Dalam catatan Kaki Digha Nikaya 16 Mahaparinibbana Sutta, Maurice Walshe menuliskan:
Saya memilih ungkapan yang membingungkan ini untuk menerjemahkan istilah yang kontroversial ini sūkara-maddava (sūkara = ‘babi’, maddava = ‘lunak, lembut, halus, juga hancur’). Karena itu, dapat berarti ‘bagian lembut dari babi’ atau ‘apa yang disukai babi’ (cf. Catatan 46 dalam LDB). Apa yang pasti adalah para komentator masa lalu tidak dapat memastikan apa artinya. DA memberikan tiga kemungkinan: 1. Daging babi liar, yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua, yang diperoleh tanpa dibunuh, 2. Nasi yang dimasak lunak dengan ‘lima produk sapi’, atau 3. Sejenis zat untuk mempertahankan kehidupan (rasāyana). Para penerjemah modern dimulai dari RD dan seterusnya mengartikan sejenis jamur sebagai penjelasan yang masuk akal, dan beberapa bukti untuk ini telah dikemukakan. Trevor Ling, dalam n.31 dalam revisi atas terjemahan RD atas Sutta ini (The Buddha’s Philosophy of Man) (Everyman’s Library, London 1981, p. 218), mengatakan: ‘Penjelasan ini sepertinya dimaksudkan untuk tidak menyinggung para pembaca vegetarian. Pernyataan Rhys Davids bahwa umat Buddha “pada umumnya adalah vegetarian, dan semakin bertambah”, adalah sulit diterima.’ Meskipun sepertinya (dan kenyataannya para umat Buddha Theravada timur jarang yang vegetarian, walaupun sekarang banyak yang vegetarian, itu adalah karena pengaruh barat!) pertanyaan seputar Vegetarian sering muncul dalam Buddhisme. Posisi Theravāda dikemukakan dalam Jīvaka Sutta (MN 55), yang mana Sang Buddha mengatakan kepada Jīvaka bahwa para bhikkhu tidak boleh memakan daging dari binatang yang mereka lihat, dengar, atau curigai khusus dibunuh untuk mereka. Sang Buddha menolak usulan Devadatta yang melarang memakan daging sama sekali bagi para bhikkhu. Hidup dari persembahan makanan di pedesaan India pada masa itu, mereka akan mempermalukan mereka yang mempersembahkan makanan, atau kelaparan jika mereka menolak segala jenis daging. Di barat khususnya, pertanyaan juga muncul sehubungan apakah Sangha tidak mendidik umat awam agar mempersembahkan hanya makanan vegetarian. Banyak umat Buddha di barat (dan bukan hanya umat Mahāyāna) dalam kenyataannya adalah vegetarian. Dalam banyak aliran Buddhis Mahāyāna, vegetarianisme adalah peraturan, dan beberapa penulis melibatkan diri dalam polemik menentang aliran Theravāda dalam hal ini. Hal ini, apa pun yang dikatakan, tidak selalu beralasan belas kasihan. Shinran Shonin, pendiri aliran Shin di Jepang, menghapuskan keharusan vegetarianisme bersama dengan hidup selibat karena ia menganggap ini adalah suatu bentuk praktik penebusan.