//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - Yumi

Pages: 1 ... 79 80 81 82 83 84 85 [86] 87 88 89
1276
“Harta pribadi seperti tanah, emas, perak, kerbau, sapi, budak perempuan, budak laki-laki, anak, istri, dan lain-lain membawa penderitaan bagi pemiliknya yang menjadi terikat dengannya. Karena mereka merupakan objek kesenangan indria, didambakan oleh orang banyak; dapat dihancurkan atau diambil oleh lima musuh (air, api, raja, maling, dan pewaris yang tidak disukai); mereka dapat menimbulkan pertengkaran dan perselisihan; mereka tidak memiliki inti; memiliki dan menjaga mereka mengharuskan adanya kerugian bagi pihak lain; kehilangan dan kehancurannya membawa penderitaan dan kesedihan, dan lain-lain; karena kemelekatan terhadap benda-benda ini, mereka yang kikir (macchariya) akan terlahir kembali di alam yang penuh penderitaan. Dengan demikian kepemilikan ini membawa banyak penderitaan bagi pemiliknya dalam berbagai cara; memberikan mereka, mengabaikan mereka, melepaskan mereka adalah jalan satu-satunya untuk mencapai kebahagiaan.” Seorang Bodhisatta harus merenungkan demikian dan melatih perhatian agar tidak lengah dalam melakukan perbuatan kedermawanan.
………………………………………………………………………………………………………........................................................
Ia juga harus merenungkan demikian,

“Orang ini telah membantuku dengan memberikan kesempatan melakukan perbuatan mulia; aku harus menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya;”

“Hidupku akan segera berakhir; aku seharusnya memberi bahkan jika tanpa diminta, (dan aku harus memberikan) lebih banyak lagi jika diminta;”

“Seorang Bodhisatta yang memiliki kecenderungan untuk berdana akan mencari-cari orang untuk menerima dananya; namun dalam hal diriku, penerima dàna datang dengan sendirinya untuk menerima danaku karena jasa dan kebajikanku;”

“Meskipun perbuatan dàna terlihat menguntungkan si penerima, namun sebenarnya akulah yang beruntung;”

“Aku harus memberikan keuntungan kepada semua makhluk-makhluk ini seperti aku memberikan keuntungan kepada diriku sendiri;”

“Bagaimana aku dapat memenuhi Kesempurnaan Kedermawanan jika tidak ada makhluk yang menerima danaku;”

“Aku harus mendapatkan dan mengumpulkan benda-benda hanya untuk mereka yang meminta;”

“Kapankah mereka akan datang atas kemauan mereka sendiri untuk mengambil benda-benda milikku tanpa meminta?;” [at ko indra: ini “diminta” bukan?]

“Bagaimanakah aku dapat membuat diriku agar disayangi oleh mereka yang menerima danaku dan bagaimanakah agar mereka dapat menjadi baik padaku?”;

“Bagaimana agar aku merasa gembira sewaktu dan setelah memberi dàna?”;

“Bagaimana agar penerima dàna datang kepadaku dan keinginan untuk memberi muncul dalam diriku?”;

“Bagaimana agar aku dapat mengetahui pikiran mereka kemudian memberikan (apa yang mereka butuhkan) tanpa mereka minta?”;

“Saat aku memiliki sesuatu untuk diberikan dan si penerima untuk menerima pemberianku, jika aku gagal memberikan, itu adalah kebohongan besar yang kulakukan”;

“Bagaimana agar aku dapat mengorbankan kehidupanku dan anggota tubuhku kepada mereka yang menghendakinya?,” ia harus terus-menerus mengembangkan kecenderungan untuk melakukan dàna.

“Bagaikan seekor serangga (kitaka), meloncat kembali kepada ia yang melepaskannya tanpa merasa takut, akibat baik akan kembali kepada orang yang melakukan dàna dengan murah hati tanpa mengharapkan imbalan.” Dengan merenungkan demikian ia harus mengembangkan pikiran tidak mengharapkan Buah dari apa yang dilakukannya. (Buah di sini maksudnya adalah kebahagiaan duniawi atau surgawi, namun bukan pencapaian Kebuddhaan).

~RAPB1, pp. 100-102~


1277

Yumi, sekedar nasehat: teruskan membaca, sebagian pertanyaan anda sebenarnya ada dalam RAPB, hanya mungkin anda belum membaca sampai sana, gak seru dong kalau dikasih bocoran ;D

 _/\_ Hm.. I see..  ;)  Thx, ko Indra..   ^:)^

1278
Apakah Faktor-faktor yang Mengotori Pàrami?

Atas pertanyaan, “Apakah faktor-faktor yang mengotori Pàrami?” jawabannya secara umum adalah: menganggap Pàrami sebagai “aku,” “milikku,” “diriku” karena kemelekatan, keangkuhan, dan pandangan salah adalah penyebab kotornya Pàrami.

Jawaban yang sebenarnya, (dalam masing-masing Pàrami) adalah sebagai berikut:

1.   Berpikir untuk membeda-bedakan antara benda-benda yang didanakan dan antara penerima-penerima dàna adalah penyebab kotornya Kesempurnaan Kedermawanan. (Bodhisatta yang hendak memenuhi Kesempurnaan Kedermawanan harus memberikan dengan tanpa diskriminasi terhadap apa pun yang ia miliki dan siapa pun yang akan menerimanya. Ia tidak boleh memikirkan kualitas dari benda-benda yang akan didanakan tersebut, “Ini terlalu jelek untuk diberikan; ini terlalu bagus untuk disumbangkan;” atau berpikir mengenai si penerima, “Orang ini adalah orang yang tidak bermoral; aku tidak akan memberikan kepadanya.” Pikiran yang membeda-bedakan ini menyebabkan Kesempurnaan Kedermawanan tersebut menjadi tidak murni.

2.   Berpikir untuk mendiskriminasikan antara makhluk-makhluk dan antara situasi tertentu menyebabkan kotornya Kesempurnaan Moralitas. (Kesempurnaan Moralitas harus dipenuhi terlepas dari makhluk dan situasinya, dengan berpikir, “Aku harus menghindari pembunuhan makhluk ini dan itu; aku tidak perlu menghindari pembunuhan makhluk-makhluk lainnya. Aku akan menjalani Moralitas pada situasi ini dan itu, tidak pada situasi lainnya,” pikiran yang membeda-bedakan ini menyebabkan Kesempurnaan Moralitas menjadi tidak murni.

3.   Berpikir bahwa dua jenis sensualitas: objek indria (vatthu kàma) dan kenikmatan indria (kilesa kàma), serta tiga alam kelahiran sebagai sesuatu yang menyenangkan, dan berpikir bahwa mengakhiri sensualitas dan kelahiran sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan adalah penyebab kotornya Kesempurnaan Melepaskan keduniawian.

4.   Pandangan salah tentang “aku,” “milikku” adalah penyebab kotornya Kesempurnaan Kebijaksanaan.

5.   Pikiran yang lamban yang mengarah kepada kemalasan dan kelambanan dan kegelisahan adalah penyebab kotornya Kesempurnaan Usaha

6.   Pikiran yang membeda-bedakan antara diri sendiri dan makhluk lain (orangku dan orang mereka) adalah penyebab kotornya Kesempurnaan Kesabaran.

7.   Mengaku melihat, mendengar, menyentuh dan mengetahui padahal tidak melihat, tidak mendengar, tidak menyentuh dan tidak mengetahui; atau sebaliknya adalah penyebab kotornya Kesempurnaan Kejujuran.

8.   Menganggap bahwa prasyarat Kebuddhaan, Pàrami, càga, cariya adalah tidak bermanfaat sedangkan lawannya adalah bermanfaat adalah penyebab kotornya Kesempurnaan Tekad.

9.   Berpikir siapa yang menguntungkan dan siapa yang tidak (siapa yang bersahabat dan siapa yang tidak bersahabat) adalah penyebab kotornya Kesempurnaan Cinta Kasih.

10.   Membedakan antara objek indria yang disukai dan yang tidak disukai yang ditemui adalah penyebab kotornya Kesempurnaan Ketenangseimbangan

~RAPB 1, pp. 128-129~

1279
Bakal Buddha, yang telah menerima ramalan pasti, sangat mudah tergerak oleh welas asih terhadap makhluk lain saat ia melihat mereka yang tidak berdaya dan tidak memiliki perlindungan dalam kesulitan mengarungi kehidupan, yang ditimpa berbagai penderitaan hebat berupa kelahiran, usia tua, sakit, dan kematian; berupa pembunuhan, cacat dan luka; berupa kesulitan mencari nafkah, dan penderitaan makhluk-makhluk di alam sengsara. Karena tergerak oleh welas asih ini, ia menahan penderitaan yang luar biasa menyesakkan dan tak terperihkan seperti memotong tangannya, kakinya, telinganya, dan lain-lain, dicelakai oleh mereka yang buta dan bodoh, dan welas asihnya kepada mereka bertahan selamanya.

Ia melingkupi semua makhluk dengan welas asihnya dengan cara sebagai berikut, “Bagaimanakah aku harus memperlakukan mereka yang jahat kepadaku? Aku adalah seorang yang berusaha memenuhi Kesempurnaan dengan tujuan untuk membebaskan mereka dari kesengsaraan lingkaran kelahiran. Betapa kuatnya Kebodohan! Betapa kuatnya Kemelekatan! Betapa menyedihkan, dikuasai oleh kemelekatan dan kebodohan, mereka bahkan melakukan serangan terhadapku yang sedang berusaha untuk membebaskan semua makhluk. Karena mereka telah melakukan kekejaman ini, mereka akan mengalami kesulitan.

Dengan memancarkan welas asihnya kepada semua makhluk, Ia mencoba mencari cara dan alat yang tepat untuk menolong mereka dan merenungkan, “Karena dikuasai oleh kemelekatan dan kebodohan, mereka dengan keliru menganggap apa yang tidak kekal sebagai sesuatu yang kekal, penderitaan sebagai kebahagiaan, bukan aku sebagai aku, dan yang menyakitkan sebagai sesuatu yang menyenangkan. Dengan cara apakah Aku dapat menolong dan mengeluarkan mereka dari penderitaan yang muncul karena sesuatu penyebab.”

Dalam perenungannya, Bodhisatta melihat bahwa kesabaran (khanti) adalah satu-satunya alat untuk membebaskan makhluk-makhluk dari penjara kehidupan. Ia tidak pernah marah sedikit pun kepada makhluk-makhluk yang bersikap kejam kepadanya yang memotong bagian-bagian tubuhnya, dan lain-lain. Ia berpikir, “Sebagai akibat dari perbuatan jahat yang pernah kulakukan pada masa lampau, aku pantas mengalami penderitaan saat ini. Karena aku telah melakukan kesalahan sebelumnya, aku pantas menerima penderitaan ini sekarang; Akulah yang memulai penderitaan ini.” Demikianlah ia menanggapi kekejaman makhluk lain terhadapnya.

 
Kemudian ia merenungkan lagi, “Hanya dengan kesabaran aku dapat menyelamatkan mereka. Jika aku jahat kepada mereka yang jahat, aku akan menjadi sama dengan mereka; aku tidak ada bedanya dengan mereka. Bagaimana aku dapat membebaskan mereka dari kesengsaraan lingkaran kelahiran? Tidak akan pernah bisa. Oleh karena itu, dengan mengandalkan kekuatan kesabaran yang menjadi dasar bagi semua kekuatan, dan menerima semua perbuatan jahat mereka terhadapku, aku akan sabar; dan dengan cinta kasih dan welas asih sebagai penuntun, aku akan memenuhi Kesempurnaan. Hanya dengan demikian aku dapat mencapai Kebuddhaan. Hanya dengan mencapai Kebuddhaan, aku dapat menyelamatkan semua makhluk dari penderitaan yang ditimbulkan oleh suatu sebab.” Demikianlah ia melihat situasi tersebut sebagaimana adanya.

Setelah merenungkan demikian, Bakal Buddha memenuhi Kesempurnaan demi Kesempurnaannya dengan cara yang unik—Sepuluh Kesempurnaan biasa, Sepuluh Kesempurnaan yang lebih tinggi, dan Sepuluh Kesempurnaan tertinggi, seluruhnya berjumlah tiga puluh, yang merupakan prasyarat bagi Pencerahan (Bodhisambhàra). Pemenuhan Kesempurnaan dilakukan dalam empat cara pengembangan seperti yang telah dijelaskan di atas.

RAPB 1, pp. 12-13


 :( :'( :'( :)   8-> 8-> 8->

1280
……………………………………………………………………………………………............................................................
 
“Semua makhluk-makhluk ini bagaikan anakku sendiri, bagaimana mungkin seorang bijaksana bisa menjadi marah karena kejahatan yang dilakukan oleh anaknya sendiri?”

“Ia jahat kepadaku karena ia dikuasai oleh siluman kemarahan; aku harus memusnahkan siluman yang menguasainya tersebut.”

“Aku sendiri juga merupakan penyebab kejahatan yang menyebabkan penderitaan ini, (karena jika aku tidak dilahirkan, tidak mungkin ada perbuatan jahat ini).”

“Fenomena batin dan jasmani (nàma-rupa) yang melakukan perbuatan buruk, dan fenomena batin dan jasmani (nàma-rupa) yang menderita akibat dari perbuatan buruk tersebut, kedua kumpulan fenomena ini saat ini telah dihentikan. Siapa yang akan marah kepada siapa? Seharusnya tidak perlu ada kemarahan.”

Dan, “Jika semua fenomena adalah mutlak tanpa-diri, tidak ada yang namanya pelaku kejahatan dan tidak ada yang menerima perbuatan jahat.”

Dengan merenungkan seperti ini, ia harus terus-menerus melatih kesabaran. Jika kemarahan yang timbul dari kejahatan yang dilakukan makhluk lain terus-menerus menguasai pikiran seseorang karena kebiasaan dan sifatnya, ia yang bercita-cita mencapai Kebuddhaan harus merenungkan sebagai berikut:

“Kesabaran adalah pelengkap bagi latihan untuk melawan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh makhluk lain.”

“Kejahatan-kejahatan makhluk lain, yang menyebabkan penderitaanku, menjadi faktor untuk memunculkan keyakinan dalam diriku; (karena penderitaan adalah penyebab keyakinan) dan juga sebagai faktor persepsi dari ketidakbahagiaan dan ketidakpuasan akan dunia (anabhirati sannà).”

“Adalah sifat dari indria, mata, dan lain-lain, untuk bertemu dengan berbagai objek, baik atau buruk; tidaklah mungkin menginginkan tidak bertemu dengan objek-objek yang tidak diinginkan.”

“Mengikuti kemarahan, seseorang menjadi gila karena marah, apa gunanya membalas dendam kepada orang seperti itu?”

“Seorang Buddha menjaga semua makhluk seolah-olah mereka adalah anaknya sendiri. Dengan demikian, aku yang bercita-cita mencapai Kebuddhaan, tidak boleh putus asa karena kemarahan terhadap mereka.”

“Jika seorang pelaku kejahatan adalah seorang yang memiliki tanda-tanda mulia seperti moralitas, seseorang harus berpikir, ‘aku tidak boleh marah kepada orang mulia ini.’”

“Jika seorang pelaku kejahatan adalah seorang yang tidak memiliki tanda-tanda mulia seperti moralitas, seseorang harus berpikir, ‘ia adalah orang yang harus diperlakukan dengan penuh welas asih.’”

……………………………………………………………………………………………….........................................................

“Tidaklah tepat bagiku untuk melepaskan kualitas mulia dari kesabaran hanya karena marah.”

“Bagaimana aku dapat memiliki kualitas mulia seperti moralitas, dan lain-lain, jika kemarahan, lawan dari semua kualitas mulia muncul dalam diriku? Dan dengan tidak adaanya kualitas mulia tersebut, bagaimana aku dapat memberikan bantuan kepada makhluk-makhluk lain dan mencapai cita-citaku untuk mencapai Kebuddhaan.”

“Hanya dengan kesabaran, seseorang dapat teguh terhadap pengaruh objek-objek eksternal dan memiliki konsentrasi pikiran; dan hanya dengan konsentrasi pikiran, seseorang dapat melihat semua bentuk-bentuk berkondisi (sankhara) yang tidak kekal dan tidak memuaskan dan semua Dhamma adalah tanpa-diri, Nibbàna adalah tidak berkondisi, abadi, dan sebagainya, dan ciri-ciri seorang Buddha yang tidak dapat dipahami, dengan kekuatan yang tidak terukur.

”Karena dengan perenungan demikian seseorang dapat menembus Pandangan Cerah Vipassanà (anulomika khanti) melalui pengetahun bahwa “Semua Dhamma ini adalah fenomena alami tanpa adanya inti atau apa pun yang disebut diri; mereka muncul dan lenyap sesuai kondisinya masing-masing; mereka tidak datang dari mana pun dan tidak pergi ke mana pun; mereka tidak terbentuk kekal sebagai suatu individu di mana pun; tidak ada yang mengatur fenomena alami ini” (karena tidak ada yang namanya diri). Melihat sebagaimana mereka adanya, seseorang dapat memahami bahwa mereka bukanlah ‘kesombongan—Aku.’ Dengan merenungkan demikian, Bodhisatta teguh dan tak tergoyahkan dalam cita-citanya, mencapai Kebuddhaan.

(Ini adalah tindakan atas perenungan Bodhisatta sehubungan dengan Kesempurnaan Kesabaran).

RAPB 1, pp. 116-119


 :'(  :)  >:)<  :x :x :x :-*

1281
(Komentar merekomendasikan Aggikkhandhopama Sutta, dan lainnya untuk merenungkan kerugian dari tidak memiliki moralitas, berikut ini adalah ringkasan dari Aggikkhandhopama Sutta seperti yang tertulis dalam Sattaka Nipàta, Anguttara Nikàya).

Pada suatu hari Buddha sedang berjalan-jalan di Negara Kosala disertai oleh banyak bhikkhu. Saat melihat kobaran api di suatu tempat, Beliau meninggalkan jalan raya dan duduk di atas tempat duduk yang dibuat dari jubah yang dilipat empat yang dipersiapkan oleh ânanda di bawah sebatang pohon.

Kemudian Buddha menasihati para bhikkhu:

(a) Para bhikkhu, mana yang lebih baik, duduk dan berbaring dalam pelukan kobaran api yang mengamuk, atau duduk dan berbaring dalam pelukan gadis ‘kelahiran’ yang memiliki tubuh yang halus, dan menyenangkan untuk disentuh. Para bhikkhu menjawab (dengan tidak bijaksana) bahwa tentu lebih baik duduk dan berbaring dalam pelukan gadis.

Buddha menjelaskan bahwa untuk seorang tidak bermoral, adalah lebih baik duduk dan berbaring dalam pelukan kobaran api yang mengamuk karena hanya akan menderita selama satu kehidupan sedangkan berbaring dalam pelukan gadis dapat membawa kepada kelahiran di alam-alam rendah.

Kemudian Buddha bertanya lagi kepada para bhikkhu:

(b) Mana yang lebih baik, disiksa oleh orang kuat yang menarik sebelah kaki ke atas dengan tali kulit hingga kulit, daging, otot, dan tulang semuanya hancur, atau merasa gembira karena dihormati orang yang berkeyakinan?
(c) Mana yang lebih naik, seseorang yang dadanya ditusuk oleh dengan tombak yang tajam atau karena dihormati orang yang berkeyakinan?
(d) Mana yang lebih baik, tubuhmu dibungkus dengan lempengan besi panas membara atau mengenakan jubah yang didanakan oleh orang yang berkeyakinan?
(e) Mana yang lebih baik, membuka mulutmu dan diganjal dengan tiang besi panas membara dan melemparkan sebongkah besi panas membara ke dalam mulutmu, sehingga membakar seluruh organ dalam tubuhmu (bibir, langit-langit mulut, lidah, tenggorokan, dada, perut, dan usus) sepanjang perjalanannya menuju anus atau memakan makanan yang dipersembahkan oleh orang yang berkeyakinan?
(f) Mana yang lebih baik, kepalamu atau bahumu ditangkap dengan erat dan dipaksa duduk atau berbaring di atas dipan besi yang panas membara atau menggunakan dipan yang dipersembahkan oleh orang yang berkeyakinan?
(g) Mana yang lebih baik, digantung terbalik dan dicelupkan ke dalam panci berisi besi yang mendidih atau tinggal di dalam vihàra yang dipersembahkan oleh orang yang berkeyakinan?

Terhadap keenam pertanyaan ini pun para bhikkhu menjawab (dengan tidak bijaksana) seperti jawaban pertama. Buddha menjawab dengan cara yang sama dengan yang pertama, yaitu, untuk seorang yang tidak bermoral, lebih baik sebelah kakinya dirobek dan hancur, lebih baik ditusuk dengan tombak tajam, dan seterusnya, karena akan menimbulkan penderitaan dalam satu kehidupan saja; sedangkan merasa gembira karena dihormati oleh orang yang berkeyakinan, dan seterusnya, akan membawa kepada kelahiran di alam sengsara yang penuh penderitaan terus-menerus dalam waktu yang sangat lama.

Buddha mengakhiri khotbah-Nya dengan kata-kata berikut:

Untuk memberikan manfaat tertinggi kepada para dermawan yang berkeyakinan, yang mempersembahkan kebutuhan dan membuat kehidupan yang berguna dalam Sangha, seorang bhikkhu harus menjalani Tiga Latihan (sikkha*), seorang bhikkhu yang menginginkan kesejahteraannya sendiri dan kesejahteraan makhluk lain harus selalu penuh perhatian dan tekun.

(*Catatan: sikkhà adalah latihan yang harus dijalankan oleh para siswa Buddha yang terdiri dari tiga jenis: latihan moralitas tinggi (adhisila sikkhà), semadi tinggi (adhicitta sikkhà), dan kebijaksanaan tinggi (adhipannà sikkhà). Tiga latihan ini membentuk tiga bagian dari Jalan Mulia Berfaktor Delapan, yaitu, Sila, Samàdhi, Panna.)

Pada akhir khotbah tersebut, enam puluh bhikkhu yang tidak bermoral memuntahkan darah panas; enam puluh bhikhhu yang melakukan pelanggaran ringan meninggalkan Sangha dan menjalani kehidupan berumah tangga; enam puluh bhikkhu yang menjalani kehidupan suci mencapai tingkat kesucian Arahatta.

(Ini adalah ringkasan dari Aggikkhandopama Sutta).


RAPB 1, pp. 104-107

1282
RAPB 1, p. 110, 3. Penjelasan Mengenai Cara Merenungkan Kesempurnaan Melepaskan Keduniawian

Seperti yang dijelaskan pada Dukkhakkhandha Sutta (dari Majjhima Nikàya), seseorang harus menyadari fakta bahwa objek-objek indria lebih mengkhawatirkan dan menyedihkan daripada kenikmatan dan lain-lain; menderita karena panas, dingin, pengganggu, nyamuk, lalat, angin, matahari, binatang melata, kutu, serangga, dan lain-lain sewaktu mencari objek-objek indria yang didorong oleh nafsu-nafsu indria; sakit dan tertekan karena berusaha mencari objek-objek indria tanpa hasil; khawatir dan gelisah akan keamanan terhadap lima musuh setelah mendapatkan objek-objek indria tersebut; menderita hebat akibat berperang karena nafsu terhadap objek-objek indria tersebut; karena tiga puluh dua jenis hukuman berat (kamma-karana) yang diterima selama kehidupan ini bagi siapa saja yang telah melakukan kejahatan melalui objek-objek indria; karena penderitaan hebat dalam kehidupan di empat alam kehidupan yang penuh penderitaan.

Q9: Ada yg tau ga yaa.. 32 jenis hukuman berat (kamma-karana) itu apa2 aja..?  :-?

---------------------------------------------------------------------

RAPB 1, p. 125, Lima Belas Tindakan (Carana) dan Lima Kemampuan Batin Tinggi (Abhinna) dan Komponen-komponennya.

Komponen dari keyakinan adalah:

(i) Perenungan terhadap Buddha (Buddhanussati);
(ii) Perenungan terhadap Dhamma (Dhammanussati);
(iii) Perenungan terhadap Sangha (Sanghanussati);
(iv) Perenungan terhadap Sila (Silanussati);
(v) Perenungan terhadap kedermawanan (Càganussati);
(vi) Perenungan terhadap keyakinan, moralitas, belajar, pengorbanan dan kebijaksanaan dengan dewa sebagai saksi (Devatànussati);
(vii) Perenungan terhadap sifat-sifat Nibbàna (Upasamànussati);
(viii)Tidak bergaul dengan orang-orang yang tidak berkeyakinan (Lukkhapuggala Parivajjana);
(ix) Bergaul dengan orang-orang yang ramah dan berkeyakinan (Siniddha-puggala);
(x) Perenungan terhadap Dhamma yang dapat membangkitkan keyakinan (Pasadaniya Dhamma Pacavekkhanà);
(xi) Kecenderungan dalam membangkitkan keyakinan dalam segala postur (Tadadhimuttatà);
 

Q10: Perenungan dengan dewa sebagai saksi (Devatanussati).. Ada yang bisa menjelaskan?

---------------------------------------------------------------------------------------

RAPB 1, p. 127, Lima Belas Tindakan (Carana) dan Lima Kemampuan Batin Tinggi (Abhinna) dan Komponen-komponennya.

Komponen dari kebijaksanaan adalah:
(i) terus-menerus menyelidiki kelompok kehidupan (khandha), landasan (ayatana), dan unsur-unsur (dhatu), dan sebagainya, dari tubuh seseorang;
(ii) menyucikan objek-objek di dalam dan di luar tubuh;
(iii) menjaga keseimbangan dua pasang, keyakinan dan kebijaksanaan, usaha dan konsentrasi, sesuai pernyataan berikut,
“Keyakinan yang berlebihan akan mengarah pada antusiasme yang berlebihan; Kebijaksanaan yang berlebihan akan mengarah pada kepura-puraan;
Usaha yang berlebihan akan mengarah pada kegelisahan;
Konsentrasi yang berlebihan akan mengarah kepada kebosanan (keletihan batin);
Namun tidak ada yang namanya perhatian yang berlebihan;”
(iv) tidak bergaul dengan orang-orang bodoh;
(v) bergaul dengan orang-orang bijaksana;
(vi) perenungan terhadap pengetahuan yang mendalam yang berhubungan dengan subjek-subjek yang halus namun jelas seperti indria, dan sebagainya;
(vii) kecenderungan untuk mengembangkan kebijaksanaan dalam segala postur.

Q11: Kebijaksanaan yang berlebihan akan mengarah pada kepura-puraan..  ???

----------------------------------------------------------------------------------------------

RAPB 1, p. 127, Lima Belas Tindakan (Carana) dan Lima Kemampuan Batin Tinggi (Abhinna) dan Komponen-komponennya.

Komponen dari empat Jhàna adalah:
(i) Empat pertama carana Dhamma yang dimulai dari menjalani sila;
(ii) Bagian awal dari meditasi Samatha; dan
(iii) Lima keterampilan (vasàbhava)

Q12: Lima keterampilan (vasàbhava) itu terdiri dari apa-apa aja sih?  :-?

1283
RAPB 1, p. 104, 2. Penjelasan Mengenai Cara Merenungkan Kesempurnaan Moralitas
 
Bagaikan wewangian alami yang keharumannya menyebar ke seluruh penjuru dan cocok untuk digunakan dalam segala acara; bagaikan kekuatan mantra (vasikarana mantam) yang ampuh yang memerintahkan untuk menghormati dan memuliakan manusia-manusia mulia seperti raja, brahmana, dan dewa serta brahmà; bertindak sebagai tangga menuju alam dewa dan brahmà. Bertindak sebagai alat untuk mencapai Jhàna dan Abhinnà, jalan besar menuju Kota Nibbàna, landasan bagi tiga bentuk Pencerahan Sempurna.” Demikianlah seseorang harus merenungkan ciri-ciri dari Sila.
 

Q8: Apakah tiga bentuk Pencerahan Sempurna tsb? Ada yg bisa jelaskan?

1284
Ulasan Buku, Majalah, Musik atau Film / Kematian dan Titanic
« on: 25 June 2008, 10:06:48 AM »
Apa yang menyentakku lebih bermakna dibandingkan kisah cinta pada film, “Titanic”, adalah betapa bervariasinya karakter yang direaksikan saat menghadapi ancaman kematian yang akan segera terjadi:

1.   Perancang kapal kelihatan menyesal dengan khidmat, memikirkan kesalahannya, saat dia membiarkan yang lainnya sibuk menyerbu sekoci penolong.
2.   Kapten kapal kelihatan melekat, kecewa oleh hilangnya reputasi dan kemungkinan pensiun jaya yg bahagia... dia teguh memegang kemudi, tidak menyelamatkan diri melainkan menunggu kematian. Terlalu banggakah?
3.   Pria yang jahat bertindak semena-mena, mencoba menyuap dan menipu untuk terlepas dari kematian.
4.   Seorang opsir tidak dapat menahan tekanan akibat memelihara ketertiban. Setelah menembak seorang penumpang yang memaksanya memberi tempat pada sekoci penolong, dia menembak dirinya sendiri di dalam penyesalan!
5.   Ada yang hanya melompat ke dalam laut untuk berenang setelah sekoci-sekoci penolong sudah dikeluarkan ke laut.
6.   Ada yang berdoa dengan gelisah untuk pertolongan.
7.   Penumpang istimewa melawan yang lainnya untuk mendapatkan dirinya berada di dalam sekoci penolong.
8.   Ada para kekasih yang tidak rela berpisah satu dengan yang lain.
9.   Dan tentu saja, ada musisi-musisi tenang yang meninggal secara bersejarah saat pasca permainan musik mereka untuk menenangkan kerumunan yang panik!
      
      Jadi pertanyaannya adalah—jika kamu yang berada di Titanic pada malam itu, menurutmu bagaimana dirimu akan bereaksi? Apakah menurutmu itu tepat? Apa yang tepat?

      Titanic adalah sebuah bencana penting yang nyata—Merupakan satu-satunya kapal yang secara bangga diumumkan dalam sejarah manusia tidak dapat tenggelam—namun tenggelam dalam pelayaran pertama. Bagaimana hubungan hal ini dengan diri kita? Banyak dari kita yang merasa kita adalah para Titanic—kita merasa hidup kekal setiap saat. Kita merasa tidak terkalahkan oleh usia tua, penyakit dan kematian, tidak terkalahkan oleh hukum ketidakkekalan. Beberapa khayalan yang begitu hebat. Ketidakkekalan tidak perlu dibicarakan, tapi dirasakan dalam tulang. Ancaman kematian yang akan segera terjadi adalah salah satu dorongan terbaik yang tersedia bagi kita untuk mencapai keadaan tanpa kematian dari Nirvana. Pada hari di mana kita lahir, kita semuanya Titanic yang sedang tenggelam—kita mulai bergerak maju ke arah kematian. Bagian triknya adalah kita tidak tahu berapa banyak “kapal kehidupan” kita masih di atas air. Sudahkah kamu merencanakan pembebasanmu? Bagaimana kamu akan membebaskan dirimu? Ada pepatah india kuno:

      Hal yang paling menakjubkan di dalam dunia adalah
      kita semua hidup seakan kita masih akan hidup esok hari.

      Pada “esok hari” yang tertentu, kita tidak akan hidup dan takutnya adalah bahwa “esok hari” tersebut bisa saja hari ini! Semoga kita semua belajar menghargai kehidupan kita dan menginsyafi pentingnya melampaui kehidupan dan kematian—hari ini. Ya, insyafi hal tersebut hari ini! Karena esok hari mungkin tidak akan datang.

      Ya, ya—kamu telah mendengar pesan di atas ribuan kali. Jadi apakah ini hanya akan menjadi pesan belaka lainnya? Kamu putuskan. Kamu bisa mulai menempuhnya dengan serius hari ini, atau esok hari!
 
Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), Death and The Titanic, pp. 23-24

1285
Ulasan Buku, Majalah, Musik atau Film / Puja
« on: 24 June 2008, 04:29:30 PM »
Kadang, dorongan dapat datang dari berbagai cara. Penting untuk mengingat bahwa puja (melafal disertai intonasi dengan khidmat) sebenarnya adalah untuk mengilhami dan mendorong, bukannya secara berulang-ulang membosankan. Jika puja dilakukan tiap hari dengan sepenuh hati, ia dapat meningkatkan batin secara menakjubkan. Puja di pagi hari dapat menjadi pengingat spiritual untuk menjalani suatu hari dengan perhatian penuh, dan puja di petang hari dapat menjadi saat perenungan atas apa yang telah dilakukan dan tidak dilakukan dalam sehari itu. Pada saat seseorang merasa bahwa melakukan puja adalah sebuah tindakan sepintas lalu yang kosong, seseorang perlu memeriksa dirinya sendiri. Berikut sebuah contoh dari syair puja yang menginspirasi:

      Pelimpahan Jasa dan Penyerahan-Diri:

      Semoga dengan jasa kebajikan yang ku peroleh dari tindakan ini
      membantu meringankan penderitaan semua makhluk.
      Di dalam tiga hal kepribadianku menuju keberadaanku, kepemilikanku,
      dan kebajikanku menjadi satu,
      Ku dedikasikan diriku,
      untuk kepentingan semua makhluk.

      Hanya bagaikan bumi dan elemen-elemen lainnya
      mampu melayani dalam berbagai penjuru
      bagi makhluk dengan jumlah tak terhitung yang menetap di dalam ruang tanpa batas,
      Semoga saya dapat menjaga semua makhluk
      yang terkondisi pada saat itu,
      selama semuanya belum mencapai kedamaian.

      Jika kamu membaca sekilas syair puja di atas “dengan cepat”… ulangilah membacanya… dengan keyakinan dan perhatian penuh kali ini. Mengilhami dan mendorong bukan?

Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), Puja, p.27

1286
[at] Chingik..  _/\_ Berikut kutipan dari RAPB

Upàya-kosalla Nàna: adalah kebijaksanaan yang terampil dalam melakukan jasa seperti dàna, sila, dan lain-lain, sehingga dapat menjadi alat dan mendukung dalam mencapai Kebuddhaan. Seseorang dari keluarga yang baik yang ingin mencapai Kebuddhaan harus melakukan kebajikan-kebajikan seperti dàna, sila, dan lain-lain dengan satu tujuan yaitu mencapai Kebuddhaan. (Ia tidak boleh mengharapkan keuntungan yang dapat mengarah pada penderitaan dalam samsàra). Kebijaksanaan yang memungkinkannya untuk mencapai Kebuddhaan adalah satu-satunya Buah dari kebajikan yang dilakukannya yang disebut Upàya-kosalla Nàna.

Mahàkarunà dan Upàya-kosalla Nàna yang telah dijelaskan di atas adalah dasar untuk mencapai Kebuddhaan dan untuk melatih Kesempurnaan. Seseorang yang ingin mencapai Kebuddhaan pertama-tama harus berusaha untuk memiliki dua dasar ini.

Hanya kebajikan-kebajikan seperti dàna, sila, dan lain-lain yang dikembangkan di atas dasar dua prinsip ini yang dapat menjadi Kesempurnaan sejati.


Utk lebih jelasnya bisa coba baca di RAPB 1, Bab 3 Parami. Di Sutra Upaya Kausalya juga ada penjelasannya.  :)

1287
Mohon jelaskan tentang Upaya kosalla nana dan 8 akkhana,
 --->khususnya istilah "akkhana" secara etimologi artinya apa? kalo disebut "kehidupan yg tidak menguntungkan, kalimat ini mungkin adalah penjelasannya. Saya membutuhkan definisi terminologinya. 
Begitu juga dgn Upaya kosalla nana, ada yg bisa jelaskan secara lebih detail ? Thks




 


   _/\_ Berikut ini penjelasan ttg akkhana, yg saya kutip dari RAPB1. Semoga bermanfaat..

RAPB 1, p. 25-27, Sulitnya Menjadi Seorang Bakal Buddha
 
Karena Kebuddhaan begitu sulit dicapai, saat-saat di mana seorang Buddha muncul juga sangat jarang terjadi. Sehubungan dengan hal ini, Atthaka Nipàta dari Angutara Nikàya menjelaskan delapan waktu atau kehidupan dalam samsàra yang disebut sebagai ‘waktu’ yang salah (waktu yang tidak menguntungkan)’ atau ‘kehidupan yang tidak beruntung.’ Di pihak lain, saat-saat munculnya Buddha disebut sebagai saat yang menguntungkan dari kehidupan yang beruntung.

Delapan kehidupan yang tidak beruntung adalah:

(1) Kehidupan di alam yang terus-menerus mengalami penderitaan (Niraya); ini tidak menguntungkan karena makhluk-makhluk di alam ini tidak dapat melakukan kebajikan karena mengalami penderitaan dan siksaan terus-menerus.
(2) Kehidupan di alam binatang; ini tidak menguntungkan karena makhluk-makhluk di alam ini selalu ketakutan sehingga tidak dapat melakukan kebajikan dan tidak dalam posisi yang dapat mengenali kebajikan dan kejahatan.
(3) Kehidupan di alam peta; ini tidak menguntungkan karena makhluk-makhluk di alam ini tidak dapat melakukan kebajikan karena selalu merasakan kepanasan dan kekeringan, dan menderita kelaparan dan kehausan terus-menerus.
(4) Kehidupan di alam brahmà yang tidak memiliki kesadaran (asannàsatta-bhumi): ini tidak menguntungkan karena makhluk-makhluk di alam ini tidak dapat mendengarkan Dhamma karena tidak memiliki indra pendengaran.
(5) Kehidupan di wilayah seberang dunia: ini tidak menguntungkan karena makhluk-makhluk di wilayah tersebut tidak dapat dikunjungi oleh para bhikkhu, bhikkhuni, dan siswa-siswa Buddha lainnya; ini adalah tempat bagi mereka yang memiliki tingkat kecerdasan yang rendah; makhluk-makhluk di sana tidak dapat mendengarkan Dhamma meskipun mereka memiliki indra pendengaran
(6) Kehidupan di mana seseorang menganut pandangan salah: ini tidak menguntungkan karena seseorang yang menganut pandangan salah tidak dapat mendengar dan mempraktikkan Dhamma meskipun ia hidup di Wilayah Tengah tempat munculnya Buddha dan gema Dhamma Buddha berkumandang di seluruh negeri tersebut.
(7) Terlahir dengan indra yang cacat: ini tidak menguntungkan karena sebagai akibat perbuatan buruk yang dilakukan di kehidupan lampaunya, kesadaran kelahirannya tidak memiliki tiga akar yang baik, yaitu: ketidakserakahan, ketidakbencian, dan ketidakbodohan (ahetuka-patisandhika); oleh karena itu ia memiliki indra yang cacat seperti penglihatan, pendengaran, dan lain-lain. Dan dengan demikian tidak dapat melihat seorang Buddha dan mendengarkan ajarannya atau mempraktikkan Dhamma yang diajarkan meskipun ia terlahir di Wilayah Tengah dan tidak menganut pendangan salah.
8 Kehidupan di mana tidak ada kemunculan Buddha: ini tidak menguntungkan karena pada saat itu seseorang tidak dapat berusaha mempraktikkan Tiga Latihan moralitas (sila), konsentrasi pikiran (samàdhi), dan kebijaksanaan (pannà) meskipun ia terlahir di Wilayah Tengah, memiliki indra yang baik dan menganut pandangan benar yaitu percaya akan hukum kamma.

Tidak seperti delapan kehidupan yang tidak menguntungkan ini (akkhana), ada kehidupan ke sembilan yang menguntungkan yang disebut Buddh’uppàda-navamakkhana karena dalam kehidupan ini, muncul seorang Buddha. Terlahir dalam waktu demikian dengan indra yang baik dan menganut pandangan benar memungkinkan seseorang untuk berusaha mempraktikkan Dhamma yang diajarkan Buddha. Kehidupan ke sembilan ini, di mana muncul seorang Buddha (Buddh’uppàda-navamakkhana) meliputi seumur hidup Buddha sejak ia mengajarkan Dhamma dan selama ajarannya tumbuh berkembang dengan subur.

Utk lbh detailnya, bisa langsung baca aja pada Bab 1. Jarangnya Kemunculan Seorang Buddha..  :)

1288
Ulasan Buku, Majalah, Musik atau Film / Keindahan
« on: 21 June 2008, 11:07:13 PM »
Keindahan itu masuk akal, dan indah, hanya jika ia dirasakan dalam hati. Dan hati yang indah adalah hati yang melihat keindahan pada semua hal di sekelilingnya. Ia bahkan melihat keindahan dalam apa yang dunia lihat sebagai kejelekan.

      Hati yang indah adalah hati yang dipenuhi dengan Welas Asih karena tidak ada yang lebih indah dari pada hati yang mulia. Buddha dan Bodhisattva itu indah karena mereka memiliki hati yang mulia. Ini adalah rahasia keindahan sejati.

Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), Beauty, p.40

1289
RAPB 1, p. 27-28, Jarangnya Kemunculan Seorang Buddha

Jayalah Buddh’uppàda-navamakkhana

Karena umat Buddha sekarang ini yang terlahir sebagai manusia dengan indra yang baik dan menganut pandangan benar hidup selagi Buddhadhamma masih berkembang, mereka telah bertemu dengan kesempatan yang sangat jarang Buddh’uppàda-navamakkhana.

Terlepas dari kesempatan yang membahagiakan ini, jika mereka mengabaikan kebajikan mempraktikkan sila, samàdhi, dan pannà, mereka akan melewatkan kesempatan emas. Kesempatan untuk terlahir dalam delapan kehidupan yang tidak menguntungkan ini (akkhana) adalah sangat besar, sedangkan kesempatan terlahir pada masa berkembangnya ajaran Buddha adalah sangat kecil. Hanya sekali dalam sejumlah tidak terhitung banyaknya kappa yang sangat lama sekali seorang Buddha muncul dan kesempatan Buddh’uppàda-navamakkhana bagi mereka yang beruntung adalah sangat sulit diperoleh.

Umat Buddha yang baik sekarang ini memiliki dua berkah: pertama adalah berkah karena terlahir pada masa ajaran Buddha sedang berkembang di dunia, yang sangat jarang terjadi, dan berkah lainnya adalah terlahir sebagai manusia yang memiliki pandangan benar. Dalam kesempatan yang sangat menguntungkan Buddh’uppàda-navamakkhana ini, mereka harus merenungkan dengan sunguh-sungguh, “Bagaimanakah kita dapat mengetahui ajaran Buddha? Kita tidak boleh melewatkan kesempatan emas Buddh’uppàda-navamakkhana ini. Jika terlewatkan, kita akan menderita dalam waktu yang lama di empat alam sengsara.”

Dengan memahami hal ini, sebagai makhluk yang beruntung yang telah bertemu dengan Buddh’uppàda-navamakkhana, suatu kesempatan yang sangat jarang terjadi ini, kita harus berusaha mengembangkan tiga kebajikan mulia sila, samàdhi, dan pannà yang diajarkan oleh Buddha sampai tercapainya Kearahattaan.

 :lotus: :lotus: :lotus: :lotus: :lotus: :lotus: :lotus: :lotus: :lotus: :lotus: :lotus: :lotus: :lotus: :lotus: :lotus: :lotus:

1290
RAPB 1, p. 99, D. Enam Belas Watak Batin (Ajjhàsaya)

1.   Karena kecenderungan akan ketidakserakahan, para Bodhisatta melihat bahaya dalam kebalikannya, seperti, sifat egois, dan dengan demikian memenuhi Kesempurnaan Kedermawanan;
2.   karena kecenderungan akan Sila, para Bodhisatta melihat bahaya dalam kebiasaan-kebiasaan buruk, dan dengan demikian memenuhi Kesempurnaan Moralitas.
3.   Harus ditekankan bahwa kebalikan dari kecenderungan melepaskan keduniawian adalah kenikmatan indria dan kehidupan berumah tangga;
4.   kebalikan dari kebijaksanaan adalah kebodohan (moha) dan keraguan (vicikicchà);
5.   kebalikan dari usaha adalah kemalasan (kosajja);
6.   kebalikan dari kesabaran adalah perasaan terluka atau tersinggung (akkhanti, dosa);
7.   kebalikan dari kejujuran adalah kebohongan;
8.   kebalikan dari tekad adalah tidak adanya kebulatan tekad (tidak kokoh dalam melakukan kebajikan);
9.   kebalikan dari cinta kasih adalah rasa tidak menyukai;
10.   kebalikan dari keseimbangan adalah (tunduk pada) perubahan-perubahan dunia


 :jempol: :jempol: :jempol: :jempol: :jempol: :jempol: :jempol: :jempol: :jempol: :jempol: :jempol: :jempol: :jempol: :jempol: :jempol: :jempol:

Pages: 1 ... 79 80 81 82 83 84 85 [86] 87 88 89