pak hudoyo.
sy agak bingung.......saya beri contoh saja.
pada saat perbuatan kita lakukan baik itu atau buruk...............
jika telah melakukan action.....persis yang anda bilang langkah 1.
terus....apakah yang membedakan perbuatan itu baik atau buruk jikalau bukan "aku" yang menimang?
misalkan seorang arahat melakukan perbuatan....kalau bukan "aku" ----> pencerapan mengenai hal baik dan buruk....apakah dimata arahat perbuatan itu semua "sama"
sy rasa ada yang namanya langkah#2...."ini baik" ini buruk"................
Y.M Sariputta saja memuji kesaktian saudara nya Y.M Maha Monggalana.......
seperti "sungguh mengaggumkan kesaktian anda"-dsb-nya
nah dari sini jika bukan "aku" siapa yang menilai?
jika persepsi pada langkah #1,maka seharus nya Sariputta tidak memuji-nya juga tidak mencela-nya.....karena itu merupakan hanya fenomena.
apakah pada batin seperti itu muncul "ini menganggumkan" "ini tidak menganggumkan"?
demikian pada waktu Y.M MahaKassapa...."sebaiknya saya mengadakan sidang Sangha demi melestarikan Buddha Dhamma"...
bukankah ini semua keputusan disebabkan pencerapan ini baik ini tidak baik alias "aku"
mohon bimbingannya
HUDOYO:
Rekan Marcedes,
Rupanya Anda salah paham tentang proses pikiran sebagaimana diuraikan Sang Buddha dalam Mulapariyaya-sutta.
Dalam langkah #1, yang disebut 'persepsi murni', di situ belum ada pengidentifikasian, pelabelan, apalagi penilaian "ini baik", "itu buruk", "ini boleh", "itu tidak boleh", apalagi TINDAKAN. Semua itu terjadi SESUDAHNYA, yakni pada langkah #2 - #6, ketika muncul si aku/atta, ... lalu si aku itu ber-relasi dengan objek yang dihadapinya ... lalu si aku itu mempunyai keinginan & kehendak (cetana) tertentu terhadap objek itu ... lalu si aku itu bertindak.
Jadi, TINDAKAN seorang biasa (puthujjana) SELALU didahului oleh 'keinginan', kemudian 'kehendak' (cetana). ... Dan itu didasari oleh 'penilaian' tentang 'baik' vs 'buruk', 'boleh' vs 'tidak boleh' dsb.
Nah, tindakan orang biasa seperti itulah yang saya katakan bisa salah: apa yang kita kira benar belakangan ternyata salah, atau sebaliknya. Itulah sebabnya mengapa manusia selalu dirongrong oleh rasa menyesal.
Sedangkan pada seorang arahat, karena tindakannya tidak berasal dari PEMIKIRAN, PERTIMBANGAN dan KEHENDAK--dengan kata lain, tindakan seorang arahat adalah spontan, tanpa lewat pikiran--maka tidak pernah salah.
*****
Sang Buddha kemudian menyarankan kepada para pemeditasi vipassana, agar mengamati batinnya dan tidak membiarkan munculnya si aku/atta, pemikiran, pertimbangan, penilaian benar/salah, boleh/tidak boleh dsb. Dengan kata lain, Sang Buddha menyarankan agar proses batin itu
berhenti pada langkah #1 saja (Mulapariyaya-sutta); dalam Bahiya-sutta Sang Buddha mengatakan, agar
"berkaitan dengan yang terlihat hanya ada yang terlihat" ... artinya jangan diikuti dengan pengidentifikasian, pelabelan, pembandingan, penilaian baik/buruk, boleh/tidak boleh, keinginan, kehendak, tindakan dsb.
Dalam Bahiya-sutta, dengan tegas Sang Buddha mengatakan, jika kita bisa berada dalam keadaan itu, maka
KITA TIDAK ADA LAGI. ... Ini dengan tegas menjawab pertanyaan Anda, "Apakah yang membedakan perbuatan itu baik atau buruk jikalau bukan "aku" yang menimbang?" ... Sang Buddha menegaskan,
KALAU KITA BISA BERADA DALAM KESADARAN VIPASSANA ITU, maka
KITA TIDAK ADA LAGI, dan
ITULAH AKHIR DUKKHA. Jadi, menurut Sang Buddha, tercapainya nibbana (akhir dukkha) harus memenuhi prasyarat, yakni
LENYAPNYA AKU/diri/atta.
sy rasa ada yang namanya langkah#2...."ini baik" ini buruk"................
Anda mau menyanggah Sang Buddha dalam Mulapariyaya-sutta? ... Silakan baca lagi sutta penting itu perlahan-lahan. Jangan sampai kepeleset.
*****
Rekan Marcedes,
Tentang kata-kata Sariputta Thera, Maha Kassapa Thera dsb yang tercantum dalam kitab suci, jangan terlalu dihiraukan. Anda & saya tidak bisa menggunakan rujukan seperti itu untuk MEMAHAMI jalan pikiran seorang arahat. Apalagi kata-kata Maha Kassapa Thera yang Anda kutip; menurut hemat saya pribadi, itu bukan kata-kata seorang arahat, melainkan kata-kata seorang puthujjana (penulis kitab suci itu yang menurut saya belum arahat), karena seorang arahat tidak pernah berpikir "ingin melestarikan apa pun" dalam kehidupan ini, karena hal itu bertentangan dengan hakikat eksistensi yang tidak abadi ini.
Alih-alih mencoba memahami jalan pikiran seorang arahat, saya sarankan lakukanlah tuntunan Sang Buddha dalam Mulapariyaya-sutta dan Bahiya-sutta terhadap pikiran Anda sendiri.
Anda terlalu cepat, dalam waktu 2 hari saja, menarik kesimpulan seperti di atas. Saran saya, lakukan retret vipassana sekurang-kurangnya selama satu minggu. Nanti, kalau Anda berhasil masuk ke dalam
keheningan, di mana si aku & pikiran ini berhenti, Anda akan tahu sendiri jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan Anda di atas.
Lebih baik lagi kalau Anda ikut retret MMD, karena
hal-hal seperti ini sama sekali tidak dibahas dan tidak dilatih dalam retret vipassana "tradisional" yang diajarkan oleh para bhante yang saya ketahui, kecuali Bhante Pannyavaro, Ajahn Chah, dan mungkin Sayadaw U Tejaniya. Kalau Anda ikut retret MMD, Anda bisa berdiskusi dengan saya sepuas-puasnya setiap malam.
Bacalah wejangan Sri Pannyavaro Mahathera pada pembukaan & penutupan retret MMD Seminggu di Vihara Mendut bulan Desember kemarin (dalam buklet yang sudah dapat Anda download). Beliau berkata pada prinsipnya, "Amati saja, tapi jangan dipadamkan." (maksudnya lobha, dosa, moha dll dalam batin kita) Nanti semuanya akan diam dan padam dengan sendirinya. Mungkin Anda sekarang tidak bisa mengerti itu.
Salam,
Hudoyo