//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan  (Read 584237 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1635 on: 27 May 2013, 03:15:01 PM »
hmm, ketika seseorang melatih athasila masing masing akan mempunyai perkembangan dan pemahaman sendiri sendiri.

pada awalnya tentu saja kita mengikuti seperti di katakan di paritta dan berkembang pemahaman dari trial and error, hingga masing masing mempunyai penafsiran sendiri.

Wa sendiri merasakan jatuh dari tempat tidur yang rendah tidak sakit di banding kalau tidur di tempat tinggi jatuh nya akan lebih sakit, tidak hanya tempat tidur tempat duduk yang tinggi juga berbahaya bila tidak hati hat naik dan turun dari bangku, wa pikir dan mengaitkan dengan gempa hingga kita bisa lari keluar rumah dengan cepat.

apalagi bagi penderita cedera kaki ;D

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1636 on: 27 May 2013, 03:22:02 PM »
jd pada waktu yang tidak salah, kita tetap boleh makan berulang kalikah?
Entahlah. Kalau dilihat secara literal, mau makan sebakul yah tidak apa, selama bukan di waktu yang salah.

Quote
pandangan makan satu kali sehari itu, didasarkan kepada kebiasaan Buddha kah?
Buddha dan beberapa bhikkhu memang punya kebiasaan 'ekabhattika' itu.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1637 on: 27 May 2013, 03:37:24 PM »
contoh kasus yg tidak tepat menurut saya, karena di sana Sang Buddha juga tidak mengatakan tentang melanggar atau tidak melanggar, dan lagi bisa saja pada saat sutta itu dibabarkan, Sang Buddha belum menetapkan aturan vinaya Pacitiya 37. apakah anda punya informasi kapan sutta ini dibabarka, apakah sesudah atau sebelum Pacitiya 37?
Menurut saya itu memang 'grey area'. Jika ada pelanggaran, seharusnya Buddha tidak menawarkan. Jika tidak ada pelanggaran, maka seharusnya si bhikkhu bisa makan tanpa takut 'tidak mewarisi dhamma'.
Soal pacittiya 37, saya tidak tahu waktunya.

Quote
saya hanya ingin memastikan bahwa buddhis baik-baik mati karena menuruti sila secara verbatim. sangat tidak sopan jika saya meminta data statistik tentang buddhis baik2 yg mati secara langsung, jadi saya minta statistik populasi buddhis saja untuk saya pelajari sendiri bagian selanjutnya.
Jika menuruti sila secara verbatim, maka 6 bulan ia tidak makan.
Jika 6 bulan ia tidak makan, maka akan mati.
-> Jika menuruti sila secara verbatim, maka akan modar.
Ini logikanya, tidak memerlukan statistik.

Sama juga seperti:
Jika tikus kelindes tronton, tikus akan gepeng.
Jika gepeng, maka mati.
-> Jika tikus kelindes tronton, maka akan mati.

Masa' perlu statistik tikus gepeng sih?

Quote
Juga dalam banyak sutta Sang Buddha memang mengajarkan makan secukupnya, tapi hal ini tidak dijadikan aturan wajib khususnya pada umat awam. kalau ada saya belum tau. melainkan yg menjadi aturan dalam atthasila adalah batasan waktunya.
Memang demikian.

Nah, menurut anda sendiri, apa keuntungan makan sebelum tengah hari, dan apa bahaya makan setelah tengah hari?


Quote
bukankah jelas, kala dan vikala adalah pembagian periode waktu yg benar dan yg salah, ketika suatu waktu makan diperbolehkan maka itu adalah kala, sedangkan ketika suatu waktu tidak diperbolehkan maka itu adalah vikala. kala dan vikala memang bukan satuan waktu, melainkan suatu sebutan yg definisinya ditetapkan oleh Sang Buddha sendiri. ketika Sang Buddha mengubah definisi waktu yg benar dan yg salah, maka definisi baru itu otomatis merevisi definisi dari terminologi yg digunakan. Dan ketika suatu peraturan diamandemen, maka adalah peraturan yg terakhir yg berlaku dan menjadi acuan.
Betul. Yang saya tunjukkan bukan apa yang terakhir berlaku, namun bahwa istilah 'vikala' itu adalah relatif, bukan merujuk ke kurun waktu tertentu secara mutlak. Nah, apa yang saya bahas di sini adalah latar belakang mengapa suatu waktu yang tadinya 'kala' menjadi 'vikala'.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1638 on: 27 May 2013, 03:44:58 PM »
Menurut saya itu memang 'grey area'. Jika ada pelanggaran, seharusnya Buddha tidak menawarkan. Jika tidak ada pelanggaran, maka seharusnya si bhikkhu bisa makan tanpa takut 'tidak mewarisi dhamma'.
Soal pacittiya 37, saya tidak tahu waktunya.


karena hal itu mungkin saja memang bukan pelanggaran, yg tidak bisa kita ketahui unless kita bisa memastikan mana lebih dulu sutta itu atau pacitiya 37.

Quote
Jika menuruti sila secara verbatim, maka 6 bulan ia tidak makan.
Jika 6 bulan ia tidak makan, maka akan mati.
-> Jika menuruti sila secara verbatim, maka akan modar.
Ini logikanya, tidak memerlukan statistik.

Sama juga seperti:
Jika tikus kelindes tronton, tikus akan gepeng.
Jika gepeng, maka mati.
-> Jika tikus kelindes tronton, maka akan mati.

Masa' perlu statistik tikus gepeng sih?

tidak sama, tikus tidak bisa masuk jhana atau nirodha samapatti, sedangkan bhikkhu masih ada peluang untuk itu, lagipula ada kemungkinan Sang Buddha akan mengamandemen vinaya itu seperti halnya pada kasus mandi

Quote
Memang demikian.

Nah, menurut anda sendiri, apa keuntungan makan sebelum tengah hari, dan apa bahaya makan setelah tengah hari?


jujur saya saya bukan praktisi atthasila, saya makan sesuka gue.

Quote

Betul. Yang saya tunjukkan bukan apa yang terakhir berlaku, namun bahwa istilah 'vikala' itu adalah relatif, bukan merujuk ke kurun waktu tertentu secara mutlak. Nah, apa yang saya bahas di sini adalah latar belakang mengapa suatu waktu yang tadinya 'kala' menjadi 'vikala'.


tidak relatif, melainkan sudah pasti menurut definisi yg ditetapkan. latar belakang kala menjadi vikala adalah Sang Buddha mengamandemennya.
« Last Edit: 27 May 2013, 03:46:55 PM by Indra »

Offline Chandra Rasmi

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.466
  • Reputasi: 85
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1639 on: 27 May 2013, 03:47:38 PM »

jujur saya saya bukan praktisi atthasila, saya makan sesuka gue.


boleh tau kenapa? apakah tidak bermanfaat ?

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1640 on: 27 May 2013, 03:50:23 PM »
boleh tau kenapa? apakah tidak bermanfaat ?
tidak

Offline Chandra Rasmi

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.466
  • Reputasi: 85
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1641 on: 27 May 2013, 03:56:13 PM »
tidak

tidak yang mana ini? tidak boleh tau atau tidak bermanfaat ?

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1642 on: 27 May 2013, 04:02:36 PM »
tidak yang mana ini? tidak boleh tau atau tidak bermanfaat ?

tidak boleh, maka pertanyaan selanjutnya tidak perlu dijawab

Offline Chandra Rasmi

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.466
  • Reputasi: 85
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1643 on: 27 May 2013, 04:04:03 PM »
tidak boleh, maka pertanyaan selanjutnya tidak perlu dijawab

fans kuciwaaa

Offline Rico Tsiau

  • Kebetulan terjoin ke DC
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.976
  • Reputasi: 117
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1644 on: 27 May 2013, 04:07:38 PM »
Maksudnya saya donk?

oh ketahuan ya  :P
padahal saya tidak mencantumkan nama dan marga lhoo..

Menurut saya sederhana: kalau kita melaksanakan suatu latihan, seharusnya kita mengerti manfaatnya. Dengan demikian, latihan dilakukan berdasarkan pengertian benar, bukan 'karena tertulis di sutta-vinaya' tanpa tahu apa latar belakangnya ataupun apa yang dilatih. 

akur

Misalnya untuk 'kursi', yang saya pahami adalah kursi pada jaman itu menandakan kedudukan seseorang. Jika berbagai kasta dan jabatan kumpul dalam satu tempat, maka masing-masing duduk di kursi yang tinggi rendahnya sesuai dengan statusnya. Misalnya dalam Brahmajalasutta disebutkan kursi berlapis kulit gajah atau kuda, ini sepertinya kursi khattiya karena gajah dan kuda adalah kendaraan para raja; kulit kijang, kalau tidak salah digunakan para brahmana. Hal lainnya adalah yang berhiaskan permata melambangkan seberapa besar kekayaan seseorang, atau hiasan kursi warna tertentu yang melambangkan status tertentu.

jangan salah bang, jaman sekarang juga masih berlaku walau dengan cara dan material berbeda.

Jadi saya menyimpulkan bahwa sila ini adalah untuk meninggalkan kesombongan status seseorang dan merenungkan kerendah-hatian para Arahant yang paling mulia, namun puas dengan duduk dan berbaring di atas tempat butut yang seadanya. Kesombongan ini jelas berhubungan dengan noda-batin, bukan masalah pemilihan sentuhan bokong dengan kursi.

apa mungkin kursi yang bermaterial empuk (kita tidak berbicara bahan kulit gajah, harimau, atau lainnya. pokoknya empuk wuenak tenan) dan tinggi cenderung nyaman dan nikmat makanya jadinya timbul kemalasan atau keinginan bermalas-malas?

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1645 on: 27 May 2013, 04:18:16 PM »
karena hal itu mungkin saja memang bukan pelanggaran, yg tidak bisa kita ketahui unless kita bisa memastikan mana lebih dulu sutta itu atau pacitiya 37.
OK, berarti diabaikan saja dulu.

Quote
tidak sama, tikus tidak bisa masuk jhana atau nirodha samapatti, sedangkan bhikkhu masih ada peluang untuk itu, lagipula ada kemungkinan Sang Buddha akan mengamandemen vinaya itu seperti halnya pada kasus mandi
Jhana ato Nirodhasamapatti juga dikisahkan hanya selama tujuh hari, dan habis itu cari makan juga (dan dana dari memberi makanan bagi mereka yang baru bangun ini akan berbuah di kehidupan yang sama).

Quote
jujur saya saya bukan praktisi atthasila, saya makan sesuka gue.
:| Jadi gimana cari jawabannya donk?

Quote
tidak relatif, melainkan sudah pasti menurut definisi yg ditetapkan. latar belakang kala menjadi vikala adalah Sang Buddha mengamandemennya.
Relatif bukan berarti sekarang bisa berubah-ubah sesuai keinginan, tapi maksudnya tidak mutlak dan kondisional. Berbeda dengan aturan-aturan yang langsung menyinggung noda batin seperti nafsu seksual atau kebencian, ini tidak situasional, kapanpun dengan kondisi apapun adalah salah.


Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1646 on: 27 May 2013, 04:28:43 PM »
oh ketahuan ya  :P
padahal saya tidak mencantumkan nama dan marga lhoo..
;D

Quote
jangan salah bang, jaman sekarang juga masih berlaku walau dengan cara dan material berbeda.
Tentu saja objek-objek kesombongan itu masih ada, bahkan lebih variatif. Kalau sekarang ini, buat saya lebih masuk akal kalau ga boleh pake HP Vertu atau naik Jaguar, ketimbang ga boleh duduk di kursi wasit atau yang isi kapas.


Quote
apa mungkin kursi yang bermaterial empuk (kita tidak berbicara bahan kulit gajah, harimau, atau lainnya. pokoknya empuk wuenak tenan) dan tinggi cenderung nyaman dan nikmat makanya jadinya timbul kemalasan atau keinginan bermalas-malas?
Menurut saya bukan masalah empuk, karena malas atau tidak ada di batin seseorang. Yang semangat dan tekad kuat, tidak akan bermalas-malasan walaupun duduknya di tempat empuk. Kalau yang malas, biarpun di tempat keras juga bisa tidur. Sama juga dengan soal makanan, masing-masing punya objek kemelekatannya sendiri, jadi ga dibatasi harus oncom, singkong, tempe, bumbunya harus tawar, asin, manis, dll.

Kalau masalah kursi status, pada saat itu adalah nyata. Dan saya lihat, para bangsawan dan kasta tinggi paling sulit menjalankan sila ini di mana mereka harus duduk sama tinggi dengan para bawahan pada hari itu.

Offline Rico Tsiau

  • Kebetulan terjoin ke DC
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.976
  • Reputasi: 117
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1647 on: 27 May 2013, 04:43:04 PM »
Menurut saya bukan masalah empuk, karena malas atau tidak ada di batin seseorang. Yang semangat dan tekad kuat, tidak akan bermalas-malasan walaupun duduknya di tempat empuk. Kalau yang malas, biarpun di tempat keras juga bisa tidur. Sama juga dengan soal makanan, masing-masing punya objek kemelekatannya sendiri, jadi ga dibatasi harus oncom, singkong, tempe, bumbunya harus tawar, asin, manis, dll.

Kalau masalah kursi status, pada saat itu adalah nyata. Dan saya lihat, para bangsawan dan kasta tinggi paling sulit menjalankan sila ini di mana mereka harus duduk sama tinggi dengan para bawahan pada hari itu.

mungkin masalah kecenderungan? misal duduk di kursi empuk, cenderung lebih membuat terlena?
tanya : esensi dari latihan sila bokong vs kursi ini apa saja sih?
atau dari kata 'latihan' ini seharusnya menjadi pokok menjalankan sila ini, karena berulang2 dengan ketat dan ulet maka menjadi terlatih dan menjadi mampu mengikis noda batin yang abang maksud pada post sebelumnya?

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1648 on: 27 May 2013, 04:51:23 PM »
mungkin masalah kecenderungan? misal duduk di kursi empuk, cenderung lebih membuat terlena?
IMO sih bukan, karena kalau soal empuk, kulit gajah ato kulit sapi sama aja, asal bukan kulit landak atau trenggiling. Selain itu, untuk meditasi juga kita perlu posisi yang nyaman supaya tidak terganggu dengan gangguan fisik waktu meditasi.


Quote
tanya : esensi dari latihan sila bokong vs kursi ini apa saja sih?
atau dari kata 'latihan' ini seharusnya menjadi pokok menjalankan sila ini, karena berulang2 dengan ketat dan ulet maka menjadi terlatih dan menjadi mampu mengikis noda batin yang abang maksud pada post sebelumnya?
Iya, menurut saya yah untuk melatih melepas kesombongan, tidak pakai status 'gue ini kelahiran mulia', 'gue ini bangsawan/pejabat', 'gue ini orang kaya', dll. Kesombongan ini juga bisa sangat menghalangi, seperti ada kisahnya dalam jataka, Bodhisatta jadi petapa hutan, tapi dalam sebuah Uposatha, timbul pikiran kesombongan dalam dirinya, "aku berkelahiran mulia". Pada saat itu ada Pacceka Buddha yang mengetahui pikiran 'sesat' Bodhisatta, dan terbang di udara di atas kepala Bodhisatta, mengibas2 debu dari kakinya ke kepala Bodhisatta. Saat itu baru disadari bahwa pandangan "kelahiran mulia" adalah sia-sia dalam pertapaan, meninggalkannya dan berhasil mengembangkan jhana dan kekuatan batin.

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
« Reply #1649 on: 27 May 2013, 05:44:27 PM »





H: 45 cm
Moulded cold foam with spring system. Upholstered in fabric or leather. Arm rests in birch, oak or upholstered in black leather. Support in chrome. The Quilt armchair is Eco labeled with the Nordic Swan. http://www.offecct.se/en/products/chairs/quilt


Terlepas dari bahannya, saya bingung kalau yang kursi seperti model ini, yang depannya tinggi belakangnya pendek, peraturannya jadi bagaimana jika bagian depan lebih tinggi dari yang ditentukan tapi belakang lebih rendah?
Kalau contoh di bawah ini ukuran depannya 41 cm.

« Last Edit: 27 May 2013, 05:46:19 PM by Kelana »
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -