[Dalam tradisi Vajrayana, Sumpah Bodhisattva terdiri dari 18 Sumpah Dasar (root
vows) dan 46 Sumpah Tambahan (secondary vows). Yang menarik dari Sumpah Tambahan
itu adalah #11, seperti di bawah ini. Artikel ini diterjemahkan dari Berzin
Archives, suatu situs tentang Buddhisme Tibet yang terrkenal di internet.
Dr Alexander Berzin, sarjana Buddhisme Tibet, belajar selama 29 tahun di India,
dan pernah menjadi penerjemah dari Dalai Lama ke-XIV. Di bawah ini saya
tayangkan Pesan dari YM Dalai Lama ke-XIV untuk website Berzin Archives./hudoyo]
Dari:
http://www.berzinarchives.com/web/en/archives/practice_material/vows/bodhisattva\/secondary_bodhisattva_pledges.html
Secondary Bodhisattva Vows
Oleh: Alexander Berzin
August 1997
[...]
Empat Tindakan Salah yang Berkaitan dengan Situasi Ketika Pertimbangan Utama
Kita Adalah Orang Lain
(
- (10) ...
(11) Tidak melakukan 'tindakan buruk' ketika dituntut demi Welas Asih
Kadang-kadang, muncul situasi tertentu yang ekstrem, yang di situ kesejahteraan
orang lain menghadapi bahaya dan tidak ada alternatif lain untuk mencegah
terjadinya suatu tragedi kecuali melakukan salah satu dari ketujuh tindakan
fisik atau lisan yang buruk. Ketujuh tindakan itu adalah: membunuh, mencuri,
berzina, berdusta, memfitnah, bicara kasar & memaki, atau beromong kosong. Jika
kita melakukan tindakan seperti itu tanpa gangguan emosi pada waktu itu, seperti
marah, nafsu keinginan, atau ketidaktahuan tentang sebab dan akibat, melainkan
didorong semata-mata oleh keinginan menghindarkan penderitaan orang lain--dan
bersedia sepenuhnya menerima akibat buruk apa pun yang mungkin timbul dari
perbuatan itu, bahkan kepedihan di neraka--maka kita tidak merusak disiplin
etikal diri yang telah kita kembangkan sejauh ini. Sebaliknya, kita menimbun
sejunlah amat besar daya positif yang akan mempercepat perjalanan spiritual
kita.
Namun, menolak melakukan tindakan buruk ini ketika dituntut oleh situasi
hanyalah merupakan kesalahan apabila kita telah mengambil dan mempertahankan
kemurnian Sumpah Bodhisattva. Keengganan kita untuk menukar kebahagiaan kita
dengan kesejahteraan orang lain merintangi penyempurnaan disiplin etikal diri
kita untuk selalu menolong orang lain. Ini tidak salah jika kita hanya memiliki
welas asih dangkal dan tidak menjalankan Sumpah Bodhisattva atau berlatih
melaksanakan yang tercantum di situ. Kita menyadari, karena welas asih kita
lemah dan belum mantap, penderitaan yang akan kita terima dari tindakan buruk
kita mungkin dapat membuat kita berat menerima perilaku seorang Bodhisattva.
Kita bahkan mungkin meninggalkan jalan berkarya untuk menolong orang lain.
Seperti peringatan bahwa Bodhisattva dari tingkatan rendah hanya akan merugikan
diri sendiri dan kemampuan untuk menolong orang lain jika mereka mencoba
mempraktikan aturan-aturan dari Bodhisattva dari tingkatan yang lebih
tinggi--seperti memberikan tubuh mereka untuk dimakan harimau lapar--maka lebih
baik kita berhati-hati dan menahan diri.
Oleh karena mungkin ada kebingungan tentang keadaan bagaimana yang menuntut
tindakan Bodhisattva seperti di atas, marilah kita lihat contoh-contoh yang
diambil dari Kitab-kitab Komentar [ditulis oleh Tsongkapa/hh]. Harap diingat
bahwa ini adalah tindakan terakhir, ketika segala cara lain gagal melenyapkan
atau mencegah penderitaan orang lain. Sebagai Bodhisattva yang sedang mekar,
kita bersedia membunuh seseorang yang sedang merencanakan pembunuhan
besar-besaran. Kita tidak ragu merampas obat-obatan yang dimaksudkan bagi upaya
penyelamatan darurat di sebuah negeri yang dilanda perang karena obat-obatan itu
dipegang oleh orang yang merencanakan untuk menjualnya di pasar gelap, atau
merampas dana bantuan dari tangan seorang administrator yang menyelewengkannya
atau mengelolanya secara salah. Jika kita laki-laki, kita bersedia berselingkuh
dengan istri orang lain--atau dengan seorang perawan yang orangtuanya
melarangnya, atau dengan partner apa pun yang tidak dibenarkan--bila perempuan
itu mempunyai keinginan kuat untuk mengembangkan 'bodhicitta' tetapi dilanda
oleh keinginan berhubungan seksual dengan kita dan yang--jika perempuan itu
meninggal tanpa berhubungan seksual dengan kita--akan membawa ketidaksenangan
itu sebagai instink dalam kehidupan-kehidupannya yang mendatang. Sebagai
akibatnya, perempuan itu akan sangat memusuhi Bodhisattva dan Jalan Bodhisattva.
Kesediaan Bodhisattva utuk berzina ketika segala upaya lain gagal mencegah
orang mempunyai sikap yang sangat negatif terhadap jalan altruisme spiritual
[sebagaimana tercantum dalam Kitab-kotab Komentar/hh] mengangkat suatu poin
penting yang perlu diperhatikan oleh pasangan suami-istri yang menjalani Jalan
Bodhisattva. Kadang-kadang suatu pasangan suami-istri giat di dalam Dharma, dan
salah satu dari mereka, misalnya pihak perempuan, ingin hidup selibat,
menghentikan hubungan seksual dengan suaminya, sedangkan suaminya tidak
mempunyai pikiran yang sama. Suaminya masih melekat pada seks dan menganggap
penolakan istrinya sebagai penolakan terhadap dirinya. Kadang-kadang fanatisisme
dan kurangnya kepekaan pada pihak istri mendorong suaminya untuk menyalahkan
Dharma bagi frustrasi & ketidakbahagiaannya. Ia tinggalkan kehidupan perkawinan
itu dan berpaling membelakangi Buddhisme dengan kepahitan. Jika tidak ada jalan
lain untuk menghindari reaksinya yang bermusuhan terhadap jalan spiriutal dan si
istri menjalani Sumpah Bodhisattva, si istri seyogyanya menilai kembali welas
asihnya untuk menetapkan apakah cukup kuat untuk membiarkannya kadang-kadang
berhubungan seksual dengan suaminya tanpa sangat merugikan kemampuannya untuk
menolong orang lain. Ini sangat relevan berkaitan dengan Sumpah Tantrik tentang
perilaku menghindari seks.
Sebagai Bodhisattva yang tengah berkembang, kita bersedia berdusta jika
perbuatan itu menyelamatkan jiwa orang lain atau mencegah orang lain teraniaya
atau cacat. Kita tidak ragu memfitnah untuk memisahkan anak-anak kita dari
kumpulan temannya yang tidak baik--atau memisahkan siswa-siswa dari guru yang
menyesatkan--yang berpengaruh buruk terhadap mereka dan mendorong sikap &
perilaku yang merugikan. Kita tidak menghindar dari kata-kata kasar untuk
membangunkan anak-anak kita dari perbuatan yang buruk, seperti tidak mengerjakan
pekerjaan rumah, jika mereka tidak bisa diberitahu dengan halus. Dan bila orang
lain, yang berminat terhadap Buddhisme, sepenuhnya senang beromong kosong,
minum, berpesta pora, menyanyi, menari, menceritakan hal-hal yang berbau
pornografis atau kekerasan, kita bersedia ikut serta jika penolakan akan membuat
orang-orang ini merasa bahwa para Bodhisattva, dan orang Buddhis pada umumnya,
tidak pernah bersenang-senang dan bahwa jalan spiritual itu bukan jalan mereka."
***
Dari:
http://www.berzinarchives.com/web/en/about/about/message_from_holiness_dalai_lam\a.html
The Dalai Lama
Message
As the twenty first century progresses, the Internet is becoming an increasingly
more widespread and important medium for the global sharing of information. This
is true as well for information concerning the Buddhist teachings, its history,
and various other topics related to Tibetan culture. Especially in places where
books and qualified teachers are rare, the Internet has become the main source
of information for countless people.
In a world in which misunderstanding and sectarianism are commonplace, education
is the most powerful means to eliminate the ignorance that fuels discord. I
therefore welcome Dr. Alexander Berzin's multi-language website,
www.berzinarchives.com, as a valuable educational tool for making globally
available online a vast array of articles spanning the various schools and
aspects of Buddhism and Tibetan culture.
January 26, 2007 [Signature]