Rekan Sunya, saya berharap anda lebih fair dalam berargumen.
Yang menyatakan bahwa dengan bervegetarian bisa mengikis sifat lobha, adalah anda sendiri.
Pada waktu saya menjelaskan lobha tidak hanya pada kenikmatan lidah, anda mengatakan hanya menggunakan terminologi yang sempit yang berkaitan dengan pokok bahasan.
Jika anda mau menggunakan terminologi lobha, tentunya anda harus menerima makna keseluruhan dari lobha.
Lain halnya kalau anda menyebutkan bahwa dengan bervegetarian, akan bisa mengurangi keterikatan pada kenikmatan rasa daging.
Demikian juga, jika seorang vegetarian membuat gado gado, bukankah dia menambahkan bumbu yang digiling/diulek berupa kacang, bawang, gula, garam dll yang diukur dengan takaran tertentu atau dicicipi agar rasanya pas; ataukah anda membuat gado gado mencampurkan semua bahan tersebut dengan sayuran tanpa menggiling bumbunya terlebih dahulu?
Pada waktu saya menjelaskan mengenai kemelekatan pada pandangan, anda menyatakan itu terlalu jauh; padahal bukankan masih bagian dari lobha.
Atau anda membuat definisi baru dari terminologi lobha?
Sebaliknya anda tidak menganggap pandangan bahwa dengan bervegetarian bisa menyelamatkan bumi masih relevan dengan topik vegetarian.
Tidak heran jika cara anda berargumen mengundang bata beterbangan.
Halo, rekan Mokau.
Saya kurang paham bagaimana cara Anda memahami kalimat. Tapi disana sudah jelas saya tulis dan bahkan Anda kutip:
Begini bukan berarti saya menyatakan bervegetarian itu minim lobha (nafsu/keserakahan). Ini bagi saya sudah jelas bahwa vegetarian pun bisa mengandung
lobha, makan daging pun juga bisa. Bagaimana Anda bisa mengartikannya dengan asosiasi bahwa makan daging berarti
lobha?
Saya menerima makna keseluruhan pada
lobha, jika itu yang mungkin Anda permasalahkan dan masih bingung dengan pendapat saya. Namun pada klarifikasi saya sebelumnya, yang Anda kutip di atas. saya sedang menjelaskan bahwa lobha yang saya maksud adalah
lobha yang terkait dengan lidah. Itu saja, saya kira ini cukup mudah dipahami. Anda menjelaskan
lobha secara umum, dan saya katakan di postingan saya bahwa yang saya soroti adalah
lobha pada lidah (saya pun menerima makna
lobha secara umum).
Masa begitu mau diperpanjang?
Bahas yang substansial saja (inti), jangan berputar di kulit (bahasa).
Tentang gado-gado, jika alasannya mengurangi
lobha dengan meniadakan bumbu (itu yang saya tangkap) maka Anda bisa menulis dengan lebih esensial, bahwa garam, gula, dsb harus dihilangkan untuk mengurangi
lobha sebab di bumbu itu yang dominan adalah rasa yang bisa ditangkap lidah dengan bantuan media udara (lewat nafas). Jika ini poin Anda, bhikkhu pun harus makan dengan tanpa bumbu (garam, gula, terasi, dsb), sebab alasannya mengurangi
lobha?
Bagi saya itu adalah kelucuan.
Ingat Jalan Tengah. Itu saja komentar singkat saya tentang kemelekatan pada bumbu yang Anda tulis di atas.
Bervegetarian adalah salah satu jalan menyelamatkan bumi, dan itu bisa diperdebatkan secara ilmiah dan logis. Saya bukan murni vegetarian, tapi jika dilihat dari presentasi mereka yang berdasarkan data ilmiah dan hasil survey, saya kira kita harus lebih obyektif sedikit dalam menilai, tidak terkungkung pandangan (subyektif) bahwa saya Buddhis Theravada (Theravadin) dan Buddha junjungan saya tidak mengajarkan (menganjurkan) vegetarian. Saya kira ini justru kemelekatan pandangan. Bagaimana menurut Anda?
Bila diskusi mau diperlebar pada kemelekatan pandangan, silakan. Saya ikuti alur saja (selalu begitu dari thread ke thread).
Silakan, jika mau melempar bata lagi juga tidak masalah. Bagi saya ini persoalan tukar pemikiran, bukan sentimentil perasaan dan emosional (usia saya sudah lewat untuk hal seperti itu).
Salam bahagia untuk Anda, dan saya terima juga bata Anda dengan senang hati (bila dilempar). Ingat, saya tetap sayang Anda walau diberi apapun.
Saya sayang semua... semoga semua berbahagia.