Buddhisme dan Kehidupan > Lingkungan

Tega! Ada Orang Tua Buang Bayi di Hutan Sulsel dengan Mulut Dilakban

<< < (2/2)

Sunya:
Terkait apa yang rekan Top1 postingkan:

Kondisi luar: Cacat tubuh (misalnya pincang).

Orang yang melihat: "Orang cacat ini kasihan sekali, sudah nasibnya menjadi orang cacat."

Yang menjalani: Belum tentu menderita, bahkan bisa saja bersyukur, misalnya karena bukan kedua kakinya yang hilang (bisa jadi karena musibah alam, penyakit polio, ataupun perang yang hampir menyebabkan kehilangan kedua kaki).

Jadi dalam kondisi luar (nasib): Bisa saja orang ini disebut bernasib kurang baik. Namun dari segi karma: Yang menjalani yang mengetahui apakah ini kondisi menyenangkan, membuat bersyukur, membuat menderita, dsb.

Sama seperti kondisi bayi yang dibuang: Banyak orang merasa prihatin dan sedih (karma mereka untuk merasakan demikian).

Bayi yang dibuang? Hampir bisa dipastikan 100% setelah dewasa tidak akan mengingat dan bahkan mengetahui nasib masa kecilnya yang begitu (bahkan bisa jadi di masa depan bayi itu jadi presiden, siapa tahu?).

Jadi peristiwa bayi dibuang itu, secara per momen dapat dikatakan kosong dari sifat hakiki. Bagi yang dibuang, ada kesan tertentu. Bagi yang menyaksikan/mendengar/membaca, juga ada kesan dan perasaan tertentu (sesuai karmanya). Maka dari peristiwa itu, tiada sesuatu yang hakiki, semua subyektif dari sudut pandang (setiap) makhluk. :)

 _/\_

Top1:
Sabtu, 02/03/2013 20:23 WIB
Ditinggal Ibu Memasak, Balita 2 Tahun Tewas Tenggelam Dalam Ember
Arvin Dwi Pranoto - detikSurabaya



 
Dini Dwi Hapsari/Arvin DP Ngawi - Ditinggal sang ibu memasak, seorang balita asal Dusun Wareng, Desa Beran, Kecamatan Ngawi, tewas saat bermain air sendirian di kamar mandi. Balita 2 tahun bernama Dini Dwi Hapsari itu tewas tenggelam di sebuah ember.

"Sekitar jam 15.00 WIB cucu saya buang air besar (BAB) di kamar mandi depan dibantu ibunya. Usai BAB, Dini dibiarkan bermain air sedang ibunya memasak di dapur," kata nenek Dini, Suparti (62) kepada detiksurabaya.com, Sabtu (02/03/2013).

Selain WC, kata Suparti, di kamar mandi hanya ada keran air dan ember besar sehingga ibu Dini, Samini (30), tidak berpikiran terjadi kecelakaan trsebut.

Peristiwa ini pertama kali diketahui oleh Suradi (31), ayah Dini. Saat itu Suradi pulang dari bekerja di Bagian Tata Usaha SMA Negeri 2 Ngawi. Begitu masuk rumah, Suradi mencari anak keduanya yang biasanya selalu menyambut kedatangannya usai pulang kerja.

"Sepulang kerja, saya mencari Dini karena biasanya anak itu selalu menyambut saya dengan manja. Istri saya yang sedang memasak memberitahu kalau Dini bermain air di kamar mandi," ucap Suradi sedih.

Suradi kemudian menyuruh anak pertamanya, Dimas, untuk memanggilnya. Saat sampai di kamar mandi, Dimas hanya diam saja sambil menunjuk ke dalam. Karena penasaran, Suradi mendekat ke kamar mandi.

Betapa terkejutnya Suradi saat mendapati Dini sudah terjebur ember dengan posisi kaki di atas sedangkan kepalanya tercelup dalam air.

Saat ditemukan, Dini dalam kondisi pingsan, sehingga Suradi segera melarikannya ke Unit Gawat Darurat RSUD Dokter Sudono Ngawi. Meski sudah menjalani perawatan medis, namun nyawa Dini tak bisa diselamatkan.

“Saat sampai UGD kondisinya sudah lemah. Kami sudah berupaya semaksimal mungkin memberikan pertolongan dengan mengeluarkan air. Tapi sayang, korban tak bisa diselamatkan. Penyebab meninggalnya karena terlalu lama saluran pernafasannya terisi air, sehingga mengganggu fungsinya," kata Tim Medis UGD RSUD Suroto, dr. Indah Pitarti.

Bagaimana dengan berita di atas apakah nasib atau karma?

Indra:

--- Quote from: Sunya on 02 March 2013, 08:42:13 PM ---Ya, setiap makhluk sudah punya jalan kehidupan sesuai dengan karmanya. Bagi yang berpendapat karma bisa diubah, mereka hanya belum mengamati cukup mendalam.

Karma bukan nasib, khawatir ini yang sering dimisinterpretasi. Nasib bisa saja berubah, karma urusannya lebih spesifik dan internal daripada sekedar berubah nasib.  _/\_

--- End quote ---


seseorang di Group FB Dhammacitta menuliskan sbb:

A Jg John Contoh kasus: ada seorg Brahmana "memberitahu" bhw Anak si A akan meninggal dalam waktu dekat, lalu Ortu anak tersbt menghadap ke Buddha, dan Buddha berkata Semoga anda panjang umur kpd Ortu tersbt tapi tidak berkata apa2 kepada si Anak. Dan akhirnyA Buddha "memberitAhu" Anak tersbt memang berumur pendek krn dlm beberapa hari ada Raksasa akan Balas Dendam ke Si Anak tersbut dan Buddha Akhirnya menasehati cara terhindar dr pendek umur tersbt dan Akhir Kate si Anak berhasil terhindar dr pembunuhan si Raksasa dan ganti nama yg artinya "PanjAng Umur".

Saya juga pernah membaca kisah ini, tapi lupa di mana, mungkin Dhammapada Atthakatha, kalau ada yg tau sumber kisah ini, pls bantu saya. tapi dengan asumsi bahwa kisah di atas itu benar, apakah apa yg dialami anak itu adalah karma atau nasib?

Top1:

--- Quote ---DHAMMAPADA VIII : 109

Suatu waktu terdapat dua orang pertapa yang tinggal bersama, mempraktekkan pertapaan yang keras (tapacaranam) selama bertahun-tahun lamanya. Kemudian, satu di antara dua pertapa itu meninggalkan kehidupan bertapa dan menikah. Setelah seorang anak laki-lakinya lahir, keluarga tersebut mengunjungi pertapa tua temannya dan memberi hormat kepadanya.

Kepada kedua orang tua anak itu sang pertapa berkata, "Semoga kalian panjang umur", tetapi dia tidak berkata apa-apa kepada si anak.

Kedua orang tua tersebut bingung dan menanyakan kepada pertapa, apakah alasannya ia tidak berkata apa-apa kepada anak itu. Sang pertapa berkata kepada mereka bahwa anak tersebut hanya akan hidup tujuh hari lagi dan ia tidak tahu bagaimana untuk mencegah kematiannya, tetapi Buddha Gotama mungkin tahu bagaimana cara mencegahnya.

Kemudian orang tua tersebut membawa anaknya menghadap Sang Buddha; ketika mereka memberi hormat kepada Sang Buddha, Beliau juga berkata "Semoga kalian panjang umur" hanya kepada kedua orang tua itu dan tidak kepada anaknya.

Sang Buddha juga memperkirakan kematian akan datang pada anak itu. Untuk mencegah kematiannya, Sang Buddha berkata kepada orang tua itu agar mereka membangun pavilliun di depan pintu masuk rumahnya dan meletakkan anak tersebut pada dipan di dalam pavilliun. Kemudian beberapa bhikkhu diundang ke sana untuk membaca paritta selama tujuh hari. Pada hari ketujuh Sang Buddha sendiri datang ke pavilliun itu. Para dewa dari seluruh alam semesta juga datang. Pada waktu itu raksasa Avaruddhaka berada di pintu masuk, menunggu kesempatan untuk membawa anak itu pergi. Tetapi kedatangan para dewa menyebabkan raksasa tersebut hanya dapat menunggu di suatu tempat yang jauhnya 2 yojana dari anak tersebut. Sepanjang malam, pembacaan paritta dilaksanakan tanpa henti, sehingga melindungi anak tersebut. Hari berikutnya, anak tersebut diambil dari dipan dan melakukan penghormatan kepada Sang Buddha.

Pada kesempatan itu, Sang Buddha berkata "Semoga kamu panjang umur" kepada anak tersebut. Ketika ditanya berapa lama anak tersebut akan hidup, Sang Buddha menjawab bahwa ia akan hidup selama seratus dua puluh tahun. Kemudian anak itu diberi nama Ayuvaddhana.

Ketika anak tersebut remaja, ia pergi berkeliling negeri dengan disertai lima ratus orang pengikut. Suatu hari, mereka datang ke Vihara Jetavana, para bhikkhu mengenalinya, dan bertanya kepada Sang Buddha:

"Dengan melaksanakan apa seseorang bisa berumur panjang?"

Sang Buddha menjawab, "Dengan menghormati dan menghargai yang lebih tua, yang memiliki kebijaksanaan serta kesucian, niscaya seseorang akan memperoleh tidak hanya umur panjang, tetapi juga keindahan, kebahagiaan, dan kekuatan".
--- End quote ---

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 109 berikut:

Ia yang selalu menghormati dan menghargai orang yang lebih tua,
kelak akan memperoleh empat hal, yaitu:
umur panjang, kecantikan, kebahagiaan, dan kekuatan.

7tumuber:
Untung anak itu bisa bertahan, kalau pelakunya sudah ketemu lebih baik dilakban seumur hidup dengan daya rekat super, agar pelaku merasakan penderitaan yang sama.

Navigation

[0] Message Index

[*] Previous page

Go to full version