mengatasi semua pandangan diri dengan mengembangkan penembusan pada kebenaran tanpa-diri. Karena para guru spiritual lainnya tidak memiliki pemahaman tanpa-diri ini, pengakuan mereka sehubungan dengan pemahaman sepenuhnya ketiga jenis kemelekatan ini juga adalah dugaan.

174) MA: Yaitu, Sang Buddha mengajarkan bagaimana kemelekatan pada kenikmatan indria (dipahami sebagai terdiri dari segala bentuk keserakahan, MṬ) ditinggalkan melalui jalan Kearahatan, ketiga kemelekatan lainnya melalui jalan memasuki-arus.

175) Paragraf ini disebutkan untuk menunjukkan bagaimana kemelekatan ditinggalkan. Kemelekatan ditelusuri hingga penyebab-akarnya dalam kebodohan, dan kemudian hancurnya kebodohan ditunjukkan sebagai cara untuk melenyapkan kemelekatan.

176) Idiom Pali, n’ eva kāmupādānaṁ upādiyati, seharusnya diterjemahkan secara literal sebagai “ia tidak melekat pada kemelekatan pada kenikmatan indria”, yang dapat mengaburkan maknanya daripada menjelaskannya. Ūpādāna dalam Pali adalah objek dari kata kerjanya sendiri, sementara “kemelekatan” (clinging, Ing.) bukan. Pada satu tahapan dalam terjemahannya, Ñm mencoba untuk menghindari persoalan ini dengan meminjam makna lain dari kata ūpādāna, yaitu, “bahan bakar” dan menerjemahkannya: “ia tidak lagi melekat pada kenikmatan indria [sebagai bahan bakar bagi] kemelekatan”. Akan tetapi, ini juga masih kabur, dan oleh karena itu, saya mencoba untuk melewati kesulitan ini dengan menerjemahkannya secara langsung sesuai maknanya daripada menyesuaikan dengan kalimat idiom tersebut.


SUTTA 12

177) Sunakkhata Sutta (MN 105) telah dibabarkan kepadanya oleh Sang Buddha, jelas sebelum ia bergabung dalam Sangha; kisah mengenai peralihannya dijelaskan dalam Pāṭika Sutta (DN 24). Ia menjadi tidak puas dan meninggalkan Sangha karena Sang Buddha tidak memperlihatkan kesaktian apa pun padanya atau menjelaskan kepadanya tentang awal dari segala sesuatu.

178) Kondisi-kondisi melampaui manusia (uttari manussadhammā) adalah kondisi-kondisi, moralitas, atau pencapaian yang lebih tinggi daripada manusia biasa yang terdiri dari sepuluh perbuatan baik (baca MN 9.6); termasuk jhāna-jhāna, jenis-jenis pengetahuan langsung, dan jalan dan buah. “Keluhuran dalam hal pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia” (alamariyañāṇadassanavisesa), ungkapan yang sering muncul dalam sutta-sutta, menyiratkan semua tingkatan pengetahuan meditatif yang lebih tinggi yang menjadi karakteristik individu mulia. Di sini, menurut MA, ini secara khusus berarti jalan lokuttara, yang disangkal oleh Sunakkhatta pada Sang Buddha.

179) Inti dari kritikannya adalah bahwa Sang Buddha mengajarkan suatu doktrin yang Beliau capai sendiri dalam pikiran-Nya bukan seorang yang telah mencapainya melalui kebijaksanaan transenden. Jelas ia percaya bahwa dengan dituntun menuju kehancuran total penderitaan adalah, sebagai suatu tujuan, lebih rendah daripada mencapai kekuatan gaib.

180) Semua bagian berikutnya disampaikan sebagai bantahan terhadap kritikan Sunakkhatta pada Sang Buddha. §§6-8 mencakup tiga pertama dari enam pengetahuan langsung (abhiññā), tiga terakhir adalah yang terakhir dari sepuluh kekuatan Sang Tathāgata. Sepuluh kekuatan Sang Tathāgata, menurut MA, dipahami sebagai kekuatan pengetahuan (ñāṇabala) yang dicapai oleh semua Buddha sebagai buah akumulasi jasa mereka. Vibhanga (§§809-31/440-51) dari Abhidhamma Piṭaka menguraikan analisanya.

181) Tentang Sang Buddha mengaumkan auman singa-Nya, baca SN 22:78/iii.84-86. Roda Brahmā adalah yang tertinggi, terbaik, roda yang terunggul, Roda Dhamma (dhammacakka) dalam dua maknanya: pengetahuan menembus kebenaran dan pengetahuan bagaimana membabarkan ajaran (MA).

182) Vbh §809 menjelaskan pengetahuan ini dengan mengutip MN 115.12-17. Akan tetapi, MA, menjelaskan secara berbeda sebagai pengetahuan atas hubungan antara sebab dan akibatnya.

183) Pengetahuan ini dapat ditunjukkan oleh analisis kamma menurut Sang Buddha dalam MN 57, MN 135, dan MN 136. MA menjelaskan kemungkinan (ṭhāna) [ ]seperti alam, situasi, waktu, dan usahafaktor-faktor yang dapat menghalangi atau mendorong akibatnya; penyebabnya (hetu) adalah kamma itu sendiri.

184) Pengetahuan ini akan dijelaskan dalam §§35-42 di bawah.

185) Pemahaman Sang Tathāgata atas banyak unsur yang menyusun dunia terdapat dalam MN 115.4-9.

186) Vbh §813 menjelaskan bahwa Sang Tathāgata memahami makhluk-makhluk berkecenderungan rendah dan berkecenderungan mulia, dan bahwa mereka condong kepada mereka yang memiliki kecenderungan sama.

187) Vbh §814-27 memberikan analisa terperinci. MA menyebutkan maknanya secara lebih ringkas sebagai pengetahuan Sang Tathāgata terhadap indria keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan makhluk-makhluk yang rendah maupun mulia.

158
145) MA: Demi pengetahuan dan perhatian yang lebih luas dan lebih tinggi.

146) Pemahaman atas postur tubuh yang dirujuk dalam latihan ini bukanlah pengetahuan alami yang biasa kita miliki sehubungan dengan aktivitas jasmani, melainkan kewaspadaan penuh dan terus-menerus terhadap jasmani dalam setiap posisi, yang disertai dengan pemeriksaan analitis yang dimaksudkan untuk melenyapkan kebodohan yang beranggapan diri sebagai pelaku gerakan jasmani.

147) Sampajañña, juga diterjemahkan sebagai “pemahaman jernih” (Soma, Nyanaponika), dianalisa dalam komentar dalam empat jenis: kewaspadaan penuh atas tujuan perbuatan, kewaspadaan penuh atas kesesuaian caranya; kewaspadaan penuh atas wilayah, yaitu, tidak meninggalkan subjek meditasi selama aktivitas rutin sehari-hari; dan kewaspadaan penuh atas kenyataan, pengetahuan bahwa di balik aktivitas seseorang tidak ada diri yang berdiam. Baca The Way of Mindfulness, pp.60-100; The Heart of Buddhist Meditation, pp. 46-55.

148) Dalam karya Pali belakangan, otak ditambahkan pada daftar di atas membentuk tiga puluh dua bagian. Rincian praktik meditasi ini dijelaskan dalam Vsm VIII, 42-144.

149) Empat unsur utama ini dijelaskan oleh tradisi Buddhis sebagai atribut materi utamakepadatan, kohesi, panas, dan perluasan. Penjelasan terperinci terdapat pada Vsm XI, 27-117.

150) Kata “seolah-olah” (seyyathāpi) menyiratkan bahwa meditasi ini, dan yang berikutnya, tidak harus berdasarkan pada penglihatan sesungguhnya pada mayat dalam kondisi rusak seperti digambarkan, tetapi dapat dilakukan dengan latihan membayangkan. “Jasmani yang sama ini” adalah, tentu saja, jasmani di meditator.

151) Masing-masing dari empat jenis mayat yang disebutkan di sini, dan tiga jenis berikutnya, dapat dianggap sebagai subjek meditasi terpisah dan mencukupi; atau keseluruhannya dapat digunakan sebagai rangkaian progresif untuk menekankan gagasan pikiran akan kesementaraan dan ketanpaintian jasmani ini. Kemajuan berlanjut pada §§26-30, daftar tulang-belulang di sini diterjemahkan dari versi yang lebih lengkap dari edisi BBS.

152) Perasaan (vedanā) menyiratkan kualitas efektif dari pengalaman, jasmani dan batin, baik menyenangkan, menyakitkan, maupun bukan keduanya, yaitu, perasaan netral. Contoh dari bentuk-bentuk “duniawi” dan “nonduniawi” yang membentuk perasaan-perasaan ini diberikan pada MN 137.9-15 di bawah rubrik enam jenis kegembiraan, kesedihan, dan keseimbangan berdasarkan berturut-turut pada kehidupan rumah tangga dan pelepasan keduniawian.

153) Kondisi-kondisi bagi muncul dan lenyapnya perasaan adalah sama dengan kondisi-kondisi muncul dan lenyapnya jasmani (baca n.144) kecuali bahwa makanan digantikan dengan kontak, karena kontak adalah kondisi bagi perasaan (baca MN 9.42).

154) Pikiran (citta) sebagai suatu objek perenungan merujuk pada kondisi dan tingkatan umum kesadaran. Karena kesadaran itu sendiri, secara alami, hanyalah sekadar mengetahui atau mengenali suatu objek, kualitas kondisi pikiran apa pun ditentukan oleh faktor-faktor batin tertentu, seperti nafsu, kebencian, dan kebodohan atau lawannya, seperti disebutkan dalam sutta.

155) Contoh berpasangan dari citta yang diberikan dalam paragraf ini memperlawankan kondisi pikiran yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, atau karakter yang terkembang dan tidak terkembang. Akan tetapi, suatu pengecualian, adalah pasangan “mengerut” dan “kacau”, yang keduanya adalah tidak bermanfaat, mengerut karena kelambanan dan ketumpulan, kacau karena kegelisahan dan penyesalan. MA menjelaskan “pikiran luhur” dan “pikiran yang tanpa batas” adalah pikiran yang berhubungan dengan tingkatan jhāna dan pencapaian meditatif tanpa materi, dan “pikiran tidak luhur” dan “pikiran terbatas” adalah berhubungan dengan tingkatan kesadaran alam-indria. “Pikiran terbebaskan” harus dipahami sebagai pikiran yang secara sementara dan secara sebagian terbebas dari kekotoran-kekotoran melalui pandangan terang atau jhāṅa. Karena praktik satipaṭṭhāna berhubungan dengan tahap persiapan dari sang jalan yang ditujukan pada jalan kebebasan lokuttara, kategori terakhir ini jangan diartikan sebagai pikiran yang terbebas melalui pencapaian jalan lokuttara.

156) Kondisi-kondisi muncul dan lenyapnya pikiran adalah serupa dengan kondisi-kondisi muncul dan lenyapnya jasmani kecuali bahwa makanan digantikan oleh batin-jasmani, karena batin-jasmani adalah kondisi bagi kesadaran (baca DN 15.22/ii.63).


157) Kata yang diterjemahkan sebagai “objek-objek pikiran” adalah dhammā yang memiliki banyak makna. Dalam konteks ini, dhammā dapat dipahami sebagai terdiri dari segala fenomena yang dikelompokkan melalui “pengategorian Dhamma, Ajaran Sang Buddha tentang kenyataan. Perenungan ini mencapai puncaknya pada penembusan ajaran ke dalam jantung DhammaEmpat Kebenaran Mulia.

158) Lima rintangan (pañcanīvaraṇā) adalah halangan batin utama pada pengembangan konsentrasi dan pandangan terang. Keinginan indria muncul melalui perhatian yang tidak bijaksana pada kemenarikan objek indria dan ditinggalkan melalui meditasi pada objek menjijikkan (seperti dalam §10 dan §§14-30); niat buruk muncul melalui perhatian yang tidak bijaksana pada objek yang menjijikkan dan ditinggalkan melalui pengembangan cinta kasih; kelambanan dan ketumpulan muncul karena menyerah pada kebosanan dan kemalasan dan ditinggalkan dengan membangkitkan semangat; kegelisahan dan penyesalan muncul melalui perenungan yang tidak bijaksana pada pikiran-pikiran yang mengganggu dan ditinggalkan melalui perenungan yang bijaksana pada ketenangan; keragu-raguan muncul melalui perenungan yang tidak bijaksana pada hal-hal yang meragukan dan ditinggalkan melalui pembelajaran, penyelidikan, dan bertanya. Rintangan-rintangan ini dilenyapkan sepenuhnya hanya melalui jalan lokuttara. Untuk pembahasan lebih lengkap, baca The Way of Mindfulness, pp.119-130; Nyanaponika Thera, The Five Mental Hindrances; dan juga MN 27.18 dan MN 39.13-14 di bawah.

159) Kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan (pañc’ upādānakkhandhā) adalah lima kelompok faktor yang menyusun individu personal. Kelompok-kelompok unsur kehidupan ini dibahas dalam Pendahuluan, p.26, dan dianalisa serta dijelaskan dalam hal asal-mula dan lenyapnya pada MN 109.9.

160) Landasan-landasan internal adalah, seperti ditunjukkan, enam organ indria; landasan-landasan eksternal adalah objek-objeknya masing-masing. Belenggu yang muncul dengan bergantung pada pasangan ini dapat dipahami melalui sepuluh belenggu yang dijelaskan dalam Pendahuluan, pp.42-43, atau secara lebih sederhana sebagai ketertarikan (keserakahan), ketidaksenangan (kebencian), dan kebodohan yang mendasari.

161) Bagaimana ketujuh faktor pencerahan ini terungkap dalam urutan bertahap dijelaskan pada MN 118.29-40. Untuk pembahasan lebih terperinci, baca Piyadassi Thera, The Seven Factor of Enlightenment.

162) “Penyelidikan kondisi-kondisi” (dhammavicaya) berarti meneliti fenomena batin dan jasmani yang muncul dalam pikiran meditator melalui perhatian.

163) Komentar menjelaskan secara terperinci kondisi-kondisi yang mendukung kematangan faktor-faktor pencerahan. Baca The Way of Mindfulness, pp.134-149.

164) Dalam bagian ini, perenungan dhammā sebagai objek-objek pikiran memuncak pada pemahaman Dhamma dalam formula inti sebagai Empat Kebenaran Mulia. Mahāsatipaṭṭhāna Sutta yang lebih panjang dalam Dīgha Nikāya memberikan definisi dan penjelasan yang lebih luas pada masing-masing kebenaran.

165) Pengetahuan akhir, aññā, adalah pengetahuan kebebasan akhir seorang Arahant. Tidak Kembali (anāgāmitā) tentu saja adalah kondisi yang-tidak-kembali, yang terlahir kembali di alam yang lebih tinggi di mana ia mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali ke alam manusia.

159
SUTTA 10

133) Ini adalah salah satu terpenting dalam Kanon Pali, berisikan pernyataan yang paling luas dari jalan paling langsung pada pencapaian tujuan Buddhis. Sebenarnya sutta serupa juga terdapat pada DN 22, walaupun dengan tambahan analisa yang diperluas pada Empat Kebenaran Mulia, yang menjadikannya lebih panjang. Sutta ini, komentarnya, dan kutipan-kutipannya telah disajikan beserta terjemahannya oleh Soma Thera dalam The Way of Mindfulness. Suatu terjemahan atas sutta ini yang sangat mudah dibaca, dengan komentarnya yang jelas dan mendalam, dapat ditemukan dalam Nyanaponika Thera, The Heart of Buddhist Meditation.

134) Pemukiman ini dikatakan oleh beberapa terpelajar berlokasi di sekitar Delhi Modern.

135) Dalam Pali tertulis ekāyano ayaṁ bhikkhave maggo, yang hampir semua penerjemah memahaminya sebagai suatu pernyataan yang menganggap satipaṭṭhāna sebagai suatu jalan yang eksklusif. Demikianlah YM. Soma menerjemahkannya: “Ini adalah jalan satu-satunya, O, Para bihkkhu”. dan YM. Nyanaponika: “Ini adalah jalan tunggal, Para bhikkhu”. Akan tetapi, Ñm menunjukkan bahwa ekāyana magga pada MN 12.37-42 memiliki makna yang tidak membingungkan sebagai “jalan satu arah”, dan demikianlah ia menerjemahkan frasa ini dalam paragraf ini. Ungkapan yang digunakan di sini, “jalan langsung”, adalah suatu usaha untuk melestarikan makna yang lebih luwes. MA menjelaskan ekāyana magga sebagai jalan tunggal, bukan jalan bercabang; sebagai jalan yang harus dijalani oleh diri sendiri, tanpa pendamping; dan merupakan jalan yang menuju ke satu tujuan, Nibbāna. Walaupun tidak ada dasar Kanonis atau komentar atas pandangan ini, namun dapat dikatakan bahwa satipaṭṭhāna disebut ekāyana magga, jalan langsung, untuk membedakannya dari pendekatan pencapaian meditatif yang melalui jhāna atau brahmavihāra. Walaupun jhāna atau brahmavihāra dapat menuntun menuju Nibbāna, namun juga dapat menyimpang, sedangkan satipaṭṭhāna pasti menuntun menuju tujuan akhir.

136) Kata satipaṭṭhāna adalah kata majemuk. Bagian pertama, sati, secara literal berarti “ingatan”, tetapi dalam penggunaan Buddhis Pali lebih sering bermakna perhatian yang diarahkan pada masa sekarangdemikianlah perubahan penerjemahan menjadi “perhatian”. Bagian ke dua dijelaskan dalam dua cara: sebagai bentuk singkat dari upaṭṭhāna, [ ]yang berarti “menegakkan” atau “membentuk”di sini, dalam hal perhatian; atau sebagai paṭṭhāna, [ ]yang berarti “wilayah” atau “landasan”sekali lagi, dalam hal perhatian. Dengan demikian empat satipaṭṭhāna dapat dipahami sebagai empat cara menegakkan perhatian atau sebagai empat wilayah objek perhatian, yang diperkuat dalam isi sutta ini. Makna pertama sepertinya turunan yang benar secara etimologi (ditegaskan oleh Sanskrit sm tyupasthāna), tetapi para komentator Pali, walaupun menerima kedua penjelasan ini, lebih menyukai makna ke dua.

137) MA mengatakan bahwa dalam konteks ini, “bhikkhu” adalah kata yang menunjukkan seseorang yang dengan sungguh-sungguh berusaha untuk melatih ajaran: “Siapa pun yang menjalankan praktik itu ... di sini termasuk dalam kata ‘bhikkhu’.

138) Pengulangan dalam frasa “merenungkan jasmani sebagai jasmani” (kaye kāyānupassī), menurut MA, bertujuan untuk secara tepat menentukan objek perenungan dan mengisolasi objek tersebut dari yang lainnya yang dapat membingungkan. Dengan demikian, dalam praktik ini, jasmani harus direnungkan sebagaimana adanya, dan bukan perasaan, gagasan, atau emosi yang berhubungan dengan jasmani. Frasa ini juga bermakna bahwa jasmani harus direnungkan hanya sebagai jasmani, bukan sebagai laki-laki, perempuan, diri, atau makhluk hidup. Pertimbangan serupa berlaku pada pengulangan dalam masing-masing dari ketiga landasan perhatian lainnya. “Ketamakan dan kesedihan”, MA mengatakan, adalah keinginan indria dan niat buruk, rintangan utama yang harus diatasi agar praktik ini berhasil, diuraikan secara terpisah di bawah pada §36.

139) Struktur sutta ini sangat sederhana. Setelah pembukaan, batang tubuh khotbah ini jatuh dalam empat bagian menurut empat landasan perhatian:
I.   Perenungan jasmani, yang terdiri dari empat belas latihan: perhatian pada pernapasan; perenungan pada empat postur; kewaspadaan penuh; perhatian pada kejijikan; perhatian pada unsur-unsur; dan sembilan “perenungan tanah pekuburan”perenungan pada mayat dalam berbagai tahap kerusakan.
II.   Perenungan perasaan, dianggap satu latihan.
III.   Perenungan pikiran, juga satu latihan.
IV.   Perenungan objek-objek pikiran, yang terdiri dari lima sub-bagianlima rintangan; lima kelompok unsur kehidupan; tujuh faktor pencerahan; dan Empat Kebenaran Mulia.

Demikianlah sutta ini menjelaskan keseluruhan dua puluh satu latihan perenungan. Masing-masing latihan pada gilirannya memiliki dua aspek: latihan dasar, dijelaskan pertama kali, dan bagian tambahan mengenai pandangan terang (yang intinya sama untuk semua latihan), yang menunjukkan bagaimana perenungan dikembangkan untuk memperdalam pemahaman akan fenomena yang diselidiki.

Akhirnya, sutta ini ditutup dengan pernyataan jaminan yang mana Sang Buddha secara pribadi menjamin efektivitas metode ini dengan menyatakan buah dari praktik yang dilakukan terus-menerus ini adalah Kearahatan atau yang-tidak-kembali,

140) Praktik perhatian pada pernapasan (ānāpānasati) tidak melibatkan usaha untuk mengatur napas, seperti pada hatha yoga, tetapi mempertahankan usaha memusatkan kewaspadaan pada napas sewaktu masuk dan keluar secara alami. Perhatian ditegakkan di lubang hidung atau bibir atas, di mana pun sentuhan napas paling jelas dirasakan; panjang napas diperhatikan namun tidak dengan sengaja dikendalikan. Pengembangan meditasi ini secara lengkap dijelaskan dalam MN 118. Untuk koleksi yang lebih terstruktur atas topik ini, baca Bhikkhu Ñāṇamoli, Mindfulness of Breathing, baca juga Vsm VIII, 145-244.

141) MA menjelaskan “mengalami keseluruhan tubuh” (sabbakāyapaṭisaṁvedī) sebagai bermakna bahwa meditator mewaspadai tiap-tiap napas masuk dan keluar melalui tiga tahap awal, pertengahan, dan akhir. Pada edisi pertama, saya mengikuti penjelasan ini dan menambahkan dalam kurung “napas” setelah “keseluruhan tubuh”. Akan tetapi, setelah mempertimbangkan kembali, interpretasi ini sepertinya terlalu dipaksakan, dan sekarang saya lebih suka mengartikan frasa ini secara literal. Juga adalah sulit melihat bagaimana paṭisaṁvedi dapat berarti “mewaspadai”, karena kata ini didasarkan pada kata kerja yang berarti “mengalami”.

142) “Bentukan jasmani” (kāyasankhāra) didefinisikan pada MN 44.13 sebagai napas masuk dan keluar itu sendiri. Demikianlah, seperti yang dijelaskan MA, dengan pengembangan praktik yang berhasil, napas si meditator menjadi semakin halus, tenang, dan damai.

143) MA: “secara internal”: merenungkan napas dalam tubuhnya sendiri. “Secara eksternal”: merenungkan napas pada tubuh orang lain. “Secara internal dan eksternal”: merenungkan napas dalam tubuh sendiri dan tubuh orang lain bergantian, dengan perhatian tanpa terputus. Penjelasan serupa berlaku untuk bagian pengulangan pada tiap-tiap bagian lainnya, kecuali [ ]bahwa dalam perenungan perasaan, pikiran, dan objek-objek pikiran, perenungan secara eksternal, selain dari mereka yang memiliki kekuatan telepatis, harus dilakukan dengan menyimpulkan.


144) Ungkapan samudayadhammānupassi kāyasmiṁ viharati biasanya diterjemahkan “ia berdiam merenungkan faktor-faktor munculnya dalam jasmani” (seperti yang terdapat pada edisi pertama), dengan asumsi bahwa kata majemuk itu berisikan bentuk jamak, samudayadhammā. Akan tetapi, makna jamak, bukanlah keharusan, dan adalah lebih konsisten dengan penggunaan akhiran –dhamma di tempat lain dengan menganggapnya berarti “tunduk pada” atau “memiliki sifat” di sini juga. Penjelasan komentar terhadap faktor-faktor pengondisi bagi masing-masing dari keempat landasan tidak menyiratkan bahwa komentar memahami –dhamma sebagai berarti faktor-faktor pengondisi yang sebenarnya.

MA menjelaskan bahwa sifat munculnya (samudayadhammā) dari jasmani dapat diamati dalam kondisi asal-mulanya melalui kebodohan, keinginan, kamma, dan makanan, serta asal-mula saat demi saat dari fenomena materi dalam jasmani. Dalam hal perhatian pada pernapasan, suatu kondisi adalah perlengkapan pernapasan fisiologis. “Sifat lenyapnya” (vayadhammā) bagi jasmani dapat dilihat dalam lenyapnya fenomena jasmani melalui lenyapnya kondisi-kondisinya serta dalam saat demi saat lenyapnya fenomena jasmani.


ko hendra, ini ada 5 sub bagian, tapi cuma 4 yg disebutkan. kurang yg 6 landasan indria, di englishnya apa memang gini jg?
IV.   Perenungan objek-objek pikiran, yang terdiri dari lima sub-bagianlima rintangan; lima kelompok unsur kehidupan; tujuh faktor pencerahan; dan Empat Kebenaran Mulia.

160
SUTTA 9

114) MA: Pandangan benar ada dua: lokiya dan lokuttara: Pandangan benar lokiya dibagi menjadi dua lagi: pandangan bahwa kamma menghasilkan buahnya, yang dianut oleh baik para Buddhis maupun diluar Buddhis, dan pandangan yang sesuai dengan Empat Kebenaran Mulia, yang eksklusif pada Ajaran Buddha. Pandangan benar lokuttara adalah pemahaman atas Empat Kebenaran Mulia yang dicapai melalui penembusan empat jalan dan buah kesucian. Pertanyaan yang diajukan oleh Yang Mulia Sāriputta adalah sehubungan dengan sekha, siswa dalam latihan yang lebih tinggi, yang memiliki pandangan benar yang satu arah menuju kebebasan. Ini disiratkan oleh frasa “keyakinan tidak tergoyahkan” dan “telah sampai pada Dhamma sejati ini”.

115) Di sini yang tidak bermanfaat (akusala) dijelaskan melalui sepuluh perbuatan tidak bermanfaat. Tiga pertama berhubungan dengan perbuatan jasmani, empat berikutnya berhubungan dengan ucapan, dan tiga terakhir berhubungan dengan pikiran. Sepuluh ini dijelaskan secara lengkap pada MN 41.8-10.

116) Tiga ini disebut akar yang tidak bermanfaat karena mendorong semua perbuatan tidak bermanfaat. Untuk pembahasan yang lebih lengkap dan informatif dari faktor-faktor ini dan lawan-lawannya, baca Nyanaponika Thera, The Roots of Good and Evil.

117) Sepuluh perbuatan tidak bermanfaat ini dijelaskan dalam MN 42.12-14.

118) MA menjelaskan pemahaman siswa atas keempat hal ini melalui Empat Kebenaran Mulia adalah sebagai berikut: semua perbuatan adalah kebenaran penderitaan; akar bermanfaat dan tidak bermanfaat adalah kebenaran asal-mula; tidak terjadinya perbuatan itu dan akar-akarnya adalah kebenaran lenyapnya; dan jalan mulia yang mencapai lenyapnya adalah kebenaran sang jalan. Hingga sejauh ini seorang siswa mulia pada salah satu dari ketiga tingkat telah dijelaskanseorang yang telah sampai pada pandangan benar lokuttara namun belum melenyapkan semua kekotoran.

119) Paragraf dari “ia sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu” hingga “ia mengakhiri penderitaan” menunjukkan tugas yang diselesaikan oleh jalan yang-tidak-kembali dan jalan Kearahatanlenyapnya kekotoran yang paling halus dan membandel dan pencapaian pengetahuan akhir. Di sini, kecenderungan tersembunyi pada nafsu indria dan kebencian dilenyapkan melalui jalan yang-tidak-kembali, kecenderungan tersembunyi pada pandangan dan keangkuhan “aku” dan kebodohan melalui jalan Kearahatan. MA menjelaskan bahwa ungkapan “kecenderungan tersembunyi pada pandangan dan keangkuhan ‘aku’” (asmī ti diṭṭhimānānusaya) harus diinterpretasikan sebagai bermakna kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan yang serupa dengan pandangan karena, seperti halnya pandangan diri yang menangkap gagasan “aku ada”.

120) Di sini saya menganggap sambhavesīnam sebagai bentuk (jarang digunakan) kata kerja aktif masa depan dalam  -esin. [ ](baca Norman, Elders; Verses I: Theragāthā, n.527, dan Gelger, A Pali Grammar, 193A.) Para komentator, yang saya ikuti dalam edisi pertama buku ini, menganggap –esin sebagai bentuk kata sifat dari esati, mencari, dan dengan demikian menjelaskan frasa ini sebagai bermakna “mereka yang mencari kehidupan baru”. Baca juga n.514. Makanan (āhāra) di sini harus dipahami dalam makna yang luas sebagai kondisi yang menonjol bagi kelangsungan hidup individu. Makanan fisik (kabalinkāra āhāra) adalah kondisi penting bagi tubuh fisik, kontak bagi perasaan, kehendak pikiran bagi kesadaran, dan kesadaran bagi batin-jasmani, organisme yang memiliki batin dan jasmani secara keseluruhan. Keinginan disebut asal-mula makanan dalam hal bahwa keinginan dari kehidupan sebelumnya adalah sumber dari individu sekarang dengan ketergantungannya pada konsumsi terus-menerus akan empat makanan dalam kehidupan ini. Untuk kompilasi kanon yang disertai keterangan dan komentar atas makanan-makanan, baca Nyanaponika Thera, The Four Nutriments of Life.

121) Dua belas bagian selanjutnya menyajikan, dalam urutan mundur, penelaahan faktor demi faktor dari sebab-akibat yang saling bergantungan. Kata penting dari formula ini dijelaskan secara ringkas pada Pendahuluan, pp.30-31. Penafsiran terperinci terdapat dalam Vsm XVII. Di sini masing-masing faktor terpola menurut Empat Kebenaran Mulia.

122) Ini merujuk pada kelima kelompok unsur kehidupan. Baca MN 10.38 dan MN 44.2.

123) Enam landasan bagi kontak diuraikan pada §50 di bawah.

124) Tiga jenis penjelmaan dijelaskan dalam Pendahuluan, pp.46-48, dalam pembahasan mengenai kosmologi Buddhis. Di sini, “penjelmaan” harus dipahami baik sebagai alam kelahiran kembali yang sesungguhnya maupun jenis kamma yang menghasilkan kelahiran kembali di alam tersebut.

125) Kemelekatan pada aturan dan upacara adalah keterikatan pada pandangan bahwa pemurnian dapat dicapai dengan mengadopsi aturan eksternal tertentu atau mengikuti upacara tertentu, khususnya disiplin-diri pertapaan; kemelekatan pada doktrin diri adalah bersinonim dengan pandangan diri dalam salah satu dari dua puluh jenisnya (baca MN 44.7); kemelekatan pada pandangan adalah kemelekatan pada seluruh jenis lain pandangan kecuali dua yang disebutkan secara terpisah. Kemelekatan dalam salah satu variasinya merupakan suatu penguatan keinginan, kondisinya.

126) Keinginan akan objek-objek pikiran (dhammataṇhā) adalah keinginan akan segala objek kesadaran kecuali objek-objek dari kelima jenis kesadaran indria. Contohnya adalah keinginan akan khayalan dan gambaran pikiran, keinginan akan gagasan-gagasan abstrak dan sistem intelektual, keinginan akan perasaan-perasaan dan kondisi-kondisi emosi, dan sebagainya.

127) Kontak (phassa) dijelaskan pada MN 18.16 sebagai pertemuan antara organ indria, objeknya, dan kesadaran.

128) Landasan-pikiran (manāyatana) adalah kata gabungan untuk segala jenis kesadaran. Satu bagian landasan ini“rangkaian kehidupan” (bhavanga) atau kesadaran bawah sadaradalah “pintu” bagi munculnya kesadaran-pikiran. Baca n.130.

129) Batin-jasmani (nāma-rūpa) adalah sebuah kata yang memayungi organisme yang memiliki batin-jasmani yang secara khusus memiliki kesadaran. Kelima faktor batin yang disebutkan dalam kelompok nāma adalah tidak dapat dipisahkan dari kesadaran dan dengan demikian berhubungan dengan seluruh pengalaman kesadaran. Empat unsur utama secara nyata mewakili kualitas materi kepadatan, kohesi, panas, dan perluasan. Bentuk materi diturunkan dari unsur-unsur termasuk, menurut analisa Abhidhamma, zat sensitif kelima indria; empat objek indriawarna, suara, bau-bauan, dan rasa kecapan. (objek sentuhan merupakan tiga unsur tanah, api, dan udara); kemampuan hidup secara fisik, inti makanan, perbedaan jenis kelamin, dan jenis lain fenomena materi. Baca Pendahuluan, p.56.

130) Kesadaran-pikiran (manoviññāṇa) terdiri dari seluruh kesadaran kecuali lima jenis kesadaran indria yang telah disebutkan. Termasuk kesadaran dari gambaran pikiran, gagasan-gagasan abstrak, dan kondisi internal pikiran, serta kesadaran dalam merenungkan objek-objek indria.

131) Dalam konteks doktrin sebab-akibat yang saling bergantungan, bentukan-bentukan (sankhārā) adalah kehendak-kehendak yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat, atau, singkatnya, kamma. Bentukan jasmani adalah kehendak yang dinyatakan melalui jasmani, bentukan ucapan adalah kehendak yang dinyatakan melalui ucapan, dan bentukan batin adalah kehendak yang tetap berada di dalam tanpa berubah menjadi ungkapan jasmani atau ucapan.

132) Harus dipahami bahwa sementara kebodohan adalah kondisi bagi noda-noda, noda-nodatermasuk noda kebodohanpada gilirannya adalah kondisi bagi kebodohan. MA mengatakan bahwa pengondisian kebodohan oleh kebodohan harus dipahami sebagai bermakna bahwa kebodohan dalam satu kehidupan dikondisikan oleh kebodohan dalam kehidupan sebelumnya. Karena itu, kesimpulan yang mengikuti adalah bahwa tidak ada titik awal yang dapat ditemukan bagi kebodohan, dan dengan demikian maka saṁsāra adalah tanpa awal yang dapat diketahui.

161
89) Keyakinan yang tidak tergoyahkan (aveccappasāda) pada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha adalah atribut seorang siswa mulia pada minimal seorang pemasuk-arus, yang keyakinannya sempurna karena ia telah melihat kebenaran Dhamma itu oleh dirinya sendiri. Formula perenungan Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha dijelaskan secara lengkap dalam Vsm VII.

90) Terjemahan ini mengikuti tulisan yatodhi dan penjelasan MA atas kata ini sebagai meninggalkan sebagian kekotoran melalui tiga jalan pertama, berlawanan dengan total (anodhi) kekotoran yang harus ditinggalkan oleh jalan ke empat atau terakhir. Ñm, mengikuti tulisan yatodhi, menerjemahkan: “Dan apa pun [dari ketidaksempurnaan itu] yang telah, menurut batasan [yang ditetapkan tiga jalan pertama yang mana pun yang telah ia capai], dihentikan, dijatuhkan [selamanya], dibiarkan berlalu, ditinggalkan, dilepaskan”. Kedua variasi ini sepertinya berasal dari zaman dulu karena keduanya dikenali oleh MA.

91) Labhati atthavedaṁ labhati dhammavedaṁ. [ ]YM. Nyanaponika menerjemahkan: “Ia memperoleh antusiasme pada tujuan, [ ]ia memperoleh antusiasme pada Dhamma”. MA menjelaskan veda sebagai bermakna kegembiraan dan pengetahuan yang berhubungan dengan kegembiraan itu, dan mengatakan: “Atthaveda adalah inspirasi yang muncul dalam diri seseorang yang merenungkan ditinggalkannya kekotoran secara sebagian, penyebab keyakinan yang tidak tergoyahkan.”

92) Padanan dalam Pali, dalam bentuk kata benda, atas kata dalam rangkaian ini adalah: pāmojja, kegembiraan; piti, kegembiraan meluap; passaddhi, ketenangan; samādhi, konsentrasi. [ ]Ketenangan, dengan melenyapkan gangguan-gangguan batin dan jasmani yang halus yang berhubungan dengan kegembiraan dan kegembiraan meluap, membawa kenikmatan tenang dan mempersiapkan pikiran untuk konsentrasi yang semakin mendalam.

93) Kata dalam Pali adalah: evaṁsīlo evaṁdhammo evaṁpañño. Kata yang di tengah, dalam konteks ini, jelas merujuk pada tahap ke dua dari tiga latihan, yaitu, konsentrasi, walaupun cukup mengherankan mengapa kata samādhiī tidak digunakan. Komentar MN 123.2 mengemas sebuah ungkapan paralel dengan samādhi-pakkha-dhammā, “kondisi-kondisi yang diperlukan oleh konsentrasi”.

94) Pernyataan ini menggarisbawahi pencapaian tingkat yang-tidak-kembali. Karena yang-tidak-kembali telah melenyapkan keinginan indria, maka makanan lezat tidak dapat merintanginya dalam perjalanannya menuju jalan dan buah terakhir.

95) §§13-16 menyajikan formula-formula sutta standar mengenai empat “kediaman Brahma” (brahmavihāra). Secara singkat, cinta kasih (mettā) adalah keinginan akan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk-makhluk lain; belas kasihan (karuṇā), empati kepada mereka yang menderita; kegembiraan altruistik (muditā), bergembira atas kebajikan dan keberhasilan mereka; dan keseimbangan (upekkha), sikap tidak-membeda-bedakan yang bebas terhadap makhluk-makhluk (bukan ketidakpedulian atau ketidakacuhan). Untuk penjelasan lebih lengkap, baca Vsm IX.

96) MA: Bagian ini menunjukkan praktik meditasi pandangan terang dari yang-tidak-kembali yang ditujukan pada Kearahatan dan bagian berikutnya menunjukkan pencapaian Kearahatannya. Frasa “Ada ini” menyiratkan kebenaran penderitaan; “ada yang rendah”, asal-mula penderitaan; “ada yang mulia”, kebenaran sang jalan; dan “ada jalan membebaskan diri dari keseluruhan bidang persepsi ini” adalah Nibbāna, lenyapnya penderitaan.

97) MA: Sang Buddha menggunakan frasa ini untuk membangkitkan perhatian Brahmana Sundarika Bhāradvāja, yang berada dalam kumpulan itu dan memercayai pemurnian melalui ritual mandi. Sang Buddha meramalkan bahwa brahmana itu akan terinspirasi dan menerima penahbisan di bawah Beliau dan akan mencapai Kearahatan.

98) Ini adalah sungai-sungai dan penyeberangan yang dipercaya dapat memurnikan.

99) Kata Pali adalah phaggu, satu hari untuk pemurnian brahmana di bulan Phagguna (Februari-Maret), dan uposatha, hari pelaksanaan religius yang diatur dalam penanggalan lunar. Baca n.59.

100) Pelepasan keduniawian (pabbajja) adalah penahbisan resmi untuk menjalani kehidupan tanpa rumah sebagai sāmaṇera; penahbisan penuh (upasampadā) memberikan status bhikkhu, anggota penuh dari Sangha.


SUTTA 8

101) Baca n.84

102) Pandangan-pandangan yang berhubungan dengan doktrin diri (attavādapaṭisaṁyuttā), menurut MA, ada dua puluh jenis pandangan identitas yang diuraikan pada MN 44.7, walaupun pandangan-pandangan itu juga dapat dipahami memasukkan doktrin yang lebih luas tentang diri yang dibahas dalam MN 102. Pandangan-pandangan yang berhubungan dengan doktrin tentang dunia (lokavādapaṭisaṁyutta) ada delapan pandangan; dunia adalah abadi, tidak abadi, keduanya, atau bukan keduanya; dunia adalah terbatas, tidak terbatas, keduanya, atau bukan keduanya. Baca MN 63 dan MN 72 mengenai penolakan Sang Buddha atas pandangan-pandangan ini.


103) MA: Pertanyaan ini merujuk pada seseorang yang telah mencapai hanya tahap awal dari meditasi pandangan terang tanpa mencapai tingkat memasuki-arus, jenis pelepasan yang dibahas adalah melepaskan melalui pencabutan, yang hanya dapat terjadi pada jalan memasuki-arus. YM. Mahā Cunda mengajukan pertanyaan ini karena beberapa meditator terlalu meninggikan pencapaian mereka, menganggap bahwa mereka telah meninggalkan pandangan-pandangan itu sementara mereka belum benar-benar melenyapkannya.

104) MA menjelaskan bahwa kata “muncul” (uppajjanti) di sini merujuk pada munculnya pandangan-pandangan yang belum muncul sebelumnya; “berlandaskan” (anusenti) pada kekuatannya yang terkumpul melalui keterikatan terus-menerus pada pandangan-pandangan itu; dan “diterapkan” (samudācaranti) pada perbutan jasmani atau ucapan mereka. “Objek” di mana pandangan-pandangan itu berlandaskan adalah kelima kelompok unsur kehidupan (khandha) yang merupakan sesosok orang atau makhluk hidupbentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan batin, dan kesadaran.

105) Dengan pernyataan ini, Sang Buddha menunjukkan cara yang dengannya pandangan-pandangan tercabut: perenungan pada kelima kelompok unsur kehidupan sebagai “bukan milikku”, dan seterusnya, dengan kebijaksanaan pandangan terang yang memuncak pada jalan memasuki-arus.

106) MA menjelaskan bahwa Sang Buddha, setelah menjawab pertanyaan bhikkhu itu, sekarang membicarakan jenis orang yang terlalu meninggikanmereka yang mencapai delapan pencapaian meditatif dan percaya bahwa mereka mempraktikkan pemurnian yang sesungguhnya (sallekha). Kata sallekha, yang berarti praktik pertapaan atau praktik keras, digunakan oleh Sang Buddha untuk menyiratkan penghapusan atau pelenyapan kekotoran secara radikal. Walaupun delapan pencapaian di tempat lain diletakkan dalam Latihan Buddhis (baca MN 25.12-19, MN 26.34-41), di sini dikatakan bahwa pencapaian itu tidak disebut sebagai pemurnian karena bhikkhu yang mencapainya tidak menggunakannya sebagai landasan bagi pandangan terangseperti dijelaskan, misalnya, dalam MN 52 dan MN 64melainkan hanya sebagai alat untuk menikmati kebahagiaan dan kedamaian.

107) Empat puluh empat “cara pemurnian” yang dijelaskan, jatuh dalam beberapa kelompok ajaran sebagai berikut. Yang tidak disebutkan di sini berarti tidak termasuk dalam kelompok mana pun.
(2)-(11) adalah sepuluh perbuatan tidak bermanfaat dan perbuatan bermanfaat (kammapatha)baca MN 9.4, 9.6;
(12)-(18) adalah tujuh faktor terakhir dari Jalan Delapanburuk dan baikfaktor pertama identik dengan (1);
(19)-(20) kadang-kadang ditambahkan pada dua Jalan Delapanbaca MN 117.34-36;
(21)-(23) adalah tiga terakhir dari lima rintanganbaca MN 10.36dua yang pertama identik dengan (9) dan (10);
(24)-(33) adalah sepuluh dari enam belas ketidaksempurnaan yang mengotori batin, yang disebutkan dalam MN 7.3;
(37)-(43) adalah tujuh kualitas buruk dan tujuh kualitas baik (saddhammā) yang disebutkan dalam MN 53.11-17.

108) MṬ: Ketidakkejaman (avihiṁsā), yang merupakan sinonim dari belas kasihan, disebutkan pertama karena merupakan akar dari segala kebajikan, khususnya penyebab-akar dari moralitas.

109) MA: Ini adalah penjelasan dari mereka yang menggenggam erat-erat pada pandangan yang telah muncul dalam diri mereka, dengan memercayai “Hanya inilah kebenaran”; mereka tidak melepaskannya bahkan jika disuruh oleh Sang Buddha dengan argumen yang masuk akal.

110) MA: Kecenderungan pikiran bermanfaat besar karena secara eksklusif membawa kesejahteraan dan kebahagiaan, dan karena menjadi penyebab dari perbuatan selanjutnya yang bersesuaian.

111) Kata Pali yang diterjemahkan sebagai “padam” adalah parinibbuto, yang juga dapat berarti “mencapai Nibbāna”; dan kata Pali yang diterjemahkan “membantu memadamkan” adalah parinibbāpessati, yang juga dapat berarti “membantu mencapai Nibbāna” atau “membawa menuju Nibbāna”. Kata Pali untuk ungkapan selanjutnya “yang dengannya memadamkannya”, parinibbānaya, mungkin dapat diterjemahkan “untuk mencapai Nibbāna”. Walaupun dalam seluruh tiga kasus terjemahan alternatif ini akan menjadi terlalu dipaksakan secara literal, maknanya berperan pada usulan atas makna asli dalam cara yang tidak dapat ditangkap dalam terjemahan.

112) MA menunjukkan bahwa pernyataan ini dapat dipahami dalam dua cara: (1) Seseorang yang bebas dari kekejaman dapat menggunakan ketidakkejamannya untuk membantu memadamkan kekejaman orang lain; dan (2) seseorang yang kejam dapat mengembangkan ketidakkejaman untuk memadamkan watak kejamnya. Seluruh kasus berikutnya harus dipahami dalam dua cara serupa.

113) MA: Tugas guru yang berbelaskasihan adalah ajaran Dhamma yang benar; di luar itu adalah praktik, yang merupakan tugas para siswa.

162
SUTTA 5

69) MA, mengutip penggunaan kata “orang” (puggala) oleh Yang Mulia Sāriputta, menjelaskan bahwa Sang Buddha memiliki dua ajaranajaran konvensional (sammutidesanā) yang diungkapkan sehubungan dengan orang, makhluk, perempuan, dan laki-laki dan sebagainya[,]. Dan ajaran mutlak (paramatthadesanā) yang diungkapkan hanya sehubungan dengan apa yang memiliki validitas filosofis tertinggi, seperti kelompok-kelompok unsur kehidupan, unsur-unsur, landasan-landasan indria, ketidakkekalan, penderitaan, bukan-diri, dan sebagainya. Sang Buddha membabarkan ajaran-Nya dengan cara yang sesuai untuk membantu si pendengar menembus maknanya, menyingkirkan kebodohan, dan mencapai kemuliaan. Oleh karena itu, penggunaan kata “orang”, tidak menyiratkan kekeliruan dalam arti orang sebagai diri.


70) Subhanimitta: suatu objek yang menarik yang menjadi landasan bagi nafsu. Sang Buddha mengatakan bahwa perhatian tidak bijaksana pada gambaran keindahan adalah makanan (āhāra) bagi munculnya keinginan indria yang belum muncul dan bagi berkembangnya keinginan indria yang telah muncul (SN 46:2/v.64).

71) Ini adalah praktik pertapaan keras, penghuni hutan, pemakan makanan yang didanakan, berkunjung dari rumah ke rumah, pemakai jubah dari kain yang dibuang dijelaskan dalam Vsm II.

72) Ini adalah praktik “yang lebih lunak” daripada yang disebutkan pada §29, umumnya dianggap sebagai gambaran komitmen usaha yang kurang kuat demi mencapai tujuan.

73) Para Ājīvaka atau Ājīvika, adalah aliran saingan yang ajarannya menekankan pada praktik keras berdasarkan pada filosofi yang berbatasan dengan fatalisme. Baca Basham, History and Doctrines of the Ājivikas.

74) Kata ganti milik mensyaratkan bahwa hati tidak terdapat dalam Pali, tetapi makna frasa ini harus dipahami dengan mempertimbangkan perumpamaan. Seperti halnya Samīti menghaluskan cacat dari lingkaran roda seolah-olah ia mengetahui hati Paṇḍuputta dengan hatinya, demikian pula Sāriputta menghaluskan cacat dari para bhikkhu seolah-olah ia mengetahui keinginan Moggallāna yang ingin melenyapkannya. MLS (1:40) kehilangan maknanya dengan menerjemahkan: “karena ia mengetahui hati mereka dengan hatinya”, menganggap rujukan pertama adalah kepada para bhikkhu bukan kepada YM. Moggallāna.

75) Mahānāga. Nāga adalah kelompok makhluk yang menyerupai naga dalam mitologi India yang dipercaya menghuni wilayah bawah tanah dan menjadi penjaga harta tersembunyi. Kata ini muncul mewakili makhluk-makhluk besar dan perkasa, seperti gajah bergading atau kobra dan, dengan memperluasnya, seorang bhikkhu Arahant. Baca Dhp, ch.23, Nāgavagga.


SUTTA 6

76) MA mengatakan bahwa ungkapan sampannasīlā, yang diterjemahkan di sini sebagai “memiliki moralitas”, dapat bermakna “sempurna dalam moralitas” (paripuṇṇasīlā) atau “memiliki moralitas” (sīlasamangino). Pātimokkha adalah aturan disiplin monastik, yang dalam versi Pali terdiri dari 227 aturan[,]. [ ]Gocara menyiratkan tempat yang sesuai untuk menerima dana makanan, walaupun kata ini juga dapat berarti penampilan selayaknya dari seorang bhikkhu, ketenangannya dan pengendalian dirinya. Kata kunci dalam paragraf ini dianalisa dalam Vsm I, 43-52.


77) MA: paragraf yang dimulai dengan “maka ia harus memenuhi aturan-aturan”, diulangi pada tiap-tiap bagian berikutnya hingga akhir sutta, terdiri dari keseluruhan tiga latihan. Frasa mengenai memenuhi aturan-aturan menyiratkan latihan dalam moralitas yang lebih tinggi (adhisīlasikkhā); frasa “menekuni ketenangan pikiran internal, tidak mengabaikan meditasi” menyiratkan latihan dalam konsentrasi yang lebih tinggi (adhicittasikkhā); dan frasa “memiliki pandangan terang” merujuk pada latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi (adhipaññāsikkhā). Frasa “berdiam dalam gubuk kosong” menggabungkan kedua latihan yang terakhir, karena seseorang mendatangi gubuk kosong bertujuan untuk mengembangkan ketenangan dan pandangan terang.

78) Yaitu, jika sanak saudara yang telah terlahir kembali di alam hantu atau di alam dewa yang rendah mengingat moralitas bhikkhu dengan penuh keyakinan, maka keyakinan itu akan menjadi sumber kebajikan bagi mereka, melindungi mereka dari kelahiran kembali yang buruk dan menjadi kondisi positif untuk mencapai Nibbāna.

79) Ini adalah empat pencapaian tanpa materi yang mana formula lengkapnya terdapat dalam MN 8.8-11, MN 25.16-19, dan sebagainya. MA mengemas “tubuh” sebagai “tubuh batin” (nāmakāya).

80) Tiga belenggu yang dihancurkan oleh pemasuk-arus adalah pandangan identitas, keragu-raguan, dan keterikatan pada aturan dan upacara, seperti disebutkan pada MN 2.11.

81) Sebagai tambahan pada tiga belenggu pertama, yang-tidak-kembali menghancurkan dua “belenggu yang lebih rendah” lainnya, yaitu, keinginan-indria dan niat buruk. Yang-tidak-kembali terlahir kembali di wilayah khusus di alam Brahmā yang disebut dengan Alam Murni, dan mengakhiri penderitaan di sana.

82) §§140-19 menyajikan enam belas pengetahuan langsung (abhiññā). Baca Pendahuluan, p.37; untuk penjelasan lebih lengkap, baca Vsm XII dan XVIII.

83) MA: Dalam paragraf ini, “pikiran” dan “kebijaksanaan” berturut-turut menyiratkan, konsentrasi dan kebijaksanaan yang berhubungan dengan Buah Kearahatan. Konsentrasi disebut “kebebasan pikiran” (cetovimutti) karena terbebaskan dari nafsu; kebijaksanaan disebut “kebebasan melalui kebijaksanaan” (paññāvimutti) karena terbebas dari kebodohan. Kebebasan pikiran biasanya adalah hasil dari ketenangan, kebebasan melalui kebijaksanaan biasanya adalah hasil dari pandangan terang. Tetapi ketika digabungkan dan digambarkan sebagai tanpa-noda (anāsava), secara bersama-sama merupakan hasil dari hancurnya noda-noda melalui jalan lokuttara Kearahatan.


SUTTA 7

84) Untuk penjelasan yang lebih lengkap atas sutta ini dan sutta berikutnya, dengan pendahuluan yang sangat membantu dan penjelasan panjang pada catatan kaki, baca Nyanaponika Thera, The Simile of the Colth and The Discourse of Effacement.

85) Alam tujuan kelahiran yang buruk (duggati) adalah kelahiran kembali di tiga alam sengsaraneraka, alam binatang, dan alam hantu. Alam tujuan kelahiran yang bahagia (sugati), yang disebutkan persis di bawahnya, adalah kelahiran kembali di antara manusia, dan di alam-alam surga.

86) Cittassa upakkilesā. Kata upakkilesā kadang-kadang digunakan dalam makna tanpa noda atau ketidaksempurnaan konsentrasi meditatif, seperti pada MN 128:27, 30; kadang-kadang dalam makna noda atau ketidaksempurnaan pandangan terang, seperti pada Vsm XX, 106; dan kadang-kadang menyiratkan kekotoran minor yang muncul dari ketiga akar tidak bermanfaatkeserakahan, kebencian, dan kebodohanapakah sebagai modusnya atau cabangnya. Di sini digunakan dalam makna ke tiga, tetapi mempertahankan hubungan dengan kedua penggunaan pertama, diterjemahkan oleh frasa “ketidaksempurnaan yang mengotori batin.”

87) MA memberikan beberapa perbedaan sementara antara ketamakan (abhijjhā) dan perbuatan tidak baik (visamalobha), tetapi kemudian karena, dari sudut pandang latihan yang lebih tinggi, semua keserakahan adalah tidak baik, maka kedua kata ini dapat dipahami sebagai hanya perbedaan sebutan untuk faktor batin yang sama, keserakahan atau nafsu. Di sini saya menuliskan penjelasan MA atas beberapa kekotoran batin lainnya: Kekesalan (upanāha) terbentuk setelah kemarahan berulang-ulang menyelimuti pikiran. Meremehkan (makkha) adalah penurunan manfaat atas seseorang oleh orang lain. Kecongkakan (paḷāsa) adalah dugaan (yugaggāha) yang muncul ketika seseorang menempatkan dirinya setara dengan orang lain yang memiliki kualitas lebih. Kecemburuan (issā) adalah kekesalan terhadap penghormatan, dan lain-lain yang diterima orang lain[.]; kekikiran (macchariya) adalah keengganan untuk membagi miliknya dengan orang lain. Sifat keras kepala (thambha) adalah ketidaklenturan, kekakuan, kesukaran, bagaikan pipa pengembus yang penuh dengan angin. Persaingan (sārambha) [ ]adalah usaha untuk mengalahkan orang lain, terdorong untuk melampaui pencapaian orang lain. Beberapa dari kekotoran ini juga didefinisikan pada Vbh §§45-46, 891-94.

88) MA mengatakan bahwa meninggalkan yang dibicarakan di sini harus dipahami sebagai “meninggalkan melalui pemberantasan” (samucchedappahāna), yaitu, mencabut secara total melalui jalan lokuttara. Enam belas kekotoran ditinggalkan oleh jalan mulia dalam urutan sebagai berikut:
1.   Jalan memasuki-arus meninggalkan: meremehkan, kepongahan, kecemburuan, kekikiran, penipuan, kecurangan.
2.   Jalan yang-tidak-kembali meninggalkan: niat buruk, kemarahan, kekesalan, kelengahan.
3.   Jalan Kearahatan meninggalkan: ketamakan dan keserakahan yang tidak baik, kekeraskepalaan, persaingan, keangkuhan, kesombongan, kebanggaan.

MA mempertahankan, dengan referensi pada sumber penafsiran kuno, bahwa paragraf ini menjelaskan jalan yang-tidak-kembali. Oleh karena itu, kita harus memahami bahwa kekotoran-kekotoran yang harus ditinggalkan sepenuhnya melalui jalan Kearahatan pada titik ini hanya ditinggalkan sebagian, melalui manifestasinya yang lebih kasar.

163
49) Noda keinginan indria tercabut oleh jalan yang-tidak-kembali, noda penjelmaan dan kebodohan hanya oleh jalan terakhir, Kearahatan.

50) Sepuluh belenggu harus dihancurkan untuk mencapai kebebasan sepenuhnya telah diuraikan dalam Pendahuluan, pp.42-43. Keangkuhan, pada tingkat yang paling halus, adalah keangkuhan “aku”, yang bertahan di dalam rangkaian batin hingga pencapaian Kearahatan. “Penembusan keangkuhan” (mānābhisamaya) berarti melihat menembus keangkuhan dan meninggalkannya, yang keduanya tercapai bersamaan oleh jalan Kearahatan. Bhikkhu itu telah “mengakhiri penderitaan” dalam makna bahwa ia telah mengakhiri penderitaan dalam lingkaran saṁsāra (vaṭṭadukkha).

 
SUTTA 3

51) MA: Sang Buddha membabarkan sutta ini karena banyak bhikkhu yang menjadi gembira karena perolehan dan penghormatan yang diterima Sangha, sehingga mengabaikan latihan spiritual mereka. Sang Buddha jelas tidak mungkin menetapkan peraturan yang melarang penggunaan benda-benda kebutuhan, tetapi Beliau ingin menunjukkan praktik para pewaris Dhamma kepada para bhikkhu yang sungguh-sungguh ingin berlatih.

52) MA menjelaskan bahwa kelima kualitas ini secara perlahan-lahan memenuhi semua tahap praktik yang memuncak pada Kearahatan.

53) Para bhikkhu senior (thera) adalah mereka yang telah menjalani kebhikkhuan selama lebih dari sepuluh musim hujan sejak penahbisan (upasampada); bhikkhu menengah telah menjalani antara lima sampai sembilan musim hujan; bhikkhu junior kurang dari lima musim hujan.

54) Kualitas-kualitas jahat yang disebutkan di sini, dan pada bagian berikutnya, diperkenalkan untuk menunjukkan kondisi-kondisi yang disebutkan di atas (§6) dengan pernyataan: “Mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru beri tahukan untuk ditinggalkan.” Kualitas-kualitas ini juga merupakan faktor-faktor yang menunjang seorang bhikkhu untuk lebih menjadi pewaris dalam hal benda-benda materi daripada pewaris Dhamma. Dalam MN 7.3, enam belas kualitas yang sama, dengan “niat buruk” menggantikan “kebencian” dirujuk sebagai “ketidaksempurnaan yang mengotori pikiran” (cittass’ upakkilesā). Baca n.87 di bawah.


55) Jalan Mulia Berunsur Delapan diperkenalkan di sini untuk menunjukkan praktik yang membuat seseorang menjadi seorang “pewaris Dhamma”. Perlawanan antara kekotoran dan sang jalan menegaskan kembali, dari sudut pandang baru, perlawanan antara “pewaris dalam benda-benda materi” dan “pewaris Dhamma” yang dengannya Sang Buddha memulai sutta ini.


SUTTA 4

56) MA mengatakan bahwa Jāṇussoṇi bukanlah nama aslinya, melainkan suatu gelar kehormatan yang berarti “brahmana kerajaan” (purohita) yang dianugerahkan kepadanya oleh raja. MN 27 juga ditujukan kepada Brahmana Jāṇussoṇi.

57) Bhoto Gotamassa sā janatā diṭṭhānugatiṁ āpajjati. Ñm menerjemahkan: “Apakah orang-orang ini mengikuti makna dari pandangan Guru Gotama?” dan Horner: “orang-orang ini meniru pandangan-pandangan Gotama Mulia” (MLS 1:22). MA juga mengemas: “Orang-orang ini memiliki pandangan dan opini [ ]yang sama dengan Guru Gotama.” Akan tetapi, akan lebih tepat dalam konteks ini untuk menuliskan diṭṭha bukan sebagai bentuk sandhi dari diṭṭhi, melainkan sebagai bentuk lampau, dan mengartikan frasa ini sebagai “mengikuti apa yang mereka lihat dari dirinya”, yaitu, teladannya. Makna ini jelas diperlukan oleh frasa yang terdapat pada SN ii.203, AN i.126, AN iii.108, 251, 422.

58) Ñm awalnya telah menerjemahkan frasa ini sebagai “sempurna dalam pemahaman”, dan frasa yang bersesuaian pada bagian sebelumnya sebagai “sempurna dalam konsentrasi”.[ ]Akan tetapi, karena sepertinya tidak tepat untuk memasangkan kesempurnaan pada samādhi dan paññā kepada Bodhisatta sebelum pencerahan-Nya, maka saya memilih untuk menerjemahkan akhiran sampanna di sepanjang sutta ini sebagai “memiliki”. MA menjelaskan bahwa ini bukanlah kebijaksanaan pandangan terang juga bukan kebijaksanaan sang jalan, melainkan kebijaksanaan yang mendefinisikan sifat dari objek itu (ārammaṇavavatthānapaññā).


59) Tahun India, menurut sistem kuno yang diwarisi oleh Buddhisme, terbagi dalam tiga musimmusim dingin, musim panas, dan musim hujanmasing-masing berlangsung selama empat bulan. Empat bulan itu dibagi lagi dalam periode dua mingguan (pakkha), yang ke empat dan ke tujuh terdiri dari empat belas hari dan yang lainnya terdiri dari lima belas hari. Pada masing-masing dua mingguan, malam bulan purnama dan bulan baru (baik tanggal empat belas atau lima belas) dan malam bulan setengah (hari ke delapan) dianggap sebagai hari yang keramat. Dalam Buddhisme masa sekarang menjadi Uposatha, hari pelaksanaan aturan-aturan religius. Pada hari bulan purnama dan bulan baru, para bhikkhu membacakan aturan-aturan dan umat-umat awam mengunjungi vihara untuk mendengarkan khotbah atau mempraktikkan meditasi.


60) Empat postur (iriyāpatha) yang sering disebutkan dalam teks Buddhis adalah berjalan, berdiri, duduk, dan berbaring.

61) Dimulai dari bagian ini, Sang Buddha menunjukkan perjalanan praktik yang menuntun-Nya menuju puncak ketidakbodohan.

62) MA mengatakan bahwa Sang Bodhisatta mengembangkan empat jhāna menggunakan perhatian pada pernapasan sebagai subjek meditasi-Nya.

63) Dijelaskan secara terperinci dalam Vsm XIII, 13-71.

64) Dijelaskan secara terperinci dalam Vsm XIII, 72-101.

65) MA: Setelah menunjukkan Empat Kebenaran Mulia dalam sifat sejatinya (yaitu, dalam hal penderitaan), paragraf tentang noda-noda disebutkan untuk menunjukkan secara tidak langsung melalui kekotoran.

66) Menurut MA, frasa “Ketika aku mengetahui dan melihat demikian” merujuk pada pandangan terang dan sang jalan; yang mencapai puncaknya dalam jalan Kearahatan; frasa “batin-Ku terbebaskan” menunjukkan saat buah, dan frasa “muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan’” menunjukkan pengetahuan peninjauan (baca Vsm XXII, 20-21), demikian pula dengan kalimat berikutnya yang dimulai dengan “Aku secara langsung mengetahui”.

67) Ini adalah pernyataan umum Kanonis atas pencapaian pengetahuan akhir atau Kearahatan. MA menjelaskan bahwa pernyataan “Kelahiran telah dihancurkan” berarti bahwa kelahiran jenis apa pun juga yang mungkin telah muncul jika sang jalan belum dikembangkan telah tidak mampu muncul lagi melalui pengembangan sang jalan. “Kehidupan suci” yang telah dijalani adalah kehidupan suci sesuai sang jalan (maggabrahmacariya). Frasa “apa yang harus dilakukan telah dilakukan” (kataṁ karaṇīyaṁ) menunjukkan empat tugas dari jalan muliamemahami sepenuhnya penderitaan, meninggalkan asal-mulanya, menembus lenyapnya, dan mengembangkan sang jalantelah diselesaikan seluruhnya pada masing-masing dari empat jalan lokuttara. Frasa ke empat, nāparaṁ itthattāya, dikemas oleh MA sebagai berikut: “Sekarang tidak perlu lagi bagiku untuk mengembangkan sang jalan karena ‘kondisi demikian’, yaitu, demi enam belas fungsi (dari sang jalan) atau demi hancurnya kekotoran. Atau dengan kata lain: setelah ‘kondisi demikian’, yaitu, rangkaian kelompok-kelompok unsur kehidupan yang terjadi saat ini, tidak ada lagi rangkaian kelompok-kelompok unsur kehidupan yang lebih jauh lagi bagiku. Kelima kelompok unsur kehidupan ini, setelah dipahami sepenuhnya, berdiri bagaikan pohon yang ditebang di akarnya. Dengan lenyapnya kesadaran terakhir, kelompok-kelompok unsur kehidupan itu akan padam bagaikan api tanpa bahan bakar.” Saya telah memilih interpretasi ke dua, tetapi mengartikan itthattāya sebagai bentuk objek tidak langsung. Kata ini, yang secara literal berarti “kondisi ini” atau “kondisi demikian”, menyiratkan manifestasi kondisi kehidupan konkret. Ñm menerjemahkan: “Tidak ada lagi yang melampaui ini”.

68) MA: Beliau memiliki “belas kasihan kepada generasi mendatang” sejauh generasi-generasi para bhikkhu di masa depan, dengan melihat bahwa Sang Buddha mendatangi tempat-tempat tinggal di dalam hutan, akan mengikuti teladan-Nya dan dengan demikian mempercepat kemajuan mereka menuju akhir penderitaan.

164
SUTTA 2

32) Noda-noda (āsava), pengelompokan kekotoran yang terdapat pada tingkat yang paling mendasar, dibahas dalam Pendahuluan, p.38. MA menjelaskan bahwa pengendalian (saṁvara) ada lima: melalui moralitas, perhatian, pengetahuan, usaha, dan kesabaran. Dalam sutta ini, pengendalian melalui moralitas diilustrasikan dengan menghindari tempat-tempat duduk dan tempat-tempat tinggal yang tidak sesuai (§19); pengendalian melalui perhatian, dengan mengendalikan kelima indria (§12); pengendalian melalui pengetahuan, dengan mengulang-ulangi frasa “merenungkan dengan bijaksana”; pengendalian melalui usaha, dengan melenyapkan pikiran-pikiran tidak bermanfaat; dan pengendalian melalui kesabaran, dengan paragraf tentang menahankan (§18).


33) Perhatian bijaksana (yoniso manasikāra) dikemas sebagai perhatian yang merupakan cara yang benar (upāya), di jalur yang benar (patha). Ini dijelaskan sebagai perhatian pikiran, pertimbangan, atau pikiran yang sesuai dengan kebenaran, yaitu, perhatian pada ketidakkekalan sebagai ketidakkekalan, dan sebagainya. Perhatian tidak bijaksana (ayoniso manasikāra) adalah perhatian yang merupakan cara yang salah, di jalur yang salah (uppatha), berlawanan dengan kebenaran, yaitu, perhatian pada ketidakkekalan sebagai kekekalan, menyakitkan sebagai menyenangkan, apa yang bukan diri sebagai diri[.], dan apa yang menjijikkan sebagai indah. Perhatian tidak bijaksana, MA memberitahukan, adalah akar dari lingkaran kehidupan, karena menyebabkan keinginan meningkat; perhatian bijaksana adalah akar dari kebebasan dari lingkaran, karena menuntun menuju pengembangan Jalan Mulia Berunsur Delapan. MA merangkum inti dari paragraf ini sebagai: hancurnya noda-noda adalah bagi seseorang yang mengetahui bagaimana meningkatkan perhatian bijaksana dan yang melihat sehingga perhatian tidak bijaksana tidak muncul.


34) Enam di antara inimenghilangkan bagian noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihatdisebutkan dalam tanya-jawab tentang noda-noda dalam AN 6:58/iii.387-90.

35) Kata “melihat” (dassana) di sini merujuk pada yang pertama dari empat jalan lokuttarajalan memasuki-arus (sotāpattimagga)disebut demikian karena memberikan penglihatan sepintas pada Nibbāna. Tiga jalan yang lebih tinggi disebut jalan pengembangan (bhāvanā) karena mengembangkan penglihatan Nibbāna hingga pada titik di mana semua kekotoran tersingkirkan.


36) MA menambahkan hal penting bahwa tidak ada ketetapan dalam segala sesuatu sehubungan dengan apakah layak atau tidak layak bagi perhatian. Perbedaannya terdapat lebih kepada modus perhatian. Bahwa modus perhatian yang menjadi landasan bagi kondisi-kondisi pikiran yang tidak bermanfaat harus dihindari, sedangkan modus perhatian yang menjadi landasan bagi kondisi-kondisi yang bermanfaat harus dikembangkan. Prinsip yang sama ini berlaku juga pada §9.

37) MA mengilustrasikan pertumbuhan noda-noda melalui perhatian tidak bijaksana sebagai berikut: Ketika ia memperhatikan kepuasan dalam lima utas kenikmatan indria, noda-noda keinginan indria muncul dan meningkat; ketika ia memperhatikan kepuasan dalam kondisi-kondisi luhur (jhāna-jhāna), noda-noda penjelmaan muncul dan meningkat; ketika ia memperhatikan hal-hal lokuttara apa pun melalui empat “perlawanan” (dari kekekalan, dan sebagainya), noda-noda kebodohan muncul dan meningkat.

38) Menurut MA, paragraf ini bertujuan untuk menunjukkan noda-noda pandangan (diṭṭhāsava, [ ]tidak disebutkan dalam khotbah) di bawah judul keragu-raguan. Akan tetapi, akan lebih tepat untuk mengatakan bahwa noda-noda pandangan, yang dijelaskan oleh §8, keluar dari perhatian tidak bijaksana dalam bentuk keragu-raguan. Berbagai jenis keragu-raguan telah dipenuhi dengan pandangan salah yang akan dijelaskan pada bagian berikutnya.

39) Dari keenam pandangan ini, dua pertama mewakili lawan dari eternalisme dan nihilisme; pandangan bahwa “tidak ada diri yang ada padaku” bukanlah doktrin bukan-diri dari Sang Buddha, melainkan pandangan materialis yang mengidentifikasikan seseorang sebagai jasmani dan dengan demikian menganut bahwa tidak ada kelanjutan diri setelah kematian. Tiga pandangan berikutnya dapat dimengerti muncul dari pengamatan yang secara filosofis lebih rumit bahwa pengalaman memiliki struktur reflektif yang memperbolehkan kesadaran-diri, kapasitas pikiran untuk mengenali dirinya sendiri, isinya, dan jasmani yang dengannya saling berhubungan. Menekuni pencarian “sifat sejati”nya, orang biasa yang tidak terpelajar akan mengidentifikasikan diri sebagai kedua aspek pengalaman (pandangan 3), atau sebagai hanya si pengamat (pandangan 4), atau sebagai hanya yang diamati (pandangan 5). Pandangan terakhir adalah versi lengkap dari eternalisme dengan semua batasan telah dihilangkan.

40) Diri sebagai pembicara mewakili konsep diri sebagai pelaku perbuatan; diri sebagai yang merasakan, konsep diri sebagai subjek pasif. “Di sana-sini” menyiratkan diri sebagai entitas yang berpindah yang mempertahankan identitasnya di sepanjang kelahiran yang berbeda berturut-turut. Pandangan yang sama dianut oleh Bhikkhu Sāti pada MN 38.2.

41) Ini, tentu saja, adalah formula Empat Kebenaran Mulia, yang diperlakukan sebagai subjek perenungan dan pandangan terang. MA mengatakan bahwa hingga pencapaian jalan memasuki-arus, perhatian adalah pandangan terang (vipassanā), tetapi pada saat jalan perhatian adalah pengetahuan-jalan. Pandangan terang secara langsung memahami dua buah pertama, karena wilayah sasarannya adalah fenomena batin dan materi yang terdapat dalam dukkha [ ]dan asal-mulanya; pandangan terang ini dapat mengetahui asal-mula hanya dengan cara menyimpulkan. Pengetahuan-jalan menjadikan kebenaran lenyapnya sebagai objeknya, memahaminya dengan penembusan sebagai objek (ārammaṇa). Pengetahuan-jalan melakukan empat fungsi sehubungan dengan Empat Kebenaran: memahami sepenuhnya kebenaran penderitaan, meninggalkan asal-mula penderitaan, menembus lenyapnya penderitaan, dan mengembangkan jalan menuju lenyapnya penderitaan.

42) Jalan memasuki-arus berfungsi memotong ketiga belenggu pertama yang mengikat pada saṁsāra. MA mengatakan bahwa pandangan identitas dan keterikatan pada aturan dan upacara, karena termasuk pada noda-noda pandangan, adalah noda-noda serta belenggu, sedangkan keragu-raguan (biasanya) dikelompokkan hanya sebagai belenggu; tetapi karena termasuk di sini di antara “noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat”, maka dikatakan sebagai sebuah noda.

43) Jika ditinggalkannya noda-noda dipahami dalam makna tepat sebagai kehancuran tertinggi, maka hanya dua dari tujuh metode yang disebutkan dalam sutta ini yang berdampak pada pelepasanmelihat dan mengembangkanyang di antaranya terdapat empat jalan lokuttara. Kelima metode lainnya tidak dapat secara langsung memenuhi kehancuran noda-noda, tetapi dapat mengendalikannya selama pada tahap persiapan praktik dan karenanya memfasilitasi pembasmian pada akhirnya oleh jalan lokuttara.

44) Faktor utama yang bertanggung jawab untuk melakukan pengendalian indria ini adalah perhatian. Formula yang lebih lengkap atas pengendalian indria diberikan dalam banyak sutta lainnyamisalnya, MN 27.15dan dianalisa secara terperinci pada Vsm I, 53-59. MA menjelaskan “demam” (pariḷāha) dalam paragraf di atas sebagai demam kekotoran dan akibat (kamma)nya.

45) Paragraf yang mengikuti di sini telah menjadi formula standar yang digunakan oleh para bhikkhu dalam perenungan sehari-hari mereka terhadap empat kebutuhan dalam kehidupan suci. Empat ini dijelaskan secara terperinci dalam Vsm I, 85-97.

46) Tempat-tempat duduk yang tidak layak ada dua jenis disebutkan dalam Pātimokkhaduduk bersama dengan seorang perempuan di tempat duduk bertirai yang memungkinkan untuk melakukan hubungan seksual, dan duduk sendiri dengan seorang perempuan di tempat pribadi. Berbagai jenis tempat yang tidak layak disebutkan dalam Vsm I, 45.

47) Ketiga jenis pertama dari pikiran tidak bermanfaatkeinginan indria, niat buruk, dan kekejamanmerupakan pikiran salah atau kehendak salah, lawan dari faktor ke dua dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Ketiga jenis pikiran salah dan lawannya ini dibahas secara lebih lengkap dalam MN 19.

48) Terdapat tujuh faktor pencerahan sempurna (satta bojjhangā) yang termasuk dalam tiga puluh tujuh persyaratan pencerahan, dan dibahas secara lebih luas di bawah pada MN 10.42 dan MN 118.29-40. Bagian ini menjelaskan tujuh faktor pencerahan sempurna secara khusus sebagai bantuan untuk mengembangkan ketiga jalan lokuttara yang lebih tinggi, yang dengannya noda-noda yang lolos dari pencabutan oleh jalan pertama akan tercabut. Kata “keterasingan” (viveka), “kebosanan” (virāga), dan “lenyapnya” (nirodha) semuanya dapat dipahami sebagai merujuk pada Nibbāna. Penggunaan kata-kata itu dalam konteks ini menyiratkan bahwa pengembangan faktor-faktor pencerahan mengarah pada Nibbāna sebagai tujuannya selama tahap-tahap persiapan sang jalan, dan sebagai objeknya dengan pencapaian jalan lokuttara. MA menjelaskan bahwa kata vossaga, diterjemahkan sebagai “pelepasan”, memiliki dua makna “melepaskan” (pariccāga), yaitu, ditinggalkannya kekotoran, dan “memasuki” (pakkhandana), yaitu, memuncak pada Nibbāna.

165
11) Brahmā di sini adalah Mahābrahmā, dewa pertama yang dilahirkan pada awal siklus kosmis dan yang rentang umur kehidupannya sepanjang keseluruhan sikluspara Menteri Brahmā dan pengikut Brahmāpara dewa lain yang posisinya ditentukan melalui pencapaian jhāna pertamajuga termasuk.

12) MA: Dengan menyebutkan hal-hal ini, semua makhluk yang menempati alam jhāna ke duapara dewa dengan cahaya terbatas dan para dewa dengan cahaya tanpa batasharus dimasukkan, karena semuanya menempati tingkatan yang sama.

13) MA: Dengan menyebutkan hal-hal ini, semua makhluk yang menempati alam jhāna ke tigapara dewa dengan keagungan terbatas dan para dewa dengan keagungan tanpa batasharus dimasukkan.

14) Ini adalah para dewa di alam jhāna ke empat.

15) Abhibhū. MA mengatakan kata ini adalah sebutan bagi alam tanpa-persepsi, disebut demikian karena menaklukkan (abhibhavati) empat kelompok unsur tanpa materi lainnya. Identifikasi ini sepertinya terencana, khususnya karena kata “abhibhū” adalah bentuk tunggal kelaki-lakian. Di tempat lain (MN 49.5) kata ini muncul sebagai bagian dari pangakuan ketuhanan dari Brahmā Baka, namun MA menolak identifikasi Abhibhū sebagai Brahmā di sini sebagai sesuatu yang berlebihan.

16) Ini dan tiga bagian selanjutnya membahas penganggapan sehubungan dengan empat alam tanpa materipadanan kosmologis dari pencapaian empat meditasi tanpa materi. Dengan §18 pembagian penganggapan melalui alam-alam kehidupan selesai.

17) Dalam hal empat bagian fenomena yang terdiri dari identitas pribadi yang dianggap sebagai objek persepsi yang dikelompokkan dalam empat kelompok dilihat, didengar, dicerap, dan dikenali. Di sini, dicerap (muta) menyiratkan data bau-bauan, rasa kecapan, dan sentuhan, dikenali (viññāta) menyiratkan data introspeksi, pikiran abstrak, dan imajinasi. Objek persepsi “dianggap” ketika dikenali dalam hal “milikku”, “aku”, dan “diri”, atau dalam cara-cara yang menghasilkan keinginan, keangkuhan, dan pandangan.

18) Dalam bagian ini dan berikutnya, fenomena yang terdiri dari identitas pribadi diperlakukan sebagai duamelalui kesatuan dan keragaman. Penekanan pada kesatuan (ekatta), MA mengatakan, adalah karakteristik dari seorang yang mencapai jhāna-jhāna, yang mana pikiran muncul dalam modus tunggal pada objek tunggal. Penekanan pada keragaman (nānatta) berlaku bagi yang belum mencapai yang tidak memiliki pengalaman kesatuan jhāna yang meliputi. Penganggapan-penganggapan yang menekankan pada keragaman terdapat dalam ungkapan dalam filosofi pluralis, yang menekankan pada kesatuan terdapat dalam ungkapan dalam filofosi monistis.

19) Dalam bagian ini, semua fenomena identitas pribadi dikumpulkan dan ditampilkan sebagai satu. Gagasan totalitas ini dapat membentuk landasan filosofis phanteis atau monistis, tergantung pada hubungan antara diri dan seluruhnya.

20) MA memahami “Nibbāna” di sini merujuk pada lima jenis “Nibbāna tertinggi di sini dan saat ini” yang termasuk dalam enam puluh dua pandangan salah dari Brahmajāla Sutta (DN 1.3.19-25/i.36-38), yaitu, Nibbāna yang diidentifikasikan dengan kenikmatan sepenuhnya pada kenikmatan indria atau dengan empat jhāna. Dengan menikmati kondisi-kondisi ini, atau merindukannya, ia membayangkannya dengan keinginan. Bangga pada dirinya ketika mencapainya, ia membayangkannya dengan keangkuhan. Menganggap Nibbāna ilusi ini sebagai kekal, dan seterusnya, ia membayangkannya dengan pandangan.

21) Sekha, siswa dalam latihan yang lebih tinggi, adalah seorang yang telah mencapai satu dari tiga alam kesucian yang [ ]lebih rendahmemasuki arus, yang-kembali-sekali, yang-tidak-kembalitetapi masih harus berlatih lebih jauh lagi untuk mencapai tujuan, Kearahatan, keamanan tertinggi dari belenggu. MN 53 dikhususkan untuk menjelaskan latihan yang harus dilaksanakan. Arahant kadang-kadang disebut asekha, [ ]seorang yang melampaui latihan, dalam pengertian bahwa ia telah menyelesaikan latihan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Ñm menerjemahkan sekha sebagai “praktisi” dan asekha sebagai “seorang yang terampil”, yang telah berubah di sini untuk menghindari konotasi “esoteris”.

22) Harus dimengerti bahwa, sementara orang biasa dikatakan melihat masing-masing landasan, seorang yang dalam latihan yang lebih tinggi dikatakan secara langsung mengetahuinya (abhijānāti). MA menjelaskan bahwa ia mengetahuinya dengan pengetahuan luhur, mengetahuinya sesuai sifat sejatinya sebagai tidak kekal, penderitaan, dan tanpa-diri. Ñm menerjemahkan: “Dari tanah ia memiliki pengetahuan langsung atas tanah”.

23) Siswa dalam latihan yang lebih tinggi didorong oleh Sang Buddha untuk menjauhi penganggapan dan kesenangan karena kecondongan pada proses-proses batin ini masih menetap dalam dirinya. Dengan pencapaian tingkat memasuki-arus, ia melenyapkan belenggu pandangan identitas dan dengan demikian tidak lagi menganggap dalam hal pandangan salah. Tetapi kekotoran-kekotoran keinginan dan keangkuhan hanya tercabut oleh jalan Kearahatan, dan dengan demikian sekha  masih rentan pada penganggapan yang karenanya anggapan-anggapan itu dapat muncul. Sementara pengetahuan langsung (abhiññā) adalah wilayah sekha dan Arahant, pemahaman sepenuhnya (pariññā) adalah wilayah Arahant secara eksklusif, karena melibatkan ditinggalkannya sepenuhnya semua kekotoran.



24) Ini adalah penggambaran umum Arahant, yang diulangi dalam banyak sutta.

25) Ketika kebodohan telah terhapuskan oleh pencapaian pemahaman penuh, kecenderungan terhalus pada keinginan dan keangkuhan juga tersingkirkan. Demikianlah Arahant tidak lagi terlibat dalam penganggapan dan kesenangan.

26) Bagian ini dan dua berikutnya disebutkan untuk menunjukkan bahwa Arahant tidak menganggap, bukan hanya karena ia telah sepenuhnya memahami objek, tetapi karena ia telah menyingkirkan ketiga akar tidak bermanfaatnafsu (atau keserakahan), kebencian, dan kebodohan. Frasa “bebas dari nafsu melalui hancurnya nafsu” digunakan untuk menekankan bahwa Arahant tidak sekadar dalam keadaan tanpa nafsu untuk sementara, melainkan telah menghancurkannya pada tingkat yang paling mendasar. Demikian pula dengan kebencian dan kebodohan.

27) Mengenai kata ini, gelar Sang Buddha yang paling sering digunakan ketika merujuk diri-Nya sendiri, baca pendahuluan, p.24. Komentar memberikan etimologi yang panjang dan terperinci, berusaha untuk memampatkan keseluruhan Dhamma. Bagian itu telah diterjemahkan dalam Bhikkhu Bodhi, Discourse on the All-Embracing Net of Views, pp.331-44.

28) Pariññātantaṁ tathāgatassa. Demikianlah menurut SBJ dan MA, walaupun PTS menuliskan hanya pariññātaṁ. MA mengemas: “sepenuhnya memahami kesimpulannya, sepenuhnya memahami batasnya, sepenuhnya memahami tanpa sisa.” Ini menjelaskan bahwa sementara para Buddha dan para siswa Arahant adalah serupa dalam hal meninggalkan segala kekotoran, namun terdapat perbedaan dalam cakupan pemahaman penuh itu: sementara para siswa dapat mencapai Nibbāna setelah memahaminya dengan pandangan terang hanya sejumlah bentukan secara terbatas, para Buddha memahami sepenuhnya segala bentukan tanpa kecuali.

29) Kalimat ini memberikan pernyataan yang sangat padat atas formula sebab-akibat yang saling bergantungan (paṭicca samuppāda). Seperti diinterpretasikan oleh MA, “kesenangan” adalah keinginan dari kehidupan lampau yang memunculkan “penderitaan” dari kelima kelompok unsur kehidupan dalam kehidupan sekarang, “makhluk” aspek penentu secara kamma dari kehidupan sekarang yang menghasilkan kelahiran di masa depan, diikuti oleh penuaan dan kematian di masa depan. Paragraf ini menunjukkan penyebab lenyapnya penganggapan Sang Buddha adalah penembusan pada sebab-akibat yang saling bergantungan pada malam pencerahan-Nya. Penyebutan “kesenangan” (mandī) sebagai akar penderitaan menghubungkan dengan judul sutta; lebih jauh lagi, dengan merujuk pada pernyataan sebelumnya bahwa orang biasa senang dalam tanah, dan seterusnya, menunjukkan bahwa penderitaan adalah akibat tertinggi dari kesenangan.

30) MA menjelaskan urutan dari gagasan-gagasan ini sebagai berikut: Sang Tathāgata tidak membayangkan tanah dan tidak bersenang-senang dalam tanah karena Beliau telah memahami bahwa kesenangan adalah akar penderitaan. Lebih jauh lagi, dengan memahami sebab-akibat yang saling bergantungan, ia telah sepenuhnya meninggalkan keinginan yang di sini disebut “kesenangan” dan telah tercerahkan pada Pencerahan sempurna yang tertinggi. Sebagai akibatnya, Beliau tidak membayangkan tanah atau bersenang-senang dalam tanah.

31) Para bhikkhu tidak bergembira mendengar kata-kata Sang Buddha, jelas karena khotbah itu menggali terlalu dalam pada wilayah yang halus dari keangkuhan mereka, dan mungkin pandangan-pandangan brahmanis mereka yang masih tersisa. Belakangan, MA memberitahukan, ketika keangkuhan mereka telah mereda, Sang Buddha membabarkan Gotamaka Sutta (AN 3:123/i.276) kepada para bhikkhu yang sama ini, yang akhirnya mereka semua mencapai Kearahatan.

Pages: 1 ... 4 5 6 7 8 9 10 [11] 12 13 14 15 16 17 18 ... 89