This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.
Pages: 1 [2]
16
Theravada / Ajaran meditasi AJAHN SUMEDHO
« on: 21 May 2008, 10:42:12 PM »
[Ajahn Sumedho, salah seorang bhikkhu Barat tertua yang masih hidup, adalah murid Ajahn Chah, sama dengan Ajahn Brahm. Beliau kini bermukim di sebuah vihara di Inggris. Berikut ini saya kutipkan ajaran beliau tentang meditasi, yang sangat kontras dengan ajaran meditasi Ajahn Brahm yang ujung-ujungnya mempromosikan jhana. Ajaran meditasi Ajahn Sumedho mengikuti ajaran gurunya Ajahn Chah, dan dekat dengan MMD. /hudoyo]
ASPEK-ASPEK MEDITASI
Sifat merenungkan dari pikiran atau keseimbangan emosional ini berkembang sebagai hasil dari latihan meditasi konsentrasi dan perhatian penuh. Misalnya, pada waktu retret Anda bisa mencoba melakukan satu jam meditasi samatha, yang di situ Anda hanya sekadar memusatkan batin Anda pada satu obyek, misalnya, rasa gerak pernapasan. Sadari itu terus-menerus, dan pertahankan itu sehingga itu terus-menerus ada dalam kesadaran.
Dengan cara ini, Anda bergeser pada apa yang tengah terjadi dalam tubuh Anda sendiri alih-alih tertarik keluar kepada obyek-obyek indra. Jika Anda tidak punya tempat berlabuh di-dalam, maka Anda terus-menerus tertarik keluar, terserap dalam buku-buku, makanan dan segala macam pengalihan perhatian. Tetapi gerak pikiran tanpa akhir ini sangat melelahkan. Jadi, alih-alih, latihan ini menjadi pengamatan akan napas - yang berarti bahwa Anda harus menarik diri dan tidak mengikuti kecenderungan untuk mencari sesuatu di luar diri Anda. Anda harus memperhatikan pernapasan dari tubuh Anda sendiri dan memusatkan batin pada perasaan itu. Sementara Anda melepaskan wujud yang kasar, Anda sungguh-sungguh menjadi perasaan itu, menjadi tanda itu sendiri. Ke dalam apa pun Anda terserap, Anda menjadi itu selama waktu itu. Bila Anda sungguh-sungguh berkonsentrasi, Anda menjadi keadaan tenang itu sendiri. Anda menjadi tenang. Inilah yang kita namakan 'menjadi' (becoming). Meditasi samatha adalah proses 'menjadi'.
Tetapi jika Anda menyelidiki itu, keheningan itu bukan keheningan yang memuaskan. Ada sesuatu yang hilang di situ, oleh karena ia bergantung pada suatu teknik, pada kelekatan dan kebergantungan, pada sesuatu yang masih berawal dan berakhir; Anda hanya bisa 'menjadi' untuk sementara waktu, oleh karena 'menjadi' itu suatu hal yang selalu berubah. Itu bukan keadaan yang menetap. Jadi apa pun Anda 'menjadi', Anda akan 'tidak menjadi'. Itu bukan realitas tertinggi. Tidak peduli betapa tinggi pun Anda berkonsentrasi, itu selalu merupakan kondisi yang tidak memuaskan. Meditasi samatha membawa Anda pada pengalaman-pengalaman yang sangat tinggi dan cemerlang dalam batin Anda - tapi semua itu akan berakhir.
Maka, jika Anda berlatih meditasi vipassana selama satu jam lagi, dengan sekadar sadar dan melepaskan segala sesuatu dan menerima ketidakpastian, keheningan dan pengakhiran dari kondisi-kondisi, hasilnya Anda merasakan damai dan bukan ketenangan. Dan kedamaian itu adalah kedamaian sempurna. Ia lengkap. Itu bukan ketenangan dari samatha, yang tidak sempurna atau tidak memuaskan sekalipun pada tingkat yang tertinggi. Merealisasikan pengakhiran, sementara Anda mengembangkannya dan semakin memahaminya, membawa kedamaian sejati, ketidakmelekatan, Nibbana.
Jadi, samatha dan vipassana adalah dua pembagian dalam meditasi. Yang satu mengembangkan keadaan batin yang memusat pada obyek-obyek yang halus, yang di situ kesadaran Anda menjadi semakin halus melalui konsentrasi itu. Tetapi keadaan sangat halus itu, dengan intelek kuat dan citarasa akan keindahan besar, membuat apa yang kasar menjadi tak tertahankan oleh karena melekat pada apa yang halus. Orang yang menghabiskan hidupnya untuk penghalusan akan mendapati hidup ini sangat membuat frustrasi dan menakutkan ketika mereka tidak bisa lagi mempertahankan standar yang tinggi itu.
Dari: Ajahn Sumedho - "The Four Noble Truths"
ASPEK-ASPEK MEDITASI
Sifat merenungkan dari pikiran atau keseimbangan emosional ini berkembang sebagai hasil dari latihan meditasi konsentrasi dan perhatian penuh. Misalnya, pada waktu retret Anda bisa mencoba melakukan satu jam meditasi samatha, yang di situ Anda hanya sekadar memusatkan batin Anda pada satu obyek, misalnya, rasa gerak pernapasan. Sadari itu terus-menerus, dan pertahankan itu sehingga itu terus-menerus ada dalam kesadaran.
Dengan cara ini, Anda bergeser pada apa yang tengah terjadi dalam tubuh Anda sendiri alih-alih tertarik keluar kepada obyek-obyek indra. Jika Anda tidak punya tempat berlabuh di-dalam, maka Anda terus-menerus tertarik keluar, terserap dalam buku-buku, makanan dan segala macam pengalihan perhatian. Tetapi gerak pikiran tanpa akhir ini sangat melelahkan. Jadi, alih-alih, latihan ini menjadi pengamatan akan napas - yang berarti bahwa Anda harus menarik diri dan tidak mengikuti kecenderungan untuk mencari sesuatu di luar diri Anda. Anda harus memperhatikan pernapasan dari tubuh Anda sendiri dan memusatkan batin pada perasaan itu. Sementara Anda melepaskan wujud yang kasar, Anda sungguh-sungguh menjadi perasaan itu, menjadi tanda itu sendiri. Ke dalam apa pun Anda terserap, Anda menjadi itu selama waktu itu. Bila Anda sungguh-sungguh berkonsentrasi, Anda menjadi keadaan tenang itu sendiri. Anda menjadi tenang. Inilah yang kita namakan 'menjadi' (becoming). Meditasi samatha adalah proses 'menjadi'.
Tetapi jika Anda menyelidiki itu, keheningan itu bukan keheningan yang memuaskan. Ada sesuatu yang hilang di situ, oleh karena ia bergantung pada suatu teknik, pada kelekatan dan kebergantungan, pada sesuatu yang masih berawal dan berakhir; Anda hanya bisa 'menjadi' untuk sementara waktu, oleh karena 'menjadi' itu suatu hal yang selalu berubah. Itu bukan keadaan yang menetap. Jadi apa pun Anda 'menjadi', Anda akan 'tidak menjadi'. Itu bukan realitas tertinggi. Tidak peduli betapa tinggi pun Anda berkonsentrasi, itu selalu merupakan kondisi yang tidak memuaskan. Meditasi samatha membawa Anda pada pengalaman-pengalaman yang sangat tinggi dan cemerlang dalam batin Anda - tapi semua itu akan berakhir.
Maka, jika Anda berlatih meditasi vipassana selama satu jam lagi, dengan sekadar sadar dan melepaskan segala sesuatu dan menerima ketidakpastian, keheningan dan pengakhiran dari kondisi-kondisi, hasilnya Anda merasakan damai dan bukan ketenangan. Dan kedamaian itu adalah kedamaian sempurna. Ia lengkap. Itu bukan ketenangan dari samatha, yang tidak sempurna atau tidak memuaskan sekalipun pada tingkat yang tertinggi. Merealisasikan pengakhiran, sementara Anda mengembangkannya dan semakin memahaminya, membawa kedamaian sejati, ketidakmelekatan, Nibbana.
Jadi, samatha dan vipassana adalah dua pembagian dalam meditasi. Yang satu mengembangkan keadaan batin yang memusat pada obyek-obyek yang halus, yang di situ kesadaran Anda menjadi semakin halus melalui konsentrasi itu. Tetapi keadaan sangat halus itu, dengan intelek kuat dan citarasa akan keindahan besar, membuat apa yang kasar menjadi tak tertahankan oleh karena melekat pada apa yang halus. Orang yang menghabiskan hidupnya untuk penghalusan akan mendapati hidup ini sangat membuat frustrasi dan menakutkan ketika mereka tidak bisa lagi mempertahankan standar yang tinggi itu.
Dari: Ajahn Sumedho - "The Four Noble Truths"
17
Theravada / AJAHN BRAHMAVAMSO: "Inilah bahaya vipassana."
« on: 18 May 2008, 08:19:31 AM »
Venerable Ajahn Brahmavamso -
Samatha Meditation
[Ajahn Brahmavamso is a senior monk at Bodhinyana Monastery in Western Australia. The following piece has been extracted from a talk given prior to an all-night meditation vigil, during which meditators have the opportunity to develop and learn about concentration.]
Samatha meditation is about calming the mind down, calming the bodily activities, calming the speech and calming the activities of the mind. It's quite interesting to notice that when one faces a retreat situation one looks for activity: sitting in meditation one looks for things to do, for things to occupy the mind, rather than just being peaceful and quiet.
It's very easy to see that if my own mind thinks in a certain way, my body acts accordingly. That is a very useful reflection, because it means that there is more than one way to quieten the mind. Rather than just quietening it down in formal meditation, one can practise samatha meditation by restraining the speech and the actions in one's daily life. If one can restrain oneself in those situations - whether it is cleaning, washing up, walking, coming and going - then, when it comes down to sitting cross-legged on the meditation cushion, it is much easier to restrain the activities of the mind.
To develop samatha, first of all get hold of the breath - so you can see it. In order to do this you have to restrain other activities, the things that come up into the mind that tear you away from your object of meditation - whether it's thoughts or plans, or feelings of pain in the body, you have to restrain your mind from going out to those things, and stay with the breath. Once you can see the breath clearly, then you can actually calm it down and find what effort is required to make it smooth and light and the mind peaceful. This is the first practice in traditional anapanasati.
You may have noticed that whenever the mind is calm, the body doesn't give you so much of a problem. If you can get into a quiet state of mind quickly when you first sit down meditating - while the body is at ease, before the knees start to ache and the back becomes sore - then the body won't disturb you throughout the rest of the meditation. So quieten the body first of all, and then go to the breath and get hold of it wherever it is. It doesn't matter where the breath is - where the sensation is - wherever it is, see it there and catch hold of it and don't allow it to disappear. It is an effort - it's attaining or going towards something, doing something, rather than just letting go too quickly and doing nothing - rather than just watching the mind wander here there and everywhere; that's really not what the practice is all about. Quietening the mind down first of all is a prerequisite for any wisdom to arise.
There is a sutta which is the extension to the Paticcasamuppada. It extends what happens after dukkha; it doesn't stop there. According to that sutta, dukkha is the cause of the arising of faith, the arising of confidence in the teachings - the Noble Eightfold Path and the Four Noble Truths. Once one sees dukkha, then one realises that there is something to be done. I often find with teaching that people don't practise. They don't do anything, for the one reason that they don't see any dukkha - or rather, they don't recognise it in their lives. They don't see the suffering or the cause of the suffering - the place where the suffering is - and therefore they never do anything.
So it's obvious that dukkha is the very cause for people to arouse themselves and say, 'Right, I'm going to do something about this!' That's the confidence saying, 'No longer am I going to run around, going to other places, looking for other teachers, doing other things - here is the problem. I'm going to stick to this spot, and sort it out!' That's when that link happens, that's the start of doing something about the problem of human existence. That's really recognising dukkha, recognising where it comes from, and doing something about it.
Once one has that fundamental faith - that confidence - to stop, to stay in one place and face up to the problem, then the next step is joy. This joy comes from understanding that here is the problem, and here is the way out of it; there is something you can do. Joy gives rise to interest (piti), which is really wanting in one's heart to do something about it, and this fuels the energy for the practice.
Then comes happiness (sukha). When you really start to practise, you feel physical happiness, just by refraining from doing all those things that cause dukkha. That much gives happiness. This is where the transcendental dependent arising starts to get interesting, because the factor of sukha is the cause for the arising of samadhi. If one hasn't got happiness, then there is very little chance for sarnadhi to arise. If one is having a very hard time - an unhappy time - and the mind is very closed, there is no way that samadhi can arise. Samadhi can only come from the basis of happiness. This is where talks can be really useful - they can inspire you and give you that interest, and from there you can gain samadhi and see for yourself.
The next step from samadhi is seeing things as they are. Now this factor comes after sarnadhi, not before it; it's not the cause of samadhi, but the result of it. The only way you can see what is going on is when the mind is quiet, concentrated. The reason that one doesn't see things the way they are outside of a quiet clear mind is because the mind is under the influence of defilements - greed, hatred and delusion. These are the things that distort our perception. You all know that when we are angry it distorts our perception of a person or a place. If we are angry, this monastery is the last place we want to be. Then the next day, when we are happy and the sun is shining, it is a wonderful place! The same monastery, but the defilements distort our perception - desire distorts our perception. When one doesn't see clearly, how can one see things as they really are - how can one understand what is going on? Avijja [ignorance] distorts perception. So to see things as they really are, one has to clear the mind of these things that distort the perception - if only for a short while. In that short while, one can see the way things are.
I've always felt that the idea of insight meditation can be a misleading one. Often it has been the custom or the fashion to say that samatha meditation is 'dangerous', because you can get stuck in jhanas [meditative absorptions]. But how many people do you know who have got jhanas - let alone are attached to them? At least if you have a jhana, if you are very peaceful and getting blissed out, you know one place where the defilements have temporarily subsided. At least you are getting somewhere, you are doing something. Also, it is the nature of jhanas - of the quiet mind - that after one comes out of these states, the mind is clear, and nine times our of ten wisdom will arise. There is a danger there that you can get attached to jhanas, but the danger is not that much.
But where there is a danger in this Western world is in vipassana, because you can get notions about vipassana from a book. You can read an idea and straight away you think, 'Now I understand.' This is where one really attaches. You think, 'This is the way it is. I've seen the way things are' - when the mind hasn't been clear enough to get beyond the defilements. Delusion is ruling the day, the defilements have caught you again. Vipassana which comes outside of a quiet clear mind is not to be relied upon. That is the danger of vipassana. So, often it is more dangerous to be stuck with a view, than to be stuck enjoying a jhana. If one is pracrising samatha, at least one knows if it is being successful or not. One can tell very clearly, very easily if the mind is quiet or not. With vipassana it may be difficult to know if the insight that has arisen in your mind is true or not - whether you really are seeing things the way they are, or whether you are deceiv- ing yourself. That is the big danger with delusion - delusion is delusive! It tricks you.
So one does the practice: one cultivates happiness, cultivates samadhi, cultivates seeing the way things are - this basic insight. You will know if it is insight, if it gives rise to dispassion. You can ask yourself if you still get angry, if you still get irritated; if you still have desire and greed, and really want things - whether it's personal attainments, or fame in the monastery for being the great meditator, the best cook . . . if these are the things you really want, then you still have not really seen the way things are. If it really is insight, it creates dispassion (nibbida) in the mind.
Nibbida gives rise to a more intense form of dispassion, called viraga. Raga means lust, that which attaches you to the things of the world, or things of the mind: viraga is the giving up of that desire or delight in the things of the mind, or things of the world. The next step up from that is freedom, vimutti - liberation. That's not the last step, actually. Interestingly, the last step after vimutti is the knowledge that one has been released - not the sort of dithering about if one is enlightened or not, but knowing clearly the state of your mind. Like in the suttas, the monks didn't say, 'Well... um. . . yes.. .I think I'm enlightened'! The monks who were enlightened just said so. The Buddha just said so: 'There's no more birth, nothing more to be done.'
So when it comes down to reality, one does need to do something. One does need to put forth effort into practising - to quietening the mind down: in daily life, and also when one is sitting. If you try, and it doesn't become calm straight away, it's because one is pushing in the wrong places. People say sometimes that they have been trying to calm the mind down to make it peaceful, and it doesn't work - but there is a way to calm the mind down. Just because a person does it wrongly - doesn't know the way to quieten the mind - doesn't mean it doesn't work. One can calm the mind down, but to be able to do that you have to know when to push and when to pull; if you do all pushing and no pulling it doesn't work. You have to know the state of your mind, and also what you are doing. You have to know how much to hold on to the breath - to know when you are holding on too tightly to the point where you become tired and tense. If you find that you can't calm down, investigate the reason why. One of the reasons may be because you haven't invested the time or the effort. How many hours are there in the day, and how many of those hours do we spend sitting watching the breath?
One may be sitting, but how often does one watch the breath? It's quite easy to see the reasons, although it might not be a particularly nice thing to admit or own up to - but there it is. So one tries to be quiet in the day, and in the mind - to quieten down the external activity as well as internal activity, to be peaceful.
To actually practice samatha - to have success in meditation - not only do you need effort but you also need right view, a bit of wisdom or panna. It's panna which teaches quietness, and quietness that teaches panna. The two go together, like friends walking along a path hand in hand. Indeed, you cannot just practise samatha through an effort of will; you have to know where that will is to be directed. If you just direct it haphazardly, it is not strong enough - it's never sustained long enough to have any effect. The will needs to be directed through panna, knowing the right place to push - how much, for how long, and where.
So to say that the practice is just mindfulness is to miss the point: it's the whole Eightfold Path. Sometimes these days samadhi is the poor relation in the Eightfold Path. That's why I'm emphasising it here. The other ones can be overestimated. So it's really good to be honest with oneself, and ask just what is going on: is one's mind quiet, or is it noisy? When you are listening to a talk can you shut up inside, can you be peaceful? Can you listen to words without arguing about them? These are just ways of seeing where one is - then one can do something about it. It's not that hard to quieten the mind down, and it's really worth doing!
Paticcasamuppada is the Buddha's teaching of 'dependent arising'. This teaching occurs in several places in the Sutta Pitaka and describes how suffering is engendered dependent on supportive conditions. The process is initiated by ignorance and wrong views in the mind. In the Upanisa Sutta, the analysis goes further: the Buddha points out that for those who wish to awaken, suffering itself is a supportive condition for the arising of commitment to a spiritual path, and eventually to liberation itself.
The normal formulation is of twelve linking factors; from the twelfth, suffering, the Upanisa Sutta proceeds thus:
"Suffering is the supporting condition for faith, Faith is the supporting condition for joy, Joy is the supporting condition for rapture, Rapture is the supporting condition for tranquillity, Tranquillity is the supporting condition for happiness, Happiness is the supporting condition for concentration, Concentration is the supporting condition for the knowledge and vision of things as they really are, The knowledge and vision of things as they really are is the supporting condition for disenchantment, Disenchantment is the supporting condition for dispassion, Dispassion is the supporting condition for emancipation, Emancipation is the supporting condition for the knowledge of the destruction of the asavas (the most deeply-rooted obstructive habits)." Samyutta Nikaya II, 29
Forest Sangha Newsletter: October 1991, Number 18
Samatha Meditation
[Ajahn Brahmavamso is a senior monk at Bodhinyana Monastery in Western Australia. The following piece has been extracted from a talk given prior to an all-night meditation vigil, during which meditators have the opportunity to develop and learn about concentration.]
Samatha meditation is about calming the mind down, calming the bodily activities, calming the speech and calming the activities of the mind. It's quite interesting to notice that when one faces a retreat situation one looks for activity: sitting in meditation one looks for things to do, for things to occupy the mind, rather than just being peaceful and quiet.
It's very easy to see that if my own mind thinks in a certain way, my body acts accordingly. That is a very useful reflection, because it means that there is more than one way to quieten the mind. Rather than just quietening it down in formal meditation, one can practise samatha meditation by restraining the speech and the actions in one's daily life. If one can restrain oneself in those situations - whether it is cleaning, washing up, walking, coming and going - then, when it comes down to sitting cross-legged on the meditation cushion, it is much easier to restrain the activities of the mind.
To develop samatha, first of all get hold of the breath - so you can see it. In order to do this you have to restrain other activities, the things that come up into the mind that tear you away from your object of meditation - whether it's thoughts or plans, or feelings of pain in the body, you have to restrain your mind from going out to those things, and stay with the breath. Once you can see the breath clearly, then you can actually calm it down and find what effort is required to make it smooth and light and the mind peaceful. This is the first practice in traditional anapanasati.
You may have noticed that whenever the mind is calm, the body doesn't give you so much of a problem. If you can get into a quiet state of mind quickly when you first sit down meditating - while the body is at ease, before the knees start to ache and the back becomes sore - then the body won't disturb you throughout the rest of the meditation. So quieten the body first of all, and then go to the breath and get hold of it wherever it is. It doesn't matter where the breath is - where the sensation is - wherever it is, see it there and catch hold of it and don't allow it to disappear. It is an effort - it's attaining or going towards something, doing something, rather than just letting go too quickly and doing nothing - rather than just watching the mind wander here there and everywhere; that's really not what the practice is all about. Quietening the mind down first of all is a prerequisite for any wisdom to arise.
There is a sutta which is the extension to the Paticcasamuppada. It extends what happens after dukkha; it doesn't stop there. According to that sutta, dukkha is the cause of the arising of faith, the arising of confidence in the teachings - the Noble Eightfold Path and the Four Noble Truths. Once one sees dukkha, then one realises that there is something to be done. I often find with teaching that people don't practise. They don't do anything, for the one reason that they don't see any dukkha - or rather, they don't recognise it in their lives. They don't see the suffering or the cause of the suffering - the place where the suffering is - and therefore they never do anything.
So it's obvious that dukkha is the very cause for people to arouse themselves and say, 'Right, I'm going to do something about this!' That's the confidence saying, 'No longer am I going to run around, going to other places, looking for other teachers, doing other things - here is the problem. I'm going to stick to this spot, and sort it out!' That's when that link happens, that's the start of doing something about the problem of human existence. That's really recognising dukkha, recognising where it comes from, and doing something about it.
Once one has that fundamental faith - that confidence - to stop, to stay in one place and face up to the problem, then the next step is joy. This joy comes from understanding that here is the problem, and here is the way out of it; there is something you can do. Joy gives rise to interest (piti), which is really wanting in one's heart to do something about it, and this fuels the energy for the practice.
Then comes happiness (sukha). When you really start to practise, you feel physical happiness, just by refraining from doing all those things that cause dukkha. That much gives happiness. This is where the transcendental dependent arising starts to get interesting, because the factor of sukha is the cause for the arising of samadhi. If one hasn't got happiness, then there is very little chance for sarnadhi to arise. If one is having a very hard time - an unhappy time - and the mind is very closed, there is no way that samadhi can arise. Samadhi can only come from the basis of happiness. This is where talks can be really useful - they can inspire you and give you that interest, and from there you can gain samadhi and see for yourself.
The next step from samadhi is seeing things as they are. Now this factor comes after sarnadhi, not before it; it's not the cause of samadhi, but the result of it. The only way you can see what is going on is when the mind is quiet, concentrated. The reason that one doesn't see things the way they are outside of a quiet clear mind is because the mind is under the influence of defilements - greed, hatred and delusion. These are the things that distort our perception. You all know that when we are angry it distorts our perception of a person or a place. If we are angry, this monastery is the last place we want to be. Then the next day, when we are happy and the sun is shining, it is a wonderful place! The same monastery, but the defilements distort our perception - desire distorts our perception. When one doesn't see clearly, how can one see things as they really are - how can one understand what is going on? Avijja [ignorance] distorts perception. So to see things as they really are, one has to clear the mind of these things that distort the perception - if only for a short while. In that short while, one can see the way things are.
I've always felt that the idea of insight meditation can be a misleading one. Often it has been the custom or the fashion to say that samatha meditation is 'dangerous', because you can get stuck in jhanas [meditative absorptions]. But how many people do you know who have got jhanas - let alone are attached to them? At least if you have a jhana, if you are very peaceful and getting blissed out, you know one place where the defilements have temporarily subsided. At least you are getting somewhere, you are doing something. Also, it is the nature of jhanas - of the quiet mind - that after one comes out of these states, the mind is clear, and nine times our of ten wisdom will arise. There is a danger there that you can get attached to jhanas, but the danger is not that much.
But where there is a danger in this Western world is in vipassana, because you can get notions about vipassana from a book. You can read an idea and straight away you think, 'Now I understand.' This is where one really attaches. You think, 'This is the way it is. I've seen the way things are' - when the mind hasn't been clear enough to get beyond the defilements. Delusion is ruling the day, the defilements have caught you again. Vipassana which comes outside of a quiet clear mind is not to be relied upon. That is the danger of vipassana. So, often it is more dangerous to be stuck with a view, than to be stuck enjoying a jhana. If one is pracrising samatha, at least one knows if it is being successful or not. One can tell very clearly, very easily if the mind is quiet or not. With vipassana it may be difficult to know if the insight that has arisen in your mind is true or not - whether you really are seeing things the way they are, or whether you are deceiv- ing yourself. That is the big danger with delusion - delusion is delusive! It tricks you.
So one does the practice: one cultivates happiness, cultivates samadhi, cultivates seeing the way things are - this basic insight. You will know if it is insight, if it gives rise to dispassion. You can ask yourself if you still get angry, if you still get irritated; if you still have desire and greed, and really want things - whether it's personal attainments, or fame in the monastery for being the great meditator, the best cook . . . if these are the things you really want, then you still have not really seen the way things are. If it really is insight, it creates dispassion (nibbida) in the mind.
Nibbida gives rise to a more intense form of dispassion, called viraga. Raga means lust, that which attaches you to the things of the world, or things of the mind: viraga is the giving up of that desire or delight in the things of the mind, or things of the world. The next step up from that is freedom, vimutti - liberation. That's not the last step, actually. Interestingly, the last step after vimutti is the knowledge that one has been released - not the sort of dithering about if one is enlightened or not, but knowing clearly the state of your mind. Like in the suttas, the monks didn't say, 'Well... um. . . yes.. .I think I'm enlightened'! The monks who were enlightened just said so. The Buddha just said so: 'There's no more birth, nothing more to be done.'
So when it comes down to reality, one does need to do something. One does need to put forth effort into practising - to quietening the mind down: in daily life, and also when one is sitting. If you try, and it doesn't become calm straight away, it's because one is pushing in the wrong places. People say sometimes that they have been trying to calm the mind down to make it peaceful, and it doesn't work - but there is a way to calm the mind down. Just because a person does it wrongly - doesn't know the way to quieten the mind - doesn't mean it doesn't work. One can calm the mind down, but to be able to do that you have to know when to push and when to pull; if you do all pushing and no pulling it doesn't work. You have to know the state of your mind, and also what you are doing. You have to know how much to hold on to the breath - to know when you are holding on too tightly to the point where you become tired and tense. If you find that you can't calm down, investigate the reason why. One of the reasons may be because you haven't invested the time or the effort. How many hours are there in the day, and how many of those hours do we spend sitting watching the breath?
One may be sitting, but how often does one watch the breath? It's quite easy to see the reasons, although it might not be a particularly nice thing to admit or own up to - but there it is. So one tries to be quiet in the day, and in the mind - to quieten down the external activity as well as internal activity, to be peaceful.
To actually practice samatha - to have success in meditation - not only do you need effort but you also need right view, a bit of wisdom or panna. It's panna which teaches quietness, and quietness that teaches panna. The two go together, like friends walking along a path hand in hand. Indeed, you cannot just practise samatha through an effort of will; you have to know where that will is to be directed. If you just direct it haphazardly, it is not strong enough - it's never sustained long enough to have any effect. The will needs to be directed through panna, knowing the right place to push - how much, for how long, and where.
So to say that the practice is just mindfulness is to miss the point: it's the whole Eightfold Path. Sometimes these days samadhi is the poor relation in the Eightfold Path. That's why I'm emphasising it here. The other ones can be overestimated. So it's really good to be honest with oneself, and ask just what is going on: is one's mind quiet, or is it noisy? When you are listening to a talk can you shut up inside, can you be peaceful? Can you listen to words without arguing about them? These are just ways of seeing where one is - then one can do something about it. It's not that hard to quieten the mind down, and it's really worth doing!
Paticcasamuppada is the Buddha's teaching of 'dependent arising'. This teaching occurs in several places in the Sutta Pitaka and describes how suffering is engendered dependent on supportive conditions. The process is initiated by ignorance and wrong views in the mind. In the Upanisa Sutta, the analysis goes further: the Buddha points out that for those who wish to awaken, suffering itself is a supportive condition for the arising of commitment to a spiritual path, and eventually to liberation itself.
The normal formulation is of twelve linking factors; from the twelfth, suffering, the Upanisa Sutta proceeds thus:
"Suffering is the supporting condition for faith, Faith is the supporting condition for joy, Joy is the supporting condition for rapture, Rapture is the supporting condition for tranquillity, Tranquillity is the supporting condition for happiness, Happiness is the supporting condition for concentration, Concentration is the supporting condition for the knowledge and vision of things as they really are, The knowledge and vision of things as they really are is the supporting condition for disenchantment, Disenchantment is the supporting condition for dispassion, Dispassion is the supporting condition for emancipation, Emancipation is the supporting condition for the knowledge of the destruction of the asavas (the most deeply-rooted obstructive habits)." Samyutta Nikaya II, 29
Forest Sangha Newsletter: October 1991, Number 18
18
Theravada / Ajahn Brahm membolak-balik Empat Kebenaran Luhur!
« on: 06 May 2008, 08:30:05 AM »
Dalam bukunya "Mindfulness, Bliss & Beyond" maupun dalam ceramah-ceramahnya, Ajahn Brahm mengemukakan rumusan Empat Kebenaran Luhur yang dibolak-balik. Misalnya, pada ceramah "Growth of Buddhism in the West", Speech by Venerable Ajahn Brahmavamso, Third Buddhist Summit -- Phnom Penh, Cambodia, December 2002, beliau berkata:
Jadi, Sang Buddha mengajarkan:
(1) Dukkha
(2) Penyebab Dukkha
(3) Lenyapnya Dukkha
(4) Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha
dan Ajahn Brahm mengajarkan:
(1) Kebahagiaan (Lenyapnya Dukkha)
(2) Jalan Menuju Kebahagiaan (Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha)
(3) Tidak adanya Kebahagiaan (Dukkha)
(4) Penyebab tidak adanya Kebahagiaan (Penyebab Dukkha).
Alasan beliau, ini adalah siasat bagi promosi Buddhisme di Barat, karena orang Barat sering bilang Buddhisme itu agama pesimistik.
Bagaimana pendapat teman-teman?
Salam,
Hudoyo
Quote
"We all know that the Lord Buddha said to teach the Dharma in ordinary language (e.g. Aranavibhanga Sutra). Let me give an example of what I think this means. Last century, Western priests and scholars dismissed Buddhism as pessimistic, saying that it only focuses on suffering. This was even repeated by Pope John Paul II in his controversial book on world religions. To avoid this misunderstanding one may rearrange the central Dharma Teaching of the Four Noble Truths as Happiness (Dukkhanirodho); the Cause of Happiness (the Eight-Fold Path); the Absence of Happiness (Dukkha); and the Cause for the Absence of Happiness (Craving). This shifts the focus onto happiness.
This is a simple re-packaging of the Dharma that retains the essence while being more attractive to modern audiences. It is justified by the Lord Buddha's statement that "Nirvana is the highest happiness" (Dhammapada 203, 204). When I present the Four Noble Truths in such a way, I find all generations listen and come back for more."
Jadi, Sang Buddha mengajarkan:
(1) Dukkha
(2) Penyebab Dukkha
(3) Lenyapnya Dukkha
(4) Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha
dan Ajahn Brahm mengajarkan:
(1) Kebahagiaan (Lenyapnya Dukkha)
(2) Jalan Menuju Kebahagiaan (Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha)
(3) Tidak adanya Kebahagiaan (Dukkha)
(4) Penyebab tidak adanya Kebahagiaan (Penyebab Dukkha).
Alasan beliau, ini adalah siasat bagi promosi Buddhisme di Barat, karena orang Barat sering bilang Buddhisme itu agama pesimistik.
Bagaimana pendapat teman-teman?
Salam,
Hudoyo
19
Buddhisme dengan Agama, Kepercayaan, Tradisi dan Filsafat Lain / KI AGENG SURYOMENTARAM
« on: 23 April 2008, 11:58:09 AM »
[Ki Ageng Suryomentaram (1892 - 1962) adalah putra Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Dalam banyak hal kisah kehidupan, pencarian spiritual & ajaran beliau mirip dengan Pangeran Siddhartha Gautama. Beliau meninggalkan kehidupan sebagai pangeran, dan memilih hidup sebagai petani di desa Bringin, dekat Salatiga. Beliau sering mengembara, merenungkan seluk-beluk jiwa manusia, lalu kemudian mengajar kepada para petani, orang-orang kecil, dengan bahasa Jawa, yang bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia, terdengar lucu dan naif bagi telinga kita, orang modern. Namun, ajaran-ajaran beliau tentang jiwa manusia, sekalipun terdengar sederhana sekali, mengandung kebenaran yang sangat mendalam. Berikut ini disajikan riwayat hidup & ajaran Ki Ageng Suryomentaram secara berseri. /Hudoyo]
Dari: - Forum: Supranatural - Subforum: Spiritual - Thread: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
PANGERAN YANG KECEWA
Pada tahun 1892, tepatnya pada tanggal 20 Mei tahun tersebut, seorang jabang bayi terlahir sebagai anak ke-55 dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII, sultan yang bertahta di kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Jabang bayi tersebut diberi nama BRM (Bendara Raden Mas) Kudiarmadji. Ibundanya bernama BRA (Bendara Raden Ayu) Retnomandoyo, putri Patih Danurejo VI yang kemudian bernama Pangeran Cakraningrat. Demikianlah, BRM Kudiarmadji mengawali lelakon hidupnya di dalam kraton sebagai salah seorang anak Sri Sultan yang jumlah akhirnya mencapai 79 putera-puteri.
Seperti saudara-saudaranya yang lain, Bendara Raden Mas Kudiarmadji bersama-sama belajar di Sekolah Srimanganti di dalam lingkungan kraton. Tingkat pendidikan sekolah ini kurang lebih sama dengan sekolah dasar sekarang. Selepas dari Srimanganti, dilanjutkan dengan kursus Klein Ambtenaar, belajar bahasa Belanda, Inggris, dan Arab. Setelah selesai kursus, bekerja di gubernuran selama 2 tahun lebih.
BRM Kudiarmadji mempunyai kegemaran membaca dan belajar, terutama tentang sejarah, filsafat, ilmu jiwa, dan agama. Pendidikan agama Islam dan mengaji didapat dari K.H. Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Ketika menginjak usia 18 tahun, Bendara Raden Mas Kudiarmadji diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram.
Tahun demi tahun berlalu, pena kehidupan mulai menuliskan kisahnya. Sedikit demi sedikit Pangeran Suryomentaram mulai merasakan sesuatu yang kurang dalam hatinya. Setiap waktu ia hanya bertemu dengan yang disembah, yang diperintah, yang dimarahi, yang dimintai. Dia tidak puas karena merasa belum pernah bertemu orang. Yang ditemuinya hanya sembah, perintah, marah, minta, tetapi tidak pernah bertemu orang. Ia merasa masygul dan kecewa sekalipun ia adalah seorang pangeran yang kaya dan berkuasa.
KABUR
Dalam kegelisahannya, pada suatu ketika Pangeran Suryomentaram merasa menemukan jawaban bahwa yang menyebabkan ia tidak pernah bertemu orang, adalah karena hidupnya terkurung dalam lingkungan kraton, tidak mengetahui keadaan di luar. Hidupnya menjadi sangat tertekan, ia merasa tidak betah lagi tinggal dalam lingkungan kraton.
Penderitaannya semakin mendalam dengan kejadian-kejadian berturutan yang menderanya, yaitu:
- Patih Danurejo VI, kakek yang memanjakannya, diberhentikan dari jabatan patih dan tidak lama kemudian meninggal dunia.
- Ibunya dicerai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan dikeluarkan dari kraton, kemudian diserahkan kepada dirinya.
- Istri yang dicintainya meninggal dunia dan meninggalkan putra yang baru berusia 40 hari.
Rasa tidak puas dan tidak betah makin menjadi-jadi sampai pada puncaknya, ia mengajukan permohonan kepada ayahanda, Sri Sultan Hamengku Buwono VII, untuk berhenti sebagai pangeran, tetapi permohonan tersebut tidak dikabulkan. Pada kesempatan lain ia mengajukan permohonan untuk naik haji ke Mekah, namun ini pun tidak dikabulkan. Karena sudah tidak tahan lagi, diam-diam ia meninggalkan kraton dan pergi ke Cilacap menjadi pedagang kain batik dan setagen (ikat pinggang). Di sana ia mengganti namanya menjadi Notodongso.
Ketika berita perginya Pangeran Suryomentaram ini didengar oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII, maka Sultan memerintahkan KRT Wiryodirjo (Bupati Kota) dan R.L. Mangkudigdoyo, untuk mencari Pangeran Suryomentaram dan memanggil kembali ke Yogyakarta. Setelah mencari-cari sekian lama, akhirnya ia ditemukan di Kroya (Banyumas) sedang memborong mengerjakan sumur.
PULANG
Pangeran Suryomentaram kembali ke Yogyakarta meskipun sudah terlanjur membeli tanah. Mulai lagi kehidupan yang membosankan, setiap saat ia selalu mencari-cari penyebab kekecewaan batinnya. Ketika ia mengira bahwa selain kedudukan sebagai pangeran, penyebab rasa kecewa dan tidak puas itu adalah harta benda, maka seluruh isi rumah dilelang. Mobil dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada sopirnya, kuda dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada gamelnya (perawat kuda), pakaian-pakaiannya dibagi-bagikan kepada para pembantunya.
Upayanya itu ternyata tidak juga menghasilkan jawaban atas kegelisahannya, ia tetap merasa tidak puas, ia merindukan dapat bertemu orang. Hari-hari selanjutnya diisi dengan keluyuran, bertirakat ke tempat-tempat yang dianggap keramat seperti Luar Batang, Lawet, Guwa Langse, Guwa Cermin, Kadilangu dan lain-lain. Namun rasa tidak puas itu tidak hilang juga. Ia makin rajin mengerjakan shalat dan mengaji, tiap ada guru atau kiai yang terkenal pandai, didatangi untuk belajar ilmunya. Tetap saja rasa tidak puas itu menggerogoti batinnya. Kemudian dipelajarinya agama Keristen dan Theosofi, ini pun tidak dapat menghilangkan rasa tidak puasnya.
BEBAS
Pada tahun 1921 ketika Pangeran Suryomentaram berusia 29 tahun, Sri Sultan Hamengku Buwono VII mangkat. Dia ikut mengantarkan jenazah ayahandanya ke makam Imogiri dengan mengenakan pakaian yang lain daripada yang lain. Para Pangeran mengenakan pakaian kebesaran kepangeranan, para abdi dalem mengenakan pakaian kebesarannya sesuai dengan pangkatnya, Pangeran Suryomentaram memikul jenazah sampai ke makam Imogiri sambil mengenakan pakaian kebesarannya sendiri yaitu ikat kepala corak Begelen, kain juga corak Begelen, jas tutup berwarna putih yang punggungnya ditambal dengan kain bekas berwarna biru sambil mengempit payung Cina.
Dalam perjalanan pulang ia berhenti di Pos Barongan membeli nasi pecel yang dipincuk dengan daun pisang, dimakannya sambil duduk di lantai disertai minum segelas cao. Para pangeran, pembesar, maupun abdi dalem yang lewat tidak berani mendekat karena takut atau malu, mereka mengira Pangeran Suryomentaram telah menderita sakit jiwa, namun ada pula yang menganggapnya seorang wali.
Setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dinobatkan sebagai raja, Pangeran Suryomentaram sekali lagi mengajukan permohonan berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran, dan kali ini dikabulkan.
Pemerintah Hindia Belanda memberikan uang pensiun sebesar f 333,50 per bulan, tetapi ditolaknya dengan alasan ia tidak merasa berjasa kepada pemerintah Hindia Belanda dan tidak mau terikat pada pemerintah Hindia Belanda. Kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memberikan uang f 75 per bulan hanya sebagai tanda masih keluarga kraton. Pemberian ini diterimanya dengan senang hati.
Setelah berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran ia merasa lebih bebas, tidak terikat lagi. Namun segera ia menyadari bahwa ia masih tetap merasa tidak puas, ia masih belum juga bertemu orang.
Suryomentaram yang bukan pangeran lagi itu kemudian membeli sebidang tanah di desa Bringin, sebuah desa kecil di sebelah utara Salatiga. Di sana ia tinggal dan hidup sebagai petani. Sejak itu ia lebih dikenal dengan nama Ki Gede Suryomentaram atau Ki Gede Bringin. Banyak orang yang menganggap ia seorang dukun, dan banyak pula yang datang berdukun.
<bersambung>
Dari: - Forum: Supranatural - Subforum: Spiritual - Thread: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
PANGERAN YANG KECEWA
Pada tahun 1892, tepatnya pada tanggal 20 Mei tahun tersebut, seorang jabang bayi terlahir sebagai anak ke-55 dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII, sultan yang bertahta di kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Jabang bayi tersebut diberi nama BRM (Bendara Raden Mas) Kudiarmadji. Ibundanya bernama BRA (Bendara Raden Ayu) Retnomandoyo, putri Patih Danurejo VI yang kemudian bernama Pangeran Cakraningrat. Demikianlah, BRM Kudiarmadji mengawali lelakon hidupnya di dalam kraton sebagai salah seorang anak Sri Sultan yang jumlah akhirnya mencapai 79 putera-puteri.
Seperti saudara-saudaranya yang lain, Bendara Raden Mas Kudiarmadji bersama-sama belajar di Sekolah Srimanganti di dalam lingkungan kraton. Tingkat pendidikan sekolah ini kurang lebih sama dengan sekolah dasar sekarang. Selepas dari Srimanganti, dilanjutkan dengan kursus Klein Ambtenaar, belajar bahasa Belanda, Inggris, dan Arab. Setelah selesai kursus, bekerja di gubernuran selama 2 tahun lebih.
BRM Kudiarmadji mempunyai kegemaran membaca dan belajar, terutama tentang sejarah, filsafat, ilmu jiwa, dan agama. Pendidikan agama Islam dan mengaji didapat dari K.H. Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Ketika menginjak usia 18 tahun, Bendara Raden Mas Kudiarmadji diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram.
Tahun demi tahun berlalu, pena kehidupan mulai menuliskan kisahnya. Sedikit demi sedikit Pangeran Suryomentaram mulai merasakan sesuatu yang kurang dalam hatinya. Setiap waktu ia hanya bertemu dengan yang disembah, yang diperintah, yang dimarahi, yang dimintai. Dia tidak puas karena merasa belum pernah bertemu orang. Yang ditemuinya hanya sembah, perintah, marah, minta, tetapi tidak pernah bertemu orang. Ia merasa masygul dan kecewa sekalipun ia adalah seorang pangeran yang kaya dan berkuasa.
KABUR
Dalam kegelisahannya, pada suatu ketika Pangeran Suryomentaram merasa menemukan jawaban bahwa yang menyebabkan ia tidak pernah bertemu orang, adalah karena hidupnya terkurung dalam lingkungan kraton, tidak mengetahui keadaan di luar. Hidupnya menjadi sangat tertekan, ia merasa tidak betah lagi tinggal dalam lingkungan kraton.
Penderitaannya semakin mendalam dengan kejadian-kejadian berturutan yang menderanya, yaitu:
- Patih Danurejo VI, kakek yang memanjakannya, diberhentikan dari jabatan patih dan tidak lama kemudian meninggal dunia.
- Ibunya dicerai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan dikeluarkan dari kraton, kemudian diserahkan kepada dirinya.
- Istri yang dicintainya meninggal dunia dan meninggalkan putra yang baru berusia 40 hari.
Rasa tidak puas dan tidak betah makin menjadi-jadi sampai pada puncaknya, ia mengajukan permohonan kepada ayahanda, Sri Sultan Hamengku Buwono VII, untuk berhenti sebagai pangeran, tetapi permohonan tersebut tidak dikabulkan. Pada kesempatan lain ia mengajukan permohonan untuk naik haji ke Mekah, namun ini pun tidak dikabulkan. Karena sudah tidak tahan lagi, diam-diam ia meninggalkan kraton dan pergi ke Cilacap menjadi pedagang kain batik dan setagen (ikat pinggang). Di sana ia mengganti namanya menjadi Notodongso.
Ketika berita perginya Pangeran Suryomentaram ini didengar oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII, maka Sultan memerintahkan KRT Wiryodirjo (Bupati Kota) dan R.L. Mangkudigdoyo, untuk mencari Pangeran Suryomentaram dan memanggil kembali ke Yogyakarta. Setelah mencari-cari sekian lama, akhirnya ia ditemukan di Kroya (Banyumas) sedang memborong mengerjakan sumur.
PULANG
Pangeran Suryomentaram kembali ke Yogyakarta meskipun sudah terlanjur membeli tanah. Mulai lagi kehidupan yang membosankan, setiap saat ia selalu mencari-cari penyebab kekecewaan batinnya. Ketika ia mengira bahwa selain kedudukan sebagai pangeran, penyebab rasa kecewa dan tidak puas itu adalah harta benda, maka seluruh isi rumah dilelang. Mobil dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada sopirnya, kuda dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada gamelnya (perawat kuda), pakaian-pakaiannya dibagi-bagikan kepada para pembantunya.
Upayanya itu ternyata tidak juga menghasilkan jawaban atas kegelisahannya, ia tetap merasa tidak puas, ia merindukan dapat bertemu orang. Hari-hari selanjutnya diisi dengan keluyuran, bertirakat ke tempat-tempat yang dianggap keramat seperti Luar Batang, Lawet, Guwa Langse, Guwa Cermin, Kadilangu dan lain-lain. Namun rasa tidak puas itu tidak hilang juga. Ia makin rajin mengerjakan shalat dan mengaji, tiap ada guru atau kiai yang terkenal pandai, didatangi untuk belajar ilmunya. Tetap saja rasa tidak puas itu menggerogoti batinnya. Kemudian dipelajarinya agama Keristen dan Theosofi, ini pun tidak dapat menghilangkan rasa tidak puasnya.
BEBAS
Pada tahun 1921 ketika Pangeran Suryomentaram berusia 29 tahun, Sri Sultan Hamengku Buwono VII mangkat. Dia ikut mengantarkan jenazah ayahandanya ke makam Imogiri dengan mengenakan pakaian yang lain daripada yang lain. Para Pangeran mengenakan pakaian kebesaran kepangeranan, para abdi dalem mengenakan pakaian kebesarannya sesuai dengan pangkatnya, Pangeran Suryomentaram memikul jenazah sampai ke makam Imogiri sambil mengenakan pakaian kebesarannya sendiri yaitu ikat kepala corak Begelen, kain juga corak Begelen, jas tutup berwarna putih yang punggungnya ditambal dengan kain bekas berwarna biru sambil mengempit payung Cina.
Dalam perjalanan pulang ia berhenti di Pos Barongan membeli nasi pecel yang dipincuk dengan daun pisang, dimakannya sambil duduk di lantai disertai minum segelas cao. Para pangeran, pembesar, maupun abdi dalem yang lewat tidak berani mendekat karena takut atau malu, mereka mengira Pangeran Suryomentaram telah menderita sakit jiwa, namun ada pula yang menganggapnya seorang wali.
Setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dinobatkan sebagai raja, Pangeran Suryomentaram sekali lagi mengajukan permohonan berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran, dan kali ini dikabulkan.
Pemerintah Hindia Belanda memberikan uang pensiun sebesar f 333,50 per bulan, tetapi ditolaknya dengan alasan ia tidak merasa berjasa kepada pemerintah Hindia Belanda dan tidak mau terikat pada pemerintah Hindia Belanda. Kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memberikan uang f 75 per bulan hanya sebagai tanda masih keluarga kraton. Pemberian ini diterimanya dengan senang hati.
Setelah berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran ia merasa lebih bebas, tidak terikat lagi. Namun segera ia menyadari bahwa ia masih tetap merasa tidak puas, ia masih belum juga bertemu orang.
Suryomentaram yang bukan pangeran lagi itu kemudian membeli sebidang tanah di desa Bringin, sebuah desa kecil di sebelah utara Salatiga. Di sana ia tinggal dan hidup sebagai petani. Sejak itu ia lebih dikenal dengan nama Ki Gede Suryomentaram atau Ki Gede Bringin. Banyak orang yang menganggap ia seorang dukun, dan banyak pula yang datang berdukun.
<bersambung>
20
Buddhisme dengan Agama, Kepercayaan, Tradisi dan Filsafat Lain / MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« on: 18 April 2008, 05:58:17 PM »
Apakah MMD (Meditasi Mengenal Diri) itu? MMD adalah suatu meditasi yang unik. Bagaimana keunikannya akan terlihat dalam artikel-artikel--dan mungkin juga diskusi-diskusi--dalam thread ini.
Untuk pertama kali, saya forward artikel dari blogspot Dewi Lestari (penulis, selebriti) tentang MMD.
Salam,
hudoyo
Dari: http://dee-idea.blogspot.com/
Thursday, June 21, 2007
Barangkali inilah artikel dengan tingkat kesulitan paling tinggi yang pernah saya tulis, karena saya akan mencoba menuliskan sesuatu yang sudah pasti tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Semua yang saya tulis berikut ini ibarat setetes air laut mencoba menjelaskan samudera. Kendati terdengar sia-sia, mudah-mudahan upaya ini masih punya makna.
Selama tiga hari, berlokasikan di Vihara Mendut – Magelang, saya mengikuti Meditasi Mengenal Diri (MMD) di bawah bimbingan Pak Hudoyo Hupudio. Beliau, MMD, dan milis spiritualnya, sudah saya kenal sejak tujuh tahun yang lalu lewat internet, bahkan beliau pernah saya “todong” untuk membuat pengantar buku pertama saya “Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh”. Namun baru tahun inilah saya berkenalan langsung dengan Pak Hudoyo. Pertama, ketika kami sama-sama menjadi pembicara dalam diskusi tentang meditasi di Bandung bulan Februari lalu, dan kedua ketika saya menjadi peserta MMD angkatan ke-99 di Mendut.
Meski berbasiskan meditasi vipassana, MMD sendiri merupakan meditasi lintas agama, terbukti dari komposisi peserta yang beragam. Angkatan ke-99 yang berjumlah total 31 orang ini, mayoritas peserta beragama Katholik dan Islam, disusul Buddhis sebanyak lima orang, dan yang beragama Protestan sebanyak empat orang.
Sekalipun sudah delapan tahun menggeluti dan merenungi masalah spiritualitas, saya bukanlah meditator yang disiplin. Kegiatan bermeditasi saya lakukan dengan frekuensi dan intensitas yang acak. Saya tidak asing dengan konsep vipassana, tapi baru di Mendutlah saya secara fokus menyelami pengalaman mengamati diri.
Hari pertama dimulai dengan pengarahan. Pak Hudoyo berpesan agar kami meninggalkan semua pemahaman, pengetahuan, harapan, dan segala teknik yang kami ketahui. Tidak ada doa. Tidak bicara. Tidak ada apa-apa. Tugas kami hanya menjadi pengamat pasif. Total. Dan beliau mengingatkan, “Kalian akan memasuki neraka.” Neraka yang dimaksud adalah segala sakit yang akan dimuntahkan oleh badan, segala resah dan bimbang yang akan dimuntahkan oleh batin, dan sekali lagi, tugas kami hanya mengamati.
Kami bermeditasi kurang lebih dua belas jam sehari, diselingi tiga kali diskusi, satu kali istirahat, dan dua kali makan. Neraka itu saya alami dalam tiga sesi pertama. Perjuangan berat untuk sekadar duduk diam satu jam, dan perjuangan lebih berat lagi untuk mengalami apa artinya “mengamati”.
Saya mulai dengan tidak menjustifikasi dan bereaksi, tapi hanya memberi label pada segala fenomena batin yang terungkap: “perasaan”, “memori”, “gambar”, “bosan”, “pegal”, dan seterusnya. Hingga pada satu titik saya kelelahan sendiri dengan proses memberi label itu. Fenomena fisik seperti rasa pegal dan kesemutan pun enggan hilang, bahkan ketika saya pikir saya sudah “mengamati”.
Pada saat meditasi pagi hari ke-2, saya mulai mengalami sesuatu. Selagi pikiran saya lepaskan mengembara tanpa label, tiba-tiba saya seperti terjatuh. Tepatnya, seperti dibangunkan. Bukan oleh kehendak, melainkan terjadi tiba-tiba di luar kendali sang “aku”. Dan deskripsi paling mendekati dari kondisi terbangun itu adalah… hening. Tak lama, pikiran kembali lolos seperti belut licin dan mulai berkata “Barangkali ini hening yang dimaksud. Bagaimana caranya bisa kembali ke sini?” Seketika, hening itu hilang.
Saya merenungi pengalaman sekian detik itu dan menyadari bahwa manusia menghabiskan hidupnya dalam bermimpi. Kita hidup dalam kuasa pikiran yang tak pernah dibiarkan berhenti. Tak henti-hentinya tertarik ke masa lalu dan terdorong ke masa depan. Dan kita menyangka kita sungguhan hidup. Guru saya pernah berkata: Mind is always delayed. Evaluating is the job description of the mind. That’s why, the mind is always slightly behind, and at the same time always trying to be slightly forward so it can protect. Hal itu juga dikonfirmasi oleh penjelasan Pak Hudoyo saat diskusi, pikiran adalah alat manusia untuk bertahan hidup, tapi ketika pikiran dijadikan penuntun maka selamanya kita terseret-seret ke masa lalu yang sudah tidak ada dan masa depan yang belum terjadi. Kita bermimpi sekalipun kita terjaga. Kita bermimpi tentang cinta, tentang hidup, dan tentang Tuhan. Tanpa menghentikan pikiran, tak sekalipun kita mengalami cinta, hidup, dan Tuhan yang sesungguhnya. Yang ada hanyalah konsep dan upaya.
Pada saat meditasi sore hari ke-2, entah bagaimana awalnya, tapi saya sebagai subjek mendadak melemah, dan saya tersadar bahwa selama ini saya hanya terpusat pada fenomena yang terjadi pada diri saya*pikiran, perasaan, kenangan, fisik*tapi tidak sekalipun saya memperhitungkan fenomena di sekitar saya seperti suara burung, suara mobil di kejauhan, atau bunyi gesekan karpet. Pengamatan saya yang tadinya berbatas seperti sorot senter, mendadak meluas seperti lampu ruangan. Dan saya menyadari bahwa hal-hal kecil yang saya lewatkan ternyata fenomena yang sama rata dengan pegal kaki atau celotehan benak saya. Setelah diberi perhatian yang serupa, mendadak tak ada yang menetap. Label lenyap, hanya murni mengamati. Dan pengamatan ini menghentikan semuanya, termasuk kaki saya yang kesemutan. Satu peserta bertanya saat diskusi, apakah saya pernah bermeditasi selama itu sebelumnya, karena dilihatnya saya bermeditasi dua jam tanpa bergerak. Saya jujur menjawab, belum. Itulah meditasi duduk terlama yang pernah saya lakukan.
Dari pengalaman tadi, saya menyadari betapa si “aku” menciptakan subjek dalam setiap diri kita, membuat kita pusat yang terpenting dan semua hanyalah objek dalam pengalaman si subjek. Namun tak sekalipun kita menyadari bahwa si subjek, si “aku”, juga rekaan. Dalam pengamatan murni, “aku” tereduksi menjadi objek, sama-sama cuma fenomena. Perasaan saya hanya fenomena, fisik saya juga fenomena, burung di udara pun fenomena. Sebagai konsep, kita bisa meneriakkan “kita adalah satu, we are one” dan membungkusnya dalam melodi indah. Namun tanpa berhentinya pikiran, kebersatuan hanyalah semboyan manis. Kita mengaku mengenal Tuhan dan beragama, tapi dalam mimpi kolektif kita tentang Tuhan dan agama, perdamaian hanya akan seperti hantu yang tak terkejar.
Pada meditasi pagi hari ke-3, saya mulai memasuki suasana hening sejak berjalan menuju aula. Dan pagi itu, saya mengalami sesuatu yang sangat sulit diungkap dengan kata-kata. Segalanya menjadi denyut. Timbul dan lenyap begitu cepat. Denyut ini seperti “memakani” segala pengalaman seperti mulut PacMan. Tak ada yang dibiarkannya bertahan sedikit lama. Dengan ritme yang cepat dan cenderung tetap, semua fenomena yang muncul pun padam lagi tanpa kecuali. Bahkan luapan ekstase yang saya rasakan tak bisa bertahan lama. Pikiran yang hendak berkata-kata putus di tengah-tengah. Rasa haru yang singgah pun pergi lagi tanpa bisa saya cegah. Namun sebutir air mata berhasil lolos, saya merasakannya mengalir di pipi. Dan saat mata saya akhirnya membuka, air mata itu sudah kering tanpa bekas.
Dalam diskusi terakhir, Pak Hudoyo menjelaskannya sebagai pencerahan akan timbul dan lenyapnya fenomena. Apa yang kita pikir sebagai kontinuitas sesungguhnya adalah keterputusan. Seperti riil film yang sebenarnya cuma potongan gambar yang terputus-putus, tapi tampak bergerak kontinu ketika diputar. Para ilmuwan menelaahnya dalam fisika kuantum. Sebuah partikel sesungguhnya tidak diam statis, melainkan muncul dan lenyap. Anicca, atau impermanensi, adalah kata yang membersit saat saya merenungkan pengalaman meditasi saya tadi. Konsep yang sudah lama saya tahu dan akhirnya menjadi aktual lewat pengalaman.
Tiga hari bermeditasi di Mendut menjadi titik balik saya berikutnya. Sesudah Five Mindfulness Trainings di Hongkong yang memberi pemahaman segar tentang kode etik hidup, Meditasi Mengenal Diri memberi pengalaman tentang realitas sejati dari hidup itu sendiri. Dan ada benang merah yang menalikan keduanya: Thich Nhat Hanh dan Hudoyo Hupudio dengan caranya masing-masing telah mampu menghadirkan ajaran universal Sang Buddha bagi siapa saja yang ingin bebas dari penderitaan*apa pun denominasi agama dan kepercayaannya. Vipassana sebaiknya tidak dipandang eksklusif milik umat Buddha, tapi siapa pun yang ingin mengenal diri. Lima Sila yang diikuti pemahaman benar dapat diterapkan dalam hidup siapa saja, selama mereka memang berkomitmen untuk menciptakan koeksistensi yang harmonis dengan semua makhluk.
Saya akan mengakhiri artikel ini dengan mengutip pesan Pak Hudoyo setiap usai berdiskusi: lupakan ini semua. Lupakan cerita saya. Setiap kata adalah upaya, bukan kenyataan yang sesungguhnya. Kenyataan itu sendiri telah pergi dan berganti. Pikiran kita hanya bisa mengejar dan berujar. Namun pada saat yang sama, kita pun bisa tersadar dan terbangun dari mimpi panjang ini.
* Keterangan dan diskusi tentang MMD dapat disimak di milis-spiritual [at] yahoogroups.com atau meditasi-mengenal-diri [at] yahoogroups.com
Posted by Dewi Lestari at 3:58 PM
Untuk pertama kali, saya forward artikel dari blogspot Dewi Lestari (penulis, selebriti) tentang MMD.
Salam,
hudoyo
Dari: http://dee-idea.blogspot.com/
Thursday, June 21, 2007
TUJUH TAHUN MENUJU MENDUT
Barangkali inilah artikel dengan tingkat kesulitan paling tinggi yang pernah saya tulis, karena saya akan mencoba menuliskan sesuatu yang sudah pasti tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Semua yang saya tulis berikut ini ibarat setetes air laut mencoba menjelaskan samudera. Kendati terdengar sia-sia, mudah-mudahan upaya ini masih punya makna.
Selama tiga hari, berlokasikan di Vihara Mendut – Magelang, saya mengikuti Meditasi Mengenal Diri (MMD) di bawah bimbingan Pak Hudoyo Hupudio. Beliau, MMD, dan milis spiritualnya, sudah saya kenal sejak tujuh tahun yang lalu lewat internet, bahkan beliau pernah saya “todong” untuk membuat pengantar buku pertama saya “Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh”. Namun baru tahun inilah saya berkenalan langsung dengan Pak Hudoyo. Pertama, ketika kami sama-sama menjadi pembicara dalam diskusi tentang meditasi di Bandung bulan Februari lalu, dan kedua ketika saya menjadi peserta MMD angkatan ke-99 di Mendut.
Meski berbasiskan meditasi vipassana, MMD sendiri merupakan meditasi lintas agama, terbukti dari komposisi peserta yang beragam. Angkatan ke-99 yang berjumlah total 31 orang ini, mayoritas peserta beragama Katholik dan Islam, disusul Buddhis sebanyak lima orang, dan yang beragama Protestan sebanyak empat orang.
Sekalipun sudah delapan tahun menggeluti dan merenungi masalah spiritualitas, saya bukanlah meditator yang disiplin. Kegiatan bermeditasi saya lakukan dengan frekuensi dan intensitas yang acak. Saya tidak asing dengan konsep vipassana, tapi baru di Mendutlah saya secara fokus menyelami pengalaman mengamati diri.
Hari pertama dimulai dengan pengarahan. Pak Hudoyo berpesan agar kami meninggalkan semua pemahaman, pengetahuan, harapan, dan segala teknik yang kami ketahui. Tidak ada doa. Tidak bicara. Tidak ada apa-apa. Tugas kami hanya menjadi pengamat pasif. Total. Dan beliau mengingatkan, “Kalian akan memasuki neraka.” Neraka yang dimaksud adalah segala sakit yang akan dimuntahkan oleh badan, segala resah dan bimbang yang akan dimuntahkan oleh batin, dan sekali lagi, tugas kami hanya mengamati.
Kami bermeditasi kurang lebih dua belas jam sehari, diselingi tiga kali diskusi, satu kali istirahat, dan dua kali makan. Neraka itu saya alami dalam tiga sesi pertama. Perjuangan berat untuk sekadar duduk diam satu jam, dan perjuangan lebih berat lagi untuk mengalami apa artinya “mengamati”.
Saya mulai dengan tidak menjustifikasi dan bereaksi, tapi hanya memberi label pada segala fenomena batin yang terungkap: “perasaan”, “memori”, “gambar”, “bosan”, “pegal”, dan seterusnya. Hingga pada satu titik saya kelelahan sendiri dengan proses memberi label itu. Fenomena fisik seperti rasa pegal dan kesemutan pun enggan hilang, bahkan ketika saya pikir saya sudah “mengamati”.
Pada saat meditasi pagi hari ke-2, saya mulai mengalami sesuatu. Selagi pikiran saya lepaskan mengembara tanpa label, tiba-tiba saya seperti terjatuh. Tepatnya, seperti dibangunkan. Bukan oleh kehendak, melainkan terjadi tiba-tiba di luar kendali sang “aku”. Dan deskripsi paling mendekati dari kondisi terbangun itu adalah… hening. Tak lama, pikiran kembali lolos seperti belut licin dan mulai berkata “Barangkali ini hening yang dimaksud. Bagaimana caranya bisa kembali ke sini?” Seketika, hening itu hilang.
Saya merenungi pengalaman sekian detik itu dan menyadari bahwa manusia menghabiskan hidupnya dalam bermimpi. Kita hidup dalam kuasa pikiran yang tak pernah dibiarkan berhenti. Tak henti-hentinya tertarik ke masa lalu dan terdorong ke masa depan. Dan kita menyangka kita sungguhan hidup. Guru saya pernah berkata: Mind is always delayed. Evaluating is the job description of the mind. That’s why, the mind is always slightly behind, and at the same time always trying to be slightly forward so it can protect. Hal itu juga dikonfirmasi oleh penjelasan Pak Hudoyo saat diskusi, pikiran adalah alat manusia untuk bertahan hidup, tapi ketika pikiran dijadikan penuntun maka selamanya kita terseret-seret ke masa lalu yang sudah tidak ada dan masa depan yang belum terjadi. Kita bermimpi sekalipun kita terjaga. Kita bermimpi tentang cinta, tentang hidup, dan tentang Tuhan. Tanpa menghentikan pikiran, tak sekalipun kita mengalami cinta, hidup, dan Tuhan yang sesungguhnya. Yang ada hanyalah konsep dan upaya.
Pada saat meditasi sore hari ke-2, entah bagaimana awalnya, tapi saya sebagai subjek mendadak melemah, dan saya tersadar bahwa selama ini saya hanya terpusat pada fenomena yang terjadi pada diri saya*pikiran, perasaan, kenangan, fisik*tapi tidak sekalipun saya memperhitungkan fenomena di sekitar saya seperti suara burung, suara mobil di kejauhan, atau bunyi gesekan karpet. Pengamatan saya yang tadinya berbatas seperti sorot senter, mendadak meluas seperti lampu ruangan. Dan saya menyadari bahwa hal-hal kecil yang saya lewatkan ternyata fenomena yang sama rata dengan pegal kaki atau celotehan benak saya. Setelah diberi perhatian yang serupa, mendadak tak ada yang menetap. Label lenyap, hanya murni mengamati. Dan pengamatan ini menghentikan semuanya, termasuk kaki saya yang kesemutan. Satu peserta bertanya saat diskusi, apakah saya pernah bermeditasi selama itu sebelumnya, karena dilihatnya saya bermeditasi dua jam tanpa bergerak. Saya jujur menjawab, belum. Itulah meditasi duduk terlama yang pernah saya lakukan.
Dari pengalaman tadi, saya menyadari betapa si “aku” menciptakan subjek dalam setiap diri kita, membuat kita pusat yang terpenting dan semua hanyalah objek dalam pengalaman si subjek. Namun tak sekalipun kita menyadari bahwa si subjek, si “aku”, juga rekaan. Dalam pengamatan murni, “aku” tereduksi menjadi objek, sama-sama cuma fenomena. Perasaan saya hanya fenomena, fisik saya juga fenomena, burung di udara pun fenomena. Sebagai konsep, kita bisa meneriakkan “kita adalah satu, we are one” dan membungkusnya dalam melodi indah. Namun tanpa berhentinya pikiran, kebersatuan hanyalah semboyan manis. Kita mengaku mengenal Tuhan dan beragama, tapi dalam mimpi kolektif kita tentang Tuhan dan agama, perdamaian hanya akan seperti hantu yang tak terkejar.
Pada meditasi pagi hari ke-3, saya mulai memasuki suasana hening sejak berjalan menuju aula. Dan pagi itu, saya mengalami sesuatu yang sangat sulit diungkap dengan kata-kata. Segalanya menjadi denyut. Timbul dan lenyap begitu cepat. Denyut ini seperti “memakani” segala pengalaman seperti mulut PacMan. Tak ada yang dibiarkannya bertahan sedikit lama. Dengan ritme yang cepat dan cenderung tetap, semua fenomena yang muncul pun padam lagi tanpa kecuali. Bahkan luapan ekstase yang saya rasakan tak bisa bertahan lama. Pikiran yang hendak berkata-kata putus di tengah-tengah. Rasa haru yang singgah pun pergi lagi tanpa bisa saya cegah. Namun sebutir air mata berhasil lolos, saya merasakannya mengalir di pipi. Dan saat mata saya akhirnya membuka, air mata itu sudah kering tanpa bekas.
Dalam diskusi terakhir, Pak Hudoyo menjelaskannya sebagai pencerahan akan timbul dan lenyapnya fenomena. Apa yang kita pikir sebagai kontinuitas sesungguhnya adalah keterputusan. Seperti riil film yang sebenarnya cuma potongan gambar yang terputus-putus, tapi tampak bergerak kontinu ketika diputar. Para ilmuwan menelaahnya dalam fisika kuantum. Sebuah partikel sesungguhnya tidak diam statis, melainkan muncul dan lenyap. Anicca, atau impermanensi, adalah kata yang membersit saat saya merenungkan pengalaman meditasi saya tadi. Konsep yang sudah lama saya tahu dan akhirnya menjadi aktual lewat pengalaman.
Tiga hari bermeditasi di Mendut menjadi titik balik saya berikutnya. Sesudah Five Mindfulness Trainings di Hongkong yang memberi pemahaman segar tentang kode etik hidup, Meditasi Mengenal Diri memberi pengalaman tentang realitas sejati dari hidup itu sendiri. Dan ada benang merah yang menalikan keduanya: Thich Nhat Hanh dan Hudoyo Hupudio dengan caranya masing-masing telah mampu menghadirkan ajaran universal Sang Buddha bagi siapa saja yang ingin bebas dari penderitaan*apa pun denominasi agama dan kepercayaannya. Vipassana sebaiknya tidak dipandang eksklusif milik umat Buddha, tapi siapa pun yang ingin mengenal diri. Lima Sila yang diikuti pemahaman benar dapat diterapkan dalam hidup siapa saja, selama mereka memang berkomitmen untuk menciptakan koeksistensi yang harmonis dengan semua makhluk.
Saya akan mengakhiri artikel ini dengan mengutip pesan Pak Hudoyo setiap usai berdiskusi: lupakan ini semua. Lupakan cerita saya. Setiap kata adalah upaya, bukan kenyataan yang sesungguhnya. Kenyataan itu sendiri telah pergi dan berganti. Pikiran kita hanya bisa mengejar dan berujar. Namun pada saat yang sama, kita pun bisa tersadar dan terbangun dari mimpi panjang ini.
* Keterangan dan diskusi tentang MMD dapat disimak di milis-spiritual [at] yahoogroups.com atau meditasi-mengenal-diri [at] yahoogroups.com
Posted by Dewi Lestari at 3:58 PM
Pages: 1 [2]