//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...  (Read 663401 times)

0 Members and 5 Guests are viewing this topic.

Offline naviscope

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.084
  • Reputasi: 48
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #720 on: 21 April 2009, 02:16:43 PM »
oh ya, satu lagi

bro ryu, anda mengatakan nienfo tidak bermanfaat???

mgkn tidak bermanfaat buat anda, tapi ini tidak berarti tidak bermanfaat bagi yang lain loh.
tlg jgn digeneralisasikan begitu,,,....

y ud, back to work dulu,....

mission accompolish....
Tinggalkan masa lalu, lepaskan beban akan masa depan, tidak terikat dengan yang sekarang maka kamu akan merasakan kedamain batin.

Leave the past alone, do not worry about the future, do not cling to the present and you will achieve calm.

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #721 on: 21 April 2009, 02:27:36 PM »
Quote from: sobat-dharma
Jawaban saya soal ini sederhana, kuulangi lagi: Jalan dengan mengandalkan diri sah-sah saja dalam praktik, namun pada satu titik ego-diri harus ditanggalkan untuk merealisasi nirvana. Begitu juga dengan cara memohon bantuan “yang lain” tidak berbeda dengan mengandalkan diri sendiri, karena pada satu titik harus menyadari bahwa “tidak ada yang dibantu ataupun yang membantu.” 

Pada titik di mana "tidak ada yang ditolong dan tidak ada yang menolong" tidak ada yang namanya pribadi lagi. Analogi hanya "diri" yang bisa merealisasi nirvana adalah kesesatan yang muncul dari pikiran tercemar. Karen apada mulanya diri itu tiada, maka tidak ada yang merealisasi nirvana.

Saya rasa, dalam hal ini sebenarnya jelas maksud saya.

Kalau saya menolak analogi makan dan kenyang. Pada dasarnya hanya sebagian yang kutolak. Seperti yang kukatakan sebelumnya, tidak ada bedanya antara makan sendir atau disuap, bagaimana pun orang tersebut akan kenyang. Namun kalau anda menyamakan arti rasa kenyang dengan pengalaman nirvana, dalam pemaknaan bahwa diri yang bisa merasakannya atau merealisasikannya, maka analogimu memasuki bagian yang sesat. Karena dalam nirvana tidak ada diri yang mengalami, sedangkan dalam kenyang terdapat diri yang merasakan. Jika memang hanya dalam "koridor cara pencapaian", maka analogi ini hanya sesuai dengan bagaimana "cara ia makan": makan sendiri atau disuap, bukan "bagaimana dia merasakan kenyang." 

Saya rasa pembicaraan mengenai analogi ini tidak perlu diperpanjang lagi. Saya memakai tema "kenyang" bukan dengan maksud menyetarakan kondisinya dengan Nirvana. Tapi untuk terakhir kalinya, saya katakan bahwa itu hanya contoh analogi yang saya maksudkan; "bahwa untuk merealisasi Nirvana, kita yang harus berusaha sendiri."

Saya lihat pendapat Anda memang sudah sejalan dengan pendapat saya. Tapi Anda terus mengangkat pembicaraan ke hal-hal spesifik Nirvana, yang sedari awal tidak pernah saya singgung kaitannya dengan analogi itu.


Quote from: sobat-dharma
Saya sudah bilang ada kalanya logika dan akal sehat bisa dijadikan panduan awal, ada kalanya tidak. Dalam hal realisasi nirvana, logika dan akal sehat tidak banyak membantu, malahan lebih sering menghalangi. Justru tekad dan semangat positif Bodhisattva yang dapat membantu seseorang merealisasi nirvana. Simpel dan sederhana maksud saya.

Oya... Jadi dengan memakai apakah sebaiknya kita mengevaluasi usaha kita selama ini?


Quote from: sobat-dharma
Kesadaran akan hidup itu tidak memuaskan, ketidakkekalan penderitaan dan kebahagiaan.

Hmmm... ;D

Lalu... kalau panduan awal untuk menerima kesadaran apa...?


Quote from: sobat-dharma
Maksud saya tidak ada yang paling benar; atawa tidak ada satu ukuran untuk segala hal

Tidak ada satu ukuran untuk segala hal..?
Berarti benar dong... kalau pada suatu kondisi tertentu, membunuh pun bisa menjadi salah satu sarana untuk merealisasi Nirvana...?


Quote from: sobat-dharma
Tidak. Tidak ada yang bisa menghasilkan nirvana, yang bisa hanya menyadarinya.

Konteks pertanyaan saya bukan itu. Saya bukan bertanya apakah Nirvana itu adalah sebuah produk. Yang saya tanyakan, apakah benar Nirvana adalah hasil (akibat) dari menjalani Tekad Bodhisattva?


Quote from: sobat-dharma
Anda kan sudah dengar dari sekian banya diskusi yang ada di forum ini. Saya rasa padangan ini dari segi aliran Mahayana sudah banyak jawaban. Saya sendiri berpendirian dari awal diskusi tidak akan membahas tentang hal ini.

Justru saya masih ragu dengan kepastian jawaban dari Aliran Mahayana. Karena itulah saya bertanya kepada Anda. Saya membutuhkan jawaban yang pasti. Dan saya tidak bermaksud menanyakan pandangan pribadi Anda; yang saya tanyakan adalah pandangan dari Aliran Mahayana.


Quote from: sobat-dharma
Yang penting kedua-duanya mengatakan manusia akhirnya bisa merealisasikan Nirvana bukan

Beda waktunya, bro. Kan yang sedang kita bahas adalah timingnya, bukan tujuan akhirnya.


Quote from: sobat-dharma
It's okay. Saya tidak buru-buru koq.

Ow... Saya kira Anda berniat merealisasikan Nirvana saat ini.
Ya, saya baru tahu dari kemarin, kalau "saat ini" versi Anda adalah kehidupan kali ini, kehidupan berikutnya, kehidupan berikut berikutnya, dan seterusnya... :)


Quote from: sobat-dharma
Saya tidak berprasangka demikian terhadap seluruh umat Theravadin. Di dalam Theravada pun diajarkan tentang meditasi dengan objek Metta yang memancarkan metta pada seluruh makhluk hidup. Di dalamnya ada kata-kata "semoga semua makhluk terlepas dari mara bahaya, bebas dari penderitaan fisik dan mental, dan  berbahagia-sejahtera." Kalau kata-kata ini dinalar kan memang tidak mungkin harapan ini akan langsung terlaksana. Tapi toh, di dalam Therava meditasi demikian dilakukan juga. Masalahnya adalah ada sebagian kecil Theravadin yang terlalu logis dan menakar semuanya dengan akal melulu.... Ini dilakukan atas nama beberapa individu belaka, bukan seluruh Theravadin

Tapi sungguh aneh kan prasangka di balas dengan prasangka?

Saya tidak mengatakan Anda. Saya pakai majas totem pro parte. Jadi kalau maksud saya Umat Mahayanis, tentu maksud saya bukan seluruh umatnya...

Karena belum pasti, makanya saya berprasangka. Makanya saya kemukakan di sini. Agar sekiranya ucapan saya salah, maka ada Umat Mahayanis yang bisa mengklarifikasi. Kalau maksud saya klarifikasi, itu artinya menyanggah ucapan saya dan memberikan pernyataan yang lebih tepat. Jadi bukan hanya dengan menyanggah ucapan saya, dan tanpa memberikan pernyataan yang lebih tepat dari ucapan saya itu.


Quote from: sobat-dharma
Alam sekitar (objek) ada karena subjek ada. Subjek ada karena alam sekitar (objek) ada. Jadi alam sekitar adalah "alam" sebagaimana subjek meng-"alam"-i

Ow... rupanya begitu.
Saya juga ingin menciptakan alam surgawi sendiri. Bagaimana caranya...?


Quote from: sobat-dharma
Kalau pikiran untung dan rugi ditiadakan, maka kebingungan demikian seharusnya tidak ada.

Maukah Anda menolong semua fakir miskin di dunia ini, agar mereka tidak perlu lagi hidup melarat...?


Quote from: sobat-dharma
Ini beda bro, dengan orang yang mengorbankan dirinya untuk orang lain. Mengorbankan "diri" adalah wujud dari pelepasan dari konsep diri dalam bentuk tindakan nyata. Kalau mengorbankan yang lain untuk menolong yang lain, bagaimanapun itu yang dikorbankan adalah orang lain.

Saya ulangi pertanyaan saya...

Apakah Anda tega melukai seorang Buddha (baca : diri sendiri) untuk menolong Buddha yang lain (baca : makhluk lain)...?


Quote from: sobat-dharma
Pengorbanan diri adalah bentuk praktik dana paramita, yang berarti seseorang melepaskan keterikatannya dengan ego dan segala hal yang mencerminkan kepentingan ego. Berdana di sini bukan hanya melepaskan harta benda dan kehidupan duniawi untuk menjalani kehidupan suci, tapi juga menyiapkan diri untuk melepaskan semuanya yang berkaiatan dengan ego, termasuk "diri" itu sendiri dan pancaskandha. Seorang calon Boddhisattva dikondisikan untuk rela melepaskan tubuh, pikiran, perasaan dan segala hal yang berkaitan dengan ego  sebagai bagian proses pemurnian. Dalam hal ini cita-cita untuk mencapai nirvana dapat juga terancam menjadi tujuan ambisius untuk kepentingan pribadi belaka yang akhirnya justru menghambat realisasi nirvana, jika tidak dimurnikan dengan semangat dan tekad untuk pelepasan (dana paramita) terlebih dahulu.  Ikrar seorang Bodhisattva adalah bagian dari komitmen untuk melepaskan tujuan pencapaian nirbana semata-mata untuk tujuan egosentrik, yang berarti dengan ikrar ini seorang calon Bodhisattva justru semakin terbantu dalam merealisasi nirvana. Semakin seorang murn dari ego-diri, ia semakin dekat dengan nirvana. Demikianlah penafsiran saya atas hal ini.

Jujur dalam hati saya, saya sangat menghargai tekad seperti ini. Saya sangat terharu melihat kisah di mana seorang anak rela mendonorkan ginjalnya untuk ibunya, hingga akhirnya ia sendiri malah meninggal. Saya puji ketulusan dan kebajikan yang dilakukan anak itu.

Tapi, konteks sudah berbeda ketika berada di jalan perealisasian Nirvana. Di sinilah letak alasan mengapa Umat Mahayanis menyatakan bahwa Umat Theravadin lebih egois. Karena dalam tradisi Theravada, seorang bhikkhu seharusnya tidak lagi melekat pada apapun. Fokus dalam penghidupannya adalah perealisasian Nibbana. Dan ini mungkin dibaca oleh Umat Mahayanis sebagai bentuk ketidakpedulian pada makhluk lain yang menderita. Atau mungkin ada bisikan sayup-sayup melintas di hati Umat Mahayanis, yang berkata bahwa "bhikkhu (Theravada) tidak akan mungkin menunda jalan perealisasian Nibbana-nya, demi mendonorkan ginjal pada ibunya.”

Dan ini adalah pandangan yang terlalu sempit, sobat...
(Ingat, saya berbicara dalam tataran mayoritas).
« Last Edit: 21 April 2009, 02:42:24 PM by upasaka »

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #722 on: 21 April 2009, 02:36:49 PM »
oh ya, satu lagi

bro ryu, anda mengatakan nienfo tidak bermanfaat???

mgkn tidak bermanfaat buat anda, tapi ini tidak berarti tidak bermanfaat bagi yang lain loh.
tlg jgn digeneralisasikan begitu,,,....

y ud, back to work dulu,....

mission accompolish....
Ok deh, mungkin gak cocok obatnya sama aye yak :D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline naviscope

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.084
  • Reputasi: 48
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #723 on: 21 April 2009, 02:42:18 PM »
^
^
^
yup, banyak jalan lain menuju roma
hehehe...

84.000 pintu dharma di mahayana, terserah anda mo memilih pintu yang mana....

oh ya, kemarin klu tidak salah bro dilbert pernah menanyakan dari mana asal kata 84.000 pintu dharma

cerita nya, dulu sang buddha pernah meramalkan sebelum dia parinirvana
dia pesan kepada biksu sapa, lupa namanya
dia pesan, kelak akan lahir seorang raja, (raja penyebar agama buddha) raja ASOKA
serahkan relik buddha yg berjumlah 84.000 untuk di bangun candi sejumlah 84.000 buah
ini untuk melambangkan 84.000 pintu dharma menuju pencerahan....
Tinggalkan masa lalu, lepaskan beban akan masa depan, tidak terikat dengan yang sekarang maka kamu akan merasakan kedamain batin.

Leave the past alone, do not worry about the future, do not cling to the present and you will achieve calm.

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #724 on: 21 April 2009, 02:49:30 PM »
^
^
^
yup, banyak jalan lain menuju roma
hehehe...

84.000 pintu dharma di mahayana, terserah anda mo memilih pintu yang mana....

oh ya, kemarin klu tidak salah bro dilbert pernah menanyakan dari mana asal kata 84.000 pintu dharma

cerita nya, dulu sang buddha pernah meramalkan sebelum dia parinirvana
dia pesan kepada biksu sapa, lupa namanya
dia pesan, kelak akan lahir seorang raja, (raja penyebar agama buddha) raja ASOKA
serahkan relik buddha yg berjumlah 84.000 untuk di bangun candi sejumlah 84.000 buah
ini untuk melambangkan 84.000 pintu dharma menuju pencerahan....

cerita tadi valid atau cuma cerita saja ? ada referensi-nya kagak ?

---

salah satu referensi yang saya temukan paling menghubungkan antara angka 84.000 dengan istilah pintu dharma adalah...

Dalam Theragatha, Khuddaka Nikâya, Sutta Pitaka terdapatlah pernyataan Y.A Ânanda dalam bentuk syair:

”DVASÎTI BUDDHATO GANHAM DYE SAHASSÂNI BHIKKHUTO
CATURÂSITISAHASSÂNI YE ME DHAMMA PAVATINNO”

”Dari semua Dhamma yang Saya hafalkan, 82.000 Dhammakhandha Saya pelajari langsung dari Sang Buddha sendiri; sedangkan 2.000 Dhammakhandha dari para bhikkhu, sehinga seluruhnya berjumlah 84.000 Dhammakhandha. ”
« Last Edit: 21 April 2009, 02:52:35 PM by dilbert »
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline naviscope

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.084
  • Reputasi: 48
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #725 on: 21 April 2009, 02:57:37 PM »
^
^
^
thanks for the info-nya bro,
hehehe...

aye cuma baca cerita raja Asoka, mgkn bro bisa ambil di ekayana....
tapi setidaknya hampir2 sama lah, inti-nya sama koq, hehehe....
Tinggalkan masa lalu, lepaskan beban akan masa depan, tidak terikat dengan yang sekarang maka kamu akan merasakan kedamain batin.

Leave the past alone, do not worry about the future, do not cling to the present and you will achieve calm.

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #726 on: 21 April 2009, 04:44:24 PM »
Saya rasa pembicaraan mengenai analogi ini tidak perlu diperpanjang lagi. Saya memakai tema "kenyang" bukan dengan maksud menyetarakan kondisinya dengan Nirvana. Tapi untuk terakhir kalinya, saya katakan bahwa itu hanya contoh analogi yang saya maksudkan; "bahwa untuk merealisasi Nirvana, kita yang harus berusaha sendiri."

Saya lihat pendapat Anda memang sudah sejalan dengan pendapat saya. Tapi Anda terus mengangkat pembicaraan ke hal-hal spesifik Nirvana, yang sedari awal tidak pernah saya singgung kaitannya dengan analogi itu.
 

Sebenarnya alasan yang dicari-cari untuk membeda-bedakan antara Mahayana dengan Theravada semata-mata dengan mengatakan yang satu mengandalkan usaha sendiri dengan yang lain mengandalkan bantuan makhluk lain. Hal itulah sebenarnya yang kukritik dari awal.

Jelas apa yang dimaksud oleh Theravadin sebagai usaha sendiri minimal juga membutuhkan bimbingan dari orang lain, sedang apa yang yang dimaksud oleh Mahayanis sebagai dengan bantuan Para Bodhisattva sebenarnya juga pasti melibatkan “diri” terlibat dalam praktik; karena dalam melakukan apapun pasti toh subjek yang bertindak, termasuk tindakan yang paling sederhana pun. Bahkan  untuk memohon bantuan makhluk lain pun, subjek minimal harus bertindak asertif memohon bantuan. Lantas kalau demikian, kenapa harus disinggung-singgung tentang usaha diri? Bukankah sudah jelas, selama kita belum tercerahkan ke mana-mana pun diri ego selalu kita bawa ke mana-mana. Bahkan kita hampir-hampir merasa mustahil untuk meninggalkannya.  Dengan demikian memperkuat asumsi ini bukankah hanya membuatnya menjadi janggal. Bukankah lebih baik terus mengingatkan bahwa “diri” itu yang harus dilepaskan bukan untuk terus diperkuat eksistensinya.

Kesalahan justru terletak pada cara pembedaan yang “sendiri” dan “tidak sendiri”; Kenyataannya orang yang memperkuat pandangan bahwa hanya dengan usaha sendiri realisasi nirvana bisa dicapai justru memperkuat rasa ego-diri dan tidak mendapatkan manfaat dari pandangan ini. Sebaliknya orang yang terlalu menggantungkan diri pada “bantuan dari yang lain”, lupa bahwa pada dasarnya “tidak ada yang dibantu dan tidak ada yang membantu. Kedua-duanya adalah kekeliruan akibat pikiran sesat, namun jika tidak menggunakan adakah cara lain? Bukan sebelum kita tercerahkan seluruh yang dipikirkan oleh kita berpontesi menjadi “sesat”? Mungkinkah realisasi nirvana terjadi lansgung  tanpa sama sekali  bergumul dengan samsara terlebih dahulu? Sesat atau tidak, ini lah dua piliham jalan yang ada… Tidak perlu melecehkan yang lain sebagai “irasional” atau “ego-sentrik”, karena pada dasarnya bukan itulah yang membantu seseorang merealisasi nirvana. 


Oya... Jadi dengan memakai apakah sebaiknya kita mengevaluasi usaha kita selama ini?
Hmmm... ;D

Lalu... kalau panduan awal untuk menerima kesadaran apa...?


Tidak perlu menggiring saya dengan pertanyaan-pertanyaan :))  (Lagi-lagi bukankah ini cara gembala kepada domba-dombanya?)  Mari kita diskusi dengan sehat… Sejak awal telah kukatakan, adakalanya akal memang kita gunakan. Misalnya ketika berbicara dengan anda, toh saya menggunakan bahasa yang bisa anda pahami. Kalau anda memahami apa yang kukatakan (tidak berlaku untuk kondisi bahasa yang berbeda), berarti di dalamnya ada struktur pengertian yang logis, karena itu ada kesesuaian pemahaman antara saya dan anda. Masalahnya adalah, akal sehat dan logika memang tidak sesuai untuk realisasi nirvana. Nah, untuk memahami ini saya memang tidak bisa menggunakan argumen logik apapun, karena memang semua argument logik hanya akan mementahkan maksud sebenarnya. :)


Tidak ada satu ukuran untuk segala hal..?
Berarti benar dong... kalau pada suatu kondisi tertentu, membunuh pun bisa menjadi salah satu sarana untuk merealisasi Nirvana...?
Tolong dijelaskan lebih lengkap maksudmu:)

Konteks pertanyaan saya bukan itu. Saya bukan bertanya apakah Nirvana itu adalah sebuah produk. Yang saya tanyakan, apakah benar Nirvana adalah hasil (akibat) dari menjalani Tekad Bodhisattva?
Tekad Bodhisattva adalah awal, selanjutnya adalah mempraktikkan paramita

Justru saya masih ragu dengan kepastian jawaban dari Aliran Mahayana. Karena itulah saya bertanya kepada Anda. Saya membutuhkan jawaban yang pasti. Dan saya tidak bermaksud menanyakan pandangan pribadi Anda; yang saya tanyakan adalah pandangan dari Aliran Mahayana.
Saya tidak berniat membahas hal yang demikian

Beda waktunya, bro. Kan yang sedang kita bahas adalah timingnya, bukan tujuan akhirnya.
Lama dan sebentar bukan persoalan kalau kita mengembangkan kesabaran



Ow... Saya kira Anda berniat merealisasikan Nirvana saat ini.
Ya, saya baru tahu dari kemarin, kalau "saat ini" versi Anda adalah kehidupan kali ini, kehidupan berikutnya, kehidupan berikut berikutnya, dan seterusnya... :)
Nirvana ada di “saat ini”, tapi apakah saya bisa merealisasikan nirvana “saat ini” atau tidak, ini adalah persoalan yang berbeda.

Saya tidak mengatakan Anda. Saya pakai majas totem pro parte. Jadi kalau maksud saya Umat Mahayanis, tentu maksud saya bukan seluruh umatnya...

Karena belum pasti, makanya saya berprasangka. Makanya saya kemukakan di sini. Agar sekiranya ucapan saya salah, maka ada Umat Mahayanis yang bisa mengklarifikasi. Kalau maksud saya klarifikasi, itu artinya menyanggah ucapan saya dan memberikan pernyataan yang lebih tepat. Jadi bukan hanya dengan menyanggah ucapan saya, dan tanpa memberikan pernyataan yang lebih tepat dari ucapan saya itu.

Wah, saya nggak paham bro. Penjelasan plizzzz

Ow... rupanya begitu.
Saya juga ingin menciptakan alam surgawi sendiri. Bagaimana caranya...?

Membingungkan bro

Maukah Anda menolong semua fakir miskin di dunia ini, agar mereka tidak perlu lagi hidup melarat...?
Koq jadi masalah mau atau tidak mau? Saya jadi bingung…


Saya ulangi pertanyaan saya...

Apakah Anda tega melukai seorang Buddha (baca : diri sendiri) untuk menolong Buddha yang lain (baca : makhluk lain)...?

Kalau saya bro… pencapaian saya masih rendah, belum mampu mengatasi ego-diri :) Jalanku masih jauh bro. Buktinya: masih suka berdiskusi rame-rame beginian :))

Jujur dalam hati saya, saya sangat menghargai tekad seperti ini. Saya sangat terharu melihat kisah di mana seorang anak rela mendonorkan ginjalnya untuk ibunya, hingga akhirnya ia sendiri malah meninggal. Saya puji ketulusan dan kebajikan yang dilakukan anak itu.

Antara isi hati dan isi kepala ternyata berbeda, wah saya benar2 nggak paham

Tapi, konteks sudah berbeda ketika berada di jalan perealisasian Nirvana. Di sinilah letak alasan mengapa Umat Mahayanis menyatakan bahwa Umat Theravadin lebih egois. Karena dalam tradisi Theravada, seorang bhikkhu seharusnya tidak lagi melekat pada apapun. Fokus dalam penghidupannya adalah perealisasian Nibbana. Dan ini mungkin dibaca oleh Umat Mahayanis sebagai bentuk ketidakpedulian pada makhluk lain yang menderita. Atau mungkin ada bisikan sayup-sayup melintas di hati Umat Mahayanis, yang berkata bahwa "bhikkhu (Theravada) tidak akan mungkin menunda jalan perealisasian Nibbana-nya, demi mendonorkan ginjal pada ibunya.”

Dan ini adalah pandangan yang terlalu sempit, sobat...
(Ingat, saya berbicara dalam tataran mayoritas).

:)) no komen :))
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #727 on: 21 April 2009, 05:14:01 PM »
Quote from: sobat-dharma
Sebenarnya alasan yang dicari-cari untuk membeda-bedakan antara Mahayana dengan Theravada semata-mata dengan mengatakan yang satu mengandalkan usaha sendiri dengan yang lain mengandalkan bantuan makhluk lain. Hal itulah sebenarnya yang kukritik dari awal.

Jelas apa yang dimaksud oleh Theravadin sebagai usaha sendiri minimal juga membutuhkan bimbingan dari orang lain, sedang apa yang yang dimaksud oleh Mahayanis sebagai dengan bantuan Para Bodhisattva sebenarnya juga pasti melibatkan “diri” terlibat dalam praktik; karena dalam melakukan apapun pasti toh subjek yang bertindak, termasuk tindakan yang paling sederhana pun. Bahkan  untuk memohon bantuan makhluk lain pun, subjek minimal harus bertindak asertif memohon bantuan. Lantas kalau demikian, kenapa harus disinggung-singgung tentang usaha diri? Bukankah sudah jelas, selama kita belum tercerahkan ke mana-mana pun diri ego selalu kita bawa ke mana-mana. Bahkan kita hampir-hampir merasa mustahil untuk meninggalkannya.  Dengan demikian memperkuat asumsi ini bukankah hanya membuatnya menjadi janggal. Bukankah lebih baik terus mengingatkan bahwa “diri” itu yang harus dilepaskan bukan untuk terus diperkuat eksistensinya.

Kesalahan justru terletak pada cara pembedaan yang “sendiri” dan “tidak sendiri”; Kenyataannya orang yang memperkuat pandangan bahwa hanya dengan usaha sendiri realisasi nirvana bisa dicapai justru memperkuat rasa ego-diri dan tidak mendapatkan manfaat dari pandangan ini. Sebaliknya orang yang terlalu menggantungkan diri pada “bantuan dari yang lain”, lupa bahwa pada dasarnya “tidak ada yang dibantu dan tidak ada yang membantu. Kedua-duanya adalah kekeliruan akibat pikiran sesat, namun jika tidak menggunakan adakah cara lain? Bukan sebelum kita tercerahkan seluruh yang dipikirkan oleh kita berpontesi menjadi “sesat”? Mungkinkah realisasi nirvana terjadi lansgung  tanpa sama sekali  bergumul dengan samsara terlebih dahulu? Sesat atau tidak, ini lah dua piliham jalan yang ada… Tidak perlu melecehkan yang lain sebagai “irasional” atau “ego-sentrik”, karena pada dasarnya bukan itulah yang membantu seseorang merealisasi nirvana. 

Makanya saya tanya, sejauh apakah pertolongan yang dapat diberikan...?


Quote from: sobat-dharma
Tidak perlu menggiring saya dengan pertanyaan-pertanyaan :)) (Lagi-lagi bukankah ini cara gembala kepada domba-dombanya?)  Mari kita diskusi dengan sehat… Sejak awal telah kukatakan, adakalanya akal memang kita gunakan. Misalnya ketika berbicara dengan anda, toh saya menggunakan bahasa yang bisa anda pahami. Kalau anda memahami apa yang kukatakan (tidak berlaku untuk kondisi bahasa yang berbeda), berarti di dalamnya ada struktur pengertian yang logis, karena itu ada kesesuaian pemahaman antara saya dan anda. Masalahnya adalah, akal sehat dan logika memang tidak sesuai untuk realisasi nirvana. Nah, untuk memahami ini saya memang tidak bisa menggunakan argumen logik apapun, karena memang semua argument logik hanya akan mementahkan maksud sebenarnya. :)

Hehehe... Saya tidak mengerti kenapa Anda belum bisa mengerti...


Quote from: sobat-dharma
Tolong dijelaskan lebih lengkap maksudmu:)

Kata Anda, tidak ada ukuran yang berlaku untuk segala hal. Jadi apakah membunuh dapat dilihat sebagai karma baik pada suatu keadaan tertentu?


Quote from: sobat-dharma
Tekad Bodhisattva adalah awal, selanjutnya adalah mempraktikkan paramita

...dan hasilnya adalah Nirvana?


Quote from: sobat-dharma
Saya tidak berniat membahas hal yang demikian

Pantas di postingan sebelumnya Anda mengatakan kepada saya; "selamat berjuang :)". Kenapa Anda tidak mau menolong saya, padahal saya butuh jawaban itu... Tapi, ya sudah terserah Anda. Saya menghargai kehendak bebas orang lain...


Quote from: sobat-dharma
Lama dan sebentar bukan persoalan kalau kita mengembangkan kesabaran

Kita sedang membahas perealisasian di kehidupan kali ini, bukan masalah sabar atau tidak sabar.


Quote from: sobat-dharma
Nirvana ada di “saat ini”, tapi apakah saya bisa merealisasikan nirvana “saat ini” atau tidak, ini adalah persoalan yang berbeda.

Lah, bukannya Anda mengatakan "saat ini" adalah kehidupan ini? Dan karena kita masih terseret dalam proses penerusan kehidupan, artinya semua kehidupan adalah saat ini. Jadi kapanpun juga, Anda memang mampu merealisasikan Nirvana saat ini. :)


Quote from: sobat-dharma
Wah, saya nggak paham bro. Penjelasan plizzzz

^-^
Tidak usah, deh...


Quote from: sobat-dharma
Membingungkan bro

Hmmm... Saya juga bingung dengan penjelasan Anda sebelumnya.
Omong-omong dalam konsep Mahayana, bisakah kita menciptakan alam dengan pikiran kita sendiri...?


Quote from: sobat-dharma
Koq jadi masalah mau atau tidak mau? Saya jadi bingung…

Kalau tidak ada pikiran untung-rugi, seharusnya Anda memang mau menolong mereka semua... :)


Quote from: sobat-dharma
Kalau saya bro… pencapaian saya masih rendah, belum mampu mengatasi ego-diri :) Jalanku masih jauh bro. Buktinya: masih suka berdiskusi rame-rame beginian :))

Hmmm... implisit...
Sama. Saya juga masih belum lulus TK...


Quote from: sobat-dharma
Antara isi hati dan isi kepala ternyata berbeda, wah saya benar2 nggak paham

Jadi Anda tidak pernah mengalami pertentangan di dalam batin...?
 ^:)^ salutt...
Mohon pencerahan untuk kasus ini...


Quote from: sobat-dharma
:)) no komen :))

Yup... I get your point. :))


Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #728 on: 21 April 2009, 05:41:11 PM »
Saya rasa pembicaraan mengenai analogi ini tidak perlu diperpanjang lagi. Saya memakai tema "kenyang" bukan dengan maksud menyetarakan kondisinya dengan Nirvana. Tapi untuk terakhir kalinya, saya katakan bahwa itu hanya contoh analogi yang saya maksudkan; "bahwa untuk merealisasi Nirvana, kita yang harus berusaha sendiri."

Saya lihat pendapat Anda memang sudah sejalan dengan pendapat saya. Tapi Anda terus mengangkat pembicaraan ke hal-hal spesifik Nirvana, yang sedari awal tidak pernah saya singgung kaitannya dengan analogi itu.
 

Sebenarnya alasan yang dicari-cari untuk membeda-bedakan antara Mahayana dengan Theravada semata-mata dengan mengatakan yang satu mengandalkan usaha sendiri dengan yang lain mengandalkan bantuan makhluk lain. Hal itulah sebenarnya yang kukritik dari awal.

Jelas apa yang dimaksud oleh Theravadin sebagai usaha sendiri minimal juga membutuhkan bimbingan dari orang lain, sedang apa yang yang dimaksud oleh Mahayanis sebagai dengan bantuan Para Bodhisattva sebenarnya juga pasti melibatkan “diri” terlibat dalam praktik; karena dalam melakukan apapun pasti toh subjek yang bertindak, termasuk tindakan yang paling sederhana pun. Bahkan  untuk memohon bantuan makhluk lain pun, subjek minimal harus bertindak asertif memohon bantuan. Lantas kalau demikian, kenapa harus disinggung-singgung tentang usaha diri? Bukankah sudah jelas, selama kita belum tercerahkan ke mana-mana pun diri ego selalu kita bawa ke mana-mana. Bahkan kita hampir-hampir merasa mustahil untuk meninggalkannya.  Dengan demikian memperkuat asumsi ini bukankah hanya membuatnya menjadi janggal. Bukankah lebih baik terus mengingatkan bahwa “diri” itu yang harus dilepaskan bukan untuk terus diperkuat eksistensinya.

Kesalahan justru terletak pada cara pembedaan yang “sendiri” dan “tidak sendiri”; Kenyataannya orang yang memperkuat pandangan bahwa hanya dengan usaha sendiri realisasi nirvana bisa dicapai justru memperkuat rasa ego-diri dan tidak mendapatkan manfaat dari pandangan ini. Sebaliknya orang yang terlalu menggantungkan diri pada “bantuan dari yang lain”, lupa bahwa pada dasarnya “tidak ada yang dibantu dan tidak ada yang membantu. Kedua-duanya adalah kekeliruan akibat pikiran sesat, namun jika tidak menggunakan adakah cara lain? Bukan sebelum kita tercerahkan seluruh yang dipikirkan oleh kita berpontesi menjadi “sesat”? Mungkinkah realisasi nirvana terjadi lansgung  tanpa sama sekali  bergumul dengan samsara terlebih dahulu? Sesat atau tidak, ini lah dua piliham jalan yang ada… Tidak perlu melecehkan yang lain sebagai “irasional” atau “ego-sentrik”, karena pada dasarnya bukan itulah yang membantu seseorang merealisasi nirvana. 


Justru di sinilah letak perbedaan sebagian pandangan kaum Mahayanis bahwa kedudukan seorang BODHISATVA itu sedemikian tinggi-nya sehingga melampaui seorang SAVAKA BUDDHA dalam hal pencapaian kesucian. Jika memang sdr.sobat_dhamma setuju bahwa pada dasarnya "keterlibatan" diri sendiri dalam menempuh jalan kesucian/pembebasan itu sangat krusial/penting sekali, maka pada dasarnya ketika seorang BODHISATVA tetap berkutat pada ikrar untuk MEMBEBASKAN MAKHLUK HIDUP (tidak hanya sekedar menolong dalam artian menanam karma baik), maka seorang BODHISATVA itu tidak akan merealisasikan ke-BUDDHA-an...

Itu saja... Jelas sekali kok bagaimana seharusnya BODHISATVA bertindak ketika "ingin" mencapai ke-BUDDHA-an (lihat kembali SUTRA INTAN)...
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #729 on: 21 April 2009, 11:58:52 PM »
^
^
^
yup, banyak jalan lain menuju roma
hehehe...

84.000 pintu dharma di mahayana, terserah anda mo memilih pintu yang mana....

oh ya, kemarin klu tidak salah bro dilbert pernah menanyakan dari mana asal kata 84.000 pintu dharma

cerita nya, dulu sang buddha pernah meramalkan sebelum dia parinirvana
dia pesan kepada biksu sapa, lupa namanya
dia pesan, kelak akan lahir seorang raja, (raja penyebar agama buddha) raja ASOKA
serahkan relik buddha yg berjumlah 84.000 untuk di bangun candi sejumlah 84.000 buah
ini untuk melambangkan 84.000 pintu dharma menuju pencerahan....

cerita tadi valid atau cuma cerita saja ? ada referensi-nya kagak ?

---

salah satu referensi yang saya temukan paling menghubungkan antara angka 84.000 dengan istilah pintu dharma adalah...

Dalam Theragatha, Khuddaka Nikâya, Sutta Pitaka terdapatlah pernyataan Y.A Ânanda dalam bentuk syair:

”DVASÎTI BUDDHATO GANHAM DYE SAHASSÂNI BHIKKHUTO
CATURÂSITISAHASSÂNI YE ME DHAMMA PAVATINNO”

”Dari semua Dhamma yang Saya hafalkan, 82.000 Dhammakhandha Saya pelajari langsung dari Sang Buddha sendiri; sedangkan 2.000 Dhammakhandha dari para bhikkhu, sehinga seluruhnya berjumlah 84.000 Dhammakhandha. ”


Memang susah mas Dilbert kalau belajar Dharma dari kabar burung, 84.000 Dhammakhandha (kelompok Dhamma) setelah menjadi kabar burung lalu menjadi 84.000 pintu Dharma menuju pencerahan...

metta,
The truth, and nothing but the truth...

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #730 on: 22 April 2009, 12:24:34 AM »

- Bukankah misi Buddha Sakyamuni untuk menyelamatkan mahluk hidup telah gagal?

Metta,

saya jawab yg ini j ya, mo lanjut kerja cuy

- Bukankah misi Buddha Sakyamuni untuk menyelamatkan mahluk hidup telah gagal? << mo dibilang gagal sepenuh nya, tidak juga, mo dibilang berhasil sepenuhnya juga tidak, bukti nya ente ama aye, masi disini bos, masi didunia penuh penderitaan ini bos....

 :o

Quote
klu dia sudah berhasil sepenuhnya, buat apa ada buddha maitreya lagi?
buddha maitreya yang bakal berhasil sepenuhnya melaksanakan tugas,
dan dhyani buddha yang bertugas, klu ga salah amoghapasa buddha ya (yg dalam arti sankrit, berhasil melaksanakan tugas dengan sempurna)

Belajar dimana mas ini ya?   ::)

Quote
n satu lagi, buddha maitreya, menaklukkan orang dengan cinta kasih (METTA) ato maitri karuna nya...

CMIIW,

navis

Yang ini saya setuju saja dah... selain maitri karuna, Buddha juga menaklukkan orang dengan kebijaksanaan (prajna) Dengan pengertian atau pengetahuan (jnana) Kesaktian (siddhi) Dll.

Metta,
« Last Edit: 22 April 2009, 12:36:22 AM by truth lover »
The truth, and nothing but the truth...

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #731 on: 22 April 2009, 10:32:18 AM »
Quote
Jujur dalam hati saya, saya sangat menghargai tekad seperti ini. Saya sangat terharu melihat kisah di mana seorang anak rela mendonorkan ginjalnya untuk ibunya, hingga akhirnya ia sendiri malah meninggal. Saya puji ketulusan dan kebajikan yang dilakukan anak itu.

Tapi, konteks sudah berbeda ketika berada di jalan perealisasian Nirvana. Di sinilah letak alasan mengapa Umat Mahayanis menyatakan bahwa Umat Theravadin lebih egois. Karena dalam tradisi Theravada, seorang bhikkhu seharusnya tidak lagi melekat pada apapun. Fokus dalam penghidupannya adalah perealisasian Nibbana. Dan ini mungkin dibaca oleh Umat Mahayanis sebagai bentuk ketidakpedulian pada makhluk lain yang menderita. Atau mungkin ada bisikan sayup-sayup melintas di hati Umat Mahayanis, yang berkata bahwa "bhikkhu (Theravada) tidak akan mungkin menunda jalan perealisasian Nibbana-nya, demi mendonorkan ginjal pada ibunya.”

Dan ini adalah pandangan yang terlalu sempit, sobat...
(Ingat, saya berbicara dalam tataran mayoritas).
kalau diri kita sendiri kita tidak cinta, lalu berusaha menolong orang..itu tidaklah masalah....
yang jadi masalah apakah diri kita sudah tidak menderita?

memang betul dikalangan beberapa aliran pandangan sempit itu sudah populer.
bahkan angka 84.000 juga sudah populer...
lebih lagi "buddha adalah seorang pelupa" adalah sangat populer.
sungguh tragis ajaran buddha.

apa-nya yang membahagiakan dari ajaran buddha?

salam metta.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #732 on: 22 April 2009, 10:55:37 AM »
Saya rasa diskusi ini tidak akan maju sebelum pihak yang membuat ide "Mahayana" ini mendeskripsikan batasan apa saja seorang bisa disebut "Hinayana". Kalau hanya mengorbankan diri (demi agama), itu sih bukan hanya kalangan Mahayana-Hinayana, tapi agama lain juga banyak. Yang mengorbankan diri demi orang lain, juga bukan hanya Mahayana-Hinayana, agama lain juga banyak, siapa pun bisa, walaupun orang itu tidak punya agama.
Beberapa waktu lalu, saya diskusi dengan umat lain tentang "kasih" yang diklaim sebagai eksklusif milik umatnya. Pada akhirnya, dia tidak bisa menunjukkan satu pun contoh pengorbanan yang hanya bisa dilakukan oleh umat agamanya DAN tidak bisa dilakukan oleh umat lain. Karena memang tidak ada.

Jadi kalau tidak ada batasan definisi "Mahayana" dan "Hinayana", saya rasa ide itu adalah tidak berarti, dan sebagian (bukan semua, tentu saja) pihak Mahayana yang menuding Hinayana sebagai egois seharusnya malu.

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #733 on: 22 April 2009, 11:28:56 AM »
Saya rasa diskusi ini tidak akan maju sebelum pihak yang membuat ide "Mahayana" ini mendeskripsikan batasan apa saja seorang bisa disebut "Hinayana". Kalau hanya mengorbankan diri (demi agama), itu sih bukan hanya kalangan Mahayana-Hinayana, tapi agama lain juga banyak. Yang mengorbankan diri demi orang lain, juga bukan hanya Mahayana-Hinayana, agama lain juga banyak, siapa pun bisa, walaupun orang itu tidak punya agama.
Beberapa waktu lalu, saya diskusi dengan umat lain tentang "kasih" yang diklaim sebagai eksklusif milik umatnya. Pada akhirnya, dia tidak bisa menunjukkan satu pun contoh pengorbanan yang hanya bisa dilakukan oleh umat agamanya DAN tidak bisa dilakukan oleh umat lain. Karena memang tidak ada.

Jadi kalau tidak ada batasan definisi "Mahayana" dan "Hinayana", saya rasa ide itu adalah tidak berarti, dan sebagian (bukan semua, tentu saja) pihak Mahayana yang menuding Hinayana sebagai egois seharusnya malu.


modusnya mirip mirip dengan kasus aliran aliran baru di agama lain, misalnya ahmadiyah yang mengatakan bahwa nabi terakhir bukan MUHAMMAD SAW... buat beda gitu loo...
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #734 on: 22 April 2009, 11:52:20 AM »
Saya rasa diskusi ini tidak akan maju sebelum pihak yang membuat ide "Mahayana" ini mendeskripsikan batasan apa saja seorang bisa disebut "Hinayana". Kalau hanya mengorbankan diri (demi agama), itu sih bukan hanya kalangan Mahayana-Hinayana, tapi agama lain juga banyak. Yang mengorbankan diri demi orang lain, juga bukan hanya Mahayana-Hinayana, agama lain juga banyak, siapa pun bisa, walaupun orang itu tidak punya agama.
Beberapa waktu lalu, saya diskusi dengan umat lain tentang "kasih" yang diklaim sebagai eksklusif milik umatnya. Pada akhirnya, dia tidak bisa menunjukkan satu pun contoh pengorbanan yang hanya bisa dilakukan oleh umat agamanya DAN tidak bisa dilakukan oleh umat lain. Karena memang tidak ada.

Jadi kalau tidak ada batasan definisi "Mahayana" dan "Hinayana", saya rasa ide itu adalah tidak berarti, dan sebagian (bukan semua, tentu saja) pihak Mahayana yang menuding Hinayana sebagai egois seharusnya malu.


^
^
Sudah saya tanyakan 3 kali, tapi belum ada jawaban dari pihak Mahayanis...

Btw...
Saya masih belum menagkap jelas. Memang kalau dalam konsep Mahayana, menolong makhluk lain itu dalam bentuk tindakan yang seperti apa ya?

OK. :) Lalu bagaimana dengan konsep menolong makhluk lain di Aliran Mahayana? Sejauh apakah pertolongan yang dapat diberikan...?

Makanya saya tanya, sejauh apakah pertolongan yang dapat diberikan...?


 

anything