//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...  (Read 663596 times)

0 Members and 4 Guests are viewing this topic.

Offline hendrako

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.244
  • Reputasi: 60
  • Gender: Male
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1245 on: 02 June 2009, 12:31:29 AM »
HENDRAKO:

Jangan khawatir bro...
Arahatnya bisa merosot.......

TAN:

Sekarang saya kira bukan saatnya bercanda ya. Coba jawab dengan serius apakah seorang arahat bisa merosot?

Amiduofo,

Tan

Menurut pengertian saya sejauh ini, seorang Arahat tidak akan merosot.
Saya serius loh.
 :|
« Last Edit: 02 June 2009, 12:34:58 AM by hendrako »
yaa... gitu deh

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1246 on: 02 June 2009, 12:58:45 AM »
Quote from: Tan
Tepatnya analogi bagi apa? Apakah yakkha Vajirapani sesungguhnya adalah "centeng" atau umat2 yang kebetulan hadir di sana dan membawa sebuah gada atau pentungan? Dan mereka akan langsung "bak buk" main hajar kalau Ambattha tak mau menjawab untuk kali ketiga?

Maksud saya, mungkin yakkha di kisah itu hanyalah gambaran karakter dari si penulis Sutta. Dalam banyak kisah Sutta Theravada, gaya cerita analogi ini sering ditemukan. Salah satunya adalah gaya cerita tentang Mara, yang maksudnya adalah gejolak batin sendiri.

NB: Mara memang makhluk. Tapi ada beberapa kisah yang memakai Mara sebagai wujud kotoran batin.


Quote from: Tan
Jadi kalau ternyata Ambattha tidak mau menjawab, maka Buddha akan mencegah Vajirapani mengayunkan gadanya? Penjelasan ini kontradiksi dengan pernyataan bahwa orang yang tidak bersedia menjawab pertanyaan Buddha untuk kali ketiga akan remuk kepalanya menjadi tujuh bagian. Kalau toh Buddha pada akhirnya akan mencegahnya meski Ambattha tidak menjawab pertanyaan untuk kali ketiga, maka pernyataan sebelumnya adalah "bohong," karena toh Buddha akan "mengampuni" dan mencegah sang yakkha mengayunkan gadanya. Jadi seolah-olah tetap ada ancaman bukan? Terbukti Ambattha katanya sampai "tegak seluruh rambutnya."

Sang Buddha sudah tahu kalau Ambattha pasti akan menjawab pertanyaan-Nya setelah ditegur. Makanya Sang Buddha tidak 'khawatir' dan berusaha mencegah yakkha memukul kepala Ambatha.


Quote from: Tan
Sama dengan seorang anak yang meniru tindakan orang dewasa, bisa saja hal itu membahayakan dirinya. Ada kisah seorang bhikshu Zen yang membunuh seekor kucing untuk mengakhiri suatu pertentangan antara dua kubu bhikshu. Ini ada di kartun Zen karya Ts'ai Shih Chung. Nah bagi orang awam, membunuh kucing adalah karma buruk, tetapi tidak bagi sang bhikshu, karena ia sudah tercerahi. Jadi jangan mencoba meniru membunuh kucing karena seorang bhikshu yang bijaksana melakukannya.

Banyak bhikkhu yang belum mencapai tingkat kesucian. Tapi mereka berusaha bertindak-tanduk dalam kebenaran (Dhamma). Dan mereka semua berusaha meneladani tindak-tanduk Sang Buddha. Apakah itu adalah kesalahan? Jadi mereka semua masuk Neraka Avici ya?

Oooo... begitu toh.
Rupanya ada pembunuhan dengan kasus tertentu yang dapat dinyatakan sebagai kebaikan?
Rupanya masih mungkin bagi orang Yang Tercerahkan untuk dapat membunuh?

Berarti tanpa meniru pun, para teroris nun jauh di sana punya bekal-bekal Pencerahan seperti ini.


Quote from: Tan
Mengapa Anda berpikir begitu? Bagi ajaran Mahayana, kita juga mempergunakan risalah2 dari para bhikshu tinggi, seperti Vasubandhu, Nagarjuna, Huineng, dll. Karya itu dianggap permata Dharma yang sama nilainya. Bahkan kitab riwayat para guru Sesepuh dan bhikshu tinggi (Gao Shengquan) juga dimasukkan dalam kanon Mahayana. Mengapa demikian? Bukan karena kami kaum Mahayanis ingin menambah2i Tripitaka, tetapi karena Dharma itu sungguh luas. Belajar dari ajaran guru-guru Sesepuh juga sesuatu yang bernilai. Itu saja.

Tidak ada maksud begitu. Saya hanya ingin mengetahui apakah maksudnya Sang Buddha lupa menyisipkan uraian mengenai perihal itu dalam penjelasan mengenai garuka kamma. Rupanya sudah jelas sekarang...

Kanon Mahayana itu seringkali mengandung wejangan-wejangan dari para Bhiksu sesepuh. Pantas saja banyak isi ajaran Buddhisme yang bertolak-belakang jika dibandingkan antar-sektenya.


Quote from: Tan
Pernah dengan Bhikkhu Sati yang pernah "dihardik" oleh Buddha karena mengajarkan sesuatu yang salah, yakni tentang "berpindahnya kesadaran"? Saat itu dalam Sutta disebutkan bahwa Bhikkhu Sati sangat malu hingga ia tertunduk kepalanya. Saya kira metoda apapun adalah baik, tergantung dari orangnya. Apakah itu pengamalan dari ajaran Buddha? Saya jawab dengan tegas YA! Ada orang yang harus diajar dengan cara "keras" dan "lunak" (baca Kesi Sutta).
Sebagai tambahan: bagaimana Anda tahu bahwa ajaran Zen memakai kekerasan fisik dan ucapan? Memang dalam meditasi Zen Anda dipukul dengan kayu, tetapi pukulannya tidak keras dan hanya dimaksudkan agar posisi meditasi Anda kembali benar. Tidak ada kekerasan ucapan dalam Zen. Bila Anda mengantuk maka pelatih akan meneriakkan seruan seperti "Ho." Tidak ada niat kejam dalam diri mereka.

Demikian semoga jawaban saya memuaskan Anda.

Amiduofo,

Tan

Apakah Sang Buddha menghardik dengan ucapan dan atau perlakuan yang bersifat kekerasan?

Mungkin 'kekerasan' di Ajaran Zen tidak terlalu parah.
Tapi kenapa Sang Buddha tidak memberi pengajaran dengan bumbu 'kekerasan' seperti itu?

Apakah maksudnya 'kekerasan' itu adalah metode mutakhir untuk mengajarkan Dharma?
Atau metode Sang Buddha itu kuno, jadi perlu direvisi?

Saudara Tan...

Pertanyaan-pertanyaan saya di atas juga Anda tunda ya?

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1247 on: 02 June 2009, 12:58:55 AM »
Jadi maksudnya Bodhisattva Avalokitesvara sudah merealisasi Pencerahan ya?

Kok bisa sudah mencapai Nirvana (baca : menjadi Buddha) tapi masih bergelar Boddhisattva (baca : masih menderita)...?

Lihat ini:

http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,5314.0.html

Akan menjawab kira2 75 %....

_/\_
The Siddha Wanderer

Saya baru baca sekilas, tapi sudah banyak menemukan 'kejanggalan' di sana.
Sebagian besar tidak berhubungan dengan pertanyaan saya akan keidentikan Bodhisattva = Buddha ini.

Namun ada satu peryataan sederhana yang paling menggelitik saya...

Di thread itu, dinyatakan bahwa :

"Ketika Bodhisattva tingkat sepuluh memasuki Abhisekabhumi, maka Beliau telah dapat disebut sebagai seorang Buddha, walaupun masih terdapat klesha dalam batin-Nya".

Pertanyaan-Nya :
1) Apa arti gelar "Buddha" bagi Anda sebenarnya?
2) Apakah benar ada tingkatan Buddha yang masih hina (baca : masih ada kotoran batin)?
3) Kalau benar, mungkin kisah Guru Zen yang membunuh kucing itu mungkin termasuk "Buddha yang Hina" yah?
« Last Edit: 02 June 2009, 01:00:55 AM by upasaka »

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1248 on: 02 June 2009, 12:59:07 AM »
Quote from: Tan
TAN:

Saya jelaskan lagi ya. Bagi kaum Mahayanis kedua hal itu tidak bertentangan. Ketika Dharmakaya mengemanasikan dirinya sebagai Nirmanakaya (dalam hal ini Buddha Sakyamuni - Pangeran Siddharta), maka tentu saja itu adalah "kelahiran" terakhir sebagai Pangeran Siddharta. Untuk selanjutnya tidak ada lagi "kelahiran" sebagai Pangeran Siddharta. Jadi pandangan dalam Sutta Pali juga "benar" dan Mahayana juga "benar."
Mahayana juga mengajarkan upaya kausalya, jadi tatkala Bodhisattva Siddharta terlahir dan berjalan tujuh langkah serta mengeluarkan raungan singa (Simhanada); ungkapan "Inilah kelahiranKu yang terakhir" adalah ajaran bagi umat manusia untuk menapaki jalan Dharma demi menghentikan samsara. Tetapi proses emanasi sendiri berada di luar ruang dan waktu; sehingga bagi umat awam dikatakan "tak berakhir."
Kedua, Anda selalu berpikir bahwa dua statemen yang saling bertentangan tidak mungkin kedua-duanya benar. Ini adalah salah; kalau Anda belajar filsafat Dewey, maka Anda akan mengetahui bahwa tidak selamanya demikian. Saya akan berikan suatu analogi yang mungkin tidak tepat benar (sekali lagi saya bilang ini adalah analogi, semoga Anda dapat memahami apa maksudnya "analogi"):

1.Lampu lalu lintas tidak menyala merah
2.Lampu lalu lintas menyala merah

Mana di antara kedua statemen yang nampak bertentangan itu yang benar? Jawabnya keduanya bisa benar tergantung kondisinya, karena lampu lalu lintas terkadang menyala merah dan terkadang tidak (kuning serta hijau). Tidak ada yang salah di antara kedua statemen di atas.

Jangan lupa pula bahwa kedua statemen yang saling bertetangan bisa juga keduanya salah. Contoh:

Air berwarna putih
Air berwarna hitam

Mana yang benar? Keduanya salah. Mengapa? Air itu TIDAK berwarna.

Sebenarnya masih banyak contoh-contoh lainnya. Sebagaimana umat Buddha (khususnya Mahayana, entah kalau non Mahayana) yang baik kita hendaknya sedikit demi sedikit meluaskan wawasan kita dan tidak terjebak terus menerus dalam dikotomi sempit (kalau bukan kawan, maka ia adalah lawan).

Semoga tulisan saya cukup jelas.

Amiduofo,

Tan

Rupanya proses penerusan kehidupan itu Anda penggal-penggal menjadi tiap orangnya yah...
Belum mengerti?? Akan saya ulangi lagi...

Satu proses kehidupan berulang yang terus-menerus, telah melahirkan orang-orang bernama Sumedha... seekor anak ayam jantan... Pangeran Siddhattha Gotama. Ketika Pangeran Siddhattha terlahir, beliau mengucapkan :
"Inilah kelahiranku yang terakhir".

Maksudnya adalah inilah kehidupan terakhirnya, karena di kehidupan ini juga Pangeran Siddhattha akan menghentikan proses penerusan kehidupan. Bukti kongkretnya adalah... Di dalam Sutta (setidaknya yang saya tahu Sutta Theravada), selama perjalanan dalam mengumpulkan Parami, Bodhisatta tidak pernah menyatakan "inilah kelahiranku yang terakhir"; kecuali pada kelahirannya sebagai Pangeran Siddhattha.


Coba telaah pernyataan pertentangan di bawah ini :
- lampu bohlam itu terus menyala selama 1 jam
- lampu bohlam itu tidak menyala selama 1 jam
=> Kesimpulan : sepintas kedua lampu itu tampaknya memang menyala, namun pernyataan kedua tidak sejalan dengan pernyataan pertama. Karena durasinya tidak sama - alias pernyataan yang bertentangan.


Sebenarnya masih banyak contoh lainnya. Kalau menurut saran saya, sebaiknya kita harus jeli melihat ketidakselarasan yang memang muncul dalam paradoks "serupa tapi ternyata tak sama". Janganlah kita berusaha menyama-nyamakan sesuatu yang mirip. Karena pembenaran apapun yang kita kemukakan, kebenaran itu akan selalu ada. Dan kebenaran itu menunjukkan kalau keduanya adalah tidak selaras.
« Last Edit: 02 June 2009, 01:01:22 AM by upasaka »

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1249 on: 02 June 2009, 12:59:16 AM »
Quote from: Tan
TAN:

Iya dong! Umat Mahayana harus sakti. Supaya tidak dipecundangi terus menerus oleh umat non Mahayana. Justru saya semakin yakin kebenaran Mahayana.

Amiduofo,

Tan

Siapa yang memecundangi??; dan siapa yang dipecundangi??

Adakah diri yang melakukan perbuatan mecundangi??; dan adakah diri yang diperlakukan sebagai pecundang??

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1250 on: 02 June 2009, 12:59:29 AM »
Quote
TAN:

Ya tidak bisa begitu donk. Kalau dikejar lantas bilang "diluar konsep." Apa bedanya dengan umat agama lain yang kalau diajak debat lantas bilang "T****N itu di luar konsep manusia." Ini tidak adil, rekan2 non Mahayana selalu mengejar rekan2 Mahayana dan meminta jawaban yang definitif. Tetapi waktu ditanya dengan pertanyaan di atas lantas dengan mudahnya menjawab "di luar konsep," "pertanyaan tidak valid," dan bla...bla...bla.. Mana letak keadilannya. Supaya adil saya juga mau bilang ah: "Dharmakaya berada di luar konsep, sehingga "ada" dan "tiada" juga tidak valid." Habis perkara bukan? Pelajaran yang bisa diambil adalah: Kita semua adalah tukang bajak atau contek dari buku yang disebut Sutta, Sutra, tulisan para guru sesepuh, buku Dhamma, buku Dharma, dan entah apa lagi. Kita semua cuma debatin buku, sehingga pada akhirnya tidak akan ada ujung pangkalnya. Dengan demikian "pertanyaan kritis terhadap Mahayana juga tidak valid."
Sebagai tambahan, apa yang diungkapkan pada Aggi Vacchagota Sutta itu hanya dapat diselami oleh orang yang sudah bebas dualisme, tetapi kita semua di sini belum; jadi jangan mencoba "melarikan diri" dengan jawaban semacam itu. Tetapi kalau masih memaksa "lari" dengan jawaban semacam itu, rekan2 Mahayana juga berhak "lari" dengan cara yang sama.

Untuk kesekian kalinya...

Manusia bisa ada karena paduan nama-rupa. Nama-rupa ada karena ada penyebab-penyebabnya. Jika penyebab-penyebabnya tidak lagi berpadu, maka tidak akan ada lagi nama-rupa. Kalau tidak ada lagi nama-rupa, maka tidak akan ada lagi manusia. Jadi Parinibbana adalah terhentinya semua sebab-sebab dukkha.

Konsep Theravada jelas sekali. Tidak ngjlimet. Selalu konsisten. Diuraikan dengan jelas sampai bagian-bagian terkecilnya, yaitu gejolak-gejolak batin yang menjadi penyebab-penyebab dukkha. Ketika seseorang mampu memutuskan akar penyebab ini, maka dia sudah merealisasi Nibbana. Karena itulah ketika memasuki Parinibbana, Buddha tidak lagi bisa ditemukan di manapun dan kapanpun.

Buddha bukan lenyap; karena tidak ada diri yang lenyap setelah Parinibbana. Buddha bukan kekal; karena tidak ada diri yang kekal setelah Parinibbana. Buddha bukan tidak lenyap; karena penyebab dukkha sudah terhenti sehingga proses penghidupan sudah tidak berjalan. Buddha bukan tidak kekal; karena penyebab dukkha sudah tidak berpadu sehingga proses penghidupan sudah tidak saling mengkondisikan.

Kalau saya uraikan seperti itu, rasanya penjelasan Nibbana versi Theravada bukan "di luar konsep" kan?
Kecuali Anda belum mengosongkan gelas, sehingga konsep ini memang akan selalu di luar pemikiran Anda.


Quote from: Tan
TAN:

Menarik sekali. Jadi nibanna dengan sisa itu tidak memadamkan pancakkhandha bukan? Jadi yang memadamkan pancakkhanda adalah nibanna tanpa sisa yang dicapai melalui proses kematian. Oleh karena itu, nibanna tanpa sisa jadi dikondisikan oleh kematian donk? Atau seseorang mungkin mengalami nibanna tanpa sisa tanpa harus mengalami kematian? Kalau "padam" tidak berarti "tidak ada," maka begitu pula umat Mahayana berhak mengatakan suatu "penjelmaan" Dharmakaya dalam wujud Nirmakaya hendaknya tidak diartikan sebagai "ada." Hayoo yang adil ya......
Kesadaran yang mengenali pencapaian pencerahan kayaknya menarik. Sekarang pertanyaannya APA yang dikenali oleh vijnana tersebut sebagai telah mencapai pencerahan? Secara logika, bila Anda mengenali sesuatu, maka harus ada SESUATU yang dikenali bukan? Nah apakah yang dikenali itu? Atta atau bukan? Kalau bukan atta lantas apa?

Ketika merealisasi Nibbana, yang padam adalah hasrat-keakuan. Tidak lagi ada tanha-upadana; dan menyelami hakikat tilakkhana. Menjadi Buddha berarti menjadi orang yang sepenuhnya sadar. Meskipun menghadapi suka-duka, batin seorang Buddha tentunya tidak akan hanyut dalam fatamorgana dunia. Karena itulah disebut sebagai padamnya lobha-dosa-moha.

Ketika memasuki Parinibbana, nama dan rupa terurai habis. Rupa (fisik jasmani) terurai secara biologis, dan nama (batin) tidak lagi disokong oleh bahan bakar samsara; yakni lobha-dosa-moha. Oleh karena itu nama dan rupa tidak akan bisa berpadu lagi; terlebih lagi berpadu dengan rupa (fisik jasmani) yang selanjutnya.

Tidak ada 'penjelmaan' berikutnya. Tidak ada pernyataan Sang Buddha di konsep Theravada yang mengatakan bahwa Beliau ingin bermanifestasi ke bentuk penjelmaan berikutnya setelah 12 tahun memasuki Parinibbana. Yang ternyata setelah dihitung-hitung, 12 tahun itu sama dengan 12 abad. Tidak ada pembenaran-pembenaran seperti itu dalam Theravada. Umat Theravadin sangat kritis dalam berehipassiko. Kami sangat jeli melihat statement; dan kami tidak ragu untuk mengakui kalau ada konsep yang kontradiksi dalam tubuh Theravada. Dan kami tidak suka membuat pembenaran-pembenaran seperti itu.

Mencapai Pencerahan adalah menyelami hakikat diri sendiri. Maksudnya adalah menyelami proses pergerakkan batin diri sendiri. Yang dikenali tentu saja sangat luas; bukan hanya sebatas sanna atau vinnana saja.

Memangnya kalau dalam Mahayana, apa yang berusaha dikenali?


Quote from: Tan
Kalau bukan mampu atau tidak mampu terus apa? Sekali lagi ini jawaban yang ngambang dan tidak menjawab pertanyaannya. Kalau rekan Mahayana yang memberikan jawaban macam begitu, pasti deh rekan-rekan non Mahayana dengan "buas" akan mengejarnya habis-habisan. Sekarang saya tanya balik berdasarkan jawaban Anda. Jika Sang Buddha tidak ingin pertanyaannya dijawab oleh Ambattha, lalu mengapa ia menanyakannya sampai berulang2? Apalagi menurut saya pertanyaan itu adalah masalah sepele, yakni tinggi dan rendahnya derajat (Ambattha merasa keturunan Brahmana dan merasa lebih tinggi dari keturunan Khattiya). Apakah mendorong Buddha untuk menanyakan hal itu hingga berulang-ulang? Apakah Buddha menginginkan jawaban?
Anda bilang: "Tidak krn berbelas kasih lantas harus menghentikan apa yg harus terjadi, seorang arahat tidak lagi memiliki 'tanha' toh? Berhati2 dg cara pandang dan pola pikir yg naif, idealistis, krn Buddhism adlh ajaran yg realistis."
Pertanyaan saya: "Jadi menurut Anda membiarkan atau tidak mencegah kepala seseorang hancur dihajar gada hanya karena tidak menjawab suatu pertanyaan adalah tindakan yang sangat realistis ya?"

Ini sudah saya bahas bersama Anda. Saudara Xuvie hanya ingin memberi tambahan sedikit...
Karena itu, saya tambahkan sdikit juga...

Sang Buddha berulang-kali bertanya pada Ambatha, karena ingin membuat Ambatha mengoreksi dirinya sendiri.
Sang Buddha menegur Ambatha adalah wujud metta-karuna-Nya kepada Ambatha; memberi nasehat agar kepala Ambatha tidak akan terbelah tujuh.
Sang Buddha tidak berusaha mencegah yakkha, karena Sang Buddha sudah tahu kalau Ambatha pasti akan menjawab pertanyaan-Nya.

Ada yang ingin saya tanyakan :
- Menurut Anda pertanyaan Sang Buddha itu sepele ya?
- Jadi menurut Anda, Sammasambuddha itu bisa-bisanya mengucapkan kata-kata sepele?
- Menurut saya, Anda sudah cukup cerdas untuk dapat memetik amanah dari Sutta itu. Tapi kenapa Anda terus mengungkit Sutta itu? Apakah Anda ingin memakai Sutta itu sebagai topik perbandingan?
- Lantas menurut Anda, seperti apakah amanah dari Sutta itu?


Quote from: Tan
TAN:

Sumbernya ya sama. Yang pasti Bhikkhu Sati sampai menunduk malu. Entah itu disebut "hardik" atau tidak, saya tidak tahu. Apakah bijaksana misalnya bila Anda berbuat salah, lalu boss Anda memarahi Anda di hadapan karyawan lainnya?

Amiduofo,

Tan

Bhikkhu Sati merunduk malu itu artinya kalau beliau menyadari kesalahan-Nya. Ucapan Sang Buddha yang tegas itu tidak didasari oleh kekasaran. Mau buktinya? Coba periksa apakah Sang Buddha merugikan Bhikkhu Sati? Jawabannya tentu tidak, justru 'hardikan' Sang Buddha itu membuat Bhikkhu Sati tersadarkan. Dengan kata lain, ucapan Sang Buddha itu memberi keuntungan bagi Bhikkhu Sati.

Sang Buddha 'menghardik' Bhikkhu Sati di depan umum karena Bhikkhu Sati telah melakukan kesalahan di depan umum; dengan mengemukakan pandangan salahnya - yang beliau ucapkan seolah sebagai kebenaran. Tujuan Sang Buddha 'menghardik' Bhikkhu Sati di depan umum, agar bhikkhu lainnya mendapat klarifikasi langsung dari Sang Buddha. Sekaligus memberi petikan amanah yang juga bermanfaat bagi bhikkhu lainnya.

Pertanyaan dari saya untuk Anda :
- Apakah bijaksana apabila Anda dan rekan kerja di kantor Anda sedang cekcok, lalu Boss Anda dengan senyum tulusnya menasehati kalian sambil membunuh kucing di hadapan kalian untuk memberi inspirasinya?
- Apakah tindakan seperti itu memberi keuntungan? Yang jelas si kucing justru mendapatkan petaka; karena dibunuh. Selain itu, Office Boy juga merasa dirugikan; karena demi melerai perselisihan, Boss Anda mengotori ruangan kantor dengan bangkai kucing.

Coba renungkan baik-baik, Bro!

« Last Edit: 02 June 2009, 01:04:11 AM by upasaka »

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1251 on: 02 June 2009, 12:59:39 AM »
Quote from: Tan
TAN:

Sama juga lah. Rekan-rekan non Mahayanis juga suka ditanya buah sukun yang dijawab malah buah mangga. Suka lari dengan menyatakan "wah pertanyaannya tidak valid" de el el... de el el.
Sang Buddha tidak mengajar siapa-siapa waktu berjalan dan mengucapkan Raungan Singa di Taman Lumbini? Menarik sekali! Kalau begitu bagaimana kita bisa tahu ceritera itu? Siapa yang menceritakan dan siapa yang diceritakan dan siapa saksinya?

Amiduofo,

Tan

Ada beberapa pertanyaan dari rekan Mahayanis yang memang tidak valid.
Tapi karena gelas yang penuh dengan air, makanya sampai sekarang masih belum bisa diterima...  /:)

Kisah pekikan setelah kelahiran Pangeran Siddhattha itu tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Oleh karena itu, ini kembali lagi pada pembacanya; ingin mengimani cerita itu atau berusaha menyikapinya dengan bijaksana.

Contoh pertanyaan Anda yang ini adalah tidak valid...
Karena itu, tidak perlu kita bahas lebih lanjut.


Quote from: Tan
TAN:

Jangan lupa pula, Sang Buddha ditemani oleh yakkha Vajirapani yang membawa2 gada. Gadanya sangat ampuh lho. Sekali hantam kepala orang bisa pecah jadi tujuh seperti biji arjaka. Dashyat sekali!

Yang sama juga jangan dibeda-bedakan. Hehehehe

Amiduofo,

Tan

Yang sama adalah statusnya; yakni sebagai petapa (bhikkhu atau bhiksu).  -> "memang tidak dibeda-bedakan"
Yang beda adalah tindak-tanduknya; yang satu pakai senjata yang satu meninggalkan senjata. -> "ini beda loh"



Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1252 on: 02 June 2009, 01:18:09 AM »
To Hendrako:

Mari perhatikan ungkapan Anda berikut ini:

Jangan khawatir bro...
Arahatnya bisa merosot.......

Bandingkan dengan yang ini:

Menurut pengertian saya sejauh ini, seorang Arahat tidak akan merosot.
Saya serius loh.

Kesimpulannya:

Anda orang yang plin plan dan kontradiktif.

Amiduofo,

Tan

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1253 on: 02 June 2009, 01:29:01 AM »
Quote
Tetapi kenyataannya Anda juga sudah berusaha menjelaskan bahwa nibanna, kendati Anda mengatakan bahwa "nibanna berada di luar konsep." Jadi penjelasan Anda juga kontradiktif. Anda menuduh seseorang melakukan kesalahan, tetapi pada kenyataannya Anda melakukan kesalahan yang sama. Pernyataan Anda (Xuvie): "Kenyataannya memang Nibbana dlm aspek transendental adlh di luar konsep." adalah juga sebuah KONSEP. Jadi pendek atau panjang Anda sudah berkonsep. Pelajaran dari hal ini adalah, kita hendaknya bijaksana dalam menuduh pihak lawan. Jangan-jangan Anda juga melakukan kesalahan sama yang mungkin lebih fatal.

Pertama, saya tidak menuduh Anda. Dan pernyataan saya 'nibbana di luar konsep' adlh mengutip dr pernyataan Sang Buddha Gotama. Ada rujukannya. Jadi saya tidak sembarang  berkata.
Memang benar, ada sedikit paradoks yg terjadi. Bahwa 'Nibbana ada di luar konsep' itu sendiri pun sebuah konsep. Tapi konsep inilah yg paling mendekati realitas. Krn tidak dijelaskan terlalu jauh melainkan diberikan rambu2 & syarat mengenainya yaitu Ajatam Abhutam Akatam Asankhatam.
Saat realitas dideskripsikan ke dalam tataran pikiran dan kata2, tentu mengalami degradasi dan distorsi, tidak lagi realitas melainkan konsep.
Mari bayangkan pertanyaan anda. Jika sejak awal Sang Buddha tidak mencoba menjelaskan sbagaimana dlm Udana 8:3 bahwa 'ada ke tidakterlahiran, keterciptaan, keterbentukan, ketak-berkondisian yg dpt dicapai dr apa yg terlahir, tercipta, terbentuk dan berkondisi', bagaimana orang bisa mengerti dan mencapai pembebasan dr yg terlahir, tercipta, terbentuk dan berkondisi karenanya? Singkatnya, bagaimana orang bisa mencapai tujuan dari Buddha Dhamma?
Hanya saja, Sang Buddha sebagaimana dlm Pali Sutta dan Agama Sutra tidak melakukan hal2 yg bertabrakan dg ajarannya sendiri. Berbeda dg yg ada dlm kanon Mahayana di luar Agama Sutra.
Jadi kembali lagi, sebenarnya, bila Anda mengakui kebenaran Agama Sutra, maka kata2 Buddha-Bodhisattva (diluar Agama Sutra), para Guru dan para pujangga buddhis, termasuk Anda bertabrakan sendiri dg yg tertera dlm Agama Sutra.

Quote
Saya perlu tanyakan kembali berulang kali. Kalau begitu nibanna tanpa sisa itu lebih tinggi dari nibanna bersisa donk. Karena dalam nibanna tanpa sisa semua skandha sudah dipadamkan, maka tentu lebih tinggi donk?
Kedua, nibanna tanpa sisa hanya dapat dicapai setelah kematian. Pertanyaan saya berarti nibanna tanpa sisa hanya terkondisi oleh kematian donk? Nibanna masih terkondisi kalau begitu? Anda belum menjawab pertanyaan saya: "Apakah seseorang dapat mencapai nibanna tanpa sisa tanpa melalui proses kematian?" Dapat atau tidak? Mohon dijawab yang jelas.
Saya tidak tanya definisi menurut kamus. Jika Anda tidak setuju bahwa setelah "padam" tidak ada apa-apa. Maka Anda seharusnya setuju bahwa setelah padam masih mungkin "ada apa-apa," bukan? Mohon dijawab juga yang jelas.

Silakan tanya berulang kali, yg jelas ini pertama kali Anda menanyakan pd saya scr langsung. :)
Mengapa Anda selalu mencari yg lebih tinggi? Ke-2 2nya bahkan belum saya realisasikan, bagaimana saya bisa menjelaskan yg lebih tinggi yg mana? Bahkan sejauh yg saya pelajari, pun tidak ada Sang Buddha membandingkan mana kondisi yg lebih tinggi. Jika saya bisa menjawabnya, entah bagaimana cara saya menalar seorang Samma Sambuddha. Entah saya melebihi beliau, atau ?
Batin yg telah mencapai Nibbana tidak ada pembedaan A lebih tinggi dari B. Hanya ada melihat A sebagai A dan B sebagai B. Sejauh inilah yg saya bisa nalar. Demikianlah.
Jadi saya hanya bisa memberikan penjelasan sejauh yg saya ketahui dan ada tercantum dlm teks. Harap dimaklumi.
Ada kelahiran maka tentu ada pelapukan dan penghancuran. Jika penghancuran unsur2 tsb yg Anda mksd dg kematian. Maka mencapai nibbana tanpa sisa tanpa melalui proses penghancuran adlh tidak mungkin. Krn bagaimana mungkin disebut 'tidak bersisa' jika 'tidak hancur'? Aneh.. Dlm kalimat pertanyaan Anda itu sendiri bertabrakan makanya saya memilih tidak menjawab sebelumnya.
Eits.. Gmnpun, perbendaharaan kata2 dan persepsi itu penting. Terkadang bisa jadi 2 orang merujuk 1 hal sama, tp krn berbeda kosa kata, maka jadilah perdebatan. Sebelumnya, saya telah menyarankan Anda utk memeriksa di kamus dan membedakan antara kata padam dg tidak ada.
Apabila Anda menyamakan ke-2 hal tsb. Anda seperti orang yg menyamakan bahwa arti kata Atheis sbg 'tidak percaya adanya Tuhan' sama dengan 'percaya bahwa tidak ada Tuhan'
Berhati2lah meskipun sekilas terlihat sama..
Jika saya setuju dg setelah padam masih ada apa2. Berarti saya bertentangan dg prinsip 'Nibbana adlh bukan ada, bukan tiada, bukan antara ada dan tiada, bukan bukan ada pun tiada' itu sendiri.
Mengapa masih terus mencoba memancing saya menjawab dlm jawaban yg salah?
Patuhilah aturan bermain..
Saya sendiri tidak merasa benar krn tdk menjawab. Jd sia2 bila ada serangan yg ditujukan pd pribadi saya.
Toh.. apa artinya? Ini semua hanya kata2, bkn sebuah pengalaman langsung. Jd saya semata ingin berdiskusi saja dan menyampaikan bbrp hal yg saya ketahui sebagaimana ada dlm kanon Pali dan membandingkan dg kanon Mahayana.

Quote
Oh ya. Jawabannya masih seperti ini juga. Kalau begitu semua kritikan terhadap Mahayana juga tidak "apply." Anehnya, Anda menyatakan bahwa Sang Buddha masih bisa "menuntut." Apakah seorang Buddha masih bisa "menuntut" seseorang? Keluar dari apakah tuntutan itu? Kata Anda sebelumnya sudah tidak punya keinginan lalu atas dasar apa Beliau menuntut? Penjelasan Anda kontradiktif dengan sebelumnya. Sang Buddha masih ingin agar Ambattha terhindar dari konsekuensi penghancuran kepala oleh Vajirapani, jadi Beliau menuntut jawaban dari Ambattha. Jadi Sang Buddha masih punya keinginan atau harapan donk? Bagaimana ini? Mana keterangan Anda yang benar?

Kenyataannya, memang demikianlah. Tidak diragukan lagi Anda seorang cendekia. Saya banyak belajar dr tulisan Anda. Tentunya Anda tahu bahwa inti diskusi adlh bertanya dan menjawab. Pertanyaan Anda selalu saya usahakan utk saya jawab dg baik. Tetapi bagaimana dg pertanyaan saya? Selalu Anda kembalikan, bertanya kembali. Dan terkadang mengarah ke pribadi, pdhl jelas yg saya tulis adalah sebagaimana yg tertera dlm kanon Pali.
Kalau begitu, katakanlah di bagian mana semua kritikan thdp Mahayana juga tdk 'apply'?

Menuntut itu hny sebuah penekanan, sbgmn yg saya tangkap dr pertanyaan Anda sbelumnya yg mengindikasikan seolah2 Sang Buddha menuntut jawaban. Jika Anda tidak merasa demikian..
Baiklah, anggaplah saya menulis 'menuntut' itu hanya pandangan subjektif saya dan tanggapan tulisan sy yg sedikit berlebihan atas tulisan Anda sebelumnya, jika Anda tidak menganggap Sang Buddha menuntut sebuah jawaban. Maafkan saya.
Sang Buddha bertanya pd Ambattha, krn apa yg ditanyakan harus dijawab. Apa yg dilakukan harus siap akan konsekuensinya toh? Setuju? Dan dia sendiri telah memulai perdebatan tsb. Karenanya wajar jika Sang Buddha bertanya akan jawaban dari dia. Krn perdebatan telah terjadi, maka wajar jika perdebatan harus berlangsung hingga akhir. Sedangkan Ambattha berhenti ditengah2. Jadi pertanyaan Sang Buddha bukan didorong oleh kehendak (cetana) spt keinginan dan pengharapan, melainkan sbuah tindakan fungsional (kiriya) dlm situasi tsb. Dan krn SB tidak bisa menghentikan, oleh belas-kasihnya, maka dia memberitahu pemuda Ambattha akan konsekuensi bila dia tidak menjawab utk ke-3 kalinya.

Quote
Kalau begitu semoga boss Anda yang bijaksana itu memarahi Anda di hadapan orang banyak agar Anda tidak mengulangi suatu kesalahan yang sama di kemudian hari (kalau ada).

OOT, krn sebelumnya Anda mengambil saya dan boss saya hny sebagai analogi dlm kasus Bhikkhu Sati.
Tp dari efek psikologis malu krn telah salah (hiri), yg tertanam lebih kuat dlm benak, tentunya Bhikkhu Sati menjadi lebih berhati2 lagi dlm bertindak kedepannya, krn takut akan berbuat salah lagi (ottapa).

Quote
Berarti tulisan saya juga benar donk, kalau Buddha mengucapkan hal itu untuk mengajar, karena toh Beliau mengulanginya di kemudian hari di hadapan siswa2Nya.
Di Mahayana banyak mukjizat? Hmm di non Mahayana tidak ada mukjizat ya? Lalu berikut ini apa?

1.Buddha memancarkan api dan air secara bersamaan.
2.Buddha menciptakan tangga keemasan saat turun dari surga setelah membabarkan Abhidhamma
3.Buddha melindungi Suriya ketika hendak dimangsa oleh Rahu, seperti yang tercantum dalam Samyutta Nikaya.
4.Nimmita Buddha yang berasal dari Buddha Sakyamuni
5.Batu hancur berkeping2 waktu Devadatta hendak membunuh Buddha.
dll.

Itu bukan mukjizatkah? Hmmmmm......
Itu mujizat, memang. Makanya perhatikan dong saya tulis 'penuh' sebelumnya. Di Theravada ada, tetapi tidak terlalu berlebihan dan dilebih2kan, gampangnya, "tidak penuh" hanya sekadarnya.

FYI, saya sendiri tidak terlalu meyakini cerita2 yg berlebihan dlm kitab2. Sebagaimana bbrp scholar yg menemukan adanya perubahan dan pergeseran isi Sutta seiring perubahan zaman.

Dan sekadar mengingatkan, krn ini board Mahayana ttg 'pertanyaan kritis mengenai Mahayana' jadi bahaslah sesuai tempat dan waktu. Bkn 'pertanyaan kritis ttg non-Mahayana' toh? ;D

_/\_
appamadena sampadetha

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1254 on: 02 June 2009, 01:42:46 AM »
UPASAKA:

Satu proses kehidupan berulang yang terus-menerus, telah melahirkan orang-orang bernama Sumedha... seekor anak ayam jantan... Pangeran Siddhattha Gotama. Ketika Pangeran Siddhattha terlahir, beliau mengucapkan :
"Inilah kelahiranku yang terakhir".

Maksudnya adalah inilah kehidupan terakhirnya, karena di kehidupan ini juga Pangeran Siddhattha akan menghentikan proses penerusan kehidupan. Bukti kongkretnya adalah... Di dalam Sutta (setidaknya yang saya tahu Sutta Theravada), selama perjalanan dalam mengumpulkan Parami, Bodhisatta tidak pernah menyatakan "inilah kelahiranku yang terakhir"; kecuali pada kelahirannya sebagai Pangeran Siddhattha.

TAN:
Well! Saya berhak menyatakan pula alur logika sebagai berikut: Pemuda Sumedha yang menerima Vekkarana dari Buddha Dipankara tidak merealisasi Penerangan Sempurna pada kurun waktu kehidupannya. Seekor anak ayam jantan tidak merealisasi Penerangan Sempurn pada kurun waktu kehidupannya. Itulah sebabnya, mereka tidak menyatakan “Inilah Kelahiranku yang terakhir.” Beda kasusnya dengan Pangeran Sidharta yang merealisasi Penerangan Sempurna pada kurun waktu kehidupannya. Karena itu, ia menyatakan bahwa itulah kelahirannya yang terakhir.
Konsep Mahayana sudah jelas bahwa nirmanakaya merupakan emanasi dari Dharmakaya, yang tujuannya adalah membimbing para makhluk menuju Jalan Dharma. Itulah sebabnya, Beliau mengucapkan mengenai “Kelahiran Terakhir” yang mengacu pada pembebasan dari samsara.
Jadi, ungkapan semacam itu memang sudah sesuai dengan “hakikat” nirmanakaya pada saat itu; yakni “memperagakan” suatu “drama” Penerangan Sempurna. Demikianlah pandangan Mahayana. Karena itu, pertanyaan bahwa “seseorang yang sudah merealisasi Penerangan Sempurna di masa lampau” kini “mencapai Penerangan Sempurna lagi tidaklah valid. Mengapa? Karena Penerangan Sempurna itu hanya suatu “drama agung” demi mengajar umat manusia.
Selanjutnya, pernyataan saya bahwa itu adalah “kelahiran terakhir” bagi sosok Siddharta juga tetap valid, karena pada kenyataannya pada masa berikutnya memang tidak ada sosok Pangeran Siddharta lagi; terlepas dari apakah Sang Bodhisatta pada kehidupan lampaunya pernah mengucapkan proklamasi semacam itu ada tidak.
Kalau mau pakai bahasa ngotot-ngototan saya juga bisa berkelit dengan menyatakan bahwa mungkin saja Bodhisatta Sumedha di masa lalu mengucapkan hal semacam itu, hanya saja tidak dicatat dalam Tipitaka. Toh di Tipitaka juga tidak mencatat semua hal. Anda mungkin membantah: “Bagaimana bisa!” sambil memelototkan mata. Saya bilang bisa saja! Toh Tipitaka juga tidak mencatat warna celana yang dipakai Sumedha. Jadi Tipitaka tidak mencatat segalanya. Mungkin Anda membantah lagi dengan menyatakan: “Ah, pernyataan spekulatif!” Memang spekulatif, tetapi Anda tidak bisa membuktikan secara PASTI bahwa pernyataan saya salah. Selama Anda tidak bisa melakukan TIME TRAVEL dan mengunjungi masing-masing kehidupan Bodhisatta itu di masa lampau, maka apa yang saya ungkapkan masih mungkin memiliki derajat kebenaran; sehingga Anda tidak punya hak untuk mengklaimnya sebagai kesalahan.

UPASAKA:
Coba telaah pernyataan pertentangan di bawah ini :
- lampu bohlam itu terus menyala selama 1 jam
- lampu bohlam itu tidak menyala selama 1 jam
=> Kesimpulan : sepintas kedua lampu itu tampaknya memang menyala, namun pernyataan kedua tidak sejalan dengan pernyataan pertama. Karena durasinya tidak sama - alias pernyataan yang bertentangan.

TAN:
Ah ya benar sekali! Tapi tambahkan pula pernyataan bahwa kedua statemen di atas harus mengacu pada satu lampu, pada tempat, dan waktu yang sama. Tanpa tambahan keterangan itu, mungkin saja masing-masing statemen mengacu pada dua lampu bohlam yang berbeda atau satu lampu pada saat yang berbeda.
Anggap saja semua kondisi sudah dipenuhi. Tetapi seperti kelitan yang biasa dilontarkan rekan non Mahayanis, saya juga akan menjawab bahwa analogi atau dua statemen Anda di atas tidak valid bila dikenakan pada kasus Mahayana (dan memang menurut saya adalah demikian adanya).
Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1255 on: 02 June 2009, 01:58:24 AM »
UPASAKA:
Untuk kesekian kalinya...

Manusia bisa ada karena paduan nama-rupa. Nama-rupa ada karena ada penyebab-penyebabnya. Jika penyebab-penyebabnya tidak lagi berpadu, maka tidak akan ada lagi nama-rupa. Kalau tidak ada lagi nama-rupa, maka tidak akan ada lagi manusia. Jadi Parinibbana adalah terhentinya semua sebab-sebab dukkha.
TAN:
Tetapi bagaimanapun juga penjelasan non Mahayanis selalu memancing dikotomi antara nibanna dan parinibbana. Ini yang justru membuat segalanya menjadi rumit dan terkesan kontradiktif. Jika parinibanna adalah terhentinya semua sebab-sebab dukkha, maka ketika seorang Buddha “baru” mencapai nibanna (belum parinibanna) maka sebab-sebab dukkha itu masih ada. Demikiankah maksud Anda? Karena itu, berdasarkan konsep di atas, nibanna sebagai pembebasan dukkha adalah omong kosong dan salah. Parinibbanalah yang menjadi pembebasan dari semua sebab-sebab dukkha. Lalu pertanyaan saya apakah gunanya nibanna apakah gunanya parinibanna? Apakah parinibanna dan nibanna itu adalah dua entitas yang terpisah?
UPASAKA:
 
Konsep Theravada jelas sekali. Tidak ngjlimet. Selalu konsisten. Diuraikan dengan jelas sampai bagian-bagian terkecilnya, yaitu gejolak-gejolak batin yang menjadi penyebab-penyebab dukkha. Ketika seseorang mampu memutuskan akar penyebab ini, maka dia sudah merealisasi Nibbana. Karena itulah ketika memasuki Parinibbana, Buddha tidak lagi bisa ditemukan di manapun dan kapanpun.

TAN:
Tidak juga. Justru tidak konsisten. Contohnya seperti dikotomi antara nibanna dan parinibanna; antara nibanna dengan sisa dan tanpa sisa. Kalau benar nibanna tanpa sisa itu tak terkondisi, mengapa hanya dapat dicapai setelah kematian? Pertanyaan saya :”Apakah nibanna tanpa sisa dapat dicapai tanpa kematian?” tidak pernah dijawab. Justru ini membuktikan ketidak-konsisten pandangan non Buddhis tentang nibanna.

UPASAKA:
Buddha bukan lenyap; karena tidak ada diri yang lenyap setelah Parinibbana. Buddha bukan kekal; karena tidak ada diri yang kekal setelah Parinibbana. Buddha bukan tidak lenyap; karena penyebab dukkha sudah terhenti sehingga proses penghidupan sudah tidak berjalan. Buddha bukan tidak kekal; karena penyebab dukkha sudah tidak berpadu sehingga proses penghidupan sudah tidak saling mengkondisikan.

TAN:
Hahaha. SEkarang meminjam dari postingan rekan non Mahayana di sini, bahwa kalau ada dua hal yang bertentangan, maka tidak mungkin dua-duanya benar. Mari kita cermati dua statemen Anda:
1.Buddha bukan lenyap
2.Buddha bukan kekal
Mana dia antara dua pernyataan yang saling bertentangan itu yang benar?
Mari kita cermati pernyataan ini: “karena tidak ada diri yang lenyap setelah Parinibbana.” Pertanyaan saya: “Sebelum parinibanna masih ada diri tidak?”

UPASAKA:

Kalau saya uraikan seperti itu, rasanya penjelasan Nibbana versi Theravada bukan "di luar konsep" kan?
Kecuali Anda belum mengosongkan gelas, sehingga konsep ini memang akan selalu di luar pemikiran Anda.
TAN:
Ada rekan non Mahayanis yang menyatakan bahwa nibanna itu di luar konsep, tetapi sekarang Anda menyatakan bukan di luar konsep. Nah lagi-lagi mana yang benar nih?

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1256 on: 02 June 2009, 02:13:18 AM »
UPASAKA:

Sang Buddha berulang-kali bertanya pada Ambatha, karena ingin membuat Ambatha mengoreksi dirinya sendiri.
Sang Buddha menegur Ambatha adalah wujud metta-karuna-Nya kepada Ambatha; memberi nasehat agar kepala Ambatha tidak akan terbelah tujuh.
Sang Buddha tidak berusaha mencegah yakkha, karena Sang Buddha sudah tahu kalau Ambatha pasti akan menjawab pertanyaan-Nya.

TAN:
Jawabannya masih yang itu-itu juga. Anda bilang: “karena INGIN membuat Ambatha mengoreksi dirinya sendiri” Berarti Sang Buddha punya keinginan donk? Ini sekali kontradiktif dengan pernyataan2 sebelumnya, bahwa seorang Buddha tidak punya keinginan lagi. Ternyata menurut Anda Buddha masih punya keinginan lho.
Pertanyaan saya: Jika Sang Buddha tahu bahwa Ambattha tidak akan menjawab pertanyaannya, apakah BEliau akan mencegah sang yakkha mengayunkan gadanya?
UPASAKA:
Ada yang ingin saya tanyakan :
- Menurut Anda pertanyaan Sang Buddha itu sepele ya?
- Jadi menurut Anda, Sammasambuddha itu bisa-bisanya mengucapkan kata-kata sepele?
- Menurut saya, Anda sudah cukup cerdas untuk dapat memetik amanah dari Sutta itu. Tapi kenapa Anda terus mengungkit Sutta itu? Apakah Anda ingin memakai Sutta itu sebagai topik perbandingan?
- Lantas menurut Anda, seperti apakah amanah dari Sutta itu?
TAN:
Ada yang ingin saya jawab:
-Menurut saya YA. Mengapa? Karena yang diributkan adalah masalah status atau kedudukan. Tentunya bagi seorang Samyaksambuddha suatu status adalah “tidak penting lagi” bukan? Atau menurut Anda status atau kasta (Brahmana vs. Khattiya) masih penting bagi seorang Sammasambuddha? Jika bagi Anda pertanyaan itu bukan sepele, maka kesimpulannya seorang Sammasambuddha masih mementingkan status.
-Bagi saya seorang Sammasambuddha TIDAK bisa mengeluarkan kata-kata sepele. Jadi kemungkinannya Sutta itu yang bermasalah, jadi bukan Sammasambuddhanya. Nah, biasanya rekan non Mahayanis mengkritik Sutra Mahayana, kini giliran saya mengkritik Sutta non Mahayanis.
-Menurut saya, banyak rekan non Mahayanis yang sudah cukup cerdas untuk memetik amanah dari ajaran Mahayana. Tapi kenapa mereka terus mengungkit ajaran Mahayana? Apakah mereka ingin mempertobatkan semua umat Mahayana menjadi non Mahayana?
-Semua kitab termasuk yang bermasalah sekalipun tetap ada amanatnya. yaitu: “Jangan menuduh dan merendahkan orang sembarangan. Jangan-jangan orang yang merendahkan atau menuduh itu justru punya kesalahan yang lebih besar.” Waktu Ambattha memaki suku Sakya sebagai keturunan rendah, justru Ambattha sendiri yang keturunan wanita pelayan. Nah ini pelajaran berharga yang bisa dipetik. Jangan merendahkan kalau tidak mau direndahkan.

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1257 on: 02 June 2009, 02:26:19 AM »
UPASAKA:
Bhikkhu Sati merunduk malu itu artinya kalau beliau menyadari kesalahan-Nya. Ucapan Sang Buddha yang tegas itu tidak didasari oleh kekasaran. Mau buktinya? Coba periksa apakah Sang Buddha merugikan Bhikkhu Sati? Jawabannya tentu tidak, justru 'hardikan' Sang Buddha itu membuat Bhikkhu Sati tersadarkan. Dengan kata lain, ucapan Sang Buddha itu memberi keuntungan bagi Bhikkhu Sati.
TAN:
Dengan alasan yang sama. Apakah seorang Bhikshu Zen yang memukul dengan tongkat merugikan muridnya? Jawabannya tentu tidak, justru “pukulan” tongkat itu membuat siswa tersadarkan dan kembali bermeditasi dengan benar. Dengan kata lain, “pukulan” tongkat itu memberi keuntungan bagi sang siswa.
UPASAKA:

Sang Buddha 'menghardik' Bhikkhu Sati di depan umum karena Bhikkhu Sati telah melakukan kesalahan di depan umum; dengan mengemukakan pandangan salahnya - yang beliau ucapkan seolah sebagai kebenaran. Tujuan Sang Buddha 'menghardik' Bhikkhu Sati di depan umum, agar bhikkhu lainnya mendapat klarifikasi langsung dari Sang Buddha. Sekaligus memberi petikan amanah yang juga bermanfaat bagi bhikkhu lainnya.

TAN:
Begitu pula, seorang Bhikshu Zen memukul dengan tongkat atau membunuh seekor kucing karena para siswanya telah melakukan kesalahan. Dengan “memukul” atau memberikan tindakan semacam itu – yang beliau lakukan seolah sebagai kebenaran, tujuan sang Bhikshu adalah membenarkan kesalahan murid-muridnya. Sekaligus memberikan petikan amanah yang juga bermanfaat bagi para siswa lainnya.
UPASAKA:
Pertanyaan dari saya untuk Anda :
- Apakah bijaksana apabila Anda dan rekan kerja di kantor Anda sedang cekcok, lalu Boss Anda dengan senyum tulusnya menasehati kalian sambil membunuh kucing di hadapan kalian untuk memberi inspirasinya?
- Apakah tindakan seperti itu memberi keuntungan? Yang jelas si kucing justru mendapatkan petaka; karena dibunuh. Selain itu, Office Boy juga merasa dirugikan; karena demi melerai perselisihan, Boss Anda mengotori ruangan kantor dengan bangkai kucing.

Coba renungkan baik-baik, Bro!
TAN:
Jawaban dari saya untuk Anda:
-Kalau pembunuhan kucing itu dapat menjadikan saya tercerahi, maka itu adalah bijaksana. Sang kucing berjasa karena berperan serta dalam proses pencerahan, juga akan bertumimbal lahir di alam yang lebih baik. Everybody happy kalau segala sesuatu dilakukan dengan bijaksana. Tidak ada yang dirugikan di sini.
-Sudah dijawab di atas. Office Boy belum tentu dirugikan kalau si boss membersihkan sendiri bangkai kucingnya. Dengan asumsi si Boss bijaksana, maka tentunya ia akan membersihkan sendiri bangkai kucingnya; kecuali kalau si office boy memang dengan penuh suka cita membersihkan ruangan dari bangkai kucing. Sekali lagi semua hanya sekedar asumsi.
Coba renugkan baik-baik, Bro!
Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1258 on: 02 June 2009, 02:45:03 AM »
XUVIE:

Dan sekadar mengingatkan, krn ini board Mahayana ttg 'pertanyaan kritis mengenai Mahayana' jadi bahaslah sesuai tempat dan waktu. Bkn 'pertanyaan kritis ttg non-Mahayana' toh?

TAN:

Wah ga bisa begitu donk. Ga adil! Apakah rekan-rekan non Mahayanis boleh mengkritik Mahayanis sedangkan rekan2 Mahayanis tidak boleh mengkritik non Mahayanis? Kritikan itu adalah bagian dari jawaban yang tak dapat dipisahkan. Saya bisa buka thread sendiri, tetapi tidak akan efektif karena semuanya berkaitan. Akan membuang2 waktu kalau saya harus membalas di dua thread padahal keduanya saling berkaitan.
Jika rekan2 non Mahayanis tidak bersedia dikritik, maka dengan senang hati saya akan mundur. Untuk apa saya berdiskusi dengan orang yang tidak bersedia balik dikritik?

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1259 on: 02 June 2009, 02:54:17 AM »
XUVIE:

Itu mujizat, memang. Makanya perhatikan dong saya tulis 'penuh' sebelumnya. Di Theravada ada, tetapi tidak terlalu berlebihan dan dilebih2kan, gampangnya, "tidak penuh" hanya sekadarnya.

TAN:

Bagaimana kriteria Anda menentukan suatu mukjizat itu berlebihan atau tidak? Apakah kriterianya? Agama lain juga akan menyatakan bahwa mukjizat mereka tidak berlebihan. Ini sangat subyektif. Pernyataan Anda bahwa mukjizat di Mahayanis berlebihan dan di non Mahayanis tidak berlebihan adalah sangat subyektif. Saya juga bisa menyatakan mukjizat di Mahayanis tidak berlebihan.

Mukjizat sekadarnya? Apakah yang Anda maksud dengan mukjizat sekadarnya? Bagaimanakah kriteria sekadarnya? Untuk menyingkat pembicaraan. Bagi saya kriteria sekadarnya itu sangat subyektif. Tiap orang boleh memberikan kriterianya sendiri2. Kriteria Anda mungkin tidak berarti apa2 bagi saya. Sebagai tambahan, mukjizat adalah "pembelokan" dari hukum alam, jadi seharusnya tidak ada istilah sekadarnya.

Amiduofo,

Tan