Buddha mengajarkan kebahagiaan dengan cara menunjukkan pada kita bahwa apapun itu tidak patut untuk dilekati, yang kita lekati berpotensi dukkha. Begini bro, seorang arahat sudah tidak membanding2 kan sukha dan dukkha. Memandang hidup dari sisi yang baik2 kan untuk orang yang belum tercerahkan supaya dapat mencerna dhamma dgn baik, kalau sudah tercerahkan, sudah nda usah repot2 mengubah sudut pandang, semuanya terlihat baik2 saja.
bro ajahn brahm aja bilang, kalau kita mandang hidup yang jelek2 kayak kita ke kandang ayam yang kita bawa ke rumah kotoran ayamnya bukan telur. padahal keluarnya kan sama2 dari ayam. mestinya yang dibawa pulang kan telurnya bukan kotorannya.
kalo mau melihat hidup ini dari yang dukkha2 aja, boleh2 aja bro. saya tidak bilang itu salah, karena kalau mau dilihat yang jelek memang ketemu kok
Sepertinya kita belum nyambung. Yang saya katakan, hidup itu memang berisi kebahagiaan dan penderitaan. Ajaran Buddha adalah untuk melihat apa adanya: kebahagiaan sebagai kebahagiaan, penderitaan sebagai penderitaan. Baik orang yang melihat kebahagiaan sebagai penderitaan maupun orang melihat penderitaan sebagai kebahagiaan adalah orang yang "buta". Itu bagaikan orang yang mendapat telur ayam tapi membuangnya karena menganggapnya hanya kotoran ayam, atau sebaliknya mendapat kotoran ayam, lalu "diambil positif-nya aja, Bro" dan kemudian kotoran ayam itu didadar atau diceplok untuk makan.
Hakikat dukkha sendiri bukan dibilang ayam itu cuma bisa buang kotoran saja, tetapi adalah kenyataan bahwa ayam itu berkondisi, kadang menghasilkan telur, kadang menghasilkan kotoran. Karena kemelekatan, maka kita bahagia kalau ayam menghasilkan telur dan menderita kalau ayam menghasilkan kotoran. Kalau telur habis, kita menjadi menderita, kalau kotoran dibersihkan, kita menjadi bahagia. Demikianlah seterusnya kita dalam
ketidakpastian mengharapkan telur datang dan mengharapkan kotoran hilang. Itulah yang namanya dukkha.