//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...  (Read 663565 times)

0 Members and 3 Guests are viewing this topic.

Offline naviscope

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.084
  • Reputasi: 48
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #765 on: 25 April 2009, 03:32:51 PM »
Pada mulanya, pemisahan antara Sthavira dan Mahasanghika.

kalau M, itu turunan nya Mahasanghika

;)

CMIIW,

navis
Tinggalkan masa lalu, lepaskan beban akan masa depan, tidak terikat dengan yang sekarang maka kamu akan merasakan kedamain batin.

Leave the past alone, do not worry about the future, do not cling to the present and you will achieve calm.

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #766 on: 26 April 2009, 11:39:00 AM »
yang tidak berlebihan yang bagaimana bro.sobat ?

Mencari ke dalam dan memeriksa diri, serta tidak menjadikan “diri” sebagai pegangan.

Nah, justru karena ketika seorang BODHISATVA, tetap berkutat pada janji/ikrar/sumpahnya untuk menyelamatkan makhluk, tidak bisa merealisasikan ke-BUDDHA-an, TIDAK BISA... BUKAN BISA TAPI DITUNDA... Ini adalah sesuatu yang berbeda konteks-nya... Justru harus melepas keinginan tersebut (bahkan keinginan luhur/chanda) sekalipun...

Menurut Mahayana, seorang Bodhisattva yang sedang mempraktikkan upaya kausalya, dapat terus mengembangkan keenam paramita. Dengan demikian ia terus menerus mempertahankan suatu kondisi yang mendekati realisasi nirvana tanpa melekat dengan apa yang dilakukannya. Dengan cara ini ia hidup di dunia meski tidak terikat padanya dan terus menerus mempertahankan suatu kondisi di mana jika ia “inginkan” kelak, ia bisa langsung meneruskan latihannya hingga mencapai Buddha Sempurna.

Ingat makna tersirat dalam proses penyiksaan diri Pangeran Siddharta sebelum mencapai pencerahan sempurna, bagaimana Siddharta yang akhirnya sadar bahwa untuk meninggalkan kehidupan penyiksaan diri (yang ternyata tidak dapat membawa pada pembebasan) selama 6 tahun. Bahwa pada dasarnya KETIKA TIDAK ADA YANG DIKEJAR, MAKA ITULAH HASIL MAKSIMAL YANG BISA DIDAPATKAN.

Dalam hal ini, seorang Bodhisattva saat berusaha menyelamatkan seluruh makhluk hidup, ia tetap mempertahankan pikiran bahwa pada hakikatnya “tidak ada yang dibantu ataupun membantu karena itu tidak ada tindakan membantu” dengan demikian dikatakan walaupun berbuat tapi tidak berbuat, karena itu tidak ada hasil yang dicapai ataupun hal yang dilepaskan olehnya. Inilah praktik Prajna Paramita.

Ingat juga cerita bagaimana Y.A. Ananda mencapai kesucian Arahat dalam postur setengah miring (ketika akan tidur), yaitu sewaktu Ananda melepaskan KEINGINAN KUAT UNTUK MENCAPAI ARAHAT karena waktu pelaksanaan konsili sangha pada keesokan hari-nya yang begitu mendesak Ananda...

Itu-lah maknanya... Secara alamiah, ajaran BUDDHA mengajarkan kepada umat-nya untuk bersandar pada diri sendiri, karena tidak ada yang bisa menolong kita, kecuali kita sendiri mau ditolong dan bertindak sendiri untuk menolong diri kita sendiri. ITU ESENSI-nya.
Sebaliknya, makna cerita itu tidak mengatakan tentang bersandar pada diri sendiri. Justru ketika ia melepaskan usaha dan mengatakan pada tidak ada yang dikejar, maka bersamaan dengan itu ia melepaskan “diri yang mengejar” atau ego-diri. Ketika seseorang merasa ia masih berusaha mencapai sesuatu, maka di sana ego-diri lah yang “berusaha”, sebaliknya ketika pikiran “berusaha” ditinggalkan ego-diri juga berlahan-lahan ditinggalkan.

Kemudian Subhuti berkata kepada Hyang Buddha, "Yang Dijunjungi, jika seorang laki-laki atau wanita bajik bertekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi, bagaimana seharusnya dia bertumpu, bagaimana seharusnya dia mengendalikan hatinya?"

Hyang Buddha memberitahu Subhuti, "Seorang laki-laki atau wanita bajik, yang bertekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi harus berpikiran demikian:"Aku harus membebaskan semua makhluk hidup dari arus tumimbal lahir, tetapi bila semua makhluk hidup sudah dibebaskan dari tumimbal lahir, sebenarnya sama sekali tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan. Mengapa begitu? Subhuti, jika seorang Bodhisattva masih mempunyai ciri keakuan, ciri manusia, ciri makhluk hidup dan ciri kehidupan, maka dia bukanlah seorang Bodhisattva. Apa sebabnya? Subhuti, sebenarnya tidak ada Dharma tentang tekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi.

Perhatikan kalimatnya, “Seorang laki-laki atau wanita bajik, yang bertekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi harus berpikiran demikian: ‘Aku harus membebaskan semua makhluk hidup dari arus tumimbal lahir’ [...]” Lihat kalimat ini menggambarkan tentang ikrar Bodhisattva, yaitu tekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi. Kalimat ini lebih tepatnya menggambarkan sebuah “tekad”  yang harus dimiliki sebagai landasan awal jalan Boddhisattva.

Namun dalam mempraktikkan jalan Bodhisattva, ia harus menyelami Prajna-Paramita, bersama dengan kelima paramita lainnya. Kesadaran bahwa “...bila semua makhluk hidup sudah dibebaskan dari tumimbal lahir, sebenarnya sama sekali tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan” adalah cerminan dari kebijaksanaan prajna–paramita yang melihat segala sesuatu sama dengan sunyata, dan sunyata adalah segala sesuatu.

Oleh karena itu, dikatakan Bodhisattva bebas dari keempat corak (atau ciri).Yang dimaksud sebagai keempat corak atau ciri tersebut adalah rintangan yang menghambat sravaka dan Pacceka-Buddha menjalani jalan Bodhisattva. Keempat corak itu, yaitu ‘corak aku’, ‘corak manusia’, ‘corak makhluk’ dan ‘corak kehidupan’ masing-masing bisa dijelaskan berikut ini (berdasarkan Sutra Maha Kesadaran Yang Sempurna):

‘Corak aku’ muncul ketika seseorang berusaha membuktikan dirinya merealisasi nirvana yang tenang dan suci. Ia meyakini bahwa nirvana dalah kondisi batin. Keyakinan ini membuktikan bahwa dirinya masih diliputi oleh sebuah kesadaran subjektif yang mencerminkan keakuan. Pandangan ini muncul karena adanya keyakinan dari semula bahwa hanya “aku” yang bisa mencapai nirvana, sehingga ia memisahkan antara “pengalaman internal” dengan “pengalaman eksternal”. Jika seseorang merasa mencapai Nirvana dengan pemikiran demikian maka ia sebenarnya ia belum merealisasi Nirvana yang sebenarnya.

‘Corak manusia’ adalah kecenderungan di mana ketika seseorang merasa dirinya telah merealisasi nirvana dan ia kemudian menganggap bahwa ia mencapai nirvana, maka ia terjebak pada anggapan yang sebenarnya masih mencerminkan bahwa ia masih memiliki kedirian.

‘Corak makhluk’  adalah rintangan yang muncul ketika ia berhasil menyadari bahwa ‘corak aku’ dan ‘corak manusia’ pada dasarnya adalah kosong tanpa inti, namun ia kemudian menganggap dirinya telah lepas dari corak aku dan corak manusia, sehingga ia merasa menjadi suci. Karena ia masih belum terlepas dari kesan ‘menganggap dirinya’, maka pikiran tersebut adalah ‘Corak makhluk’.

Singkatnya: membuktikan dirinya telah mencapai pencerahan adalah Corak Aku, menganggap dirinya telah sadar adalah Corak Manusia, pemahaman bahwa ia tidak memiliki corak apapun adan Corak Makhluk.

Selanjutnya, karena memiliki ‘daya paham’ akan corak-corak tersebut maka ia dikatakan memiliki Corak kehidupan. Karena bagaimanapun ‘daya paham’ mencerminkan adanya ‘pemahaman’ itu sendiri, yang berarti seseorang masih berjebak dalam diri. Bahkan kesadaran dan daya pengertian yang akan ketiga corak itu sendiri pun pada dasarnya adalah debu, oleh karena itu ‘daya pemahaman’ dan ‘daya sadar’ demikian juga dilepas.

Dalam hal ini, ke-Bodhisattva-an sebenarnya adalah kondisi yang bebas dari keempat corak sehingga dengan demikian meskipun ia tetap tinggal dalam samsara, namun ia tidak pernah melekat padanya.   
 
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #767 on: 26 April 2009, 11:41:15 AM »
Quote from: sobat-dharma
Anda salah paham. Dalam praktik Buddhadharma, ukuran yang digunakan tetap mengutamakan sila. Tetapi kalau anda adalah seorang tentara di medan perang bisakah anda tetap bertahan untuk tidak membunuh?

Ok. Kalau begitu kita sependapat.


Quote from: sobat-dharma
Tentu. Memangnya bertanya yang demikian?

O... Nirvana merupakan hasil.
Jadi Nirvana adalah akibat dari suatu sebab.  :-?


Quote from: sobat-dharma
Sabar dan tidak sabar dalam konteks bahwa kita harus bersabar kapanpun nirvana terealisasi. Pandangan Mahayana  bahwa bodhisattva siap menunda realisasi nirvana demi makhluk lain mencerminkan sikap sabar tersebut. Sikap sabar adalah bagian dari praktik enam paramita yang justru membantu seseorang merealisasi nirvana, bukan menghambatnya.

Saya jadi ingin bertanya...

Misalnya : Di kehidupan ini, seorang Bodhisatva menunda perealisasian Nirvana dengan mengorbankan nyawanya. Kemudian di kehidupan berikutnya, Bodhisattva itu (setelah bertumimbal lahir maksudnya) kembali menunda perealisasin Nirvana dengan mengorbankan nyawanya. Dan di kehidupan-kehidupan selanjutnya juga demikian... Jadi sampai kapan Bodhisattva itu menunda penundaannya?


Quote from: sobat-dharma
Tetapi saya juga mengatakan setiap kehidupan adalah kehidupan ini. Jadi nirvana ada di dalam setiap kehidupan manapun dan kapanpun. Namun realisasinya tergantung pada kesempurnaan praktik paramita dan bagaimana akhirnya  berhasil menyingkirkan dua rintangan: klesavarana (rintangan kekotoran batin) dan jneyavarana (rintangan pengetahuan).

Yup. Anda mengiyakan komentar saya. :)


Quote from: sobat-dharma
Bisa. Tapi dalam hal seperti ini rasanya lebih tepat jika kamu tanyakan pada penganut Tantra dan Tanah Murni. Saya kurang kompeten menjelaskan hal demikian.

OK. :)


Quote from: sobat-dharma
Kalau bilang mau, tentunya mau. Kalau kemampuan masih dipertanyakan :)

Jadi memang tidak mungkin bagi seseorang untuk dapat menolong semua makhluk, ya...?


Quote from: sobat-dharma
Tentu saja pernah. Tapi hebatnya anda pertentangan pikiran dan hati yang demikian dibawa terus dan dengan sengaja dipelihara… Itu yang membuat saya heran :)

Makanya saya minta pencerahan dari Anda untuk kasus itu...

Melihat arah diskusi kita terakhir ini, saya menilai mulai menjadi kontra-produktif. Oleh karena itu, saya pikir perlu untuk mengkerecutkan isu yang didiskusikan.

Pertama-tama, saya menilai kalau keberatan bro. Upasaka berkaitan dengan ikrar Bodhisattva yang dinilai tidak sesuai dengan logika dan akal sehatnya. Dalam hal ini, saya menilai bro. Upasaka terlalu mengandalkan logika dan akal sehat. Kritik saya kemudian sekitar penggunaan logika dan akal sehat sebagai standar kebenaran, yang kemudian oleh sdr. Upasaka jawab dengan pentingnya segala sesuatu dinilai dengan akal sehat dan logika sebelum diterima.

Pada bagian penjelasan ini, saya tetap keberatan dengan penggunaan logika dan akal sehat sebagai ukuran semata dalam menilai ikrar bodhisattva, mengapa?

Pada sudut pandang tertentu ikrar Bodhisattva tidak terlalu berbeda dengan meditasi objek metta dalam Theravada. Dalam meditasi dengan objek metta, misalnya seseorang diminta untuk mengharapkan kebahagiaan semua makhluk. Bukankah dengan mengharapkan kebaikan semua makhluk hidup, bukan berarti secara otomatis semua makhluk akan langsung mengalami kebahagiaan seperti yang diharapkan?  (Jika dipandang dengan akal sehat serupa) Namun, ternyata meditasi metta toh ternyata dapat bermanfaat untuk seorang meditator. Hal yang sama berlaku untuk ikrar Bodhisattva untuk membantu semua makhluk hidup merealisasi nirvana.

Dalam hal ini Santideva dalam Bodhicaryavatara menulis:

“Bila sekedar berpikir hendak menyembuhkan
Makhluk lain dari sakit kepala saja
Adalah suatu kehendak baik
Yang dipenuhi kebajikan tak terbatas.

Lantas bagaimana menjelaskan
Tentang kehendak untuk menghapuskan penderitaan
Mereka yang tiada terhitung
Yang menginginkan agar masing-masing dari mereka
Mencapai kebajikan tidak terbatas?

[...]

Kehendak membawa kebajikan bagi semua makhluk yang
Demikian
Yang tak tumbuh pada mereka yang tak menginginkan
Kebajikan bagi diri sendiri
Adalah permata pikiran yang tiada banding
Dan kelahirannya belum pernah terjadi sebelumnya dalam
Pengembaraan samsara

[...]
Namun bila pikiran baik yang muncul (dalam
Memandangnya)
Buahnya akan berlipat ganda jauh melampaui
Penyebabnya
Saat Bodhisattva mengalami penderitaan berat ia tidak
Bersikap buruk
Oleh sebab itu kebajikannya terus berkembang dengan sendirinya”

Pada kata-kata di atas, jelas ikrar Bodhisattva dinilai sebagai cara membangkitkan pikiran yang positif, tidak dinilai dari segi nyata atau tidaknya. Bahkan ketika kita membangun pikiran yang positif akan seseorang saja, maka hasilnya akan memberikan dampak yang positif untuk kita. Bagaimana kita membangun pikiran yang positif akan kebaikan semua makhluk hidup tanpa memilah-milah? Bukankah akan semakin kuat dampak positifnya?

Dengan ikrarlah, seorang Bodhisattva mulai membangun kebajikan yang tanpa batas:

“Sejak saat itu
Meskipun tidur ataupun tak sadar
Kekuatan kebajikannya seluas angkasa
Akan tiada habisnya mengalir.”

Kebajikan tanpa batas ini yang disebut sebagai Bodhicitta:

“Segala kebajikan yang lain bagaikan pohon yang ditanam
Setelah berbuah ia punah begitu saja
Sebaliknya pohon abadi Bodhicitta
Tak akan berhenti berbuah, bahkan terus berkembang

Bodhicitta atau dalam pengertian ini adalah ikrar Bodhisattva merupakan landasan bagi seorang calon Bodhisattva untuk membangun pikiran dan tekad tak terbatas untuk mempraktekkan Buddha Dharma hingga mencapai Kebuddhaan Yang Sempurna. Ia adalah bahan bakar tak habis-habisnya yang mendukung tekad tersebut.
Oleh karena itu tidak tepatlah hal demikian ditakar dengan logika dan akal sehat. Karena tekad Bodhisattva bukanlah suatu pernyataan afirmasi akan suatu kebenaran objektif. Sebaliknya ia adalah suatu pernyataan sederhana yang sifatnya subjektif, namun lebih mencerminkan suatu tekad dan semangat.

Meskipun saya melihat sebenarnya selama ini bro. Upasaka menggunakan pengertiannya yang luas dan longgar untuk kedua konsep tersebut. Jika ia, “bertanya mungkinkah hal demikian terjadi?” yang dipermasalahkan oleh dia bukanlah logis atau tidaknya isi ikrar Bodhisattva tersebut, melainkan nyata atau tidak nyatanya isi Ikrar tersebut.  Dalam arti ia mempertanyakan apakah isi ikrar tersebut  mempertimbangkan aspek realitas atau tidak. Bro Upasaka lebih bertindak selaku seorang penganut realisme yang sedang mempertanyakan suatu idealisme yang dinilainya tidak sesuai dengan “akal sehat”-nya sebagai realis, ketimbang seorang yang menggunakan kaidah-kaidah dalam ilmu logika untuk mengevaluasi isi pernyataan ikrar. Jika ia menggunakan kaidah-kaidah dalam logika, seharusnya ia sadar hukum dalam ilmu logika: “Semua logis belum tentu nyata.”  Karena logika adalah sistem kebenaran simbolik yang terisolasi dengan kenyataan empirik. Sedangkan yang dipertanyakan Bro. Upasaka apakah hal yang demikian “mungkin terjadi.”

Dalam realisme yang dianut oleh Bro. Upasaka sebenarnya yang bekerja adalah “akal sehat” yang didasarkan pada keyakinan umum akan mungkin atau tidaknya suatu hal terjadi. Akal sehat demikian hanyalah cerminan apa yang berlaku pada pandangan masyarakat umum, ketimbang suatu kebenaran yang pasti. Misalnya, jika masyarakat Abad 18 ditanyakan apakah mungkin seseorang menangkap listrik di dalam bola kaca atau sebuah benda berat terbang di udara dan turun lagi dengan selamat, maka mereka akan menertawakan sebagai tidak masuk akal. Namun, jika masyarakat saat ini ditanyakan hal yang sama, maka jawabanya akan bertentangan dengan masyarakat Abad 18. Mengapa demikian? Karena akal sehat demikian hanya dibentuk oleh keterbatasan pengetahuan dan apa yang berlaku sebagai keyakinan umum apa yang mungkin dan tidak mungkin.

Nah, sekarang mari kita bertanya apakah mungkin seseorang menyelamatkan semua makhluk hidup dalam samsara? Tentu dengan akal sehat dan batas pengetahuan saat ini kita cenderung akan menjawab tidak mungkin. Tetapi ingat, dalam posisi ini kita tidak berbeda dengan masyarakat Abad 18 ketika ditanyakan tentang pesawat dan bola lampu. Jawaban kita atas pertanyaan ini dibatasi oleh pengetahuan dan keyakinan umum yang dianut oleh kita semua. Meskipun demikian, saya tidak bermaksud untuk menjawab dengan yakin dan pasti bahwa seseorang bisa menyelamatkan semua makhluk hidup dalam samsara, namun saya juga tidak akan mengatakan dengan pasti juga bahwa tidak mungkin ini terjadi. Pada dasarnya semua kemungkinan bisa terjadi jika hal tersebut berkaitan dengan realitas. Bahkan untuk pengetahuan-pengetahuan tentang dunia material saja kita masih akan menemukan banyak surprise di kemudian hari, bagaimana dengan Jalan Kebodhisattvaan yang melampaui dunia material?

Sebagai sumber kekuatan kebajikan, Bodhicitta justru harus melawan semua akal sehat yang dianut oleh realisme yang dibentuk berdasarkan cara pikir umum belaka. Dalam meditasi metta, hal yang sama juga berlaku. Mengharapkan kebahagiaan semua makhluk hidup bukan berarti bisa terjadi tiba-tiba semua makhluk hidup bebas dari kebahagiaan. Ukuran-ukuran keyakinan umum seperti kuantitas, waktu dan ruang sebagaimana dalam pengertian objektivisme justru menghambat niat dalam memancarkan metta. Dalam hal ini, kita harus memancarkan metta pada makhluk ke segala penjuru tanpa mempertimbangan objektivitas ruang dan waktu. Bahkan konon, dalam Theravada pun percaya bahwa ketika kita memancarkan metta dengan konsentrasi yang kuat seseorang akan lambat laun merasakan kebahagiaan yang kita pancarkan padanya. Dalam ikrar Bodhisattva hal yang sama berlaku. Ukuran objektif tidak lagi berlaku. Dengan mengabaikan ini, dan menguatkan tekad sepenuhnya maka semua potensi yang ada di dalam dicurahkan untuk mempraktikkan Buddha Dharma. Jika tekad yang harapan positif tersebut dipancarkan terus menerus dengan kuat bukankah tidak tertutup kemungkinan pancaran enerji positifnya benar-benar akan membantu makhluk lain bebas dari samsara?

Tekad yang muncul dari kesadaran akan tiadanya batas ukuran objektif demikian justru adalah sumber yang luar biasa untuk menjalani Buddha Dharma. Pada beberapa kasus nyata, seringkali seseorang yang didesak oleh keinginan untuk menyelamatkan orang lain dan keinginan mengorbankan diri menjadi mampu melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan olehnya pada saat biasa. Seorang Ibu yang melihat suami dan anak terjepit dibawa mobil dan berada dalam bahaya, mampu mengangkat mobil yang beratnya tak akan mampu diangkatnya pada saat “normal.” Dorongan altruisme yang demikianlah yang akan memacu seorang Bodhisattva untuk terus mempraktikkan Buddha Dharma.

“Setelah dengan jelas melihat bodhicitta dengan cara ini
Seorang Jinaputra harus tak gentar
Terus mendorong dirinya sendiri
Untuk tidak berpaling dari prakteknya.”

Lantas akan dengan demikian semuanya akan saling menunggu dan akhirnya tidak ada yang mencapai Buddha Sempurna seperti yang dikira bro. Upasaka?  Sekali lagi ini hanya dugaan yang dilandaskan pengetahuan dan keyakinan umum terbatas belaka.  Para Bodhisattva terdahulu tak terhitung banyaknya yang akhirnya mencapai Buddha Sempurna, bahkan Buddha Sakyamuni sendiri dahulu adalah Bodhisattva. Jika memang kekhawatiran bahwa ikrar Bodhisattva menyebabkan semuanya akan saling menunggu hingga tidak ada yang mencapai Buddha Sempurna adalah benar, maka seharusnya tidak ada Buddha Yang Sempurna di dunia ini. Oleh karena itu kekhawatiran ini berlebihan.  Kenyataannya, isi ikrar tidak selalu harus terwujud saat seorang Bodhisattva akan mencapai Buddha Sempurna. Ketika praktiknya sudah matang, maka Bodhisattva akan tetap mencapai Buddha Sempurna terlepas dari ikrar yang disampaikannya terwujud ataupun tidak.

Untuk lebih memahami ikrar Bodhisattva, perhatikan kutipan dari Mahavaipulya Paripurnabuddhis Nitarthasutra ini:

“Kebijaksanaan yang dimiliki Bodhisattva luar biasa. Mereka tidak akan terikat oleh hal-hal yang bersifat duniawi, namun demikian mereka juga tidak terburu-buru melepaskan segala penderitaannya. Mereka tidak takut mati dan lahir kembali, juga tidak ingin mencapai Nirvana sedini mungkin. Mereka tidak menjunjung tinggi (memuji) para umat yang melakukan Sila dengan tekun, sebaliknya mereka tidak membenci umat yang melanggar sila. Mereka tidak memuliakan tokoh Dharma, tapi mereka juga tidak menyepelekan dan memandang umat yang baru belajar Dharma. Mengapa para Bodhisattva bersikap demikian?  Tiada lain kesadaran mereka telah mencapai tingkat sempurna! Hakikat ini bisa diumpamakan sebagai fungsi terang yang berada di dalam mata.  Bila mata telah dibuka, segala sesuatu dapat kita lihat dengan jelas, tanpa membedakan mana yang disukai atau mana yang dibenci oleh penglihatannya. Ini berarti fungsi terang dari mata telah melimpahi segala sesuatu di alam semesta secara sama rata (merata) tanpa benci dan suka!” 

Melalui kutipan ini, jelas dalam Mahayana tekad seorang Bodhisattva untuk tidak merealisasi nirvana secara cepat mencerminkan keseimbangan akan sikap tidak takut mati dan lahir kembali, yang mencerminkan sikap tidak terikat dengan duniawi sekaligus tidak segera melepaskan penderitaannya. Sikap ini justru mencerminkan keseimbangan dan kebijaksanaan (prajna) yang merupakan bagian dari kesadaran sempurna.

Dari kutipan ini kita juga lihat, ikrar calon Bodhisattva untuk menunda realisasi nirvana demi semua makhluk yang pada awalnya adalah perwujudan tekad dan semangat bodhicitta, pada perkembangan selanjutnya berubah menjadi suatu kesadaran yang merata tanpa diskriminasi terhadap segala sesuatu pada Bodhisattva tingkat atas. Dengan demikian, sikap untuk menunda realisasi nirvana jika bukan karena kemelekatan pada duniawi adalah justru mencerminkan kesadaran tersebut.


Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline coedabgf

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 946
  • Reputasi: -2
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #768 on: 26 April 2009, 05:34:21 PM »
_/\_
klo boleh tau ya...sejak kapan Mahayana kita kenal dan siapa pelakonnya...
#-o
#-o
salam metta

Kassapa, Ananda dan siapapun para murid guru Buddha yang mencapai pencerahan yang dapat menembus pengetahuan the real Truth of True Self. Cuma nama-nama yang lain gak diceritakan hanya silsilahnya saja dari Kassapa, Ananda dstnya sampai Sesepuh Hui neng (sebagai para sesepuh).
Makanya ada jalan pelatihan bertahap secara umum/awam (ada literatur-literatur catatan-catatan kotbah-kotbah pengajaran guru Buddha sebagai rujukan bagi semua) dan pribadi yang diistilahkan inisiasi bagi yang sudah siap/saatnya terbuka/dibukakan rahasianya.
Makanya klo secara jalan umum pencapaiannya sampai dimana (?), berbeda klo seperti cerita-cerita pencapaian para murid guru/master Zen apakah sudah tercerahkan dan itu terbukti kualitasnya dengan pandangan-pandangannya sebab klo belum tercerahkan merasa/mengaku-aku bijaksana bisa benjol terus diketok sang gurunya, entahlah klo gurunya sendiri mengaku-ngaku atau sudah diluar dari pengawasan gurunya (seperti pemilihan penerus sesepuh V antara kualitas murid utama yang dianggap bijaksana oleh saudara-saudara lainnya perguruan dengan Hui neng yang kuli dapur buta huruf malah).
Tetapi itu bukan jalan atau cara-cara yang aneh.
Dimasa sekarang? entahlah?
« Last Edit: 26 April 2009, 05:44:30 PM by coedabgf »
iKuT NGeRumPI Akh..!

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #769 on: 27 April 2009, 10:33:25 PM »
Diskusi Dengan Saudara Dilbert

Mohon maaf, karena baru sempat menanggapi sekarang. Saya kira tidak banyak diskusi yang perlu dilakukan lagi, karena masing-masing pihak telah menyampaikan pandangannya. Argumen saya tentang Mahayana tetap seperti yang sudah saya ungkapkan sebelumnya. Bagi saya argument Mahayana sudah cukup logis. Jadi masing-masing pihak akan tetap berpegang pandangannya masing-masing tentang berbagai hal, sehingga tidak banyak lagi yang dapat dibicarakan; meskipun ada beberapa poin2 yang disepakati.  Saya hanya ingin menanggapi hal-hal ini saja.

DILBERT:

Sifat alami.... ? ? ? pernyataan ini sedemikian benar-nya terlihat kesalahan penjelasan di atas. Justru karena sifat alami-nya itu, maka ketika merealisasikan "nibbana tanpa sisa" pada hakekatnya tidak ada lagi maitri karuna, karena sudah menjadi sifat alamiah dari seorang BUDDHA, maka BUDDHA memandang maitri karuna mudita = dosa lobha dan moha, atau dengan kata lain nirvana = samsara. BUDDHA tidak tercemarkan lagi oleh segala jenis kebahagiaan/kebaikan/maitri/karuna/mudita dan tidak tercemarkan juga oleh penderitaan/dosa/lobha/moha.

Karena pada hakekat-nya tidak ada makhluk yang bisa ditolong oleh bahkan seorang Tathagatha. Walaupun sifat alamiah BUDDHA (MAITRI KARUNA MUDITA) tetap ada, tetapi hanya sebatas itu saja. Tidak ada yang bisa diperjuangkan lagi. KETIKA individu yang masih dalam jalur/karir bodhisatva masih berkutat pada pandangan tentang PEMBEBASAN MAKHLUK LAIN, maka TIDAK ADA MEREALISASIKAN ke-BUDDHA-an.... (Lihat kembali SUTRA INTAN).

TAN:

Justru karena Buddha tidak tercemar lagi oleh dosa, lobha, dan moha, maka pemancaran maitri karuna itu menjadi alami. Buddha memancarkan maitri karuna tanpa pembeda-bedaan dan tidak tepat bila Sdr. Dilbert menggunakan istilah “memperjuangkan” di sini. Pemancaran maitri karuna itu tetap ada, namun tidak ada “perjuangan” lagi. Semuanya berjalan secara alami karena demikianlah adanya. Api tidak perlu “berjuang” membuat dirinya panas. Karena memang demikianlah adanya api. Saya juga melihat bahwa penjelasan saya sudah sesuai dengan Sutra Intan. Oleh karena bagi seorang yang telah mencapai pencerahan tak ada yang diperjuangkan lagi, semua itu telah menjadi termurnikan dan alami.

DILBERT:

Para Sravaka seperti Culapanthaka juga sanggup menciptakan tubuh nimitta sebanyak ribuan. Tetapi pengertian tubuh jelmaan menjadi berbeda jika dilihat dari perspektif waktu. Yang diciptakan oleh tubuh nimitta baik oleh sammasambuddha maupun sravaka adalah tubuh nimitta dalam waktu yang paralel (sama). Jadi memang seyogia-nya ada tubuh yang asli dan ada tubuh ciptaan.

TAN:

Ya susah juga ya. Kalau mau dicari-cari perbedaannya, semua juga beda. Kalau mau dicari-cari persamaannya ya sama. Oleh karena itu, semua agama pada akhirnya akan berpulang lagi ke masalah “belief.”

DILBERT:

Jadi saya juga menolak bahwa pada perspektif puthujana (di luar pemetik buah pembebasan/ARAHATTA PHALA) bahwa lobha/dosa/moha itu sama dengan alobha/dosa/moha. KETIKA sudah ter-realisasi pembebasan/arahatta, maka barulah akan timbul pengetahuan akan melihat apa adanya (yathabutham nyanadasa) dan pada saat itulah nirvana tidak terpisah dari samsara.

TAN:

Benar, hakikat bahwa samsara = nirvana itu hanya dapat dipahami bila seseorang telah merealisasi kebebasan dari dualisme. Orang yang memikirkan konsep ini dari sudut pandang dualisme justru bisa sampai pada kesimpulan yang aneh-aneh, seperti: “kalau benar bahwa samsara = nirvana, tentunya saya yang telah bebas dari lobha dosa moha kini sudah merealisasi nirvana.” Kesimpulan aneh seperti itu saja masih dilandasi moha, jadi bagaimana mungkin orang yang menyimpulkan seperti itu telah merealisasi nirvana. Ini jelas logika salah orang yang tidak memahami hakikat di atas.

Mungkin hanya itu saja yang ingin saya tambahkan. Saya kira tidak banyak lagi yang dapat kita diskusikan, karena masalah hanya akan berputar-putar seperti itu saja. Saya mengucapkan banyak terima kasih atas kesediaannya berdiskusi.

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #770 on: 27 April 2009, 11:00:01 PM »
TANGGAPAN UNTUK SDR. TRUTH LOVER

Mohon maaf baru sempat menanggapi sekarang.

TL:

Nampaknya mas Tan salah paham, seperti yang sudah saya katakan bahwa saya bertanya dengan kritis, bukankah untuk lebih memahami sesuatu maka kita harus bisa menghilangkan keragu-raguan? dan cara terbaik untuk menghilangkan keragu-raguan adalah dengan bertanya?

TAN:

Bertanya berbeda dengan berdebat. Kalau orang bertanya itu jelas sekali harus menempatkan diri sebagai orang yang “Tidak tahu.” Lalu si penjawab akan memberikan jawaban. Si penanya akan menerima jawaban itu sebagaimana adanya. Jika bertanya terus menyanggah jawabannya dengan seolah-olah mengajukan “pertanyaan” lagi, maka itu sama saja dengan berdebat. Anda bertanya tentang Mahayana, saya sudah memberikan jawaban saya.

TL:

Yang manakah yang sungguh-sungguh praktek? Yang manakah yang menurut mas Tan dianggap praktek?

TAN:

Segala sesuatu yang dapat mengubah hati, pikiran, dan perbuatan kita ke arah yang lebih baik dan bermanfaat adalah praktik Dharma. Bermeditasi, membaca buku-buku Dharma, atau berdiskusi Dharma kalau akhirnya hanya untuk melecehkan aliran lain bukanlah praktik Dharma. Memberikan bantuan atau sekedar senyuman pada orang lain dengan tulus iklas, walaupun tidak ada kata “Dharma” sama sekali, adalah praktik Dharma.

TL:

Pertanyaannya: Maitri karuna itu adalah suatu kondisi atau bukan?

TAN:

Tidak memancarkan maitri karuna itu suatu kondisi atau bukan?

TL:

Lagi-lagi saya merasa ada ketidak konsistenan disini, belas kasih atau maitri karuna tidak akan berakhir? Tolong dijawab darimanakah maitri karuna ini dipancarkan? Dari panca skandha atau bukan?
Untuk ketiga kalinya saya bertanya kepada Mas Tan: APAKAH KESADARAN ITU ANITYA ATAU NITYA...??

TAN:

Dalam kasus Kebudhaan, maitri karuna bukan dipancarkan pancaskandha. Tetapi sudah menjadi sifat alami seorang Buddha. Api memancarkan panas. Apakah panas itu juga dipancarkan pancaskandha. Api punya pancaskandha? Untuk kesekian kalinya pula saya bertanya: Hukum karma itu anitya atau nitya? Anitya sendiri nitya atau anitya?

TL:

tetapi pertanyaannya adalah bagaimana caranya seorang Buddha memancarkan maitri karuna terus menerus bahkan setelah Parinirvana.

TAN:

Wah saya tidak tahu karena belum mencapai Kebuddhaan. Saya sudah cukup puas mengetahui dari ajaran Mahayana bahwa maitri karuna tak akan berakhir. Di luar itu terus terang saya tidak tahu, karena saya belum mencapai Kebuddhaan.

TL:

terlepas dari fakta bahwa ini kesekian kalinya mas Tan membandingkan antara M dengan T padahal mengatakan tidak bermaksud demikian

TAN:

Apakah Sdr. TL mengetahui bahwa Sutta2 Pali itu 99% juga ada di kumpulan Agama (Ahanjing) milik Mahayana? Sutta2 Pali dimasukkan dalam bagian tersendiri yang bernama Agama Sutra. Saya sah-sah saja memakai argument itu karena ajaran seperti itu juga ada di kanon Mahayana. Jadi tidak tepat bahwa saya dikatakan membandingkan antara M dengan T.

TL:

Yang mengatakan bahwa Nirvana adalah sekat yang membatasi seorang Buddha dari samsara menurut saya adalah mas Tan sendiri. Setahu saya Non-Mahayanis beranggapan bahwa Samsara muncul oleh karena ada sebab, Nirvana telah terbebas dari sebab-sebab itu, oleh karena itu dikatakan batinnya telah terbebas (bukan terbebas dari sekat, tetapi terbebas dari sebab-sebab). Jadi perhatikan perbedaan cara berpikir mahayanis dan non Mahayanis

TAN:

Terbebas dari sebab-sebab berarti tak ada sekali lagi, bukan?

TL:

Pemikiran bahwa seorang Buddha selalu memancarkan maitri karuna walaupun telah Parinirvana adalah merupakan Pemikiran yang lagi lagi telah terkontaminasi Hindu.

TAN:

Wah, apa jeleknya Hindu?

TL:

Mengenai pernyataan bahwa "Kalau nirvana identik dengan samsara, maka tentunya saya yang masih diliputi oleh lobha, dosa, dan moha, tentunya sudah merealisasi nirvana." mas katakan  bahwa salah dan logika dipaksakan karena masih menganggap kedua hal itu terpisah. Ini juga pernyataan aneh. Faktanya:
"Nirvana identik dengan Samsara, yang mengatakan bukan orang itu tetapi mas Tan sendiri kan?" logika bila Nirvana yang bebas dari lobha, dosa, moha adalah = samsara yang diliputi lobha,dosa, moha. Maka dari sini kita bisa tarik logika berikut: Nirvana identik dengan Samsara, yaitu kedua-duanya memiliki lobha, dosa atau moha.
logika kedua: Nirvana identik dengan Samsara, yaitu kedua-duanya tidak memiliki lobha, dosa atau moha (kedua-duanya Nirvana).
Ini baru sesuai dengan arti identik. Silahkan buka kamus.

TAN:

Kesalahan argument itu, karena memaksakan pandangan orang yang belum tercerahi pada yang telah tercerahi. Ibaratnya memaksa mencangkokkan kepala kambing pada gajah. Ya bagaimana bisa ketemu? Saya kira saya sudah jelaskan dengan cukup gamblang. Kalau seseorang masih berpaksa berpandangan seperti itu, ya berarti diskusi sudah Death End alias memasuki jalan buntu. Tidak bisa diteruskan lagi karena sudah mentok.


TL:

Nah ini menarik mas Tan... Apabila benar seperti yang mas Tan katakan, tolong kutipkan dan sebutkan sumbernya. Dan satu hal lagi apakah mas Tan yakin bahwa kebebasan dari samsara (Nirvana) yang dianut oleh aliran Jaina sama dengan Nirvana yang dianut oleh aliran non Mahayanis?

bagian yang saya bold: nampak jelas sekali bahwa sesungguhnya mas Tan sendiri yang beranggapan bahwa ada sekat yang memisahkan Nirvana dan Samsara. sedangkan non mahayanis yang saya ketahui mengatakan bahwa "segala sesuatu muncul dari sebab dan akan berhenti bila sebabnya berhenti". Tak ada pernyataan yang mengatakan mengenai sekat.

Tolong dikutipkan yang dari Jaina ya? sangat menarik mas.

TAN:

LIhat saja buku “Filsafat India” yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Pustaka Pelajar.

TL:

Saya hanya bingung dengan pernyataan mas Tan yang berikut:Florence Nightingale, Henry Dunant dan Oscar Schindler dll adalah Bodhisattva? Saya banyak menolong nyamuk, semut, belut, lele dll. mereka juga adalah mahluk hidup kan? Bila demikian jadi saya adalah Bodhisattva juga kan?

TAN:

O iya kalau memang Anda tulus dalam menolong makhluk2 itu, Anda adalah bodhisattva. Namaste untuk Anda.

TL:

Ini saya setuju sekali, seringkali si A menuduh si B melekat pada pandangan tetapi si A lupa bahwa ia juga sebenarnya melekat pada pandangannya sendiri.

TAN:

Sama-sama melekat khan. Ingat sesame bis kota jangan saling mendahului :P

TL:

Semoga mimpi mas Tan agar dunia ini menjadi Sukhavati, terkabul.

TAN:

Sadhu..sadhu.

TL:

Amiiiinnnn.. semoga praktisi Mahayana imannya tambah kuat, semoga mas Tan juga "imannya" tambah kuat, semoga mas Tan dibukakan jalan olehNya. Semoga mas Tan mendapatkan berkah dan limpahan "KasihNya".

TAN:

Sadhu2…! Semoga praktisi Theravada juga makin rajin berjihad demi keyakinannya. Nibanna menantimu Bang! Berjihadlah dengan rajin. Semoga praktisi Theravada makin pintar berdebat dan lidahnya makin setajam silet.

Amiduofo,

Tan

Offline Hendra Susanto

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.197
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • haa...
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #771 on: 28 April 2009, 06:55:01 AM »
:)) :)) :))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #772 on: 28 April 2009, 07:29:57 AM »
Jadi bingung , mau milih theravada atau mayahana yak =))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline naviscope

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.084
  • Reputasi: 48
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #773 on: 28 April 2009, 08:55:08 AM »
[at] atas n atas n atas-nya lagi

Mr. Tan,

bravo, hebat, jawaban anda sangat sangat memuaskan, dan membuka wawasan, hehehe...


"Sadhu2…! Semoga praktisi Theravada juga makin rajin berjihad demi keyakinannya. Nibanna menantimu Bang! Berjihadlah dengan rajin. Semoga praktisi Theravada makin pintar berdebat dan lidahnya makin setajam silet."


amitofo,

navis
Tinggalkan masa lalu, lepaskan beban akan masa depan, tidak terikat dengan yang sekarang maka kamu akan merasakan kedamain batin.

Leave the past alone, do not worry about the future, do not cling to the present and you will achieve calm.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #774 on: 28 April 2009, 09:12:56 AM »
Dalam kasus Kebudhaan, maitri karuna bukan dipancarkan pancaskandha. Tetapi sudah menjadi sifat alami seorang Buddha. Api memancarkan panas. Apakah panas itu juga dipancarkan pancaskandha. Api punya pancaskandha? Untuk kesekian kalinya pula saya bertanya: Hukum karma itu anitya atau nitya? Anitya sendiri nitya atau anitya?


Api ada karena adanya kondisi mendukung. Dan selama api itu ada, maka timbulnya panas adalah mungkin.
Buddha/mahluk juga ada karena kondisi mendukung (panca skandha). Selama Panca Skandha ada, maka bisa ada Lobha, Dosa, dan Moha, begitu pula Maitri dan Karuna.
Nah, sekarang Maitri dan Karuna bisa terjadi bukan karena panca skandha. Kok makin tidak konsisten yah? Atau Maitri & Karuna itu bisa berasal dari bukan mahluk hidup (mungkin seperti batu Ponari memancarkan Maitri/Karuna sehingga berkhasiat,) atau bagaimana?


Lalu permainan kata itu masih diulang kembali. Jadi kalau boleh, saya mau tanya: Anitya itu mencakup apa saja? Termasuk Dharma juga? Kalau benar demikian, berarti memang nyambung juga dengan Aliran Maitreya. "Sabbe Dharma Anitya". Dulu zaman Pancaran (warna) X, sekarang (warna) X udah expired, ganti zaman Pancaran (warna) Y.


Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #775 on: 28 April 2009, 11:05:48 AM »
Dalam kasus Kebudhaan, maitri karuna bukan dipancarkan pancaskandha. Tetapi sudah menjadi sifat alami seorang Buddha. Api memancarkan panas. Apakah panas itu juga dipancarkan pancaskandha. Api punya pancaskandha? Untuk kesekian kalinya pula saya bertanya: Hukum karma itu anitya atau nitya? Anitya sendiri nitya atau anitya?


Api ada karena adanya kondisi mendukung. Dan selama api itu ada, maka timbulnya panas adalah mungkin.
Buddha/mahluk juga ada karena kondisi mendukung (panca skandha). Selama Panca Skandha ada, maka bisa ada Lobha, Dosa, dan Moha, begitu pula Maitri dan Karuna.
Nah, sekarang Maitri dan Karuna bisa terjadi bukan karena panca skandha. Kok makin tidak konsisten yah? Atau Maitri & Karuna itu bisa berasal dari bukan mahluk hidup (mungkin seperti batu Ponari memancarkan Maitri/Karuna sehingga berkhasiat,) atau bagaimana?

Lalu permainan kata itu masih diulang kembali. Jadi kalau boleh, saya mau tanya: Anitya itu mencakup apa saja? Termasuk Dharma juga? Kalau benar demikian, berarti memang nyambung juga dengan Aliran Maitreya. "Sabbe Dharma Anitya". Dulu zaman Pancaran (warna) X, sekarang (warna) X udah expired, ganti zaman Pancaran (warna) Y.


sdr.kainyn... saya setuju dengan anda. dan saya rasa dari awal, kita kita tidak pernah bermain kata-kata (seperti yang dituduhkan)... yang kita tanyakan adalah berdasarkan logis berpikir berdasarkan konsep konsep. Dan saya tetap konsisten dengan pernyataan saya bahwa dalam sutra-sutra Mahayana sendiri terjadi in-konsistensi ajaran. Tidak nyambung. misalnya Sutra Hati dan Sutra Intan di satu pihak dengan sutra Saddharmapundarika dan sutra lainnya di pihak lain.
« Last Edit: 28 April 2009, 11:13:17 AM by dilbert »
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #776 on: 28 April 2009, 11:08:05 AM »
[at] atas n atas n atas-nya lagi

Mr. Tan,

bravo, hebat, jawaban anda sangat sangat memuaskan, dan membuka wawasan, hehehe...


"Sadhu2…! Semoga praktisi Theravada juga makin rajin berjihad demi keyakinannya. Nibanna menantimu Bang! Berjihadlah dengan rajin. Semoga praktisi Theravada makin pintar berdebat dan lidahnya makin setajam silet."

amitofo,

navis

Inilah tanda tanda dari praktisi yang sudah kehabisan kata-kata, sehingga mengeluarkan pernyataan RETORIKA belaka.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #777 on: 28 April 2009, 11:11:16 AM »
Semoga praktisi Theravada makin pintar berdebat dan lidahnya makin setajam silet.

aye praktisi Mahayana lho =))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #778 on: 28 April 2009, 12:05:41 PM »
Quote from: sobat-dharma
Melihat arah diskusi kita terakhir ini, saya menilai mulai menjadi kontra-produktif. Oleh karena itu, saya pikir perlu untuk mengkerecutkan isu yang didiskusikan.

Pertama-tama, saya menilai kalau keberatan bro. Upasaka berkaitan dengan ikrar Bodhisattva yang dinilai tidak sesuai dengan logika dan akal sehatnya. Dalam hal ini, saya menilai bro. Upasaka terlalu mengandalkan logika dan akal sehat. Kritik saya kemudian sekitar penggunaan logika dan akal sehat sebagai standar kebenaran, yang kemudian oleh sdr. Upasaka jawab dengan pentingnya segala sesuatu dinilai dengan akal sehat dan logika sebelum diterima.

Pada bagian penjelasan ini, saya tetap keberatan dengan penggunaan logika dan akal sehat sebagai ukuran semata dalam menilai ikrar bodhisattva, mengapa?

Pada sudut pandang tertentu ikrar Bodhisattva tidak terlalu berbeda dengan meditasi objek metta dalam Theravada. Dalam meditasi dengan objek metta, misalnya seseorang diminta untuk mengharapkan kebahagiaan semua makhluk. Bukankah dengan mengharapkan kebaikan semua makhluk hidup, bukan berarti secara otomatis semua makhluk akan langsung mengalami kebahagiaan seperti yang diharapkan?  (Jika dipandang dengan akal sehat serupa) Namun, ternyata meditasi metta toh ternyata dapat bermanfaat untuk seorang meditator. Hal yang sama berlaku untuk ikrar Bodhisattva untuk membantu semua makhluk hidup merealisasi nirvana.

Dalam hal ini Santideva dalam Bodhicaryavatara menulis:

“Bila sekedar berpikir hendak menyembuhkan
Makhluk lain dari sakit kepala saja
Adalah suatu kehendak baik
Yang dipenuhi kebajikan tak terbatas.

Lantas bagaimana menjelaskan
Tentang kehendak untuk menghapuskan penderitaan
Mereka yang tiada terhitung
Yang menginginkan agar masing-masing dari mereka
Mencapai kebajikan tidak terbatas?

[...]

Kehendak membawa kebajikan bagi semua makhluk yang
Demikian
Yang tak tumbuh pada mereka yang tak menginginkan
Kebajikan bagi diri sendiri
Adalah permata pikiran yang tiada banding
Dan kelahirannya belum pernah terjadi sebelumnya dalam
Pengembaraan samsara

[...]
Namun bila pikiran baik yang muncul (dalam
Memandangnya)
Buahnya akan berlipat ganda jauh melampaui
Penyebabnya
Saat Bodhisattva mengalami penderitaan berat ia tidak
Bersikap buruk
Oleh sebab itu kebajikannya terus berkembang dengan sendirinya”

Pada kata-kata di atas, jelas ikrar Bodhisattva dinilai sebagai cara membangkitkan pikiran yang positif, tidak dinilai dari segi nyata atau tidaknya. Bahkan ketika kita membangun pikiran yang positif akan seseorang saja, maka hasilnya akan memberikan dampak yang positif untuk kita. Bagaimana kita membangun pikiran yang positif akan kebaikan semua makhluk hidup tanpa memilah-milah? Bukankah akan semakin kuat dampak positifnya?

Dengan ikrarlah, seorang Bodhisattva mulai membangun kebajikan yang tanpa batas:

“Sejak saat itu
Meskipun tidur ataupun tak sadar
Kekuatan kebajikannya seluas angkasa
Akan tiada habisnya mengalir.”

Kebajikan tanpa batas ini yang disebut sebagai Bodhicitta:

“Segala kebajikan yang lain bagaikan pohon yang ditanam
Setelah berbuah ia punah begitu saja
Sebaliknya pohon abadi Bodhicitta
Tak akan berhenti berbuah, bahkan terus berkembang

Bodhicitta atau dalam pengertian ini adalah ikrar Bodhisattva merupakan landasan bagi seorang calon Bodhisattva untuk membangun pikiran dan tekad tak terbatas untuk mempraktekkan Buddha Dharma hingga mencapai Kebuddhaan Yang Sempurna. Ia adalah bahan bakar tak habis-habisnya yang mendukung tekad tersebut.
Oleh karena itu tidak tepatlah hal demikian ditakar dengan logika dan akal sehat. Karena tekad Bodhisattva bukanlah suatu pernyataan afirmasi akan suatu kebenaran objektif. Sebaliknya ia adalah suatu pernyataan sederhana yang sifatnya subjektif, namun lebih mencerminkan suatu tekad dan semangat.

Meskipun saya melihat sebenarnya selama ini bro. Upasaka menggunakan pengertiannya yang luas dan longgar untuk kedua konsep tersebut. Jika ia, “bertanya mungkinkah hal demikian terjadi?” yang dipermasalahkan oleh dia bukanlah logis atau tidaknya isi ikrar Bodhisattva tersebut, melainkan nyata atau tidak nyatanya isi Ikrar tersebut.  Dalam arti ia mempertanyakan apakah isi ikrar tersebut  mempertimbangkan aspek realitas atau tidak. Bro Upasaka lebih bertindak selaku seorang penganut realisme yang sedang mempertanyakan suatu idealisme yang dinilainya tidak sesuai dengan “akal sehat”-nya sebagai realis, ketimbang seorang yang menggunakan kaidah-kaidah dalam ilmu logika untuk mengevaluasi isi pernyataan ikrar. Jika ia menggunakan kaidah-kaidah dalam logika, seharusnya ia sadar hukum dalam ilmu logika: “Semua logis belum tentu nyata.”  Karena logika adalah sistem kebenaran simbolik yang terisolasi dengan kenyataan empirik. Sedangkan yang dipertanyakan Bro. Upasaka apakah hal yang demikian “mungkin terjadi.”

Dalam realisme yang dianut oleh Bro. Upasaka sebenarnya yang bekerja adalah “akal sehat” yang didasarkan pada keyakinan umum akan mungkin atau tidaknya suatu hal terjadi. Akal sehat demikian hanyalah cerminan apa yang berlaku pada pandangan masyarakat umum, ketimbang suatu kebenaran yang pasti. Misalnya, jika masyarakat Abad 18 ditanyakan apakah mungkin seseorang menangkap listrik di dalam bola kaca atau sebuah benda berat terbang di udara dan turun lagi dengan selamat, maka mereka akan menertawakan sebagai tidak masuk akal. Namun, jika masyarakat saat ini ditanyakan hal yang sama, maka jawabanya akan bertentangan dengan masyarakat Abad 18. Mengapa demikian? Karena akal sehat demikian hanya dibentuk oleh keterbatasan pengetahuan dan apa yang berlaku sebagai keyakinan umum apa yang mungkin dan tidak mungkin.

Nah, sekarang mari kita bertanya apakah mungkin seseorang menyelamatkan semua makhluk hidup dalam samsara? Tentu dengan akal sehat dan batas pengetahuan saat ini kita cenderung akan menjawab tidak mungkin. Tetapi ingat, dalam posisi ini kita tidak berbeda dengan masyarakat Abad 18 ketika ditanyakan tentang pesawat dan bola lampu. Jawaban kita atas pertanyaan ini dibatasi oleh pengetahuan dan keyakinan umum yang dianut oleh kita semua. Meskipun demikian, saya tidak bermaksud untuk menjawab dengan yakin dan pasti bahwa seseorang bisa menyelamatkan semua makhluk hidup dalam samsara, namun saya juga tidak akan mengatakan dengan pasti juga bahwa tidak mungkin ini terjadi. Pada dasarnya semua kemungkinan bisa terjadi jika hal tersebut berkaitan dengan realitas. Bahkan untuk pengetahuan-pengetahuan tentang dunia material saja kita masih akan menemukan banyak surprise di kemudian hari, bagaimana dengan Jalan Kebodhisattvaan yang melampaui dunia material?

Sebagai sumber kekuatan kebajikan, Bodhicitta justru harus melawan semua akal sehat yang dianut oleh realisme yang dibentuk berdasarkan cara pikir umum belaka. Dalam meditasi metta, hal yang sama juga berlaku. Mengharapkan kebahagiaan semua makhluk hidup bukan berarti bisa terjadi tiba-tiba semua makhluk hidup bebas dari kebahagiaan. Ukuran-ukuran keyakinan umum seperti kuantitas, waktu dan ruang sebagaimana dalam pengertian objektivisme justru menghambat niat dalam memancarkan metta. Dalam hal ini, kita harus memancarkan metta pada makhluk ke segala penjuru tanpa mempertimbangan objektivitas ruang dan waktu. Bahkan konon, dalam Theravada pun percaya bahwa ketika kita memancarkan metta dengan konsentrasi yang kuat seseorang akan lambat laun merasakan kebahagiaan yang kita pancarkan padanya. Dalam ikrar Bodhisattva hal yang sama berlaku. Ukuran objektif tidak lagi berlaku. Dengan mengabaikan ini, dan menguatkan tekad sepenuhnya maka semua potensi yang ada di dalam dicurahkan untuk mempraktikkan Buddha Dharma. Jika tekad yang harapan positif tersebut dipancarkan terus menerus dengan kuat bukankah tidak tertutup kemungkinan pancaran enerji positifnya benar-benar akan membantu makhluk lain bebas dari samsara?

Tekad yang muncul dari kesadaran akan tiadanya batas ukuran objektif demikian justru adalah sumber yang luar biasa untuk menjalani Buddha Dharma. Pada beberapa kasus nyata, seringkali seseorang yang didesak oleh keinginan untuk menyelamatkan orang lain dan keinginan mengorbankan diri menjadi mampu melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan olehnya pada saat biasa. Seorang Ibu yang melihat suami dan anak terjepit dibawa mobil dan berada dalam bahaya, mampu mengangkat mobil yang beratnya tak akan mampu diangkatnya pada saat “normal.” Dorongan altruisme yang demikianlah yang akan memacu seorang Bodhisattva untuk terus mempraktikkan Buddha Dharma.

“Setelah dengan jelas melihat bodhicitta dengan cara ini
Seorang Jinaputra harus tak gentar
Terus mendorong dirinya sendiri
Untuk tidak berpaling dari prakteknya.”

Lantas akan dengan demikian semuanya akan saling menunggu dan akhirnya tidak ada yang mencapai Buddha Sempurna seperti yang dikira bro. Upasaka?  Sekali lagi ini hanya dugaan yang dilandaskan pengetahuan dan keyakinan umum terbatas belaka.  Para Bodhisattva terdahulu tak terhitung banyaknya yang akhirnya mencapai Buddha Sempurna, bahkan Buddha Sakyamuni sendiri dahulu adalah Bodhisattva. Jika memang kekhawatiran bahwa ikrar Bodhisattva menyebabkan semuanya akan saling menunggu hingga tidak ada yang mencapai Buddha Sempurna adalah benar, maka seharusnya tidak ada Buddha Yang Sempurna di dunia ini. Oleh karena itu kekhawatiran ini berlebihan.  Kenyataannya, isi ikrar tidak selalu harus terwujud saat seorang Bodhisattva akan mencapai Buddha Sempurna. Ketika praktiknya sudah matang, maka Bodhisattva akan tetap mencapai Buddha Sempurna terlepas dari ikrar yang disampaikannya terwujud ataupun tidak.

Untuk lebih memahami ikrar Bodhisattva, perhatikan kutipan dari Mahavaipulya Paripurnabuddhis Nitarthasutra ini:

“Kebijaksanaan yang dimiliki Bodhisattva luar biasa. Mereka tidak akan terikat oleh hal-hal yang bersifat duniawi, namun demikian mereka juga tidak terburu-buru melepaskan segala penderitaannya. Mereka tidak takut mati dan lahir kembali, juga tidak ingin mencapai Nirvana sedini mungkin. Mereka tidak menjunjung tinggi (memuji) para umat yang melakukan Sila dengan tekun, sebaliknya mereka tidak membenci umat yang melanggar sila. Mereka tidak memuliakan tokoh Dharma, tapi mereka juga tidak menyepelekan dan memandang umat yang baru belajar Dharma. Mengapa para Bodhisattva bersikap demikian?  Tiada lain kesadaran mereka telah mencapai tingkat sempurna! Hakikat ini bisa diumpamakan sebagai fungsi terang yang berada di dalam mata.  Bila mata telah dibuka, segala sesuatu dapat kita lihat dengan jelas, tanpa membedakan mana yang disukai atau mana yang dibenci oleh penglihatannya. Ini berarti fungsi terang dari mata telah melimpahi segala sesuatu di alam semesta secara sama rata (merata) tanpa benci dan suka!” 

Melalui kutipan ini, jelas dalam Mahayana tekad seorang Bodhisattva untuk tidak merealisasi nirvana secara cepat mencerminkan keseimbangan akan sikap tidak takut mati dan lahir kembali, yang mencerminkan sikap tidak terikat dengan duniawi sekaligus tidak segera melepaskan penderitaannya. Sikap ini justru mencerminkan keseimbangan dan kebijaksanaan (prajna) yang merupakan bagian dari kesadaran sempurna.

Dari kutipan ini kita juga lihat, ikrar calon Bodhisattva untuk menunda realisasi nirvana demi semua makhluk yang pada awalnya adalah perwujudan tekad dan semangat bodhicitta, pada perkembangan selanjutnya berubah menjadi suatu kesadaran yang merata tanpa diskriminasi terhadap segala sesuatu pada Bodhisattva tingkat atas. Dengan demikian, sikap untuk menunda realisasi nirvana jika bukan karena kemelekatan pada duniawi adalah justru mencerminkan kesadaran tersebut.

1) Metta Bhavana bertujuan untuk mengakhiri kebencian yang ada di diri sendiri. Mengharapkan agar semua makhluk berbahagia itu artinya mengharapkan agar semua makhluk berbahagia saat ini dan kelak. Meskipun, tidak mungkin semua makhluk saat ini berbahagia. Perbedaannya adalah :
- Metta bhavana dilakukan dengan pikiran, identik dengan kata "semoga".
- Ikrar Bodhisattva dijalankan dengan perbuatan.

Mengharapkan kebahagiaan semua makhluk dengan menolong semua makhluk adalah 2 kalimat dengan konteks yang berbeda. Dan konteks kalimat di Ikrar Bodhisattva ini tidak (atau belum) dapat dipertanggungjawabkan dalam bukti nyata.


2) Tanpa menerapkan Ikrar Bodhisattva, sebenarnya setiap orang juga bisa menjalani penghidupan suci 'sambil' menolong makhluk lain. Justru penghidupan suci tidak akan membawa seseorang mencapai Nirvana jika orang itu tidak mengembangkan kebajikan. Sang Buddha mengajarkan sila, samadhi dan prajna, sebagai satu paket yang harus diaplikasikan untuk mencapai Pembebasan. Jadi Ikrar Bodhisattva hanyalah trademark semata. Namun pada hakikatnya, tekad itu bersifat universal; dan sebenarnya juga ada di Theravada.


3) "...pohon abadi Bodhicitta..."
    Ini salah satu contoh syair yang kurang saya terima. Entah apakah memang syair Mahayana lebih sering memakai gaya bahasa konotasi atau tidak, tapi saya melihat contoh kalimat di atas adalah kurang tepat. Mengapa disebut "abadi", padahal "pohon" yang dimaksud adalah "semangat / tekad". Bukankah "semangat / tekad" itu muncul karena ada faktor-faktor pendukung? Kalau begitu, sangat jelas bahwa "pohon" itu pun sebenarnya tidak abadi.


4) Ya, saya memakai landasan realisme. ;D
    Contoh pandangan orang di abad 18 dan pandangan masyarakat saat ini di atas kurang mengena. Mari kita pakai analogi dalam akar Buddhisme...

   Anda berkata ada kemungkinan bahwa semua makhluk akan ditolong dan mencapai Pembebasan. Jika kesimpulan ini benar, maka secara langsung Hukum Pratitya Samutpada akan gugur. Kita tahu bahwa isi dunia ini berada dalam kondisi yang saling bergantungan. Ketika Anda menyatakan bahwa semua makhluk mampu merealisasi Nirvana sehingga samsara akan kosong, artinya ada satu fase di mana makhluk-makhluk tertentu tidak bergantung dengan yang lainnya. Maksudnya : Kalau samsara bisa kosong dari makhluk, berarti ada suatu masa dimana semua makhluk berada dalam keadaan yang kondusif untuk merealisasi Nirvana. Artinya semua makhluk saat itu akan menjadi Buddha, tidak ada lagi makhluk di alam menderita, tidak ada lagi kutu di tubuh seekor kucing, tidak ada lagi cacing dalam isi perut manusia, tidak ada lagi ganggang yang menjaga ekosistem perairan, dsb.

   Bukankah ini adalah skenario jauh di masa depan dari Ikrar Bodhisattva, yakni terbebasnya semua makhluk sehingga samsara jadi kosong? Kalau benar, berarti sekali lagi Hukum Pratitya Samutpada gugur. Samsara bergantung pada makhluk, dan makhluk juga bergantung pada samsara. Oleh karena itu, awal dan akhir samsara adalah tidak relevan untuk disimpulkan. Apalagi jika hal ini adalah sebagian dari visi-misi seorang Bodhisattva. Inilah yang belum bisa saya terima dengan akal sehat.


5) Bantuan seh bantuan. Tapi saya belum tahu jelas makna bantuan dari seorang Bodhisattva, karena selama ini belum ada yang mau menjelaskan lebih lanjut.

   Kalau saya melihat bantuan seorang Bodhisattva adalah bantuan berupa pikiran dan fisik. Terutama masalah fisik, yang saya tangkap adalah : "bantuan untuk berkorban (termasuk nyawa) untuk makhluk lain, bantuan membimbing Dharma, bantuan untuk menjadi dewa pelindung, bantuan untuk menjadi berkat bagi semua makhluk (menjadi Samyaksambuddha)."
   
   Apakah benar...? Kalau benar, lantas apa bedanya dengan bantuan yang dapat diberikan oleh Kaum Theravadin?


6) Dalam Theravada juga tidak ada unsur buru-buru atau tergesa-gesa. Semuanya kembali pada keputusan orang yang bersangkutan. Ada yang ingin segera merealisasi Nibbana karena kematangan batinnya dalam melihat penghidupan ini. Atau ada juga yang belum ingin segera merealisasinya, karena batinnya belum cukup matang.

Jadi di Theravada tidak ada pola wajib tak tertulis yang mengharuskan praktisi untuk menunda pencapaian Nibbana.
« Last Edit: 28 April 2009, 12:15:56 PM by upasaka »

Offline naviscope

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.084
  • Reputasi: 48
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #779 on: 28 April 2009, 01:26:21 PM »
Kalau saya melihat bantuan seorang Bodhisattva adalah bantuan berupa pikiran dan fisik. Terutama masalah fisik, yang saya tangkap adalah : "bantuan untuk berkorban (termasuk nyawa) untuk makhluk lain, bantuan membimbing Dharma, bantuan untuk menjadi dewa pelindung, bantuan untuk menjadi berkat bagi semua makhluk (menjadi Samyaksambuddha)."

<<<  bantuan untuk berkorban (termasuk nyawa) untuk makhluk lain
bisakah seorang hinayana melakukan hal demikian???

saya ambil contoh
ketika kita harus berjalan lurus kedepan
tiba2 ditengah perjalanan kita mendengar anak meminta pertolongan.
apakah kita akan berjalan trus ato kita akan menunggu mencapai nibbana?

apakah seorang hinayana akan mendonorkan ginjal untuk ibu-nya?
itu tindakan untuk menunda pencapaian nibbana?
apakah bisa dilakukan?


bantuan membimbing Dharma, bantuan untuk menjadi dewa pelindung, bantuan untuk menjadi berkat bagi semua makhluk???
<<< bukan nya seorang hinayana lebih memfocuskan untuk mencapai pembebasan bagi dirinya sendiri dulu, baru urus orang lain???
sendiri masih belum bebas, apakah masih ada waktu untuk urus orang lain?

no offense,

navis
Tinggalkan masa lalu, lepaskan beban akan masa depan, tidak terikat dengan yang sekarang maka kamu akan merasakan kedamain batin.

Leave the past alone, do not worry about the future, do not cling to the present and you will achieve calm.

 

anything