wow...
sori, ini TS baru bisa nongol...
baru saya tinggalin beberapa hari, udah banyak post yang bertebaran nih...
banyak yang OOT juga hmmmmmm
but, tengkiu para senior mau memberikan tanggapan.
saya jadi bingung menjawab 1 per 1
hakikatnya menurut rangkuman saya dari banyak komentar yang ada, bahwa tradisi ini cukup layak di pertahankan.
anggap lah tiada bermanfaat bagi menjalankan dhamma dan seperti beberapa post tidak akan membawa kita pada pembebasan, tapi adalah perbuatan bijak untuk melestarikan budaya dan tradisi turun temurun nenek moyang.
lagian logikanya gini, saat kita mempunyai seorang anak. apa lagi anak pertama, berjuta rasanya lhoooo...
terus terang rasa cemas dalam perlindungan pada anak menjadi point yang cukup penting disini.
awalnya jika anak rewel ato bahkan sakit hal tersebut akan membuat orang tua menjadi panik, saya tidak tau yang lain tapi saya panik.
dalam kepanikan mungkin saja saya akan memutuskan mengambil tindakan terburu2 tanpa mempertimbangkan efek lanjutannya. nah dengan adanya tradisi ini ternyata cukup bermanfaat juga membuat saya tenang. dan dapat berpikir rasional. saya jadi mempunyai waktu untuk menganalisa secara kritis atas kondisi anak.
rewel, kenapa ya?
cek popok, basah gak?
cek bedong, terlalu ketat gak?
cek tali pusar, apa terluka?
cek suhu tubuh bayi, apa panas? sakitkah?
cek asupan susu, apa sudah pas? (kadang susu formula yang salah penyajian akan membuat perut bayi tidak nyaman)
cek suhu ruangan, terlalu dingin kah? terlalu panas kah?
cek kondisi psikologi bayi, rewel karena merasa tidak aman kah? (bayi cendrung merasa tidak aman, takut, dan gelisah makanya tangan bayi akan selalu terkepal. kehadiran orang tua dengan sentuhan, suara, dan rasa kasih sayang akan membuat bayi nyaman dan aman - CMIIW)
dan lainnya....
nah dengan tenang saya bisa mempelajari kondisi bayi saya, kenapa?
karena saya merasa nyaman, tidak dibebani rasa takut dan bersalah dan gelisah karena tidak mengamalkan saran orang tua.
tidak secara signifikan, namun cukup membantu.
intinya rasa nyaman telah melakukan sesuatu kewajiban yang lazim, yang berefek pada ketenangan hati.
disebut kewajiban, ya karena disini melakukan Pai Cheng Bu dalam pandangan masyarakat luas (masy tionghoa, tentunya) sudah merupakan hal yang wajib hukumnya. seorang ayah, ibu atau para elder sudah secara turun temurun dibebankan kewajiban ini. jika tidak melaksanakan akan dianggap lalai terhadap anak.
ini serius lhoooo... (yang tentu merupakan pandangan masyarakat disini)
begitu menurut saya.
Jika itu sudah menjadi keputusan anda, Sdr. Rico, maka tidak ada yang bisa menahannya. Namun anda pun perlu berusaha bisa menerima resiko / dampak apapun yang akan muncul, apakah baik maupun buruk. Dengan mau menerima resiko (terutama yang buruk) dari apa yang ia lakukan, maka seseorang telah meredam sebuah penderitaan hidupnya.
Saya juga memahami pengalaman Sdr. Rico dengan masalah anak, namun sepemahaman saya itu hanyalah masalah psikologi semata, dimana sebenarnya ada cara lain dimana kita bisa menjadi lebih tenang dalam menghadapi masalah anak. Cara Buddhis-nya adalah bermeditasi.
Terakhir, bagi saya pribadi, saya tidak akan melestarikan suatu tradisi yang nantinya justru memberikan warisan berupa rasa cemas dan takut bagi generasi saya berikutnya. Mungkin terdengar tidak bijak karena tidak melestarikan budaya dan tradisi nenek-moyang, tapi saya lebih memikirkan pembentukan mental yang lebih baik pada generasi berikut yang bebas dari rasa cemas dan takut tak berdasar agar nantinya dapat melihat, memahami sesuatu dengan jernih. Jadi, jika saya harus menjalankan tradisi tersebut, maka biarkanlah saya yang menjalaninya sebagai yang terakhir.
evam