Diskusi tentang
SAKKA PANHA SUTTA
Sebelum membahas lebih jauh tentang Sakka Panha Sutta alangkah baiknya mengulas kata “Sakka Panha” sendiri. Dalam literatur-literatur Buddhisme, Sakka adalah nama yang diberikan pada raja para dewa. Sementara kata Panha berarti pertanyaan. Bila digabung Sakka-Panha artinya pertanyaan Sakka. Sakka Panha berisi tanya jawab tentang kesejahteraan mahluk hidup dalam lingkaran kehidupan. Tanya jawab ini berlangsung antara Sakka sebagai penanya dan Sang Buddha yang memberi tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan raja para dewa itu.
Pertanyaan Sakka kepada Sang Buddha diawali sebagai berikut, “Yang Mulia, dalam lingkaran kehidupan terdapat mahkluk-mahkluk seperti para dewa, umat manusia, para asura, naga, gandhabba dan masih banyak mahkluk lainnya. Para mahkluk ini ingin bebas dari perselisihan, pertentangan, konflik bersenjata, kebencian dan ketidakbahagiaan”.
Sakka melanjutkan pertanyaannya, “Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Mereka tak bisa membebaskan diri dari hal-hal buruk semacam itu. Rantai belenggu (samyojana) macam apakah yang membuat para mahkluk tak bisa membebaskan diri dari hal-hal buruk demikian ini?”
Sakka tahu betul mengapa ia perlu mengajukan pertanyaan semacam ini. Mengingat apa yang selalu dialami dan dilihatnya di alam surga Tavatimsa dan Catumaharajika (dua wilayah kekuasaan Sakka). Kehidupan para dewa di dua alam surga ini sangat dikenal oleh Sakka. Bagaimana terbukti meski hidup dipenuhi kesenangan indrawi para dewa ini tak terbebas dari konflik dan perselisihan.
Sebagai misal para dewa di alam-alam asura adalah musuh bebuyutan dewa-dewa Tavatimsa. Mereka, para Asura, sering melakukan pertempuran dan penyerangan yang tak kenal henti kepada para dewa Tavatimsa seperti termuat dalam Dhajagga Sutta dan sutta lainnya. Diceritakan dalam berbagai sutta awalnya para Asura hidup di alam surga Tavatimsa.
Ada cerita tentang hal ini. Suatu kali beberapa dewa di alam surga Tavatimsa mulai bertingkah laku buruk seperti bermabuk-mabukan. Melihat tingkah laku tak perpuji ini Sakka memerintahkan para dewa ini untuk keluar dari wilayah Surga Tavatimsa. Segelintir dewa berkelakuan buruk ini kemudian bermukim di kaki gunung Meru. Beberapa dewa yang turun derajat ini kemudian dikenal dengan sebutan mahkluk-mahkluk Asura.
Tertulis juga dalam sutta-sutta itu gambaran tentang mahkluk-mahkluk lainnya. Seperti para naga, gandhabba juga yakka. Naga adalah sejenis ular raksasa yang mampu bekerja dengan kekuatan batin. Para gandhabba adalah para dewa dari alam Catumaharajika yang bertugas menari, bermain musik, membaca puisi dan melakukan aktifitas-aktifitas kesenian yang umum berlangsung di dunia para dewa. Ada juga satu mahluk setengah dewa setengah hewan yang disebut yakka. Yakka berpenampilan layaknya monster.
Sejatinya dalam benak para mahkluk baik para dewa, manusia dan mahkluk hidup lainnya muncul keinginan untuk berada dan menikmati suatu kehidupan yang penuh kedamaian. Mereka tak berharap menjadi musuh, seteru atau pecundang. Pendek kata ada keinginan yang sangat mendalam dari para mahkluk ini untuk tak menjadi musuh dari mahkluk hidup lain. Tidak juga mereka berharap untuk menjadi mahkluk yang suka menyakiti mahluk hidup lain, berlaku kasar, kejam, atau mengerahkan kekuatan jahat atas dorongan materi dan lainnya.
Singkatnya, semua mahkluk hidup menghendaki rasa aman, damai, terbebas dari rasa takut dan merasa berbahagia dalam jangka waktu lama. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Para mahluk ini selalu berada dalam “bahaya”, seperti larut dalam kesedihan berkepanjangan dan didera penderitaan. Apakah hal-hal yang menjadi sebab adanya situasi ini?
Saat ini kami mendengar suara-suara ramai di berbagai belahan dunia, hiruk pikuk masyarakat luas tentang keinginan untuk membentuk suatu dunia yang damai dan adanya kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Dunia kita akhirnya akan menjadi suatu dunia yang berbahagia jika kita bisa merealisir impian-impian ini. Tapi, faktanya, impian-impian untuk mengangkat harkat hidup manusia itu masih jauh dari impian semua orang. Bila keadaannya selalu demikian muncul pertanyaan, apa yang menyebabkan sulitnya keluar dari rasa frustrasi kita?
Menjawab pertanyaan Sakka, Sang Buddha menyebutkan dua kata, “Issa” dan “Macchariya” sebagai dua belenggu yang menjadi sebab utama ketidakbahagiaan semua mahkluk. Issa adalah perasaan cemburu atau iri hati. Perasaan iri hati inilah yang menjadi sebab munculnya kehendak-kehendak jahat kepada seseorang atau suatu mahkluk yang “berseberangan” dengan kita. Sedangkan macchariya adalah pikiran-pikiran picik, pikiran-pikiran buruk yang membuat kita enggan melihat pihak lain “lebih” dibanding kita. Bila dihubungkan dengan sesuatu yang bersifat materi macchariya berarti sifat kikir. Dua belenggu ini, issa dan macchariya, membuat kita merasa frustrasi dan mendatangkan kesedihan, bahaya, pertentangan, permusuhan, dan perkelahian.
Siapapun dia yang selalu dipenuhi perasaan iri hidupnya tidak bahagia meski ia selalu berkata ingin hidup damai dan bahagia. Kita umumnya suka iri kepada orang yang usahanya maju, kaya, punya kedudukan tinggi di pemerintahan atau punya banyak pengikut.
Ketidakbahagiaan dari orang yang selalu iri atas keberhasilan orang lain timbul karena hatinya dipenuhi oleh kehendak-kehendak buruk demikian. Rasa irinya melihat kesuksesan pihak lain “membakar” dirinya dari dalam. Banyak orang hidup menderita karena dipenuhi perasaan iri. Tak kurang dan tak lebih yang ingin dikatakan adalah, objek rasa irinya (pihak lain yang diirikan) benar-benar telah menjadi musuhnya. Begitu pula sebaliknya. Tak diragukan lagi rasa iri ini akan menjadi subjek bagi mereka yang mampu menarik penderitaan sepanjang hidup bahkan di sepanjang siklus samsara.
Sementara macchariya mendatangkan konflik batin meski ada keinginan kuat dari dalam diri untuk mengabaikannya. Bagi si kikir muncul keinginan untuk mempertahankan apapun miliknya erat-erat. Muncul pula keinginan untuk menyakiti siapa pun yang menggunakan atau mendapatkan barang-barang kepunyaannya. Banyak contoh dalam hal ini; misalnya kasus perceraian di antara pasangan yang telah menikah dikarenakan perebutan harta benda. Atau, adanya sementara pegawai yang merasa tak berbahagia karena kebijakan yang telah ditetapkannya bertentangan dengan pihak lain. Macchariya menumbuhkan perasaan bermusuhan, kecemasan, ketakutan bahkan hidup seolah-olah selalu dalam bahaya.
Merangkum apa yang dibabarkan Sang Buddha di atas, baik issa maupun macchariya termasuk dalam bentuk perasaan. Yang perlu direnungkan lebih jauh adalah apa yang menyebabkan timbulnya perasaan iri hati dan kekikiran ini? Akar dari dua bentuk perasaan iri dan kikir adalah rasa suka dan tidak suka.
Meski demikian Sang Buddha memberi obat untuk menyingkirkan dua bentuk perasaan negatif di atas. Obat yang dimaksud adalah “melihat”, menyadari semua fenomena yang muncul dari keenam panca indera sebagaimana adanya. Kemudian pada tahap awal lepaskan, uraikan, bentuk-bentuk pikiran yang buruk itu serta perbanyak munculnya bentuk-bentuk pikiran yang baik.