//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Penjelasan atas Karaniya Metta Sutta menurut Teks Komentar  (Read 7378 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Cinta Kasih (Metta Sutta)

diterjemahkan dari buku "The Suttanipāta" terjemahan Bhikkhu Bodhi

Bagaimanakah asal-usulnya? Dikatakan bahwa para bhikkhu, diganggu oleh para dewata di lereng Himalaya, mendatangi Sang Bhagavā di Sāvatthī, dan Sang Bhagavā membabarkan khotbah ini kepada mereka sebagai perlindungan dan sebagai subjek meditasi. Itu adalah kisah singkat.

Berikut ini adalah kisahnya secara terperinci.
[232]  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī menjelang masa pengasingan musim hujan. Pada saat itu beberapa bhikkhu dari berbagai propinsi yang telah mempelajari subjek meditasi dari Sang Bhagavā menghadap Beliau dengan niat untuk memasuki masa pengasingan musim hujan di tempat lain. Sang Bhagavā menjelaskan subjek-subjek meditasi yang cocok untuk 84.000 jenis watak sebagai berikut: Kepada mereka yang memiliki watak penuh nafsu, Beliau mengajarkan sebelas subjek meditasi pada sifat ketidakmenarikan jasmani baik pada yang hidup maupun yang mati.  Pada mereka yang memiliki watak penuh kebencian, Beliau mengajarkan empat subjek meditasi, cinta-kasih dan seterusnya.  Kepada mereka yang memiliki watak terdelusi, Beliau mengajarkan subjek-subjek meditasi seperti perhatian pada kematian. Kepada mereka yang memiliki watak berhamburan, Beliau mengajarkan subjek-subjek meditasi seperti perhatian pada pernapasan dan kasiṇa tanah. Kepada mereka yang memiliki watak keyakinan, Beliau mengajarkan subjek-subjek meditasi seperti pengingatan Sang Buddha. Dan kepada mereka yang memiliki watak cerdas, Beliau mengajarkan subjek-subjek meditasi seperti pembatasan empat unsur.

Kemudian lima ratus bhikkhu yang telah mempelajari subjek meditasi dari Sang Bhagavā pergi mencari tempat tinggal yang layak dan sebuah desa sebagai sumber dana makanan. Mereka melakukan perjalanan secara bertahap hingga mereka melihat, di daerah perbatasan, sebuah gunung di jajaran pegunungan Himalaya yang terbuat dari batu datar berwarna kristal biru kehijauan. Gunung itu sejuk, teduh, dan berhiaskan hutan-hutan biru kehijauan. Tanahnya bertebaran pasir-pasir bagaikan lembaran perak bertatahkan jaring-jaring mutiara, dan dikelilingi oleh kolam-kolam dengan air yang murni, manis dan sejuk. Para bhikkhu bermalam satu malam di sana, dan pada pagi harinya, setelah menjawab kebutuhan tubuh mereka, mereka memasuki desa untuk menerima dana makanan. Desa itu terdiri dari seribu keluarga yang hidup di rumah-rumah yang saling berdekatan, dan orang-orang [233] di sana berkeyakinan pada Sang Buddha. Karena bhikkhu adalah pemandangan yang jarang terlihat di wilayah perbatasan, segera setelah mereka melihat para bhikkhu, orang-orang itu merasa gembira dan bersukacita. Mereka memberi makan para bhikkhu dan memohon kepada mereka: “Menetaplah di sini, Bhante, selama tiga bulan masa pengasingan musim hujan.” Mereka membanun lima ratus gubuk meditasi, yang mereka lengkapi dengan segala perlengkapan kebutuhan: tempat tidur, kursi, kendi-kendi air minum dan air mencuci, dan sebagainya.

Keesokan harinya para bhikkhu memasuki desa lainnya untuk menerima dana makanan, dan di sana juga orang-orang melayani mereka dengan cara yang sama dan memohon mereka untuk menetap selama masa pengasingan musim hujan. Melihat bahwa tidak ada halangan, para bhikkhu menyetujuinya. Mereka memasuki hutan dan bermeditasi penuh semangat sepanjang hari dan malam; ketika gong waktu berbunyi, mereka melanjutkan berlatih perhatian seksama dan duduk di bawah pohon. Kemegahan para bhikkhu bajik tersebut melampaui kemegahan para dewata pohon, yang turun dari istana mereka, dan membawa anak-anak mereka, mengembara ke sana sini. Ini serupa dengan situasi ketika raja-raja atau menteri-menteri kerajaan pergi ke suatu desa dan menempati ruang di tengah-tengah perumahan para penduduk desa, dan orang-orang di dalam rumah keluar dan pindah ke tempat lain, melihat dari kejauhan, bertanya-tanya, “Kapankah mereka akan pergi?” Demikian pula, para dewata itu meninggalkan istana-istana mereka, dan mengembara ke sana-sini, mereka melihat dari kejauhan, bertanya-tanya: “Kapankah para mulia ini akan pergi?” Kemudian mereka mempertimbangkan: “Para bhikkhu telah memasuki periode pertama masa pengasingan musim hujan dan akan menetap di sini selama tiga bulan. Tetapi kami terpaksa harus menarik diri, membawa anak-anak kami, dan memerlukan waktu lama sebelum kami dapat menetap kembali di sini. Ayo, mari kita memperlihatkan objek-objek menakutkan kepada para bhikkhu itu.”

Malam itu, ketika para bhikkhu sedang bermeditasi, para dewata menciptakan bentuk-bentuk yakkha yang menakitkan yang berdiri di depan tiap-tiap bhikkhu, dan mereka juga mengeluarkan suara-suara menakutkan. Ketika para bhikkhu melihat bentuk-bentuk dan mendengar suara-suara itu, mereka menjadi ketakutan, [234] dan mereka menjadi pucat pasi. Karena hal ini, mereka tidak dapat memusatkan pikiran mereka, dan dengan pikiran berhamburan, berulang-ulang diganggu oleh ketakutan, mereka menjadi kehilangan perhatian mereka. Kemudian, ketika mereka kehilangan perhatian mereka, para dewata menciptakan aroma busuk. Seolah-olah otak mereka digilas dengan aroma busuk dan mereka mengalami sakit kepala yang parah, namun mereka tidak saling memberitahu satu sama lain tentang apa yang sedang terjadi.

Suatu hari, ketika mereka berkumpul untuk melayani sesepuh Sangha, sang sesepuh bertanya kepada mereka: “Teman-teman, ketika kalian masuk ke hutan, selama beberapa hari raut wajah kalian bersih dan cerah dan indria-indria kalian tenang. Tetapi sekarang kalian menjadi kurus dan pucat. Apakah ada sesuatu di sini yang tidak cocok untuk kalian?” Kemudian sekrang bhikkhu berkata: “Bhante, pada malam hari aku melihat bentuk-bentuk menakutkan dan mendengar suara-suara menakutkan, dan mencium aroma busuk, sehingga pikiranku tidak terkonsentrasi.” Dengan cara yang sama, semua melaporkan apa yang terjadi. Sang sesepuh Sangha berkata: “Sang Bhagavā telah menetapkan dua pelaksanaan masa pengasingan musim hujan,  dan kediaman ini tidak cocok untuk kita. Ayo, teman-teman, mari kita menghadap Sang Bhagavā dan menanyakan tentang tempat kediaman lainnya yang cocok untuk kita.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu lainnya menjawab. Kemudian mereka merapikan tempat tinggal mereka, membawa mangkuk dan jubah mereka, dan, karena mereka tidak melekat pada keluarga-keluarga, mereka semuanya pergi ke Sāvatthī tanpa terlebih dulu meminta izin dari siapapun. Melakukan perjalanan secara bertahap, mereka sampai di Sāvatthī dan menghadap Sang Bhagavā. Melihat para bhikkhu itu, Sang Bhagavā berkata: “Para bhikkhu, Aku telah menetapkan aturan latihan: ‘Seseorang tidak boleh melakukan perjalanan selama masa pengasingan musim hujan’ (Vin I 138,19-22). Jadi mengapa [235] kalian melakukan perjalanan?” Mereka memberitahukan segalanya kepada Sang Bhagavā. Sang Bhagavā mengarahkan pikiranNya untuk memeriksa seluruh Jambudīpa tetapi Beliau tidak melihat tempat lain yang cocok untuk mereka, bahkan tidak ada tempat seluas sebuah kursi berkaki empat. Kemudian Beliau berkata kepada mereka: “Para bhikkhu, tidak ada tempat lain yang cocok untuk kalian. Berdiamlah di sana, kalian akan dapat mencapai hancurnya aliran masuk. Kambalilah, para bhikkhu, dan menetaplah di tempat yang sama. Jika kalian ingin aman dari para dewata, pelajarilah khotbah perlindungan ini. Ini akan menjadi perlindungan dan subjek meditasi bagi kalian.” Kemudian Beliau membabarkan khotbah ini.

Tetapi pendapat lain mengatakan bahwa setelah Sang Bhagavā berkata, “Kembalilah, para bhikkhu, dan menetaplah di tempat yang sama,” Beliau berkata: “Lebih jauh lagi, seorang penghuni hutan akan mengetahui bagaimana melakukannya. Yaitu, pada malam dan pagi hari, harus melakukan dua kali praktik cinta-kasih, dua kali pembacaan khotbah perlindungan, dua kali meditasi pada sifat ketidak-menarikan tubuh, dua kali perhatian pada kematian dan perhatian pada delapan landasan utama keterdesakan. Delapan landasan utama keterdesakan adalah: kelahiran, penuaan, penyakit, kematian, dan penderitaan di empat alam sengsara. Atau, empat pertama adalah kelahiran, penuaan, penyakit, dan kematian; ke lima adalah penderitaan di alam sengsara, diikuti dengan penderitaan yang berakar pada lingkaran lampau, penderitaan yang berakar pada lingkaran masa depan, dan penderitaan yang berakar pada pencarian makanan pada kehidupan sekarang.” Demikianlah, setelah mengajarkan bagaimana melakukannya, Sang Bhagavā membabarkan khotbah ini kepada para bhikkhu itu demi melatih cinta-kasih, demi perlindungan, dan demi mencapai jhāna sebagai landasan bagi pandangan terang.  [236]

143. Pertama-tama, ini adalah komentar atas kata-kata dalam syair pertama: Apa yang seharusnya dilakukan: apa yang harus dilakukan; apa yang mesti dilakukan. Kebaikan: praktik, atau apapun yang bermanfaat bagi seseorang, disebut “kebaikan” (attha) karena harus dipentingkan (araṇīyato);  “karena harus dipentingkan” bermakna “karena harus didekati.” Oleh seorang yang terampil dalam kebaikan: oleh seorang yang mahir dalam kebaikan. Yaṃ (“yang”) adalah bentuk nominatif relatif; taṃ (“itu”) adalah bentuk akusatif demonstratif. Atau yaṃ taṃ keduanya adalah bentuk nominatif.  Keadaan damai: satu bentuk akusatif. Damai melalui karakteristiknya, dan sebuah keadaan (padaṃ) karena harus dicapai (pattabbato). Ini adalah sebutan untuk nibbāna. Setelah melakukan panembusan: setelah sampai pada. Mampu: sanggup; kompeten. Lurus: memiliki integritas. Sangat lurus: luar biasa lurus. Dapat menerima nasihat: seorang yang baginya sepatah kata nasihat adalah menyenangkan. Lembut: memiliki kelembutan. Tanpa keangkuhan: tidak angkuh.

Berikut ini adalah komentar atas makna: “Ini adalah apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang yang terampil dalam kebaikan, setelah melakukan terobosan pada keadaan damai itu.” Di sini, pertama-tama, ada apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Secara singkat, apa yang seharusnya dilakukan adalah tiga latihan. Apa yang tidak boleh dilakukan adalah hal-hal itu seperti perilaku yang cacar, pandangan yang cacat, perbuatan yang cacat, penghidupan yang cacat, dan sebagainya.

Demikian pula, ada orang yang terampil dalam kebaikan dan ada orang yang terampil dalam apa yang tidak baik. Seorang yang terampil dalam apa yang tidak baik adalah seorang yang, setelah meninggalkan keduniawian di dalam ajaran ini, tidak mengerahkan dirinya dengan benar: seorang dengan perilaku yang cacat, yang mencari penghidupan melalui salah satu dari dua puluh satu cara yang tidak selayaknya, yaitu, dengan hadiah bambu, hadiah daun, hadiah bunga, hadiah buah, hadiah kayu-gigi, hadiah pencuci-mulut, hadiah alat mandi, hadiah bubuk mandi, hadiah tanah lempung; dengan sanjungan, sup-kacang, dan memanjakan;  dengan berjalan kaki untuk menyampaikan pesan; dengan bekerja sebagai tabib, dengan bekerja sebagai utusan, dengan menjadi pesuruh; [237] dengan memberikan sebagian makanannya sebagai hadiah; dengan ilmu tata letak, perbintangan, atau membaca garis tangan.  Ia berkeliaran dalam enam jenis tempat kunjungan yang salah, yaitu, pelacuran, janda-janda, pelayan-pelayan, orang-orang kasim, para bhikkhunī, dan kedai minuman. Ia membentuk ikatan dengan raja-raja, para menteri kerajaan, kaum sektarian dan siswa mereka, dalam cara tidak selayaknya seperti umat-umat awam membentuk ikatan. Ia bergaul dengan, mendatangi, dan mengunjungi keluarga-keluarga yang tidak berkeyakinan, yang kikir, kasar, dan menghina, yang menginginkan kerugian, bahaya, ketidaknyamanan, dan kesusahan paad para bhikkhu … bagi umat awam perempuan.
Seorang yang terampil dalam kebaikan adalah seorang yang, setelah meninggalkan keduniawian dalam Ajaran ini, mengerahkan dirinya dengan benar: yang meninggalkan cara-cara penghidupan yang salah, yang ingin tegak dalam empat pemurnian perilaku yang baik; yang memenuhi pengekangan melalui Pātimokkha di bawah kelompok keyakinan, pengekangan indria-indria di bawah kelompok perhatian, pemurnian penghidupan di bawah kelompok kegigihan, dan penggunaan benda-benda kebutuhan di bawah kelompok kebijaksanaan.

Seorang yang terampil dalam kebaikan juga adalah seorang yang memurnikan pengekangan melalui Pātimokkha dengan memurnikan tujuh kelompok pelanggaran; yang memurnikan pengekangan organ-organ indria dengan tidak memunculkan ketamakan dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat lainnya ketika objek-objek menyerang pada enam pintu indria; yang memurnikan penghidupannya dengan menghindari cara-cara salah dalam mencari dan memperoleh benda-benda kebutuhan dalam cara-cara yang dipuji oleh para bijaksana dan dipuji oleh para Buddha dan siswa Mereka; yang memurnikan penggunaan benda-benda kebutuhan melalui refleksi yang telah disebutkan sebelumnya; dan yang memurnikan pemahaman jernih melalui refleksi pada tujuan dan sebagainya ketika mengubah postur.

Seperti halnya seseorang membersihkan kain yang kotor oleh tanah dengan menggunakan air garam, atau membersihkan cermin dengan menggunakan abu, atau seseorang memurnikan emas dalam wadahnya, demikianlah seseorang membersihkan perilakunya dengan pengetahuan. Setelah memahami hal ini, ia membersihkan perilaku baik dengan cara mencucinya dengan air pengetahuan. Dan seperti halnya seekor ayam betina melindungi telurnya, seekor yak melindungi ekornya, seorang perempuan melindungi anak tunggalnya, dan seorang bermata satu melindungi mata satu-satunya, demikian pula, dengan sangat berhati-hati, seseorang melindungi kelompok perilaku baiknya. [238] Seorang yang, dengan merefleksikan pada malam dan pagi hari, tidak melihat bahkan pelanggaran terkecil adalah juga seorang yang terampil dalam kebaikan. Atau seorang yang, berdasarkan pada perilaku baik yang memberikan kebebasan dari penyesalan, mengerahkan dirinya dalam praktik menekan kekotoran, kemudian melakukan pekerjaan persiapan pada kasiṇa, dan kemudian memperoleh pencapaian-pencapaian meditatif adalah juga seorang yang terampil dalam kebaikan. Seorang yang, setelah keluar dari suatu pencapaian, mengeksplorasi hal-hal terkondisi dan mencapai Kearahantaan adalah yang terunggul di antara mereka yang terampil dalam kebaikan.

Di antara orang-orang itu, mereka yang dipuji sebagai terampil dalam kebaikan dengan mengokohkan diri mereka dalam perilaku baik yang memberikan kebebasan dari penyesalan, atau dengan mengerahkan diri mereka dalam praktik penekanan kekotoran, atau melalui sang jalan dan buahnya adalah mereka yang dimaksudkan sebagai “terampil dalam kebaikan” dalam makna ini. Dan para bhikkhu itu [dalam kisah asal-usul ini] adalah seperti ini. Karena itu, dengan merujuk pada bhikkhu itu, Sang Bhagavā berkata, “Ini adalah apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang yang terampil dalam kebaikan,” dengan memberikan ajaran yang berdasarkan atas satu orang.
« Last Edit: 01 May 2018, 10:24:42 AM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Penjelasan atas Karaniya Metta Sutta menurut Teks Komentar
« Reply #1 on: 01 May 2018, 10:08:33 AM »
(1)   Kemudian,  ketika mereka bertanya-tanya, “Apakah yang seharusnya dilakukan?” Beliau berkata: “Setelah melakukan terobosan pada keadaan damai itu.” Maknanya adalah sebagai berikut: “Ini adalah apa (yaṃ) yang seharusnya dilakukan oleh seorang yang ingin berdiam setelah melakukan terobosan, melalui penembusan, pada keadaan-nibbāna yang damai itu (taṃ) yang dipuji oleh para Buddha dan mereka yang tercerahkan setelah para Buddha itu.” Dan di sini “apa” (yaṃ), yang disebutkan pada awal dari baris [ke dua] dalam syair ini, selaras dengan ungkapan “seharusnya dilakukan” (karaṇiyaṃ). Tetapi karena frasa “setelah melakukan terobosan pada keadaan damai itu” adalah yang maknanya menuntut kelengkapan, maka ini harus dipahami bahwa “oleh ia yang ingin berdiam”  yang dimaksudkan.

(2)   Atau, ketika dikatakan, “setelah melakukan terobosan pada keadaan damai itu,” maknanya di sini dapat dipahami sebagai berikut: “Ketika seseorang telah mengetahui melalui kebijaksanaan duniawi, melalui tradisi lisan dan sebagainya, keadaan-nibbāna sebagai ‘damai,’ itu yang seharusnya dilakukan oleh seorang yang ingin mencapainya adalah apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang yang ingin terampil dalam kebaikan, yang selaras dengan ungkapan, [‘yang telah melakukan penembusan melalui keadaan damai itu’].”
Atau, ketika dikatakan “apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang yang terampil dalam kebaikan,” ketika mereka bertanya-tanya, “Apa?” Beliau berkata, “Setelah melakukan terobosan pada apa yang merupakan keadaan damai …” Makna ini harus dipahami sebagai berikut: “Ketika seseorang telah melakukan terobosan pada keadaan damai melalui kebijaksanaan duniawi, apa (yaṃ) seharusnya dilakukan adalah ini (taṃ) …” Apa yang harus dilakukan adalah apa yang seharusnya dilakukan, bermakn “apa yang pasti menguntungkan jika dilakukan.”  Tetapi apakah itu? [239] Apakah lagi selain [berlatih] cara untuk mencapainya? Dan ini disebutkan dalam kata pertama (yaitu, “apa yang seharusnya dilakukan”), yang menyiratkan tiga latihan yang menguntungkan jika dilakukan. Demikianlah, dalam komentar atas makna hal ini, kami mengatakan: “Ada apa yang seharusnya dilakukan, dan ada apa yang tidak boleh dilakukan.”

Apa yang seharusnya dilakukan, secara singkat, adalah tiga latihan. Tetapi karena sangat singkat, walaupun beberapa bhikkhu itu memahaminya, namun yang lainnya tidak memahami. Oleh karena itu, untuk menjelaskan persoalan itu kepada mereka yang tidak memahami, Sang Bhagavā mengucapkan paruh [ke dua] syair ini, “Ia harus mampu, lurus, sangat lurus, dapat menerima nasihat dan lembut, tanpa kesombongan,” yang menjelaskan tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang bhikkhu, khususnya seorang penghuni hutan.

Apakah yang dimaksudkan? Seorang bhikkhu penghuni-hutan yang ingin berdiam setelah melakukan terobosan pada keadaan damai—atau seorang yang telah melakukan terobosan pada keadaan itu melalui kebijaksanaan duniawi dan sedang berlatih untuk pencapaiannya—dengan memiliki faktor berusaha ke dua dan ke empat,  tanpa mempedulikan tubuh dan kehidupannya, seharusnya mampu berlatih untuk penembusan kebenaran-kebenaran. Demikianlah dalam persiapan kasiṇa, dalam melaksanakan tugas-tugasnya, dalam memperbaiki mangkuk dan jubah dan sebagainya, dan berbagai tugas yang harus dilakukan untuk teman-temannya para bhikkhu, dan dalam hal-hal sejenis lainnya, ia harus mampu, tangkas, tekun, sanggup. Karena mampu, dengan memiliki faktor usaha yang ke tiga, ia seharusnya lurus. Walaupun ia lurus, namun ia tidak boleh puas dengan sekedar lurus satu kali, melainkan seumur hidupanya, berulang-ulang, tanpa lengah, ia seharusnya benar-benar [atau sangat] lurus. Atau ia lurus karena tanpa kepalsuan, dan sangat lurus karena tanpa kemunafikan; atau ia lurus dengan meninggalkan lekukan jasmani dan ucapan, dan sangat lurus dengan meninggalkan lekukan pikiran; atau ia lurus dengan tidak memperlihatkan kualitas-kualitas yang tidak ada, dan sangat lurus dengan tidak menerima perolehan yang mendatanginya karena kualitas-kualitas yang tidak ada. Dengan cara ini, ia seharusnya lurus dan sangat lurus dengan bermeditasi pada objek dan pada karakteristik, yang dicapai berturut-turut melalui dua latihan pertama dan latihan ke tiga, dan melalui pemurnian usaha dan wataknya.

Ia tidak hanya harus lurus dan sangat lurus, melainkan ia saharusnya dapat menerima nasihat. Karena jika, ketika dikatakan, “ini seharusnya dilakukan,” seseorang berkata, “Apa yang engkau lihat? Apa yang engkau dengar? Siapakah engkau yang merasa harus berbicara denganku? Apakah engkau adalah penahbisku, guruku, temanku, sahabatku?” atau jika ia menyusahkan orang lain dengan berdiam diri, atau menerima kata-katanya tetapi tidak bertindak sesuai kata-kata itu, maka ia adalah jauh dari mencapai keluhuran. Tetapi jika, ketika dinasihati, ia berkata, “Bagus, Bhante, itu diucapkan dengan bak. Kesalahan seseorang [240] adalah sulit dilihat. Jika engkau melihatku melakukan perbuatan itu lagi, engkau harus berbicara denganku dengan belas kasihan. Sudah lama sejak aku dinasihati olehmu,” dan kemudian bertindak sesuai instruksi, maka orang itu tidak jauh dari mencapai keluhuran. Oleh karena itu, seseorang seharusnya juga dapat menerima nasihat, menerima nasihat dari orang lain dan bertindak sesuai nasihat itu.

Dan seperti halnya ia dapat menerima nasihat, ia seharusnya lembut. Jika perumah tangga memintanya untuk menyampaikan pesan dan menjadi pesuruh, dan sebagainya, ia seharusnya tidak lembut melainkan seharusnya tetap teguh. Tetapi ia seharusnya lembut dalam melatih tugas-tugas dan dalam keseluruhan kehidupan spiritual, mampu melakukan berbagai tugas seperti emas yang dikerjakan dengan baik. Atau “lembut” bermakna ia seharusnya memiliki ekspresi wajah yang terbuka, tanpa mengerutkan dahi, menyenangkan dalam berbicara, ramah, senantiasa menerima dengan ramah bagaikan penyeberangan yang baik. Dan tidak hanya ia seharusnya lembut, tetapi ia juga seharusnya tanpa keangkuhan. Ia seharusnya tidak memandang rendah orang lain karena hal-hal seperti status sosial, dan penyebab-penyebab keangkuhan lainnya; melainkan, seperti Bhikkhu Sāriputta, ia harus mempertahankan pikiran yang seperti bocah caṇḍāla. 

144. Dengan cara ini Sang Bhagavā telah menjelaskan beberapa hal yang harus dilakukan oleh seorang bhikkhu—khususnya seorang penghuni hutan—yang ingin berdiam setelah melakukan terobosan pada keadaan damai atau oleh seorang yang berlatih untuk mencapainya. Sekarang, untuk menjelaskan lebih lanjut, Beliau mengucapkan syair ke dua, “[ia seharusnya] puas.”

Di sini, seseorang puas melalui dua bels jenis kepuasan, yang dianalisis sehubungan dengan barus “kepuasan dan rasa syukur” (baca pp.762-64]. Atau, “puas” berarti bahwa seseorang puas—puas dengan apa yang ia miliki, puas dengan apa yang ada sekarang, dan sama puasnya.  Di sini, “apa yang ia miliki” terdiri dari empat benda kebutuhan yang dijelaskan dalam prosedur penahbisan dan diterima olehnya sebagai berikut, “[Pelepasan keduniawian ini] bergantung pada makanan yang diperoleh dari persembahan dana makanan.”  Apa yang disebut “puas dengan apa yang ia miliki” berarti ia memelihara dirinya dengan apa yang diberikan, apakah baik ataupun buruk, yang diberikan dengan hormat atau dengan tidak sopan, tanpa memperlihatkan kekesalan pada saat menerimanya dan pada saat menggunakannya. “Apa yang ada sekarang” adalah apa yang telah diperoleh dan tersedia untuknya. [241] Apa yang disebut “puas dengan apa yang ada sekarang” berarti bahwa seseorang puas hanya dengan apa yang ada sekarang, tidak menginginkan apapun lagi, meninggalkan keserakahan berlebihan, “sama” berarti meninggalkan kesukaan dan ketidaksukaan terhadap apa yang disukai dan yang tidak disukai. Apa yang disebut “sama puasnya” berarti sama puasnya terhadap segala objek.

Mudah disokong: seorang yang disokong dengan mudah, dipelihara dengan mudah. Seorang bhikkhu yang sulit disokong memperlihatkan kekecewaan dan ketidaksenangan bahkan ketika mangkuknya telah diisi dengan nasi gunung, daging, bubur, dan makanan baik lainnya, atau yang merendahkan makanan di hadapan para penyumbangnya, dengan berkata, “Apa yang telah engkau berikan?” dan kemudian memberikannya kepada sāmaṇera atau umat awam. Ketika melihatnya, orang-orang menghindarinya dari jauh, dengan berpikir: “Tiadklah mungkin memelihata seorang bhikkhu yang sulit disokong.” Tetapi seorang yang mudah di sokong memperlihatkan ekspresi tenang dan senang terhadap apapun yang ia terima—apakah kasar atau halus, sedikit atau banyak—dan dengan itu ia memelihara dirinya. Ketika melihatnya, orang-orang sangat percaya padanya, dengan berpikir: “Yang Mulia ini mudah disokong, puas bahkan dengan sedikit.” Setelah berjanji untuk menyokongnya, mereka menepatinya. Adalah seorang yang demikian yang dimaksudkan di sini dengan “mudah disokong.”

Sedikit tugas: seorang yang memiliki sedikit tugas, yang tidak terlibat dalam berbagai tugas karena senang bekerja, senang berbicara, senang bergaul, dan sebagainya. atau apa yang dimaksudkan adalah seorang yang, dalam keseluruhan vihara, memiliki sedikit tugas sehubungan dengan pekerjaan pembangunan, aset Sangha, administrasi sāmaṇera dan pekerja vihara, dan sebagainya. ia hanya mencukur rambutnya, memotong kukunya, mempersiapkan mangkuk dan jubah, and melakukan tugas-tugas pribadi lainnya, tetapi selain itu ia melakukan tugas pertapaan sebagai tugas utamanya.

Gaya hidup sederhana: seorang yang gaya hidupnya sederhana. Ketika seorang bhikkhu yang memiliki banyak benda melakukan perjalanan, ia pergi bersama dengan banyak orang yang membawa beban di kepala dan pinggul mereka—mangkuk, jubah, alas tidur, minyak, bola-bola gula, dan sebagainya. sebaliknya, ketika seseorang dengan sedikit perlengkapan yang memiliki hanya delapan benda kebutuhan petapa—mangkuk, jubah, dan sebagainya—melakukan perjalanan, ia pergi seperti burung, membawa segalanya bersamanya. [242] Seorang yang demikianlah yang dimaksudkan di sini dengan “seorang yang bergaya hidup sederhana.”

Memiliki indria-indria yang damai: seorang yang indria-indrianya damai, seorang yang organ-organ indrianya tidak terganggu karena nafsu dan sebagainya ketika bertemu dengan objek yang menyenangkan dan sebagainya. arif: cerdas, cemerlang, bijaksana. Maknanya adalah seorang yang bijaksana dalam mempertahankan perilaku yang baik, bijaksana dalam mencari jubah dan sebagainya, dan bijaksana sehubungan dengan tujuh jenis kelayakan, yaitu, sehubungan dengan tempat kediaman dan sebagainya.
Sopan:  maknanya adalah seorang yang hampa dari delapan kasus kekurangajaran jasmani, empat kasus kekuarangajaran ucapan, dan banyak kasus kekurangajaran pikiran. Delapan kasus kekurangajaran jasmani adalah cara-cara perilaku jasmani yang tidak selayaknya sehubungan dengan Sangha, kelompok, individu, di ruang makan, di ruang sauna, di pemandian di sungai, dalam perjalanan menerima dana makanan, dan ketika memasuki rumah demi rumah. Yaitu, seseorang di sini duduk bermalas-malasan di tengah-tengah Sangha atau ia duduk bersilang kaki dan sebagainya; demikian pula, di tengah-tengah kelompok—dalam empat kelompok—dan juga di hadapan seorang sesepuh. Di ruang makan ia tidak menawarkan tempat duduk kepada para sesepuh, dan ia menghalangi para bhikkhu muda untuk duduk. Demikian pula di dalam ruang sauna. Dan di sini ia menyalakan api dan melakukan hal-hal lain tanpa meminta izin dari para sesepuh. Sehubungan dengan pemandian di sungai dikatakan: “Mandi harus dilakukan menurut urutan kedatangan, tanpa menjadikan senioritas sebagai kriteria.” Tetapi tanpa mengindahkan aturan ini, ia yang datang belakangan memasuki air dan dengan demikian menyusahkan para sesepuh dan bhikkhu muda yang sudah terlebih dulu ada di sana. Dalam perjalanan menerima dana makanan, untuk memperoleh tempat duduk terbaik, air terbaik, dan makanan terbaik, ia maju ke depan para sesepuh, bahkan menyikut yang lain; dan ketika memasuki rumah-rumah, ia masuk sebelum para sesepuh dan melakukan hal-hal seperti bermain dengan anak-anak.

Empat kasus kekurangajaran ucapan adalah ucapan-ucapan verbal yang tidak selayaknya sehungan dengan Sangha, kelompok, individu, dan di dalam rumah-rumah. Yaitu, seseorang di sini berbicara tentang Dhamma di tengah-tengah Sangha tanpa meminta izin; demikian pula dalam suatu kelompok, seperti dijelaskan sebelumnya, [243] dan di hadapan seorang sesepuh. Ketika orang-orang bertanya kepada seseorang, ia menjawab tanpa meminta izin dari sesepuh. Ketika berada di rumah-rumah, ia berbicara sebagai berikut: “Apa ini? Adakah bubur atau makanan apapun yang dapat dimakan? Apakah yang akan engkau berikan kepadaku? Apakah makanan hari ini? Apakah minumannya?” dan sebagainya

Banyak kasus kekurangajaran pikiran adalah berbagai jenis pemikiran-pemikiran yang tidak selayaknya, seperti pemikiran nafsu indriawi dan sebagainya, yang dipikirkan oleh pikiran tanpa berlanjut menjadi segala jenis perbuatan salah melalui jasmani atau ucapan.
Tanpa keserakahan ketika berada di antara keluarga-keluarga: Ketika seseorang mendatangi keluarga-keluarga, ia tanpa keserakahan karena ketagihan atas benda-benda kebutuhan atau dengan membentuk ikatan yang tidak selayaknya dengan umat-umat awam. Ia tidak bersedih bersama mereka, atau bergembira bersama mereka, atau menjadi bahagia ketika mereka bahagia dan sedih ketika mereka sedih, dan ia tidak mengerahkan dirinya untuk melakukan tugas-tugas dan pekerjaan mereka.
Ketika dikatakan, “ia seharusnya dapat menerima nasihat,”  kata “seharusnya” (assa) di sini harus digabungkan dengan semua kata dalam syair ini seperti ini: “Seseorang seharusnya puas, seseorang seharusnya mudah disokong,” and seterusnya.

145. Dengan cara ini Sang Bhagavā telah menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan lebih jauh oleh seorang bhikkhu—khususnya seorang penghuni hutan—yang ingin berdiam setelah melakukan terobosan pada keadaan damai atau yang ingin berlatih untuk mencapainya. Sekarang, untuk menjelaskan apa yang seharusnya tidak dilakukan, Beliau mengucapkan setengah syair ini: “Ia seharusnya tidak melakukan apapun, sekecil apapun, yang karenanya orang-orang bijaksana akan mengkritiknya.” Maknanya adalah sebagai berikut: Seorang yang melakukan apa yang seharusnya dilakukan seharusnya tidak melakukan apapun, sekecil apapun, yaitu, perbuatan salah melalui jasmani, ucapan, dan pikiran yang dijelaskan sebagai kecil atau ringan. Ia seharusnya tidak hanya menghindari perbuatan salah berat melainkan seharusnya tidak melakukan apapun yang salah, bahkan yang ringan dan kecil.
Kemudian, dengan kata-kata yang karenanya orang-orang bijaksana akan mengkritiknya, Beliau menunjukkan bahaya yang terlihat langsung dalam perbuatan salah tersebut. Dan di sini orang-orang lain yang tidak bijaksana tidak menjadi acuan; karena mereka melakukan apa yang tercela dan layak dicela, apa yang sedikit tercela dan yang sangat tercela. Hanya para bijaksana yang menjadi acuan; karena setelah menyelidiki dan memeriksa suatu persoalan, [244] merek mencela seorang yang layak dicela dan memuji seorang yang layak dipuji. Maka dikatakan “orang-orang lain yang bijaksana.”

Dengan cara ini, dengan pembukaan dua setengah bait syair, Sang Bhagavā telah mengucapkan khusunya demi penghuni hutan yang ingin berdiam setelah melakukan terobosan pada keadaan damai atau yang ingin berlatih untuk mencapainya; tetapi pada bagian penghuni hutan, Beliau juga mengucapkan demi semua yang telah mempelajari subjek meditasi dan ingin berdiam demikian. Beliau telah membahas pendekatan pada subjek meditasi, yang dibagi ke dalam apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Sekarang, dengan kata-kata “Semoga semua makhluk berbahagia dan aman,” Beliau mulai membahas cinta-kasih baik sebagai alat perlindungan untuk menghalau bahaya dari para dewata itu dan sebagai sebuah subjek meditasi untuk mencapai jhāna yang digunakan sebagai landasan bagi pandangan terang.

Di sini, bahagia: memiliki kebahagiaan; aman: tanpa bahaya, bebas dari bencana, semua: tanpa kecuali; makhluk-makhluk (sattā): makhluk-makhluk hidup; bahagia di dalam: bahagia dalam batin. Dan di sini, “bahagia” adalah melalui kebahagiaan fisik, “”bahagia di dalam” adalah melalui kebahagiaan batin, “aman” adalah melalui lenyapnya segala bahaya dan bencana kedua jenis. Tetapi mengapakah hal ini dikatakan? Untuk tujuan menunjukkan aspek-asopek pengembangan cinta-kasih. Karena cinta-kasih dapat dikembangkan atas dasar harapan “Semoga semua makhkluk berbahagia,” atau “Semoga mereka aman,” atau “Semoga mereka berbahagia di dalam.”
« Last Edit: 01 May 2018, 10:26:33 AM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Penjelasan atas Karaniya Metta Sutta menurut Teks Komentar
« Reply #2 on: 01 May 2018, 10:11:27 AM »
146-47. Setelah seperti demikian menunjukkan pengembangan cinta kasih secara ringkas, dari konsentrasi akses hingga puncak penyerapan, Beliau mengucapkan kedua bait syair berikutnya, yang dimulai dengan “Makhluk-makhluk hidup manapun juga,” untuk menunjukkan hal ini secara terperinci. Atau, karena pikiran yang terbiasa dengan kemajemukan objek-objek tidak dapat dengan seketika menjadi tenang terpusat, namun hanya setelah mengeksplorasi suatu analisis objek-objeknya maka pikiran menjadi tenang secara bertahap, Beliau mengucapkan kedua bait syair berikutnya, “Makhluk-makhluk hidup manapun juga,” dengan tujuan untuk menenangkan pikiran setelah mengeksplorasi analisis objek-objek ke dalam pasangan dua dan pasangan tiga, yang dimukai dengan lemah dan kuat. Atau, karena pikiran seseorang dengan mudah menjadi kokog ketika berfokus pada sebuah objek yang jelas, [245] maka Sang Buddha mengucapkan kedua bait syair ini, “Makhluk-makhluk hidup manapun juga,” menunjukkan analisis objek-objek ke dalam pasangan dua dan pasangantiga yang dimulai dengan lemah dan kuat, karena Beliau ingin membantu tiap-tiap bhikkhu untuk menenangkan pikiran mereka pada objek apapun yang menjadi jelas baginya.

Di sini terdapat empat pasang: yang lemah dan kuat, yang terlihat dan tidak terlihat, yang jauh dan dekat, dan mereka yang telah datang maupun yang akan datang. Dalam hal enam kata yang dimulai dengan “mereka yang panjang,” kata “menengah” masuk ke dalam tiga kelompok tiga, dan kata “halus” masuk ke dalam dua kelompok tiga. Dengan demikian kalimat itu menunjukkan tiga kelompok tiga: yang panjang, pendek, dan menengah; yang besar, halus (kecil) dan menengah; dan yang kasar, halus, dan menengah. Apapun adalah kata yang bermakna “tanpa kecuali.” Makhluk-makhluk hidup (pāṇā) adalah makhluk-makhluk yang hidup. Atau “makhluk-makhluk hidup” bermakna “mereka yang bernapas.”  Dengan ini, Beliau memasukkan makhluk-makhluk dengan lima unsur yang bergantung pada napas masuk-dan-keluar. Makhluk-makhluk (bhūta) adalah mereka yang ada; dengan ini, Beliau memasukkan makhluk-makhluk dengan satu unsur dan empat unsur.  Yang ada: yang hidup.

Dalam cara ini, dengan ungkapan “makhluk-makhluk hidup apapun yang ada” setelah menunjukkan semua makhluk secara kolektif, yang diklasifikasikan ke dalam pasangan dua dan tiga, sekarang, dengan ungkapan “apakah lemah ataupun kuat, tanpa kecuali,” Beliau menunjukkan semua ini yang diklasifikasikan secara pasangan. Di sini, yang lemah adalah “mereka yang gemetaran (atau haus)”; ini adalah sebutan untuk mereka dengan ketagihan dan dengan ketakutan.  Yang kuat adalah mereka yang berdiri kokoh; ini adalah sebutan untuk para Arahant, yang telah meninggalkan ketagihan dan ketakutan.  Tanpa kecuali: tanpa melewatkan apapun; apa yang dimaksudkan adalah “semua.” Frasa pada akhir bait syair ke dua (147) harus dihubungkan pada semua kelompok dua dan kelompok tiga, sehingga kita membaca: “Makhluk-makhluk hidup apapun  yang ada, apakah lemah atau kuat, tanpa kecuali, semoga semua makhluk ini juga berbahagia dalam batin,” dan seterusnya hingga “apakah mereka telah datang atau yang akan datang, semoga semua makhluk-makhluk ini juga berbahagia dalam batin.”

Sekarang di antara enam kata yang menunjukkan kelompok tiga, yang dimulai dari yang panjang, pendek, dan menengah, yang panjang adalah mereka yang memiliki tubuh yang panjang, seperti nāga, ikan, dan kadal. Karena tubuh nāga di lautan berukuran ratusan depa, sedangkan tubuh ikan dan kadal, dan sebagainya, berukuran beberapa yojana.  Yang besar adalah mereka yang bertubuh besar, seperti ikan dan kura-kura dalam air;  [246] dan gajah dan nāga di darat, dan dānava  dan sebagainya di antara makhluk-makhluk halus. Seperti yang dikatakan oleh Sang Bhagavā: Rāhu adalah yang terbesar di antara mereka yang memiliki tubuh” (AN II 17,21); karena tinggi tubuhnya 4.000 yojana dan [lebarnya] 800 yojana; rentang tangannya 1.200 yojana, alis matanya lima puluh yojana, demikian pula jemarinya, dan telapak tangannya 200 yojana. Yang menengah: tubuh kuda, sapi, kerbau, babi, dan sebagainya. yang pendek: makhluk-makhluk yang lebih kecil daripada yang tinggi dan menengah, seperti makhluk-makhluk kerdil dalam berbagai kelompok. Halus (kecil): mereka yang di luar jangkauan mata fisik; makhluk-makhluk dengan tubuh yang sangat halus, seperti yang terlahir dalam air, yang dapat terlihat oleh mata dewa, atau kutu dan sebagainya. lebih lanjut, makhluk-makhluk dalam berbagai kelompok yang berukuran lebih kecil daripada yang besar dan menengaj dan yang kasar dan menengah harus dipahami sebagai halus (kecil). Yang kasar: makhluk-makhluk itu yang memiliki tubuh bulat, seperti ikan, kura-kura, dan tiram dan kerang-kerangan, dan sebagainya.

147. setelah menunjukkan makhluk-makhluk secara lengkap dalam tiga kelompok tiga, sekarang, dengan kata-kata “apakah mereka terlihat atau tidak terlihat” dan seterusnya, Beliau menunjukkan mereka dalam tiga pasang. Di sini, yang terlihat adalah mereka yang pernah terlihat sebalumnya ketika mereka berada dalam jangkauan penglihatan; yang tidak terlihat adalah mereka yang berada di seberang lautan, di balik gunung, di alam lain, dan sebagainya. Apakah mereka berada jauh atau dekat: dengan pasangan ini, Beliau menunjukkan makhluk-makhluk yang berada jauh dan dekat relatif dari diri sendiri. Hal ini harus dipahami secara relatif. Karena makhluk-makhluk yang berada di dalam tubuh sendiri adalah dekat, mereka yang berada di luar tubuh adalah jauh. Demikian pula, mereka yang berdiam di sekitar diri sendiri adalah dekat, mereka yang berada di luar sekitar diri sendiri adalah jauh. Mereka yang berada dalam vihara, desa, negeri, benua, alam sendiri dikatakan sebagai dekat, mereka yang berada di alam lain dikatakan sebagai jauh.

Mereka yang telah muncul: mereka yang telah terlahir, terbentuk. Ini adalah sebutan untuk para Arahant, yang dikenal sebagai: “Mereka telah muncul tetapi tidak akan muncul lagi.” Mereka yang akan muncul: mereka yang sedang mencari penjelmaan.  [247] Ini adalah sebutan untuk mereka yang masih berlatih dan kaum duniawi yang, karena mereka belum meninggalkan belenggu-belenggu penjelmaan, maka sedang mencari penjelmaan masa depan. Atau, di antara empat cara kelahiran, makhkluk-makhluk yang terlahir dari telur dan dari rahim dikatakan “mereka akan muncul” selama mereka belum memecahkan cangkang telur atau selaputnya. Tetapi ketika mereka telah memecahkan cangkang telur atau selaputnya dan telah keluar, maka mereka dikatakan “telah muncul.” Pada makhluk-makhluk yang terlahir dari kelembaban dan mereka yang terlahir secara spontan dikatakan “mereka akan muncul” pada momen-pikiran pertama. Dari momen-pikiran ke dua dan seterusnya, dikatakan mereka “telah muncul.” Atau, ketika mereka terlahir dalam postur tertentu, selama mereka belum mengubah postur, dikatakan “mereka akan muncul.” Tetapi setelahnya, dikatakan “mereka telah muncul.”

148. Dalam cara ini, dengan dua setengah bait syair yang dimulai dengan “Semoga semua makhluk berbahagia,” Sang Bhagavā dalam berbagai cara telah menunjukkan kepada para bhikkhu itu pengembangan cinta-kasih kepada makhluk-makhluk dengan mengharapkan agar mereka menemui kesejahteraan dan kebahagiaan. Sekarang Beliau berkata, seseorang seharusnya tidak menipu orang lain, menunjukkan pengembangan cinta-kasih sekali lagi dengan mengharapkan mereka terhindari dari bahaya dan penderitaan.

Di sini, seseorang … orang lain: satu orang dan orang lainnya. Seseorang seharusnya tidak menipu: seseorang seharusnya tidak mencurangi. Seseorang seharusnya tidak merendahkan: seseoramg seharusnya tidak memandang rendah. Di manapun: di segala tempat, apakah di desa ataupun di pemukiman,  di sawah, di antara sanak saudara, atau dalam perserikatan. Siapapun: siapapun apakah seorang khattiya, brahmana, perumah tangga, seorang yang meninggalkan keduniawian, seorang yang beruntung atau seorang yang tidak beruntung, dan sebagainya. karena marah dan pikiran menolak:  karena kemarahan yang diungkapkan melalui kekesalan jasmani dan verbal, dan karena pikiran menolak yang disertai dengan kekesalan batin, maka seseorang seharusnya tidak mengharapkan penderitaan bagi orang lain. [248] Apakah maksudnya? Seseorang tidak hanya harus mengembangkan cinta-kasih dengan mengharapkan sebagai berikut, “Semoga mereka berbahagia dan aman,” tetapi juga harus mengembangkannya dengan cara ini: “Seseorang seharusnya tidk menipu orang lain, seperti dengan mencurangi mereka. Seseorang seharusnya tidak merendahkan siapapun di manapun karena sembilan kasus keangkuhan  karena status sosial dan sebagainya. Karena kemarahan atau pikiran menolak seseorang seharusnya tidak mengharapkan penderitaan bagi orang lain.”

149. Setelah menunjukkan pengembangan cinta-kasih menurut maknanya, sebagai harapan agar makhluk-makhluk terhindar dari bahaya dan penderitaan, sekarang Beliau berkata: “Bagaikan seorang ibu,” untuk menunjukkan praktik melalui perumpamaan. Maknanya adalah sebagai berikut: bagaikan seorang ibu yang melindungi putranya—karena ia akan melindungi putra kandungnya yang ia lahirkan—putra tunggalnya, dengan kehidupannya, dengan mengorbankan kehidupannya sendiri untuk menghalau penderitaan yang menghampirinya, demikian pula seseorang seharusnya mengembangkan terhadap semua makhluk suatu keadaan pikiran, [yaitu,] cinta kasih, tanpa batas.  Seseorang harus memunculkannya dan memperluasnya berulang-ulang, dan ia harus mengembangkannya tanpa batas dengan mengambil makhluk-makhluk yang tidak terbatas sebagai objeknya atau dengan serapan mendalam pada satu makhluk.

150. Setelah menunjukkan pengembangan cinta-kasih dalam segala aspek, sekarang untuk menunjukkan lanjutannya, Beliau berkata: “Dan kepada seluruh dunia.” Di sini, cinta kasih diturunkan dari “teman” (mitta), karena menggemukkan dan melindungi; yaitu, dibasahi melalui harapan untuk memajukan kesejahteraan dan perlindungan dari bahaya.  Cinta-kasih (kebaikan) adalah kondisi seorang teman.  Kepada seluruh dunia: kepada makhluk-makhluk di dunia tanpa kecuali. suatu keadaan pikiran: yang ada dalam pikiran; dikatakan demikian karena cinta-kasih adalah berhubungan dengan pikiran.  Seseorang harus mengembangkan: seseorang harus memancarkan. Tanpa batas: tanpa batas karena menjadikan tak terhitung banyaknya makhluk sebagai objeknya.  Ke atas: dengan ini Beliau memasukkan kehidupan di alam tanpa bentuk; ke bawah: dengan ini Beliau memasukkan kehidupan alam keinginan; Ke sekeliling: dengan ini Beliau memasukkan alam berbentuk. Tak terkurung: hampa dari kurungan, apa yang dimaksudkan adalah mendobrak penghalang. Seorang yang bersikap bermusuhan disebut penghalang; maknanya adalah bahwa cinta-kasih mengarah menuju orang itu juga. Tanpa permusuhan: hampa dari permusuhan, [249] tanpa manifestasi kehendak permusuhan bahkan pada jeda waktu; tanpa lawan: tanpa orang-orang yang memusuhi; karean seorang yang berdiam dalam cinta-kasih disayang oleh para manusia, disayang oleh bukan manusia, dan tidak ada yang memusuhinya. Karena itu, karena ketiadaan orang-orang yang memusuhi, maka pikiran itu disebut sebagai “tanpa musuh.” Karena “orang yang memusuhi” dan “lawan” adalah bersinonim. Ini adalah komentar atas makna-makna menurut masing-masing kata.

Tetapi berikut ini adaah komentar atas makna yang dimaksudkan di sini. Dikatakan, “seseorang seharusnya mengembangkan pikiran tanpa batas kepada semua makhluk.” Seseorang harus mengembangkan pikiran tanpa batas ini kepada seluruh dunia; ia harus memancarkannya dan menumbuhkannya, meningkatkannya, dan memperluasnya. Bagaimanakah? “Ke atas, ke bawah, dan ke sekeliling”: ke atas sejauh puncak kehidupan; ke bawah sejauh neraka Avīci; dan ke sekeliling sejauh arah-arah lainnya.  Atau ke atas hingga ke alam tanpa bentuk, ke bawah hingga ke alam keinginan, dan ke sekeliling hingga ke alam berbentuk, melingkupinya tanpa kecuali. Mengembangkannya sedemikian sehingga “tidak terkurung, tanpa permusuhan, tanpa lawan,” ia harus mengembangkannya dengan tanpa kurungan, tanpa permusuhan, dan tanpa lawan. Ketika keberhasilan dalam pengembangan tercapai, maka akan tidak terkurung dengan memperoleh ruang di manapun; tanpa permusuhan dengan lenyapnya kekesalan diri sendiri terhadap makhluk lain; dan tanpa lawan dengan lenyapnya kekesalan makhluk lain terhadap diri sendiri. Demikianlah ia mengembangkan dan memancarkan pikiran cinta-kasih tanpa batas—yang tidak terkurung, tanpa permusuhan, tanpa lawan—terhadap seluruh dunia yang dibagi menjadi tiga: ke atas, ke bawah, dan ke sekeliling.

151. Setelah menunjukkan kelanjutan dari pengembangan cinta-kasih, sekarang untuk menunjukkan bahwa tidak ada postur tetap bagi seseorang yang berfokus pada pengembangannya, Beliau berkata: “Apakah berdiri, berjalan … pada perhatian ini.” Maknanya adalah: Seorang yang mengembangkan pikiran cinta-kasih ini dengan cara demikian [250] tidak perlu mengadopsi postur tertentu yang tetap seperti pada subjek meditasi lain sebagai berikut, “ia duduk bersila, menegakkan tubuhnya,” dan seterusnya. Menghalau ketidaknyamanan dengan mengadopsi postur apapun yang ia sukai, apakah berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring, selama ia tidak mengantuk, ia harus mempertahankan perhatian dari jhāna cinta-kasih ini.

Atau, setelah menunjukkan kelanjutan dari pengembangan cinta-kasih, sekarang untuk menunjukkan penguasaannya, Beliau berkata: “Apakah berdiri, berjalan.” Karena seorang yang telah mencapai penguasaan ingin mempertahankan perhatian dari jhāna cinta-kasih ini selama postur tersebut berlangsung, apakah berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring. Atau dengan “berdiri atau berjalan” Beliau mengajarkan bahwa berdiri [dan berjalan] bukanlah rintangan. Lebih lanjut lagi, slama seseorang ingin mempertahankan perhatian dari jhāna cinta-kasih ini, selama itu pula ia bertekad agar tidak mengantuk; tidak ada kelambanan sehubungan dengan hal itu. Karena itu Beliau mengatakan: “Apakah berdiri, berjalan, atau duduk, atau berbaring, selama ia tidak mengantuk, maka ia harus mempertahankan perhatian ini.”

Maknanya adalah sebagai berikut: “Sehubungan dengan apa yang dikatakan, ‘Dan terhadap seluruh dunia seseorang harus mengembangkan pikiran cinta-kasih yang tanpa batas,’ia harus mengembangkannya sedemikian sehingga, postur apapun yang ia lakukan, seperti berdiri, dan seterusnya, selama postur itu berlangsung, tanpa memperhatikan  apakah ia berdiri, dan seterusnya, selama ia ingin tetap mempertahankan perhatian dari jhāna cinta kasih, maka selama itu ia dapat mempertahankan perhatian itu.”
Selagi menunjukkan apa yang diperlukan untuk menguasai pengembangan cinta-kasih, setelah menginstruksikan seseorang untuk berdiam dalam cinta-kasih dengan kata-kata “ia harus mempertahankan perhatian ini,” Sang Bhagavā sekarang memuji keberdiaman itu dengan kata-lata “Mereka menyebut ini sebagai keberdiaman Brahma di sini.” Maknanya adalah: Mereka menyebut ini keberdiaman dalam cinta-kasih—seperti yang dijelaskan dalam kalimat dengan kata-kata “Semoga semua makhluk berbahagia dan aman” hingga “ia harus mempertahankan perhatian ini”—keberdiaman brahma, keberdiaman terbaik di sini, dalam Dhamma dan Disiplin mulia ini. Disebut terbaik karena hampa dari cacat dan karena membawa manfaat bagi diri sendiri dan makhluk lain, dan sebuah keberdiaman di antara empat keberdiaman: keberdiaman surgawi, keberdiaman brahma, dan keberdiaman mulia, dan postur-postur.  [251] Karena itu secara konstan dan terus-menerus, tanpa terputus, ia harus mempertahankan perhatian ini apakah berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring, selama ia tidak mengantuk.

152. Setelah mengajarkan kepada para bhikkhu itu pengembangan cinta-kasih dalam berbagai aspeknya, sekarang Beliau berkata: “Tidak menganut pandangan apapun.” Karena cinta-kasih memiliki makhluk-makhluk sebagai objeknya, hal ini mendekati sebuah pandangan atau diri. Karena itu, dengan menolak adopsi pandangan, Beliau mengatakan ini untuk mengajarkan para bhikkhu itu pencapaian alam para mulia yang dicapai dengan menggunakan jhāna cinta kasih yang sama itu sebagai landasan.  Dengan syair ini, Beliau menutup ajaran.

Maknanya adalah sebagai berikut: Setelah keluar dari keberdiaman dalam jhāna cinta-kasih ini yang dijelaskan sebagai berikut, “Mereka menyebut ini sebagai keberdiaman brahma di sini,” ia memahami fenomena [batin] seperti pemikiran dan pemeriksaan, dan membatasi fenomena fisik yang muncul bersama dengannya.  Tidak menganut pandangan apapun dengan membagi [fenomena] ini sebagai “nama dan bentuk,” [dan dengan memahami], “Ini hanyalah tumpukan hal-hal terkondisi; tidak ada makhluk yang dapat ditemukan di sini” (SN I 135,19), secara bertahap ia menjadi berperilaku baik, melalui perilaku baik yang melampaui keduniawian, dan memiliki penglihatan, pandangan benar dari jalan memasuki-arus yang terhubung dengan perilaku baik yang melampaui keduniawian. Setelah ini, keserakahan terhadap objek-objek indria, kekotoran indriawi, masih belum ditinggalkan. Tetapi setelah melenyapkan keserakahan terhadap kenikmatan-kenikmatan indriawi dengan terlebih dulu melemahkannya melalui jalan yang-kembali-sekali dan kemudian meninggalkannya tanpa sisa melalui jalan yang-tidak-kembali—setelah melenyapkannya dan menaklukkannya—ia tidak akan pernah kembali ke tempat tidur rahim lagi. Ia sama sekali tidak akan kembali lagi pada tempat tidur rahim lagi. Setelah terlahir kembali di alam murni, ia mencapai Kearahantaan dan mencapai nibbāna akhir di sana.

Setelah menutup ajaran ini, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu itu: “Pergilah, para bhikkhu, menetaplah di hutan yang sama itu dan pada tanggal delapan pada bulan untuk mendengarkan Dhamma, setelah memukul gong,  bacakanlah khotbah ini, babarkan khotbah Dhamma, lakukan diskusi, bergembiralah, dan kejar, kembangkan, dan latih subjek meditasi ini. [252] Maka makhluk-makhluk halus itu tidak akan memperlihatkan penampakan menakutkan kepada kalian melainkan sebaliknya akan mengharapkan kebaikan dan kesejahteraan kalian.”
Setelah menjawab, “Baik!” mereka bangkit dari duduk mereka, bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau, kembali, dan melakukan sesuai instruksi. Para dewata dipenuhi dengan sukacita dan kegembiraan, dengan berpikir, “Para mulia ini mengharapkan kebaikan dan kesejahteraan kami,” dan mereka menyapu tempat-tempat tinggal, mempersiapkan air panas, memijat punggung dan kaki mereka, dan melakukan penjagaan. Setelah mengembangkan cinta-kasih seperti yang diajarkan, para bhikkhu menggunakannya sebagai landasan, membangkitkan pandangan terang, dan dalam masa tiga bulan itu mereka semua mencapai Kearahantaan, buah tertinggi. Kemudian mereka mengadakan upacara Pāvaraṇā dalam kemurnian.

Dengan cara ini mereka yang terampil dalam kebaikan,
Dalam Dhamma dari seorang yang terampil,
Sempurna dalam kebaikan yang seharusnya dilakukan
Seperti yang dijelaskan oleh Sang Raja Dhamma.
Setelah melakukan ini, lengkap dalam kebijaksanaan,
Mereka melakukan terobosan pada keadaan damai
Mengalami kedamaian batin tertinggi.

Oleh karena itu seorang cerdas yang ingin berdiam
Setelah melakukan terobosan pada keadaan damai itu—
Tanpa kematian, kondisi menakjubkan yang disukai para mulia—
Seharusnya terus-menerus melakukan kebaikan yang seharusnya dilakukan,
Dianalisis menjadi moralitas tanpa noda, konsentrasi tanpa noda, dan kebijaksanaan tanpa noda

« Last Edit: 01 May 2018, 10:27:29 AM by Indra »

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Penjelasan atas Karaniya Metta Sutta menurut Teks Komentar
« Reply #3 on: 26 May 2018, 01:32:36 AM »
 _/\_
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~