Pandangan bahwa hidup adalah penderitaanHidup adalah bagian dari hal terkondisi juga, berarti tetap bisa disebut penderitaan seharusnya, bukan?
Pasti, ini adalah interpretasi terburu-buru dari Kebenaran Mulia Pertama, yaitu Kebenaran Mulia tentang Penderitaan*.
Kata "hidup" dalam ungkapan itu adalah biang keroknya. Kata itu begitu luas sehingga bisa diterjemahkan secara salah bahwa Buddhisme tidak mengakui adanya perasaan menyenangkan dan kebahagiaan (duniawi dan adi-duniawi).
Akhirnya, orang yang tidak setuju - mungkin juga karena tidak mau jadi orang pesimis - mengatakan bahwa hidup adalah kebahagiaan. Ini juga tidak tepat. Definisi bahwa hidup=kebahagiaan, artinya dia mengabaikan penderitaan yg sbenarnya memang ada dan merupakan konsekuensi dari hidup maupun konsekuensi dari kekotoran batin.
Intinya, hidup tidak identik dengan penderitaan, juga tidak identik dengan kebahagiaan. Dan ungkapan bahwa hidup = penderitaan, adalah interpretasi yang kurang tepat untuk Kebenaran Mulia Pertama dalam Buddhisme.
Bentar ya, ada yang ketinggalan..
*Catatan kaki untuk Kebenaran Mulia Pertama, dari postingan saya sebelumnya.
"Dan, para bhikkhu, apakah Kebenaran Mulia Penderitaan? Kelahiran adalah penderitaan; usia tua adalah penderitaan; kematian adalah penderitaan; dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan dan kesusahan adalah penderitaan. Berkumpul dengan yang tidak dicintai, berpisah dari yang dicintai, tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan. Singkatnya, lima gugus kemelekatan adalah penderitaan."
uraian lengkapnya, bisa baca di sini:
dhammacitta.org/dcpedia/DN_22:_Mahasatipatthana_Sutta
Bentar ya, ada yang ketinggalan..
*Catatan kaki untuk Kebenaran Mulia Pertama, dari postingan saya sebelumnya.
"Dan, para bhikkhu, apakah Kebenaran Mulia Penderitaan? Kelahiran adalah penderitaan; usia tua adalah penderitaan; kematian adalah penderitaan; dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan dan kesusahan adalah penderitaan. Berkumpul dengan yang tidak dicintai, berpisah dari yang dicintai, tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan. Singkatnya, lima gugus kemelekatan adalah penderitaan."
uraian lengkapnya, bisa baca di sini:
dhammacitta.org/dcpedia/DN_22:_Mahasatipatthana_Sutta
penderitaan itu adalah terjemahan harafiah dari kata "dukkha", dan dalam konteks dukkha, hidup memang penderitaan, sesuai formula, "sabbe sankhara dukkha."
Hidup adalah bagian dari hal terkondisi juga, berarti tetap bisa disebut penderitaan seharusnya, bukan?
Menurut pandangan umum, kata 'penderitaan' adalah sekadar perasaan, yaitu perasaan-tidak-menyenangkan.OK, jadi baiknya istilahnya diganti bagaimana? "Hidup adalah ?" atau "? adalah penderitaan"? Lalu penjelasannya seharusnya bagaimana?
Jadi, pernyataan bahwa "hidup adalah penderitaan", bisa dengan mudah disalahpahami.
Intinya, "hidup adalah penderitaan", disalah kira, berasal dari "hidup = domanassa vedana" bukan "hidup = dukkha".
Note: domanassa vedana = perasaan tidak menyenangkan.
Menurut pandangan umum, kata 'penderitaan' adalah sekadar perasaan, yaitu perasaan-tidak-menyenangkan.
Jadi, pernyataan bahwa "hidup adalah penderitaan", bisa dengan mudah disalahpahami.
Intinya, "hidup adalah penderitaan", disalah kira, berasal dari "hidup = domanassa vedana" bukan "hidup = dukkha".
Note: domanassa vedana = perasaan tidak menyenangkan.
lalu apa yg harus dilakukan sehubungan dengan pandangan keliru ini? bagaimana solusinya? atau apakah thread ini sekedar daftar pandangan keliru?
OK, jadi baiknya istilahnya diganti bagaimana? "Hidup adalah ?" atau "? adalah penderitaan"? Lalu penjelasannya seharusnya bagaimana?
Imho, jangan gunakan slogan ambigu itu. Dan tidak perlu cari penggantinya.
Intinya, tidak perlu slogan.
Imho, jangan gunakan slogan ambigu itu. Dan tidak perlu cari penggantinya.
Intinya, tidak perlu slogan.
[at] indra: tidak tau. Yang jelas, itu dianggap slogan ciri khas Buddhism.
Menurut pandangan umum, kata 'penderitaan' adalah sekadar perasaan, yaitu perasaan-tidak-menyenangkan.menurut saya justru slogannya udah bagus kok, "hidup adalah dukkha"
Jadi, pernyataan bahwa "hidup adalah penderitaan", bisa dengan mudah disalahpahami.
Intinya, "hidup adalah penderitaan", disalah kira, berasal dari "hidup = domanassa vedana" bukan "hidup = dukkha".
Note: domanassa vedana = perasaan tidak menyenangkan.
Saya ingat buku pelajaran sejarah saya waktu SMP/SMA, dalam ulasan sejarah perabadan sungai Gangga di India dibahas tentang munculnya ajaran Buddha. Dikatakan ajaran utama Buddha adalah Empat Kesunyataan Mulia, yaitu:
1. Hidup adalah penderitaan.
2. Sebab penderitaan adalah keinginan/nafsu.
3. Untuk lepas dari penderitaan adalah mencapai Nirwana.
4. Jalan lepas dari penderitaan adalah 8 Jalan Utama.
Buku pelajaran tahun 1990an rata2 isinya seperti ini kalo membahas ajaran Buddha. Entah la kalo buku pelajaran yang sekarang, apakah sudah revisi atau belum.....
untung saya gak belajar Agama Buddha waktu sekolah
Saya ingat buku pelajaran sejarah saya waktu SMP/SMA, dalam ulasan sejarah perabadan sungai Gangga di India dibahas tentang munculnya ajaran Buddha. Dikatakan ajaran utama Buddha adalah Empat Kesunyataan Mulia, yaitu:
1. Hidup adalah penderitaan.
2. Sebab penderitaan adalah keinginan/nafsu.
3. Untuk lepas dari penderitaan adalah mencapai Nirwana.
4. Jalan lepas dari penderitaan adalah 8 Jalan Utama.
Buku pelajaran tahun 1990an rata2 isinya seperti ini kalo membahas ajaran Buddha. Entah la kalo buku pelajaran yang sekarang, apakah sudah revisi atau belum.....
Memang bukan buku pelajaran agama Buddha kok:
mrk bahkan gak tau bedanya Buddhism dan Hinduism, jadi apa yg bisa diharapkan dari mrk?
so pandangan umum yang keliru tentang Buddhisme yang pertama yaitu "Hidup Adalah Dukkha" ternyata bukan pandangan umum yang keliru?
Benar juga, namun setidaknya diperbaiki sedikit tentang Empat Kebenaran Mulia sehingga definisinya sesuai dengan kotbah pertama Sang Buddha.
Kalo "hidup" dimaknai sebagai lahir, tua, sakit, dan mati, maka ini tidak menyalahi definisi Kebenaran Mulia tentang Dukkha spt dlm kotbah pertama Sang Buddha.
tentu..
ingat Sabbe Sankhara Dukkha, seperti yang telah disinggung di post sebelumnya, apakah hidup bukan Shankara?
Tentu saja Hidup bukan Shankara, melainkan Sankhara 8)
so pandangan umum yang keliru tentang Buddhisme yang pertama yaitu "Hidup Adalah Dukkha" ternyata bukan pandangan umum yang keliru?nggak salah kalo bilang hidup adalah dukkha...
Okee.. Thanks semua atas tanggapannya.Masa' sudah tutup? Baru kasus pertama.
Saya tetap merasa tidak setuju dengan slogan itu. Alasannya, sama seperti postingan awal saya.
Bagi yang masih mau pakai, silakan. Tapi jangan lupa dijelaskan pengertian 'hidup' dan 'penderitaan'.
Sebagai penutup, ada yang bisa copy paste, samyutta nikaya 22:59 ? Dari khanda vagga (samyutta nikaya, buku ke 3).
Saya online pake hp, jadi repot. Bagi yang mau copas, posting dulu kalau mau copas biar tidak dobel (overlap). Lalu tolong tulisannya dirapikan. Tapi kalau tidak ada, nanti saya yang copas kalau sudah bisa online pake komputer.
Okee.. Thanks semua atas tanggapannya.
Saya tetap merasa tidak setuju dengan slogan itu. Alasannya, sama seperti postingan awal saya.
Bagi yang masih mau pakai, silakan. Tapi jangan lupa dijelaskan pengertian 'hidup' dan 'penderitaan'.
Sebagai penutup, ada yang bisa copy paste, samyutta nikaya 22:59 ? Dari khanda vagga (samyutta nikaya, buku ke 3).
Saya online pake hp, jadi repot. Bagi yang mau copas, posting dulu kalau mau copas biar tidak dobel. Tapi kalau tidak ada, nanti saya yang copas kalau sudah bisa online pake komputer.
Kata "hidup" dalam ungkapan itu adalah biang keroknya. Kata itu begitu luas sehingga bisa diterjemahkan secara salah bahwa Buddhisme tidak mengakui adanya perasaan menyenangkan dan kebahagiaan (duniawi dan adi-duniawi).bukan di kata "hidup"nya mungkin ya suhu, tapi luasnya definisi dukkha yang tidak ada padanan langsung yang sesuai, di bahasa indo atau inggris.
Masa' sudah tutup? Baru kasus pertama.
Ini adalah pendapat saya. Silakan dikoreksi, ditambahkan, atau didiskusikan.
Saya akan menambahkannya satu demi satu, tidak sekaligus.
belum tutup larrr..
so yang sabar ya nunggunya ;D
[at] allthingmustpass: benar, tadi di pertengahan diskusi, saya juga berpikir hal yang sama. Yaitu tidak ada kata yang tepat untuk dukkha..
[at] kk: tutup untuk kasus pertama. Masih ada kasus-kasus lainnya.. (tidak pasti kapan postingnya)
[...]Berarti tepat juga yah dikatakan ajaran buddha cocok untuk orang pesimis yang putus asa.
Makanya dikatakan bahwa ajaranBuddha sulit untuk menembus orang yang hidupnya terlalu banyak senangnya.
[at] sl99, adi lim, hemayanti: bingung juga kata apa yang tepat, silakan gunakan apa yang menurut kalian benar :) Saya hanya menyampaikan kesalahpahaman yang mungkin terjadi dari pernyataan 'hidup adalah penderitaan'.
[at] melody: "arti hidup" maksudmu adalah "definisi hidup" kan?
Definisi dalam Buddhism, saya tidak tau.
Kalau menurut saya sendiri, hidup adalah segala sesuatu yang dialami oleh si empunya hidup.
Tapi tujuan mencapai Nibbana agar tidak terlahir kembali lagi..., Kalau hidup bukan penderitaan knp kita harus berjuang agar tidak terlahir kembali lagi?
kesimpulan dari diskusi sebelumnya:
salah atau benarnya pernyataan "hidup adalah penderitaan", tergantung kepada pengetahuan orang yang menanggapi pernyataan itu.
Intinya, pernyataan itu tidak salah, tapi bisa disalahpahami oleh orang yang tidak tahu-menahu tentang dukkha, apalagi sankhara.
Permisi ikut nimbrung.
Pandangan tersebut bisa menjadi kekelirupandangan mungkin karena efek dari mencomot satu point (point pertama saja) dari rangkaian Empat Kesunyataan Mulia.
Menurut saya, point pertama adalah sebagai "pancingan" untuk masuk ke point berikutnya sehingga brubah menjadi hidup adalah bahagia (kebahagiaan sejati) (point terakhir, merealisasi nibbana)
Makanya dikatakan bahwa ajaranBuddha sulit untuk menembus orang yang hidupnya terlalu banyak senangnya.
Berarti tepat juga yah dikatakan ajaran buddha cocok untuk orang pesimis yang putus asa.
Tapi bagaimana orang optimis yang hidupnya merasa senang dan bahagia bisa cocok dengan "hidup itu dukkha"?
Kenyataannya tidak begitu juga.
Ajaran Buddha cocok juga untuk orang yang optimis dan realitis.
Sulit menembus bukan berarti tidak cocok.
Tapi bagaimana orang optimis yang hidupnya merasa senang dan bahagia bisa cocok dengan "hidup itu dukkha"?
kurang tepat. Kok Dhamma yang kudu aktif menembus?
Seharusnya orangnya yang aktif berusaha, terlepas dari senang atau susah hidupnya. Kalau dari pernyataanmu, orang yang hidupnya senang, berarti ga ada harapan, ga bisa berusaha? :D
Yang tepat begini: Dhamma sulit ditembus oleh orang yang mengikuti arus duniawi. Dhamma dapat ditembus oleh orang yang melawan arus duniawi.
berikut kutipan dari Majjhima Nikaya, sutta 26 (Ariyapariyesana Sutta - Pencarian Mulia)
"Mereka yang tenggelam dalam nafsu, terselimuti dalam kegelapan, tidak akan pernah melihat Dhamma yang mendalam ini, yang melawan arus duniawi (patisotagami), halus, dalam, dan sulit dilihat."
__________
Nah, tapi ada orang yang melawan arus duniawi. Ia disebut Patisotagami Puggala.
Definisi Patisotagami Puggala, ada di Anguttara Nikaya, Anusotasutta.
"O, para bhikkhu, apa yang disebut dengan manusia yang melawan arus duniawi? Ia adalah orang yang tidak mengejar kesenangan indria, tidak melakukan kejahatan, dan ia adalah orang yang mempraktikkan kehidupan suci secara sempurna dan murni, meskipun harus disertai oleh linang air mata, sakit, dan penderitaan."
Orang yang optimis tentu juga ada mengalami kesedihan dan masalah dalam hidupnya, hanya orang tersebut tidak terlarut-larut dalam masalah negatif yang dialaminya.
Justru Empat Kesunyataan Mulia itu ajaran yang juga cocok untuk orang optimis, karena memungkinkan untuk dicapainya kebahagiaan (nibbana) setelah berhasil mengatasi hambatan-hambatan dan pnderitaan.
Bukan itu maksud dari "sulit ditembus Dharma". Bisa dikatakan hubungan timbal balik antara orang dan Dharmanya.
"Sulit" bukan berarti tidak ada harapan. Karena mungkin saja orang tersebut juga mengalami masa sedih atau netral, kecuali orang tersebut terus menerus bersenang-senang tanpa henti, saya agak pesimis orang tersebut mau mencari ajaran Buddha dalam hal ini Empat Kesunyataan Mulia yang sedang kita bahas.
Pernyataan saya bahwa "orang yang hidupnya banyak senangnya" bukan berarti hidupnya penuh total kesenangan seumur hidupnya.
Dharma dalam konteks apa yang ditembus oleh orang yang melawan arus duniawi?
Apakah kita termasuk orang yang melawan arus duniawi atau mengikuti arus duniawi?
Apakah kita sudah dapat memahami Dharma?
bagaimana pula dengan para dewa yg dikatakan tidak pernah bersedih, setiap hari kerjanya hanya menikmati kenikmatan2 surgawi? apakah "hidup adalah dukkha" bagi mereka?Buddhisme tidak cocok untuk orang bahagia, para deva dan brahma yang tidak merasakan kebahagiaan. Paling cocok untuk penghuni avici, setan kelaparan, binatang, dan manusia yang banyak menderita, karena bisa langsung melihat hidup adalah penderitaan.
Dikatakan bahwa Alam manusia adalah alam yang paling cocok untuk diajarkan Dharma karena tidak terlalu banyak penderitaan dibandingkan alam di bawahnya (binatang, setan, atau neraka), dan tidak terlalu banyak kesenangan seperti alam di atasnya (alam dewa atau brahma).
Penderitaan dan kesenangan bersifat relatif. Dalam suatu kejadian banjir, bisa dilihat sebagai musibah oleh sebagian orang tapi bisa dilirik sebagai lahan untuk mengais rejeki oleh orang tertentu.
Jadi tidak mengagetkan kalau point pertama dari Empat Kesunyataan Mulia ini bisa dipandang keliru oleh orang tertentu. Karena tidak ada ajaran yang bersifat benar secara universal (dalam arti dipahami, dibenarkan atau disetujui semua orang secara sekaligus).
Saya sendiri juga masih mendalami arti dan berusaha untuk dapat mengehipassikokan ajaran tersebut.
Semoga topik kali ini bisa membuat saya/kita mengalaminya lebih jelas.
Meluruskan pandangan sendiri saja sudah sangat sulit menurut saya apalagi untuk meluruskan pandangan orang umum.IMO, peran terbesar penyebaran kesalahan pandangan umum terhadap Buddhisme adalah dari umat Buddha sendiri.
Buddhisme tidak cocok untuk orang bahagia, para deva dan brahma yang tidak merasakan kebahagiaan. Paling cocok untuk penghuni avici, setan kelaparan, binatang, dan manusia yang banyak menderita, karena bisa langsung melihat hidup adalah penderitaan.
Salah tulis, seharusnya para deva yang tidak merasakan penderitaan.
Para deva tidak merasakan kebahagiaan? Penderitaan maksudnya? Para Deva apa bisa mengingat kehidupan sebelumnya? Bagaimana cara mereka mengenal Dhamma, apakah ada kitab suci di sana?
Misalnya ada pendapat: "mie ayam enak", karena enak dan tidak enak sifatnya relatif, berarti kebenaran "mie ayam" itu juga relatif.Enak dan tidak enak sendiri pun masih bersifat relatif.
Demikian juga kalau penderitaan itu relatif, berarti kebenaran buddha-dhamma sifatnya relatif juga donk?Kebenaran (absolut) tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata maupun dipikirkan karena akan jatuh pada kebenaran duniawi yang bersifat relatif (berkondisi).
Bagaimana penjelasannya?
IMO, peran terbesar penyebaran kesalahan pandangan umum terhadap Buddhisme adalah dari umat Buddha sendiri.Kurang tahu juga kalau masalah ini. makanya dikatakan, pada saat Sang Buddha mencapai Penerangan Sempurna, Beliau sempat memutuskan untuk tidak membabarkan AjaranNya. mungkin ini salah satu pertimbanganNya, manusia banyak yang belum berkompeten untuk menjangkau DharmaNya.
Point pertama dari Empat Kebenaran Arya jika tidak diakui atau disetujui, maka akan sulit untuk melangkah ke tiga point berikutnya.
Btj, saya mau tanya. Apakah menurutmu, segala sesuatu yang terkondisi adalah tidak kekal?Tidak kekal bisa dilihat dari :
[at] all: saya baru aja kepikiran satu cara untuk btj. Dan saya penasaran. Ahaha.. Coba kasih saya kesempatan diskusi berdua dulu sama btj ;D
Oke, berarti segala sesuatu yang terkondisi tidak kekal. Lalu, jawab 3 pertanyaan berikut dengan jawaban 'ya' atau 'tidak'.
1. Jika ada yang tidak setuju dengan fakta tsb, lantas apakah sesuatu yang tidak kekal menjadi kekal?
2. Apakah orang yang hidupnya susah, bisa melihat ketidakkekalan?
3. Apakah orang yang hidupnya senang, bisa melihat ketidakkekalan?
Brb, ntar malem baru online lagi, ada urusan.
Btj, berikan contoh, bahwa ketidakkekalan bisa bersifat relatif.
Kembali ke topik,
Ketika suatu Kebenaran Mutlak/Hakiki diterjemahkan atau diungkapkan ke dalam kata-kata, maka Kebenaran tersebut akan jatuh pada konsep belaka sehingga hukum yang menyatakan bahwa "hidup adalah dukkha" dapat diinterpretasikan bervariasi oleh orang banyak.
Kembali ke topik,
Ketika suatu Kebenaran Mutlak/Hakiki diterjemahkan atau diungkapkan ke dalam kata-kata, maka Kebenaran tersebut akan jatuh pada konsep belaka sehingga hukum yang menyatakan bahwa "hidup adalah dukkha" dapat diinterpretasikan bervariasi oleh orang banyak.
Enak dan tidak enak sendiri pun masih bersifat relatif.Ya, tepat sekali. Berarti Buddha mengajarkan ajaran seperti memberi komentar enaknya mie ayam yang relatif, bukan? Kadang orang bilang tidak enak, kadang sungguh tidak enak, kadang lezat, kadang terlalu asin, dsb.
Konsep enak dan tidak enak tiap orang adalah berbeda-beda.
Ada enak biasa, lumayan atau enak bangat (lezat), dll.
Kebenaran (absolut) tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata maupun dipikirkan karena akan jatuh pada kebenaran duniawi yang bersifat relatif (berkondisi).Sekali lagi, ajaran dari Buddha seperti iklan mie ayam enak, ada yang salah tafsir, ada yang mengabaikan, ada yang setuju, ada yang tidak setuju. Namun dalam komunitas penggemar mie ayam, yang setuju mie ayam enak akan dianggap memahami kebenaran, menafsirkan dengan benar.
Misalnya ketika kita mengatakan bahwa "hidup adalah dukkha" (perasaan derita, senang, atau netral) maka kata-kata tersebut bisa disalahtafsirkan, tidak ditanggapi atau bisa juga disetujui, oleh orang lain.
Namun ketika orang tersebut mengalami langsung kondisi hidup yang berubah-ubah sehingga timbul perasaan takut, senang, tidak bahagia, dll maka konsep kebenaran tentang "hidup adalah dukkha" menjadi tidak relevan lagi atau tidak nyambung karena dia telah mengalami sendiri.Masih sekali lagi, ajaran Buddha seperti mie ayam, sampai orang mengalami sendiri kondisi kelaparan hampir mati dan dapat mie ayam, baru bisa merasakan luar biasa enaknya mie ayam. Tapi kalau orang kenyang diberi mie ayam, akan terasa enek.
Makanya dikatakan pengalaman adalah guru terbaik atau anjuran yang cukup tenar adalah datang dan buktikan sendiri (coba sendiri).
Kurang tahu juga kalau masalah ini. makanya dikatakan, pada saat Sang Buddha mencapai Penerangan Sempurna, Beliau sempat memutuskan untuk tidak membabarkan AjaranNya. mungkin ini salah satu pertimbanganNya, manusia banyak yang belum berkompeten untuk menjangkau DharmaNya.Iya, itu hanya pendapat saja.
OK.
[at] all: saya baru aja kepikiran satu cara untuk btj. Dan saya penasaran. Ahaha.. Coba kasih saya kesempatan diskusi berdua dulu sama btj ;D
Contohnya api.
Kita ambil sebatang korek api dan menyalakannya. setelah kayu korek apinya habis terbakar maka apinya ikut padam.
Tapi kapanpun kita mau, asalkan sebab dan kondisinya memungkinkan maka kita dapat membuat api menyala lagi.
Apakah api bersifat kekal atau tidak kekal?
di kalangan sendiri aja tidak bisa dibendung apalagi membendung umat tetangga
Bahkan ketika Sang Buddha menyatakan Empat Kebenaran Mulia pertama kali kepada lima pertapa, beliau juga memakai kata-kata, toh para pertapa tsb dapat memahaminya dengan baik.
Api bisa padam saat bahan bakarnya habis.
Km bisa menyusun kondisi agar api hidup kembali, jika km mampu (punya sumber daya-nya). Lalu api nyala kembali. Tapi kondisi berubah lagi, bahan bakar habis lagi.
Kamu bangun lagi kondisi agar api menyala lagi.. Lalu lama-lama padam lagi.. Km nyalakan lagi, padam lagi.. dst.. dst..
Dari ilustrasi di atas, kamu melihat api sebagai sesuatu yang konstan, atau api itu berubah-ubah sesuai kondisi?
Api bisa padam saat bahan bakarnya habis.
Km bisa menyusun kondisi agar api hidup kembali, jika km mampu (punya sumber daya-nya). Lalu api nyala kembali. Tapi kondisi berubah lagi, bahan bakar habis lagi.
Kamu bangun lagi kondisi agar api menyala lagi.. Lalu lama-lama padam lagi.. Km nyalakan lagi, padam lagi.. dst.. dst..
Dari ilustrasi di atas, kamu melihat api sebagai sesuatu yang konstan, atau api itu berubah-ubah sesuai kondisi?
Jadi sifat api tersebut, sejatinya adalah tidak dapat dikatakan konstan ataupun berubah-ubah.
Jika dikatakan konstan lalu kenapa bisa padam atau bisa nyala?
Dikatakan berubah-ubah, toh api selalu ada (melingkupi kita), api tidak pernah benar-benar padam atau menyala terus menerus.
[...]
saya tidak bilang bahwa 'api berubah-ubah' artinya api tidak bisa dinyalakan lagi.Oke.
Tapi fakta bahwa api berubah (makin membara, makin mengecil, mati, atau nyala) itu tergantung pada bahan bakarnya.Tergantung bahan bakar, oksigen dan faktor lainnya.
Kamu setuju atau tidak?
kurang tepat. Kok Dhamma yang kudu aktif menembus?^:)^ ^:)^ ^:)^
Seharusnya orangnya yang aktif berusaha, terlepas dari senang atau susah hidupnya. Kalau dari pernyataanmu, orang yang hidupnya senang, berarti ga ada harapan, ga bisa berusaha? :D
Yang tepat begini: Dhamma sulit ditembus oleh orang yang mengikuti arus duniawi. Dhamma dapat ditembus oleh orang yang melawan arus duniawi.
berikut kutipan dari Majjhima Nikaya, sutta 26 (Ariyapariyesana Sutta - Pencarian Mulia)
"Mereka yang tenggelam dalam nafsu, terselimuti dalam kegelapan, tidak akan pernah melihat Dhamma yang mendalam ini, yang melawan arus duniawi (patisotagami), halus, dalam, dan sulit dilihat."
__________
Nah, tapi ada orang yang melawan arus duniawi. Ia disebut Patisotagami Puggala.
Definisi Patisotagami Puggala, ada di Anguttara Nikaya, Anusotasutta.
"O, para bhikkhu, apa yang disebut dengan manusia yang melawan arus duniawi? Ia adalah orang yang tidak mengejar kesenangan indria, tidak melakukan kejahatan, dan ia adalah orang yang mempraktikkan kehidupan suci secara sempurna dan murni, meskipun harus disertai oleh linang air mata, sakit, dan penderitaan."
[at] shasika: thanks ya.. Ini sy kasih +1 balik.. ;DMakasih sis atas lemparan baliknya, saya sangat menghormati beliau dan saya menaruh harapan pada beliau.
^ ^ ^ sip. Untuk sementara cukup dulu.. Kalau km masih mau diskusi, minggu depan kita lanjut lagi.. :)
Oke.
Tergantung bahan bakar, oksigen dan faktor lainnya.
Secara umum saya setuju dengan anda.
kalau begitu, "keadaan api yang berubah-ubah tergantung pada kondisi bahan bakarnya (termasuk oksigen dan faktor bahan bakar lainnya)", adalah sesuatu yang mutlak atau relatif?
^ ^ ^
jadi, bagaimana "keadaan api yang berubah-ubah tergantung pada kondisi bahan bakarnya (termasuk oksigen dan faktor bahan bakar lainnya)", adalah sesuatu yang relatif, dalam konteks non-duniawi?
^ ^ ^
masih mau diskusi ga, bro? Seperti tidak semangat?
Kalau masih, berikan contoh dari ke-relatif-an dalam konteks non-duniawi.
Tp kalau sudah tidak mau diskusi, kita akhiri saja.. :)
annica, tidak kekal dan akan berubah....
bagaimana dgn LOGAM MULIA ?
Logam mulia seperti emas juga suatu waktu akan berubah (tapi perubahan nya lebih laaammmmaa misalnya dari besi yang mudah teroksidasi).
Jika arti anicca adalah perubahan karena kondisi berarti anicca tidak berlaku untuk sesuatu yang tidak berkondisi dong?
Berarti hukum anicca sendiri adalah tidak mutlak?
Gimana? Apa coba anda berikan penjelasan arti anicca yang lebih detil biar saya lebih nyambung.
Ato mungkin konteks yang kita bahas berbeda?
Sori lagi sibuk tadi.
Apakah ada sesuatu yang tidak berkondisi? maksudnya sesuatu yang berada di luar bentuk, perasaan, persepsi, bentukan2 kehendak, dan kesadaran?
benar..
Anicca adalah perubahan pada segala sesuatu yang berkondisi (berubah-ubah sesuai kondisi), yaitu bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, kesadaran.
Jadi, Anicca adalah mutlak. Kamu menganggapnya tidak mutlak, karena kamu salah mendefinisikan anicca (definisimu = sesuatu yang berkondisi dan yang tanpa kondisi).Maksud saya jika anicca artinya perubahan pada segala sesuatu yang BERKONDISI maka berarti perubahan pada segala sesuatu yang berkondisi tersebut sifatnya tidak mutlak donk jika ada sesuatu yang tidak berkondisi? dengan kata lain ada sesuatu yang luput dari perubahan?
Sori juga bro.. saya tidak bermaksud untuk mendesak, atau mengganggu kesibukan. Tapi hanya menilai dari jawaban yang terasa seperti 'setengah-setengah'. Oke, untuk selanjutnya, take your time.. :)Oke berarti "sori"nya tidak tepat sasaran, saya salah nangkap, sori.
Apakah ada sesuatu yang tidak berkondisi? maksudnya sesuatu yang berada di luar bentuk, perasaan, persepsi, bentukan2 kehendak, dan kesadaran?
Misalnya nibbana?
Maksud saya jika anicca artinya perubahan pada segala sesuatu yang BERKONDISI maka berarti perubahan pada segala sesuatu yang berkondisi tersebut sifatnya tidak mutlak donk jika ada sesuatu yang tidak berkondisi? dengan kata lain ada sesuatu yang luput dari perubahan?
Nibbana adalah tanpa kondisi.Apakah ini contoh (walaupun belum saya buktikan sendiri) ketidakmutlakan dari hukum anicca?
Kalau begini, bagaimana bro (sori sebelumnya kalau contohnya kurang sopan. Saya tidak menemukan contoh lain):Tidak apa-apa (bagi saya). karena saya sendiri membawanya setiap saat dimanapun juga.
"p*nis adalah sesuatu yang dimiliki laki-laki sejak (saat) ia dilahirkan."Lebih tepatnya mgk sejak berada di dalam kandungan (sejak ditemukannya metode deteksi urat nadi atau USG mungkin?)
Menurutmu ini mutlak atau relatif?
^ ^ ^
Oke kalau begitu pertanyaannya begini:
"p*nis adalah sesuatu yang dimiliki laki-laki sehat dan normal sejak (saat) ia dilahirkan."
sehat dan normal = tidak ada kelainan seperti yang km maksudkan.
Dari sudut pandang duniawi ini adalah mutlak.
Dari sudut pandang duniawi ini adalah mutlak.
Jika arti anicca adalah perubahan karena kondisi berarti anicca tidak berlaku untuk sesuatu yang tidak berkondisi dong?
Berarti hukum anicca sendiri adalah tidak mutlak?
Gimana? Apa coba anda berikan penjelasan arti anicca yang lebih detil biar saya lebih nyambung.
Ato mungkin konteks yang kita bahas berbeda?
[at] btj: diskusi ini terlalu berkepanjangan.
Intinya, Anicca adalah kebenaran mutlak, di mana ruang lingkup anicca adalah "sesuatu yang berkondisi".
Km tidak bisa mengatakan bahwa anicca relatif karena tidak melingkupi "sesuatu yang tanpa kondisi". Kenapa? karena "sesuatu yang tanpa kondisi" adalah VARIABEL YANG TIDAK RELEVAN bagi anicca.
sama seperti p*enis adalah sesuatu yang mutlak bagi laki-laki sehat/normal. Lalu kamu mengatakan, relatif kok, buktinya wanita tidak punya p*nis.
See? "wanita" adalah variabel yang tidak relevan bagi p*nis, sama halnya "sesuatu yang tanpa kondisi"adalah tidak relevan dengan anicca.
______
Anicca = berubah-ubahnya sesuatu yang berkondisi.
ya jelaslah, kalau ruang lingkup anicca adalah sesuatu yang berkondisi. Kok km malah bilang, relatif kok buktinya anicca tidak melingkupi yang tanpa kondisi.
itu kan lucu jadinya..
______
Kalau km masih tidak setuju, diskusi kita cukup berakhir sampai di sini.. karena sepertinya berkepanjangan, entah sampai kapan...
Anicca adalah salah satu dari Trilaksana, yaitu tiga corak/karakter eksistensi.
Sang Buddha, sepengetahuan saya, tidak pernah mengatakan bahwa segala sesuatu adalah anicca, tapi mengatakan bahwa segala yang terbentuk dari perpaduan/berkondisi (sankhara) adalah anicca (sabbe sankhara anicca). Jadi pertanyaan anda salah, tidak ada jawaban untuk pertanyaan yang salah.
contoh sudut pandangan non duniawi ?
[...]
Saya setuju bahwa anicca adalah hukum yang mutlak bagi segala yang berkondisi karena pengertian anicca itu sendiri adalah segala yang berkondisi adalah tidak kekal.
[...]
Kebenaran (absolut) tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata maupun dipikirkan karena akan jatuh pada kebenaran duniawi yang bersifat relatif (berkondisi).
[...]
Kekal atau tidaknya sesuatu hanya sebuah konsep. saya tidak tahu persis arti dari anicca karena kadang suatu bahasa tidak dapat mewakili atau mengartikan persis dari : bahasa lain (apalagi tentang Dharma) atau Kebenaran itu sendiri.[...]
Anicca adalah salah satu dari Trilaksana, yaitu tiga corak/karakter eksistensi.
Sang Buddha, sepengetahuan saya, tidak pernah mengatakan bahwa segala sesuatu adalah anicca, tapi mengatakan bahwa segala yang terbentuk dari perpaduan/berkondisi (sankhara) adalah anicca (sabbe sankhara anicca). Jadi pertanyaan anda salah, tidak ada jawaban untuk pertanyaan yang salah.
Oke, kesimpulannya segala yang berkondisi adalah tidak kekal (anicca).
Tapi saya penasaran atau tertarik juga dengan pernyataan Mas Kelana ini lho.
Apakah ada sesuatu yang tidak berkondisi alias tidak terkena hukum anicca?
tapi topik ini ditunda saja dulu tunggu topik "hidup adalah penderitaan" kelar dulu. biar rapi.
Kalau tidak salah, topik anicca ini muncul kan gara-gara topik dukkha ya?
Atau saya "ketinggalan kereta", topik dukkhanya sudah dapat titik temunya?
Kalau sudah, lalu bagaimana caranya meluruskan pandangan bahwa "hidup adalah penderitaan", point pertama dari Empat Kebenaran Ariya?
Dibantu yaaa
Ini kita berdansa lagi namanya...
Di postingan sebelumnya, kita kan sudah bahas bahwa Nibbana adalah tidak terkondisi (tidak berubah-ubah sesuai kondisi, tidak terkena hukum Anicca, tidak relevan dengan Anicca).. kenapa kamu menanyakan hal ini lagi?
Maksudnya Kelana, kamu salah. Awalnya kamu bilang bahwa ruang lingkup Anicca adalah sesuatu yang berkondisi DAN sesuatu yang tanpa kondisi (oleh karena itu, bagimu, Anicca bisa relatif. Berlaku untuk yang satu, dan tidak berlaku untuk yang lain).
Padahal seharusnya, yang benar, ruang lingkup Anicca adalah segala sesuatu yang berkondisi saja. Dari Definisinya sudah terlihat: Sabbe Sankhara Anicca (Sankhara artinya segala sesuatu yang berkondisi). Jadi, Anicca = Mutlak.
Sampai di sini, setuju?
justru saya mau tuntaskan dulu tentang Anicca. Seseorang tidak bisa memahami dukkha, kalau belum memahami Anicca.Jadi karena sifat ketidakkekalannya segala sesuatu yang berkondisi (sabbe sankhara anicca) maka timbullah dukkha (segala yang berkondisi adalah tidak memuaskan ( sabbe sankhara dukkha)?
Oke oke. setuju. clear udah.
Jadi karena sifat ketidakkekalannya segala sesuatu yang berkondisi (sabbe sankhara anicca) maka timbullah dukkha (segala yang berkondisi adalah tidak memuaskan ( sabbe sankhara dukkha)?
Apa ada penjelasan lain lagi?
serius, sudah ngerti?
intinya, kebenaran hukum Anicca itu tidak-relatif. Dan ada kebenaran yang bisa dijelaskan dalam kata-kata.
Pertama-tama, singkirkan dulu pengertian salah bahwa Dukkha adalah PERASAAN tidak menyenangkan. Karena tidak sesempit itu arti Dukkha.
---
Nah, sejauh yang saya pahami, perubahan-perubahan ini, baik di luar maupun di dalam diri saya, yang tidak bisa dikendalikan sesuka saya dan berubah-ubah sesuai kondisi, inilah Dukkha.
Api adalah salah satu contoh hal-hal di luar diri saya.
Jasmani, perasaan, dan pikiran adalah contoh hal-hal di dalam diri saya.
Ada tanggapan?
^ ^ ^
[at] btj: coba berandai-andai, seandainya km bisa mengendalikan jasmanimu sehingga tidak akan jatuh sakit, selalu sehat, tidak menjadi tua, selalu kuat.
Apa kamu mau punya kendali seperti itu? Nanti kalau sudah bosan, kamu bisa kendalikan agar menua dan mati juga. Intinya kamu bebas, apa yang kamu suka, itu yang terjadi. Mau?
^ ^ ^
Bagaimana dengan perasaan? apa kamu juga mau, seandainya bisa mengendalikan agar perasaan yang muncul SELALU menyenangkan?
Bagaimana dengan pikiran? apa kamu juga mau, seandainya bisa mengendalikan pikiranmu? misalnya, kamu bisa kendalikan untuk SELALU bebas dari kebencian, atau kamu bisa atur agar pikiran SELALU terkonsentrasi, tidak kacau, dan tidak berhamburan?
Mau?
^ ^ ^
Iya, sama. Kita semua menginginkan hal itu, tapi kenyataannya, itu tidak terjadi. Yang terjadi adalah:
- Kita tidak bisa mengaturnya sesuai keinginan, agar selalu menyenangkan.
- Ia berubah-ubah. Kadang menyenangkan, kadang tidak. Dan semua itu tergantung kondisinya, bukan tergantung keinginan/perintah kita.
Sejauh yang saya pahami, keadaaninilah yang disebutini adalah Dukkha.
[at] btj: menurutmu, apakah perasaan-menyenangkan, juga adalah dukkha? alasannya?
Intinya semua yang berkondisi adalah dukkha.
Perasaan menyenangkan timbul dari kondisi sebelumnya, berlangsung selama kondisi/sebab itu ada, dan lenyap setelah kondisi itu tiada/berakhir.
Jadi perasaan menyenangkan juga adalah dukkha.
klo menurutku...memang hidup berkondisi, tp tidak berarti semua kehidupan merupakan dukkha ( definisi Dukkha di SN), di SN juga ada 3 jenis kebahagiaan... kebagiaan yg pertama krn terpuaskan napsu indria, ke 2 krn pencapaian jhana, ke 3 adalah krn merealisasikan nibanna, ke 3 jenis ini dpt di peroleh saat masih hidup, jd kebanyakan term hidup adalah penderitaan..di pake oleh org2 yg menganggap dlm kehidupan tidak ada yg namanya kebahagian yg bisa di peroleh, dan sepertinya salah kaprah, jika kehidupan memang sepenuhnya menderita...tentu banyak yg bosan terhadapnya..tp kenyataannya tidak demikian..jutru krn adanya kebahagiaan indria yg semu maka org merindukannya, jd kupikir ga tepat hidup adalah penderitaan dlm konteks ini, tp hidup adalah tidak stabil berubah, dan tidak stabil, berubah itu menghasilkan penderitaan ya..ini tepat..penderitaannya terjadi pada saat perubahannya terlihat..
Enak dan tidak enak sendiri pun masih bersifat relatif.
Konsep enak dan tidak enak tiap orang adalah berbeda-beda.
Ada enak biasa, lumayan atau enak bangat (lezat), dll.
[...]
[...]
Penderitaan dan kesenangan bersifat relatif. Dalam suatu kejadian banjir, bisa dilihat sebagai musibah oleh sebagian orang tapi bisa dilirik sebagai lahan untuk mengais rejeki oleh orang tertentu.
Jadi tidak mengagetkan kalau point pertama dari Empat Kesunyataan Mulia ini bisa dipandang keliru oleh orang tertentu.
Karena tidak ada ajaran yang bersifat benar secara universal (dalam arti dipahami, dibenarkan atau disetujui semua orang secara sekaligus).
Pandangan bahwa hidup adalah penderitaan
Pasti, ini adalah interpretasi terburu-buru dari Kebenaran Mulia Pertama, yaitu Kebenaran Mulia tentang Penderitaan*.
Kata "hidup" dalam ungkapan itu adalah biang keroknya. Kata itu begitu luas sehingga bisa diterjemahkan secara salah bahwa Buddhisme tidak mengakui adanya perasaan menyenangkan dan kebahagiaan (duniawi dan adi-duniawi).
Akhirnya, orang yang tidak setuju - mungkin juga karena tidak mau jadi orang pesimis - mengatakan bahwa hidup adalah kebahagiaan. Ini juga tidak tepat. Definisi bahwa hidup=kebahagiaan, artinya dia mengabaikan penderitaan yg sbenarnya memang ada dan merupakan konsekuensi dari hidup maupun konsekuensi dari kekotoran batin.
Intinya, hidup tidak identik dengan penderitaan, juga tidak identik dengan kebahagiaan. Dan ungkapan bahwa hidup = penderitaan, adalah interpretasi yang kurang tepat untuk Kebenaran Mulia Pertama dalam Buddhisme.
Up... up... up...Perbedaannya gini:
Pandangan umum dalam Buddhisme bahwa Buddha bukan juru selamat karena Beliau hanyalah penunjuk jalan, dst. Ini menyebabkan pandangan keliru bahwa Buddha hanyalah guru biasa, tidak bisa menolong/membantu kita. Nah, dalam Mahayana dikatakan bahwa sesungguhnya Buddha itu penyelamat/penolong bagi semua makhluk; hanya karena Beliau tidak menyatakan diri sebagai penyelamat bukan berarti Beliau tidak menolong kita (karena melalui Dhamma yang diajarkan itu, kita dapat mencapai pembebasan dari samsara, inilah keselamatan dalam Buddhisme).
Ibarat seorang dokter yang menyembuhkan pasiennya, sang pasien merasa sang dokter adalah penyelamat hidupnya dan berterima kasih kepadanya, tetapi sang dokter yang rendah hati itu hanya mengatakan: "Bukan aku yang menyelamatkan hidup kamu, tetapi karena kamu mengikuti anjuran dokter, meminum obat secara teratur, dan menjalankan pola hidup sehat, maka kamu bisa sembuh dengan total." Dokter itu adalah Buddha dan pasien tak lain adalah para makhluk yang tertolong karena Dhamma Beliau. Maka tidak ada salahnya menganggap Buddha sebagai penolong semua makhluk melalui Dhamma yang diajarkan-Nya karena tanpa kemunculan Buddha di dunia ini, bagaimana kita bisa mengetahui jalan menuju pembebasan dari samsara, inilah jasa besar sang dokter.
Bagaimana menurut pendapat teman-teman sekalian mengenai pandangan bahwa Buddha adalah (bukan) juru selamat ini?
Perbedaannya gini:
-Dalam agama lain, tanpa juru selamat, manusia akan binasa. Karena ada juru selamat, manusia bisa memperoleh keselamatan. Maka tidak ada keselamatan di luar juru selamat tersebut.
-Dalam Buddhisme, apakah Buddha muncul atau tidak, dhamma begitu adanya. Orang bisa saja mencapai kesucian tanpa bantuan seorang Buddha selama mampu menghilangkan lobha, dosa, dan moha. Jadi di sini Buddha hanyalah penunjuk jalan dan tidak punya kuasa menyelamatkan/meng-arahant-kan orang lain.
Iya benar, namun tanpa Buddha sebagai penunjuk jalan, lebih sulit kita mengetahui ada jalan tersebut. Sudah ditunjukkan saja, belum tentu mau mengikuti secara benar, apalagi tanpa petunjuk.Kalau dari konteks sulit atau mudah, saya pikir akan subjektif. Bagi seorang Bakal-Pacceka-Buddha, misalnya, ketiadaan penunjuk jalan bukanlah halangan, sementara bagi Bakal-Savaka, seorang penunjuk jalan adalah hal yang mutlak bagi pencapaiannya.
Jadi, secara tidak langsung penunjuk jalan itulah penolong kita, bukan karena Buddha sumber keselamatan, tetapi karena Buddha muncul demi kebahagiaan dan kesejahteraan semua makhluk melalui Dhamma yang ditunjukkan-Nya.Sepertinya memang definisi "menolong" itu yang harus disamakan dulu. Kalau dari pengalaman saya pribadi, kebanyakan maksud dari umat lain adalah Buddhis percaya kamma, tapi Buddha sendiri tidak bisa mengubahnya. Jadi jika kita telah melakukan kesalahan, lewat juru-selamat bisa diubah nasibnya, namun lewat Buddha, tetap saja tidak terhindar dari buah kammanya.
dhammadinna:
kalau boleh suggest topik...
* Nibbana >< Nihilism / Eternalism
Dengan kebodohan sebagai kondisi, bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, kesadaran [muncul]; dengan kesadaran sebagai kondisi, nama-dan-bentuk [muncul]; dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, enam landasan indria [muncul]; dengan enam landasan indria sebagai kondisi, kontak [muncul]; dengan kontak sebagai kondisi, perasaan [muncul]; dengan perasaan sebagai kondisi, keinginan [muncul]; dengan keinginan sebagai kondisi, kemelekatan [muncul]; dengan kemelekatan sebagai kondisi, penjelmaan [muncul]; dengan penjelmaan sebagai kondisi, kelahiran [muncul]; dengan kelahiran sebagai kondisi, penuaan dan kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan muncul.
Samyutta Nikaya (http://dhammacitta.org/perpustakaan/samyutta-nikaya-khotbah-khotbah-berkelompok-sang-buddha/) 12:15 (Buku 2, Nidana Vagga)
dhammadinna:
kalau boleh suggest topik...
* Nibbana >< Nihilism / Eternalism
* Kamma - Vipaka >< Balas dendam / Hukuman / Bayar Hutang
Kalau dari konteks sulit atau mudah, saya pikir akan subjektif. Bagi seorang Bakal-Pacceka-Buddha, misalnya, ketiadaan penunjuk jalan bukanlah halangan, sementara bagi Bakal-Savaka, seorang penunjuk jalan adalah hal yang mutlak bagi pencapaiannya.
Sepertinya memang definisi "menolong" itu yang harus disamakan dulu. Kalau dari pengalaman saya pribadi, kebanyakan maksud dari umat lain adalah Buddhis percaya kamma, tapi Buddha sendiri tidak bisa mengubahnya. Jadi jika kita telah melakukan kesalahan, lewat juru-selamat bisa diubah nasibnya, namun lewat Buddha, tetap saja tidak terhindar dari buah kammanya.
Selain itu, dalam hal keselamatan, ibaratnya di agama lain untuk mencapai pantai seberang ada sosok yang memberi tumpangan kapal asalkan kita mau terima tawarannya maka akan sampai ke seberang; sementara Buddha sendiri hanya bisa sebatas mengajarkan kita membuat rakit dan berusaha sendiri mencapai pantai seberang.
bro menyan, pertanyaannya bisa diperpanjang? ;D
kalau yang sering keliru sih biasanya antara kamma >< vipaka ya.. Ada yang lain lagi?
atau pandangan tentang kamma itu sendiri? yaitu kamma menurut sutta versus sumber lain (non-sutta)? tapi lumayan luas cakupannya... (saya sendiri tidak terlalu menguasai, cuma tau garis besarnya saja).