dari MN 63 Cūḷamālunkya Sutta
1. ‘dunia adalah abadi’
2. ‘dunia adalah tidak abadi’
3. ‘dunia adalah terbatas’
4. ‘dunia adalah tidak terbatas’
5. ‘jiwa adalah sama dengan badan’
6. ‘jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya’
7. ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’
8. ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’
9. ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’
10. ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian.’
Ini adalah 10 pandangan spekulatif yg dihindari oleh Sang Buddha.
saya bisa memahami bahwa hampir semua pandangan itu berhubungan dengan Ekstrim Nihilisme atau Eternelisme. yg menjadi pertanyaan saya, jika 7,8 dan 9 adalah invalid, maka 10 seharusnya valid. Dan saya melihat bahwa no.10 itu jelas tidak termasuk dalam kedua ekstrim itu. kenapa Sang Buddha juga menolak pandangan no. 10 itu?
Empat pandangan terakhir berhubungan logika tetralema (catuskoti), yaitu logika berunsur empat yang digunakan filosofi Buddhis (atau India kuno pada umumnya). Misalkan terdapat suatu proposisi X maka terdapat empat kemungkinan pernyatan logika tetralemma:
1. X (afirmasi)
2. - X (negasi)
3. X dan - X (afirmasi dan negasi)
4. Bukan X dan bukan -X (bukan afirmasi juga bukan negasi)
Penjelasan tentang penolakan logika tetralema ini dalam sutta-sutta selengkapnya bisa dibaca di
http://alexanderjay.blogspot.com/2012/04/tetralemma.htmlDijelaskan juga dalam komentar DN 1 Brahmajala Sutta, Sang Buddha menolak keempat pandangan tsb dengan alasan sbb:
1. "Tathagata ada setelah kematian" adalah
pandangan eternalisme (keabadian) yang menyatakan ada suatu diri yang kekal abadi yang bertahan setelah kematian.
2. "Tathagata tidak ada setelah kematian" adalah
pandangan nihilisme (ketiadaan) yang menyatakan tidak ada diri sehingga setelah kematian diri ini lenyap total.
3. "Tathagata ada dan tidak ada setelah kematian" adalah
pandangan semi-eternalisme yang menyatakan diri ada yang kekal dan ada yang tidak kekal/lenyap setelah kematian.
4. "Tathagata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian" adalah
pandangan "berbelit-belit" di mana para penganutnya ketika ditanya apakah diri ada setelah kematian, akan menjawab tidak ada; ketika ditanya apakah diri tidak ada setelah kematian, akan menjawab ada; atau mereka akan menjawab dengan berbagai pernyataan menghindar.
Dalam SN 44.1 Khema Sutta, alasan penolakan ini dikatakan sbb:
“Bagaimanakah ini, Bhikkhunī? Ketika ditanya, ‘Bagaimanakah, Yang Mulia, apakah Sang Tathāgata ada setelah kematian?’ … Dan ketika ditanya, ‘Kalau begitu, Yang Mulia, apakah Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian?’ – pada setiap pertanyaan engkau mengatakan: ‘Baginda, Sang Bhagavā tidak pernah menyatakan ini.’ Sekarang apakah, [376] Bhikkhunī, sebab dan alasan mengapa ini tidak pernah dinyatakan oleh Sang Bhagavā?”
“Baiklah, Baginda, aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu mengenai persoalan yang sama. Jawablah sesuai apa yang menurutmu benar. Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah engkau memiliki seorang akuntan atau juru hitung atau matematikawan yang dapat menghitung butir-butir pasir di Sungai Gangga sebagai berikut: ‘Ada butiran pasir sebanyak ini,’ atau ‘Ada seberapa ratus butiran pasir,’ atau ‘Ada seberapa ribu butiran pasir,’ atau ‘Ada seberapa ratus ribu butiran pasir’?”
“Tidak, Bhikkhunī.”
“Kalau begitu, Baginda, apakah engkau memiliki seorang akuntan atau juru hitung atau matematikawan yang dapat menghitung jumlah air di samudera raya sebagai berikut: ‘Ada seberapa ratus galon air,’ atau ‘Ada seberapa ribu galon air,’ atau ‘Ada seberapa ratus ribu galon air’?”
“Tidak, Bhikkhunī. Karena alasan apakah? Karena samudera raya sangat dalam, tidak terbatas, sukar diukur.”
“Demikian pula, Baginda, bentuk yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya telah ditinggalkan oleh Sang Tathāgata, dipotong diakarnya, dibuat menjadi seperti tunggul pohon kelapa, dilenyapkan sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Sang Tathāgata, Baginda, terbebaskan dari sebutan dalam hal bentuk; Beliau sangat dalam, tidak terbatas, sukar diukur bagaikan samudera raya. ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’ tidak berlaku; ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’ tidak berlaku; ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’ tidak berlaku; ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’ tidak berlaku.
“Perasaan yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya [377] … Persepsi yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya … Bentukan-bentukan kehendak yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya … Kesadaran yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya telah ditinggalkan oleh Sang Tathāgata, dipotong diakarnya, dibuat menjadi seperti tunggul pohon kelapa, dilenyapkan sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Sang Tathāgata, Baginda, terbebaskan dari sebutan dalam hal kesadaran; Beliau sangat dalam, tidak terbatas, sukar diukur bagaikan samudera raya. ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’ tidak berlaku; ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’ tidak berlaku; ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’ tidak berlaku; ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’ tidak berlaku.”