//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma  (Read 96945 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline CHANGE

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 598
  • Reputasi: 63
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #165 on: 26 February 2010, 08:49:58 AM »
Ibu, Bapak & Saudara,

Contoh yang kedua, mungkin lebih jelas. Ibu, Bapak & Saudara pergi ke mal; sekarang ada supermal, hipermal. Ini memerlukan pengendalian diri yang kuat; kalau orang pergi ke mal, niatnya tidak beli, juga nanti akhirnya beli. Ibu, Bapak & Saudara melihat sebuah barang yang bagus, “O, bagus juga ini untuk dibeli.” Harganya tidak murah, tidak hanya sekadar ratusan ribu, jutaan, puluhan juta rupiah. Pada saat Ibu, Bapak & Saudara mengagumi benda itu, ada orang berjalan, karena slebor, karena pakaiannya kedodoran, menyerempet benda itu dan jatuh, … prangngng, pecah. Ibu, Bapak & Saudara bersedih, “Aduh, hmmm … sayang sekali, orang itu sembrono. Dan buru-buru Ibu, Bapak & Saudara menyingkir, jangan sampai ikut dituduh memecahkan benda itu. Biar orang itu yang menanggung, membayar harga barang yang pecah itu. Tetapi, kalau benda ini jadi Ibu beli, Bapak atau Saudara beli—saya harus menyebutkan lengkap supaya tidak terkesan yang tukang shopping itu ibu-ibu saja—sangat mahal, berharga, langka, dan uang yang dikeluarkan cukup banyak, sekian belas juta, dan benda itu kemudian dibawa pulang dengan hati-hati sampai di rumah. Setelah sampai di rumah beberapa hari, karena beberapa hal, benda ini juga jatuh … prangngng, pecah. “Aduhhh …”, penderitaan luar biasa; dan kejahatan bisa muncul: caci maki, sumpah serapah, apalagi kalau yang memecahkan itu pembantu atau karyawan. Kalau yang memecahkan dirinya sendiri, penderitaannya saaangat hebat … Mengapa? Mengapa? … Dibandingkan pada waktu benda yang sama pecah ketika masih di toko? Pada waktu masih di toko, belum ada hubungan antara Anda dengan benda itu. Setelah Anda membeli dan membawa ke rumah, sekarang ada hubungan, ‘benda itu benda-KU’. Barang yang mahal itu sekarang milik-KU. Kemelekatan itulah yang membuat kita menderita, bukan persoalan kita sudah tidak berbuat jahat yang membuat kita tidak menderita. Dan kemelekatan yang terbesar bukan kemelekatan kepada bendanya, melainkan kemelekatan kepada AKU. Aku sudah memiliki benda itu; sekarang benda itu hancur, maka robeklah aku-KU. Itulah sumber penderitaan itu, Ibu, Bapak & Saudara. Tidak bisa dilenyapkan dengan tidak berbuat buruk dan banyak berbuat baik, banyak berbuat amal saja. Selama masih ada kelengkatan, kelekatan kepada benda-benda, kepada hawa nafsu, dan terutama kepada AKU, penderitaan tidak akan berakhir. Kesenangan, kenyamanan, kebahagiaan karena berbuat bajik hanya menutupi penderitaan, tidak menyelesaikan penderitaan.

Ada seseorang yang sudah berjasa besar, kepada yayasan, kepada organisasi sosial, kepada vihara, kepada tempat ibadah yang lain. Pada waktu upacara besar seperti ini, ia datang terlambat. Kursi yang di depan sudah penuh. Orang ini terpaksa duduk di belakang. Apakah ada kejahatan yang dilakukan? O, tidak. Dia donatur yang luar biasa. Dia beramal, dia membantu; hanya dia datang terlambat. Kursi yang di depan penuh, dia duduk di belakang. Dia sangat menderita, Saudara. Acara selesai, dia telepon panitia, “Kenapa saya didudukkan di belakang? Panitia harus tulis surat minta maaf kepada saya.” – “Apakah benar, Bhante?” – Benar, Saudara. Ini bukan cerita buatan, bukan fitnah, bukan gosip. [tawa & tepuk tangan  :)) :)) :)) :)) =D> =D> =D> =D>]

Ibu, Bapak & Saudara,

Dari kisah nyata ini Saudara bisa melihat, tidak ada keburukan yang dilakukan oleh ibu atau bapak ini; kebajikan, sumbangan, amal yang diberikan, tetapi dia sangat melekat kepada akunya, dia tidak bebas dari penderitaan yang dibuat sendiri. Apalagi kalau dia tahu, karena panitia sudah mengatakan, “Bapak/Romo nanti duduk di depan; kursinya sudah ditulis nama—saya mau ambil contoh, menggunakan Romo Ponijan saja [tawa :)) :)) :))]—kemudian Romo Ponijan ini datang terlambat; dia lihat-lihat, longak-longok, kursi di depan sudah penuh semua; kursi yang sudah ditulis nama, Mr./DR. Ponijan, sudah diduduki orang lain; … penderitaan, Saudara, luar biasa. [tawa :)) :)) :))] Apakah dia orang jahat? Tidak. Apakah dia orang baik? Ya. Dia banyak beramal, berdana, menyumbang, menyokong, menyumbangkan pikiran, ide-ide, membantu, tetapi dia membuat penderitaan untuk dirinya sendiri. Tidak hanya melekat kepada kursi, tetapi melekat kepada keakuannya sendiri. Coba, kalau Romo Ponijan ini orang yang sangat dikenal, orang baik, kedudukannya tinggi, pandai, kursinya di depan ditempati orang lain, beliau duduk di belakang. Orang-orang tahu, “Oh, Romo kok ada di sini?” – “Ah, tidak apa-apa, tidak apa-apa. Saya juga manusia biasa, saya di sini dengan Saudara.” – Aduuuh, … namanya akan diangkat naik. Tetapi, meskipun Romo Ponijan melakukan kebajikan, jasanya besar, kalau kebakaran jenggot karena tidak bisa duduk di depan, namanya akan dijatuhkan. Itu hukum masyarakat, Saudara. Kalau dia menerima duduk di belakang, humble, rendah hati, “Biar, biar, saya juga manusia biasa seperti Saudara, saya duduk di sini, nyaman,” – Ooo, manusia-manusia lain, teman-teman lain mengatakan, “Ooo, Pak Ponijan hebat.”

Kemudian, lain waktu Romo Ponijan datang; ia sudah diberi tahu, tempat duduknya di depan, dan akan dijaga oleh panitia, tidak boleh diduduki orang lain, supaya nanti kalau dia datang terlambat, tempat duduknya tidak diduduki orang lain; dia datang terlambat, dan dia sengaja memilih tempat duduk di belakang. Panitia tahu, panitia menarik-narik, “Ayo, ayo, Romo di depan, tidak ada yang menduduki.” – “Tidak apa-apa, saya di belakang saja,” dalam hati “Supaya saya kelihatan rendah hati, biar dihormati orang banyak,” [tawa & tepuk tangan :)) :)) :)) :)) =D> =D> =D> =D>] – itu keakuan juga. Keakuan adalah sumber, kalau keakuan lahir—di mana lahirnya keakuan, di pikiran kita—penderitaan mulai. Kalau keakuan tidak lahir, penderitaan tidak dimulai, tidak muncul penderitaan. Romo Ponijan datang terlambat, mengambil tempat duduk di belakang, tanpa keakuan, “Ya, di depan sudah penuh, saya di belakang,” – tidak ada beban, tidak kebakaran jenggot, tidak ada aku yang lahir—“Aku disingkirkan, aku didudukkan di belakang, kursiku diserakahi orang lain”—tidak ada keakuan yang lahir, tidak ada penderitaan. Pada waktu acara yang kedua dia datang, kemudian panitia menerima dia, mendudukkan Romo Ponijan di depan, dia terima dengan wajar; dia tidak bersitegang dengan panitia, “Aku di belakang saja, aku mau rendah hati,” tidak; dia terima di depan tanpa lahirnya keakuan. Kalau keakuan tidak lahir, penderitaan tidak mengikuti. Pada saat aku lahir, penderitaan mulai.

Oleh karena itu, Ibu, Bapak & Saudara, dengan kalimat yang singkat, tidak berbuat buruk sangat terpuji karena keburukan itu juga anak-cucu keakuan. Berbuat kebajikan sangat, sangat terpuji; tetapi tidak cukup, kalau akar penderitaan tidak dicabut. Akar penderitaan adalah upādāna, attachment; dan kelekatan yang paling besar adalah kelekatan pada keakuan kita.

Contoh yang terakhir: saya membawa benda yang sangat berharga sekali, khususnya untuk umat Buddha. Umat Buddha biasanya kan tergila-gila dengan relik. Saya sebetulnya tidak enak menggunakan contoh ini, tetapi ini paling jelas. Apalagi kalau Saudara belajar Zen, contohnya keras: kalau Anda ketemu Buddha, bunuh Buddha, bagi dunia kita mungkin … . Ini, benar atau tidak dianggap saja gigi Guru Agung kita. Kita melihat, “Aduuuh, luar biasa.” – lalu saya lanjutkan pernyataan ini, “Ini akan saya hadiahkan ke Vihara Sakyamuni,” … “Aduuuh, relik milik-KU” – keakuan mulai muncul, penderitaan mulai. Tetapi, di dalam ini ada yang besar ada yang kecil. Yang kecil nanti—karena banyak jasanya, karena pemimpin, meskipun kecil tetapi pemimpin besar—saya akan hadiahkan kepada Sudiarta, “Aduuuh … aku dapat” [tawa :)) :)) :)) :))] – aku lahir, penderitaan mulai. Kemelekatan mulai, penderitaan menjadi lebih besar. … Bukan, Saudara, ini bukan relik, ini obat senggruk (inhaler). … [tawa & tepuk tangan :)) :)) :)) :)) =D> =D> =D> =D>]

Ibu, Bapak & Saudara,

Sekarang persoalannya, bagaimana membuang keakuan. Dalam bahasa yang kasar, wong keakuan itu tidak nyata, tidak riil. Keakuan itu kan buatan pikiran kita sendiri. Kalau kita sedang asyiiik, melihat sesuatu yang indah sekali, relik yang langka, dengan kaca pembesar, keakuan tidak muncul. Begitu ada pernyataan, “Ini nanti milikmu, kok,” … naaah … keakuan muncul. Karena ada rangsangan, ada kondisi, ada suara yang kita dengar, ada pernyataan, bahasa yang kita mengerti, keakuan muncul, penderitaan mulai. Sama halnya dengan kalau Anda, Ibu, Bapak & Saudara, disakiti. Ibu, Bapak & Saudara meneliti, meneliti, memeriksa, “Saya ini berada di pihak yang benar”, ia benar-benar menyakiti, memfitnah. “Aku tersinggung; kebenaran dan keadilan harus ditegakkan.” – Tetapi, bagaimana kalau sebaliknya, Ibu, Bapak & Saudara? Orang lain sungguh-sungguh benar, dan Ibu, Bapak atau Saudara sungguh-sungguh salah. Apakah kebenaran & keadilan juga harus ditegakkan? – “Yah, Bhante, kita anggap dia Arahat sajalah; tidak usah menuntut saya, keakuan.”

Ibu, Bapak & Saudara,

Keakuan tidak bisa dilenyapkan hanya karena kita tidak ingin keakuan. – “Ooo, ya, Bhante; malam hari ini saya sudah cerah, jelas sekali: penderitaan yang bermacam-macam, dari yang paling kecil sampai yang kompleks, itu akarnya dari keakuan. Jelas, Bhante, jelas; aku sudah emoh keakuan. Gilo aku, jerih aku, jeleh aku.” – Hanya dengan tidak ingin keakuan, keakuan tidak bisa lenyap. Nemplek saja; karena kelengketan, attachment, kelekatan kita pada keakuan itu sangat kuat.

“Bhante, kalau orang belajar anatta, sunyata, tidak ada aku, itu hanya perpaduan yang terus berubah; aku yang abadi, yang sejati itu tidak ada, aku-ku, Bhante, jelas; anatta, sunyata, semua bergerak setiap saat, tidak ada yang berhenti, tidak ada inti, apakah itu tidak cukup?” – Sangat tidak cukup! Pengetahuan metafisis, pengetahuan intelektual metafisis, tidak bisa menghancurkan keakuan. Berapa juta tokoh Buddhis yang tidak mengerti anatta, hampir semua umat Buddha mengerti anatta, tapi, oooh, akunya gede-gede. – “Apakah bisa dilihat, Bhante?” – Tidak usah ditanyakan, Saudara bisa merasakan sendiri.

Kami selesai berbicara di suatu tempat; selesai itu, kami diantar pulang naik kendaraan; orang Jawa bilang, nguntapke; nguntapke itu mengantarkan sampai di kendaraan. “Ya, anumodana, terima kasih.” Tiba-tiba ada seorang tokoh yang mengatakan, “Bhante, saya ini bekerja mati-matian, Bhante, mempertahankan vihara ini. Pengurus yang lampau, pendiri yang lampau sudah tidak ada, tinggal saya. Saya ini tekun, tekun ini mati-matian saya mempertahankan vihara ini, Bhante.” – Eee, tidak ada hujan tidak ada angin, tiba-tiba kok keakuannya muncul orang ini. Saya tidak enak, Ibu, Bapak & Saudara, akan mengatakan begini, “Wah, Bu, mbok akunya itu dikecilkan,” tidak enak saya. Jadi saya menggunakan kalimat yang lain, “Pak, Bu, cobalah melatih vipassana.” – Jadi, nanti kalau Bhikkhu Pannavaro menganjurkan Anda melatih vipassana, tahu sendiri, Saudara, apa maksudnya. [tawa & tepuk tangan :)) :)) :)) :)) =D> =D> =D> =D>] Tetapi orang itu tidak mengerti, orang itu tidak mengerti: “O ya, Bhante, kalau ada latihan vipassana, saya ini yang bekerja keras, Bhante, mengkoordinir semuanya ini.” – Waduh, ya sudah … ampunilah Maha Dewa … dia tidak mengerti apa yang saya maksud. [tawa :)) :)) :)) :))]

Ibu, Bapak & Saudara,

Bagaimana mengurangi keakuan, merontokkan keakuan? Dengan menyadari, dengan memperhatikan, mengawasi. Jadi, kalau keakuan Saudara muncul, “Aku sudah selesai menjalankan kewajibanku sebagai ketua panitia, aku sudah selesai memenuhi janji, aku sudah selesai menulis buku, aku sudah selesai membayar lunas uang masuk anakku yang mau masuk perguruan tinggi, aduh, sebagai ayah aku merasa lega” – tidak dikeluarkan, tidak diucapkan, tetapi muncul dalam pikiran. Waspada! – “Diberantas, Bhante?” – Tidak usah. – “Lho, katanya aku berbahaya, kok tidak boleh diberantas?” – Amat-amati saja, ketahui saja, “Oh, pikiran muncul.” Selesai. Selesai, Saudara. Itulah sati, itulah awareness. Tidak usah dianalisis, “Kok aku saya muncul, dari mana tiba-tiba aku ini kok muncul; aku sudah kenal Agama Buddha dua puluh tahun, akuku kok masih gede-gede, tidak usah. Aku malu, aku ini harus dihantam, aku harus dimengerti, dengan anatta, tidak benar, aku ini salah,” – lha, nanti pikirannya ribut sendiri, perang sendiri di dalam pikiran, ramai di dalam pikirannya, bertengkar sendiri. – “Jadi bagaimana, Bhante?” – Dilihati saja, “Oh, aku muncul.” Selesai. – Mudah, Saudara? Tidak mudah. … Tidak perlu doa, tidak perlu paritta, tidak perlu menyebut Buddha, Dhamma, Sangha, tidak perlu ingat Triratna, tidak perlu ingat anatta. Mungkin seseorang tidak mengerti anatta sekalipun, tetapi kalau keakuannya muncul, dia ngonangi—ngonangi berarti mengetahui—akunya muncul, dia mengetahui, akunya muncul, dia menyadari, akunya muncul, dia menyadari. Itulah cara dukkha-nirodha, lenyapnya penderitaan, dengan mencabut akar penderitaan, kelengketan pada keakuan.

Ibu, Bapak & Saudara,

Di lain kesempatan, Guru Agung kita menjelaskan secara singkat dengan kalimat yang lain. Kalau di depan beliau menjelaskan, dulu, awal Guru Agung kita memberikan khotbah, sampai kemudian akan menutup mata, hanya dukkha, penderitaan dan lenyapnya penderitaan yang beliau ajarkan, tidak ada lain. Dalam kalimat yang lain, Guru Agung kita juga menyebutkan, “Seyyathāpi, bhikkhave, mahāsamuddo ekaraso loṇaraso, evam-eva kho, bhikkhave, ayaṃ dhamma-vinayo ekaraso vimuttiraso.” Sang Buddha mengatakan, “Para bhikkhu, mahasamudra, mahasamuddo, mempunyai ekaraso, rasa yang satu, loṇaraso, asin, rasa garam; demikian juga, ayaṃ dhamma-vinayo, demikian juga ajaran yang kuajarkan ini, ekaraso, mempunyai rasa yang satu, vimuttiraso, rasa kebebasan.”

Itulah, Ibu, Bapak & Saudara, yang diwariskan oleh Guru Agung kita, yang dipelihara, disimpan oleh Sangha, dan kemudian kami mewariskan kepada Ibu, Bapak & Saudara. Tidak mudah, tidak mudah. Apalagi kalau ingin menunjuk keakuan, aduh, tidak mudah, Saudara. Sering seseorang yang ditunjuk keakuannya, bukan keakuannya menjadi berkurang, malah keakuannya berkobar-kobar. Sabaar, sabaar … jururawat-jururawat, mantri-mantri ini harus sabar. Sabaar … ini diberi obat yang mujarab, malah marah.

Ibu, Bapak & Saudara,

Saya ingin menutup dengan satu cerita lagi. Seorang psikiater menjadi bhikkhu, gurunya adalah Lama Zopa Rinpoche. Ia adalah seorang New Zealand atau Australia. Pada suatu saat ia ditugaskan di suatu daerah. Daerah ini sulit sekali. Dari dimusuhi, tidak di-welcome, dia menjalin hubungan, menunjukkan simpati, ketulusan, sampai masyarakat di sana menerima bhikkhu ini. Setelah selang beberapa lama, tidak singkat, hampir sepuluh tahun, dia menulis otobiografinya, dia berhasil membangun sebuah vihara. Aduh, alangkah puasnya. Prestasi yang sangat besar, Saudara. Bayangkan, orang yang dimusuhi, dicurigai, sampai berhasil diterima oleh masyarakat itu dan membangun vihara yang besar. Tiga hari sebelum peresmian, Lama Zopa Rinpoche meminta bhikkhu itu pindah, ke negara lain. Pada saat peresmian, yang berdiri di podium memberikan sambutan bhikkhu lain. Kalau Saudara-Saudara dibegitukan, kira-kira bagaimana, Saudara? Mungkin Saudara akan menulis surat pembaca, <<i>tawa :)) :)) :)) :))> “Bhante ini, bhante itu, Bhante Pannavaro sewenang-wenang, tidak adil, tidak tahu jasa, tidak menghargai perjuangan muridnya, guru yang buruk!” – Apakah bhikkhu yang dipindahkan itu juga begitu? Ya, di dalam hati. Tetapi itulah, Saudara, cara seorang guru mengajar. Beberapa bulan kemudian, ia sangat bersujud kepada gurunya. “Kalau saya tidak dipindahkan, betapa besar ego/aku saya akan melembung, mungkin melebihi besarnya sang guru dan dunia ini. Lalu apa yang kudapatkan dengan praktik Dhamma? Kalau bukan memperkecil keakuan, malah memperbesar keakuan. Memperbesar keakuan berarti memperbesar penderitaan. Justru ajaran Guru Agung kita, dukkha-nirodha, melenyapkan penderitaan..”

Saya anjurkan para pemimpin, para Bhante yang ada di Bali mencoba seperti ini; coba, coba. Nanti kalau di sana, Gilimanuk sana, ada vihara yang diresmikan, tiga hari sebelum peresmian, orang-orang yang berdana, berjasa, singkirkan, panitia diganti, coba. [tawa & tepuk tangan :)) :)) :)) :)) =D> =D> =D> =D>] Menghancurkan keakuan, menghancurkan penderitaan. Keakuan lahir, penderitaan lahir. Kebebasan adalah ekaraso, “Ayam dhammo-vinayo ekaraso vimuttiraso. Ajaranku ini mempunyai rasa yang satu, yang dangkal maupun yang dalam, ekaraso vimuttiraso, rasa kebebasan.”

Terima Kasih

 _/\_

Silahkan anda menilai

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #166 on: 26 February 2010, 10:02:44 AM »
Seingat saya, saya pernah mendengar Bhante Pannavaro berceramah seperti yg dikutip bro Change di Bali. Dan memang dalam berbagai kesempatan saya mengikuti ceramah bhante ada selingan humor/joke(menurut saya) dan banyak hadirin yg tertawa. Bagi saya hal itu hal yang pantas...demikian beberapa kali saya mendengar ceramah bhante Utamo, pantas2 saja tuh.  ^-^


Kutipan diatas sangat bagus. Merupakan studi kasus dalam kehidupan nyata. Bagaimana seharusnya meletakkan sesuatu secara proposional bukan hantam kromo. _/\_



« Last Edit: 26 February 2010, 10:14:47 AM by bond »
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline kusalaputto

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.288
  • Reputasi: 30
  • Gender: Male
  • appamadena sampadetha
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #167 on: 26 February 2010, 11:24:39 AM »
thx bro change atas sharing dhammanya  :x

 dhamma yg di bawa bhante sri pannavaro memang bagus sayang saya lom memiliki tabungan kamma yg mencukupi mendenggarkan dhammmadesananya secara langsung, baru hanya melalui video atau tulisan. :( :(

 dari sini kita bisa melihat batasan tentang joke dalam dhamma dari yg saya dapat bhante memancing tawa sebanyak 8 kali n joke yg di lontarkan pun setelah ia menyampaikan sekitar 40% dari ceramahnya jadi bisa di lihat bahwa bhante juga memperhatikan sifat dasar manusia yg rata2 tidak dapat berkonsentrasi secar terus menerus lebih dari 30menit. makanya bhante menyisipkan joke tanpa harus lari jauh dari materi.

so selama joke ketika ceramah hanya sebagai sisipan & bukan 50% dr durasi dan tidak menyimpang jauh dari topik itu saya rasakan sebagai batasan yg pas. karena sebuah joke juga amat penting untuk mebangkitkan suasana.
tentunya joke yg di  lontarkan harus tidak menyinggung tentang selangkngan, rasis, menjatuhkan agama lain
semoga kamma baik saya melindungi saya, semoga kamma baik saya mengkondisikan saya menemukan seseorang yang baik pada saya dan anak saya, semoga kamma baik saya mengkondisikan tujuan yang ingin saya capai, semoga saya bisa meditasi lebih lama.

Offline kusalaputto

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.288
  • Reputasi: 30
  • Gender: Male
  • appamadena sampadetha
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #168 on: 26 February 2010, 11:58:54 AM »
jelas saya tulis disana NGENDARAIIN...dan mau lebih jelasnya lagi Si Bhante tersebut sedang belajar nyupir!!!dan saya kurang setuju dengan dalih menggunakan hp sebagai alat komunikasi...itu suatu bentuk kemelekatan,karena masih melekat pada umat...Bhikkhu itu berjuang untuk mensucikan diri,berjuang untuk belajar DIAM dan HENING,bukan BERSOSIALISASI berlebihan...Lagian seperti kata anda,sudah ada dakkaya,kalau memang di dana in hp,bukannya semua itu ada tugas dakkaya?kenapa harus Bhantenya yang ambil atau memakai hp tersebut?aneh..dan lebih anehnya bukan hp butut..[dan dari rumor2 yang saya dengar seputar Bhante tersebut dari aktivis di Vihara tersebut,Bhante yang bersangkutan juga biasanya di Vihara bersikap otoritas dan menggangap Vihara adalah MILIKnya dan tidak mau berbagi dengan Bhante yang lainnya,sampai kasus ini diceritakan sekarang,si Bhante sudah pindah dari vihara tersebut,dan mendirikan Vihara sendiri tepatnya bukan Vihara,seperti Cetiya di tempat yang lain.]

Anumodana _/\_
bro saya tanya umat buddhis indonesia ada berapa? n bhikkhu di indonesia ada berapa?
perbandingan k2nya amat tidak seimbang sehingga 1 orang bhikhu di indo harus melayani lebih dari 10 vihara di 1 daerah bahkan lebih karena itu yg terjadi di jakarta yg notabne bhikkhunya lebih banyak. bagaimana dengan di daerah tentu lebih parah, mungkin dengan bhikkhu itu tersebut mengendarai mobil lebih memudah kan transport ia pergi, ko mobilnya mewah sy no comment, trus kenapa dayaka tidak membantu bhikkhu tersebut? dayaka juga ada kehidupan sendiri tidak bisa 24jam mendampinggi bhikkhu lalu dengan adanya hp saya rasa bukan melekat pada umat namun sekedar sarana informasi c/o untuk menanyakan saran mengenai keorganisasian dan bhikkhu tersebut sedang tidak di vihara tempat tinggalnya namun isi ceramah d vihara lain n sedangkan organisasi ini butuh jawaban dari bhikkhu kan bisa di telepon bhikkhunya biasanya bhikkhu ini menjadi penasihat dalam organisasi tersebut . untuk no hp bhikkhu juga bukan siapa saja bisa memiliki tentu biasanya melalui dayaka.
saya ada contoh lain anda kenal bhante dhammavijayo beliau tingal di batu n ia memiliki no hp yg di ketahui publik n beliau juga merupakan pengeloloa/pemilik(sy lupa yg mana) dhamma tv d batu. karena beliau juga merupakan bhante yg terkenal dengan kemampuannya untuk menolong orang dari kekuatan jahat maka banyak umat yg meminta beliu untuk membaca parita serta mereka yg inggin berdana untuk dhamma tv tsb. menurut anda riki apa beliau melekat pada umatnya atau berusaha membabarkan dhamma n menolong mereka yg patut di tolong? karena tentunnya tidak semua orang bisa di tolong tergantung dengan tabungan kamma masing2. lalu mengenai bhante yg anda sebut diatas dan dari cerita anda mungkin bikkhu tersebut masih memiliki ke akuan yg besar namun anda jangan karena nila setitik rusak susu sebelangga jangan karena 1 orang bhikkhu berbuat kesalahan lalu mencap sangha tidak baik, makanya sering di inggatkan bahwa kita tidak boleh melekat pada seorang sosok bhikkhu takutnya bila sosok yg anda kagumi berbuat salah hilang tempat bertopang n bisa malah menghujat bhikkhu tersebut.   _/\_
 
Salah 1 sekolah favorite di Medan...saya yang survei?tentunya nanti itu tidak dianggap valid,kalau saya doang,dan waste my time aja...
setahu saya,selama saya berbicara dengan ko Indra sendiri,rasanya ko Indra sharing dhamma ke saya ,tidak pakai lelucon2 deh..??Guru agama saya waktu nerangin ke semua muridnya,tidak pakai lelucon2 deh?yang ada malah dia menekan Dhammanya dengan TEGAS dan TEPAT...Leluconnya pun tidak terus menerus sehingga orang bisa membedain antara LELUCON dan DHAMMA...masalahnya timbul ketika kita mendengar dengan serius kemudian ketika mau mendapatkan jawaban atas pertanyaan tiba2 disambung dengan celutukan dan lelucon..bagi saya bukan DhammaNya yang dapat malah yang ada jadi BUYAR...jadi BINGUNG entah apa yang mau disampaikan oleh si penceramah...Selingan Joke cukup lah menjadi SELINGAN JOKE,,...Kemudian Dhamma ya Dhamma...Jangan lah DICAMPUR ADUKAN menjadi SATU KESATUAN..itu yang menjadi masalah dan yang sedang "dipertanyakan" disini..
Saya tahu susahnya berceramah dan menjadi DhammaDuta,tetapi kesulitan atau kegagalan dalam ceramah bukan berati mencari alasan atas kegagalan tersebut,dan membenarkan segala cara untuk mendapatkan umat yang mendengar bukan?Apa yang ditekankan disini,apakah KUALITAS atau KUANTITAS?Kalau KUANTITASnya saja,saya tidak mau berkomentar lebih jauh lagi..

Anumodana _/\_
seperti yg sudah saya katakan pada post saya d atas selama masih menjadi selingan joke itu perlu
untuk membangkitkan suasana. nah di dc ini memang saya lihat karena memamng kemampuan dhammanya tinggi  jadi lebih memilih kualitas dari pada kuantitas. namun say pribadi memberikan dhamma desana tidak perduli berapa orang yg mendengarkan namun alangkah baiknya bila banyak yg mendengarkan n menjadi mengerti dhamma .
jadi dhmma juga lebih lestari. _/\_
semoga kamma baik saya melindungi saya, semoga kamma baik saya mengkondisikan saya menemukan seseorang yang baik pada saya dan anak saya, semoga kamma baik saya mengkondisikan tujuan yang ingin saya capai, semoga saya bisa meditasi lebih lama.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #169 on: 26 February 2010, 01:06:42 PM »
..................
 KELOMPOK PERTAMA : SARUPPA - mengenai sikap tingkah laku yang tepat.

   1. Saya akan mengenakan jubah dalam secara rapih.
   2. Saya akan mengenakan jubah luar secara rapih.
   3. Saya menutupi jubah saya dengan rapi, bila pergi ke tempat masyarakat umum.
   4. Saya menutupi tubuh saya dengan rapi, bila duduk, di tempat masyarakat umum.
   5. Saya mengendalikan segala gerakan-gerakan tubuh saya dengan hati-hati sewaktu pergi ke tempat masyarakat umum.
   6. Saya mengendalikan segala gerakan tubuh saya sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
   7. Saya akan menjaga arah pandangan mata saya ke arah bawah selalu, sewaktu pergi ke tempat masyarakat umum.
   8. Saya akan menjaga arah pandangan mata saya ke arah bawah selalu sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
   9. Saya tidak akan menyingsingkan jubah ke atas sewaktu pergi ke tempat suatu masyarakat umum.
  10. Saya tidak akan menyingsingkan jubah ke atas, sewaktu duduk di tempat suatu masyarakat umum.
  11. Saya takkan tertawa dengan keras, sewaktu pergi ke tempat masyarakat umum.
  12. Saya tak tertawa dengan keras, sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
  13. Saya takkan bicara dengan keras, sewaktu pergi ke tempat umum.
  14. Saya takkan bicara dengan keras, sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
  15. Saya takkan menggoyang-goyangkan tubuh saya, sewaktu pergi ke tempat umum.
  16. Saya takkan menggoyang-goyangkan tubuh saya, sewaktu duduk di tempat umum.
  17. Saya takkan menggoyang-goyangkan lengan sewaktu ke tempat masyarakat umum.
  18. Saya takkan menggoyang-goyangkan lengan saya, sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
  19. Saya takkan menggoyang-goyangkan kepala, sewaktu ke tempat masyarakat umum.
  20. Saya takkan menggoyang-goyangkan lengan saya, sewaktu duduk bersama di tempat umum.
  21. Saya tak bertolak pinggang, sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
  22. Saya takkan bertolak pinggang, sewaktu ke tempat umum.
  23. Saya takkan menutupi kepala saya dengan kain, sewaktu ke tempat masyarakat umum.
  24. Saya takkan menutupi kepala saya, sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
  25. Saya takkan berjalan berjingkat-jingkat sewaktu berjalan di tempat masyarakat umum.
  26. Saya takkan memeluk lutut sewaktu duduk bersama masyarakat umum.

KELOMPOK KEDUA : BH0JANAPATISAMYUTA - mengenai peraturan.

   1. Saya akan menerima makanan pindapata dengan hati-hati dan penuh perhatian.
   2. Pada waktu menerima makanan pindapatta, saya akan melihat ke arah mangkok pindapata saja.
   3. Saya akan menerima lauk pauk dalam jumlah yang sesuai dengan nasi yang saya terima.
   4. Saya akan menerima makanan sesuai dengan mangkok saya/tidak berlebih-lebihan sehingga tumpah.
   5. Saya akan makan makanan pindapata dengan hati-hati dan penuh perhatian.
   6. Saya akan melihat mangkok saya sendiri sewaktu makan.
   7. Saya akan makan makanan pindapata dengan merata.
   8. Saya akan makan lauk pauk berimbang dengan nasi.
   9. Saya takkan mengambil makanan/nasi dari atas ke bawah.
  10. Saya takkan menyembunyikan lauk pauk di bawah nasi dengan maksud untuk mendapat lebih banyak.
  11. Saya takkan meminta nasi atau lauk pauk untuk kepentingan diri sendiri kecuali sedang sakit.
  12. Saya tidak akan melihat dengan iri hati pada mangkuk orang lain.
  13. Saya takkan membuat sebuah suapan yang besar.
  14. Saya akan membuat sebuah suapan yang bulat.
  15. Saya takkan membuka mulut saya sebelum suapan makanan dekat sekali dengan mulut.
  16. Saya takkan memasuki jari tangan saya ke dalam mulut sewaktu menyuap makanan.
  17. Saya takkan bicara dengan mulut penuh makanan.
  18. Saya takkan makan dengan melemparkan makanan ke dalam mulut.
  19. Saya takkan makan dengan menggigit-gigit bongkahan nasi.
  20. Saya takkan makan dengan menggembungkan pipi.
  21. Saya takkan menggoyang-goyangkan tangan pada saat sedang makan.
  22. Saya takkan menjatuhkan/menghambur-hamburkan butir-butir nasi di waktu makan.
  23. Saya takkan menjulurkan lidah selagi makan.
  24. Saya takkan menimbulkan bunyi kecap selama sedang makan.
  25. Saya takkan makan dengan menimbulkan bunyi seolah-olah mengisap (karena berkuah).
  26. Saya takkan menjilat tangan sewaktu makan.
  27. Saya takkan mengeruk dasar mangkok dengan jari-jari tangan, untuk menimbulkan kesan sudah hampir habis makan.
  28. Saya takkan menjilat bibir sewaktu makan.
  29. Saya takkan membuang air pencuci mangkok, yang berisi butir nasi di daerah yang ada penduduknya.
  30. Saya takkan menerima mangkok dari barang pecah belah/yang berisi minuman selagi tangan kotor dengan makanan.

KELOMPOK KETIGA: DHAMMADESANAPATISAMYUTA - mengenai cara mengajarkan Dhamma.

Seorang Bhikkhu harus melatih diri mengajarkan Dhamma dengan cara sebagai berikut :
Saya takkan mengajarkan Dhamma kepada, orang yang tak sakit, tatkala :

   1. Memegang sebuah payung di tangannya.
   2. Memegang sebuah tongkat/pemukul di tangannya.
   3. Memegang pisau/senjata tajam di tangannya.
   4. Memegang sebuah senjata/apapun di tangannya.
   5. Memegang sandal di kakinya.
   6. Memegang/memakai sepatu di kakinya.
   7. Berada di atas sebuah kendaraan yang sempit sekali.
   8. Berbaring di atas tempat tidur.
   9. Duduk dengan memeluk lutut.
  10. Memakai penutup/ikat kepala/turban.
  11. Kepalanya terbungkus.
  12. Duduk di atas kursi sedang saya duduk di atas tanah.
  13. Duduk di atas tempat duduk yang tinggi sedang saya duduk di tempat yang rendah.
  14. Sedang bejalan di depan sedangkan saya berjalan di belakang.
  15. Sedang duduk sedang saya berdiri.
  16. Sedang berjalan di jalan, sedangkan saya berjalan di luar/di tepi jalan.

KELOMPOK KEEMPAT: PAKINNAKA - aneka macam peraturan.

Seorang Bhikkhu harus melatih diri, sebagai berikut :
Jika saya tidak sakit,

   1. Saya tidak akan membuang air besar/air kecil sambil berdiri.
   2. Saya tidak akan membuang air besar, air kecil atau pun meludah pada tumbuh-tumbuhan.
   3. Saya tidak akan membuang air besar, air kecil atau meludah di dalam/ di luar air.
....................
lengkapnya di http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=775
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #170 on: 26 February 2010, 01:25:38 PM »
Menurut sy,penyebaran Dhamma yg terbaik adl dg menunjukkan perilaku yg sesuai Dhamma dlm kehidupan sehari2,shg org2 non-Buddhis maupun Buddhis awam/KTP tertarik utk mengenal Dhamma (tentu saja menyebarkan Dhamma utk non-Buddhis tdk utk menambh pengikut spt para evangelis,tetapi agar mrk lbh kenal agama Buddha & tdk salah paham bhw agama Buddha itu berhala,tahayul,atheis,dst).

Cth yg paling nyata bs dcth dr para Dharmaduta aliran Maitreya d Korea (sy tau bhw para Theravadin d sini ad yg mengecam aliran Maitreya & sejenisny krn tdk sesuai dg ajaran B.Gotama dlm Tipitaka Pali,ttp tdk dpt dpungkiri bhw aliran tsb jg ad sisi baik yg mgkn kt cth & ini tdk dmaksudkn utk memancing perdebatan ttg aliran ini)

Seorg Dharmaduta aliran Maitreya diutus pimpinan aliranny utk menyebarkan ajaran mrk k Korea. Org itu tdk fasih berbhs Korea. Ia mendptkan sebuah rmh kecil d sebuah gang yg penuh perumahan penduduk,seorg diri ia tinggal d sana yg jg djadikan vihara. Mulany ia tdk menyebarkan agama br tsb,hny tiap pagi2 skali sehabis berdoa,membersihkan vihara,lalu membersihkan daerah gang tsb yg selama ini jarang dbersihkan penduduk d sana. Org2 menjd heran krn tiap pagi menemukan lingkungan mrk lbh bersih dr keadaan malam sebny. Stlh dselidiki,ternyata tetangga br mrk yg tdk bnyk bicara tsb yg melakukanny. Akhirny melihat perbuatan baik si org br tsb,org2 menjd tertarik utk mengetahui agama br yg ia bw. Demikianlah lama-kelamaan aliran Maitreya dpt berkembang d Korea.

Jd,Dhamma bkn utk dbicarakan,ddiskusikan,apalagi dperdebatkan,melainkan praktek Dhamma-lah yg terpenting,spt ungkapan "Less talk,more action"
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline johan3000

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 11.552
  • Reputasi: 219
  • Gender: Male
  • Crispy Lotus Root
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #171 on: 26 February 2010, 01:43:25 PM »
Menurut sy,penyebaran Dhamma yg terbaik adl dg menunjukkan perilaku yg sesuai Dhamma dlm kehidupan sehari2,shg org2 non-Buddhis maupun Buddhis awam/KTP tertarik utk mengenal Dhamma (tentu saja menyebarkan Dhamma utk non-Buddhis tdk utk menambh pengikut spt para evangelis,tetapi agar mrk lbh kenal agama Buddha & tdk salah paham bhw agama Buddha itu berhala,tahayul,atheis,dst).

Cth yg paling nyata bs dcth dr para Dharmaduta aliran Maitreya d Korea (sy tau bhw para Theravadin d sini ad yg mengecam aliran Maitreya & sejenisny krn tdk sesuai dg ajaran B.Gotama dlm Tipitaka Pali,ttp tdk dpt dpungkiri bhw aliran tsb jg ad sisi baik yg mgkn kt cth & ini tdk dmaksudkn utk memancing perdebatan ttg aliran ini)

Seorg Dharmaduta aliran Maitreya diutus pimpinan aliranny utk menyebarkan ajaran mrk k Korea. Org itu tdk fasih berbhs Korea. Ia mendptkan sebuah rmh kecil d sebuah gang yg penuh perumahan penduduk,seorg diri ia tinggal d sana yg jg djadikan vihara. Mulany ia tdk menyebarkan agama br tsb,hny tiap pagi2 skali sehabis berdoa,membersihkan vihara,lalu membersihkan daerah gang tsb yg selama ini jarang dbersihkan penduduk d sana. Org2 menjd heran krn tiap pagi menemukan lingkungan mrk lbh bersih dr keadaan malam sebny. Stlh dselidiki,ternyata tetangga br mrk yg tdk bnyk bicara tsb yg melakukanny. Akhirny melihat perbuatan baik si org br tsb,org2 menjd tertarik utk mengetahui agama br yg ia bw. Demikianlah lama-kelamaan aliran Maitreya dpt berkembang d Korea.

Jd,Dhamma bkn utk dbicarakan,ddiskusikan,apalagi dperdebatkan,melainkan praktek Dhamma-lah yg terpenting,spt ungkapan "Less talk,more action"

Nahh kalau begitu wihara2 di Indonesia pun jangan tanggung2... beli mobil pembersih Jalan
maupun pembersih kali.........ya pasti deh atasnya ada bendera brand yg mengerjakan....

bila memerlukan data, bisa aja nulis nama brand dan no rekening..............

pasti banyak lah yg senang
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

Offline Tekkss Katsuo

  • Sebelumnya wangsapala
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.611
  • Reputasi: 34
  • Gender: Male
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #172 on: 26 February 2010, 01:43:56 PM »
two tumbs buat Guru Bond dan bro change, penjelasan yang sangat bagus  :-[

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #173 on: 26 February 2010, 03:40:22 PM »
 [at] johan:
Wkwkwkwk.... Lucu, tp bkn begitu maksudny, d sini sy cuma memberi cth bhw perilaku nyata dr umat Buddha sendiri yg sesuai dg Dhamma itu adl cr yg sesuai utk memperkenalkan Dhamma. Tentu bnyk perilaku sesuai Dhamma yg lain,tdk hrs jd "penyedia jasa pembersihan lingkungan". Itu kan cuma cth,dan tdk seharusny dmaknai scr harfiah,melainkan diambil pelajaran moralny. Thx
« Last Edit: 26 February 2010, 03:42:07 PM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #174 on: 26 February 2010, 07:43:15 PM »
[at]  Riky Dave

Saya tidak tahu yang anda maksud dhamma talk yang mana, dan nampaknya anda MUNGKIN mengeneralisasi semua dhamma talk plus humor adalah tidak PANTAS ( dan diharapkan tidak menjadi hyperbola ). Mungkin ada baiknya dilakukan studi kasus / per case dalam menilai, jangan berdasarkan penilaian SUBJEKTIF yang menjurus ke propaganda opini secara negatif, karena ini membahayakan kelangsungan pengembangan Buddism. Saya yakin anda dan saya ( mungkin juga yang lain ) tidak dapat memberikan parameter pengukur ke PANTAS an tersebut, artinya hanya KESEPAKATAN opini saja ( belum tentu benar ) tentu bukan sepihak. Pernahkah dengar pepatah “ Perkataan Tiga Orang Menjadi Harimau” arti sederhana ( tidak kutip cerita panjang, nanti dinilai OOT ) adalah Rumor Yang tersebar luas dan berulang-ulang pada akhirnya diyakini sebagai KEBENARAN ( walaupun belum tentu Benar atau Salah ). Ini adalah tindakan berbahaya dan merugikan bahkan dikatakan tidak bermoral. Saya akan memberikan satu dhamma talk plus humor untuk anda nilai kepantasannya dari kacamata anda sendiri.
Jujur saja,,saya minta maaf jika ada kata saya yang mengandung unsur "menyesatkan" dan "mengancam" keberlangsungan Buddha Dhamma..Jujur saja,saya takut terlempar ke dalam alam Apaya,jujur saja saya hanya makhluk dungu yang memiliki kegelapan batin,dan jujur saya ,tak terbersit di pikiran saya sama sekali untuk "menjudge" Dhamma Talk tertentu sebagai tidak pantas,sebagai suatu hal yang negative..Saya akui dengan benar bahwa semuanya hanya opini saya yang bersifat SUBJEKTIF,dan karena bersifat SUBJEKTIF tentu saja tidak terlepas dari dualisme[benar atau salah],dan maap saja,ini adalah forum berdiskusi,bukan forum adu mana yang benar atau salah..saya hanya memposisikan diri saya sebagai kapasitas bertanya,mengajukan pernyataan[melalui pengalaman pribadi saya sendiri..]..Jika ada kata2 yang menyingung hati,atau membuat goresan luka dihati,mohon dilupakan,dan anggap lah saya hanya berkicau..

Quote
Mengenai kualitas tujuan suatu dhamma talk plus humor, saya TIDAK BERANI menilai karena saya TAHU DIRI bahwa PERILAKU diri sendiri yang sesuai dhamma saja tidak dapat dijadikan contoh panutan dan belum pernah memberikan manfaat kepada orang lain,  tapi saya berani mengatakan dhamma talk plus humor banyak memberikan manfaat di lingkungan saya, karena ada hasil efek domino positif. Misalnya dari pemarah menjadi lebih sabar dan pemaaf, tidak stress. dll ( yang sederhana saja dulu ) walaupun kita tahu TUJUAN yang lebih tinggi ( karena tidak setiap level mampu menyerap sekaligus ). Ini adalah contoh level untuk makhluk yang baru mengecap dan mencicipi manfaat Dhamma yang LUAR BIASA, sekali lagi level ini tidak bisa dibandingkan dengan level anda yang sudah “TINGGI”. Karena Buddhism di Indonesia baru berkembang beberapa tahun ini, mungkin karma baik makhluk tersebut tidak sebaik dibandingkan dengan anda dalam mendapat KESEMPATAN duluan untuk mengenal Dhamma yang Luar Biasa ( artinya yang baru dengan yang lama tentu berbeda level )
Jujur Dhamma itu bukan soal "level",entah tinggi rendah,atau apapun itu..Dhamma adalah sesuatu kebenaran yang tak terbantahkan itu saja..Dhamma mengandung rasa "pembebasan"..."Ini adalah penderitaan,penderitaan ini sudah dipahami,dan Ini adalah akhir dari penderitaan.." dan Dhamma bisa dicapai bukan oleh orang yang "seberapa" tahu dia tentang sutta,seberapa hapal dia soal TIPITAKA,siapapun yang berhasil menghapal seluruh TIPITAKA ,bukanlah jaminan dia mengerti dan menyelami Dhamma yang AGUNG ini...Tetapi tentunya tidak dapat saya pungkiri sebagai makhluk yang dungu,sutta2 dalam Tipitaka sangat membantu dalam mengikis kebodohan duniawi ini,dan "alat" untuk membantu "menyebrang" pantai seberang..seperti kata dalam Sutta bahwa Dhamma dibagi atas 3 hal yaitu pariyatti[belajar],patipati[mempraktikan] dan pativedha[hasil]..Siapapun yang menyelami Dhamma,entah bahkan 1 bait syair saja,entah duluan atau terlambat,atau apapun itu,maka DIA LAH PEMENANG,bukan dilihat dari kacamata siapa dulu yang MENGENAL DHAMMA,itu lah PENDAPAT SUBJEKTIF saya,sekali lagi,itu hanya pendapat SUBJEKTIF saya..Jika ada yang salah,mohon dimaklumi.. :)

Quote
Apapun definisi humor, saya tidak permasalahkan, tapi yang penting jangan melihat dan memahami definisi humor dengan cara membandingkan ( study banding ) dhamma talk plus humor dengan acara tukul, jojon, acara ngelawak atau apapun dengan persepsi pribadi yang mana parameter pengukur tidak ada.. Menurut saya ini adalah TINDAKAN YANG “TIDAK PANTAS”. Jangan-jangan dikemudian hari berkembang rumor menjadi pembabar dhamma plus humor adalah BADUT. Memang setiap orang punya hak untuk mengeluarkan pendapat, tetapi tentu ingat ada koridornya atau BATASAN KEPANTASANnya. Untuk menilai suatu KEPANTASAN, seharusnya dilakukan dengan PANNA atau Kutub Kesadaran apalagi ini dilakukan oleh makhluk yang  telah merasakan MANFAAT dari Dhamma, bukan dengan Kutub Keegoaan.
Sekali lagi anda BENAR bahwa SELURUH pernyataan saya hanya lah pernyataan SUBJEKTIF dan tidak bisa dijadikan parameter,tolak ukur dan seterusnya..Tetapi adakah yang salah ketika saya bergabung didalam diskusi dan memaparkan apa yang terjadi sebagaimana adanya[tentunya kebenaran yang saya bahwa ini hanya kebenaran yang bersifat Sammuti Sacca bukanlah Paramatha Sacca]?atau saya harus bersikap bahwa apa yang "tidak menyenangkan" sebagai "sesuatu yang menyenangkan"? maap..sungguh maap,saya memiliki "sifat" yang berbeda,saya adalah orang yang ceplas ceplos,dan apa yang saya alami itu lah yang akan saya katakan,ya mungkin saja itu BENTUK KEEGOAN saya..ya Ini lah EGO,apakah EGO harus ditutupi atau dipahami?entah lah... bagi saya setiap bentuk harus DIPAHAMI...dan disadari sebagai BUKAN MILIKKU..
Sori saya merasa ada sikap "menghakimi" didalam anda melihat pernyataan2 saya sebelum2nya,padahal tidak ada niat saya mengatakan Oknum A,B,C dan seterusnya sebagai BADUT,atau apapun itu..Jujur saja,bahwa semua "kasus" yang dibawa oleh Anda,Saudara Bond,dan beberapa rekan,atas nama Bhante Uttamo,Ajahn Brahmavamso,Sri Pannavaro,adalah kasus yang sangat berbeda dengan "apa" yang sedang saya "pertanyakan" disini..Sesungguhnya saya rasa "reconnect" antara pernyataan saya dan "anggapan" anda..


Quote
Menurut saya pribadi kutipan Dhamma talk plus humor adalah sangat Luar Biasa, bahkan mengoyak dan menampar KEEGOAN saya. Dan saya menyadari bahwa ini adalah salah satu cara untuk “ MENGIKIS “ keegoaan. Karena saya menyadari belum mampu “ MEMCABUT SAMPAI KE AKARNYA ( LDM ) “. Jadi tidak ada yang perlu dibanggakan dengan perilaku saya pada saat ini, karena masih tebal LDM nya. Silahkan anda melihat dari KACAMATA anda ( kutipan yang pernah diposting ) ats Dhamma Talk ini...

Bersambung...   


Saya baca dahulu postingan anda.. :)
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #175 on: 26 February 2010, 08:02:44 PM »
Quote
bro saya tanya umat buddhis indonesia ada berapa? n bhikkhu di indonesia ada berapa?
perbandingan k2nya amat tidak seimbang sehingga 1 orang bhikhu di indo harus melayani lebih dari 10 vihara di 1 daerah bahkan lebih karena itu yg terjadi di jakarta yg notabne bhikkhunya lebih banyak. bagaimana dengan di daerah tentu lebih parah, mungkin dengan bhikkhu itu tersebut mengendarai mobil lebih memudah kan transport ia pergi, ko mobilnya mewah sy no comment, trus kenapa dayaka tidak membantu bhikkhu tersebut? dayaka juga ada kehidupan sendiri tidak bisa 24jam mendampinggi bhikkhu lalu dengan adanya hp saya rasa bukan melekat pada umat namun sekedar sarana informasi c/o untuk menanyakan saran mengenai keorganisasian dan bhikkhu tersebut sedang tidak di vihara tempat tinggalnya namun isi ceramah d vihara lain n sedangkan organisasi ini butuh jawaban dari bhikkhu kan bisa di telepon bhikkhunya biasanya bhikkhu ini menjadi penasihat dalam organisasi tersebut . untuk no hp bhikkhu juga bukan siapa saja bisa memiliki tentu biasanya melalui dayaka.
saya ada contoh lain anda kenal bhante dhammavijayo beliau tingal di batu n ia memiliki no hp yg di ketahui publik n beliau juga merupakan pengeloloa/pemilik(sy lupa yg mana) dhamma tv d batu. karena beliau juga merupakan bhante yg terkenal dengan kemampuannya untuk menolong orang dari kekuatan jahat maka banyak umat yg meminta beliu untuk membaca parita serta mereka yg inggin berdana untuk dhamma tv tsb. menurut anda riki apa beliau melekat pada umatnya atau berusaha membabarkan dhamma n menolong mereka yg patut di tolong? karena tentunnya tidak semua orang bisa di tolong tergantung dengan tabungan kamma masing2.
:) sepertinya kita harus duluan mengundang seorang Ahli Vinaya kesini sebelum "berdiskusi" lebih jauh..
Saya hanya sedikit "heran" ,apakah seseorang yang meninggalkan "keduniawian"[dengan sangat sadar apa arti dari meninggalkan kehidupan berumah tangga ke kehidupan pertapaan/kebhikkhuan] masih "sibuk" dengan urusan orang lain...sendiri saja belum "tersucikan" bagaimana mungkin "mensucikan" orang lain?[ini bahasa kasarnya,maap...]..sebenarnya masalahnya adalah "bhikkhu" nya yang "memerlukan" umatnya atau "umatnya" yang memerlukan "bantuan" Bhikkhunya??jadi serba bingung..di satu sisi,kita sebagai Umat Buddhisme,seharusnya JANGAN menganggap BAHWA BHIKKHU tertentu SEBAGAI MILIK KITA,dan HARUS selalu SEDIA SETIAP SAAT[kayak REXONA,Setia Setiap Saat :)]...seperti kata anda DAYAKA punya KEHIDUPANNYA sendiri,begitu juga dengan Bhikkhu tersebut dia juga "punya kehidupannya sendiri"..Sebenarnya yang "tidak tahu" malu itu umatnya atau Bhikkhunya?saya rasa banyak umat Buddhisme yang sangat egoistis dan malah merusak citra Bhikkhu tersebut,bahkan tidak tertutup kemungkinan mereka juga membuat Bhikkhu tersebut mengalami kemelakatan/kejatuhan...Bhikkhu itu di ajurkan oleh Buddha Gotama untuk "berlatih" hidup sederhana,bukan berlatih membantu umat dan hidup enak2an[jangan disini artikan bahwa saya menganggap Bhikkhu itu harus menderita..!!]
Untuk masalah membantu umat dengan cara seperti itu,kalau tidak salah saya pernah membaca bahwa "membantu" umat atau tepatnya "mengobati" umat adalah bentuk pelanggaran[makanya disini kita butuh Ahli Vinaya untuk mengupasnya].
_/\_

Quote
lalu mengenai bhante yg anda sebut diatas dan dari cerita anda mungkin bikkhu tersebut masih memiliki ke akuan yg besar namun anda jangan karena nila setitik rusak susu sebelangga jangan karena 1 orang bhikkhu berbuat kesalahan lalu mencap sangha tidak baik, makanya sering di inggatkan bahwa kita tidak boleh melekat pada seorang sosok bhikkhu takutnya bila sosok yg anda kagumi berbuat salah hilang tempat bertopang n bisa malah menghujat bhikkhu tersebut.

susahnya kalau hidup didunia begitu lah..suatu kalimat yang jelas bisa menjadi pro dan kontra yang berkepanjangan..saya tidak mencap Sangha apapun,saya juga tidak mencap Bhante tersebut,dia memiliki kebijaksanaanya sendiri,saya yang belum suci,tidak ada kerjaan untuk mencap seseorang,itu bukan kapasitas saya,saya juga tidak menghujatnya..maap saja..Bhikkhu bukan makhluk suci,dan adalah wajar jika dia melakukan kesalahan karena masih diliputi oleh kebodohan..malah teman2 saya bertanya kepada saya,saya jawab saya tidak tahu alasan Bhikkhu berkaitan itu belajar nyetir,dan memegang HP,aktivis vihara tersebut juga bertanya kepada saya,saya juga menjawab saya tidak tahu..[saya bukan lah orang yang SOK tahu,tidak tahu tetapi memberikan jawaban]..makanya disini kebetulan ada yang memulai makanya saya nimbrung bertanya..Sekali lagi saya minta maaf ,jika ada kata2 saya yang menjurus untuk menghina Sangha,atau yang anda katakan sebagai karena nila setitik rusak susu sebelanga..

Saya dari Mazhab Theravada,saya menjunjungi Guru Agung kita..itu saja..

Anumodana _/\_
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline g.citra

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.372
  • Reputasi: 31
  • Gender: Male
  • Hidup adalah Belajar, Belajar adalah Hidup
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #176 on: 26 February 2010, 09:05:56 PM »
Quote
..sebenarnya masalahnya adalah "bhikkhu" nya yang "memerlukan" umatnya atau "umatnya" yang memerlukan "bantuan" Bhikkhunya??jadi serba bingung..

Kalaupun ada yang ingin menjadi 'suci', tetap diperlukan 'penyokong' dalam memenuhi kebutuhan 'jasmani' selama proses 'latihan' ...

Kalaupun ada yang ingin menjadi perumah tangga biasa, tetap diperlukan 'penyokong' dalam memenuhi kebutuhan 'rohani' selama orang itu menjalani hidup sebagai perumah tangga ...

Jadi semua tetap saling membutuhkan ...

Hanya saja karena rasa dan persepsi yang berbeda dari tiap orang (karena 'aku' yang ingin ini-itu), yah kondisinya seperti sekarang ini ... Memberi batasan hanya akan memperkeruh keadaan, yang ada malah saling 'bertahan' dengan dalih-dalih pembenaran ...

Bukankah ini hanya akan menghambat tujuan (apalagi seorang theravadin) dalam melakukan 'latihan' ?

salam,

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #177 on: 26 February 2010, 09:13:09 PM »
Quote
..sebenarnya masalahnya adalah "bhikkhu" nya yang "memerlukan" umatnya atau "umatnya" yang memerlukan "bantuan" Bhikkhunya??jadi serba bingung..

Kalaupun ada yang ingin menjadi 'suci', tetap diperlukan 'penyokong' dalam memenuhi kebutuhan 'jasmani' selama proses 'latihan' ...

Kalaupun ada yang ingin menjadi perumah tangga biasa, tetap diperlukan 'penyokong' dalam memenuhi kebutuhan 'rohani' selama orang itu menjalani hidup sebagai perumah tangga ...

Jadi semua tetap saling membutuhkan ...

Hanya saja karena rasa dan persepsi yang berbeda dari tiap orang (karena 'aku' yang ingin ini-itu), yah kondisinya seperti sekarang ini ... Memberi batasan hanya akan memperkeruh keadaan, yang ada malah saling 'bertahan' dengan dalih-dalih pembenaran ...

Bukankah ini hanya akan menghambat tujuan (apalagi seorang theravadin) dalam melakukan 'latihan' ?

salam,

Sebelum saya berkomentar,coba baca dulu pernyataan dari saudara Kusalaputto,dan apa yang saya tanyakan,apakah ada relevansi atau memang terpisah?

Anumodana _/\_
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #178 on: 26 February 2010, 09:31:36 PM »
mau tanya dulu nih, bhikkhu yang disebut2 di sini sudah mencapai kesucian atau masih puthujana?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline g.citra

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.372
  • Reputasi: 31
  • Gender: Male
  • Hidup adalah Belajar, Belajar adalah Hidup
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #179 on: 26 February 2010, 09:38:45 PM »
 [at]  bro Riky_dave ... :)

Ya, saya sudah membacanya dan sebenarnya sayapun kurang setuju dengan kondisi yang terjadi saat ini kalau dilihat dari hubungan umat dengan bhikkhu (walau gak semuanya lho) ... Tapi mau gimana lagi ? Protes juga gak akan menyelesaikan apa-apa toh ? Yang paling bisa saya ambil hanyalah 'makna'nya aja ... Itulah 'kenyataan' ...

Lalu saya membaca 'sempalan' tulisan anda diatas (saya quote) yang membuat saya tertarik untuk kasih pendapat bahwa manusia (human) 'gak ada yang gak butuh' manusia lainnya ... semua saling membutuhkan ...
(kurang lebih pendapat saya seperti yang anda 'quote' itu) ... :)

 

anything