//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Slavery in Tibet ???  (Read 7502 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline SandalJepit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 425
  • Reputasi: 3
Slavery in Tibet ???
« on: 08 May 2008, 11:13:00 PM »
. gw kaget sekali, sehabis baca-baca dari kaskus plus dapet link tentang slavery di tibet, apa emang bener sih di tibet keadaannya kayak begini ?


http://www.michaelparenti.org/Tibet.html


Quote
In old Tibet there were small numbers of farmers who subsisted as a kind of free peasantry, and perhaps an additional 10,000 people who composed the “middle-class” families of merchants, shopkeepers, and small traders. Thousands of others were beggars. There also were slaves, usually domestic servants, who owned nothing. Their offspring were born into slavery. 15 The majority of the rural population were serfs. Treated little better than slaves, the serfs went without schooling or medical care, They were under a lifetime bond to work the lord's land--or the monastery’s land--without pay, to repair the lord's houses, transport his crops, and collect his firewood. They were also expected to provide carrying animals and transportation on demand.16 Their masters told them what crops to grow and what animals to raise. They could not get married without the consent of their lord or lama. And they might easily be separated from their families should their owners lease them out to work in a distant location. 17

As in a free labor system and unlike slavery, the overlords had no responsibility for the serf’s maintenance and no direct interest in his or her survival as an expensive piece of property. The serfs had to support themselves. Yet as in a slave system, they were bound to their masters, guaranteeing a fixed and permanent workforce that could neither organize nor strike nor freely depart as might laborers in a market context. The overlords had the best of both worlds.

One 22-year old woman, herself a runaway serf, reports: “Pretty serf girls were usually taken by the owner as house servants and used as he wished”; they “were just slaves without rights.”18 Serfs needed permission to go anywhere. Landowners had legal authority to capture those who tried to flee. One 24-year old runaway welcomed the Chinese intervention as a “liberation.” He testified that under serfdom he was subjected to incessant toil, hunger, and cold. After his third failed escape, he was merciless beaten by the landlord’s men until blood poured from his nose and mouth. They then poured alcohol and caustic soda on his wounds to increase the pain, he claimed.19

The serfs were taxed upon getting married, taxed for the birth of each child and for every death in the family. They were taxed for planting a tree in their yard and for keeping animals. They were taxed for religious festivals and for public dancing and drumming, for being sent to prison and upon being released. Those who could not find work were taxed for being unemployed, and if they traveled to another village in search of work, they paid a passage tax. When people could not pay, the monasteries lent them money at 20 to 50 percent interest. Some debts were handed down from father to son to grandson. Debtors who could not meet their obligations risked being cast into slavery.20



Quote

The theocracy’s religious teachings buttressed its class order. The poor and afflicted were taught that they had brought their troubles upon themselves because of their wicked ways in previous lives. Hence they had to accept the misery of their present existence as a karmic atonement and in anticipation that their lot would improve in their next lifetime. The rich and powerful treated their good fortune as a reward for, and tangible evidence of, virtue in past and present lives.

The Tibetan serfs were something more than superstitious victims, blind to their own oppression. As we have seen, some ran away; others openly resisted, sometimes suffering dire consequences. In feudal Tibet, torture and mutilation--including eye gouging, the pulling out of tongues, hamstringing, and amputation--were favored punishments inflicted upon thieves, and runaway or resistant serfs. Journeying through Tibet in the 1960s, Stuart and Roma Gelder interviewed a former serf, Tsereh Wang Tuei, who had stolen two sheep belonging to a monastery. For this he had both his eyes gouged out and his hand mutilated beyond use. He explains that he no longer is a Buddhist: “When a holy lama told them to blind me I thought there was no good in religion.”21 Since it was against Buddhist teachings to take human life, some offenders were severely lashed and then “left to God” in the freezing night to die. “The parallels between Tibet and medieval Europe are striking,” concludes Tom Grunfeld in his book on Tibet. 22

In 1959, Anna Louise Strong visited an exhibition of torture equipment that had been used by the Tibetan overlords. There were handcuffs of all sizes, including small ones for children, and instruments for cutting off noses and ears, gouging out eyes, breaking off hands, and hamstringing legs. There were hot brands, whips, and special implements for disemboweling. The exhibition presented photographs and testimonies of victims who had been blinded or crippled or suffered amputations for thievery. There was the shepherd whose master owed him a reimbursement in yuan and wheat but refused to pay. So he took one of the master’s cows; for this he had his hands severed. Another herdsman, who opposed having his wife taken from him by his lord, had his hands broken off. There were pictures of Communist activists with noses and upper lips cut off, and a woman who was raped and then had her nose sliced away.23




please someone berikan penjelasan pada saya, tentang slavery in tibet, artikel ini membuat saya shock ....  :o :o :o

Offline nyanadhana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.903
  • Reputasi: 77
  • Gender: Male
  • Kebenaran melampaui batas persepsi agama...
Re: Slavery in Tibet ???
« Reply #1 on: 09 May 2008, 08:23:20 AM »
 _/\_ berdiskusi dengan Samanera Nyanabhadra aja,menurut saya,kita tidak akan kompeten menjawab ini semua,toh kita ga pernah tahu situasi Tibet,dan hindari pemikiran yang menjurus untuk musavada. _/\_
Sadhana is nothing but where a disciplined one, the love, talks to one’s own soul. It is nothing but where one cleans his own mind.

Offline SandalJepit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 425
  • Reputasi: 3
Re: Slavery in Tibet ???
« Reply #2 on: 09 May 2008, 11:44:22 AM »
gw ketemu lagi artikel dalam bahasa indo:  :'( :'( :'(

http://portal.sarapanpagi.org/sosial-politik/nyanyian-para-mantan-budak-di-tibet-dan-obor-olim.html


 Nyanyian Para Mantan Budak di Tibet dan Obor Olimpiade       PDF        Print        E-mail
User Rating: / 3
PoorBest
Written by Bagus Pramono   

ImageDulu, seorang budak dan keturunannya tak pernah menyanyi, budak tak pernah tersenyum. Sampai pada tahun 1950, ada harapan baru, ada satu juta orang budak mulai dibebaskan, dan mereka dapat bernyanyi bersama-sama. Itulah masa lalu yang dialami Basang (巴桑, 1937 - ) seorang penulis perempuan asli Tibet yang selalu aktif mengkounter aksi-aksi yang dilakukan Dalai Lama dan kroni-kroninya.

Di media-media, kita hanya melihat kecaman-kecaman media barat yang memanfaatkan momen perjalanan keliling obor Olimpiade Beijing. Bangsa barat yang notabene mantan para penjajah ini kini berbicara nyaring atas nama HAM. Tibet adalah mantan daerah koloni Inggris, kitapun melihat betapa rakyat Inggris begitu emosional menghadang perjalanan obor di London sepanjang 53 Km, dikerumuni para demonstan dengan bebagai macam caci-maki. Seolah lupa mereka sendiri dan "teman-temannya" melakukan apa (?) misalnya di Iraq, dan di negara-negara lain sampai sekarang dengan dalih "perdamaian" dan bertindak sebagai "polisi dunia".

Ada kisah menarik yang sering "diabaikan" oleh media-media barat, suatu kenyataan yang pernah terjadi berabad-abad di Tibet, yaitu perbudakan. Bagaimana kaum elite, kaum tuan tanah, para Lama mengambil keuntungan-keuntungan dari manusia dengan kasta terendah ini, yang terjadi dalam sistem kebudayaan, kehidupan spiritual dan sejarah panjang perbudakan yang pernah terjadi di Tibet. Dibawah ini saya kutip interview wartawan TV Phoenix-Hongkong dengan Basang (巴桑), yang ditayangkan 30 April 2008. Basang terlahir dari keluarga budak di daerah Gonggar – Shannan. Ketika lahir ia dinamai "Galsang" yang artinya "beruntung", kedua orang tuanya menjadi budak dari keluarga kaya di Lhasa.

Image Di sebelah adalah sebuah contoh foto seorang budak perempuan berusia 35 tahun, terlihat seperti orang yang berumur 65 tahun. Budak di Tibet tidak pernah ada kesempatan untuk bebas. Mereka rata-rata mati pada umur 40-an, orang yang terlahir dari kaum budak selamanya akan menjadi budak. Dahi seorang budak, sama kasarnya dengan telapak kakinya, karena setiap kali berada di hadapan tuannya, budak itu harus menyembah tuannya dengan membenturkan dahinya ke tanah. Budak hanyalah alat, tidak ada HAM, budak lebih rendah dari anjing. Budak tidak mempunyai harta, baju yang melekat di badannya, itulah hartanya. Bahkan ada istilah dalam bahasa lokal : "Budak hanya dapat membawa bayangannya dan meninggalkan bekas telapak kakinya, itulah hartanya budak".

Ketika berumur 16 tahun, Basang mulai sadar, ia mulai bisa melihat realita sekelilingnya, bahwa terlahir sebagai budak tidak akan mungkin bebas dari perbudakan. Berkali-kali Basang ingin mengakhiri hidupnya dengan menenggelamkan diri di Sungai Lhasa. Yang pertama, ketika hendak bunuh diri, ia teringat orang-tua dan saudara-saudaranya, kemudian ia mengurungkan niatnya. Namun hidup terasa semakin berat ia kembali mencoba bunuh diri di tempat yang sama. Ketika ia hendak menceburkan dirinya ke sungai itu untuk yang ke-dua kali, ia mendengar ada sekelompok orang menyanyi di seberang sungai sana, dan orang-orang yang menyanyi itu adalah para budak yang baru saja mendapat kebebasan. Budak-budak tidak akan pernah menyanyi, ia hanya akan menyanyi ketika ia bebas.

Basang ingin mengikut mereka, tapi ia takut pada Tentara Pembebasan (The People's Liberation Army, PLA), walaupun ia pernah mendengar bahwa Tentara Pembebasan ini kabarnya mereka menolong para budak dan orang miskin. Tetapi ia masih takut, bahwa jika ia ditemukan tentara pembebasan, ia nanti akan dikembalikan kepada tuannya, dan ia nanti akan disiksa dan dihukum. Lalu ia berjalan tak tentu arah selama 6 hari, tanpa bekal, tubuh hanya berbalut sepotong cawat dan atasan compang-camping. Kemudian ia sampai di sebuah pangkalan udara di Tibet, ia ditemukan oleh tentara Pembebasan yang sedang memperbaiki peralatan-peralatan disana. Tentara itu bertanya kepadanya "siapa namanya?" Gadis dengan nama asli "Galsang" itu mengubah namanya menjadi "Basang" (nama "planet Venus" dalam bahasa Tibet berarti "the brightest star"), ia melakukan ini karena ia takut dikembalikan kepada majikannya dan dihukum. Namun tentara itu tidak mengembalikan gadis budak itu ke majikannya, sebaliknya, ia bersama-sama dengan para budak-budak lainnya dikirim ke Shanghai untuk mendapatkan pendidikan. Sejak itulah gadis ini dipanggil dengan nama "Basang" sampai sekarang.

Perubahan namanya menjadi "Basang" itu sekaligus mengubah nasip hidupnya. Ketika masuk dalam pendidikan, Basang seperti balita yang baru belajar bicara, ia buta han-yu oral maupun tulis, dengan semangat yang luar biasa dan sekaligus menikmati kebebasannya dari perbudakan ia begitu antusias menyerap semua pengajaran dan pendidikan yang didapatkannya dari pemerintah China kala itu. Setiap hari ia menghafal huruf-huruf kanji, dan menghafal artinya. Tahun 1956 di Tibet terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh kaum Lama, kemudian tahun 1957 Basang dikirim kembali ke tempat asalnya di Lhasa untuk membantu rakyat Tibet kasta rendah dan orang miskin untuk mendapat pendidikan disana. Pada saat itu Basang belum fasih betul Han-yu, ia baru mengenal huruf yang terbatas dan baru menguasai pin-yin (cara membaca huruf kanji), sembari mengajar ia tetap belajar. Ia ingin menjadi guru yang baik dan mengangkat derajat kaumnya agar tidak akan pernah lagi mengalami penindasan. Tahun 1959 Basang menyelesaikan pendidikannya, ia lulus sekolah dengan nilai yang bagus, ia menetap kembali di Tibet. Ia sudah berubah menjadi seorang perempuan yang berpendidikan dan berbudaya, ia bergabung pula dengan kelompok Democratic Reform, kemudian ia menjabat sebagai the deputy head of Nang County pada tahun 1960, karirnya terus menanjak pada tahun 1970 ia menajdi the deputy secretary of the Party Committee of the Tibet Autonomous Region.

Anda bisa bayangkan apa pandangan kaum borju dan para Lama di Tibet, melihat karir Basang si mantan budak ini menjadi seorang perempuan yang sama sekali berbeda. Bersamaan dengan kenyataan itu, ada banyak sekali Basang-basang lain yaitu kalangan mantan budak lainnya yang menjadi dokter, tekhnisi, guru, pengacara, artis yang tidak lagi hidup lebih rendah daripada binatang. Mereka telah menjadi majikan bagi dirinya sendiri, mereka tidak lagi hidup dalam ketakutan dan harus tunduk kepada majikan, mereka telah menentukan nasip sendiri, mereka menjadi manusia-manusia sepenuhnya.

Sebagian besar rakyat Tibet lebih memilih China daripada penguasa lama Tibet, ini karena mereka dari kaum miskin dan kaum budak, dan nyatanya Tentara Pembebasan membebaskan mereka sehingga system perbudakan itu tidak ada lagi di Tibet. Segolongan orang kaya dan elite yang pernah menikmati system perbudakan di Tibet tentu saja membenci China, karena "hak-hak privilege" mereka sebagai kaum elite terhapus. Basang, dalam pandangannya dengan merujuk kepada nasip yang pernah menimpanya, mengatakan dengan tegas bahwa The Democratic Reform-lah yang membawa pencapaian HAM bagi para mantan budak. Mereka sepenuhnya menjadi orang-orang yang merdeka. Satu juta orang mantan budak karena pembebasan semuanya dapat menyanyi. Basang-basang yang lain pun senantiasa dapat bernyanyi, dan mereka menyanyi dengan merdu, nyanyiannya selalu menjadi tanda kebebasan mereka dari perbudakan, silahkan simak suara Basang yang lain di
&feature=related

Image Sejauh ini pula Tibet berkembang menjadi suatu daerah yang lebih maju, orang yang berpendidikan yang dulunya dari kalangan rendah menjadi lebih banyak dan selalu bertambah. Pembangunan infrastruktur, institusi pendidikan, rumah sakit, dll. Tentu saja ada kalangan-kalangan "borju" yang masih merindukan zaman keemasan mereka, berlindung di balik negara-negara barat mereka meneriakkan HAM. Tentu saja "HAM" mereka sebagai seorang mantan-"majikan" terinjak-injak karena mereka tidak lagi diberi kesempatan lagi menganiaya dan dan mempergunakan budak-budaknya sekehendak hatinya. Kalau sekarang para Lama di Tibet berteriak tentang HAM, tidakkah mereka menengok sejarah bahwa para Lama juga menjadi bagian elite dalam masyarakat Tibet yang tutup mata bahkan ikut menindas dan mempergunakan keringat dan jerih payah kaum budak?. Tentara Pembebasan memang dalam satu sisi "melaggar hak istimewa" kaum borju Tibet, tetapi di sisi lain Tentara Pembebasan ini menjadi pahlawan yang nyata di mata para budak. Pemerintah China, senantiasa memperbaiki sistem pemerintahan, pembangunan dan hubungan pusat dengan daerah ini. Pemerintah China telah menyelesaikan suatu mega proyek yaitu pembangunan jalan kereta api menuju Tibet, satu-satunya di dunia, The Qinghai - Tibet Railway "road to heaven", jaringan kereta api ini dibangun di ketinggian 4.000 meter diatas pemukaan laut dan orang juga menyebutnya "By train on the roof of the world". Ada daerah-daerah tertentu dimana ketika menaiki kereta ini harus menggunakan masker oksigen. Kalau dulu orang susah sekali melakukan perjalanan dari dan ke Tibet, sekarang ada kereta super cepat ke Tibet. Perdagangan menjadi maju, ekonomi maju, pendidikan maju, sebaliknya ada juga pihak-pihak yang tidak menyukai perkembangan ini.

Kita, mungkin dapat saja mengatakan bahwa penayangan kisah hidup dari Basang ini adalah upaya China untuk mendapat nama baik, atau bagian dari propaganda China untuk menempatkan diri sebagai negara yang justru membela HAM. Sebagai pengamat dari luar, China dan Tibet, tentu saja kita tidak boleh melihat satu sumber pemberitaan-pemberitaan yang berasal dari "Barat" saja, dan ikut-ikutan menjadi apriori kepada China secara sepihak. Bagaimanapun barat adalah barat, ada supremasi "Barat", yang selalu ingin diatas orang-orang Timur. Ada banyak orang barat yang "was-was" akan kebangkitan bangsa-bangsa Timur.

Sejumlah aktivis pro Dalai Lama di negara-negara Barat berulang kali mencoba merebut Obor Olimpiade. Sejak kekacauan pada perjalanan Obor Olimpiade di London, kemudian di Paris, terjadi "drama perampasan" dari tangan para pembawa obor. Gadis catat Jin Jing (26 tahun) yang membawa obor Olimpiade diserang oleh beberapa pendemo yang semuanya laki-laki. Jin Jing, dari atas kursi rodanya, memberikan perlawanan untuk melindungi obor yang dibawanya. Insiden ini menimbulkan kemarahan rakyat China, mereka menyerukan pemboikotan untuk tidak belanja di jaringan toko retail (hypermarket) Carrefour. Atas insiden memalukan, merebut obor dari orang cacat ini, dan reaksi keras rakyat China. Presiden Perancis Nicolas Sarkozy yang sebelumnya juga pernah menyerukan pemboikotan Olimpiade Beijing. Akhirnya pemerintah perancis mengirim utusan khusus, yaitu Ketua Senat Prancis Christian Poncelet untuk secara khusus meminta maaf dan menemui Jin Jing.

Ketegangan terjadi akibat politisasi olimpiade tahun ini terutama di sejumlah negara-negara barat, dan ada ketimpangan-ketimpangan pemberitaan akan Tibet. Contohnya kemarin tanggal 1 Mei 2008, di media-media diberitakan bahwa api olimpiade akan dibawa naik ke puncak gunung Everest yang berketinggian 8.850 meter, oleh pendaki-pendaki kelas dunia, dan diliput wartawan-wartawan pilihan sebagai saksi, ini kejadian yang belum pernah ada di dunia. Semenjak pasca kerusuhan di Tibet, berita-berita dari barat, BBC terutama masih terus melakukan provokasi, berteriak nyaring akan adanya pelanggaran HAM pada rakyat Tibet. Namun, BBC dengan tidak jujur menayangkan gambar-gambar demontrasi anti China oleh para rohaniawan Tibet yang sudah berlalu (usang) "demo pelanggaran HAM" seolah-olah kerusuhan itu masih terjadi di Tibet. Padahal yang disebut-sebut "melanggar HAM" oleh pers "barat" ini adalah tindakan memadamkan kerusuhan yang dibuat oleh pasukan khususnya Dalai Lama. Negara apapun ketika menghadapi kerusuhan di dalam suatu demontrasi, mereka akan mengangkap orang-orang yang menjadi provokator atau pemicu kerusuhan itu. Dalam penayangan peringatan Mayday (hari buruh 1 Mei), kita juga dapat melihat siapapun yang berbuat onar dalam suatu demonstrasi ditangkapi oleh polisi. Dan hal "sama" itulah yang terjadi, kerusuhan di Tibet tidak dilakukan oleh rakyat Tibet, tetapi dilakukan oleh pasukan luar atas kemauan Dalai Lama. Sejak tahun 1960an Dalai Lama mempunyai pasukan khusus yang dilatih pihak luar.

Entah mengapa BBC begitu "membenci" China, barangkali mereka masih mengingat jaman keemasan menjajah negara-negara Asia di masa lalu, dan kemudian merasa China merebut Tibet dari tangannya. Sementara kalau melihat TV local semisal CCTV yang ada justru penyambutan-penyambutan obor olimpiade yang akan segera datang. Ada pagelaran seni dari rakyat Tibet di Lhasa untuk menyambut 100 hari akan tiba diadakannya Olimpiade di Beijing. Sumber yang lebih "netral" Phoenix juga menayangkan yang sama gambar terbaru ini, mereka menyanyi, menari bersuka-cita, tak ada lagi kerusuhan.

Sebagai orang Asia, kita perlu untuk salut kepada China, karena dengan diadakannya Olimpiade di Beijing ini -- dalam kurun waktu 72 tahun -- baru di tahun 2008 ini Obor Olimpade diarak di banyak negara-negara di Asia, melalui Thailand, Malaysia, Indonesia, dll. Kita bersama telah melihat bahwa tanggal 22 April 2008 kemarin adalah untuk pertama kalinya Olympic Torchbearer melewati Indonesia sejak Indonesia merdeka. Tahun 2000 yang lalu, Olympiade diselenggarakan di Sydney-Australia. Negara Indonesia sebagai contoh "tidak ditengok" oleh penyelenggara Olimpiade Sydney meskipun Indonesia dan Australia saling bertetangga. Sementara itu, China yang jauh, menempatkan Indonesia dan negara-negara Asia lain, sebagai sesama bangsa Asia layak untuk dilalui Obor Olimpiade. Dan pada tahun ini obor olimpiade menoreh suatu catatan bahwa Obor Olimpiade itu melalui perjalanan terpanjang dalam sejarah.

Disamping itu, kita sebagai pembaca berita dan pemirsa TV perlu juga memahami dan bersikap realistis karena tuntunan Dalai Lama XIV ini tidak lagi realistis. Meskipun Dalai Lama kelihatannya hanya minta otonomi, namun ketika dijabarkan seperti apa otonomi yang dimaksudkan itu, ia mensyaratkan tidak boleh ada tentara China sama sekali di Tibet. Juga tidak boleh ada orang suku Han menjadi anggota di pemerintahan Tibet (Suku Han adalah suku utama di China, jumlahnya mencapai 90%). Terlebih lagi, Dalai Lama juga menuntut wilayah Tibet adalah bukan hanya daerah Tibet sekarang ini, melainkan juga provinsi-provinsi lain di sekitarnya, yaitu sebagian dari Provinsi Gansu, sebagian dari Provinsi Sichuan, dan keseluruhan Provinsi Qinghai. Wilayah-wilayah yang disebutkan tadi jika dijadikan satu itu setara dengan seperempat wilayah China sekarang. Mungkinkah keinginan ini dikabulkan pemerintah pusat?.

Dalai Lama adalah pemimpin, dan seorang rohaniawan. Jikalau memiliki kuasa ia akan memimpin dengan sistem theokrasi, sistem yang sebelumnya pernah terjadi dimana disana juga ada perbudakan. Kitapun tidak dapat terlalu naif melihat "kesalehannya dalam beragama" lalu memandang bahwa dia "pasti tidak berdosa", ataupun menganggap "dia pasti benar". Umberto Eco, penulis fenomenal buku "The Name of the Rose" yang membuka borok para rohaniawan, dan ia menyajikan suatu hal yang patut kita simak bersama bahwa : "Kejahatan bisa muncul dari kesalehan". Dalai Lama janganlah dijadikan sebagai sumber utama untuk menimba kebenaran dalam berita dan menilai penindasan-penindasan yang digembar-gemborkan para Lama asal Tibet ini. Kisah-kisah rakyat jelata Tibet dari seorang perempuan yang bernama Basang ini patutlah juga kita jadikan sebagai pertimbangan, kecuali kalau Anda menganggap bahwa Dalai Lama adalah "dewa" yang tidak pernah salah.

Akan selalu terjadi yang mana para pemimpin-pemimpin (walaupun komunis) yang telah membebaskan rakyatnya dari liang perbudakan akhirnya "memperbudak" juga "dengan cara yang lain". Selanjutnya, Anda dapat mengkajinya sendiri…



Blessings,
Bagus Pramono
May 2, 2008


Offline Mangkok

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 123
  • Reputasi: 14
  • Gender: Male
  • Mangkok
Re: Slavery in Tibet ???
« Reply #3 on: 09 May 2008, 09:10:32 PM »
Pertama2, sekedar mengingatkan bahwa apabila ada pihak yang bertikai atau berselisih paham, tentunya masing2 pihak mempunyai versi pandangannya masing2 tentang hal itu. Dan secara umum, mereka tentu membenarkan pandangan mereka masing2. Dalam kasus china dan tibet saya rasa pun pasti sama terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah. Jadi, menurut saya, yang perlu kita perhatikan adalah batin kita saat membaca berita atau informasi yang bersangkutan. Terlepas dari apakah informasi tersebut benar atau salah, idealnya adalah kita tidak membiarkan faktor mental negatif apapun muncul dalam batin kita sebelum, selama, dan setelah membaca berita/informasi tersebut.
Hal ini sangat penting mengingat bahwa faktor mental negatif apapun yang muncul dalam batin kita, itu tidaklah membawa manfaat apapun, selain merugikan diri kita sendiri. Yang harus kita lakukan tentu saja adalah berusaha mengembangkan faktor mental bajik dalam batin kita. Bila hal ini sulit, sebaiknya kita mempertahankan satu batin yang netral.

Dalam masalah Tibet dan China ini tentunya kita (atau saya pribadi) sebagai orang yang umum belum tentu bisa melihat masalahnya dengan jelas hanya dari beberapa informasi yang didapat. Hal ini belum lagi memasukkan apakah informasi tersebut dapat dipercaya, apakah tujuan sang penulis (tentunya sang penulis punya alasan tersendiri, mungkin juga penulisnya berpihak atau punya misi tertentu, apalagi berkaitan dengan politik). Jadi, bila kita dapat memperoleh informasi yang lengkap, yang menyeluruh dan dapat dipercaya, tentunya baik. Kita bisa menganalisanya dengan lebih objektif. Namun, bila kita tidak mampu, sebaiknya kita berusaha mempraktikkan ajaran Buddha dalam memperhatikan batin kita. Yang paling mendasar salah satunya adalah berusaha mencegah munculnya faktor mental negatif apapun dan mengembangkan sebanyak mungkin faktor mental bajik dalam diri kita. Bila faktor mental negatif tersebut muncul juga, berusahalah mengurangi bahkan menghilangkannya, gantikanlah ia dengan faktor mental yang positif. Bila masih sulit, berusahalah netral. Kemudian, berusahalah juga memperkuat faktor mental bajik yang sudah muncul dalam batin kita, jangan biarkan ia melemah, apalagi menghilang.

Saya tidak tabu berbicara politik, namun kita perlu tahu, dalam politik, orang yang tidak siap (batinnya masih lemah) akan menggunakan berbagai cara untuk mencapai keinginannya, tidak perduli benar maupun salah, semuanya dihalalkan (mengutip istilah halal tetangga  ;D). Jadi, meskipun dalam hal apapun kita tentu saja perlu waspasa, namun dalam hal politik, kelihatannya kewaspadaan ini lebih-lebih diperlukan.

Itu sekedar pendapat saya (mohon maaf, saya tidak bisa menjelaskan terlalu banyak masalah Tibet dan China, selain tidak terlalu menguasai, saya juga tahu masing2 pihak mempunyai versi cerita dan saksi masing2 terlepas dari versinya benar ataupun salah. Satu hal yang saya yakin bahwa pasti ada pihak-pihak yang merasa (mungkin benar2 memperoleh jg  ;D) memperoleh manfaat, dan ada juga pihak-pihak yang merasa memperoleh (sekali lagi, mungkin benar2 memperoleh juga  ;D) kerugian/kekecewaan terlepas dari siapapun yang berkuasa di Tibet, dulu, sekarang dan akan datang). Selama kita belum bisa bersikap seimbang dalam kebijaksanaan, kita akan terombang-ambing oleh kemelekatan, kebencian, dan kebodohan.

Akhir kata, saya mengutip beberapa pesan yang berkaitan ini yang disampaikan oleh seorang Guru Besar dari Tibet (sekitar akhir maret atau awal april kemarin klo ga salah):

Mengingat situasi di Tibet saat ini, Rinpoche sangat menyarankan kita untuk lebih mengintensifkan praktik2 dan menjaga komitmen murni kita, juga memperbanyak pelafalan mantra Om Mani Padme Hum.
Jika kita terdorong untuk terlibat dalam aksi2 demo, ada baiknya kita mengecek terus menerus motivasi kita.
Jangan sampai kita malah kepeleset membenci China dalam mengupayakan kebaikan di Tibet. Singkatnya, kedamaian dan kebaikan itu perlu dimiliki oleh kedua pihak tersebut dan bahkan semua negara.


Terima kasih  :|
Semoga semua makhluk memperoleh kebahagiaan dan sebab2nya
Semoga semua makhluk terbebas dari penderitaan dan sebab2nya
Semoga semua makhluk tidak kehilangan kesejahteraan yang telah mereka peroleh
Semoga semua makhluk berada dalam keseimbangan batin, bebas dari pandangan berat sebelah, kemelekatan, kebencian, dan kebodohan
« Last Edit: 09 May 2008, 09:16:10 PM by Mangkok »
Semoga kebijaksanaan dan kebaikan hati tumbuh dan berkembang dalam batin semua makhluk

Offline Hikoza83

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.295
  • Reputasi: 60
  • Gender: Male
  • panda is so cute... ^-^
Re: Slavery in Tibet ???
« Reply #4 on: 09 May 2008, 11:40:33 PM »
Pertama2, sekedar mengingatkan bahwa apabila ada pihak yang bertikai atau berselisih paham, tentunya masing2 pihak mempunyai versi pandangannya masing2 tentang hal itu. Dan secara umum, mereka tentu membenarkan pandangan mereka masing2. Dalam kasus china dan tibet saya rasa pun pasti sama terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah. Jadi, menurut saya, yang perlu kita perhatikan adalah batin kita saat membaca berita atau informasi yang bersangkutan. Terlepas dari apakah informasi tersebut benar atau salah, idealnya adalah kita tidak membiarkan faktor mental negatif apapun muncul dalam batin kita sebelum, selama, dan setelah membaca berita/informasi tersebut.
Hal ini sangat penting mengingat bahwa faktor mental negatif apapun yang muncul dalam batin kita, itu tidaklah membawa manfaat apapun, selain merugikan diri kita sendiri. Yang harus kita lakukan tentu saja adalah berusaha mengembangkan faktor mental bajik dalam batin kita. Bila hal ini sulit, sebaiknya kita mempertahankan satu batin yang netral.

Dalam masalah Tibet dan China ini tentunya kita (atau saya pribadi) sebagai orang yang umum belum tentu bisa melihat masalahnya dengan jelas hanya dari beberapa informasi yang didapat. Hal ini belum lagi memasukkan apakah informasi tersebut dapat dipercaya, apakah tujuan sang penulis (tentunya sang penulis punya alasan tersendiri, mungkin juga penulisnya berpihak atau punya misi tertentu, apalagi berkaitan dengan politik). Jadi, bila kita dapat memperoleh informasi yang lengkap, yang menyeluruh dan dapat dipercaya, tentunya baik. Kita bisa menganalisanya dengan lebih objektif. Namun, bila kita tidak mampu, sebaiknya kita berusaha mempraktikkan ajaran Buddha dalam memperhatikan batin kita. Yang paling mendasar salah satunya adalah berusaha mencegah munculnya faktor mental negatif apapun dan mengembangkan sebanyak mungkin faktor mental bajik dalam diri kita. Bila faktor mental negatif tersebut muncul juga, berusahalah mengurangi bahkan menghilangkannya, gantikanlah ia dengan faktor mental yang positif. Bila masih sulit, berusahalah netral. Kemudian, berusahalah juga memperkuat faktor mental bajik yang sudah muncul dalam batin kita, jangan biarkan ia melemah, apalagi menghilang.

Saya tidak tabu berbicara politik, namun kita perlu tahu, dalam politik, orang yang tidak siap (batinnya masih lemah) akan menggunakan berbagai cara untuk mencapai keinginannya, tidak perduli benar maupun salah, semuanya dihalalkan (mengutip istilah halal tetangga  ;D). Jadi, meskipun dalam hal apapun kita tentu saja perlu waspasa, namun dalam hal politik, kelihatannya kewaspadaan ini lebih-lebih diperlukan.

Itu sekedar pendapat saya (mohon maaf, saya tidak bisa menjelaskan terlalu banyak masalah Tibet dan China, selain tidak terlalu menguasai, saya juga tahu masing2 pihak mempunyai versi cerita dan saksi masing2 terlepas dari versinya benar ataupun salah. Satu hal yang saya yakin bahwa pasti ada pihak-pihak yang merasa (mungkin benar2 memperoleh jg  ;D) memperoleh manfaat, dan ada juga pihak-pihak yang merasa memperoleh (sekali lagi, mungkin benar2 memperoleh juga  ;D) kerugian/kekecewaan terlepas dari siapapun yang berkuasa di Tibet, dulu, sekarang dan akan datang). Selama kita belum bisa bersikap seimbang dalam kebijaksanaan, kita akan terombang-ambing oleh kemelekatan, kebencian, dan kebodohan.

Akhir kata, saya mengutip beberapa pesan yang berkaitan ini yang disampaikan oleh seorang Guru Besar dari Tibet (sekitar akhir maret atau awal april kemarin klo ga salah):

Mengingat situasi di Tibet saat ini, Rinpoche sangat menyarankan kita untuk lebih mengintensifkan praktik2 dan menjaga komitmen murni kita, juga memperbanyak pelafalan mantra Om Mani Padme Hum.
Jika kita terdorong untuk terlibat dalam aksi2 demo, ada baiknya kita mengecek terus menerus motivasi kita.
Jangan sampai kita malah kepeleset membenci China dalam mengupayakan kebaikan di Tibet. Singkatnya, kedamaian dan kebaikan itu perlu dimiliki oleh kedua pihak tersebut dan bahkan semua negara.


Terima kasih  :|
Semoga semua makhluk memperoleh kebahagiaan dan sebab2nya
Semoga semua makhluk terbebas dari penderitaan dan sebab2nya
Semoga semua makhluk tidak kehilangan kesejahteraan yang telah mereka peroleh
Semoga semua makhluk berada dalam keseimbangan batin, bebas dari pandangan berat sebelah, kemelekatan, kebencian, dan kebodohan

 _/\_
Aku akan melaksanakannya dengan tubuhku,
Karena apa gunanya hanya membaca kata-kata belaka?
Apakah mempelajari obat-obatan saja
Dapat menyembuhkan yang sakit?
[Bodhicaryavatara, Bodhisattva Shantideva]

Offline SandalJepit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 425
  • Reputasi: 3
Re: Slavery in Tibet ???
« Reply #5 on: 10 May 2008, 12:24:31 PM »
saya rasa artikel pertama bukan berasal dari sumber pro china/ pro tibet, tapi dari seorang pengamat politik lepas. Sedangkan artikel ke dua merupakan sumber yang pro china, tapi yang ingin saya gali apakah benar seperti ini kenyataanya:  perbudakan di tibet .. ?  :(

saya sendiri cukup kaget mengetahui adanya artikel seperti ini  ..  :o

Offline Mangkok

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 123
  • Reputasi: 14
  • Gender: Male
  • Mangkok
Re: Slavery in Tibet ???
« Reply #6 on: 10 May 2008, 02:47:23 PM »
Klo tentang perbudakan saya sendiri tidak jelas, tetapi klo kita melihat secara umum, sebenarnya perbudakan juga bahkan terjadi di masa sekarang bahkan di negara maju pun. Ada banyak berita ttg TKW, dll yang mirip, pekerja pabrik yang diperas dan tidak digaji, banyak kasus2 yang berkaitan dengan hal yang kita sebut perbudakan. Kadang perbudakan terjadi secara tdk kentara. Dari jaman dulu sampai sekarang orang yang kita sebut pelayan sudah ada, mungkin perlakuan tiap orang terhadap pelayan berbeda2. Ada yang memperlakukan dengan baik, ada yang tidak. Dari jaman dulu sampai sekarang hal ini masih terjadi. Dan klo kita membaca buku riwayat hidup Milarepa, di sana juga sedikit banyak ada gambaran kondisi masyarakat Tibet saat itu (ada yang baik, ada yang jahat, ada yang Buddhis benaran, ada yang Buddhis2an, ada juga "buddhis" yang belajar "santet" untuk membunuh orang, dll). Jadi, tergantung mau lihat dari sudut pandang mana. Sistem masyarakat di setiap negara dan bangsa juga berbeda dan berubah2 terus.

Namun di luar semua itu, klo kita mengkhususkan pada Tibet, maka ada satu hal yang perlu kita ketahui yaitu bahwa seperti yang berlaku dimanapun, tidak semua orang Tibet adalah orang baik, dan sebaliknya juga benar bahwa tidak semua orang Tibet adalah orang jahat. Hal yang sama berlaku di mana saja, dan terhadap bangsa apa saja, bahkan di zaman Sang Buddha pun ada orang yang buruk dan ada orang yang baik.

Saya pernah mendengar satu cerita yang sangat menarik dari seorang Guru Besar Tibet yang berkaitan dengan YM Atisha.
Diceritakan (kurang lebih ya) bahwa pada saat YM Atisha diundang ke Tibet untuk menjernihkan ajaran Buddha yang telah merosot sampai tingkat yang sangat parah di Tibet pada saat itu (di mana pada saat itu banyak pengikut Buddha tidak dapat lagi memahami esensi utama dari ajaran Buddha, masing2 pengikut aliran Buddhis saling mengklaim alirannya yang paling benar dan menganggap aliran yang lain bukan ajaran Buddha, yang sutra menolak Tantra, yang Tantra mengkritik sutra, yang hinayana menganggap mahayana bukan bagian ajaran buddha yang asli, yang mahayana meremehkan hinayana, bahkan banyak praktisi2 palsu pada masa itu yang pulang dari india trus mengaku2 praktisi sejati, dsb2).

Singkat cerita, setelah YM Atisha setuju untuk ke Tibet, beliau kemudian bersiap2. Salah satunya adalah Beliau berpikir bahwa karena Tibet adalah negara Buddhis, maka kemungkinan besar semuanya adalah orang2 baik. Jadi, beliau kemudian memutuskan untuk membawa serta seorang tukang masaknya ke Tibet. Tukang masak beliau ini terkenal sebagai seorang pemarah, seorang yang sifatnya benar2 jelek dan kasar. Jadi, orang2 heran kenapa yang dibawa orang yang kasar begitu. Nah, pada saat ditanya, YM Atisha berkata bahwa beliau khawatir tidak bisa berlatih kesabaran di Tibet klo orang2nya baik semua, maka tukang masak yang perilakunya jelek inilah yang beliau bawa agar beliau tetap bisa berlatih kesabaran nanti. Kemudian sesampainya di Tibet, beliau melihat bahwa ternyata tidak semua orang Tibet seperti yang beliau bayangkan, tetap aja ada orang yang perilakunya jelek. Jadi, beliau berkata sebenarnya beliau tidak terlalu perlu juga yah membawa tukang masaknya itu, toh di Tibet masih banyak yang bisa  menjadi tempat beliau berlatih kesabaran.

Ya, kurang lebih, begitulah ceritanya  ;D. Jadi, simpulkan sendiri saja ya, ceritanya  ;)


Terima kasih  :|
Semoga bermanfaat ya
« Last Edit: 11 May 2008, 05:20:31 PM by Mangkok »
Semoga kebijaksanaan dan kebaikan hati tumbuh dan berkembang dalam batin semua makhluk

Offline SandalJepit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 425
  • Reputasi: 3
Re: Slavery in Tibet ???
« Reply #7 on: 11 May 2008, 02:39:39 PM »
okay2. . i understand, walaupun di tibet mayoritas beragama Buddha, namun tidak semuanya mempraktekkan agama Buddha dengan baik. Mungkin banyak juga yang belajar teori saja, tapi kesehariannya berbuat yang tidak-tidak.

Keadaannya mungkin mirip dengan Indonesia di jaman Majapahit, mengapa suatu negara Buddha yang begitu besar, tiba-tiba rakyatnya ogah meneruskan agama lama mereka, dan mengambil agama baru? saya rasa jawaban dari pertanyaan ini dimulai dengan merosotnya praktek agama Buddha. kalau di Majapahit, agama Buddha merosot dan lenyap  dengan cepat, maka melihat kondisi tibet yang seperti ini, saya rasa disana sudah mencapai status "bahaya merah". mudah-mudahan saja Buddha Dharma masih dapat bertahan dengan baik melalui praktek yang benar.




Offline Mangkok

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 123
  • Reputasi: 14
  • Gender: Male
  • Mangkok
Re: Slavery in Tibet ???
« Reply #8 on: 11 May 2008, 05:19:28 PM »
Maaf, saya khawatir salah paham aja, jadi saya pikir perlu menclearkan beberapa hal. Pertama, perlu saya tekankan bahwa saya tidak tahu apakah perbudakan benar terjadi di Tibet atau tidak (bagi saya sendiri hal itu tidaklah menunjukkan apa2 ttg agama Buddha di sana, karena selama kita masih punya kilesa maka selama itu pula kita masih berpotensi utk melakukan hal2 negatif). Saya cuma menyampaikan satu sudut pandang bahwa kalaupun perbudakan itu terjadi, itu tidaklah aneh karena "perbudakan" bahkan masih terjadi di masa sekarang di berbagai negara atau daerah (Harap diingat: perbudakan yang dimaksud di sini bukan hanya perbudakan yang nyata, tapi termasuk perbudakan yang tidak kentara, misal pembantu disiksa, dsj). Jadi, apakah perbudakan terjadi di sana? Saya tidak tahu ;D.

Kemudian cerita tentang YM Atisha, perlu diketahui bahwa beliau kira2 hidup pada tahun 982-1054 Masehi. Jadi, yang saya maksudkan tentang kemerosotan dicerita itu kira2 terjadi pada masa2 tersebut. Saya memberikan contoh ini terutama adalah untuk menyampaikan bahwa tidak berarti satu negara buddhis, trus masyarakatnya semuanya kemudian pasti mempraktikkan Dharma. Hal ini bisa dilihat juga dinegara Buddhis yang lain. Dan sebenarnya bukan hanya Buddhis, tetapi negara non Buddhis jg sama. (Alasan lain adalah semoga sikap YM Atisha bisa menginspirasi kita juga). Tentang riwayat YM Atisha bisa search di internet, sangat banyak tentang kehidupan Beliau, termasuk bagaimana beliau belajar bodhicitta ke Guru Besar Serlingpa Dharmakirti di Indonesia pada masa Sriwijaya. Perkembangan agama Buddha di Tibet memang terjadi beberapa fase (ada masa perkembangan, juga ada masa kemerosotan). Tentang timeline sejarah Buddhis di Tibet mungkin bisa lihat juga di:

http://www.buddhanet.net/e-learning/history/tib_timeline.htm.

Nah, tentang kondisi agama Buddha di Tibet masa sekarang, saya juga tidak bisa mengatakan apa pun karena saya tidak tahu dan tidak paham kondisi di sana sekarang kayak gimana. (misal apa sudah "bahaya merah" atau semacamnya). Harap dimaklumi ya, maaf klo postingan saya membingungkan atau sempat memunculkan kesalahpengertian. Saya sekali lagi cuma mengajak untuk berpikir dengan sudut pandang yang lebih luas, ga cuma satu sisi (yang seringnya satu sisi itu kemudian digeneralisasi seolah2 terjadi pada semua untuk mendukung argumentasinya sendiri). Banyak orang yang terjebak ataupun sengaja mengambil satu sisi saja dari suatu hal untuk membenarkan sudut pandangnya sendiri sehingga klo kita tidak hati2, kita akan terjebak sendiri. Tentu saja klo hal itu membawa kemajuan batin kita (yang paling mendasar berarti memunculkan pikiran2 bajik atau meredam kilesa kita), tidaklah menjadi masalah. Yang dikhawatirkan adalah malah membangkitkan kebencian, kemelekatan ataupun kebodohan. Jadi, marilah kita praktik Buddhis mulai dari yang paling dasar, mengurangi/menghilangkan faktor mental negatif dan memunculkan/mengembangkan faktor mental bajik.

Mohon maaf sekali lagi ya, saya jadi malu :-[ dengan pemahaman dan kapasitas yang sangat terbatas ini mencoba menjelaskan sesuatu hal yang belum sepenuhnya saya sendiri pahami.

Sekali lagi, mohon maaf klo ada salah dan Terima kasih  :|
« Last Edit: 11 May 2008, 09:02:00 PM by Mangkok »
Semoga kebijaksanaan dan kebaikan hati tumbuh dan berkembang dalam batin semua makhluk

Offline karma_rinchen

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 3
  • Reputasi: 0
Re: Slavery in Tibet ???
« Reply #9 on: 24 May 2008, 12:28:10 PM »
Padmasambhava
1. Excerpts from "The Legend of the Great Stupa,"
"As the Kaliyuga progresses towards the final conflagration, life expectancy of man decreases and the weight of darkness becomes more intense, but these remain restraints on the downward path when the Voice of Buddha is heard and the Path of Dharma followed. Towards the end of the era, when the duration of man's life span has been reduced from sixty to fifty years and there has been no respite in man's increasing egoism, these conditions will prevail, portending the ruin to the Great Stupa: householders fill the monasteries and there is fighting before the altar; the temples are used as slaughterhouses. The ascetics of the caves return to the cultivated valleys and the Yogins become traders; thieves own the wealth and cattle; monks become householders while priests and spiritual leaders turn to robbery, brigandage and thievery. Disorder becomes chaos, turning to panic which rages like wildfire. Corrupt and selfish men become leaders ... the images of the Buddhas, the sacred icons, the scroll paintings and the stupas will be desecrated, stolen and bartered at the market price. ...
"When religious duties are forgotten, spirits of darkness, which had been controlled by ritual power, become unloosed and frenzied and govern the mind of whatever being they possess. Spirits of vindictive power possess monks; ... enchanting spirits causing disease possess men; grasping, quarreling spirits possess women; spirits of wantonness possess maidens; spirits of depravity possess nuns; spirits of rebellion and malice possess children; every man, woman and child in the country becomes possessed by uncontrollable forces of darkness. The signs of these times are new and fantastical modes of dressing-traditional styles forgotten; the monks wear fancy robes and the nuns dress up before a mirror. ...
"The Abbot and Master poison their pupil's minds and hearts; ... men become lewd and licentious; women become unchaste; monks ignore their discipline and moral code; ...
"Drunkards preach the Path to Salvation; the advice of sycophants is followed; fraudulent teachers give false initiations; guileful imposters claim pyschic powers; loquacity and eloquence pass as wisdom. The arrogant elevate profanity; ...
"... the guidance of the Secret Guru execrated, the precepts of the Buddha ignored and the advice of Yogis and Sages unsought. ...
"The celestial order, disrupted, loosens plague, famine and war to terrorize terrestial life. The planets run wild, and the stars fall out of their constellations, great burning stars arise bringing unprecedented disaster. No rain falls in season, but out of season; the valleys are flooded. Famine, frost and hail govern many unproductive years."
It gets worse. Because man has lost contact with his true self, rather than seeing these things as karma and signs of falling of the Spiritual Path, the blame goes elsewhere. We sue everybody and don't take accountability. We blame another country for this or that. We blame fluorocarbons, aerosol cans, cars, whatever, when the greatest, most damaging pollution are the thoughts and words that come out of our own heads.
Guru Rinpoche's (Padma Sambhava) disciples were floored when they heard the dire predictions of the future, but he did leave them with one piece of heartening prophecy. The karma that is loosed to slow down man's evil doings eventually disgusts him and awakens him, so that " in his actions and governed by sympathy and compassion towards the sufferers, he will dedicate himself to the restoration of the Great Stupa. He will aspire to the highest human achievement and fulfill his wish to rebuild perfection."
He goes on to describe the reincarnation of a great lama, Pema Khungsten, to restore Buddhism, but if the work is postponed then a great war breaks out and Tibet is over run by Chinese hordes. But then if certain numbers of Yogins, adepts and Boddhisatvas both in embodiment and out, continue to hold the precepts, do the spiritual work, the mantras, etc., then there will be a victory over the forces of darkness.

Human life are so precious please do good things, make more merits and for all of you who has create a bodhicitta may that bodhicitta never be destroyed but keep improving. for all of you who didn't knew me, my name is Karma rinchen.

eeee..... ngk nymabung.... ;D

Offline Delusion

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 118
  • Reputasi: 15
  • Gender: Female
Re: Slavery in Tibet ???
« Reply #10 on: 11 August 2008, 04:56:08 PM »
1 kutipan dari Padmasambhava yang saya ambil:

Jangan pernah menjudge seseorang/sesuatu terlalu cepat, karena kita belum mencapai pencerahan seperti halnya Buddha yang Mahatau

Deepest Bow,
Vince
:)

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: Slavery in Tibet ???
« Reply #11 on: 16 August 2008, 02:08:20 AM »
Tibet juga adalah di alam samsara. Sama2 di dunia ini. Sama2 tercantum dalam peta.
Tibet bukanlah surga.
Disana ada orang suci, orang baik, ada juga orang yang sama bejatnya dengan orang2 dibagian lain di dunia.

Dalam suatu sistem, pasti ada "yin-yang"-nya, ada putih hitamnya, pro kontra. Konflik adalah ciri khas samsara. Di samsara, manusia realitanya tidak mungkin benar2 sederajat. Itu hanya utopia/ ideologi lain lagi.

That's it. Simple kan?
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline kiman

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 348
  • Reputasi: 13
  • Gender: Female
  • HUM !
Re: Slavery in Tibet ???
« Reply #12 on: 01 September 2008, 11:14:51 PM »
yup. mo di tibet, mo di tebet, sama aja, tergantung kitanya aja...
U CAN GET DHARMA WITHOUT MONEY

Offline xenocross

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.189
  • Reputasi: 61
  • Gender: Male
Re: Slavery in Tibet ???
« Reply #13 on: 30 December 2008, 07:38:05 AM »
ada yg pernah nonton kundun dan baca biografi Dalai Lama 14?
Disitu saya pernah baca bahwa tadinya Dalai Lama setuju lho Tentara China masuk Tibet. Karena mereka ga korupsi dan mau reformasi. Dalai Lama juga ingin mereformasi sistem pemerintahan dan keadaan di Tibet yg menurut beliau harus diubah, Tapi tidak diterangkan apa yg mau diubah.
Apa mungkin soal perbudakan ini? Ingat, sistem teokrasi Tibet dulu sering disalahgunakan dan dikendalikan oleh tuan tanah dan bangsawan, dan kadang Dalai LAma hanya jadi boneka.
Satu saat dari pikiran yang dikuasai amarah membakar kebaikan yang telah dikumpulkan selama berkalpa-kalpa.
~ Mahavairocana Sutra

Offline xenocross

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.189
  • Reputasi: 61
  • Gender: Male
Re: Slavery in Tibet ???
« Reply #14 on: 30 December 2008, 07:39:06 AM »
Tetapi kemudian China mulai aneh-aneh dan mengganggu kehidupan beragama, jadi Dalai Lama sadar bahwa China tidak berniat baik....
Satu saat dari pikiran yang dikuasai amarah membakar kebaikan yang telah dikumpulkan selama berkalpa-kalpa.
~ Mahavairocana Sutra

 

anything