inti dari sila adalah latihan, dalam hal ini latihan hidup sederhana dan menjauhi kemewahan. bagi kita mungkin kursi wasit itu bukan tempat duduk mewah, tapi mampukah kita menjalankan latihan yg telah ditetapkan itu?
Jika memang kursi wasit tidak mewah, tidak berlawanan dengan latihan hidup sederhana, lalu apa yang dilatih?
sebenarnya pertanyaan ini juga berlaku untuk sila2 lainnya, misalnya untuk apa tidak makan malam dijalankan? apakah makan sebutir kacang, atau sesendok sup pada pukul 12:30 bisa menodai batin, sedangkan jika dimakan pada pukul 11:30 tidak apa2?
Ada dua hal dalam makan, menunjang hidup dan kenikmatan indria pengecap. Yang ke dua ini sangat halus dan sulit dipisahkan. Walaupun seseorang memakan diet tertentu yang tampak 'mulia' seperti vegetarian, sama sekali tidak menjamin dia terbebas dari ketamakan akan rasa.
Jika jumlah makan tidak dibatasi, orang yang tidak rakus tetap tidak makan berkali-kali, cukup untuk kebutuhan makannya saja; tapi orang yang rakus akan makan berkali-kali, berulang-ulang menikmati rasanya, terlepas dari kebutuhan makannya sudah terpenuhi.
Jika jumlah makan dibatasi, maka baik orang rakus dan tidak rakus, tetap makan sekali cukup untuk kebutuhan makannya, dan seandainya makanan itupun dimakan dengan ketamakan, setidaknya dibatasi hanya sekali.
Ini untuk hal makan sekali.
Untuk waktu yang telah ditetapkan, menurut saya pribadi, tidak ada perbedaan efeknya makan di jam-jam tertentu (kecuali secara medis). Berbeda dengan masyarakat jaman dulu, sekarang ini orang menggeluti aneka profesi dan memiliki jam kegiatan yang berbeda-beda. Sebut saja seorang satpam shift malam yang mulai dari pk 10 sampai pk 4 subuh, misalnya, lalu setelah selesai shift-nya, dia pulang, beres-beres, dan tidur selama 6 jam mulai dari pk 6 pagi sampai pk 12. Jika dia mengikuti jam atthasila, maka dia tidak akan makan kecuali mengubah jadwalnya, yang akhirnya akan menyusahkannya sendiri.
IMO, itu hanya kemelekatan pada ritual yang tak bermakna, dan banyak cara akal-akalan untuk ini, misalnya untuk orang yang jamnya fleksibel, bisa digeser agar masa 'tidak makan' itu banyak jatuh pada jam tidur. Misalnya satpam tadi menggeser ke shift pagi dari pk 6 sampai pk 12, langsung makan, pulang, beres-beres dan tidur 6 jam dari pk 2 sampai pk 8 malam. Maka begitu bangun, tinggal tahankan 4 jam saja, lalu sudah bisa makan lagi. Pola 'waktu keramat' begini, menurut saya tidak ada manfaatnya.
Berbeda halnya dengan bhikkhu, semua dilakukan sesuai jadwal yang sama. Tidak ada bhikkhu shift malam. Dana makanan juga disiapkan seragam oleh umat, sebelum tengah hari. Maka tidak ada alasan geser waktu seperti halnya umat awam.
Namun ada kalanya juga karena satu urusan, si bhikkhu makan telat seperti dikisahkan dalam
Dhammadayadasutta. Di situ, si bhikkhu memiliki pilihan untuk makan makanan yang masih ada, atau menjadi kelaparan sepanjang malam demi tegaknya disiplin dalam dhamma-vinaya. Pilihan pertama
tidak dipersalahkan, namun pilihan yang ke dua lebih terpuji dan kondusif pada latihan.