Allahkah Sumber Dari Penderitaanku?
World view kr****n mengungkapkan bahwa kejahatan(penderitaan) lebih baik diposisikan sebagai suatu misteri daripada sebagai suatu masalah. Menyebutnya sebagai suatu misteri tidak sama dengan menghindari kepentingan untuk memberikan suatu solusi. Masalah-masalah membutuhkan jawaban-jawaban, tetapi misteri-misteri menuntut lebih dari itu – misteri patut mendapatkan penjelasan. Ini berarti bahwa akan diperlukan sekumpulan argumentasi, bukan sekedar jawaban sederhana yang diberi tanda QED( Quod Erat Demonstradum, istilah Latin yg artinya suatu fakta, peristiwa dsb, membuktikan bahwa apa yang Anda katakan itu benar).
Kejahatan( penderitaan) dipertanyakan setidaknya dari tiga sisi : masalah metafisika( Apa sumbernya?), masala Fisika(Bagimana bencana2 alam ini terjadi?), dan masalah Moral(Bagaimana hal ini dapat dibenarkan?). Sisi yg ketiga menjadi jantung permasalahannya : Bagaimana Allah yang baik dapat mengijinkan terjadinya begitu banyaknya penderitaan? Mereka yang paling merasakan kepedihan dari pertanyaan itu, seringkali merinding mendengar-kan betapa teoritisnya jawaban-jawaban filsafat. Jika seseorang baru saja menguburkan seorang anaknya, atau telah menyaksikan kebrutalan secara langsung, bagian argumen ini bisa menghasilkan lebih banyak kemarahan daripada penghiburan. Siapa yang menginginkan penjelasan logis di kala hati sedang hancur?
Ada 2 pintu, yang melaluinya orang yang telah memunculkan pertanyaan tentang eksistensi Allah, berusaha melarikan diri dari jerat2 ketidak-percayaan dengan tampilan rasio. Namun demikian, saya kuatir bahwa pintu2 itu bertuliskan “Tidak Ada Jalan Keluar”
Pintu pertama pelarian dalam masalah kejahatan(penderitaan) diajukan oleh mereka yg memprotes bahwa Allah tidak mungkin ada karena ada terlalu banyak kejahatan(penderitaan) yang nyata dalam kehidupan. Mereka tidak melihat adanya kontradiksi logika dalam system mereka karena mereka tidak perlu membuktikan bahwa kejahatan ada berdampingan dengan Pencipta yag baik. Kejahatan(penderitaan) ada; karena itu, Pencipta tidak ada. Itu dinyatakan secara mutlak.
Tetapi disini, Kekr****nan menyediakan sebuah sanggahan untuk mengingat-kan bahwa mereka belum keluar dari masalah kontradiksi.
Jika kejahatan(penderitaan) ada, maka seseorang harus berasumsi bahwa ada kebaikan sehingga perbedaannya dapat dikenali. Jika kebaikan ada, seseorang harus berasumsi bahwa ada suatu hukum moral yang berfungsi menilai kebaikan dan kejahatan(penderitaan). Tetapi jika ada suatu hukum moral, bukankah seseorang harus mengajukan hipotesa tentang keberadaan suatu sumber hukum moral yang tertinggi, atau setidaknya suatu dasar objektif yaitu sesuatu yang memiliki kebenaran yang tidak terbatas dan kekal, tanpa mempedulikan apakah saya mempercayai atau tidak.
Argumentasi ini bersifat sangat mendesak dan harus sungguh-sungguh dipertimbangkan oleh siapa saja yang menyangkal eksistensi Allah tetapi menerima keberadaan dari kejahatan(penderitaan). Bertentangan dengan keyakinan kr****n bahwa Allah harus ada untuk mengajukan hipotesa tentang pengertian2 dari baik dan jahat, orang skeptic menjawab dengan, “Mengapa evolusi tidak bisa menjelaskan kesadaran moral kita? Mengapa kita membutuhkan Allah?”
Ini adalah pendekatan terbaru dari para pemikir antitesitik yang berusaha menjelaskan tentang baik dan jahat diluar Allah. Selama bertahun2, kaum naturalis pertama-tama menolak kausalitas(sebab-akibat) sebagai argumen untuk membuktikan keberadaan Allah : “Mengapa kita perlu memiliki penyebab? Mengapa alam semesta tidak bisa ada begitu saja? Kemudian mereka menyangkali rancangan sebagai argumen untuk eksistensi Allah : “Mengapa kita membutuhkan seorang perancang? Mengapa semuanya itu tidak bisa begitu saja bersamaan dengan munculnya hasil rancangan? Kemudian mereka menyangkali moralitas sebagai argumen untuk eksistensi Allah : “Mengapa kita perlu mengajukan hipotesa tentang hukum moral atau sumber hukum moral? Mengapa hal itu tidak bisa hanya menjadi suatu realitas pragmatis? Bagi saya hal ini sungguh mengagumkan! Mereka mencari “penyebab” dari penderitaan atau “rancangan” untuk penderitaan, tetapi mereka telah menyangkali bahwa keduanya sangat diperlukan untuk menilai setiap akibat.
Usaha untuk menyangkali keberadaan Allah ini karena hadirnya kejahatan(penderitaan) begitu dipenuhi dengan penjelasan2 yang tidak logis sehingga sungguh mengherankan bila semuanya itu bisa diterima.
Tak satupun pendukung etika2 evolusi yang telah menjelaskan bagaimana penyebab pertama yg impersonal dan amoral melalui proses non moral telah menghasilkan dasar moral kehidupan, sementara pada saat yang sama menyangkali dasar moral objektif apapun untuk kebaikan dan kejahatan.
Tidakkah janggal bahwa dari semua permutasi dan kombinasi yg mungkin dihasilkan oleh alam semesta yang tidak teratur, bisa dihasilkan pengertian2 dalam diri kita tentang apa yang benar, yang baik dan yang indah? Sebenarnya, untuk apa menyebut sesuatu itu baik dan jahat? Mengapa tidak menyebutnya jingga atau ungu?
Kebenarannya adalah kita tidak dapat melepaskan diri dari pukulan eksistensi(keberadaan) dengan melarikan diri dari hukum moral. Nilai-nilai moral objektif hanya ada jika ada Allah. Apakah boleh, misalnya memutilasi bayi-bayi sebagai hiburan? Setiap orang yang waras akan menjawab tidak. Kita tahu bahwa nilai-nilai moral objektif itu memang ada. Karena itu Allah harus ada. Menelaah premis-premis tersebut dan validitasnya memberikan suatu argumen yang sangat kuat. Bahkan J.L. Mackie, salah satu tokoh ateis yg paling vokal yg mempertanyakan eksistensi Allah berdasarkan realita kejahatan, setidaknya mengakui hubungan logis ini ketika ia berkata : “Kita sangat mungkin berargumentasi…..bahwa karakteristik2 objektif yang preskriptif(bersifat memberi petunjuk/ tata cara) secara intrinsic(sifat yg terkandung didalamnya) yang muncul tanpa diharapkan pada hal-hal natural, menyusun sekelompok kualitas dan relasi yang begitu ganjil sehingga semuanya itu hampir tidak mungkin telah muncul dalam rangkaian peristiwa2 umum, tanpa diciptakan oleh Allah yang maha kuasa..
Karena itu, harus disepakati kesimpulannya bahwa tidak ada sesuatupun yang baik secara intrinsic dan preskriptif kecuali adanya Allah yang telah membentuk alam semesta seperti itu. Tetapi justru Pribadi itulah yang ingin ditolak oleh si skeptis karena eksistensi kejahatan(penderitaan).
Pintu keluar pertama untuk lari dari Allah sudah terbuka, dan pemandangannya sungguh menakutkan. Hanya tersisa satu pilihan, yaitu berusaha mengubah bentuk pintunya. Setelah menyadari bahwa jika kejahatan(penderitaan) diakui maka suatu hukum moral yang objektif mungkin perlu dihadirkan, si skeptis mencoba cara bertindak yang baru. Dengarkan penjelasan yang luar biasa dari dari salah satu pembela ateisme, Richard Dawkins dari Oxford : “Dalam alam semesta dengan kekuatan2 fisik dan replikasi genetik yang buta, sebagian orang akan terluka, yang lainnya akan beruntung, dan Anda tidak akan menemukan penjelasan atau alasan didalamnya, atau keadilan apapun. Alam semesta yang kita amati memiliki kualitas2 natural yg sangat tepat yg bisa kita harapkan jika pada dasarnya tidak ada rancangan, tidak ada tujuan, tidak adanya kejahatan dan tidak ada kebaikan lainnya. Tidak ada apapun selain ketidakpedulian yang buta dan tanpa belas kasihan. DNA tidak memiliki pengetahuan atau kepedulian. DNA semata-mata ada. Dan kita berdansa mengikuti iramanya”
Apakah Anda melihat apa yang telah terjadi? Kaum skeptis mulai dengan memaparkan daftar panjang dari hal2 yg mengerikan, dengan mengatakan, “Semuanya ini amoral, karena itu tidak ada Allah”. Tetapi memunculkan isu2 ini sebagai isu moral berarti mengasumsikan situasi2 yg tidak mungkin dihasilkan oleh evolusi. Tidak akan ada jalan untuk tiba pada kewajiban yg mendesak secara moral, berdasarkan asumsi2 naturalisme. Lalu, apa yg dilakukan oleh si skeptis? Ia menyangkali nilai-nilai moral yg objektif karena menerima realitas semacam ini berarti membuka kemungkinan untuk keberadaan Allah. Maka, ia menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada yang disebut dengan kejahatan.
Inilah yang ingin dijadikan sebagai jawaban? Jika DNA tidak memiliki pengetahuan atau kepedulian, lalu dari mana asalnya pengetahuan dan kepedulian kita? Apakah kita hanyalah komputer2 hidup, yg menilai pikiran kita secara berlebihan? Jika perasaan2 kita sama sekali tidak berpengaruh pada realitas dari pertanyaan ini, maka mungkin kecerdasan kitalah yg bersifat artificial(palsu) dan kecerdasan komputerlah yg asli, karena komputer tidak memiliki perasaan; komputer hanya memiliki informasi. Komputer tidak “peduli” dan tidak “berdukacita karena kejahatan” dan karenanya lebih mendekati realita.
Inikah yang telah kita capai? Kita harus waspada karena tidak ada yang dapat menghentikan kita sekali kita menapak di jalanan licin yang menurun ini. Penyangkalan akan suatu hukum moral yang objektif, berdasarkan desakan untuk menyangkal eksistensi Allah, pada akhirnya menghasilkan penyangkalan akan kejahatan itu sendiri. Dapatkah Anda membayangkan diri Anda berkata kepada seorang wanita yg diperkosa bahwa pemerkosanya hanya sedang berdansa dengan DNA-nya? Katakanlah pada para korban Holocaust bahwa orang2 yang menyiksa mereka hanya sedang berdansa mengikuti DNA mereka…??? Hal ini sangat menjijikan! Ini bukan sebuah dansa! Ini adalah pencekikan terhadap batang leher logika yang dilakukan oleh orang yang hendak melarikan diri, yang dengan bersusah payah ingin menghirup rasionalitas sambil menyangkal keberadaan dasar2 pijakan logika. Akibatnya, dalam mencari jawaban untuk pertanyaan tentang kejahatan(penderitaan), ia pada akhirnya justru menyangkal pertanyaan ini. Bahkan saya menguji teori ini pada beberapa mahasiswa di Oxford University. Saya bertanya pada sekelompok mahasiswa yg skeptis, jika saya mengambil seorang bayi dan memotong-motong tubuhnya dhadapan mereka, apakah itu berarti bahwa saya sudah melakukan hal yang salah? Mereka baru saja menyangkali eksistensi nilai2 moral yg objektif. Mendengar pertanyaan saya, semuanya terdiam, dan kemudian pimpinan kelompok itu berkata, “Saya tidak akan menyukainya, tetapi tidak, saya tidak bisa berkata bahwa Anda telah melakukan sesuatu yg salah”. Astaga! Dasar penipu. Ia tidak akan menyukainya. Astaga! Sungguh irasional – ia tidak bisa menyebut hal itu salah. Saya hanya perlu bertanya kepadanya, kalau begitu apa yg tersisa dari pertanyaan yg sesungguhnya, jika kejahatan tidak diakui???
Pintu kedua mulanya tampak seperti jalan keluar yg pasti. Si skeptis bertanya mengapa Allah tidak bisa membuat kita selalu memilih hal yg baik. Para filsuf terkenal telah memunculkan hal ini sebagai senjata pamungkas mereka untuk menantang Kekr****nan. Tetapi disini pun tantangan mereka bertentangan dengan rasio.
Alvin Plantinga dari University of Notre Dame, yg oleh banyak orang dipandang sebagai filsuf Protestan yg paling dihormati pada zaman ini, telah mengajukan argumen yg kuat dan tidak dapat dibantah untuk menghadapi tantangan si Skeptis ini. Ia berargumen bahwa pilihan ini mencerminkan pandangan yg keliru tentang makna dari kemahakuasaan Allah. Kita harus sadar bahwa Allah tidak dapat melakukan hal-hal yang saling terpisah(mutually exclusive = dua hal yg tidak dapat dilakukan atau dimiliki secara bersamaan) dan mustahil secara logis(logically imposible). Allah tidak bisa membuat square circles( lingkaran-lingkaran bujursangkar). Kedua istilah ini(square circles) bersifat terpisah satu dengan yang lain.
Plantinga benar. Saya bisa menambahkan bahwa jika Allah memang bisa melakukan sesuatu, termasuk hal-hal yg saling terpisah, maka Ia juga bisa berkontradiksi dengan karakter-Nya, yg implikasinya adalah masalah kejahatan tidak mungkin diselesaikan, sehingga tidak membutuhkan pembelaan. Satu-satunya alasan mengapa kita memunculkan pertanyaan ini adalah karena kita mencari koherensi. Dalam dunia dimana kasih menjadi etika tertinggi, kebebasan harus tercakup didalamnya. Kasih yg diprogram atau dipaksakan bukanlah kasih; itu hanyalah suatu respon yg terkondisi atau sikap melayani diri.
Sekali lagi, bahkan para pemikir yg memusuhi Kekr****nan tanpa sadar meneguhkan kebenaran2 yg sesuai dengan pemikiran kr****n. Sebagai contoh, Jean Paul Sartre, dalam Being and Nothingness, berkata, “Orang yang ingin dikasihi tidak ingin diperbudak oleh orang yg dikasihinya. Ia sama sekali tidak bertekad untuk dijadikan sebagai objek dari nafsu yg mengalir secara mekanis. Ia tidak ingin memiliki sebuah robot, dan jika kita ingin merendahkan martabatnya, kita hanya perlu berusaha meyakinkan dirinya bahwa hasrat dari orang yg dikasihnya adalah hasil dari suatu determinisme psikologis. Maka sang kekasih akan merasa bahwa baik cintanya maupun keberadaannya diinjak-injak…….Jika orang yg dikasihinya diubah menjadi robot, orang itu mendapati bahwa ia sendirian.
Sungguh bijaksana! Cinta yg dipaksakan menjadi pertanda kesendirian. Memiliki kebebasan untuk mencintai ketika Anda boleh memilih untuk tidak mencintai, itulah makna cinta yg sesungguhnya. Bukankah tujuan tertinggi dari kasih menjadi satu-satunya cara untuk meluruskan masalah penderitaan? Meminta agar kita tidak diberi kebebasan dan hanya memilih kebaikan tidak sama dengan meminta kasih, melainkan sama dengan meminta paksaan dan sesuatu yg berada diluar kemanusiaan.
Kedua pintu keluar untuk si skeptis tertutup rapat. Anda tidak dapat menampilkan hipotesa tentang kejahatan tanpa suatu hukum moral yg tidak terbatas, yg tidak dapat ditopang oleh makro-evolusi. Dan Anda tidak dapat memperoleh etika tertinggi tanpa kemungkinan bagi kebebasan. Yang pertama membuat kita menjalani kehidupan yg berkontradiksi. Yang kedua menuntut kontradiksi dari Allah.
Hmmm persis sekali seperti buku-buku Kristiani, argumen ini memang sangat menarik dan tampak logis, didapat dari Ravi Zacharias, tetapi bagi saya tetap sama sekali tidak memuaskan. Buddhisme menawarkan jawaban yang lebih memuaskan, sains memang tidak bisa, tetapi Buddhisme bisa. Saya akan jawab secara Mahayanis.
Tidak seperti sains, keteraturan dan etika moral didasarkan pada dua hal:
1. Dharmakaya dan Tathagatagarbha
2. Hukum Sebab Akibat atau Karma
Karena semua makhluk mempunyai Tathagatagarbha maka dasar moral etika sudah jelas. Karena ada Karma maka tatanan kehidupan pun tampak teratur dan muncul etika moral. Karena Dharmakaya dan Karma maka tujuan dunia dan hidup ini sudah sangat sejelas-jelasnya. Hidup manusia ini lebih dari sekedar DNA, hidup manusia ini dasarnya adalah Buddha.
Non-dualisme dalam Buddhisme sering disalahpahami sebagai non-moral, pada kenyataannya non-dualisme digunakan untuk menempuh jalan kebajikan bukan kejahatan. Ajaran kebaikan dan kejahatan memiliki arti bahwa kejahatan memiliki potensi untuk ditransformasikan menjadi kebaikan dan itulah tujuan Buddha.
Argumen Ravi di atas malah menunjukkan bahwa Allah tidak maha kuasa karena ia tetap harus tunduk pada kontradiksi dunia. Dari mana muncul maha kuasa? Bila anda menentang kontradiksi dunia dikatakan menentang Allah, berarti memang benar dalam diri Allah terdapat penderitaan dan kejahatan? Bukankah begitu? Karena jelas kejahatan dan penderitaan itu ada.
Ini sering dibahas mengenai kisah propaganda kontroversial Kristiani mengenai Einstein, kejahatan dan Tuhan. Kegelapan adalah ketiadaan cahaya, begitu argumennya. Tuhan tidak menciptakan kejahatan. Berarti ada area yang tidak terjangkau oleh Tuhan, bukankah begitu?
Ravi mengatakan bahwa penderitaan itu diperlukan. Tetapi pada kenyataanya sering Tuhan tidak memberikan cobaan yang sesuai dengan kemampuan seseorang. Ia sering memberikan cobaan penderitaan yang melebihi kapasitas seseorang untuk mengatasi penderitaan itu untuk menemukan kebahagiaan yang lebih besar. Biasnaya orang kristiani malah akan menjawab bahwa itu salah manusianya sendiri, bukan Tuhan. Tetapi ini sangat kontradiktif, karena pada kenyataannya Tuhan membiarkan penderitaan itu terjadi lebih lebih padahal kapasitas manusia yang bersangkutan Tuhan tau tidak akan melebihinya. Bukankah Tuhan tahu free will manusia itu sebatas mana? Manusia memang punya potensi untuk mengatasi semua penderitaan dan mengubahnya menjadi kebahagiaan, tetapi tidak semua siap dan mampu menggunakannya. Bagi yang tidak mampu bisa bisa bunuh diri dan masuk neraka. Itupun kalau neraka tidak kekal masih mending, la ini NERAKA ABADI. Apa Tuhan mau main-main?
Ini sama dengan ayah yang main-main sama anaknya. Seorang ayah mengajari anaknya cekatan dengan sengaja mendorong dengan keras anaknya sehingga mau tak mau harus mengambil mainan di sebrang jalan melewati jalan penuh kendaraan berkecepatan tinggi. Jelas-jelas memang anak itu punya potensi keterampilan untuk menghindari kendaraan yang melaju cepat, namun apa daya ia tidak teliti dan akhirnya tertabrak mati.
Bandingkan:
1. Ayah dengan sengaja mendorong keras ke jalan berusaha mencapai sebrang jalan (manusia terlahir diciptakan di dunia penuh cobaan ini tanpa bisa protes lagi sama Tuhan dan berusaha untuk mencapai Kerajaan Sorga)
2. Kendaraan berkecepatan tinggi = penderitaan dan cobaan
3. Potensi kemampuan = free will dan usaha mengatasi dan menerima penderitaan dengan memaksimalkan keindahan diri
4. Mati tertabrak, apa daya potensi punya tapi gara" gak teliti atau biasanya dalam kehidupan nyata org ngmg: "khilaf".....
Pertanyaannya: apakah sang ayah manusiawi?
Bagi saya Buddhisme lebih dewasa dalam menyikapinya. Dikatakan bahwa Tathagatagarbha yang ada dalam diri sendiri memiliki Intrinsic Good dan Intrinsic Evil (paham Kristiani mustahil mengatakan Tuhan memiliki Intrinsic Evil). Dengan adanya dua aspek ini, maka Tathagata ada, dengan dua aspek ini maka makhluk alam neraka pun bisa terlahir jadi Buddha dan memiliki kesempatan menjadi Buddha. Intrinsic Evil bukan momok, namun bisa digunakan secara terampil untuk menggapai Kebajikan Pokok yang merupakan esensi Buddha.
Seseorang yang terjatuh ke dalam neraka adalah sepenuhnya tanggung jawabnya sendiri sebagai manusia. Apakah ia berusaha mengembangkan Kesesatan Pokok dan tidak menghiraukan Kebajikan Pokok yang dimilikinya?
Problem Kristiani menurut saya ada 3:
1. Tuhan Pencipta Yang Maha Kuasa
2. Tuhan dengan Intrinsic Good saja
3. Tuhan eksternal dengan tujuan hidup eksternal
The Siddha Wanderer