4. Ulasan pandangan yang berbeda mengenai Bodhisattva antara Theravada dan Mahayana.
Kini bagaimanakah dengan pendapat bahwa seorang Bodhisattva lebih tinggi dibandingkan dengan Arahat? Mahayana mengatakan bahwa Arahat tidak favorit dibandingkan Bodhisattva karena mereka hanya bertujuan untuk mencari keselamatan dirinya saja dan tidak membantu menyelamatkan makhluk lainnya. Marilah kita pelajari sutra-sutra Mahayana berikut ini mengenai Bodhisattva.
1. Sutra Mahratnakuta, sutra ke 35, yang berjudul Pembabaran Mengenai Kondisi Kebuddhaan Yang Tak Tertandingi menyebutkan:
Seorang Bodhisattva melampaui para Sravaka dan Pratyekabuddha dalam hal berikut, ia mencapai Nirvana, namun ia keluar lagi darinya, inilah yang membedakannya dengan Para Sravaka (Arahat) dan Pratyekabuddha.
2.Sutra Upayakausalya:
Bodhisattva-Mahasattva makhluk yang termulia, yang terunggul. Bodhisattva Mahasattva melatih semua dhyana dan samadhi, tetapi setelah melaksanakan itu semua, mereka kembali masuk ke Alam Nafsu untuk mengajari dan mengubah para makhluk hidup. Meskipun mereka melatih kekosongan, ketiadaan corak, dan ketiadaan aktivitas untuk mengubah makhluk hidup dan menyebabkan mereka menjadi Sravaka (Arhat) atau Pratyekabuddha, namun karena cinta kasih dan belas kasih agung, mereka selamanya tidak terpisah dari hati Bodhisattva.
3.Sutra Delapan Kesadaran Agung:
Roda kelahiran dan kematian bagaikan nyala api yang membakar sebuah rumah. Terdapat penderitaan yang tak terhingga. Pertama-tama kita harus berikrar untuk mengabdikan diri pada pengabdian kemanusiaan, kemudian menderita demi kepentingan mereka, dan akhirnya mempersilahkan mereka mencapai Nirvana, kebahagiaan mutlak yang mulia.
Untuk memecahkan permasalahan di atas, pertama-tama ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di sini; di dalam naskah-naskah Mahayana sekalipun pembebasan tetap harus diusahakan sendiri. Nibbana atau Nirvana tidaklah dapat dianugerahkan oleh makhluk lainnya, tetap kita harus berjuang sendiri-sendiri. Ini dinyatakan dengan jelas sekali dalam Sutra Mahaparinirvana Pacchimovada:
O, Para Bhikshu, berusahalah dengan giat dan bulatkan tekad untuk mencapai pembebasan! Segala sesuatu yang berubah dan tidak berubah merupakan manifestasi bentuk fenomena dari kemayaan! Tenanglah kalian! Tak lama kemudian Aku akan sirna! Inilah pesan-pesan terakhir-Ku!
Seorang Bodhisattva menurut Mahayana hanyalah membimbing para makhluk di dalam menempuh jalan yang benar menuju nirvana. Itulah pengertian yang benar bagi "menyelamatkan semua makhluk". Mereka menggunakan berbagai metode-jitu (skillful means) yang disebut upaya kausalya (merupakan salah satu di antara 10 Paramita Mahayana, lihat bagian buku ini yang khusus membahas mengenai paramita) dalam membimbing para makhluk agar selalu berada di jalan yang benar atau membawanya ke jalan tersebut apabila mereka belum berada di atasnya. Upaya kausalya berarti dengan terampil memanfaatkan berbagai metode untuk menarik perhatian dan mengarahkan para makhluk agar bersedia menapaki Jalan Dharma. Inilah salah satu keahlian para Bodhisattva. Para Bodhisattva dapat memahami keinginan dan kecenderungan para makhluk sehingga dapat mengajar mereka dengan metode yang tepat. Di sini kita menyimpulkan bahwa: setidaknya Mahayana dan Theravada setuju bahwa pencapaian nibbana tetap harus diusahakan oleh diri sendiri.
Untuk memahami akar gagasan Mahayana mengenai Bodhisattva serta latar belakang pandangan bahwa seorang Arahat hanya mengusahakan pembebasan dirinya saja, akan dikutipkan penjelasan Suwarto Tani:
Seorang arhat, yang telah terbebas, mengetahui bahwa dia tidak akan terlahir kembali. Dia telah menyelesaikan dengan baik apa yang harus dikerjakan. Dia telah melepaskan bebannya. Dia hidup pada kehidupan suci. Dia mencapai kebersihan-kemurnian dan akhir emansipasi pikiran dan hati. Dia sendiri menyendiri, bersemangat, bersungguh-sungguh, menguasai dirinya sendiri.
Seorang arhat seperti itu juga pergi sebagai seorang pengkhotbah dan mengajarkan ajaran Buddha kepada orang lain. Guru tersebut sangat menganjurkan para siswanya untuk berkelana dan membabarkan kebenaran demi kebaikan dan pembebasan orang banyak, karena ia mengasihi sesama makhluk hidup dan menaruh belas kasihan pada mereka.
Demikianlah gagasan mengenai Arhat tersebut selama tiga abad sebelah parinibbana Sang Buddha. Tetapi nyatanya Para Bhikkhu Buddhisme mulai mengabaikan aspek-aspek perpenting tertentu gagasan tersebut pada abad kedua SM….. Mereka menjadi terlalu mementingkan diri sendiri dengan hidup menyendiri. Mereka tidak lagi melaksanakan semangat untuk membabarkan Dharma bagi yang lainnya di antara umat manusia. Mereka hanya mementingkan pembebasan diri mereka sendiri dan tidak lagi berpikir untuk mengajar dan membantu sesama manusia.(9)
Kutipan di atas melengkapi apa yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya mengenai arhat.
Berdasarkan kutipan tersebut kita boleh menyimpulkan bahwa para arhat pada mulanya juga memiliki semangat bodhisattva, yakni dalam wujud menyebarkan Dharma demi pembebasan makhluk lainnya. Hal tersebut terbukti pada Sutta Punnovana (Sutta ke-145 Majjhima Nikaya). Pada Sutta tersebut diriwayatkan mengenai murid Buddha yang bernama Punna. Ia mengatakan pada Buddha bahwa ia hendak mengajarkan Dhamma di Negeri Sunaparanta. Buddha mengingatkan bahwa penduduk negeri itu amat mengerikan dan kasar, serta menanyakan apakah yang akan terjadi bila mereka mencaci maki dan mengancam Punna. Ternyata, Punna memberikan jawaban yang sangat bagus:
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta mengancam dan mencaci makiku, maka aku akan berpikir [demikian]: ‘Warga Sunaparanta ini [memang] luar biasa, benar-benar luar biasa, mereka tidak meninjuku.’ Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang Mulia.”
"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar meninjumu, maka apa yang akan pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar meninjuku, maka aku seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta ini memang luar biasa baik, benar-benar luar biasa baik, karena mereka tidak melempariku dengan segumpal tanah." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang Mulia."
"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar melemparimu dengan tanah, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar melempariku dengan tanah, maka aku seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta ini memang luar biasa baik, benar-benar luar biasa baik, karena mereka tidak memukulku dengan tongkat." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang Mulia."
"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar memukulmu dengan tongkat, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar memukulku dengan tongkat, maka aku seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta ini memang luar biasa baik, benar-benar luar biasa baik, karena mereka tidak menusukku dengan pisau." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang Mulia."
"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar menusukmu dengan pisau, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar menusukku dengan pisau, maka aku seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta ini memang luar biasa baik, benar-benar luar biasa baik, karena mereka belum membunuhku dengan pisau yang tajam." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang Mulia."
"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar membunuhmu dengan pisau yang tajam, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar membunuhku dengan pisau yang tajam, maka aku seharusnya berpikir demikian:"Telah ada murid-murid Yang Terberkahi yang jijik, direndahkan, dan muak, dengan tubuh dan kehidupan, telah berharap agar dibunuh. Namun aku telah mengalami pembunuhan ini tanpa mencarinya." Maka aku seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang Mulia."
"Bagus, bagus, Punna! Engkau memiliki pengendalian diri dan kedamaian, engkau akan sanggup berdiam di Negeri Sunaparanta. Kini, Punna, saatnya untuk melakukan, apa yang engkau rasa baik."
Punna kemudian berangkat ke negeri tersebut. Sebagai hasil pembabaran Dhammanya, 500 orang penganut awam pria dan 500 penganut awam wanita mengenal kebenaran yang diajarkan Sang Buddha.
Di sini kita mempelajari dua hal penting. Pertama, tidak benar bahwa seorang arhat [yang asli] hanya mementingkan pembebasan dirinya saja. Banyak bukti dalam Kitab Suci Tipitaka Pali bahwa para arhat juga menyebarkan Dhamma demi membebaskan makhluk lainnya. Kedua, sikap Punna tersebut yang tetap sabar meskipun dianiaya dan dibunuh mencerminkan sikap seorang Bodhisattva yang welas asih. Padanan kisah tersebut terdapat dalam Sutra Saddharmapundarika bab XX, yang mengisahkan mengenai seorang Bodhisattva bernama Sadaparibhuta atau disebut juga Bodhisattva Yang Tidak Pernah Balas Mengutuk. Ia menerima dengan sabar cacian dan aniaya yang diberikan padanya, karena merasa bahwa orang-orang yang memusuhi dirinya kelak juga akan menjadi Buddha. Lebih jauh lagi, dalam Cariyapitaka Atthakata 292, yang merupakan literatur Buddhisme Theravada, disebutkan bahwa:
Seseorang hendaknya berpikir: "Aku tidak akan dapat memberi kebahagiaan dan kesejahteraan pada mereka yang lain, dengan berharap semata. Aku harus berusaha untuk mewujudkannya."
Dalam Milindapanha 394 disebutkan:
Meditasi Cinta Kasih hendaknya dilakukan demi diri sendiri dan orang lain. Semua hendaknya diliputi cinta kasih. Inilah Ajaran Sang Buddha.
Dan pada Samyutta Nikaya II: 264 dikatakan:
Apabila seseorang memberi pemberian seratus uang logam pada pagi hari lalu siang hari dan sekali lagi pada malam harinya, dibanding seorang lain yang mengembangkan batin yang penuh cinta kasih pada pagi hari, siangnya dan malamnya walau hanya sepemerahan susu sapi, maka akan jauh lebih bermanfaat yang kedua. Oleh karenanya, hendaknya engkau melatih dirimu, dengan berpikir: "Kami akan mengembangkan pembebasan batin melalui cinta kasih. Kami akan sering berlatih. Kami akan menjadikannya sarana serta mendasari semua perbuatan. Kami akan berdiri kokoh di atasnya, menimbunnya dan lalu menganjurkannya."
Kutipan-kutipan dari naskah suci Theravada di atas menjelaskan pada kita bahwa sebenarnya aspek cinta dan belas kasih juga ditekankan dalam Theravada, sehingga dengan demikian para arhat sejatipun memiliki aspek cinta dan belas kasih tersebut. Namun sayangnya sebagian bhikkhu pada masa-masa yang lebih kemudian telah melupakan aspek tersebut, sehingga merusak pandangan umum mengenai kearahatan. Karenanya mereka lebih pantas disebut arahat palsu.
Kita dapat menyimpulkan bahwa timbulnya gagasan Mahayana bahwa Bodhisattva lebih tinggi dari arhat adalah sebagai reaksi atas kesalahan sikap sebagian bhikkhu dan pemuka Buddhis saat itu. Hal ini seharusnya dapat menjadi pelajaran bagi kita, yakni membuat Buddhisme menjadi "merakyat" dan "membumi". Para pemuka Buddhisme dewasa ini seyogianya harus dapat memberikan pengabdian lebih pada umat.
Berikut ini akan kita bahas satu persatu kutipan-kutipan Sutra Mahayana di atas yang berhubungan dengan doktrin mengenai Bodhisattva. Berdasarkan konteks di atas kita seharusnya melihat bahwa kutipan sutra ke 35 dari kumpulan Maharatnakuta ditujukan sebagai sindiran bagi para bhikkhu dan pemuka agama pada zaman itu. Mereka disindir sebagai "arhat" dan "pratyekabuddha" palsu karena hanya mengurung diri dalam "nirvana" ciptaan mereka saja dan tidak bersedia keluar untuk melayani umat; karenanya, istilah "nirvana" di atas bukanlah dimaksudkan sebagai nirvana sebenarnya dan hanya dimaksudkan sebagai sindiran saja. Kata "nirvana" di atas dipergunakan untuk menyindir tempat pengasingan seorang bhikkhu yang menjauhkan diri dari umat awam. Seorang Bodhisattva dipuji karena bersedia meninggalkan tempat tersebut berkarya bagi kemanusiaan. Analoginya adalah saat kita menyindir orang yang pulang terlampau malam, kita dapat menyindirnya dengan ucapan, "Mengapa tidak pulang pagi saja?" Tentunya kita tidak mengharapkan agar ia benar-benar pulang pagi, bukan? Pola penafsiran yang sama hendaknya diterapkan pada kutipan sutra-sutra Mahayana di atas, dimana kita harus memahami konteks dan suasana spiritual saat timbulnya sutra-sutra itu. Kesan negatif terhadap para bhikkhu zaman itulah yang menyebabkan pengagungan terhadap konsep Bodhisattva.
Kutipan Sutra Upayakausalya di atas juga diawali dengan pengagung-agungan terhadap Bodhisattva, yakni dengan mengatakan bahwa mereka adalah makhluk termulia dan terunggul. Mereka juga mempelajari beraneka Ajaran Buddha, seperti kekosongan, ketiadaan corak, dan lain sebagainya. Namun setelah mempelajarinya mereka bersedia menerapkannya di tengah -tengah masyarakat, tidak seperti beberapa bhikkhu di zaman itu yang tidak berniat untuk mengimplikasikan pengetahuannya bagi humanisme. Pada zaman sekarang sekalipun kita juga sering tergoda untuk melakukan hal serupa, dengan banyak belajar dan mendengar Dharma, namun malas menyebarkannya demi terciptanya masyarakat yang lebih baik. Akibatnya, Buddhisme mengalami stagnasi.
Sutra Delapan Kesadaran Agung mengajarkan bahwa sebagai seorang Buddhis kita harus peduli dengan masalah kemasyarakatan. Sebagai seorang Buddhis kita tidak dapat menutup diri kita terhadap apa yang terjadi di sekeliling kita - termasuk penderitaan yang dialami para makhluk -- jadi kita tidak cukup hanya mengurung diri dan mempelajari Dharma. Oleh karenanya Sutra Delapan Kesadaran Agung ini dapat dianggap sebagai sindiran bagi sebagian bhikkhu zaman itu yang terlalu mementingkan dirinya, menjadi melekat pada apa yang tertulis dan mengabaikan penderitaan makhluk lainnya. Lebih jauh lagi, kutipan sutra di atas juga menganjurkan agar kita agar bersedia menjadi pejuang kemanusiaan. Umat Buddha hendaknya tidak perlu takut menyuarakan kebenaran meskipun mendapat resiko dicaci maki atau dimusuhi.
Berdasarkan kutipan pernyataan Walpola Rahula di atas kita mengetahui bahwa di dalam Buddhisme Theravada umat dibebaskan untuk memilih pencapaian berupa Arhat, Pratyekabuddha, ataupun Samyaksambuddha, sedangkan di dalam Mahayana tujuan utamanya adalah menjadi Samyaksambuddha (Buddha yang sempurna dan lengkap). Tentu saja, hal ini tidak bertentangan, karena seseorang boleh saja memilih salah satu dari sekian banyak pilihan menjadi pilihan utamanya (10)
Sebagai penutup akan dikutipkan pendapat Kogen Mizuno:
Kebangkitan Mahayana, yang mendapatkan dukungan pada abad pertama sebelum Masehi, atau sekitar 400 tahun setelah Sakyamuni Buddha parinirvana, bertujuan untuk mengembalikan semangat asli dari Ajaran Sang Buddha, yang pada saat itu telah menjadi terlalu formal.(11)