Rekan - Rekan se-Dhamma,
Beberapa saat yang lalu saya menerima rantai SMS yang berisikan berita berikut ini :
Ajahn Brahm ttg Buddha Bar : Orang bisa saja hancurkan wihara dan arca Buddha, bakar Tipitaka, bahkan bunuh bhikkhu, tapi kita tak akan biarkan mereka menghancurkan ajaran Buddha, yakni : KEDAMAIAN, TOLERANSI, dan HARMONI
di BB saya dengar kan ada arca Buddha, kalau perlu kita titip sekalian buku" Dhamma di BB, siapa tahu sambil makan-minum para tamu tertarik belajar Dhamma
Kalau umat Buddha mau demo boleh " saja, tapi harus dg cara damai. Kalai berhasil ya syukur, kalau gagal ya sudah gapapa, peace...
be happy
~ Fwd.
Apakah benar itu dari Ajahn Brahm atau orang yg mencatut nama Ajahn...saya fikir, kita tidak usah diperdebatkan.
Point of view kita terhadap Buddha Bar khususnya ada dua arah intern (konsolidasi pandangan dan pemahaman dalam kalangan buddhis) dan ekstern (sikap yang kita display keluar), dan ini saling berketerkaitan. Ada yang mau protes BB ...monggo karena point yang di acukan jelas secara hukum, namun perlu kita ingat tidak sampai terjadi pengrusakan materi maupun nyawa, pembakaran, dsb. Kembali ke SMS "menang syukur", kalah gapapa" karena inilah hidup yang penuh perjuangan. Hal ini senada dengan Kekayaan, bagaimana kita berusaha, bagaimana kita membelanjakan kekayaan yg kita peroleh, dan bagaimana sikap kita terhadap kekayaan. Bukan berarti mengagungkan kemelekatan.
Ada yang tidak merasa terganggu dengan kehadiran BB, monggo.... namun tidak perlu langsung serta merta men-"cap" orang - orang yang protes sebagai buddha KTP, wajah - wajah yang mengaku umat buddha, tidak paham dengan ajaran buddha, dsb.
Ketika kita bilang kita putih, jangan lupa di sana ada sebuah titik hitam, ketika kita bilang orang lain hitam, jgn lupa disana ada sebuah titik putih.
Pada dasarnya, kita (maaf, jika ada yang tidak berkenan saya menggunakan kita) semua berniat baik untuk protes / anti-buddha bar ataupun untuk protes terhadap yang protes / anti-buddha bar.
Dengan menunjukkan atau melayangkan surat keberatan (biasanya kl bahasa diplomat "sangat disayangkan" telah berdiri sebuah entitas bisnis dengan menggunakan salah satu lambang/simbol agama, khususnya Agama Buddha, yang sah dan diakui di NKRI).
Dengan melayangkan surat protes, tidak serta merta menjadikan seseorang tidak berbudaya, budaya apa yang sedang kita diskusikan disini, budaya buddha, budaya sosial, budaya toleransi, dll. Ironis sekali seseorang di label untuk apa yang belum dilakukannya "Jihad". Karena makna kata Jihad sendiri masih banyak pro dan kontra.
Kalau berbicara tentang "excess baggage" yang timbul/muncul akibat adanya protes secara hukum ini. Itu lah hal yang akan kita pikirkan, karena melayangkan protes ataupun tidak...sikap ini akan menuai "excess baggage" dan ini adalah konsekuensi yang harus kita hadapi bersama dengan bijaksana.
Kesalahpahaman yang terjadi dalam sebuah komunikasi biasanya terjadi karena
1. generalisasi komunikasi
contoh : kalau seseorang hidup di zaman Buddha, mungkin Cinca sudah kalian rejam.
2. penghilangan sebuah/salah satu pemikiran
contoh : menyatakan dunia akan berpikir umat buddha adalah penyembah berhala. ok...then
kenapa tidak dipikirkan ? apa kata dunia, kalau umat buddha hanya tinggal diam ? tidak berani bersikap..?
3. menjadi pembaca pikiran
belum kenal, belum melakukan analisa, sudah men"cap" apa yang sedang dipikirkan seseorang.
ibaratnya begini "baru melihat satu frame film, sudah menyatakan mengerti seluruh cerita filmnya"
dan masih banyak lagi sebab-sebab kegagalan sebuag komunikasi, fyi as follow:
Speech segmentation
In most spoken languages, the sounds representing successive letters blend into each other, so the conversion of the analog signal to discrete characters can be a very difficult process. Also, in natural speech there are hardly any pauses between successive words; the location of those boundaries usually must take into account grammatical and semantic constraints, as well as the context.
Text segmentation
Some written languages like Chinese, Japanese and Thai do not have single-word boundaries either, so any significant text parsing usually requires the identification of word boundaries, which is often a non-trivial task.
Part-of-speech tagging
Word sense disambiguation
Many words have more than one meaning; we have to select the meaning which makes the most sense in context.
Syntactic ambiguity
The grammar for natural languages is ambiguous, i.e. there are often multiple possible parse trees for a given sentence. Choosing the most appropriate one usually requires semantic and contextual information. Specific problem components of syntactic ambiguity include sentence boundary disambiguation.
Imperfect or irregular input
Foreign or regional accents and vocal impediments in speech; typing or grammatical errors, OCR errors in texts.
Speech acts and plans
A sentence can often be considered an action by the speaker. The sentence structure alone may not contain enough information to define this action. For instance, a question is actually the speaker requesting some sort of response from the listener. The desired response may be verbal, physical, or some combination. For example, "Can you pass the class?" is a request for a simple yes-or-no answer, while "Can you pass the salt?" is requesting a physical action to be performed. It is not appropriate to respond with "Yes, I can pass the salt," without the accompanying action (although "No" or "I can't reach the salt" would explain a lack of action).
atau mungkin bisa visit ke
http://en.wikipedia.org/wiki/Meta_model_(NLP)
bukan sok mengajar namun untuk pengetahuan kita bersama..... saya tidak mencoba menjadi "Bhikkhu ke-3" karena kesepakatan dalam topic ini lomba diam.
Namun kita sing masing (kata org madura)
saling mengutarakan pandangan, saling mengisi, ada yang berjalan terlalu ke kiri, silahkan kembali ketengah...ada yang berjalan terlalu ke kanan, silahkan kembali ketengah. Sehingga kita bebas dari devide et impera yang ironisnya diakibatkan dalam tubuh (umat buddha) kita sendiri. Umat buddha (apapun sektenya) bagaikan jari - jari yang saling membutuhkan. Ketika kita meninju kedepan (jgan langsungberanggapan saya menyuruh memukul orang yah..
) posisi kepal sing masing jari (jempol hingga kelilingking) adalah berbeda tapi tujuannya sama yaitu memusatkan pukulan ke depan.
Para Buddha menyampaikan strategi menuju kebahagian dan teknis pelaksanaanya berpulang kembali ke sing masing individu. Ada yang suka makan sate, silahkan, ada yang suka makan sayur silahkan, namun hendaknya tidak sampai terjadi saling cerca dan menuduh antara pemakan sate dan pemakan sayur.
Berjuta kesadaran bisa muncul dalam satu petikan jari, tentunya tidak bijak men"cap" seluruh kehidupan seseorang.
Maaf apabila tidak ada yang berkenan,
Tak Kenal maka Tak Sayang,
Tak Sayang karena Tak Kenal.Whatever you do will be insignificant, but it is very important that you do it.
Mahatma Gandhi
Salam,
Johny