seorang wasit Buddhis yg berlatih sungguh2 itu pun saya ragukan akan lebih menuruti solusi anda daripada solusi yg ditawarkan oleh Sang Buddha.
Tidak masalah, memang banyak alternatif kok.
Dalam perumpamaan itu bukan pelanggaran itu yg sedang diajarkan dan diwariskan oleh Sang Buddha, bukankah barusan anda menyarankan agar tidak hanya menuruti apa yg tertulis? apakah anda menyimpulkan bahwa dalam sutta itu Sang Buddha sedang mengajarkan warisan tentang makan?
Justru karena saya merasa makan makanan sisa yang belum dibuang, tidak mencari dana makanan lagi, adalah
bukan pelanggaran, jadi dalam perumpamaan (makan sisa makanan Buddha) itu sendiri pun tidak ada pelanggaran apa-apa.
Soal suttanya tentu adalah warisan makan (tanpa pelanggaran vinaya, IMO) vs warisan dhamma-vinaya.
menurut saya itu adalah komentar, yaitu menafsirkan vikala-bhojjana sebagai "makan sekali-sehari untuk merenungkan keserakahan pada indria lidah, maka ia akan selalu mendapatkan manfaatnya, terlepas dari ia makan di 'waktu keramat' ataupun tidak." yg kemudian ditafsirkan lagi jadi "makan jam 7 malam pun bukan pelanggaran, asalkan cuma satu kali sehari." Hal ini jelas tidak sesuai dengan Dhammavinaya, tapi oke lah jika anda menganggap hal ini bukan berkomentar.
Saya tidak manafsirkan "vikala-bhojjana" demikian. Bukankah sudah saya tulis bahwa itu melanggar?
Untuk umat awam, dilihat dari kata per kata, verbatim et literatim isi silanya, maka tentu saja melanggar.
Hanya saja, IMO, mengendalikan indria lidah adalah lebih penting ketimbang memperhatikan 'waktu keramat' untuk makan.
Lalu apa latar belakang Sang Buddha memberikan batasan waktu jika parameter sesungguhnya adalah "keserakahan pada lidah"?
Batasan waktu, dari yang saya pahami adalah karena umat makan pada tengah hari. Berdasarkan kebiasaan penghormatan, mereka selalu memberikan makanan baru kepada bhikkhu atau petapa guru mereka lainnya, sehingga para umat tidak makan sebelum memberi makanan kepada para bhikkhu.
Hal lainnya sepertinya adalah kebiasaan sangha pada waktu itu yang setelah makan, mereka beristirahat atau mengasingkan diri bermeditasi sampai sore, kemudian mendengarkan dhamma pada malam hari, dan kembali bermeditasi lagi dan tidur. Jika tidak ada batas waktu makan, maka kegiatan akan jadi tidak teratur.
Dan jika karena alasan malam gelap, jam 5 sore tentu masih terang benderang bukan? dan kenapa harus memilih dari 3 pilihan waktu, jika ada 4, 5, atau 6 pilihan?
Awalnya tidak ada larangan makan, maka para bhikkhu makan mulai dari pagi, sepanjang siang, dan malam hari. Kemudian Buddha mengeluarkan aturan tidak makan siang hari, ini saya kurang tahu kenapa detailnya, tapi intinya Buddha mengajak orang mengurangi makan. Kemudian sangha makan 2x sehari, pagi dan malam. Apa yang didapat pada pagi, yang enak-enak dikumpulkan untuk makan malam yang lebih 'mewah', makanan pilihan. Kemudian Buddha mengeluarkan aturan lagi meninggalkan makan malam itu, dan hanya makan seadanya pada pagi hari.
Jadi untuk kasus kutub itu anda juga menyarankan makan sekali dalam 6 bulan agar bisa sesuai dengan kala versi anda?
Versi saya adalah sesuaikan dengan keadaan dan budaya setempat, tidak menganut "waktu keramat" yang berdasarkan posisi matahari.