Lanjutan Prinsip prinsip meditasi Vipassana 3 (habis)
Demikian banyak orang yang salah mengerti mengenai batin yang berhenti yang disebut di dalam sutta maupun Abhidhamma, mereka menganggap bahwa berhenti adalah:
Berhenti berpikir, atau berhenti bhavanga dan berbagai spekulasi lain. Karena banyak komentator jaman sekarang yang lebih mendasarkan pendapatnya berdasarkan kesimpulan pribadi yang merupakan hasil pemikiran scholar intelektual.
Praktisi ortodoks umumnya melakukan pendekatan meditatif, karena seluruh hal yang dikatakan dalam Tipitaka berkenaan dengan batin dan jasmani, di dapat melalui meditasi, atau akibat dari meditasi.
Setelah segala sesuatu yang muncul lenyap kembali, maksudnya pada keadaan meditatif yang dalam maka mereka akan melihat bahwa kesadaran sebenarnya bersinar. Seperti dalam sutta berikut:
"Luminous, monks, is the mind.1 And it is defiled by incoming defilements." {I,v,9}
"Luminous, monks, is the mind. And it is freed from incoming defilements." {I,v,10}
"Luminous, monks, is the mind. And it is defiled by incoming defilements. The uninstructed run-of-the-mill person doesn't discern that as it actually is present, which is why I tell you that — for the uninstructed run-of-the-mill person — there is no development of the mind." {I,vi,1}
"Luminous, monks, is the mind. And it is freed from incoming defilements. The well-instructed disciple of the noble ones discerns that as it actually is present, which is why I tell you that — for the well-instructed disciple of the noble ones — there is development of the mind." {I,vi,2}
(Anguttara Nikaya I.49-52; Pabhassara Sutta) Sebenarnya batin yang bersinar ini adalah batin yang telah memasuki arus, karena bentuk bentuk dorongan batin yang kasar dan halus telah berhenti, bentuk dorongan batin yang dimaksud adalah dorongan batin yang disebut bentuk-bentuk batin (sankhara). Sankhara disini harus dimengerti berkaitan dengan
paticca samuppada, yaitu dengan lenyapnya sankhara maka lenyaplah avijja atau lenyaplah kegelapan batin. Sebenarnya lenyapnya kegelapan batin ini hanya bisa dilihat pada orang yang telah mencapai magga. (bedakan dengan sinar obhasa, yaitu sinar yang muncul pada meditator pemula, yang dianggap sebagai kekotoran vipassana atau
vipassanupakilesa)
Selanjutnya
dalam Dhammacakka Pavattana Sutta, Sang Buddha menerangkan kepada ke-lima pertapa mengenai pencapaian jalan ini yaitu:"The Noble Truth of the Path Leading to the Cessation of Suffering is this: It is the Noble Eightfold Path, and nothing else, namely: right understanding, right thought, right speech, right action, right livelihood, right effort, right mindfulness and right concentration.
"'This is the Noble Truth of Suffering': such was the vision, the knowledge, the wisdom, the science, the light that arose in me concerning things not heard before. 'This suffering, as a noble truth, should be fully realized': such was the vision, the knowledge, the wisdom, the science, the light that arose in me concerning things not heard before. 'This suffering, as a noble truth has been fully realized': such was the vision, the knowledge, the wisdom, the science, the light that arose in me concerning things not heard before.
"'This is the Noble Truth of the Origin (cause) of Suffering': such was the vision, the knowledge, the wisdom, the science, the light that arose in me concerning things not heard before. 'This Origin of Suffering as a noble truth should be eradicated': such was the vision, the knowledge, the wisdom, the science, the light that arose in me concerning things not heard before. 'This Origin of suffering as a noble truth has been eradicated': such was the vision, the knowledge, the wisdom, the science, the light that arose in me concerning things not heard before.
"'This is the Noble Truth of the Cessation of Suffering': such was the vision, the knowledge, the wisdom, the science, the light that arose in me concerning things not heard before. 'This Cessation of suffering, as a noble truth, should be realized': such was the vision, the knowledge, the wisdom, the science, the light that arose in me concerning things not heard before. 'This Cessation of suffering, as a noble truth has been realized': such was the vision, the knowledge, the wisdom, the science, the light that arose in me concerning things not heard before.
"'This is the Noble Truth of the Path leading to the cessation of suffering': such was the vision, the knowledge, the wisdom, the science, the light that arose in me concerning things not heard before. 'This Path leading to the cessation of suffering, as a noble truth, should be developed': such was the vision, the knowledge, the wisdom, the science, the light that arose in me concerning things not heard before. 'This Path leading to the cessation of suffering, as a noble truth has been developed': such was the vision, the knowledge, the wisdom, the science, the light that arose in me concerning things not heard before.
(Samyutta Nikaya LVI.11, Dhammacakkappavattana Sutta)
perhatikan kalimat yang saya bold biru, disini sebenarnya terletak jawaban dari keraguan dari bhante Thanissaro bahwa kesadaran itu pada hakekatnya terangdan bercahaya, ia menjadi gelap karena kegelapan batin (
avijja), dalam bahasa Palinya mengenai munculnya kesadaran murni yang terang ini bersamaan dengan munculnya
penglihatan (cakkhu udapadi), munculnya pengetahuan
(vijja udapadi), munculnya pandangan terang
(nana udapadi), munculnya kebijaksanaan
(panna udapadi), dan munculnya cahaya
(aloko udapadi).
Saya pernah bertemu langsung dengan bhante Thanissaro yang simpatik di tahun 1991, pada waktu itu saya menemani bhante Sombat pada peresmian sebuah vihara di Ontario, San Bernardino county yang bersebelahan dengan Los Angeles county, beliau bertanya saya darimana? Lalu saya katakan dari Indonesia lalu beliau mengatakan bahwa beliau kenal dengan bhante Pannavaro karena satu angkatan.
Bhikkhu Thanissaro menurut komentarnya juga nampaknya bingung menghadapi dilemma ini, karena ada salah persepsi berabad-abad yang menganggap bahwa, ini adalah bhavanga citta, tetapi saya setuju dengan pendapat bhikkhu Thanissaro
(kadang saya juga kurang setuju dengan pendapat beliau bahwa meditasi Vipassana harus melalui Samatha, atau harus pencapaian Jhana, karena sebenarnya untuk memulai kita tidak harus memiliki konsentrasi yang kuat, tetapi apabila ingin menembus pengetahuan yang lebih tinggi maka konsentrasi kita juga harus semakin kuat, dalam hal Vipassana adalah konsentrasi vipassana atau yang lebih dikenal dengan istilah khanika samadhi, sedangkan pada meditasi samatha bila ingin diarahkan pada pandangan terang juga harus melihat karakteristiknya, bila Samadhi tidak kuat maka kita tak akan bisa melewati tingkat selanjutnya dan pada meditator Vipassana, Samadhi yang kuat yang dimaksud adalah Samadhi dengan perhatian yang melekat kuat pada karakteristiknya) pada akhir komentarnya bahwa hanya dengan pencapaian jalan yang mengikuti penyelaman, maka bisa dialami keadaran murni
(consciousness without feature)Jadi Sang Buddha mengatakan pada pencapaian Magga muncullah
aloko (cahaya terang), ini disebabkan kekotoran batin telah berhenti (untuk sementara waktu) dengan kata lain muncul nya terang disebabkan kesadaran pada saat itu (pencapaian Nibbana) bersih dari kekotoran batin, tetapi belenggu yang berkaitan dengan pencapaian (
samyojana, pada Sotapanna ada tiga belenggu yang dilenyapkan) telah lenyap secara permanen.
Percakapan dengan Bhikkhu Piyadassi Mahathera dari Sri Lanka.
Di tahun 81, saya berjumpa dengan Bhante Piyadassi Mahathera, sebelumnya saya hanya mengenal sejarah beliau yang pernah berkunjung ke Indonesia pada penahbisan bhikkhu pertama di Indonesia (pada waktu itu saya belum lahir), saya diminta oleh Bhante Win almarhum untuk membawa beliau berkeliling kota, diantara tempat yang kami kunjungi adalah katedral dan mesjid istiqlal (kami minta ijin melihat ke dalam, oleh pengurus mesjid diperbolehkan).
ternyata di dalam mesjid Istiqlal sangat nyaman, karena angin di dalam bertiup kencang, beda dengan katedral di luar, yang walaupun indah tetapi sore itu agak pengap.
Lalu saya teringat pada penulis buku yang terkenal pada saat itu, yaitu Lobsang Rampa, secara iseng saya bertanya kepada beliau, bagaimana komentar beliau, mengenai Lobsang Rampa yang sangat terkenal dengan buku-bukunya, diantaranya adalah “the third eye” secara mengejutkan bhante Piyadassi dengan datar mengatakan bahwa Lobsang Rampa hanya penulis biasa, beliau pernah bertemu dengan Lobsang Rampa di London.
Disinilah timbul pengertian, kadang-kadang bila kita belum mengenal seseorang, kita cenderung berimajinasi mengenai keadaannya, entah baik atau buruk, itulah sebabnya Sang Buddha mengatakan dalam Anguttara Nikaya, kita hanya bisa mengetahui keadaan sebenarnya seseorang setelah kita bergaul dengannya dalam waktu yang cukup lama.
Jadi dalam menilai suatu pemahaman yang mengatas-namakan ajaran Buddha harus di klarifikasi sesuai dengan kitab sucinya, yaitu bila ia mengatakan dirinya Theravada cocokkan dengan kitab suci Tipitaka, bila ia Mahayana cocokkan dengan kitab suci Mahayana (Lankavatara Sutra, Surangama Sutra, Prajna Paramita Sutra, Vimala Kirti Nirdesa sutra, dll), karena kelompok kitab ini sering bertolak belakang pandangannya dengan Tipitaka (tolong dipahami saya tidak mengatakan lebih baik atau lebih buruk, tetapi hanya bertolak belakang dengan Tipitaka). Apalagi bila paham tersebut bukan paham Buddhist.
Sesuai dengan sutta-sutta yang sudah sering dikutip di Website ini, yaitu dari Mahaparibbana Sutta, yaitu: (saya kopi langsung dari postingan teman-teman biar nggak capek)
Discipline. If they are neither traceable in the Discourses nor verifiable by the Discipline, one must conclude thus: 'Certainly, this is not the Blessed One's utterance; this has been misunderstood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' In that way, bhikkhus, you should reject it. But if the sentences concerned are traceable in the Discourses and verifiable by the Discipline, then one must conclude thus: 'Certainly, this is the Blessed One's utterance; this has been well understood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' And in that way, bhikkhus, you may accept it on the first, second, third, or fourth reference. These, bhikkhus, are the four great references for you to preserve."4.8. ‘Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: “Teman-teman, aku mendengar dan menerima ini dari mulut Sang Bhagava sendiri: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru”, maka, para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin. Jika kata-katanya, saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti tidak selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini”, dan kata-katanya itu harus ditolak. Tetapi jika saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini adalah kata-kata Sang Buddha, hal ini telah dengan benar dipahami oleh bhikkhu ini.”
(Digha Nikaya, Mahaparinibbana Sutta)
Kitab suci Tipitaka disusun oleh Mereka yang menguasai ajaran Sang Buddha baik secara teori maupun praktek. Dan verifikasi mengenai sebuah sutta dilakukan dihadapan 500 orang Bhikkhu-meditator piawai. Perlu diketahui bahwa kitab suci Tipitaka telah melalui proses verifikasi beberapa kali oleh Bhikkhu-meditator piawai, dan mereka semua lagi-lagi menyetujui Kitab suci Tipitaka sejalan dengan praktek meditasi yang mereka lakukan sehingga mereka tidak menentang isi kitab suci Tipitaka. Penentangan terhadap isi kitab suci Tipitaka justru datang dari Bhikkhu scholar (yang belakangan lebih mendapat angin karena kurangnya bhikkhu meditator), karena cara pendekatan mereka berbeda,
mereka tidak berusaha mencicipi Dhamma, tetapi mereka menganalisa Dhamma. Tentunya dengan logika mereka, dan parahnya kadang-kadang mereka berkata sesuatu tanpa dilandasi pengertian menyeluruh terhadap kitab suci Tipitaka.
Contoh yang jelas adalah Bhikkhu Dr. Mettanando dari Thailand yang pernah berkunjung ke Indonesia, yang mengatakan bahwa kisah pangeran Siddhatta yang melangkah tujuh kali ketika lahir, tidak ada di Tipitaka, padahal kisah ini diceritakan langsung oleh Sang Buddha dalam Achariya Abhuta sutta di Majjhima Nikaya. Ini adalah salah satu contoh jelas bahwa, kita harus menerapkan sutta yang ada di Mahaparibbana Sutta diatas, bila kita percaya begitu saja terhadap
credentials sarjana atau
bhikkhu maka kita akan terjebak pada pandangan keliru.
Kadang kadang kita tidak mengerti sejauh mana ajaran yang disampaikan seseorang,
kadang-kadang ajaran yang disampaikan orang tersebut lebih merupakan buah pemikiran daripada buah latihan meditasi yang mendalam, oleh karena itu kita sebagai umat Buddha bila melatih meditasi Buddhis, apa yang disampaikan guru meditasi harus sejalan dengan apa yang ada dalam kitab suci. Karena Sang Buddha sudah meramalkan tingkah polah umat Buddha yang cenderung seperti sutta berikut ini,
Staying at Savatthi. "Monks, there once was a time when the Dasarahas had a large drum called 'Summoner.' Whenever Summoner was split, the Dasarahas inserted another peg in it, until the time came when Summoner's original wooden body had disappeared and only a conglomeration of pegs remained. 1
"In the same way, in the course of the future there will be monks who won't listen when discourses that are words of the Tathagata — deep, deep in their meaning, transcendent, connected with emptiness — are being recited. They won't lend ear, won't set their hearts on knowing them, won't regard these teachings as worth grasping or mastering. But they will listen when discourses that are literary works — the works of poets, elegant in sound, elegant in rhetoric, the work of outsiders, words of disciples — are recited. They will lend ear and set their hearts on knowing them. They will regard these teachings as worth grasping & mastering.[/b]"In this way the disappearance of the discourses that are words of the Tathagata — deep, deep in their meaning, transcendent, connected with emptiness — will come about."Thus you should train yourselves: 'We will listen when discourses that are words of the Tathagata — deep, deep in their meaning, transcendent, connected with emptiness — are being recited. We will lend ear, will set our hearts on knowing them, will regard these teachings as worth grasping & mastering.' That's how you should train yourselves."
(Samyutta Nikaya XX.7 Ani Sutta)
Ah kebetulan saya masih ada waktu sedikit, mungkin lebih baik saya menjelasakan kepada teman-teman netter sekalian mengenai batin Arahat.
Meditator yang benar-benar telah memiliki Khanika Samadhi yang kuat, berdasarkan apa yang saya ketahui, minimal mencapai
Sankharupekkha nana, ia bisa suatu saat mengalami seperti yang dialami oleh seorang Arahat, walaupun hanya dalam waktu beberapa menit, ketika berada dalam kegiatan sehari-hari ia merasakan berhantinya persepsi sehingga dengan demikian maka berhenti jugalah pikiran.
Pada waktu beberapa menit tersebut, ia hanya melihat apa adanya, mendengar apa adanya. Sebagai gambaran, suatu ketika di Bali ada seorang meditator yang bermeditasi bersama saya, tiba-tiba dia datang menemui saya dan bercerita dengan nada agak kuatir, wah pak…tadi saya ke bawah, waktu saya melihat koran, kok saya nggak bisa berpikir ya…? Kok saya jadi begini ya…? Nanti bagaimana nih kalau saya nggak bisa berpikir?
Kemudian saya menenangkan dia, saya katakan jangan takut, itu disebabkan ia mampu melihat apa adanya, disebabkan konsentrasi yang kuat.. sehingga ia bisa membaca koran tanpa batinnya be-reaksi (ini tak bisa direka-reka, harus dialami sendiri), secara menggoda saya bertanya kepadanya, mau supaya bisa mikir lagi? Jangan meditasi deh sebentar juga normal lagi, lalu ia hanya senyum...
Seorang Arahat tidak akan merespon terhadap impuls yang masuk melalui inderanya, tetapi bukan berarti seorang Arahat tak dapat berpikir, batinnya akan berpikir jika ia menghendaki agar batinnya berpikir, oleh karena itu menurut Abhidhamma Arahat yang berpikir melakukan kriya (action), karena ia melakukan kegiatan berpikir tidak secara otomatis seperti pada umat awam, tetapi harus didorong agar berpikir, bila telah selesai berpikir maka batinnya kembali diam, tidak berpikir.
Seperti yang sudah saya katakan pada bagian pertama pada postingan ini, saya mungkin akan agak jarang masuk memberi postingan atau komentar, karena tujuan saya adalah memberikan pengertian benar mengenai meditasi Vipassana, sehingga rekan-rekan netter sekalian mendapat kemajuan dalam meditasinya, walaupun saya berlatih meditasi Vipassana tradisi Mahasi Sayadaw,
saya tidak beranggapan bahwa tehnik tehnik meditasi lain tidak membawa kearah pencapaian Nibbana,
kecuali tehnik meditasi yang bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Sang Buddha.Semoga keterangan saya bermanfaat bagi rekan-rekan sekalian.
Sukhi hotu