//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - broken.arrowz

Pages: [1]
1
Theravada / "Dhamma Fighting" - Ajahn Chah
« on: 24 October 2010, 08:10:44 PM »
Dhamma Fighting

Oleh : Ajahn Chah


Lawanlah keserakahan, lawanlah kebencian, lawanlah khayalan.... ini semua adalah musuh.  Di dalam praktek Buddhisme, jalan Sang Buddha, kita berjuang dgn Dhamma, dgn ketabahan dan kesabaran. Kita berjuang dgn melawan berbagai suasana hati kita yg tidak terhitung banyaknya.

Dhamma dan dunia ini saling berhubungan. Di mana ada Dhamma, di situ ada dunia. Di mana ada dunia, di situ pula ada Dhamma. Di mana ada kegelapan bathin, di situ ada orang-orang yg menaklukkan kegelapan bathin, orang-orang yg memeranginya. Inilah yg dinamakan berperang ke dalam bathin. Untuk berperang secara fisik, orang-orang melempar bom dan menembakkan pistol; mereka menaklukkan dan ditaklukkan. Menaklukkan pihak lain adalah sifat dari dunia ini. Di dalam praktek Dhamma, kita tidak perlu memerangi pihak lain, tetapi sebaliknya kita menaklukkan pikiran kita sendiri, dgn sabar menahan diri dan melawan segala suasana hati kita.

Di dalam praktek Dhamma, kita tidak memendam kebencian dan permusuhan di antara kita, tetapi sebaliknya kita melepaskan segala bentuk dendam dan sakit hati di dalam tingkah laku dan pikiran kita, membebaskan diri kita dari kecemburuan, kebencian dan kemarahan. Kebencian hanya bisa diatasi dgn tidak menyimpan rasa dendam dan amarah.

Perbuatan yg menyakiti dan balas dendam adalah dua hal yg berbeda, tetapi terkait erat. Perbuatan yg telah dilakukan, berakhir saat itu juga, tidak perlu dijawab dgn pembalasan dendam dan permusuhan. Ini dinamakan "tindakan" (kamma). "Balas dendam" (vera) artinya melanjutkan tindakan tsb lebih jauh lagi dgn pikiran "kamu melakukannya kepadaku, jadi aku akan membalasmu". Tidak ada akhirnya. Akan timbul saling membalas dendam, sehingga kebencian tak akan pernah bisa diabaikan. Selama kita bertingkah laku seperti ini, rantai tidak akan putus, tidak ada akhirnya. Ke mana pun kita pergi, permusuhan pun berlanjut.

Guru Agung (note: yakni Sang Buddha) mengajari dunia, beliau memiliki belas kasih kepada semua makhluk dunia ini. Tetapi dunia tetap seperti ini. Para bijaksana seharusnya memperhatikan hal ini dan memilih apa yg benar-benar bernilai. Sang Buddha telah berlatih dgn berbagai jenis seni perang semasa beliau masih seorang pangeran, tetapi beliau menyadari bahwa hal-hal itu tidaklah begitu bermanfaat, ia hanya terbatas pada dunia ini dgn peperangan dan agresinya.

Oleh karena itu, di dalam melatih diri kita sendiri sebagai orang yg telah meninggalkan keduniawian, kita harus belajar utk meninggalkan segala bentuk kejahatan, meninggalkan segala sesuatu yg bisa menimbulkan permusuhan. Kita menaklukkan diri kita sendiri, kita tidak mencoba menaklukkan pihak lain. Kita berperang, tetapi kita hanya memerangi kegelapan bathin; jika ada keserakahan, kita perangi dia; jika ada kebencian, kita perangi dia; jika ada khayalan, kita berjuang utk melepaskannya.

Ini dinamakan "Perjuangan Dhamma." Peperangan di dalam hati ini sungguh sulit, malah yg paling sulit dari semuanya. Kita menjadi bhikkhu adalah utk merenungkan hal ini, utk mempelajari seni perang melawan keserakahan, kebencian dan khayalan. Ini adalah kewajiban utama kita.

Ini adalah pertempuran di dalam, berperang dgn kegelapan bathin. Tetapi sangat sedikit orang yg berperang seperti ini. Kebanyakan orang berperang dgn hal-hal yg lain, mereka jarang memerangi kegelapan bathin. Mereka bahkan jarang memperhatikannya.

Sang Buddha mengajari kita utk melepaskan segala bentuk kejahatan dan mengembangkan kebajikan. Inilah jalan yg benar. Mengajar seperti ini ibarat Sang Buddha menjemput dan mengantarkan kita pada awal Sang Jalan. Setelah mencapai Sang Jalan, apakah kita mau berjalan melaluinya atau tidak, terserah kepada kita. Tugas Sang Buddha telah selesai. Beliau menunjukkan jalannya, mana yg benar dan mana yg tidak benar. Hanya ini saja sudah cukup, selanjutnya terserah kepada kita.

Sekarang, setelah mencapai Sang Jalan, kita masih belum mengetahui apa pun, kita masih belum melihat apa pun, jadi kita harus belajar.Untuk belajar, kita harus bersiap-siap utk bertahan menghadapi beberapa kesukaran, sama seperti para mahasiswa di dunia. Cukup sulit utk mendapatkan ilmu dan belajar adalah hal yg penting bagi mereka utk mengejar karir mereka. Mereka harus bertahan. Bila mereka berpikir keliru atau merasa bosan atau malas, mereka harus memaksa diri mereka agar mereka bisa lulus dan mendapatkan pekerjaan. Praktek seorang bhikkhu adalah sama. Jika kita bertekad utk berlatih dan merenungkan, maka kita pasti akan melihat Sang Jalan.

Ditthi-māna adalah hal yg berbahaya. Ditthi artinya "pandangan" atau "opini". Segala bentuk pandangan disebut ditthi: menganggap yg baik sebagai jahat, menganggap yg jahat sebagai baik.... segala cara pandang terhadap apa pun. Ini tidak menjadi masalah. Yg menjadi masalah adalah kemelekatan pada pandangan-pandangan tsb, yg disebut māna; menganggap pandangan-pandangan tsb sebagai kebenaran. Ini akan mengakibatkan kita berputar-putar terus dari kelahiran menuju kematian, tidak pernah mencapai penyelesaian, hanya karena kemelekatan ini. Jadi, Sang Buddha menganjurkan kita utk melepaskan pandangan-pandangan.

Jika banyak orang tinggal bersama-sama, seperti yg kita lakukan di sini, mereka tetap bisa berlatih dgn nyaman jika pandangan-pandangan mereka selaras. Tetapi walaupun cuma ada dua atau tiga orang bhikkhu saja pun akan mengalami kesulitan jika pandangan-pandangan mereka tidak bagus atau tidak selaras. Bila kita merendahkan hati kita dan melepaskan pandangan-pandangan kita, walaupun jumlah kita banyak, kita datang bersama-sama ke hadapan Buddha, Dhamma dan Sangha (note: Tiga Mestika: Sang Buddha, Dhamma, ajaranNya, dan Sangha, Persaudaraan Bhikkhu-Bhikkhuni, atau mereka yg telah merealisasi Dhamma).

Adalah tidak benar utk berkata bahwa akan terjadi ketidakharmonisan hanya karena jumlah kita banyak. Lihat saja seekor lipan. Lipan punya banyak kaki, bukan? Melihat seekor lipan, anda pasti mengira ia akan susah berjalan, tetapi sebenarnya tidak. Ia punya irama dan aturan tersendiri. Latihan kita juga sama. Jika kita berlatih sebagaimana layaknya Sangha Agung dari Sang Buddha berlatih, maka ia menjadi mudah. Itu adalah supatipanno - mereka yg berlatih dgn baik; ujupatipanno - mereka yg berlatih dgn sungguh-sungguh; ñāyapatipanno - mereka yg berlatih utk melampaui penderitaan, dan sāmıcipatipanno - mereka yg berlatih dgn benar. Kempat sifat ini, bila dibangun di dalam diri kita, akan menjadikan kita anggota Sangha yg sesungguhnya. Bahkan jika ada ratusan atau ribuan orang di antara kita, berapa pun jumlahnya, kita semua berjalan pada jalur yg sama. Kita berasal dari latar belakang yg berbeda-beda, tetapi kita adalah sama. Walaupun pandangan kita mungkin berbeda, jika kita berlatih dgn benar, maka tidak akan ada perselisihan. Sama seperti sungai-sungai yg mengalir ke laut.... begitu mereka memasuki lautan, mereka semua memiliki warna dan citarasa yg sama. Sama halnya dgn orang-orang. Ketika mereka memasuki arus Dhamma, ia adalah satu Dhamma. Walaupun mereka berasal dari tempat yg berbeda-beda, tetapi mereka selaras, mereka bersatu.

Tetapi pikiran-pikiran yg mengakibatkan timbulnya segala perselisihan dan konflik adalah ditthi-māna. Oleh sebab itu Sang Buddha mengajarkan kita utk melepaskan pandangan-pandangan. Jangan biarkan māna melekat pada pandangan-pandangan tsb hingga melebihi relevansinya.

Sang Buddha mengajarkan manfaat dari sati, memusatkan perhatian (note : "sati" biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai "kesadaran (mindfulness)". "Ingatan (recollection)" adalah terjemahan yg lebih tepat dari istilah Thai, "ra-luk dai"). Apakah kita sedang berdiri, berjalan, duduk atau berbaring, di mana pun kita berada, kita seharusnya memiliki kekuatan ingatan ini. Bila kita memiliki sati, kita melihat diri kita sendiri, kita melihat pikiran kita sendiri. Kita melihat "tubuh yg ada di dalam tubuh", "pikiran yg ada di dalam pikiran". Jika kita tidak punya sati, kita tidak tahu apa-apa, kita tidak menyadari apa yg sedang terjadi.

Jadi, sati sangatlah penting. Dengan sati yg terus-menerus, kita akan mendengarkan Dhamma dari Sang Buddha di setiap saat. Ini dikarenakan "mata melihat bentuk-bentuk" adalah Dhamma; "telinga mendengar suara-suara" adalah Dhamma; "hidung mencium aroma" adalah Dhamma; "lidah mengecap citarasa" adalah Dhamma; "tubuh merasakan sensasi-sensasi" adalah Dhamma; ketika kesan-kesan pengalaman muncul di dalam pikiran, itu adalah Dhamma juga. Oleh sebab itu, mereka yg memiliki sati secara berkesinambungan, selalu mendengarkan ajaran Sang Buddha. Dhamma selalu ada di sana. Mengapa? Karena sati, karena kita selalu sadar.

Sati adalah ingatan, sampajañña adalah kesadaran diri. Kesadaran ini adalah Buddho yg sebenarnya, Sang Buddha. Bilamana ada sati-sampajañña, pemahaman pun akan muncul. Kita tahu apa yg sedang terjadi. Ketika mata melihat bentuk-bentuk: apakah ini tepat atau tidak tepat? Ketika telinga mendengar suara: apakah ini pantas atau tidak pantas? Apakah ia berbahaya? Apakah ia salah, apakah ia benar? Dan seterusnya seperti ini terhadap segala sesuatunya. Jika kita memahami, maka kita mendengarkan Dhamma di setiap saat.

Jadi, mari kita semua memahami bahwa saat ini kita sedang belajar di tengah-tengah Dhamma. Apakah kita bergerak maju atau mundur, kita bertemu dgn Dhamma - semuanya adalah Dhamma, jika kita punya sati. Bahkan dgn melihat binatang-binatang yg berlarian di hutan, kita bisa merenungkan, melihat bahwa semua binatang sama seperti kita. Mereka melarikan diri dari penderitaan dan mengejar kebahagiaan, sama seperti yg dilakukan manusia. Apa pun yg mereka tidak suka, mereka hindari; mereka takut mati, sama seperti manusia. Jika kita merenungkan hal ini, kita melihat bahwa semua makhluk hidup di dunia, termasuk manusia, punya naluri yg sama. Berpikir seperti ini dinamakan "'bhāvanā" (note: Bhāvanā - artinya "mengembangkan" atau "menumbuhkan", tetapi biasanya digunakan utk merujuk pada citta-bhāvanā, mengembangkan pikiran, atau paññā-bhāvanā, mengembangkan kebijaksanaan, atau perenungan), melihat sesuai dgn kebenaran, bahwa semua makhluk hidup adalah sederajat di dalam kelahiran, usia tua, sakit dan kematian. Binatang sama seperti manusia dan manusia sama seperti binatang. Jika kita benar-benar memandang segala sesuatu seperti apa adanya, pikiran kita akan melepaskan kemelekatan pada mereka.

Oleh sebab itu, dikatakan bahwa kita harus memiliki sati. Jika kita punya sati, kita akan melihat keadaan pikiran kita sendiri. Apa pun yg sedang kita pikirkan atau rasakan, kita harus mengetahuinya. "Mengetahui" ini dinamakan Buddho, Sang Buddha, "Yang Mengetahui"... yg mengetahui sepenuhnya, yg mengetahui secara jelas dan tuntas. Bila pikiran mengetahui secara tuntas, kita telah menemukan latihan yg benar.

Jadi, cara yg sesungguhnya utk berlatih adalah dgn memiliki kesadaran, sati. Jika anda tidak punya sati selama lima menit, anda gila selama lima menit, masa bodoh (heedless) selama lima menit. Bilamana anda tidak punya sati, anda pun jadi gila. Jadi, sati itu penting. Dgn memiliki sati, maka anda mengetahui diri anda sendiri, mengetahui kondisi pikiran anda dan kehidupan anda, untuk memiliki pemahaman dan kearifan, untuk mendengarkan Dhamma di setiap saat. Setelah pulang dari mendengarkan ceramah guru, anda masih mendengarkan Dhamma, karena Dhamma ada di mana-mana.

Oleh sebab itu, anda-anda sekalian, berlatihlah setiap hari. Apakah malas atau rajin, berlatihlah terus. Praktek Dhamma tidak dilakukan dgn mengikuti suasana hati anda. Jika anda berlatih mengikuti suasana hati anda, maka itu bukanlah Dhamma. Jangan membeda-bedakan antara pagi dan malam hari, apakah pikiran damai atau tidak ... teruslah berlatih.

Sama seperti seorang anak kecil yg sedang belajar menulis. Awalnya dia tidak bisa menulis dgn bagus - lengkungan dan lekukan yg besar dan panjang - dia menulis seperti anak kecil. Setelah beberapa waktu, tulisannya membaik melalui latihan. Mempraktekkan Dhamma adalah seperti ini. Awalnya anda merasa canggung..... kadang-kadang tenang, kadang tidak, anda tidak begitu memahami segala sesuatunya. Beberapa orang menjadi patah semangat. Jangan mengendurkan latihan! Anda harus gigih berlatih. Hiduplah dgn penuh usaha, seperti anak kecil tadi: semakin dewasa, dia semakin mahir menulis. Dari yg pada awalnya tulisannya tidak bagus, dia pun tumbuh dan menulis dgn indahnya, semua karena latihan yg dia lakukan di masa kanak-kanak.

Latihan kita adalah seperti ini. Berusahalah utk memiliki kesadaran di setiap saat: berdiri, berjalan, duduk atau berbaring. Bila kita melaksanakan berbagai tugas kita dgn lancar dan baik, kita merasa damai di dalam bathin. Bila ada kedamaian bathin di dalam pekerjaan kita, maka kita akan mudah mendapatkan meditasi yg tenang, karena mereka berjalan beriringan. Jadi, berusahalah. Anda semua seharusnya berusaha utk mengikuti praktek. Inilah latihannya.


********************************
Sumber: http://www.ajahnchah.org

2
Theravada / "Convention and Liberation" - Ajahn Chah
« on: 16 October 2010, 09:49:23 PM »
Convention and Liberation

Oleh : Ajahn Chah


Segala sesuatu yg ada dunia ini hanyalah berupa konvensi (ketentuan, kesepakatan) yg kita buat sendiri. Setelah membuat dan merumuskan konvensi tsb, kita malah tersesat di dalamnya, dan menolak untuk melepaskannya, sehingga menimbulkan kemelekatan pada pandangan dan pendapat-pendapat pribadi.  Kemelekatan ini tidak pernah berakhir, ia adalah samsāra, mengalir secara terus-menerus. Ia tidak memiliki penyelesaian. Sekarang, jika kita mengenali dan mengetahui realita konvensional ini, maka kita akan mengetahui Pembebasan. Jika kita mengetahui Pembebasan secara jelas, maka kita pun akan memahami apa itu konvensi. Ini adalah mengetahui Dhamma. Di sinilah letak penyelesaiannya.

Ambillah contoh orang-orang. Sebenarnya, orang tidak memiliki nama, kita lahir telanjang di dunia. Jika kita memiliki nama, ia muncul karena konvensi. Saya sudah merenungkan hal ini dan melihat bahwa jika anda tidak memahami kebenaran dari konvensi ini, ia bisa menjadi benar-benar berbahaya. Ia hanyalah sesuatu yg kita gunakan untuk mempermudah kita saja. Tanpa konvensi, kita tidak mungkin bisa berkomunikasi, tidak ada yg bisa diucapkan, tidak ada bahasa apa pun.

Saya mengamati orang-orang Barat ketika mereka duduk bermeditasi bersama-sama di negara-negara Barat. Ketika mereka berdiri setelah duduk bermeditasi, laki-laki dan perempuan secara bersamaan, kadang-kadang mereka mendekat dan saling menyentuh kepala (note: menyentuh kepala orang di Thailand biasanya dianggap sebagai penghinaan).  Ketika saya melihat hal ini saya berpikir, "Ehh, jika kita terikat pada konvensi, ia menimbulkan kegelapan bathin di sana." Jika kita bisa melepaskan konvensi, melepaskan opini-opini kita, maka kita pun bisa damai.

Seperti halnya para jenderal dan kolonel, orang-orang dari berbagai jabatan dan pangkat, yg datang mengunjungi saya. Ketika mereka datang mereka bilang, "Oh, tolong sentuh kepala saya." (note: di Thailand, dgn kepala disentuh oleh bhikkhu yg sangat dihormati, dipercaya dapat membawa keberuntungan). Jika mereka meminta hal-hal seperti ini, memang tidak ada yg salah, mereka senang jika kepala mereka disentuh. Tetapi jika anda menepuk kepala mereka di tengah jalan, itu lain lagi ceritanya! Ini adalah akibat dari kemelekatan. Jadi, saya merasa bahwa melepaskan adalah jalan yg benar-benar menuntun kepada kedamaian. Menyentuh kepala tidaklah sesuai dengan adat istiadat kita, tetapi sebenarnya itu tidak ada apa-apanya. Bila mereka memperbolehkan kepala mereka disentuh, maka tidak ada yg salah di sana, tidak ada bedanya dgn memegang kubis atau kentang.

Menerima, melepaskan, merelakan - ini adalah jalan menuju penerangan. Di mana anda melekat, maka di sana pula ada kemunculan dan kelahiran. Ada bahaya di sana. Sang Buddha mengajarkan ttg konvensi dan beliau mengajarkan kita untuk melepaskan konvensi dgn cara yg benar, supaya kita bisa mencapai Pembebasan.

Inilah kebebasan, tidak melekat pada konvensi. Segala sesuatu di dunia ini merupakan realita konvensional. Setelah membuat dan menetapkan konvensi-konvensi, seharusnya kita tidak tertipu oleh mereka, karena dgn terjebak di dalamnya akan benar-benar menuntun pada penderitaan. Peraturan-peraturan dan konvensi adalah poin yg sangat penting. Seseorang yg dapat melampaui mereka, akan melampaui penderitaan.

Namun demikian, mereka adalah karakteristik dari dunia kita. Ambil contoh Pak Boonmah misalnya; dia dulunya hanya seorang masyarakat biasa saja, tetapi sekarang dia telah diangkat menjadi Komisioner Wilayah. Hal ini hanyalah sebuah konvensi saja, tetapi ini adalah konvensi yg seharusnya kita hormati. Ia adalah bagian dari dunia umat manusia. Jika anda berpikir, "Oh, sebelumnya kami adalah sahabat, kami dulu sama-sama bekerja di toko baju," dan kemudian anda pergi dan menepuk kepalanya di depan umum, dia akan marah. Itu tidak benar, dia akan merasa tersinggung. Jadi, kita seharusnya mengikuti konvensi-konvensi agar tidak menyinggung perasaan orang. Adalah bermanfaat untuk memahami konvensi, hidup di dunia memang seperti ini. Mengetahui tempat dan waktu yg tepat, mengetahui orangnya.

Mengapa adalah hal yg salah untuk melawan konvensi? Ia salah karena orang-orang! Anda harus pintar-pintar, memahami baik konvensi maupun Pembebasan. Mengetahui waktu yg tepat utk masing-masing. Jika kita tahu bagaimana menggunakan peraturan-peraturan dan konvensi-konvensi dgn tepat, maka kita pun menjadi telaten.

Tetapi jika kita mencoba utk berprilaku menurut realita tingkat yg lebih tinggi namun pada situasi yg salah, maka ini menjadi keliru. Di mananya yg keliru? Ia keliru karena berbenturan dgn kegelapan bathin orang-orang, itulah dia! Semua orang memiliki kegelapan bathin. Di dalam situasi yg satu, kita berprilaku dgn cara yg ini, di dalam situasi yg lain, kita harus berprilaku dgn cara yg lain pula. Kita harus mengetahui plus minusnya, karena kita hidup di dalam konvensi-konvensi. Masalah-masalah muncul karena orang melekat kepadanya. Jika menganggap sesuatu menjadi seperti itu, maka jadilah ia seperti itu. Ia disana karena kita menganggapnya ada di sana. Tetapi jika anda memperhatikan lebih cermat, secara absolut sebenarnya hal-hal ini tidak ada.

Seperti yg sudah sering saya katakan, sebelumnya kita adalah umat awam dan kini kita adalah bhikkhu. Kita hidup di dalam konvensi "umat awam" dan kini kita hidup di dalam konvensi "bhikkhu". Kita adalah bhikkhu secara konvensi, bukan bhikkhu di dalam Pembebasan. Pada awalnya kita merumuskan konvensi-konvensi seperti ini, tetapi jika seseorang cuma ditahbiskan saja, ini tidak berarti dia sudah menaklukkan kegelapan bathinnya. Jika kita mengambil segenggam pasir dan sepakat utk menyebutnya garam, apakah ini menjadikannya garam? Ia memang garam, tetapi hanya sebutannya saja, bukan kenyataannya. Anda tidak bisa memakainya utk masak. Satu-satunya fungsinya hanya ada di dalam lingkup kesepakatan itu saja, karena pada kenyataannya tidak ada garam apa pun di sana, hanya pasir. Ia menjadi garam hanya karena kita menganggapnya begitu.

Kata "Pembebasan" ini sendiri juga hanyalah sebuah konvensi saja, tetapi ia merujuk kepada hal-hal yg melampaui konvensi. Setelah mencapai kebebasan, setelah mencapai Pembebasan, kita tetap harus menggunakan konvensi utk merujuk kepadanya sebagai Pembebasan. Jika kita tidak memiliki konvensi, kita tidak bisa berkomunikasi. Jadi, ia memiliki kegunaan.

Sebagai contoh, orang-orang memiliki nama yg berbeda-beda, tetapi mereka semua adalah sama-sama manusia. Jika kita tidak mempunyai nama utk membedakan yg satu dgn yg lain, dan kita mau memanggil seseorang yg berdiri di kerumunan orang, dan berteriak, "Hei, Orang! Orang!", itu tidak ada gunanya. Anda tidak bisa menandai siapa yg akan menyahut anda karena mereka semua adalah "orang". Tetapi jika anda memanggil, "Hei, John!", maka John akan muncul, yg lain tidak akan menjawab. Fungsi nama adalah untuk ini. Melalui nama, kita bisa berkomunikasi, ia menyediakan dasar bagi prilaku sosial.

Jadi, anda seharusnya mengetahui baik konvensi maupun pembebasan. Konvensi memiliki kegunaan, tetapi sebenarnya tidak ada apa pun di sana. Bahkan orang pun tidak nyata. Mereka hanyalah sekumpulan unsur-unsur, yg lahir dari kondisi-kondisi penyebab, tumbuh berkembang sesuai kondisi, muncul utk sementara, dan selanjutnya hilang secara alamiah. Tidak ada seorang pun yg bisa melawan atau mengendalikannya. Tetapi tanpa konvensi, kita tidak punya apa pun untuk diucapkan, kita tidak akan punya nama, tidak berlatih, tidak bekerja. Aturan-aturan dan konvensi-konvensi itu dibuat agar kita punya bahasa, utk membuat segala sesuatunya jadi mudah, itu saja.

Ambil contoh uang misalnya. Di zaman dahulu, tidak ada uang logam atau uang kertas, mereka tidak berharga. Orang biasanya tukar-menukar barang-barang, tetapi barang-barang itu sulit disimpan, jadi mereka pun menciptakan uang, dgn memakai koin dan kertas. Mungkin di masa depan akan muncul dekrit raja yg baru bahwa kita tidak perlu lagi menggunakan uang kertas, kita akan menggunakan lilin, yg dicairkan dan kemudian dibentuk menjadi gumpalan-gumpalan. Kita menyebutnya uang dan memakainya di seluruh negeri. Jangankan lilin, mereka bahkan mungkin akan menggunakan tahi ayam sebagai mata uang lokal - semua yg lain tidak bisa menjadi uang, hanya tahi ayam saja! Lalu orang-orang akan berkelahi dan saling membunuh demi memperebutkan tahi ayam!

Begitulah adanya. Anda bisa memakai banyak contoh utk menggambarkan konvensi. Apa yg kita gunakan sebagai uang hanyalah sebuah konvensi yg kita buat, ia memiliki kegunaannya di dalam lingkup konvensi itu. Setelah dideklarasikan menjadi uang, jadilah ia uang. Tetapi sebenarnya, apakah uang itu? Tidak ada seorang pun yg bisa menjawab.  Ketika di sana ada sebuah persetujuan dan kesepakatan yg populer tentang sesuatu, maka konvensi akan muncul utk mememenuhi kebutuhannya. Dunia adalah seperti ini.

Ini adalah konvensi, tetapi utk membuat orang-orang paham tentang Pembebasan, benar-benar sulit. Uang kita, rumah kita, keluarga kita, anak-anak kita dan sanak famili kita hanyalah konvensi-konvensi yg kita ciptakan, tetapi sebenarnya, bila dilihat dgn sinar Dhamma, mereka bukanlah milik kita. Mungkin setelah mendengar ini, kita merasa tidak begitu nyaman, tetapi kenyataannya adalah seperti itu. Hal-hal ini menjadi bernilai hanya melalui konvensi yg telah dibuat. Jika kita sepakat bahwa ia tidak bernilai apa pun, maka ia menjadi tidak ada nilainya. Jika kita memutuskan bahwa ia punya nilai, maka ia pun bernilai. Begitulah adanya, kita membawa konvensi ke dunia ini utk memenuhi kebutuhannya.

Bahkan tubuh kita ini bukan benar-benar milik kita, kita cuma menganggapnya seperti itu. Ia sebenarnya cuma anggapan kita saja. Jika anda mencoba mencari suatu jati diri yg nyata dan substansial di dalamnya, anda tidak akan bisa. Mereka hanyalah unsur-unsur yg muncul, berlanjut untuk sementara dan kemudian mati. Segala sesuatunya adalah seperti ini. Tidak ada yg nyata, tidak ada substansi yg nyata di dalamnya, tetapi tidak ada salahnya jika kita memakainya. Seperti sebuah cangkir. Pada suatu saat cangkir itu akan pecah, tetapi selama ia masih ada, anda seharusnya memakainya dan merawatnya baik-baik. Ia adalah alat untuk anda pakai. Jika ia pecah, maka timbul kesulitan. Jadi, walaupun ia pasti akan pecah, anda seharusnya merawatnya sebisa mungkin supaya tidak cepat pecah.

Jadi, kita mempunyai empat kebutuhan pokok (note: empat kebutuhan Sangha - makanan, jubah, obat-obatan, tempat tinggal) yg berulang kali diajarkan Sang Buddha utk direnungkan. Mereka adalah kebutuhan yg diperlukan oleh bhikkhu utk bisa melanjutkan latihannya. Selama anda masih hidup, anda harus bergantung padanya, tetapi anda seharusnya memahami mereka. Jangan melekat padanya, yg bisa memunculkan nafsu keinginan di dalam pikiran anda.

Konvensi dan Pembebasan memiliki hubungan satu sama lain seperti ini secara terus-menerus. Walaupun kita memakai konvensi, jangan menganggapnya sebagai suatu kebenaran. Jika anda melekat padanya, penderitaan akan muncul. Seperti tentang benar dan salah, adalah sebuah contoh yg bagus. Beberapa orang menganggap salah menjadi benar dan benar menjadi salah, tetapi pada akhirnya siapa yg benar-benar mengetahui mana yg benar dan mana yg salah? Kita tidak tahu. Orang-orang yg berbeda-beda membuat konvensi yg berbeda-beda tentang mana yg benar dan mana yg salah, tetapi Sang Buddha mengambil penderitaan sebagai dasar acuannya. Jika anda ingin berdebat tentang hal ini, ia tidak akan berakhir. Yg satu bilang "benar", yg lain bilang "salah". Yg satu bilang "salah", yg lain bilang "benar". Sebetulnya kita sama sekali tidak tahu yg benar dan yg salah. Tetapi secara praktis, kita bisa mengatakan bahwa hal yg benar adalah tidak menyakiti diri sendiri dan pihak lain. Dengan cara ini, ia akan menjadi tujuan yg membangun bagi diri kita.

Jadi, pada akhirnya, aturan-aturan dan konvensi dan pembebasan, semuanya hanyalah dhamma-dhamma. Yg satu lebih tinggi dari yg lain, tetapi mereka berjalan beriringan. Tidak mungkin kita bisa memastikan bahwa segala sesuatunya seperti ini atau seperti itu, jadi Sang Buddha menyuruh kita utk membiarkannya saja. Biarkan saja ia sebagai hal yg tidak pasti. Betapapun anda menyukai atau membencinya, anda seharusnya memahaminya sebagai hal yg tidak pasti.

Terlepas dari tempat dan waktu, keseleruhan praktek Dhamma akan mencapai penyelesaian di suatu tempat di mana tidak ada apa pun di sana. Ia adalah suatu tempat pelepasan, tempat kekosongan, tempat utk meletakkan segala beban. Inilah akhirnya. Ia bukan seperti orang yg berkata, "Mengapa bendera itu berkibar-kibar? Saya bilang itu karena angin." Orang yg lain berkata itu karena benderanya sendiri. Yg lain membantah dgn berkata itu karena angin. Tidak ada akhirnya! Sama seperti teka-teki kuno, "Yg mana yg muncul terlebih dahulu, ayam atau telur?" Tidak ada yg bisa menemukan jawabannya, ini adalah sifat alam.

Semua yg kita bicarakan ini hanyalah konvensi saja, buatan kita sendiri. Jika anda memahami hal-hal ini dgn kebijaksanaan, maka anda akan memahami ketidakkekalan, penderitaan dan tanpa diri. Ini adalah pandangan yg menuntun kepada pencerahan.

Anda tahu, melatih dan mengajari orang-orang dgn tingkat pemahaman yg berbeda-beda sangatlah sulit. Beberapa orang punya pemikiran tertentu, anda memberitahukan mereka sesuatu dan mereka tidak percaya kepada anda. Anda memberitahukan mereka kebenaran dan mereka bilang itu tidak benar. "Saya benar, anda yg salah...." Tidak ada akhirnya.

Jika anda tidak melepaskan, maka akan muncul penderitaan. Saya sudah pernah menceritakan tentang empat orang yg pergi ke hutan. Mereka mendengar seekor ayam berkokok, "Kukuruyukkkk!" Salah seorang di antara mereka bertanya-tanya, "Itu ayam jantan atau betina?" Tiga orang di antara mereka serentak berkata, "Itu ayam betina." Tapi seorang lagi tidak setuju, dia bersikeras itu adalah ayam jantan."Bagaimana bisa ayam betina berkokok seperti itu?" tanyanya. Teman-temannya pun membantah, "Ia punya mulut, bukan?" Mereka berempat pun berdebat dan terus berdebat sampai air mata mereka menetes, benar-benar marah, tetapi pada akhirnya mereka semua salah. Apakah anda menyebutnya ayam betina atau ayam jantan, itu hanyalah sebutan-sebutannya saja. Kita menciptakan konvensi-konvensi ini, menyatakan bahwa ayam jantan adalah seperti ini, ayam betina seperti itu; ayam jantan menangis seperti ini, ayam betina menangis seperti itu ..... dan beginilah kita terjebak di dunia ini! Ingatlah ini! Sebenarnya, jika anda bilang di sana tidak ada ayam betina dan tidak ada ayam jantan, maka itulah akhir dari semuanya.

Di dalam realita konvensional, satu sisi adalah benar dan sisi yg lain salah, tetapi tidak akan pernah ada kesepakatan yg komplit. Berdebat sampai air mata menetes, tidak ada gunanya.

Sang Buddha mengajarkan untuk tidak melekat. Bagaimana kita melatih ketidakmelekatan? Kita berlatih hanya dgn melepaskan kemelekatan, tetapi ketidakmelekatan ini sangat sulit utk dipahami. Perlu kebijaksanaan yg kuat utk menyelidiki dan menembusnya, utk benar-benar mencapai ketidakmelekatan.

Apakah orang-orang bahagia atau sedih, puas atau tidak puas, tidak tergantung kepada apakah mereka punya banyak atau punya sedikit - tetapi ia tergantung pada kebijaksanaan. Segala kesulitan bisa dilampaui hanya melalui kebijaksanaan, dgn melihat kebenaran dari segala sesuatunya.

Jadi, Sang Buddha menasehati kita utk menyelidiki, utk merenungkan. "Perenungan" ini artinya mencoba utk menyelesaikan masalah-masalah ini dgn benar. Ini adalah latihan kita. Seperti kelahiran, usia tua, sakit dan kematian - ini adalah peristiwa-peristiwa yg paling alamiah dan umum. Sang Buddha mengajarkan utk merenungkan kelahiran, usia tua, sakit dan kematian, tetapi beberapa orang tidak memahami hal ini. "Apanya yg perlu direnungkan?" mereka bilang. Mereka dilahirkan tetapi mereka tidak tahu apa itu kelahiran, mereka akan mati tetapi mereka tidak memahami kematian.

Seseorang yg menyelidiki hal-hal ini secara terus-menerus, akan memahami. Setelah memahami, secara bertahap dia akan menyelesaikan masalah-masalahnya. Walaupun jika dia masih memiliki kemelekatan, jika dia punya kebijaksanaan dan memahami bahwa usia tua, sakit dan kematian adalah sifat-sifat dari alam, maka dia akan bisa meringankan penderitaan. Kita mempelajari Dhamma hanya utk ini saja - untuk mengobati penderitaan.

Tidak banyak yg menjadi dasar dari agama Buddha, hanya ada kelahiran dan kematian dari penderitaan, dan hal inilah yg Sang Buddha katakan sebagai kebenaran. Kelahiran adalah penderitaan, usia tua adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan dan kematian adalah penderitaan. Orang tidak melihat penderitaan ini sebagai kebenaran. Jika kita mengetahui kebenaran, maka kita pun mengetahui penderitaan.

Rasa bangga akan pendapat-pendapat pribadi, perdebatan-perdebatan ini, tidak akan berakhir. Supaya pikiran kita bisa beristirahat, utk menemukan kedamaian, kita seharusnya merenungkan masa lalu kita, saat ini, dan hal-hal yg sedang menunggu kita kelak. Seperti kelahiran, usia tua, sakit dan kematian. Apa yg bisa kita lakukan utk terhindar dari hal-hal ini? Walaupun kita mungkin masih punya sedikit kekhawatiran, jika kita menyelidikinya hingga kita mengetahui sesuai dgn kebenaran, maka segala penderitaan akan mereda, karena kita tidak lagi melekat padanya.


****************************************
Sumber : http://www.ajahnchah.org

3
Theravada / "Building Hearts, Not Halls" - Ajahn Brahm
« on: 16 October 2010, 09:40:56 PM »
Building Hearts, Not Halls

Oleh : Ajahn Brahm


Salah satu hal yg paling penting di dalam masyarakat seperti kita yg ada di sini atau yg ada di kantor anda atau di rumah, adalah kadang-kadang kita mendapatkan apa yg kita inginkan, kadang-kadang kita tidak mendapatkan apa yg kita inginkan. Dan kadang-kadang saya berpikir ketika kita tidak mendapatkan apa yg kita inginkan, itu bahkan lebih bagus, karena ia mengajarkan kita bahwa dunia ini tidak bisa diatur. Dengan kata lain, di luar kendali anda.

Karena kita selalu ingin segala sesuatunya sesuai dengan kehendak kita, dan kadang-kadang itu tidak terwujud. Mungkin dari anda-anda sekalian yg memiliki banyak pertanyaan pada sore hari ini, ada yg tidak memiliki kesempatan untuk bertanya. Dan anda berpikir, "Ini tidak adil! Mengapa ini terjadi pada saya? Apa yg bisa kita lakukan untuk memastikan ini tidak terjadi lagi?" Dan bagi anda yg punya kesempatan utk bertanya dan berbicara akan berpikir,"Bagus! Satu lagi ceramah yg bagus. Ini sungguh bagus!" Tetapi anda-anda yg ada di kelompok ke dua lah yg berada pada posisi yg dirugikan, karena di dalam jalan spiritual ini, hal yg paling hebat yg telah terjadi pada diri anda adalah kekecewaan, frustrasi, tidak mendapatkan apa yg anda inginkan, karena hal-hal ini akan menuntun anda untuk tidak lagi terlalu bernafsu mendapatkan apa yg anda inginkan di masa depan. Anda tidak mencoba untuk mengendalikan segala sesuatunya. Anda menjadi lebih bisa melepaskan segala sesuatunya dan mengalir mengikuti arus.

Kembali lagi ke cerita tentang kehidupan saya sendiri. Salah satu pengalaman yg indah yg saya alami di sini di Serpentine, Australia Barat. Mendirikan vihara kami, adalah ketika kami mendesain gedung meditasi. Bagi anda yg telah mengunjungi Serpertine, Vihara Bodhinyana, yg telah melihat gedung meditasi kami. Gedung itu digunakan untuk ceramah, meditasi, untuk melakukan upacara pentahbisan dan sebagainya. Tetapi ketika kami mendesain nya, saya terlibat perdebatan sengit dgn bhikkhu lain pada saat itu, yakni kepala vihara pada saat itu, Ajahn Jagaro, dan saya adalah wakilnya. Karena dia ingin mendirikannya dgn cara yg satu, dan saya ingin mendirikannya dgn cara yg lain. Dan anda tahu, saya lah yg benar! Saya telah mendirikan banyak bangunan, sedangkan dia tidak pernah mendirikan satu pun. Saya paham cara kerja bangunan, dia tidak. Jadi, ketika dia menunjukkan rancangannya, saya bilang, "Ini desain yg bodoh, ia tidak akan berhasil!' Dan jauh lebih bagus mendirikannya dgn cara lain, jauh lebih murah, lebih besar, lebih sejuk, dgn lebih banyak ruangan meditasi. Jadi, kami pun terlibat perdebatan sengit selama sekitar satu minggu. Dan setiap kali saya berargumentasi ttg rancangan saya, dia selalu menolaknya dan berargumentasi kembali atas rancangannya. Saya sungguh sangat konyol. Sebenarnya dia lah yg konyol. Tapi sudahlah.

Tetapi terpikir oleh saya pada suatu hari, "Untuk apa saya melakukan semua ini? Saya adalah seorang bhikkhu! Bhikkhu seharusnya tidak berdebat. Pasti ada cari lain untuk mengatasi persoalan ini." Kami berkelakuan seperti suami dan istri, berdebat ttg siapa yg akan melakukannya dgn cara ini atau cara itu. Jadi, mengingat saya adalah seorang bhikkhu dan apa yg seharusnya dilakukan oleh seorang umat Buddha, saya pun membawa beberapa batang lilin, dupa dan bunga ke kuti Ajahn  Jagaro, untuk meminta maaf. Walaupun saya tidak melakukan kesalahan apa pun, walaupun sampai hari ini saya tetap berpendirian bahwa rancangan saya jauh lebih bagus, bukan itu intinya. Saya pun meminta maaf. Saya bilang, "Maaf telah berdebat beberapa hari ini." Dan saya ingat Ajahn Jagaro agak terkejut dan dia berpikir, "Wow, ini hal yg luar biasa karena biasanya ketika orang-orang berdebat, tidak ada yg mau mengalah." Tetapi saya memutuskan untuk mengalah. Dan dia berterimakasih karena saya sudah mengalah, dan saya berkata, "Sekarang, saya punya satu permintaan." Dan tentu saja ketika orang berkata seperti ini, akan muncul rasa curiga, "Apa itu?" Dan saya bilang, "Saya setuju utk mendirikan gedung meditasi sesuai dgn rancangan mu. Tetapi permintaan saya adalah bolehkah saya yg mengerjakannya?" "Bisakah saya yg mengorganisir semuanya?" Saya ingin mengerjakan pembangunan gedung yg tidak saya setujui rancangannya. Dan tentu saja dia menyetujuinya. Dan jika anda mememperhatikan surat ijin pendirian bangunan di gedung utama Vihara Bodhinyana, ada nama Ajahn Brahm di sana. Sayalah yg membangunnya.

Dan saya bekerja begitu keras utk gedung itu, tetapi saya selalu melakukannya sesuai dgn keinginan dan rancangan Ajahn Jagaro. Dan itu adalah sebuah latihan yg bagus bagi saya karena saya melakukan sesuatu yg tidak saya sukai. Saya tetap melakukannya walaupun saya berpendapat akan jauh lebih baik untuk melakukannya dgn cara saya sendiri. Mengapa? Bukan karena gedung itu penting, tetapi karena perkembangan spiritual dari seorang manusia adalah jauh lebih penting. Siapa yg peduli pada gedung? Gedung bisa didirikan seperti ini atau itu. Yg benar-benar penting adalah orangnya, dan perkembangan spiritual anda. Dan berkembang sebagai seorang manusia, anda menyadari bahwa anda tidak bisa mengendalikan lingkungan anda. Tetapi anda bisa membuat sesuatu darinya.

Jadi, kami pun mengerjakan gedung itu selama dua tahun. Dan tentu saja saya bukanlah seorang tukang bangunan yg profesional. Kadang-kadang ada orang yg melihat saya mengerjakannya, mereka begitu khawatir, semua tiang bangunan yg harus kami dirikan, dan tentu saja para bhikkhu sendiri yg mengerjakan itu semua. Dan ketika anda berada di puncak bangunan di atas sana, batu bata nya malah tidak mau menempel. Anda tahu, bergoyang ke sana ke mari. Tetapi pada akhirnya kami bisa mengatasinya. Anda bisa melihat beberapa batu bata terakhir, terutama yg ada di puncak bangunan itu. Sayalah yg memasang batu bata itu sendiri. Karena tidak ada orang yg mau naik ke atas sana. Dan tidak ada satu tiang pun di puncak bangunan, anda harus merangkak perlahan-lahan di tepinya. Dindingnya tidak memiliki tempat untuk berpijak. Di bagian paling atas, di puncaknya, saya merangkak ke sana perlahan-lahan sambil menenteng seember semen di tangan yg satu, dan batu bata di tangan yg lain, dan memasangnya. Beberapa orang yg melihat saya berpikir saya tentu punya kekuatan supranatural utk bisa melayang di udara, sehingga tidak jatuh. Karena tidak ada apa pun di sana yg bisa dijadikan pegangan. Tetapi saya melakukannya. Tentu saja beberapa kali tangan saya terluka dan pegal-pegal. Jadi, saya tahu bagi kebanyakan umat Buddha tradisional, mereka sangat bangga pada kenyataan bahwa di dalam penyebaran agama Buddha di seluruh penjuru dunia selama berabad-abad, ia tidak pernah disebarkan dgn cara-cara kekerasan. Mereka bilang tidak ada setetes darah pun yg ditumpahkan utk mengembangkan agama Buddha di dunia ini. Dan tentu saja saya bilang itu salah! Saya menumpahkan begitu banyak darah saya pada bangunan-bangunan itu, setiap bangunan yg ada di vihara ini memiliki DNA saya. Karena jari anda akan berdarah terhantam martil, tersayat gergaji dan lain sebagainya.

Jadi, saya memberi begitu banyak pada bangunan itu. Dan ketika ia selesai, saya berpikir, wow, saya ternyata bisa menyumbangkan 100% pada sesuatu yg saya pikir seharusnya bisa dilakukan dgn cara yg lebih baik lagi. Dan bagi saya itu benar-benar suatu pembelajaran. Bagaimana utk bisa melepaskan, tetapi tidak dgn hanya melepaskan dan berkata, "Saya tidak setuju, saya tidak akan membantumu lagi. Semuanya terserah kamu!" Tidak. Tidak begitu. Tetapi dgn tidak setuju dan memahami bahwa itu adalah bagian dari kehidupan. Anda pernah tidak sepaham di antara dua orang, tiga, empat orang. Tetapi walaupun kita tidak sepaham, kita tetap bisa bekerjasama. Dan saya ingin membuktikan bahwa itu bisa dilakukan.

Jadi, bilamana anda terlibat di dalam suatu pengambilan keputusan dgn cara voting seperti ini, dan anda berada pada pihak yg kalah, sesungguhnya andalah yg berada pada posisi yg diuntungkan. Keuntungannya adalah dgn menggunakan kekecewaan karena tidak mendapatkan apa yg anda inginkan sebagai cara untuk melatih diri anda sendiri, untuk tidak selalu mendapatkan apa yg anda inginkan. Kalau tidak, bagaimana anda bisa hidup dengan orang lain, atau bahkan hidup dgn diri anda sendiri? Kadang-kadang saya datang ke sini pada sore hari, dan berpikir, "Saya akan memberikan ceramah yg bagus malam ini, saya tak akan memberikan ceramah yg bodoh." Kadang-kadang anda benar-benar berusaha keras untuk melakukan sesuatu yg bagus dan ternyata hasilnya tidak demikian. Dan saya menemukan bahwa anda tidak bisa mengendalikan dunia ini. Yg bisa anda lakukan adalah mencoba sekuat tenaga dan dgn hati yg benar-benar tulus, mengeluarkan semua energi dan kebaikan anda sebisa mungkin. Kebanyakan ia akan berhasil, tetapi kadang-kadang tidak. Ketika ia tidak berhasil, apa yg terjadi? Jika anda adalah orang yg pada saat ia tidak berhasil, tidak mengetahui bagaimana cara mengatasinya ketika segala sesuatunya tidak sesuai harapan anda, maka apa yg dilakukan kebanyakan orang, pertama-tama, adalah mereka akan frustrasi.

Mereka merasa frustrasi, "Mengapa dia tidak bisa memahami bahwa saya lah yg benar?" Dan ketika yg lain berpikir, "Mengapa dia tidak bisa memahami bahwa saya lah yg benar?", sehingga anda pun frustrasi. Saya memperhatikan tingkatan selanjutnya setelah frustrasi. Saya kira anda semua pernah mengalami frustrasi karena tidak mendapatkan apa yg anda inginkan, ketika segala sesuatunya tidak seperti yg anda harapkan, ketika begitu banyak rintangan di hadapan hal-hal yg anda anggap pantas dan benar utk dilakukan. Setelah anda merasa frustrasi, apa yg terjadi kemudian? Marah. Orang-orang akan mulai marah. "Kamu bhikkhu yg bodoh! Kamu istri yg bodoh! Kamu suami yg bodoh!" Dan kemarahan adalah hal yg menyakitkan yg dialami kedua belah pihak. Itulah sebabnya mengapa ketika saya marah kepada bhikkhu lain yg sangat saya hormati dan peduli, saya merasa begitu bersalah karena marah dan itu adalah hal yg sangat tidak pantas utk dilakukan. Itu sangat menyakitkan bagi setiap orang dan saya sangat malu karenanya.

Jadi, mengapa orang-orang marah satu sama lain? Anda tidak harus marah. Itu karena anda merasa frustrasi, karena anda mengira anda bisa mengatur dan mengendalikan segala sesuatunya, selalu mendapatkan apa yg anda inginkan. Jadi ingatlah hal-hal yg lebih penting, ini adalah pengetahuan yg saya peroleh dari pengalaman itu. Adalah jauh lebih penting bagi saya untuk tidak marah, dan menyelesaikan segala sesuatu dgn benar. Dan sampai hari ini, saya berusaha mengarahkan bhikkhu-bhikkhu saya, mengarahkan umat Buddha, para anggota yayasan, bahwa hal yg lebih penting adalah bukan ketika anda menyelesaikan segala sesuatunya, tetapi cara anda menyelesaikan segala sesuatunya.

Tidak ada gunanya memiliki pusat meditasi yg paling sempurna, gedung yg paling bagus, lahan yg paling terawat, bersih dan rapi, kalau anda harus berteriak kepada orang-orang, dan marah kepada mereka. Lebih baik saya punya vihara yg kotor tidak terawat, sebuah pusat agama buddha yg kumuh yg hampir seluruh bagian bangunannya tercerai-berai, sepanjang orang-orangnya tidak tercerai-berai, baik hati antara satu dgn yg lain, saling bekerjasama, selalu harmonis. Karena mungkin sebagai seorang bhikkhu, prioritas saya lain. Sukses tidaknya sebuah masyarakat, tidak terletak pada sisi materialnya, melainkan pada sisi spiritualnya. Dan saya sudah melihat banyak orang yg mengorbankan bathin spiritual mereka, hanya utk mendapatkan sebuah vihara yg besar atau gereja yg megah atau menyelenggarakan acara pengumpulan dana yg besar untuk membeli barang-barang yg besar.

Saya ingat ketika saya masih muda pergi mengunjungi sebuah vihara buddhis di London Timur. Saat itu saya baru beberapa tahun menjalani kehidupan sebagai bhikkhu, dan saya sedang mengunjungi ibu saya di London. Dan vihara ini dulunya adalah markas pemadam kebakaran yg dikonversi menjadi vihara. Vihara ini benar-benar bagus. Dan saya berkata kepada mereka, "Wow, benar-benar hasil karya yg bagus. Mengkonversi markas pemadam kebakaran ini. Ini vihara buddhis yg bagus." Dan mereka bilang," Ya, tetapi begitu banyak ketegangan yg harus kami alami. Begitu banyak kemarahan, rasa permusuhan, utk membangunnya menjadi seperti ini. Setiap orang ingin membangunnya dgn cara mereka sendiri-sendiri." Dan saya menyadari lebih baik saya punya vihara yg tidak begitu bagus tetapi orang-orangnya bahagia. Dan itu jauh lebih penting, karena kita membangun agama Buddha, kebaikan hati, cinta kasih. Bukan benda-benda.

Saya tidak tahu kapan persisnya saya pernah menceritakan yg berikut ini, tetapi ini adalah salah satu cerita pendek dan anekdot favorit saya. Saya sering menceritakannya di luar negeri, tetapi ini akan memberikan sedikit gambaran ttg apa yg saya bicarakan hari ini. Tentang spiritual, bahwa cara kita melakukan segala sesuatunya adalah jauh lebih penting. Ada sebuah skandal besar, dan diberitakan di surat-surat kabar pada saat itu. Menjadi berita utama di semua suratkabar beberapa tahun yg lalu, ketika seorang tentara Amerika di Teluk Guantanamo dituduh telah mengambil Al Qur'an dan membuangnya ke dalam jamban. Dan umat muslim di seluruh dunia pun protes, mengancam utk melakukan pembalasan, berdemonstrasi di jalan-jalan. Begitu gemparnya berita ini sampai-sampai di sini di Perth, seorang wartawan dari Australia Barat menelepon saya. Dan dia bilang, "Saya sedang menulis artikel ttg hal ini. Saya sudah menelepon semua pemimpin agama di Perth, menanyakan hal yg sama." Dia bertanya kepada pemimpin gereja Anglikan, yg kalau saya tidak salah dijabat oleh Peter Carnley pada saat itu, "Jika seseorang mengambil Alkitab dan membuangnya ke dalam jamban, apa reaksi anda?"

Dia bilang, "Sekarang saya bertanya kepada anda sebagai seorang rahib buddha, Ajahn Brahm, sebagai seorang pemimpin, jika seseorang mengambil kitab agama Buddha dan membuangnya ke dalam jamban, apa reaksi anda, dan reaksi dari umat buddha?" Dan saya pun segera menjawab, "Tuan, jika seseorang membuang buku agama buddha ke dalam jamban, saya akan memanggil tukang ledeng." Karena saya memerlukan jamban itu, dan anda harus berpikir praktis. Jadi, hal pertama yg saya lakukan adalah memanggil tukang ledeng. Dan saya bilang kepadanya bahwa itu adalah bagian guyonannya, saya tak sanggup menahan diri utk tidak bercanda manakala ada kesempatan. Tetapi bagian yg paling penting, saya katakan, adalah saya tidak akan membiarkan mereka membuang ajaran Buddha ke dalam jamban. Lalu saya menjelaskan perbedaan antara wadah dan isinya. Buku adalah wadah. Ia berisi ajaran Buddha atau ajaran Islam atau ajaran kr****n, tetapi ia bukanlah agama itu sendiri. 

Ia bukanlah agama Buddha, ia adalah sebuah buku. Jadi, saya bilang, "Anda bisa saja membuang kitab ke dalam jamban, tetapi saya tidak akan membiarkan anda membuang ajaran Buddha ke dalam jamban." Artinya apa? "Saya tidak akan membiarkan anda menghancurkan kedamaian kami dan sifat pemaaf kami dan rasa belas kasih kami. Saya tak akan pernah mengijinkan siapa pun untuk membuang sifat pemaaf kami, rasa belas kasih kami, kedamaian, kebijaksanaan, ke dalam jamban." Karena jika saya berseteru dgn seseorang, jika saya marah kepada mereka, maka saya telah membuang pemahaman, rasa utk memaafkan, dan kebaikan hati saya, ke dalam jamban. Saya akan kalah. Dan saya bilang bahwa anda bisa aja membunuh para bhikkhu dan bhikkhuni sebanyak-banyaknya yg anda suka.  Anda bisa membakar habis semua vihara kami. Anda bahkan bisa menghancurkan patung-patung Buddha, seperti yg dilakukan Taliban di Bamiyan. Tetapi kami tidak akan pernah membiarkan anda menghancurkan kedamaian kami, kebaikan kami, sifat pemaaf kami, kebijaksanaan kami. Saya sangat bangga, seperti yg telah anda sekalian ketahui, ketika Taliban di Afghanistan benar-benar menghancurkan patung-patung Buddha Bamiyan yg begitu indah dan besar, yg dibuat entah berapa abad yg lampau, ketika mereka menghancurkannya berkeping-keping, dan apa reaksi dari umat Buddha? Mereka bahkan tidak marah kepada Taliban. Hanya perlu bekerja lebih keras lagi utk membuat lebih banyak lagi patung Buddha. Daripada marah dan bersedih, mari kita jangan membiarkan siapa pun menghancurkan ajaran Buddha yg sebenarnya. Ia tidak ada di dalam buku, ia tidak ada di dalam vihara, ia tidak ada di dalam patung, ia tidak ada di seorang bhikkhu atau bhikkhuni. Ia ada di dalam ajaran. Ajaran-ajaran yg mengajari cara utk mengatasi nafsu keinginan kotor umat manusia, nafsu utk menindas dan membunuh pihak lain, utk marah kepada yg lain. Kita tahu bahwa kadangkala kita tidak mendapatkan apa yg kita inginkan, bahwa segala sesuatunya bisa salah, bahwa segala sesuatunya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pahamilah itu. Dan sadari bahwa itulah kehidupan, itu adalah Dhamma. Dan saya bisa berdamai dengannya. Saya tidak marah kepadanya, saya tidak merasa kecewa kepadanya, saya tidak berteriak kepada orang-orang ketika ia tidak berjalan sesuai harapan saya. Saya tidak merasa frustrasi dan marah.

Dan anda perhatikan apa yg terjadi pada orang-orang ketika mereka marah. Mereka tidak hanya merusak hubungan dgn orang lain, tetapi mereka juga menghancurkan benda-benda. Mereka tidak memahami bahwa yg satu adalah wadah, yg satu lagi adalah isinya. Hancurkan wadahnya, anda tahu kami tidak menginginkan anda melakukannya, tapi jika terpaksa, tidak apa-apa. Tetapi isinya adalah yg paling penting. Patung Buddha? Anda bisa membuat patung-patung Buddha yg lain. Tetapi anda tidak begitu gampang membentuk seorang manusia, atau kedamaian atau sifat pemaaf. Karena begitu ada perdebatan, begitu ada peperangan, akan memerlukan banyak generasi utk mengobati luka-luka psikologis, belum lagi kehancuran material dari sebuah peperangan. Anda menjalin hubungan dgn pasangan hidup atau sahabat, yg memerlukan waktu yg begitu panjang utk memupuknya, dgn rasa damai yg indah dan rasa percaya satu sama lain, dan anda bisa dgn begitu mudahnya mengorbankan itu semua, hanya karena beberapa kata-kata bodoh yg mereka ucapkan, atau karena pasangan anda atau sahabat anda tidak melakukan hal-hal yg sesuai dgn keinginan anda, atau mereka bertingkahlaku yg kurang pantas atau apa pun itu. Anda tidak bisa mengatur pasangan anda. Pasangan atau sahabat anda adalah wadah dari hubungan ini. Jadi, menjalin hubungan adalah hal yg paling penting. Kedamaian, kebaikan. Dan saya terus menerus mengatakan ini, milikilah rasa utk memaafkan, miliki rasa belas kasih kepada yg lain. Kemampuan utk melepaskan. Dan menyadari bahwa hal yg paling penting, adalah bukan "benda/materi" nya, tetapi pada spiritualitas di dalam kedamaian, kebaikan hati, mau memaafkan dan tumbuh dewasa.

Pages: [1]