Pengembangan Buddhisme > DhammaCitta Press

Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato

(1/9) > >>

seniya:
Berikut ini adalah terjemahan dari tulisan Bhikkhu Sujato yang berjudul "Sects and Sectarianism". Ini project yang diberikan Tuhan Sumedho dan Batara Indra kepada saya tahun 2012 yang lalu, namun karena satu hal dan hal yang lainnya baru dapat diselesaikan saat ini dan sekarang dalam proses oleh Yang Maha Kuasa ;D. Mudah2an bisa diterbitkan dalam waktu dekat di perpustakaan DC :)

Seperti judulnya, buku ini membahas tentang asal mula aliran-aliran Buddhisme awal dari berbagai sumber teks Buddhis yang masih bertahan sampai sekarang dan perspektif Bhikkhu Sujato tentang berbagai kisah perpecahan yang menyebabkan munculnya aliran-aliran Buddhis. Tulisan ini merupakan perspektif yang baru atas pandangan terhadap sektarianisme dalam Buddhisme yang tak habis-habisnya diperdebatkan dalam kalangan Buddhis sendiri, namun kita tetap harus bersikap kritis atas pandangan penulis seperti yang dikatakan Bhikkhu Bodhi pada awal buku:


--- Quote ---“Ini adalah buku yang ditulis dengan cerdas dan merangsang pemikiran yang menyelidiki salah satu dari lebih masa yang samar-samar dalam sejarah Buddhis India, masa yang melihat pembentukan aliran Buddhis awal. Diambil dari berbagai sumber yang dilestarikan dalam beberapa bahasa kanonik, Ven. Sujato telah berusaha menembus ke belakang mitos yang mencegah pemahaman yang jernih atas periode ini, dengan memberikan masing-masing dari aliran awal pendengarannya sendiri. Kesimpulan beliau kadangkala radikal – dan saya tidak mengikuti beliau dalam setiap langkah – tetapi karyanya dicerahkan dengan banyak pandangan yang tajam dan diskusi yang merangsang secara cerdas.”

Ven. Bhikkhu Bodhi
--- End quote ---

Semoga dapat bermanfaat dan menambah wawasan kita semua _/\_

NB: Harap untuk tidak memberikan komentar/tanggapan (reply) pada thread ini untuk kerapian thread ini. Trims

seniya:
Aliran-Aliran dan Sektarianisme
Asal Mula Aliran-Aliran Buddhis
Bhikkhu Sujato
2006
Sangha bhikkhu dan bhikkhuni telah dibuat bersatu.
Sepanjang anak-anak dan cucu-cucuku masih hidup, dan sepanjang matahari dan bulan masih bersinar, siapa pun bhikkhu atau bhikkhuni yang memecah belah Sangha akan dibuat memakai jubah putih dan tinggal di luar vihara.
Apakah keinginanku?
Agar kesatuan Sangha akan bertahan lama.
Raja Aśoka, Minor Pillar Edict, Sāñchī
Mahāsaṅghika Śāriputraparipṛcchā
Aliran Mahāsaṅghika dengan rajin mempelajari Sutta-Sutta dan mengajarkan makna sejatinya, karena mereka adalah sumber dan pusatnya. Mereka mengenakan jubah kuning.

Aliran Dharmaguptaka menguasai rasa dari jalan sejati. Mereka adalah para pemandu untuk manfaat semuanya. Cara pengungkapan mereka khusus. Mereka mengenakan jubah merah.

Aliran Sarvāstivāda dengan cepat mendapatkan pengetahuan yang tak terhalangi, karena Dharma adalah panduan mereka. Mereka mengenakan jubah hitam.

Aliran Kaśyapīya rajin dan bersemangat dalam menjaga makhluk-makhluk. Mereka mengenakan jubah magnolia [sejenis bunga].

Aliran Mahīśāsaka mempraktekkan jhana, dan menembus dengan mendalam. Mereka mengenakan jubah biru.
(CBETA, T24, no. 1465, p. 900, c12-18)
Theravāda Dīpavaṁsa
Tujuh belas aliran ini bersifat memecah belah, hanya satu aliran yang tidak bersifat memecah belah.
Dengan aliran yang tidak bersifat memecah belah, terdapat delapan belas [sub-aliran] semuanya.
Seperti sebatang pohon banyan besar, Theravāda merupakan yang tertinggi, Dispensasi [sasana/ajaran] dari Sang Penakluk, sempurna, tanpa kekurangan atau kelebihan.
Aliran-aliran lainnya muncul bagaikan duri pada pohon tersebut.
(Dīpavaṁsa 4.90-91)

seniya:
Prakata
DUA KUTIPAN INI, masing-masing berasal dari teks-teks yang penting, menyoroti perbedaan yang radikal terhadap perspektif perpecahan aliran Buddhis. Apakah kita melihat aliran-aliran yang berkembang sebagai kerusakan dari suatu kesatuan yang murni awal mulanya, atau sebagai hamparan unik dari sifat potensial Dhamma?[1] Keyakinan saya sendiri bahwa kedua perspektif ini mungkin mengandung beberapa kebenaran, namun tidak ada dari keduanya yang mengandung kebenaran seluruhnya.

Jika kita merenungkan isu dasar yang memecah belah aliran-aliran, kita menemukan banyak yang mengingatkan pada dialog Buddhis saat ini. Adalah hal yang sama bahwa rumit dan mendalamnya sejarah pemikiran filosofis Buddhis menjadi sangat mudah dikecilkan menjadi penolakan yang gencar dari aliran-aliran lain hanya karena mereka tidak setuju dengan penafsiran dari kelompok yang dipilih sendiri. Sebanyak yang dapat kita bayangkan bahwa semua jawaban terselubung, sifat filosofi adalah sedemikian sehingga isu dasar yang dihasilkan aliran-aliran pemikiran tetap ada, dan muncul kembali dalam berbagai kedok dalam pembicaraan di dalam aliran itu sendiri.

Sebagai contoh, tesis dasar Mahāsaṅghika adalah sifat Sang Buddha yang melampaui manusia biasa. Kita mungkin menganggap beberapa ekstrem pandangan ini dengan candaan – seperti halnya gagasan bahwa kotoran tidak pernah lengket pada tubuh Sang Buddha, tetapi Beliau membersihkannya sesuai dengan kebiasaan sehari-hari – tetapi ini menunjukkan perhatian Buddhis yang asli: bagaimana kita membayangkan sifat Kebuddhaan, dengan sangat manusiawi tetapi juga sepenuhnya di luar kehidupan kita dengan kecemasan dan ketakutan? Inilah isu hidup dalam Theravāda modern. Sementara posisi “resmi” (baca “rasionalis, modernis, kelas menengah”) adalah bahwa Sang Buddha adalah manusia yang sempurna, perspektif yang penuh ketaatan dari mayoritas Theravādin melihat Sang Buddha sebagai sesuatu yang agak berbeda.

Sama halnya, Sarvāstivādin mendukung suatu realisme filosofis yang cenderung memperlakukan objek-objek luar sebagai “ada” dalam dan dari dirinya sendiri, sehingga bahkan sebuah hubungan abstrak seperti “kepemilikan” dianggap sebagai substansi yang nyata. Ini menjadi naïf, tetapi dalam membentuk filosofinya mereka menunjukkan suatu kesadaran terhadap masalah metafisik yang fundamental: jika kita mengizinkan “keberadaan” satu hal, ini akan sulit untuk menyangkal keberadaan segala hal. Maka Sarvāstivādin menganggap bahwa masa lampau dan masa depan “ada” persis dalam pengertian yang sama seperti masa sekarang. Sarvāstivādin dengan sempurna menyadari bahwa ini kelihatannya menyalahi aksioma dasar Buddhis tentang ketidakkekalan. Namun mereka berusaha menemukan penafsiran filosofis yang masih berkaitan atas ketidakkekalan tidak berdasarkan ontologi, tetapi berdasarkan kemanjuran sebab akibat: masa sekarang “ada” seperti halnya masa lampau dan masa depan “ada”, tetapi masa depan dibedakan dalam hal ia bersifat operatif atau fungsional. Mengambil analogi modern, bandingkan hal ini dengan tombol-tombol pada dokumen Word yang sedang saya ketik; mereka semuanya “ada”, tetapi hanya menjadi operatif ketika saya melayangkan kursor di atas mereka: saat itulah “masa sekarang”. Kita dapat bertanya tentang rumusan gagasan ini, tetapi kita harus melakukannya seperti yang dilakukan Sarvāstivādin sendiri, yaitu, dalam konteks Buddhis, mencari cara terbaik untuk menyampaikan kebenaran Buddhis dengan jelas. Kita akan perlu menyampaikan pertanyaan yang sama yang dihadapi Sarvāstivādin; jika semuanya tidak kekal, apakah yang terdapat di sana yang menghubungkan masa lampau, masa depan, dan masa sekarang? Pertanyaan ini lebih banyak dari suatu candaan abstrak. Dalam agama yang penuh ketaatan seperti Buddhisme, ini penting sekali dalam membentuk sikap emosional kita terhadap Sang Guru yang kita cintai, yang hadir dalam kesadaran kita, tetapi sangat jauh dalam waktu. Theravādin walaupun kerasnya ajaran resmi tentang kesementaraan yang berakar kuat, masih dengan populer menganggap Sang Buddha entah bagaimana masih ada, yang mengakibatkan dikotomi yang tidak mudah antara perspektif yang resmi dan yang populer. Pendekatan Sarvāstivādin akan mengizinkan pemahaman yang sedikit patah di seluruh komunitas, yang dapat menjadi salah satu alasan di belakang keberhasilan luar biasa mereka di India kuno.

Sebagai contoh lainnya, Puggalavādin mengambil posisi mereka berdasarkan pada tesis bahwa terdapat suatu “pribadi” yang tidak sama ataupun bukan tidak sama dengan lima kelompok unsur kehidupan yang membentuk keberadaan empiris kita. “Pribadi” ini tidak dapat digambarkan, tetapi bukan “diri” dari penganut ajaran non-Buddhis. Ini adalah “pribadi” yang merasakan buah kamma dan yang mencapai pencerahan. Puggalavādin tidak buta terhadap kesulitan dalam mendamaikan teori ini dengan ajaran “bukan-diri”. Agak bertentangan; upaya filosofis utama mereka masuk ke dalam penjelasan yang rumit tentang bagaimana “pribadi” sesungguhnya adalah pemahaman yang benar atas “bukan-diri”. Sekali lagi, ini adalah isu kunci dalam dialog Buddhis modern. Bagaimana kita mendamaikan realitas “atomik” atas pengalaman empiris kita dengan pengertian identitas pribadi yang tak dapat disangkal? Masalah ini terutama genting dalam hubungan antara pemikiran Buddhis dan pemikiran psikologis. Banyak psikologi terkait dengan pembangunan suatu “diri” yang menyatu dan terpadu, suatu proyek yang terkutuk bagi penafsiran harfiah dari Buddhisme tradisional. Tetapi pendekatan psikologis telah berkembang dalam menanggapi suatu masalah sesungguhnya, jiwa modern yang patah dan terasing. Ini adalah suatu konteks yang berbeda dengan apa yang dihadapi Sang Buddha ketika ia mengkritik ajaran Brahmanis atau Jainis tentang suatu inti yang kekal dan berlangsung terus yang bertahan saat kematian. Karena kita mengembangkan tanggapan yang modern pada pertanyaan semacam ini, tampaknya akan masuk akal untuk mengenali bahwa kita bukan generasi pertama yang bergulat dengan bagaimana menerapkan Buddhisme dalam suatu konteks historis yang jauh terpisah dari generasi Sang Buddha sendiri.

Dalam mengejar pertanyaan historis sepanjang karya ini, maka, saya membenarkan bahwa berbagai aliran semuanya berusaha menjelaskan dan menjalankan penafsiran yang sungguh-sungguh atas ajaran Sang Buddha. Ketika diselidiki dengan dekat, ajaran aliran-aliran tersebut tidak dapat dijelaskan sebagai kesalahan sederhana, atau penyusupan asing, atau kerusakan yang disengaja. Ini akan mengikuti perspektif yang lebih simpatik dan lembut tentang aliran-aliran mungkin akan lebih objektif daripada catatan-catatan pendukung kuat yang sengit.

Tampaknya bagi saya terlalu banyak bobot yang telah diberikan pada Dīpavaṁsa, kronologi Sri Lanka yang paling awal. Versi kejadian ini, walaupun memperkuat kredibilitas dalam hampir setiap hal, terus menggunakan pengaruh yang kuat pada pengertian Theravādin atas identitas bersama. Kenyataannya bahwa beberapa sarjana modern telah memperlakukannya dengan baik hanya menambah kekuatan bagi kecenderungan ini.

Penelitian yang terkandung dalam karya ini terutama diinspirasi oleh keterlibatan saya dalam reformasi Sangha bhikkhuni dalam Theravāda. Sementara kita hanya akan memandang sepintas terhadap isu ini di sini, salah satu pertanyaan utama dalam pembangkitan kembali silsilah bhikkhuni dari perspektif Theravādin adalah keabsahan silsilah penahbisan dalam aliran lain. Pandangan Theravādin tradisional akan mengatakan bahwa para bhikkhuni yang ada sekarang adalah “Mahāyāna”. Mahāyāna, diklaim diturunkan dari Mahāsaṅghika, dan Dīpavaṁsa menyatakan bahwa Mahāsaṅghika tidak lain daripada para Vajjiputtaka yang “jahat”, yang menganjurkan penggunaan uang oleh para bhikkhu, dan yang dikalahkan pada Konsili Kedua, tetapi kemudian bereformasi dan membuat pembacaan baru. Oleh sebab itu Mahāyāna adalah perwakilan dari suatu tradisi yang prinsip dasarnya mendorong kelalaian dalam Vinaya. Mereka “bersifat memecah belah” dan tidak mungkin untuk menerima mereka sebagai bagian dari komunitas yang sama.

Tampaknya bagi saya bahwa pandangan ini, yang asalnya diinspirasi oleh Dīpavaṁsa, mendasari posisi yang diambil oleh banyak Theravādin aliran utama saat ini. Saya hendak menunjukkan bagaimana posisi Dīpavaṁsa tidak sesuai dan  jelas tidak masuk akal, dan bahwa lebih masuk akal penggambaran asal mula aliran Buddhis dapat dibentuk dari pembacaan yang simpatik terhadap semua sumber.

Baru-baru ini saya sedang berada dalam suatu pertemuan di mana isu ini dibahas. Seorang bhikkhu Vietnam mengakui silsilahnya berasal dari Vinaya Dharmaguptaka; seorang bhikkhu Tibet mencatat warisannya dari Vinaya Mūlasarvāstivāda; tetapi Theravādin terus-menerus mengatakan seakan-akan mereka semata-mata “Mahāyāna”. Situasi ini, walaupun patut disesali, dapat dipahami karena kebanyakan Theravādin tidak pernah mendengar tentang “Dharmagupta” atau “Mūlasarvāstivāda”. Sekali 17 aliran telah dijauhkan sebagai “yang bersifat memecah belah” dan “duri” oleh Dīpavaṁsa, dan ajaran mereka telah disangkal oleh Kathāvatthu, tidak perlu lagi diberitahukan tentang aliran-aliran lain.

Tetapi kenyataannya bahwa tidak pernah ada secara khusus Vinaya atau silsilah penahbisan “Mahāyāna”. Alih-alih, beberapa bhikkhu dan bhikkhuni, setelah ditahbiskan dalam salah satu silsilah aliran awal, memilih untuk mempelajari dan menjalankan beberapa teks dan cita-cita etis yang dikenal sebagai “Mahāyāna”. Inilah, sejauh yang dapat kita katakan, masalah di India kuno dan ia tetap menjadi masalah saat ini. Saat ini, para bhikkhu dan bhikkhuni dari tradisi Asia Timur mengikuti aliran Dharmaguptaka, sedangkan tradisi Asia Tengah mengikuti Mūlasarvāstivāda. Oleh sebab itu, tidak ada seorang bhikkhu atau bhikkhuni “Mahāyāna” dari sudut pandang Vinaya. Vinaya sendiri diam sepenuhnya atas pertanyaan tentang aliran-aliran. Jika kita berharap untuk memahami hubungan antara Sangha yang masih ada dari berbagai aliran, maka kita harus menyelidiki hubungan antara aliran Buddhisme awal di mana Vinaya dan silsilah penahbisan berasal.

Salah satu cara melakukan hal ini adalah dengan menyelidiki asal mula aliran-aliran yang dipertanyakan. Di sini kita memasuki dunia mitologi yang berputar-putar dan tidak tentu, di mana penafsiran memerintah tak terbatas, dan prasangka sektarian tidak semata-mata diharapkan, tetapi merupakan motivasi yang menggerakan. Dengan pertimbangan sifat yang kontradiksi, tidak lengkap, dan meragukan dari sumber-sumber tertulis, tidak jelas apakah kita dapat mengharapkan untuk menemukan bahkan secercah cahaya redup kebenaran. Tetapi bukti kita yang paling pasti berasal dari kebetulan yang menggembirakan dari kisah sejarah/mistik dan penemuan arkeologis, dan di sinilah kita memulai pencarian kita.

Saya telah menetapkan diri saya kemungkinan tugas yang tidak mungkin dalam upaya mengkomunikasikan gambar yang lebih realistis atas pembentukan aliran-aliran kepada para praktisi Buddhis. Walaupun saya menggunakan metode dan hasil dari kesarjanaan modern, saya tidak berharap untuk berbicara pada seorang pendengar akademik murni. Saya harap terdapat beberapa Buddhis yang bermaksud untuk menghabiskan waktu untuk meneliti sejarah sedikit dengan lebih hati-hati, dan tidak hanya menerima polemik dari aliran mereka berdasarkan persaingan sektarian kuno.

Akan lebih baik jika saya dapat mencerna karya mengagumkan dari para peneliti modern tentang topik ini dan hanya menyajikannya dalam suatu bentuk yang sesuai. Tetapi sayangnya, saya menemukan diri saya sendiri tidak dapat menerima banyak penemuan dari para peneliti modern, lebih banyak daripada saya dapat menerima tradisi aliran-aliran. Kelihatannya bagi saya bahwa kebanyakan karya modern, sementara ia telah menyelesaikan suatu masalah besar, terhambat oleh masalah-masalah yang mengganggu studi Buddhis secara umum: penerimaan yang tidak kritis terhadap bukti tekstual atas penemuan arkeologis; prasangka dalam mendukung salah satu dari tradisi selatan atau utara; kepercayaan pada pembacaan yang tidak tepat atau salah dari karya dan terjemahan sekunder; gagasan yang sederhana atau tidak realistis atas kehidupan beragama secara umum dan kehidupan monastic secara khusus; kurangnya pemahaman atas Vinaya;  membaca kembali situasi yang belakangan ke dalam masa yang lebih awal; dan mungkin yang paling penting, kurangnya penghargaan terhadap mitos, sehinggi informasi “historis” terpisahkan dari konteks mitos yang memberinya makna. Pembaca dapat menilai sendiri sampai tingkat mana saya telah dapat mengatasi masalah-masalah ini.

Terima kasih yang luar biasa kepada Bhikkhuni Samacitta, untuk bantuan beliau dalam terjemahan Mandarin, dan Bhikkhu Santidhammo yang membantu saya memahami sifat perpecahan dan komunitas. Terima kasih juga kepada Bhikkhu Bodhi, yang telah memberikan waktunya untuk membaca karya saya dan memberikan komentarnya. Marcus Bingenheimer, Bhikkhuni Thubten Chodren, Bhikkhuni Chi Kwang Sunim, Bhikkhuni Jampa Tsedron, Terry Waugh, Mark Allon, Rod Bucknell dan banyak lagi yang lainnya telah memberikan umpan balik dan dukungan. Saya juga ingin menyampaikan penghargaan saya kepada banyak donator yang telah mendukung kehidupan kebhikkhuan saya, dengan memberikan kebutuhan-kebutuhan fisik yang memungkinkan terciptanya karya ini: sādhu, sādhu, anumodāmi!

Sepanjang penelitian ini saya telah mendatangi beberapa wilayah yang bermanfaat bagi penelitian, walaupun bersinggungan dengan argumen utama buku ini. Dalam beberapa kasus ini hanya pernyataan teknis, sedangkan yang lain mengkritik beberapa penafsiran khusus dari isu-isu yang berkaitan, dan yang lain lagi merupakan sketsa terhadap studi yang lebih jauh. Esai ini, bersama dengan teks dari buku yang sekarang, dapat ditemukan pada situs jaringan:

http://sectsandsectarianism.googlepages.com
Catatan Kaki:

[1] Ini tanpa mengatakan bahwa klaim Śāriputraparipṛcchā tentang warna jubah dari berbagai aliran tidak seharusnya diartikan secara harfiah.

seniya:
Abstraksi
KONSEP “ALIRAN” yang telah berevolusi dalam pikiran saya seraya saya mengejar karya ini telah memiliki suatu hubungan dengan gagasan sesuatu “yang berbeda sepenuhnya”: sekelompok Sangha yang telah melihat dirinya sendiri karena dalam beberapa pengertian berbeda dari Sangha lainnya, dan yang memandang sistem mereka sendiri sebagai sesuatu yang lengkap, cukup untuk suatu kehidupan spiritual. Ini akan melibatkan suatu tradisi tekstual, pusat ketaatan, silsilah para guru, dukungan institusi, dst. Ketika faktor-faktor ini ada di sana dalam suatu tingkat yang cukup untuk bagian tertentu dari Sangha guna menyetujui bahwa mereka sendiri mengandung sesuatu “yang berbeda sepenuhnya”, kita dapat mengatakannya suatu aliran.

Marilah kita mempertimbangkan bukti utama untuk pembentukan sektarian, dengan membagi sumber kita menjadi dua kelompok, yang sebelum dan yang sesudah Masehi (sekitar 400-500 AN), dan melihat di mana sesuatu yang berbeda sepenuhnya itu dapat diamati. Dalam setiap kelompok saya akan menganggap bukti arkeologis pertama-tama, karena itu dapat dengan jelas ditetapkan waktunya. Masa semua sumber tekstual dapat dipertanyakan, dan kebanyakan darinya mungkin mengangkangi pembagian kita. Namun demikian, saya berusaha memberikan suatu tempat sebaik yang saya bisa.

Periode Awal (Sebelum Masehi)

Di sini sumber utama kita adalah bukti arkeologis dari prasasti Aśoka serta prasasti dan stupa Vedisa, literatur doxografis [menggambarkan pendapat atau filosofis masa sebelumnya] (Kathāvatthu dan Vijñānakāya), dan Komentar Vinaya Sinhala (yang dengan pastinya berhubungan dengan bukti arkeologis dibuktikan memiliki akar dalam periode ini). Kita dapat juga memasukkan legenda Aśoka yang, sementara tidak memiliki kepastian arkeologis yang berbeda demikian seperti Komentar Vinaya, namun sedikitnya mungkin memiliki beberapa asal mula yang sama dalam periode ini.

Prasasti-prasasti Aśoka tidak menyebutkan aliran mana pun atau kejadian perpecahan eksplisit mana pun. Ketika maklumat-maklumat mengatakan Sangha telah “dibuat bersatu”, ini menyatakan bahwa terdapat beberapa konflik, tetapi ini jatuh pada sejenis pengembangan bahwa perpecahan telah terjadi. Dalam semua kasus, bahkan jika telah terjadi perpecahan, maklumat itu memastikan bahwa itu telah diselesaikan. Atau maklumat-maklumat Aśoka tidak menyebutkan ajaran, teks, atau apa pun lainnya yang dapat memberi petunjuk keberadaan aliran-aliran. Faktor utama pembentuk aliran yang sedang bekerja di sini akan berupa penyebaran geografis Sangha, yang akan menjadi kekuatan yang besar dalam evolusi identitas sektarian yang berbeda.

Tulisan pada peti mati yang diambil dari stupa-stupa di Vedisa menyebutkan beberapa faktor pembentuk aliran, seperti para orang suci lokal, institusi lokal, dan nama Hemavata, yang sedikitnya pada beberapa waktu dianggap sebagai nama suatu aliran. Tetapi di sana tidak ada bukti yang jelas dan pasti atas keberadaan suatu aliran. Hemavata mungkin murni istilah geografis di sini. Seperti yang diteliti Cousins, tidak ada bukti jelas atas teks-teks Hemavata yang tertahan, maka status aliran ini meragukan dalam setiap hal. Munculnya identitas lokal merupakan perkembangan alami dari penyebaran geografis di bawah Aśoka, dan kita tidak memiliki bukti bahwa komunitas Vedisa melihat dirinya sendiri berbeda dari komunitas Buddhis lainnya.

Literatur doxografis juga sama membuktikan faktor-faktor pembentuk aliran, khususnya penjelasan atas ajaran-ajaran kontroversial yang mencirikan aliran-aliran tertentu. Tetapi tidak ada pengakuan eksplisit atas keberadaan aliran-aliran, dengan pengecualian tersendiri dari penyebutan Puggalavāda dalam Vijñānakāya.

Komentar Vinaya Sinhala diselesaikan sangat belakangan, tetapi terdapat bukti arkeologis yang pasti yang membuktikan bagian-bagian yang sesuai pasti berasal dari catatan sejarah yang asli. Ini terutama benar dalam kasus Sudassanavinayavibhāsā, yang terbukti dibawa ke Cina dan diterjemahkan dari suatu teks yang lebih tua daripada revisi komentar Buddhaghosa pada abad ke-5 M. Teks ini menguraikan kejadian yang luas dari periode yang dipertanyakan, dan tidak menemukan alasan untuk menyebutkan bahkan sambil lalu keberadaan aliran mana pun.

Hal yang sama dengan Aśokavadāna, Aśokarājasūtra, Divyavadāna, dst menguraikan banyak kisah tentang Aśoka tanpa melibatkan aliran-aliran. Tentu saja karya legenda ini banyak ditambah sepanjang waktu, tetapi jika apa pun tambahan ini memperkuat argumen kita: karena teks-teks ini tak diragukan lagi diselesaikan dalam masa sektarian, pasti ada usaha untuk secara eksplisit menghubungkan Aśoka dengan aliran mereka sendiri. Tetapi ini tidak dilakukan, setidaknya sejauh yang telah saya lihat.

Sebagai kesimpulan pada periode ini, tidak ada bukti yang dengan jelas milik periode ini yang menyebutkan atau menyatakan keberadaan aliran-aliran. Kita hanya menemukan penyebutan berbagai kekuatan yang membawa pada pembentuk aliran, tidak pernah aliran sesungguhnya yang berasal dari kekuatan-kekuatan ini. Ini masih benar bahkan jika kita mengizinkan teks-teks yang sebenarnya diselesaikan belakangan, tetapi mungkin memiliki akar dalam periode ini.

Periode Pertenngahan (Setelah Masehi)

Untuk periode ini sumber utama kita adalah bukti prasasti, berbagai kisah perpecahan, dan literatur śāstra/komentar.
Prasasti-prasasti, yang dimulai di Mathura sekitar tahun 100 M, secara teratur menyebutkan nama-nama aliran.
Śāstra (misalnya Abhidharmakośa, dst) dan komentar-komentar (misalnya Kathāvatthu-aṭṭhakathā, Mahāvibhāṣā, dst) secara teratur menyebutkan aliran-aliran berdasarkan nama, dan membahas ajaran-ajaran mereka. Sumber tekstual bersesuaian dengan sangat baik satu sama lainnya, dan juga dengan prasasti-prasasti.

Kisah perpecahan juga menyebutkan nama-nama yang sama dan kadangkala ajaran yang sama seperti sumber lainnya.
Kisah perpecahanlah yang harus kita bahas secara lebih detail, karena merupakan sumber utama di mana gagasan perpecahan awal berasal. Empat teks utama berhubungan erat dan harus dikembalikan pada asal mula yang sama dalam beberapa aspek. Beberapa daftar lainnya tidak dianggap di sini (seperti Bhavya I dan II) tetapi saya percaya daftar ini tidak akan mengubah masalah secara signifikan. Empat teks utama ini adalah:

•   Śāriputraparipṛcchā (Mahāsaṅghika)
•   Samayabhedoparacanacakra oleh Vasumitra (Sarvāstivāda: ini harus ditafsirkan bersama dengan Mahāvibhāṣā)
•   Dīpavaṁsa (Mahāvihāra/Vibhajjavāda/Sthavira)
•   Bhavya III (Puggalavāda)

Kisah-kisah ini lebih jauh dibagi ke dalam dua pasang berdasarkan masanya. Śāriputraparipṛcchā dan karya Vasumitra lebih awal, dan mungkin berasal dari masa sekitar tahun 200 M. Dīpavaṁsa dan Bhavya III lebih mungkin berasal dari tahun 400 M (walaupun teks Bhavya III masih lebih belakangan, 600 M+).

Śāriputraparipṛcchā, yang adalah kisah perpecahan yang paling awal atau kedua paling awal, berasal dari Mahāsaṅghika. Kisah ini, yang menghubungkan perpecahan pada suatu upaya pada pihak Sthavira untuk mengembangkan Vinaya kuno, memberikan waktu perpecahan sekitar satu abad setelah Aśoka. Seperti yang telah kita lihat, ini adalah catatan yang sangat cocok dengan bukti prasasti, dan dengan semua bukti teksual awal. Teks ini telah diabaikan para sarjana yang telah menyatakan teks tersebut tidak jujur dan secara kronologis membingungkan. Namun, pemeriksaan yang dekat terhadap teks ini tidak mendukung hal ini. Teks ini, tak dapat disangkal, suatu teks yang miskin dan sulit diterjemahkan, tetapi kronologi periode yang dipertanyakan sesuai secara koheren pada keseluruhan naratif. Perpecahan tidak dapat secara acak dimundurkan sebelum masa Aśoka tanpa menghancurkan konteks ini. Sesungguhnya, salah satu tujuan utama naratif adalah untuk mengklaim atas otoritas mitos aliran Mahāsaṅghika terhadap Upagupta, seorang tokoh yang berhubungan erat dengan Aśoka.

Vasumitra menempatkan perpecahan pada masa Aśoka, di mana untuk kronologis pendeknya adalah tahun 100+ AN. Versi ini, yang menghubungkan perpecahan pada suatu perselisihan tentang “lima poin” di Pāṭaliputta, yang berhubungan erat dengan Mahāvibhāṣā dan Bhavya III. Tetapi kita mencatat bahwa, sementara tiga sumber menggambarkan kejadian yang sama, hanya Vasumitra yang menghubungkan ini secara eksplisit dengan Aśoka. Disebabkan perbedaan cara menghitung tahun antara Sang Buddha dan Aśoka, penanggalan ini sangat membingungkan: Vasumitra menempatkan kejadian pada masa Aśoka, di mana teks tersebut mengatakan adalah tahun 100+ AN; Bhavya III menempatkan kejadian yang sama sebelum masa Aśoka, tetapi tahunnya adalah 137 AN. Mahāvibhāṣā tidak memberi nama raja, sehingga tidak menyediakan dukungan terhadap penanggalan tertentu. Sebagai tambahan, kisah, yang adalah suatu serangan yang sangat polemik pada “Mahādeva”, hanya ditemukan pada Mahāvibhāṣā yang lebih besar dan belakangan, yang bertanggal sekurangnya setengah milenium setelah kejadian itu. Dari Mahāvibhāṣā kita dapat melihat bagaimana aliran Sarvāstivāda menggunakan kejadian ini untuk mengembangkan mitos yang berbeda untuk menjelaskan bagaimana mereka dapat berkembang di Kaśmīr. Ini akan menyediakan banyak dorongan bagi Sarvāstivādin untuk menghubungkan perpecahan dengan Aśoka, tanpa memperhatikan fakta historis mana pun.

Dīpavaṁsa disusun sesaat sebelum Buddhaghosa, dan oleh sebab itu sangat belakangan daripada Śāriputraparipṛcchā atau Vasumitra. Bertanggalkan 700 tahun setelah kejadian, inilah teks pertama yang mengklaim bahwa perpecahan terjadi sebelum masa Aśoka, dengan menempatkannya segera setelah Konsili Kedua pada tahun 100 AN. Kisah perpecahan telah disisipkan dari teks bergaya Vasumitra. Namun, sebab perpecahan (penyimpangan teks), waktu, dan tempat (Vesālī) semuanya berbeda sepenuhnya. Teks ini dengan kasar ditambahkan ke dalam suatu penceritaan kembali kisah Konsili-Konsili selain yang dipertahankan dalam Komentar Vinaya Sinhala. Tidak perlu untuk menganggap bahwa konteks asal perpecahan yang ditambahkan menempatkan kejadian itu dalam konteks historis tertentu; sebaliknya, latarnya jelas ganjil. Penanggalan Dīpavaṁsa atas perpecahan segera setelah Konsili Kedua mungkin suatu temuan penulis Dīpavaṁsa sendiri, yang tujuannya untuk membangun mitos eksklusif untuk Mahāvihāra. Kredibilitas sejarah kisah ini mendekati nol.

Akhirnya, seperti Dīpavaṁsa, Bhavya III menempatkan perpecahan sebelum masa Aśoka. Tetapi kejadian-kejadian itu tidak ada hubungannya dengan kisah dalam Dīpavaṁsa. Alih-alih Bhavya III menghubungkan perpecahan dengan “lima poin” seperti halnya Vasumitra, dengan penanggalan yang tidak konsisten seperti yang saya sebutkan di atas. Kurangnya konteks mitos membuat kisah ini sulit untuk dinilai, tetapi tidak untuk meragukannya ditekan untuk melayani guna membenarkan aliran Puggalavāda. Kita mencatat bahwa inilah dua sumber terakhir (Bhavya III dan Dīpavaṁsa) yang menempatkan perpecahan sebelum masa Aśoka. Ini kelihatannya bahwa penanggalan perpecahan perlahan-lahan menjadi lebih awal, suatu ciri alami proses mitos.

Untuk merangkum periode ini, maka, kita memiliki bukti yang konsisten dan jelas atas penanggalan aliran-aliran Buddhis dari periode pertengahan (setelah Masehi). Dalam semua kisah kita tentang Buddhis dari periode ini, keberadaan dan sifat alami aliran-aliran diterima begitu saja dan merupakan suatu unsur yang penting. Persetujuan dari sumber-sumber sejauh sampai nama-nama aliran, antarhubungannya, dan ajaran-ajaran mereka yang berbeda-beda, semua hal dipertimbangkan, adalah sangat mungkin, seperti yang dapat kita harapkan karena hal-hal ini menggambarkan kondisi saat itu. Tetapi kisah-kisah asal mula perpecahan, sudah jauh di masa lampau dari perspektif mereka sendiri, merupakan sekumpulan kontradiksi. Dari ketiga kisah perpecahan yang menyediakan kita dengan informasi yang cukup (Śāriputraparipṛcchā, Vasumitra/Mahāvibhāṣā, Dīpavaṁsa), tidak dapat bantah bahwa fungsi utama dari kisah-kisah tersebut tidak untuk mencatat sejarah tetapi untuk membenarkan aliran sendiri. Saya mempercayai ini menyediakan alasan yang cukup untuk menjelaskan bagaimana aliran-aliran muncul dengan berbagai sistem penanggalan mereka.

Tentu saja, ini tidak membuktikan bahwa penanggalan dalam teks-teks ini semuanya salah. Sangat mungkin dan dalam kenyataannya sangat umum untuk membangun suatu mitologi di luar kejadian sebenarnya. Tetapi dengan mempertimbangkan kontradiksi-kontradiksi yang nyata saya berpikir ini semata-mata yang tidak dibuat-buat untuk menggunakan penanggalan dalam teks-teks ini untuk mencapai kesimpulan sederhana mana pun. Seperti semua mitos, mereka menggambarkan situasi pada masa mereka sendiri (suatu situasi Buddhisme sektarian) dan penanggalan kembali hal tersebut untuk mencari pembenaran kuno.

Membandingkan bukti sebelum Masehi dan sesudah Masehi

Walaupun rumitnya situasi, di mana semua kisah termasuk kisah saya sendiri tak dapat diacuhkan harus menyimpang dengan menyederhanakan, keseluruhan pola sungguh konsisten. Semua bukti dari periode awal (sebelum Masehi) kelihatanya cukup bahagia mengatakan tentang Buddhisme dengan tidak menyebutkan aliran-aliran. Berlawanan sepenuhnya, dalam periode pertengahan (sesudah Masehi) bahan-bahan keberadaan aliran-aliran tak terpisahkan dalam bagaimana Buddhisme dipahami. Bukti tekstual dan arkeologis sangat bersesuaian di sini.

Saya menyimpulkan bahwa berbagai kekuatan yang bersifat memisahkan berkumpul melalui periode awal dan bermanifestasi dalam kemunculan “aliran-aliran “ pada akhir periode awal, seperti yang digambarkan dalam Śāriputraparipṛcchā (dan berbagai karya berbahasa Mandarin dan Tibet). Seraya pertanyaan identitas sektarian menjadi lebih disadari, kisah mitos tentang perpecahan muncul di periode pertengahan.

Mahāvihāravāsin

Untuk menemukan gambaran yang lebih realistis tentang bagaimana aliran-aliran dapat muncul kita akan melihat di tempat lain. Salah satu kisah yang paling lengkap tentang asal mula semua aliran ditemukan dalam Komentar Vinaya Sinhala, yang ada dalam versi Pali Samantapāsādikā, dan penerjemahan bahasa Mandarin Sudassanavinayavibhāsā (T 1462 善見律毘婆沙 Shan-Jian-Lu-Pi-Po-Sha). Komentar Vinaya Sinhala mengisahkan beberapa kejadian yang menentukan yang terjadi pada masa Aśoka. Terdapat konflik di dalam Sangha yang diselesaikan dengan mengeluarkan para bhikkhu yang jahat oleh Aśoka bersama dengan Moggaliputtatissa Thera, yang diikuti dengan “Konsili Ketiga” yang diadakan untuk menetapkan kembali identitas bersama. Setelah itu Moggaliputtatissa mengatur pengiriman “misionaris” ke berbagai bagian India. Tujuan utama kisah ini adalah untuk membangun kepercayaan atas aliran Sinhala.

Saat ini kita menyebut aliran ini “Theravāda”, tetapi nama ini mengundang berbagai bentuk kebingungan. Secara khusus adalah suatu kesalahan mengidentifikasi aliran ini dengan “Sthavira” yang memisahkan diri dari Mahāsaṅghika pada perpecahan pertama. Alih-alih, Mahāvihāravāsin hanyalah satu cabang dari Sthravira yang berkembang di Sri Lanka dengan markas besar mereka di Mahāvihāra di Anuradhapura. Dalam teks-teks mereka sendiri mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai Mahāvihāravāsin (“Yang Mendiami Vihara Besar”) dan saya akan mengambil istilah ini. Harus dicatat bahwa ketika saya menunjuk pada teks-teks dari aliran ini, ini tidak menyatakan bahwa aliran tersebut memang membuat teks-teks tersebut; saya hanya memaksudkan teks-teks tersebut “sebagai yang diterima oleh” atau “yang diturunkan oleh” Mahāvihāra. Dalam beberapa kasus teks-teks ini disahkan oleh aliran tersebut, tetapi banyak darinya dipakai bersama secara umum dengan aliran lainnya, dengan perbedaan tingkat editorial yang berbeda-beda.

Terdapat dua buah bukti prasasti yang utama yang berasal dari periode awal Buddhisme India: maklumat Aśoka dan peninggalan kotak penyimpanan di Vedisa. Menariknya, keduanya memperkuat bukti yang ditemukan dalam Komentar Vinaya Sinhala. Prasasti Vedisa menyebutkan nama-nama beberapa bhikkhu di mana Komentar Vinaya Sinhala mengatakan mereka dikirimkan sebagai misionaris ke Himalaya segera setelah “Konsili Ketiga”. Dan maklumat Aśoka yang disebut juga “maklumat perpecahan” (yang sebenarnya mengatakan bahwa Sangha telah bersatu, tidak terpecah belah!) menyebutkan pengusiran para bhikkhu yang jahat, di mana banyak sarjana mengidentifikasi kejadian ini sebelum “Konsili Kedua”. Kita juga harus mencatat bahwa pengiriman misionaris oleh Moggaliputtatissa sering dibandingkan dengan pengiriman menteri-Dhamma oleh Aśoka; dan bahwa catatan arkeologis Sri Lanka bersesuaian secara umum dengan gambaran misi tersebut. Dua bukti ini, sementara tidak menentukan, menyediakan poin-poin persetujuan antara Komentar Vinaya Sinhala dan catatan arkeologis. Hubungan antara bukti prasasti dan tekstual ini mendorong kita untuk menganggap kisah [pengiriman] misi dalam Komentar Vinaya Sinhala benar-benar sebuah sumber untuk asal mula aliran-aliran.

Kisah [pengiriman] misi menggambarkan bagaimana aliran Sinhala dibangun oleh putra Aśoka Mahinda dan putrinya bhikkhuni Saṅghamittā. Beberapa guru lainnya digambarkan dikirim ke tempat-tempat yang berbeda. Sementara banyak misi ini tidak dapat dikonfirmasi, Frauwallner dan yang lainnya telah menunjukkan bahwa terdapat pola umum hal yang masuk akal dalam kisah ini.

Dalam konteks membangkitkan kembali silsilah bhikkhuni saat ini dalam Theravāda, patut diingat misi Soṇa dan Uttara ke Suvaṇṇabhūmi, yang dipercaya orang Burma menunjuk pada Burma, dan oleh orang Thai menunjuk pada Thailand. Misi ini, yang sampai hari ini membentuk kisah penting tentang identitas diri bagi umat Buddhis di daerah-daerah ini, dikatakan menghasilkan penahbisan 1500 orang wanita. Dengan demikian penahbisan bhikkhuni bersifat intrinsik bagi Buddhisme Asia Tenggara dari awalnya.

seniya:
Dharmaguptaka

Salah satu dari misionaris lainnya adalah Yonaka Dhammarakkhita. Ia adalah, seperti yang ditunjukkan namanya, seorang bhikkhu Yunani, penduduk asli “Alasanda” (Alexandria). Salah seorang tokoh utama dalam kisah [pengiriman] misi, ia menonjol dalam tradisi Pali sebagai seorang ahli kekuatan batin dan ahli Abhidhamma. Ia pergi ke wilayah yang diduduki bangsa Yunani di timur India. Dulu Pryzluski, yang ikuti oleh Frauwallner, menyatakan Dhammarakkhita dapat diidentifikasi dengan pendiri aliran Dharmaguptaka, karena dhammarakkhita dan dhammagutta memiliki makna yang sama. Sejak waktu itu dua potong bukti menjadi titik terang yang membuat pernyataan ini sangat masuk akal. Salah satunya adalah identifikasi positif atas manuskrip yang sangat awal milik Dharmaguptaka di wilayah Gandhāra, tepat di mana kita berharap menemukan Yonaka Dhammarakkhita. Yang kedua adalah penerjemahan fonetik namanya dalam Sudassanavinayavibhāsā (versi Mandarin dari komentar Vinaya Sinhala) dengan jelas menerjemahkan “Dharmagutta” alih-alih “Dhammarakkhita”. Kita juga mencatat beberapa teks yang mengatakan bahwa Dharmaguptaka didirikan oleh seseorang tertentu yang bernama “Moggallāna”. Sementara ini secara tradisional diidentifikasi dengan nama seorang siswa besar, saya pikir lebih masuk akal untuk melihat ini sebagai suatu penunjukan pada Moggaliputtatissa, kepala Konsili Ketiga, yang juga dianggap oleh Mahāvihāravāsin sebagai pendiri aliran mereka. Dengan demikian kita membenarkan untuk melihat Mahāvihāravāsin dan Dharmaguptaka, tidak sebagai kelompok perpecahan yang saling bertempur, tetapi sebagai saudara jauh yang hilang hanya oleh kejadian sejarah dan tirani jarak.

Mūlasarvāstivādin

Berkenaan dengan aliran kita yang ketiga, Mūlasarvāstivādin, sejarahnya jelas suram. Dalam pendapat saya teori yang paling meyakinkan untuk asal mula aliran ini adalah lagi-lagi disediakan oleh Frauwallner, yang berargumen bahwa mereka mulanya berbasis di Mathura. Ini akan menghubungkan aliran ini dekat dengan Arahat terkenal dari Mathura: Śāṇavāsin dan Upagupta. Śāṇavāsin menonjol sebagai Sesepuh dan ahli Vinaya yang dihormati dalam kisah Vinaya tentang Konsili Kedua. Ia dikatakan telah membangun sebuah vihara hutan besar, yang dinamakan Urumuṇḍa dalam sumber [aliran] utara dan Ahogaṅga dalam sumber Pali.

Belakangan, di vihara ini Moggaliputtatissa beristirahat untuk mengasingkan diri. Kekuatan batin Moggaliputtatissa yang berasal dari waktu ia di vihara hutan Śāṇavāsin menentukan dalam meyakinkan Aśoka untuk meyakinkannya dengan tugas memurnikan Saṅgha dan mengatur misi [pengiriman Dhammaduta]. Dengan demikian berkembangnya Mahāvihāravāsin dan Dharmaguptaka berhubungan erat dengan silsilah Śāṇavāsin. Bahkan mungkin bahwa Soṇaka, guru dari pembimbing Moggaliputtatissa, hanya salah pengejaan untuk Śāṇaka (-vāsin), di mana dalam kasus silsilah penahbisan Mahāvihāravāsin secara langsung berasal dari Śāṇavāsin dan tradisi hutan dari Mathura.

Jika teori Frauwallner tentang asal mula aliran Mūlasarvāstivāda dari Mathura yang berbeda ditemukan tidak benar, maka ini dipastikan bahwa kita harus mencari asal mula aliran ini entah bagaimana berhubungan dengan Sarvāstivādin dari Kaśmīr. Aliran ini berasal dari salah satu dari misionaris Aśoka, Majjhantika. Setelah berperan sebagai guru penahbis Mahinda di Pāṭaliputra, ia pergi ke Kaśmir dan mendirikan aliran yang kemudian dikenal sebagai Sarvāstivāda. Kisah ini termasuk menghubungkan Majjhantika dan Mahinda, bersesuaian dengan versi aliran utara (kecuali mereka umumnya menempatkan waktunya lebih awal).

Sebagai kesimpulan, kita menemukan bahwa tidak ada bukti apa pun dari aliran-aliran yang disebabkan oleh “perpecahan” dalam pengertian yang didefinisikan secara sempit yang dibutuhkan oleh Vinaya. Munculnya komunitas monastik Buddhis sebagai “keseluruhan yang berbeda” mungkin terjadi perlahan-lahan setelah periode Aśoka sebagai akibat alami dari penyebaran geografis dan sebagai akibat perbedaan [lainnya]. Kisah-kisah konflik yang kita miliki saat ini lebih baik dibaca sebagai respon mitos pada kejadian-kejadian pada waktu kisah ini ditulis, bukan sebagai sejarah yang sebenarnya.

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

Go to full version