[/quote]
Memang tidak masalah, itu hanya pilihan. Saya lebih suka merujuk pada bahas asli karena penerjemahan ke bahasa Indonesia seringkali tidak konsisten dan berkesan asal-asalan. BTW, kalau anda berjalan di daerah saya, masih banyak kok petunjuk jalan "vihara".
---
Mungkin itu dikarenakan orang2 di daerah anda dari awal mengenal penulisan wihara yang benar itu adalah dgn v. Oke saja kalau kita juga konsisten bacanya vi bukan wi.
Tapi karena kita bacanya wi jadi ya tulisnya wihara. Lagian vihara gak ada di KBBI, wihara ada.
Mungkin bro lupa, bahasa Pali bukan bahasa tulisan.
jadi tidak ada yang asli dan tidak asli.
hanya karena dasar huruf kita (indonesia) latin, maka tulisannya jadi latin.
Kalau di thailand atau srilanka yang saya tahu pake tulisan 'cacing'. hehe.
[/quote]
Saya bernyanyi dan main musik kok. Tapi itu tidak menjadi masalah karena saya seorang perumahtangga, bukan petapa. Manusia umum menikmati seks, apakah petapa juga pantas menikmatinya?
--
Tidak selalu juga bro. Ada bukan pertapa tapi juga tidak melakukan hub seksual.
Lagu dan musik yang kita bahas disini yang buddhistik kan, yang kata2nya adalah dharma dan menjaga ketenangan batin.
Lagu dan musik seperti Chan of Metta, Karaniya, Ratana Sutta, dll. banyak yang dibuat dengan irama yang merdu, dan itu sangat membantu bro.
menurut saya bukan itu tujuan dari bertapa.
tujuan hidup bertapa adalah untuk mendapatkan kebahagian, bukan untuk menyiksa diri.
Kebahagian jenis apa? Wanita, harta, kesenangan indera?
Coba dijelaskan sedikit karena saya khawatir kita membicarakan "Ajaran Buddha" yang berbeda.
---
kebahagian mengikuti jalan pembebasan bro.
Dan jalan kebebasan itu tidak kaku dan menekan.
Saya yakin sepanjang hidup nya Buddha pasti banyak mendengarkan lagu dan syair2 yang merdu. Buddha pastinya mendengarkan (karena Dia tidak akan lari dari kondisi yang timbul), tetapi tidak menjadi terikat dan tergiur oleh lagu tersebut.
Siddhatta mendapat petunjuk bahwa senar yang terlalu kendur tidak berfungsi benar dan terlalu kencang akan putus. Tidak ada cerita bodhisatta dengar lagu dan jadi tercerahkan.
---
Logika saya (tapi mungkin salah), bahwa tidak mungkin ada orang yang sedang mengigau melantunkan kata2 bijak itu. Pastilah sebuah puisi yang indah, yang bisa dibacakan berirama atau dilagukan. Memang banyak versi kejadian ini. Tapi semuanya lebih mengarah ke penyanyi yang melantunkan syair itu.
Maaf, mungkin saya yang tidak teliti melihatnya.
Tapi maksud saya, bunyi winaya itu sendiri seperti apa?
Mohon dibaca lengkap, dan dipertajam maknanya apa?
Dan tentu bro juga tahu, asal usul munculnya winaya bukan?
Bukan sesuatu yang Buddha wajibkan dari awal, tetapi baru muncul setelah ada masukan2 dari banyak pihak setelah melihat pelanggaran2.
Dan kita harus melihat esensi winaya secara 'holistik' bukan 'semantik'.
Di awal tidak ada vinaya, karena sangha awal adalah para suciwan yang tidak memiliki nafsu. Betul, kita lihat esensi dari vinaya yang adalah menjaga perilaku bhikkhu, bukan membenarkan perilaku bhikkhu yang keliru.
---
setuju bro. Kita tidak sedang mencari pembenaran, juga tidak sedang melakukan penghakiman.
Maksud saya, contoh orang meditasi di rel kereta-api adalah sangat filosofis.
Yang sangat tidak umum. hehe.
Gak begitu bung, baik yang mencela dan membela dua2nya seperti bendera dan angin.
Justru yang melihat pikiran yang bergerak, sudah tidak lagi membela dan mencela.
Jadi kalau ada bhikkhu perkosa wanita juga, di mata yang bijak, sah-sah saja kah?
---
contoh yang terlalu filosofis lagi.
Kalau menurut saya, bukan masalah sah atau tidak, salah atau tidak, tetapi bagi yang sudah mencapai penembusan menurut saya sudah tidak ada lagi membenarkan dan menyalahkan.
Sudah tidak ada lagi dualisme. hehe. sgt teoritis nih, bahas yang real aja deh.
tapi kalau tindakannya tentu dicela oleh bijaksana. tapi orang bijaksana tidak menutup kesempatan orang itu untuk terus belajar dharma.
Parajika sudah pasti, dikeluarkan dari komunitas sudah seharusnya.
Tapi bukan berarti 'pintu sudah ditutup'. Susah ya bicara filosofis. hehe.
sarwa manggalang,
henrychan
[/quote]