//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - fabian c

Pages: [1] 2 3 4
1
Hanya untuk yang lebih percaya science:

                             

2
Diskusi Umum / Sayembara mencari kelemahan Tipitaka
« on: 11 April 2011, 07:53:54 PM »
Teman-teman sekalian, saya ada usul bagaimana bila DC mengadakan sayembara yang terbuka untuk umum, terbuka untuk seluruh masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat dunia.

Isi sayembaranya adalah sebagai berikut:

"Barang siapa yang bisa menemukan pernyataan dalam Tipitaka yang membenarkan/menyetujui perbuatan yang dengan sengaja melukai mahluk lain atau membunuh mahluk lain secara fisik" akan diberi hadiah.

Saya bersedia menyumbang Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) bagi mereka yang berhasil menemukan pernyataan yang membenarkan hal itu dalam Tipitaka.

Bila ada teman-teman yang ingin urunan menambah besarnya hadiah, silahkan.... Bagaimana....?

3
Meditasi / Vipassana Jhana
« on: 05 April 2011, 07:37:31 PM »
Menurut U Pandita Sayadaw dan Mahasi Sayadaw ada dua macam Jhana, yaitu Samatha Jhana dan Vipassana Jhana, ini copasannya, maaf saya belum bisa terjemahkan sebab saya harus pergi malam ini mungkin Sabtu baru kembali.

Vipassanā Jhāna

On the other hand, vipassanā jhāna allows the mind to move freely from object to object, staying focused on the characteristics of impermanence, suffering and absence of self that are common to all objects. Vipassanā jhāna also includes the mind which can be focused and fixed upon the bliss of nibbāna. Rather than the tranquility and absorption which are the goal of samatha jhāna practitioners, the most important results of vipassanā jhāna are insight and wisdom.

Vipassanā jhāna is the focusing of the mind on paramattha dhammas. Usually these are spoken of as “ultimate realities,” but actually they are just the things we can experience directly through the six sense doors without conceptualization. Most of them are saṅkhāra paramattha dhamma, or conditioned ultimate realities; mental and physical phenomena which are changing all the time. Nibbāna is also a paramattha dhamma, but of course it is not conditioned


http://homepage.ntlworld.com/pesala/Pandita/html/jhanas.html

Bagaimana menurut pendapat teman-teman...?

Mettacittena,

4
Meditasi / Wrong liberation (Kebebasan Palsu)
« on: 26 March 2011, 03:55:09 PM »
Kebebasan Palsu

Kebebasan salah adalah keadaan batin yang timbul dari anggapan salah bahwa ia telah mencapai kebebasan sesungguhnya. Ada banyak macam kebebasan. Banyak pandangan salah  mengenai Kebebasan diantara Buddhis dan non Buddhis. Non Buddhis beranggapan bahwa mereka terbebaskan jika mereka berhasil dalam pencarian roh/jiwa (atman) atau ketika mereka telah dapat membedakan jiwa dari unsur-unsur kepribadian.  Pada jaman Sang Buddha para Jaina yang merupakan murid Nigantha Nataputta, beranggapan bahwa mereka dapat mencapai kebebasan melalui latihan menyiksa diri yang akan membantu mereka mengikis karma lalu dan membuat mereka kebal terhadap karma baru. Mereka hidup dalam keadaan alami karena mereka beranggapan bahwa ketidak melekatan terhadap busana adalah tanda pencapaian kesucian tertinggi. Petapa-petapa telanjang ini dihormati sebagai Arahat oleh para pengikutnya.

Masih ada petapa demikian di India. Beberapa mencari kebebasan dengan memuja api, beberapa berharap mereka akan terbebaskan jika membersihkan dosa-dosa mereka dengan mandi di sungai Gangga. Beberapa berharap mencapai kebebasan di Surga dengan memuja Tuhan yang Mahakuasa. Beberapa orang seperti resi Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta percaya kebebasan melalui "ketiadaaan" (Jhana ke 7) atau "bukan persepsi dan juga bukan bukan-persepsi (Jhana ke 8 ). Beberapa menganggap kebebasan adalah pencapaian Jhana tanpa bentuk. Baka Brahma beranggapan bahwa kebebasan di capai di alamnya dengan pencapaian Jhana pertama.

Diantara umat Buddha juga ada pandangan yang menyamakan kebebasan dengan pencapaian Jhana. Sang Buddha menerangkannya pada awal Sutta ini. Saya juga telah mengaitkan dengan Thera Mahanaga dan Mahatissa yang memiliki pandangan salah demikian. Kemudian ada juga meditator yang bicara pencapaian Magga dan hasilnya ketika mereka memiliki pengalaman yang tak umum seperti melihat cahaya, kebahagiaan dan kenikmatan yang mengikuti timbulnya pengetahuan timbul dan lenyap (udayabaya nana). Beberapa percaya bahwa mereka mengalami perasaan sejuk dan segar, merasakan ringan, gemetar mendadak, meluruh, melihat bentuk-bentuk yang tak umum atau penglihatan-penglihatan, mendengarkan suara-suara aneh, melihat objek memuakkan, merasakan kontak dengan udara, merasa seolah-olah kita diatas air yang luas, melihat sinar dan sebagainya.

Beberapa menjadi tidak sadar ketika duduk dua jam atau dua-tiga hari setelah berlatih Vipassana. ketika tubuh meditator tersebut diangkat, posisi duduknya tetap sama, tapi ketika ditanyakan, ia tak dapat menerangkan perbedaan antara batin dan jasmani atau sifat alami ketiga karakteristik. Pengalaman tak umum ini murni disebabkan konsentrasi. Tetapi bagi yang tidak mengerti dianggap sebagai penghentian fenomena batin-jasmani atau pencapaian Hasil Sang Jalan (Phala Samapatti).

Apa yang penting adalah keberlangsungan berbagai pandangan terang yang menuju kepada pengetahuan Jalan, Hasil dan Kebebasan. Mereka yang menganggap mereka mencapai kebebasan paling sedikit memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap Buddha, Dhamma dan Sangha. Mereka seharusnya tidak memiliki keyakinan terhadap latihan yang tak memiliki Jalan, dan mereka harus terbebas dari keragu-raguan dan pandangan salah terhadap diri. Mereka sangat ketat dalam melaksanakan lima sila. Jika seseorang mengaku mencapai kemajuan spiritual atau memasuki arus tanpa terbebas dari pelanggaran lima sila maka pengetahuan kebebasannya adalah kebebasan palsu.

Untuk informasi bagi pembaca kami akan mengutip penyebab kebebasan palsu yang tertulis di komentari Samagama Sutta dari Majjhima Nikaya.

Arahat Cahaya

Dalam menanggapi permintaan Bhikkhu pengikut, seorang bhikkhu memberikan petunjuk apa yang dianggapnya merupakan pencapaian seketika tingkat kesucian Arahat. Setiap meditator bermeditasi pada objek awal di ruangannya. Jika ketika ia sedang bermeditasi, ada muncul sinar maka ia sudah berada pada Jalan pertama (Sotapatti). Kemunculan sinar kedua menandakan bahwa ia telah mencapai kesucian tingkat kedua, sinar ketiga dan ke empat menandakan  bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian ketiga dan keempat. Sang meditator akan menjadi Arahat. Karena petunjuk demikian siswa-siswanya menganggap bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian Arahat. Ketika ia meninggal mereka percaya bahwa ia telah mencapai Nibbana dan lalu mereka memuja dan memperabukan jenasahnya dengan meriah. Tulangnya di letakkan di pagoda. pada waktu itu beberapa Bhikkhu yang memiliki pengetahuan cukup datang sebagai tamu dan tuan rumah memberitahukan ajaran yang diberikan oleh guru mereka, bagaimana mereka menganggap ia telah Parinibbana dan seterusnya.

Para Bhikkhu yang berkunjung berkata:" Tuan-tuan, cahaya yang dilihat oleh gurumu bukanlah "Jalan". Itulah adalah kekotoran pandangan terang (upakilesa), sesuatu yang mengotori meditasi pandangan terang. Anda kurang begitu mengerti mengenai meditasi pandangan terang. Fakta sesungguhnya gurumu sebenarnya masih orang biasa." Keterangan mereka berdasarkan kitab suci, tetapi tak dapat diterima oleh bhikkhu lain yang tersinggung oleh komentar yang berlawanan terhadap guru mereka, dan mereka membantah pendapat orang terhadap pencapaian spiritual gurunya. Demikianlah beberapa orang mengakui seseorang telah menjadi Arahat padahal ia sebenarnya bukan Arahat. Kitab komentar menyatakan bahwa orang-orang ini tak dapat mencapai Jalan (Magga) dan Hasil (Phala) atau bahkan alam surga selama mereka belum melepaskan  pandangan salah mereka.

Sub-penjelasan menerangkan pernyataan yang ada pada kitab penjelasan sebagai berikut:- "Terikat erat pada pandangan salah sehingga mengangkat-angkat seorang manusia biasa menjadi status orang suci, menmbicarakan mengenai hal itu(pandangan salah), untuk menonjolkan atau membantahnya, adalah penghalang bagi pencapaian Sang Jalan (Magga) atau alam surga." Kita harus simpan dalam hati bahwa merupakan suatu kesalahan besar untuk mengangkat-angkat guru kita dan memuji-muji bahwa ia telah mencapai kesucian padahal ia masih orang biasa.


Wrong Liberation

Wrong liberation is the state of mind that one mistakes for real liberation. There are many kinds of wrong liberation. There are many wrong views about liberation among Buddhists and non-Buddhists. Non-Buddhists believe that they are liberated when they succeed in their search for the soul (atman) or when they differentiate the soul from the aggregates of personality. In the lifetime of the Buddha the Jains who were the disciples of the prominent religious teacher Nigantha Nātaputta, held that they could achieve liberation through the practice of austerities that would help them to exhaust the old kamma and make them immune to new kamma. They lived in a state of nature because they believed that non-attachment to cloths was a sign of full liberation. These naked ascetics were honoured as Arahants by their followers.

There are still such ascetics in India. Some seek liberation by worshipping fire, some hope they will be liberated if they cleanse themselves of their sins by bathing in the Ganges. Some hope to attain liberation in heaven by worshipping the Almighty God. Some people like the rishis Ālāra, Rāma, and Udaka believe in liberation through Nothingness (ākiñcaññāyatana-jhāna) or Neither-perception-nor-non-perception (nevasaññānāsaññāyatana-jhāna). Some people identify liberation with absorption of the fine material sphere. Baka brahma held that liberation was attainment of the brahma realm of his first absorption.

Among Buddhists, too, there is the view that equates liberation with the attainment of one of the absorptions. The Buddha mentioned it at the beginning of this sutta. I have also referred to the elders Mahānāga and Mahātissa who harboured such a delusion. Then there are meditators who speak of their attainment of the path and its result when they have unusual experiences such as seeing the light, joy and ecstasy attendant on the emergence of the knowledge of arising and passing away. Some believe they have made much spiritual progress even when they have less significant, but unusual, experiences such as feeling cool and fresh, feeling light, sudden tremors, collapsing, seeing extraordinary forms and visions, hearing strange sounds, seeing repulsive objects, feeling contact with space, feeling oneself on a big expanse of water, seeing the light and so forth.

Some become unconscious while sitting within two hours or two or three days after practising mindfulness. When the body of such a meditator is lifted, his sitting posture remains intact, but when questioned, he cannot point out the distinction between mind and matter or the nature of the three characteristics. These unusual experiences are purely based on concentration. However, for ignorant people they may be regarded as cessation of psychophysical phenomena or absorption in the fruition of the path.

What is important is the successive arising of the different kinds of insight-knowledge that lead to the knowledge of the path and fruition and liberation. Those who consider themselves liberated should at least have unwavering faith in the Buddha, Dhamma, and Sangha. They should have no faith in any practice that is devoid of the path, and they should be free from ego-belief and doubt, and very strict in the observance of the five precepts. If anyone claims spiritual progress or Stream-winning without being free even from the breaches of the five precepts, his sense of liberation is just wrong liberation.

For the information of readers we will mention the cause of wrong liberation cited in the Commentary on the Samāgama Sutta of the Majjhimanikāya

The Light Arahant

In response to the request of his disciples a monk gave instructions for what he described as instant attainment of Arahantship. Each meditator was to meditate on his original object in his room. If while he was thus meditating, there appeared a light he would be on the first path. The second appearance of the light would indicate the attainment of the second path, the third and fourth lights indicated the third and fourth paths
respectively.  The meditator would then become an Arahant. Because of such instructions his disciples decided that he was an Arahant. When he died later they believed that he had attained nibbāna and so they honoured and cremated his remains pompously. The bones were enshrined in a pagoda. At that time some knowledgeable monks arrived as guests and the hosts told them about the instruction of their teacher, his supposed parinibbāna and so forth.

The visiting monks said: “Sirs, the light that your teacher saw is not the path. It is a corruption of insight (upakkilesa), something that defiles insight meditation. You are not well-informed on insight meditation. In fact, your teacher was a mere worldling.” Their explanation was based on scriptures, but it was not acceptable to the other monks who resented any adverse comments about their teacher, and they argued the case for his spiritual attainments. Thus some people credit a person with Arahantship when he is in fact not an Arahant. The Commentary states that these people cannot attain the path and fruition or even the celestial realm so long as they do not renounce their wrong view.

The Subcommentary explains the Commentary’s statement as follows:– “To cling firmly to a wrong view that makes one upgrade the blameworthy worldling to the status of a noble one, talk about it (the wrong view), to extol it or to argue for it, is an obstacle to the attainment of the celestial realms or the path.” We should bear in mind then that it is a grave mistake to glorify one’s teacher and claim that he is a noble one when he is just an ordinary person.


Dikutip dari: Salekkha Sutta, oleh Mahasi Sayadaw.

http://www.aimwell.org/Books/Mahasi/Sallekha/WrongEffort/wrongeffort.html

5
Diskusi Umum / Apakah Bissu di Sulsel dulunya Bhikshu...?
« on: 12 March 2011, 10:02:37 AM »
Teman-teman, saya tertarik ingin tahu mengenai bissu (mereka tinggal di Sulawesi Selatan)
Saya mendengar bahwa bissu adalah sekelompok orang (umumnya waria) yang hidup dengan mencari nafkah seperti dukun yang melakukan upacara ritual.

Ada yang mengatakan bahwa bissu berasal dari kata Bhiksu, yang telah ter"degradasi" moralnya sehingga menjadi demikian. Adakah teman-teman yang bisa berbagi pengetahuan...?

Terima kasih,

Mettacittena.

6
Lowongan / Lowongan untuk domisili di daerah Lampung
« on: 24 February 2011, 04:51:54 PM »
Lowongan kerja untuk daerah Lampung:

- Bidang administrasi, diutamakan yang memiliki latar belakang accounting.
- Sales untuk home appliances dan kitchen ware.

Hubungi Bapak Yong-Yong, ph: (0815)404-0600


7
Theravada / Abhidhamma on the bus
« on: 18 February 2011, 10:47:52 AM »
Ketika dalam perjalanan antara Yangon - Mandalay saya mendengar rekaman paritta di Bus, tahukah anda rekaman paritta apa...? Paritta itu adalah Paritta dari Sutta yang berkaitan dengan Abhidhamma. Misalnya mengenai kondisi-kondisi dalam Patthanamatikapatha: "Purejatapaccayo, pacchajatapaccayo, asevanapaccayo,..." dsbnya.

Atau Paritta mengenai tingkatan Vipassana dalam Vipassanabhumipatha:"Sotadhatu saddadhatu sotavinnanadhatu, ghanadhatu gandhadatu ghanavinnanadhatu,..." dsbnya...

Kemudian perenungan timbul, mengapa demikian besar kontrasnya dengan keadaan di negara-negara Buddhis lain?
Di negara Buddhis lain mungkin yang diputar adalah rekaman lantunan puji-pujian terhadap para Buddha dan para Bodhisatta yang diputar berulang-ulang, yang menurut saya tidak mendidik atau menambah pengetahuan dan lebih mirip dengan agama tetangga.

Bahkan dalam perjalanan bus di Thailand sekalipun tak pernah mendengar pemutaran paritta seperti itu.

Teringat kembali akan diskusi yang terjadi beberapa waktu yang lalu, mungkinkah ini penyebab Theravada dikatakan sebagai Vibhajavada (doctrine of analyses/ajaran analitis)...?

 _/\_

8
Masih ingat ramalan Baba Vanga? Ia meramalkan 2010 perang dunia ketiga?

http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=15485.0

2010 telah berlalu dan tak terjadi perang dunia ketiga seperti yang diramalkan. Bagaimana pendapat teman-teman...?

9
Seremonial / Tuhan tambah umur
« on: 07 January 2011, 06:40:44 PM »
Siapa bilang Tuhan tidak dilahirkan dan Tidak menjelma...?

Tuhan kuucapkan sukur kepadamu karena telah menjelma, untuk menebus dosa umat manusia di seluruh jagat DC.        ;D

10
Studi Sutta/Sutra / Memahami Mulapariyaya Sutta
« on: 06 January 2011, 01:14:51 AM »
1  Mūlapariyāya Sutta, Akar Segala Sesuatu

1.Evam me1 sutam ekam samayam bhagavà ukkaññhàyam viharati subhagavane sàlaràjamåle. Tatra kho bhagavà bhikkhå àmantesi bhikkhavo'ti. Bhadante'ti te bhikkhå bhagavato paccassosum. Bhagavà etadavoca.
1.DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Ukkaṭṭhā di Hutan Subhaga di bawah pohon sāla besar. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.”  – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2.Sabbadhammamålapariyàyam vo bhikkhave desessàmi2. Tam suõàtha. Sàdhukam manasi karotha. Bhàsissàmã'ti. Evam bhante'ti3 kho te bhikkhå bhagavato paccassosum. Bhagavà etadavoca.
2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan sebuah khotbah kepada kalian tentang akar dari segala sesuatu.  Dengarkan dan perhatikanlah apa yang akan Kukatakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(Putthujana)
3. Idha bhikkhave assutavà puthujjano ariyànam adassàvã4 ariyadhammassa akovido ariyadhamme avinãto sappurisànam adassàvã4 sappurisadhammassa akovido sappurisadhamme avinãto pañhavim pañhavito5 sa¤jànàti. Pañhavim pañhavito5 sa¤¤atvà pañhavim ma¤¤ati pañhaviyà ma¤¤ati pañhavito ma¤¤ati pañhavim me'ti6 ma¤¤ati. Pañhavim abhinandati. Tam kissa hetu? Apari¤¤àtam 7 tassà'ti vadàmi.

(ORANG BIASA)
3. “Di sini, para bhikkhu, seorang biasa yang tidak terlatih,  yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, memahami tanah sebagai tanah.  Setelah memahami tanah sebagai tanah, ia menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia menganggap [dirinya] dalam tanah, ia menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam tanah.  Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

(Disini yang dimaksud orang-orang yang tidak terampil, tidak disiplin dalam Dhamma dsbnya adalah para puthujana, yaitu mereka yang belum menyelami sifat dari berbagai fenomena).
“Ia melihat tanah sebagai tanah” Maksudnya tanah adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat tanah, yaitu keras maupun lembut termasuk dalam unsur tanah.
“Setelah memahami tanah sebagai tanah” yang dimaksudkan disini persepsi mengenali tanah sebagai tanah

ia menganggap [dirinya sebagai] tanah,
Pada batin puthujana setelah ia mengenali unsur tanah batinnya langsung terlibat dan melekat pada persepsi unsur tanah yang dikenalinya, umpamanya ia melekat pada persepsi keras, lunak dsbnya walau sebenarnya itu hanya persepsi. Tanah hanyalah suatu bentuk yang berubah.

Reaksi terhadap pengenalan unsur ini bisa dua macam yaitu menolak atau menerima, yang dimaksud ia menganggap dirinya dalam tanah, ia menerima dan menganggap tanah tersebut bagian dari dirinya.
Contoh: bila anda membeli seperangkat perhiasan emas dari toko, anda menerima perhiasan tersebut dan menganggap perhiasan tersebut adalah milik anda, sehingga bila ada orang yang menjatuhkan perhiasan anda, anda langsung menjerit, seolah-olah emas tersebut adalah bagian dari diri anda, padahal bukan.

Pada kasus yang lain ia menganggap dirinya "terpisah" dari tanah, Pernahkah anda melihat bagian dari rumah anda yang tidak anda sukai? Umpamanya eternit plafon anda yang sudah rusak, anda mungkin tidak merasa sebagai bagian dari plafon tersebut, atau anda tidak merasa plafon tersebut sebagai bagian dari anda walaupun milik anda sendiri (karenanya anda dengan senang hati mengijinkan orang lain untuk mencopot plafon tersebut).

Namun  anda tetap terlibat dengan plafon tersebut, yaitu terlibat dalam penolakan terhadap plafon tersebut, dalam Sutta ini diterangkan bahwa kita menganggap plafon tersebut sebagai terpisah.

Disini sebenarnya walaupun kita tidak menyukai plafon tersebut, dalam pengertian yang lebih halus kita tetap merasa bahwa plafon itu adalah bagian dari diri kita. Kita juga tetap terlibat dan menganggapnya sebagai bagian dari diri kita. Mengapa demikian? Kita menganggap plafon tersebut adalah bagian dari kita yang harus disingkirkan. Jadi tetap mengganggap bahwa hal tersebut milik kita/bagian dari persolan kita.
Oleh karena itu batin kita melekat terhadap plafon tersebut.

Itulah sebabnya dikatakan menganggap tanah (unsur tanah) sebagai milikku. Disini batin seorang puthujana masih belum memahami bahwa emas atau plafon rusak hanyalah suatu benda, kita terlibat atau tidak dengan kedua benda tersebut tergantung dari bagaimana kita memandang benda tersebut.
Pada batin puthujana timbul kemelekatan untuk memiliki atau menolak.

4. âpam àpato sa¤jànàti. âpam àpato sa¤¤atvà àpam ma¤¤ati àpasmim ma¤¤ati àpato ma¤¤ati àpam me'ti ma¤¤ati. âpam abhinandati. Tam kissa hetu? Apari¤¤àtam 1 tassà'ti vadàmi.(2)
4. “Ia memahami air sebagai air. Setelah memahami air sebagai air, ia menganggap [dirinya sebagai] air, ia menganggap [dirinya] dalam air, ia menganggap [dirinya terpisah] dari air, ia menganggap air sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam air. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

Hal yang sama berlaku juga pada unsur air, disini kita mengganti unsur padat dengan unsur air (sifat unsur air adalah melekat/kohesi), jadi semua benda-benda melekat satu sama lain karena sifat unsur air.

Seperti juga pada unsur padat, batin kita juga melekat pada unsur air atau semua unsur cair.

5. Tejam tejato sa¤jànàti. Tejam tejato sa¤¤atvà tejam ma¤¤ati tejasmim ma¤¤ati tejato ma¤¤ati tejam me'ti ma¤¤ati. Tejam abhinandati. Tam kissa hetu? Apari¤¤àtam1 tassà'ti vadàmi.(3)
5. “Ia memahami api sebagai api. Setelah memahami api sebagai api, ia menganggap [dirinya sebagai] api, ia menganggap [dirinya] dalam api, ia menganggap [dirinya terpisah] dari api, ia menganggap api sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam api. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan”

Sifat unsur api adalah panas maupun dingin, jadi yang dimaksud unsur api disini adalah sifat suhu (temperatur).

6. Vàyam vàyato sa¤jànàti. Vàyam vàyato sa¤¤atvà vàyam ma¤¤ati vàyasmim ma¤¤ati vàyato ma¤¤ati vàyam me'ti ma¤¤ati. Vàyam abhinandati. Tam kissa hetu? Apari¤¤àtam1 tassà'ti vadàmi.(4)
6. “Ia memahami udara sebagai udara. Setelah memahami udara sebagai udara, ia menganggap [dirinya sebagai] udara, ia menganggap [dirinya] dalam udara, ia menganggap [dirinya terpisah] dari udara, ia menganggap udara sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam udara. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan. [2]

Unsur angin memiliki karakteristik diantaranya yaitu: mendorong, bergetar, mendukung, menekan, rotasi.
Setiap benda memiliki ke-empat unsur ini terlepas dari unsur mana yang paling dominan.
Secara ringkas Dalam sutta ini Sang Buddha menerangkan asal mula segala sesuatu di dunia ini, yaitu kemelekatan terhadap ke-empat unsur, dan sifat kemelekatan itu sendiri.

7. Bhåte bhåtato sa¤jànàti. Bhåte bhåtato sa¤¤atvà bhåte ma¤¤ati bhåtesu ma¤¤ati bhåtato ma¤¤ati bhåte me'ti ma¤¤ati. Bhåte abhinandati. Tam kissa hetu? Apari¤¤àtam 1 tassà'ti vadàmi.(5)
7. “Ia memahami makhluk-makhluk sebagai makhluk-makhluk.  Setelah memahami makhluk-makhluk sebagai makhluk-makhluk, ia membayangkan makhluk-makhluk, ia menganggap [dirinya] dalam makhluk-makhluk, ia menganggap [dirinya terpisah] dari makhluk-makhluk, ia menganggap makhluk-makhluk sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam makhluk-makhluk. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

Terlahir sebagai apapun setiap mahluk selalu mengidentifikasi dirinya sebagai mahluk tersebut, timbul persepsi sebagai mahluk-mahluk, ia mulai menikmati dan bergembira sebagai mahluk tersebut, sebagai contoh:
“Ada diceritakan kisah mengenai seorang raja yang sangat memuja dan mencintai permaisurinya. Suatu ketika permaisuri tersebut meninggal, raja tenggelam dalam rasa duka yang mendalam karena cintanya kepada permaisuri yang pintar mengambil hatinya tersebut. Kesedihan mendalam membuat raja menjadi lalai dalam urusan negara, ia melupakan semua urusan negara dan selalu merenung dengan sedihnya di depan peti mati permaisuri.

Kebetulan ada seorang petapa sakti yang mengetahui keadaan raja lalu datang untuk memberi nasehat kepada raja agar jangan terlalu tenggelam pada keadaan yang telah berlalu, untuk kembali mengurusi urusan kenegaraan, ia datang ke raja lalu bertanya kepada raja, apakah ia ingin mengetahui dimanakah permaisuri sekarang terlahir? Raja langsung menyetujui.

Lalu petapa tersebut mengatakan kepada raja bahwa permaisuri telah terlahir sebagai ulat, di kotoran. Dengan kekuatan kesaktiannya sang Petapa membuat raja mampu mendengar percakapan antara ulat penjelmaan permaisuri tersebut yang sedang jatuh cinta dengan ulat lainnya.
Lalu raja bertanya kepada ulat tersebut apakah ia masih ingat kepada raja? Ulat penjelmaan permaisuri tersebut karena ingin mengambil hati pasangan ulatnya lalu mengatakan tidak mengenal, tidak peduli dan tidak mau tahu kepada raja.

Mendengar pernyataan tersebut raja menjadi marah karena mendapatkan perlakuan demikian dari ulat penjelmaan isterinya (karena ia merasa demikian mencintai dan memuja serta selalu setia dengan isterinya). Lalu ia memerintahkan kepada para prajurit untuk menyingkirkan petimati permaisuri yang selama ini selalu berada di istana.

Moral story dari ceritera ini adalah: mahluk yang terlahir kembali kemudian melekat dan mencari berbagai kesenangan sebagai mahluk tersebut dan mempersepsikan dirinya sebagai mahluk yang baru tersebut.

8. Deve devato sa¤jànàti. Deve devato sa¤¤atvà deve ma¤¤ati devesu ma¤¤ati devato ma¤¤ati deve me'ti ma¤¤ati. Deve abhinandati. Tam kissa hetu? Apari¤¤àtam1 tassà'ti vadàmi.(6)
8. “Ia memahami dewa-dewa sebagai dewa-dewa.  Setelah memahami dewa-dewa sebagai dewa-dewa, ia membayangkan dewa-dewa, ia menganggap [dirinya] dalam dewa-dewa, ia menganggap [dirinya terpisah] dari dewa-dewa, ia menganggap dewa-dewa sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam dewa-dewa. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

9. Pajàpatim pajàpatito sa¤jànàti. Pajàpatim pajàpatito sa¤¤atvà pajàpatim ma¤¤ati pajàpatismim ma¤¤ati pajàpatito ma¤¤ati pajàpatim me'ti ma¤¤ati. Pajàpatim abhinandati. Tam kissa hetu? Apari¤¤àtam1 tassà'ti vadàmi.(7)
9. “Ia memahami Pajāpati sebagai Pajāpati.  Setelah memahami Pajāpati sebagai Pajāpati, ia membayangkan Pajāpati, ia menganggap [dirinya] dalam Pajāpati, ia menganggap [dirinya terpisah] dari Pajāpati, ia menganggap Pajāpati sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam Pajāpati. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

10. Brahmam brahmato sa¤jànàti. Brahmam brahmato sa¤¤atvà brahmam ma¤¤ati. Brahmani2 ma¤¤ati. Brahmato ma¤¤ati. Brahmam me'ti ma¤¤ati. Brahmam abhinandati. Tam kissa hetu? Apari¤¤àtam1 tassà'ti vadàmi.(8)
10. “Ia memahami Brahmā sebagai Brahmā.  Setelah memahami Brahmā sebagai Brahmā, ia membayangkan Brahmā, ia menganggap [dirinya] dalam Brahmā, ia menganggap [dirinya terpisah] dari Brahmā, ia menganggap Brahmā sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam Brahmā. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

11. âbhassare àbhassarato sa¤jànàti. âbhassare àbhassarato sa¤¤atvà àbhassare ma¤¤ati àbhassaresu ma¤¤ati àbhassarato ma¤¤ati àbhassare me'ti ma¤¤ati. âbhassare abhinandati. Tam kissa hetu? Apari¤¤àtam1 tassà'ti vadàmi.(9)
11. “Ia memahami para dewa dengan Cahaya Gemerlap sebagai para dewa dengan Cahaya Gemerlap.  Setelah memahami para dewa dengan Cahaya Gemerlap sebagai para dewa dengan Cahaya Gemerlap, ia membayangkan para dewa dengan Cahaya Gemerlap, ia menganggap [dirinya] dalam para dewa dengan Cahaya Gemerlap, ia menganggap [dirinya terpisah] dari para dewa dengan Cahaya Gemerlap, ia menganggap para dewa dengan Cahaya Gemerlap sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam para dewa dengan Cahaya Gemerlap. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

12. Subhakiõõe2 subhakiõõato3 sa¤jànàti. Subhakiõõe subhakiõõato sa¤¤atvà subhakiõõe ma¤¤ati subhakiõõesu ma¤¤ati subhakiõõato ma¤¤ati subhakiõõe me'ti ma¤¤ati. Subhakiõõe abhinandati. Tam kissa hetu. Apari¤¤àtam tassà'ti vadàmi.(10)
12. “Ia memahami para dewa dengan Keagungan Gemilang sebagai para dewa dengan Keagungan Gemilang.  Setelah memahami para dewa dengan Keagungan Gemilang sebagai para dewa dengan Keagungan Gemilang, ia membayangkan para dewa dengan Keagungan Gemilang, ia menganggap [dirinya] dalam para dewa dengan Keagungan Gemilang, ia menganggap [dirinya terpisah] dari para dewa dengan Keagungan Gemilang, ia menganggap para dewa dengan Keagungan Gemilang sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam para dewa dengan Keagungan Gemilang. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

13. Vehapphale vehapphalato sa¤jànàti. Vehapphale vehapphalato sa¤¤atvà vehapphale ma¤¤ati vehapphalesu ma¤¤ati vehapphalato ma¤¤ati vehapphale me'ti ma¤¤ati. Vehapphale abhinandati. Tam kissa hetu? Apari¤¤àtam tassà'ti vadàmi.(11)
13. “Ia memahami para dewa dengan Buah Besar sebagai para dewa dengan Buah Besar.  Setelah memahami para dewa dengan Buah Besar sebagai para dewa dengan Buah Besar, ia membayangkan para dewa dengan Buah Besar, ia menganggap [dirinya] dalam para dewa dengan Buah Besar, ia menganggap [dirinya terpisah] dari para dewa dengan Buah Besar, ia menganggap para dewa dengan Buah Besar sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam para dewa dengan Buah Besar. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

14. Abhibhum abhibhuto4 sa¤jànàti. Abhibhum abhibhuto sa¤¤atvà abhibhum ma¤¤ati abhibhusmim ma¤¤ati abhibhuto ma¤¤ati abhibhum me'ti ma¤¤ati. Abhibhum abhinandati. Tam kissa hetu? Apari¤¤àtam tassà'ti vadàmi.(12)
14. “Ia memahami raja sebagai raja.  Setelah memahami raja sebagai raja, ia membayangkan raja, ia menganggap [dirinya] dalam raja, ia menganggap [dirinya terpisah] dari raja, ia menganggap raja sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam raja. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

15. âkàsàna¤càyatanam àkàsàna¤càyatanato sa¤jànàti. âkàsàna¤càyatanam àkàsàna¤càyatanato sa¤¤atvà àkàsàna¤càyatanam ma¤¤ati. âkàsàna¤càyatanasmim ma¤¤ati. âkàsàna¤càyatanato ma¤¤ati. âkàsàna¤càyatanam me'ti ma¤¤ati. âkàsàna¤càyatanam abhinandati. Tam kissa hetu? Apari¤¤àtam tassà'ti vadàmi.(13)
15. “Ia memahami landasan ruang tanpa batas sebagai landasan ruang tanpa batas.  Setelah memahami landasan ruang tanpa batas sebagai landasan ruang tanpa batas,  ia menganggap [dirinya sebagai] landasan ruang tanpa batas, ia menganggap [dirinya] dalam landasan ruang tanpa batas, ia menganggap [dirinya terpisah] dari landasan ruang tanpa batas, ia menganggap landasan ruang tanpa batas sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam landasan ruang tanpa batas. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

[berlanjut...]

11
Diskusi Umum / Mengukur kemampuan diri sendiri
« on: 08 September 2010, 08:56:34 AM »
Dahulu ketika saya masih kecil, pernah diceritakan bahwa nanti akan muncul Buddha lagi. Ketika itu saya berpikir dengan jalan berpikir anak kecil: "mungkin calon Buddha tersebut adalah saya, mungkin sayalah yang dimaksud calon Buddha yang akan muncul tersebut", saya merasa bahwa saya memiliki kemampuan menjadi Buddha, mungkin saya yang akan menjadi Buddha di kehidupan sekarang ini.

Pemikiran-pemikiran ini muncul disebabkan kurangnya pengetahuan Dhamma. Setiap orang merasa bisa ini, bisa itu, banyak sekali orang-orang yang memiliki over-confidence bahwa mereka terlahir sebagai manusia super, yang bisa menjadi apapun. Dalam jiwa manusia-manusia seperti ini, mereka kurang memiliki kerendahan hati untuk mengakui keterbatasan diri sendiri. Kadang-kadang manusia over-confidence mendapatkan berbagai benturan, akhirnya mereka putus asa dan menjadi stress.

Beberapa orang yang disebabkan dukungan karma baiknya di masa lampau, tidak mengalami banyak benturan, jalan mereka mulus saja. Tetapi hal ini juga berdampak negatif berupa kesombongan yang timbul semakin besar, kadang-kadang orang ini jadi terobsesi ingin menjadi terkenal, obsesifnya ini lama-lama menjadi penyakit kejiwaan megalomaniac. Orang yang telah diliputi penyakit megalomaniac ini seringkali berusaha dengan cara apapun untuk menggapai impian mereka, termasuk berbohong bila perlu.

Orang-orang megalomaniac ini seringkali mendapatkan pengikut di kalangan orang-orang bodoh yang percaya begitu saja, terhadap ucapan mereka. Orang-orang bodoh yang kurang pengertian Dhamma akan mudah sekali dipelintir oleh para megalomaniac ini.

Melalui banyak perubahan saya terus belajar Dhamma, belajar dan berdiskusi dengan pakar-pakar di bidangnya, tak lupa terus menggali, menguji suatu pendapat dengan diskusi, debat atau dengan mempraktekkan langsung, semakin lama saya semakin sadar bahwa saya sangat-sangat-sangat,............., sangat kecil.

Berikut saya berikan gambaran sebagai perbandingan, mengapa saya merasa sangat kecil.
Suatu ketika dikatakan bahwa Y.A. Pindola Bharadvaja terbang diatas batu yang sangat besar, kalau tidak salah dikatakan bahwa batu tersebut besarnya belasaan meter, mengelilingi kota Savatthi. Kesaktian Y.A. Pindola Bharadvaja belum seberapa dibandingkan dengan kesaktian siswa utama (aggasavaka).
Ada diceritakan suatu ketika Y.A. Sariputta (siswa utama) sedang duduk bermeditasi, sesosok Yakkha yang sakti memukul kepala Y.A. Sariputta tetapi Y.A. Sariputta tidak terluka, hanya merasa pusing sedikit. Y.A. Mogallana memuji kagum terhadap Y.A. Sariputta, karena mampu menahan pukulan tersebut, padahal pukulan itu bisa menghancurkan gunung. Ini adalah kehebatan Y.A. Sariputta.

Dari Sutta dikatakan bahwa suatu ketika Y.A. Sariputta balik memuji Y.A. Mogallana dengan mengatakan bahwa kemampuan kesaktian beliau bagai sebutir pasir dibandingkan dengan pasir di bukit dibandingkan dengan kesaktian Y.A. Mogallana. Kesaktian Y.A. Mogallana yang menurut saya sangat fenomenal adalah dengan ujung jari kaki beliau mampu menggoncangkan istana raja dewa Sakka, sehingga dewa Sakka dan seluruh penghuni istana raja dewa Sakka menjadi panik.

Dari perbandingan menurut Visuddhi Magga, dikatakan bahwa bila ada Bhikkhu dengan kesaktian sebanding Y.A. Mogallana disusun rapi dan rapat, hingga memenuhi seluruh Jambudipa, maka kesaktian seluruh bhikkhu tersebut bila digabungkan, baru sebanding dengan kesaktian seorang Pacceka Buddha.

lebih lanjut dikatakan bila ada banyak Pacceka Buddha disusun rapi, hingga memenuhi seluruh jambudipa (India) maka kesaktian seluruh Pacceka Buddha tersebut digabungkan, baru sebanding dengan seorang Sammasambuddha.

Inilah sebabnya saya mengatakan bahwa semakin banyak membaca buku Dhamma dan semakin banyak belajar dengan praktek langsung, saya semakin menyadari bahwa "betapa kecilnya" saya dibandingkan para petapa-petapa jaman dahulu. Bila saya melihat ada orang yang berusaha menyamakan dirinya dengan Sang Buddha, saya hanya tertawa menyadari kekonyolan pikiran tersebut, sama konyolnya dengan cara berpikir saya waktu masih kecil sebelum banyak belajar Dhamma.

Bagai peribahasa "burung pungguk merindukan bulan". Pemikiran-pemikiran bahwa dalam jaman sekarang ini "saya" mampu menyamai Sang Buddha, adalah pikiran tak tahu diri, pemikiran yang berasal dari anak-anak yang bodoh yang tak mampu mengukur kemampuan diri sendiri, yang disebabkan kurangnya pengetahuan Dhamma. Lebih bodoh lagi adalah orang yang menganggap bahwa jaman sekarang ada orang yang mampu menyamai Sang Buddha.
Jangankan Sang Buddha, bahkan menyaingi Y.A. Mogallana saja tak ada yang mampu di jaman sekarang.

Semakin banyak belajar Dhamma saya malah merasa semakin kecil?

 _/\_

12
Selama 2500 tahun ajaran Sang Buddha, sudah sejak jaman dahulu ajaran Beliau selalu berusaha dipalsukan,
Demi memalsukan ajaran Sang Buddha para pemalsu ajaran tak segan-segan menulis dengan diawali kata-kata: "Demikianlah yang kudengar...."
Barusan saya baca di web ada usaha memalsukan lagi tapi dari agama K*****n, bayangkan pada jaman sekarangpun usaha untuk memalsukan masih terus dilakukan.

http://www.freewebs.com/notjustnotes/buddhasprophecy.htm

Dikatakan di web tersebut bahwa Sang Buddha meramalkan akan datang holy one yang ciri-cirinya seperti nabi mereka yang sudah disalib, lalu dikatakan bahwa naskah itu ditulis 500 tahun sebelum Masehi.
Mau memalsukan kok nggak belajar sejarah agama Buddha, nggak berusaha mencari tahu kapan AjaranNya ditulis  ^-^

Dibuat seolah olah naskahnya asli, seolah-olah dari sumber asli, seolah-olah otentik.
Umat K memang patut dikasihani, oleh karena percaya begitu saja terhadap dogma.
Sehingga demi keinginan menarik pengikut ajaran lain tak segan-segan menyebarkan fitnah dan kebohongan.


 _/\_

13
Pengembangan DhammaCitta / DC goes International.
« on: 14 August 2010, 04:30:34 PM »
Teman-teman sekalian,
baru-baru ini saya ada masuk milis luar negeri, mereka mengatakan surprise melihat di Indonesia banyak juga yang antusias mempelajari Dhamma.

DC hanya untuk mereka yang berbahasa Indonesia, bagaimana bila di DC juga diadakan untuk orang luar yang berbahasa Inggris? Sehingga mereka tahu bahwa di Indonesia juga ada Buddhist bukan hanya Muslim.
 
_/\_

14
Diskusi Umum / Legenda atau asli
« on: 08 August 2010, 12:23:49 PM »
Bhikkhu Mettanando ini memang kontroversial, saya pernah membaca artikelnya tentang kematian Sang Buddha yang mendobrak pandangan yg selama ini kita anut dari Mahaparinibbana Sutta.

Bro Indra yang baik,
saya setuju bro, bahwa beliau memang kontroversial, saya masih ingat dulu saya pernah berargumen di Samaggi Phala beberapa tahun yang lalu. Mengenai komentarnya terhadap Mahaparinibbana Sutta.

Bhikkhu Mettanando nampaknya mengomentari berdasarkan asumsi pribadi, tanpa didukung fakta referensi yang kredibel. Ada satu hal menarik dari tulisannya, ketika ia mengatakan  bahwa kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali adalah karangan belaka dan tak ditemukan di Tipitaka.

Padahal kisah kelahiran pangeran Sidhattha yang melangkah tujuh kali, ada tertulis di Achariyabhuta Sutta, Majjhima Nikaya.

Pendapat-pendapat yang tak berdasar seperti itu tidak sepantasnya keluar dari seorang intelektual, apalagi beliau seorang Bhikkhu.

 _/\_
kelahiran pangeran itu memang ada di tipitaka tapi katanya itu hanyalah simbolik, kata Ven. S. Dhammika

Bro Ryu yang baik,

Bila kita mau kritis kita juga bisa pertanyakan bhante Dhammika, darimana Bhante Dhammika tahu itu hanya simbolik...? Apa kredibilitas beliau...?
Jadi saya hanya menerima pendapat bhante Dhammika hanya sebatas pendapat juga, itu boleh-boleh saja.
Bukan berarti pendapat beliau benar.

 _/\_
ko fabian yang baik, itu ada di catatan kaki dalam MN III.123 Acchariyabbhutadhamma Sutta, cerita ini tumbuh, demi menekankan makna spiritual kelahiran Sang Pangeran. Tujuh langkah dan pernyataan keberadaan-spiritualnya adalah perlambang bahwa anak ini telah siap untuk melaksanakan Tujuh Faktor Pencerahan (satta bojjhanga) yakni kesadaran/kemawasan, penyelidikan fenomena, keteguhan, kegembiraan, ketenangan, konsentrasi dan keseimbangan - dan olehnya akan mencapai kebahagiaan Nibbana. Teratai, tentunya, melambangkan Nibbana. Sutta yang sama disebutkan pada kelahiran Sang Buddha

Bro Ryu yang baik,

Saya rasa itu adalah tafsiran terhadap sutta, yang jelas melangkah tujuh kali tertulis di Sutta, mengenai benar tidak nya tentu kita tidak tahu karena kita tidak hadir disana ketika itu terjadi.

Sejauh belum ada argumentasi yang lebih sahih, Sutta tersebut adalah penggambaran yang dianggap paling mewakili.
 
_/\_


 
ko Fabian yang baik,

di sutta itu hanyalah menggambarkan tanda2 kelahiran Boddhisatva, bukan menceritakan kelahiran Sidharta Gautama, sama seperti dalam Digha Nikaya 14 yang menceritakan Buddha Vipassi, mungkin apabila disebutkan semua bodhisatva ketika dilahirkan berjalan tujuh langkah termasuk pangeran Sidharta aye tidak tahu, kalau boleh minta apa ada sutta yang menceritakan riwayat pangeran Sidharta yang mengenai itu tolong dong kasih link nya thanks. BTW ini OOT kalau mau lanjut mungkin harus bikin thread baru, eh ada kok threadnya di :
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,7167.msg138394.html#msg138394
 ;D

Bro Ryu yang baik,

Setahu saya setiap Bodhisatta pada kelahirannya yang terakhir memang akan selalu terlahir dalam keadaan-keadaan yang selalu demikian, umpamanya disertai 32 keajaiban, usia ibunya singkat dsbnya.
Pada prinsipnya saya tak mau men-judge isi Tipitaka.
Karena saya tak ada disana pada waktu itu. Entah kalau para scholar menganggap mereka tahu kejadian yang sebenarnya.

 _/\_

15
Humor / Misionaris canggih
« on: 25 July 2010, 09:56:02 PM »
Seorang pasien kanker paru-paru stadium 2 suatu ketika didatangi oleh misionaris.
Dengan rasa percaya diri yang kuat sang Misionaris meyakinkan pasien kanker tersebut,
"Pak Jadul percayalah bila pak Jadul percaya dan menerima Nabi kami sebagai Juruselamat maka Tuhan akan akan memberikan berkah kesembuhan untuk pak Jadul"
"Lalu bagaimana caranya saya percaya dan menerima sepenuh hati?"
"Tentu saja anda harus dibaptis" jawab sang Misionaris.

Pak Jadul lalu menerima pembaptisan menurut kepercayaan sang Misionaris.
Pak Jadul lalu rajin beribadah menurut kepercayaannya yang baru, setelah beberapa bulan kemudian penyakit pak Jadul memburuk, kanker paru-parunya yang sebelumnya stadium 2 menjadi stadium 3.

Pak Jadul lalu bertanya kepada sang Misionaris mengenai perkembangan penyakitnya,
"Pak Misionaris bagaimana nih.... kok setelah saya bertobat dan menerima Nabi kita sebagai juruselamat, kanker saya yang sebelumnya stadium 2 malah menjadi stadium 3."
"Pak Jadul mungkin belum menerima sepenuhnya" kata sang Misionaris. "loh bukankah pembaptisan membuktikan bahwa saya telah menerima sepenuhnya? Bila saya tidak menerima sepenuhnya tentu saya tak mau dibaptis pak pendeta...."

"Bila demikian berarti mungkin anda masih kurang yakin" kilah sang Misionaris.
"Cobalah untuk yakin dan berserah sepenuh hati kepadanya".
Pak Jadul lalu kembali ke rumah dan berusaha menjadi yakin dan berserah sepenuh hati.
Tiga bulan kemudian pak jadul kembali kepada sang Misionaris.

"Pak Pendeta, bagaimana ini... saya telah yakin sepenuh hati dan berserah diri sepenuhnya tetapi kanker paru-paru saya yang sebelumnya stadium 3 sekarang malah memasuki stadium 4."
"Saya bahkan telah menyumbangkan beberapa rumah milik saya untuk digunakan bagi rumah Tuhan"
"Juga beberapa perusahaan telah saya jual untuk melakukan pekerjaan Tuhan"
"Saya juga telah memaksa anak isteri saya untuk bertobat juga dan menerima nabi kita sebagai penolong"
"Katanya penyakit saya akan sembuh bila saya yakin dan berserah diri sepenuhnya, mana buktinya?"
Pak Jadul bertanya kepada sang Misionaris dengan berapi-api, karena panik dan putus asa.

Sang Misionaris lalu bertanya kepada pak Jadul, "Pak Jadul apakah seseorang yang yakin dan percaya sepenuhnya masih meragukan kekuasaan Tuhan?" "Tentu saja tidak!" jawab pak Jadul masih dengan nada kesal.

"Bila memang anda tidak ragu-ragu lagi, yakin dan percaya sepenuhnya, mengapa sekarang anda mempertanyakan kekuasaan Tuhan memberikan apa yang terbaik bagi anda...? Berarti pak Jadul belum yakin dan berserah diri sepenuhnya". Jawab sang Misionaris enteng.

Pages: [1] 2 3 4
anything