Pancasila Buddhis itu standar dasar untuk berjalan di jalan kebaikan = moralitas. Menurut saya, tidak ada perbuatan amoral yang tidak bertentangan dengan konsep moralitas.
Betul, dalam konteks kamma, semua akusala adalah bertentangan dengan dhamma. Tetapi dalam konteks pancasila, perbuatan itu tidak melanggarnya (dengan kata lain, secara umum, walaupun perbuatan menimbulkan penderitaan bagi diri sendiri, belum tentu membawa orang terlahir pada alam sengsara).
Sudah kita sepakati bahwa pernikahan hanyalah formalitas. Pernikahan adalah kebahagiaan tertinggi di duniawi. Sang Buddha menyatakan demikian tentunya atas dasar konsep pernikahan yang baik, bukan pernikahan demi harta. Sebagai manusia, pelacur bisa lebih mulia dari pemuka agama. Namun perbuatan melacurkan diri itu tidak lebih mulia dari keteguhan dalam sila.
Di sini yang saya tekankan adalah "pelacuran" secara moralitas tidak hanya dilakukan pelacur, tetapi semua orang. Bedanya, ada yang melakukannya dengan terbuka, ada yang dengan kedok hukum. Saya bukan mempermasalahkan pernikahan itu tidak bisa baik. Tentu saja bisa baik.
Poligami masih sah, karena aktivitas seks yang dilakukan berada di bawah naungan mahligai pernikahan. Kawin kontrak adalah pernikahan yang bukan real. Spousal rape ini adalah aktivitas seks yang tidak pantas dalam Buddhadhamma. Ini sudah saya singgung sedikit di posting-posting sebelumnya. Matriach dan patriach juga bukan berdasarkan pernikahan yang seseungguhnya. Pernyataan Sang Buddha mengenai kebahagiaan dari pernikahan itu harus kita lihat dalam konteks pernikahan sesungguhnya, yang baik.
Saya menyinggung hal2 tersebut untuk memberikan contoh perbedaan makna pernikahan, yang bukan selalu dengan satu pasangan ataupun 'setia sampai mati'. Kalau menilainya sesuai dengan dhamma atau tidak, sudah beda soal, dan sebaiknya tidak dibicarakan di sini, nanti OOT. Dan juga sebetulnya fokus saya bukanlah pernikahan itu sendiri, tetapi seksualitas dalam pernikahan, dan saya berikan contoh di mana seksualitas dalam pernikahan di berbeda tempat, juga berbeda. Tidak selalu sesuai dengan dhamma (yang berkembang dengan pengaruh budaya India).
Anggap saja hal itu tidak melanggar pancasila. Jadi perbuatan menganiaya makhluk hidup pun tidak melanggar pancasila. Dan karenanya, umat awam bisa menjalankan pancasila dengan cukup baik namun melakukan penganiayaan terhadap makhluk lain secara konstan dan kontiniu. Apakah kelak orang itu akan terlahir di alam yang menyenangkan?
Mengapa tidak? Terlahir di alam menyenangkan, apakah selalu terhindar dari penyiksaan?
Dalam suatu kisah jataka, seorang petapa pernah dipancang selama beberapa hari sampai setengah mati karena kesalahpahaman raja terhadap dirinya. Bodhisatta yang adalah kawan petapa itu melihat bahwa di masa lalu petapa itu pernah menancapkan serpihan kayu pada seekor lalat dengan sengaja. Namun kemudian menyadari dan menyabutnya, dan tidak membunuh lalat itu. Maka Bodhisatta mengetahui bahwa petapa itu tidak akan mati terpancang dan memberinya semangat dengan duduk di bawahnya sampai darah yang menetes itu menutupi badan Bodhisatta. Melihat keteguhan Bodhisatta, Akhirnya raja percaya dan membatalkan hukumannya itu. Petapa itu tidak lain adalah Sariputta dalam kehidupan lampaunya.
Jadi kalau ada umat Buddha berencana untuk hidup tersiksa di masa depan, silahkan menyiksa mahluk mulai sekarang.