Untuk "pengetahuan" paticca samuppada, IMO juga tidak diperlukan.
Di dalam kesadaran vipassana, paling-paling paticca-samuppada disadari/dilihat dalam rumusannya yang paling sederhana, sekalipun di sini masih tercampur pikiran & ingatan akan pengetahuan yang pernah dipelajari di masa lampau:
"Imasmi.m sati, ida.m hoti.
Imass’ uppaadaa, ida.m uppajjati.
Imasmi.m asati, ida.m na hoti.
Imassa nirodhaa, idha.m nirujjhati."
"Bila ini ada, itu ada,
Dengan munculnya ini, muncul pula itu,
Bila ini tidak ada, itu tidak ada,
Dengan lenyapnya ini, lenyap pula itu."
Tidak pernah paticca-samuppada terlihat sebagai 12 nidana dalam kesadaran vipassana yang kuat; kalau muncul ingatan 12 nidana, itu cuma pengetahuan yang malah membuat pemeditasi vipassana tidak 'melihat apa adanya', itu cuma pengetahuan "Agama Buddha" -- berarti pikiran sudah beroperasi lagi tanpa disadari. Demikianlah pengetahuan agama Buddha malah sering kali menjadi penghambat orang 'melihat apa adanya' dalam praktik vipassana oleh seorang Buddhis, seperti juga ajaran agama lain bisa muncul sebagai penghambat bagi pemeditasi yang beragama lain.
Kali ini Anda betul 100%. Paticca-samuppada itu eksklusif ajaran Agama Buddha ... Sayangnya, karena pembebasan itu bersifat universal, maka paticca-samuppada-- maupun ajaran-ajaran eksklusif lain dari agama apa saja--sama sekali tidak relevan bagi tercapainya pembebasan.
Termasuk agama Buddha juga Pak Hud?
Jadi kalau eksklusif maka tidak relevan bagi pembebasan. Padahal dari semua agama dan ajaran hanya Buddhisme yang mengajarkan pembebasan (nibbana).
atau definisi pembebasannya berbeda pak?
Ya, dalam kesadaran vipassana tidak ada pikiran "ini agamaku". ...
Tentang 'nibbana', pembebasan adalah suatu
pengalaman batin yang terletak di luar pikiran. ... Oleh karena itu,
tidak ada deskripsi atau label apa pun yang universal bagi pembebasan. ... Dalam agama Buddha pembebasan itu disebut
'nibbana'. ... Dalam Hinduisme disebut
'moksha'. ... Dalam agama-agama monoteistik disebut
'penyatuan dengan Tuhan', sekalipun istilah ini masih bersifat dualistik, karena masih ada
'aku' yang bersatu dengan
'Tuhan'; di atas 'penyatuan dengan Tuhan', masih ada tingkat kesadaran tertinggi, di mana
'aku' dan 'Tuhan' runtuh bersama-sama. -- Baca pengalaman Bernadette Roberts tentang pengalamannya dalam bukunya
"The Experience of No-Self" -- terjemahan buku itu, 150 halaman, sudah saya jadikan e-book yang bisa Anda download dari
www.box.net:
"Buku Kehidupan - J Krishnamurti.zip" -
http://www.box.net/shared/0b6p7vb9c4"Pengalaman Tanpa Diri - Bernadette Roberts.pdf" -
http://www.box.net/shared/mw7o9fpwc4"Duduk Diam dengan Batin yang Hening.zip" -
http://www.box.net/shared/ws2o0g7i8wMenurut hemat saya, Bernadette Roberts dan J. Krishnamurti adalah orang-orang yang telah tercerahkan di luar Buddha-sasana.
*****
Apakah benang merah yang menghubungkan 'nibbana' Buddhis, 'moksha' Hindu, "runtuhnya aku dan Tuhan" Bernadette Roberts, dan 'lenyapnya aku' dari Krishnamurti? ... Benang merahnya adalah
'tidak adanya aku lagi' ... 'aku' yang dalam batin puthujjana selalu
merasa menjadi pusat (center) dari eksistensinya, sementara orang-orang lain menjadi obyek-obyek di sekeliling dirinya, 'aku' yang selalu berpikir
"ini milikku, ini aku, ini diri/atta-ku" (eta.m mama, eso hamasmi, eso me atta 'ti). ... Dengan lenyapnya 'aku' itu, maka orang yang tercerahkan,
di dalam atau di luar Buddha-sasana, tidak pernah berpikir lagi seperti itu, melainkan
"ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diri/atta-ku" (n'eta.m mama, n'eso hamasmi, n'eso me atta 'ti). Salam,
hudoyo