//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Kisah Patacara  (Read 2580 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Kisah Patacara
« on: 23 March 2009, 02:28:05 PM »
Suatu hari di masa sang Buddha masih hidup,

Terdapat seorang anak perempuan cantik bernama Patacara.
Patacara adalah anak perempuan seorang pedagang yang sangat kaya di kota Savatthi. Ketika ia berumur 16 tahun, kedua orangtuanya memingitnya di dalam sebuah menara tujuh lantai, dikepung oleh pengawal untuk mencegahnya berhubungan dengan lelaki muda manapun. Tetapi meskipun telah dijaga sedemikian rupa, dia tetap terlibat asmara dengan seorang pelayan rumahnya.

Ketika orang tuanya merencanakan pernikahannya dengan seorang pemuda yang memiliki status sosial yang sebanding, dia memutuskan untuk kawin lari dengan kekasihnya. Dia meloloskan diri dari dari menara dengan menyamar, kemudian hidup dengan kekasihnya di sebuah desa jauh dari Savatthi. Suaminya itu bertani, dan sang istri harus melakukan semua pekerjaan kasar yang sebelumnya dilakukan oleh pembantu rumahnya.

Ketika dia hamil, dia memohon kepada suaminya untuk mengantarnya kembali ke rumah orangtuanya untuk melahirkan anaknya di sana. Patacara beralasan bahwa ayahanda dan ibundanya selalu memiliki rasa sayang padanya, apalagi kalau dia sudah mempunyai anak. Tetapi suaminya menolak, dengan alasan bahwa orang tua patacara tentu akan mengurung si suami atau malah menyiksanya. Ketika menyadari bahwa suaminya tidak akan meluluskan permintaannya, Patacara memutuskan untuk pergi sendiri. Namun, ketika suaminya menemukan bahwa dia sudah pergi, suaminya mengejarnya dan berusaha membujuknya. Namun Patacara tidak mau mendengarkan suaminya.

Sebelum mereka mencapai Savatthi, Patacara mulai merasakan rasa sakit pra-melahirkan, dan segera anak laki-lakinya lahir. Karena melihat tidak ada alasan lagi untuk melanjutkan perjalanan, mereka kembali dan melanjutkan hidup mereka di desa.

Beberapa waktu kemudian, patacara kembali hamil. Kembali ia memohon suaminya untuk mengantarkannya ke rumah orangtuanya. Kembali sang suami menolak dan kembali Patacara berniat pergi sendiri, dan kali ini dia benar-benar pergi sambil membawa anak tertuanya. Ketika suaminya menyusulnya dan memohon dia agar kembali dengannya ke desa, Patacara tidak mau mendengarkan.

Di tengah perjalanan sebuah badai dahsyat yang menakutkan, dengan petir dan kilat bertalu-talu, hujan yang lebat turun. Saat demikian, ia merasakan rasa sakit kembali sebelum melahirkan, dan dia meminta suaminya untuk mencarikan tempat buat berteduh.

Sang suami pergi mencari tempat berteduh, dan dia berniat memotong beberapa dahan pohon untuk dijadikan alas. Saat itu, seekor ular beracun menggigitnya dan seketika itu ia meninggal dunia. Patacara terus menunggu suaminya dengan sia-sia, dan setelah menderita rasa sakit akibat mau melahirkan, anak laki-laki keduanya pun lahir. Kedua anaknya terus menjerit dan menangis sekuat-kuatnya karena takut dengan badai, maka ibu mereka terus melindungi kedua anaknya dengan tubuhnya semalam suntuk.

Paginya, Patacara menaruh bayi yang baru lahir di pangkuannya, lalu menggandeng anaknya yang lebih tua dan berjalan mengikuti rute yang kemarin ditempuh suaminya. Katanya, "Ayo anak-anakku, ayah kalian sudah meninggalkan kita." Lalu setelah beberapa langkah, dia menemukan bahwa suaminya telah meninggal dunia, jasadnya terbaring di tanah pun telah kaku. Patacara menangis dan berduka sekali,dan ia menyalahkan dirinya sendiri atas kematian suaminya. 

Ia meneruskan perjalanannya ke rumah orangtuanya, namun ketika ia mencapai tepi sungai Aciravati, dia melihat sungai itu meluap sampai setinggi pinggang karena hujan. Dia terlalu lelah untuk mengarungi sungai dengan membawa kedua orang anaknya, jadi dia meninggalkan anak sulungnya di tepian sementara dia membawa bayinya ke seberang. Kemudian dia kembali untuk membawa yang sulung untuk menyeberangi sungai. Tapi, ketika dia berada di tengah sungai, seekor elang melihat bayi yang baru lahir di seberang dan menyangkanya sebagai sepotong daging. Elang itu menyambar dan meskipun Patacara menjerit-jerit, sang bayi yang baru lahir dibawa terbang oleh elang tersebut. 

Sang anak sulung yang melihat ibundanya berada di tengah sungai dan mendengar teriakannya, menyangka bahwa ibunya memanggil-manggil dia. Jadi anak sulung tadi menyusulnya dan segera dia terbawa hanyut oleh arus yang kuat.

Patacara yang menangis dan sangat berduka akhirnya melanjutkan perjalanannya, setengah gila karena tiga tragedi berturut-turut yang menimpanya hanya dalam satu hari. Ketika dia sudah dekat dengan Savatthi, dia bertemu dengan seorang pengembara yang baru saja datang dari kota itu.  Dia menanyakan mengenai keluarganya kepada sang pengembara namun pada awalnya sang pengembara menolak menjawab. Karena dia terus memaksa, akhirnya sang pengembara baru menjawab bahwa bencana telah menimpa keluarganya. Rumah keluarganya runtuh terkena badai, kedua orangtuanya tewas, begitu juga saudara-saudaranya, dan upacara kremasi mereka sedang berlangsung.

Ketika dia mendengar hal itu, semua akal sehatnya melayang, karena kedukaannya terlalu banyak untuk bisa ia pikul. Dia menyobek-nyobek pakaiannya, mengembara ke sana kemari sambil menangis dan berduka, tidak mengetahui apa yang sedang ia lakukan dan ke mana dia pergi. orang-orang melemparinya dengan batu dan mengusirnya dari tempat ia berada.

Pada saat sang Buddha sedang tinggal di Hutan Jeta, di vihara Anathapindika, dia melihat Patacara mendekatinya dari jauh. Para umat saat itu sedang berkumpul, namun sang Buddha menyuruh para murid-muridnya untuk membiarkan dia masuk dan mendekatinya.

Ketika dia mendekati sang Buddha, melalui kemampuan batin sang Buddha, Patacara akhirnya tersadarkan dari kegilaannya. Dia juga menyadari bahwa dia dalam keadaan tanpa busana, dan dia segera berjongkok di lantai karena malu.

Salah seorang dari umat awam melemparkan padanya sebuah jubah yang dipakainya untuk menutupi dirinya, lalu dia berlutut di kaki sang Buddha, kemudian dia menceritakan tragedi dan kemalangan yang menimpanya.

Sang Buddha mendengarkannya dengan penuh kasih lalu menjelaskan kepadanya bahwa semua pengalamannya yang menyakitkan, yang telah dilaluinya itu hanyalah bagaikan setetes kecil air di lautan ketidak-kekalan, dimana semua mahluk didalamnya terhanyut karena mereka terikat dengan hal-hal yang muncul dan lenyap. Sang Buddha berkata bahwa Patacara melalui berbagai macam kehidupannya, telah menangisi kehilangan objek-objek yang disayanginya dan jika air matanya dikumpulkan maka air itu bisa memenuhi empat samudra.

Sang Buddha berkata
Sangat sedikit air dalam empat samudera,
Dibandingkan air mata yang manusia teteskan,
Oleh kedukaan yang menimpa dan oleh kesusahan,
Perempuan, kenapa kamu tetap tidak memerhatikan hal ini?


Pengajaran ini menembus pikiran dan batin Patacara begitu dalam sehingga saat itu dia menyadari ketidakkekalan semua hal yang terkondisi.  Ketika Sang Buddha selesai mengajar, Patacara telah mencapai tahapan Sotapatti.

Dia diterima menjadi murid sang Buddha dan sejak saat itu ia terus giat berlatih. Suatu hari, ketika dia sedang mengambil air, dia memerhatikan aliran air yang jatuh. Ada aliran yang lebih pendek, ada yang panjang, dan ada yang lebih panjang.
Sudah cukup baginya untuk melihat melalui aliran itu, untuk menyadari mengenai eksistensi, di mana kehidupan yang panjang atau pendek dalam lautan nafsu keinginan. Ada yang hidup lebih pendek darinya, seperti anaknya dan suaminya; ada yang hidup lebih lama darinya; seperti orang tuanya dulu.... Tetapi semuanya melalui perubahan yang konstan, dalam sebuah arus yang muncul dan hilang tanpa akhir. Proses pemikiran ini memberikannya inspirasi dan membuatnya mencapai tahapan terakhir di malam berikutnya.

Patacara Theri adalah salah satu Bhikkhuni utama, siswi sang Buddha yang dikatakan oleh Sang Buddha sebagai Penjaga Vinaya (atau Peraturan Sangha Bhikkhuni); sedangkan di Bhikkhu Sangha, yang memiliki tugas ini adalah Upali Thera.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~