//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - Forte

Pages: 1 ... 1080 1081 1082 1083 1084 1085 1086 [1087] 1088
16291
Bantuan Teknis, kritik dan saran. / Re: Warung Chinese
« on: 08 July 2007, 05:25:26 PM »
Ok.. Yang penting intinya belajar bahasa :)
Tidak ada menyinggung soal ras koq :)

16292
Keluarga & Teman / Re: toko di ITC roxy mas
« on: 08 July 2007, 05:09:39 PM »
Heheheh.. Jangan2 Sdr. Hansen ngeri pula.. :P

16293
Bantuan Teknis, kritik dan saran. / Re: Warung Chinese
« on: 08 July 2007, 05:05:07 PM »
Sama2.. Saya pikir tidak ada ruginya belajar bahasa Chinese. Kan juga merupakan bahasa internasional..

16294
Perkenalan / Re: Selamat datang
« on: 08 July 2007, 04:26:10 PM »
 [at]  Bro Tula
Hahaha.. Bro Tula terlalu merendah..
Btw.. munculin donk gambar sapinya.. :D
Request Member nih.. :p

 

16295
Bantuan Teknis, kritik dan saran. / Warung Chinese
« on: 08 July 2007, 04:23:34 PM »
Namo Buddhaya Sdr. Admin

Sudah ada warung English.. dan bagus untuk kemajuan
Bagaimana juga warung Chinese..
Sekalian belajar berbahasa Chinese :) karena banyak sutta2 yang masih dalam bentuk bahasa chinese khususnya mahayana..

Mohon dipertimbangkan..


16296
Pojok Seni / Re: Buddhist Illustration
« on: 08 July 2007, 04:20:18 PM »
Bagus juga isinya.. :D
Nice arts

16297
Intinya tergantung pada orangnya juga.
1. Ada orang yang berpendapat, yang penting tidak memakan yang bernyawa, walau memakan yang menyerupai yang bernyawa.
2. Ada juga yang berpendapat, memakan menyerupai yang bernyawa juga tidak boleh karena masih melekat dengan "niat"

Dan ditinjau dari berbagai segi, saya lebih prefer ke makanan vegetarian yang alami, yang tidak dibuat menyerupai ini itu. Ada beberapa hal yang menjadi pemikiran saya :
1. Lebih berbumbu
Lebih berbumbu pastilah lebih enak. Tetapi enak belum tentu sehat bukan ?
Mana yang lebih berat fungsi kerja hati ketika mengolah makanan yang berbumbu atau makanan yang direbus saja ?

Lagi pula praktek vegetarian itu sebenarnya bagi saya adalah untuk pengendalian diri
Pengendalian diri tidak memakan yang bernyawa tetapi juga pengendalian diri terhadap rasa.
Yaitu pengendalian diri terhadap keinginan untuk memakan yang enak2..
2. Lebih tinggi cost
Lebih berbumbu tentu tinggi juga costnya. Wajarlah.. Jika direbus harganya 1000 perak.. kalau digoreng, ditambai ini itu tentu naik jadi 5000 perak. padahal barang sama.. :P

Intinya saya lebih memilih yang kedua walau saya masih belum bisa vegetarian. Yaitu memakan yang tidak bernyawa dan tidak menyerupai bernyawa sebagai bentuk latihan pengendalian diri

16299
Kafe Jongkok / Re: kafe jongkok ?
« on: 08 July 2007, 01:20:42 PM »
kalo kafe gaul kan sudah ada..
kalo kafe jongkok kan adanya di dhammacitta :P
hehehe.. gpplah.. ntar kalau orang bilang kafe jongkok..
langsung brand imagenya ke forum ini.. :)

16300
Ini saya dapatkan dari forum sebelah.. :D

Bagus juga isinya :p

Quote from: Vegetarian
Namo Buddhaya,

Ini saya dapat dari website KMBUI, bagus sekali isinya:

Vegetarian, Boleh, Atau Tidak?
oleh: Yenny (FE 2000)

Banyak orang yang keliru dengan kata vegetarian yang dikira berasal dari kata vegetable (sayur-sayuran), yang benar adalah vegetarian berasal dari Bahasa Latin, 'vegetus' yang berarti 'aktif, yang hidup, teguh, bergairah, dan kuat'. Di Inggris, kata veget sempat dipakai untuk mengatakan seseorang yang kuat dan sehat.

Istilah 'vegetarianism' muncul pertama kali sekitar tahun 1847. Namun sebenarnya pantangan memakan makanan yang berasal dari daging hewan segar adalah salah satu ajaran dari ahli filsafat Pythagoras, yang kemudian diikuti oleh Plato, Epicurus, Plutarch, dan ahli filsafat lainnya. Dalam buku "The Vegetarian Alternative, USA: Rodale Press Emmaus", yang ditulis oleh Victor Stephen Sussman, mengatakan bahwa orang-orang Inggris dan Amerika sudah mengenal vegetarian sejak tahun 1840 atas prakarsa dari Pendeta Sylvester Graham, Ellen White (salah seorang pendiri gereja 'Advent Hari Ke-7), dan John H. Kellog (ahli bedah dan pendiri Sanatorium Battle Creek). Di India dan Tiongkok, vegetarianism sudah ada jauh sebelum masehi. Di India sendiri, vegetarianism sudah dilakukan dengan sangat ketat oleh pengikut Jainism, sekte Hindu tertua di India, dimana mereka bertujuan untuk menghormati dan mengasihi semua makhluk hidup.

Buddha Gotama seringkali menghadapi masalah vegetarianism ini. Yang pertama adalah dari Devadatta, saudara sepupu Sang Buddha yang terkenal ambisius dan jahat. Devadatta mencoba mengadu domba Sangha dengan mengajukan lima aturan kebhikkhuan kepada Sang Buddha agar diterapkan oleh Sangha, yakni bhikkhu hanya hidup dari dana yang diterima, tidak boleh memakan ikan atau daging, selamanya harus hidup di hutan, mengenakan jubah dari bekas mayat atau sampah, dan hidup di bawah pohon. Lima aturan ini menyulitkan Sang Buddha untuk memutuskannya, Devadatta yakin jika Sang Buddha menolak permintaannya, maka akan banyak bhikkhu yang mendukungnya serta menyatakan bahwa Sang Buddha tidak welas asih (menolak vegetarian) dan senang hidup dalam kemewahan. Sedangkan apabila Sang Buddha menerimanya, maka berarti Sang Buddha menerapkan pola menyiksa diri.

Menanggapi hal ini, Sang Buddha dengan penuh kebijaksanaan menyatakan bahwa bhikkhu yang menyenangi vegetarianism boleh melakukannya. Beliau tidak secara tegas menyatakan menolak atau menerima hal tersebut sebagai suatu keharusan. Berdasarkan keputusan Sang Buddha ini, sangat jelas bahwa vegetarianism sebenarnya bukan bagian resmi dalam Dharma Vinaya. Vegetarianism bukanlah pasport mencapai kesucian dan kebebasan sejati (Nibbana). Dengan kata lain, apakah vegetarianism dilaksanakan atau tidak, seseorang tetap mempunyai kesempatan dan kemampuan untuk mencapai kesucian dan Nibbana.

Selain masalah Devadatta, Sang Buddha pun pernah menghadapi masalah tentang vegetarianism dengan Nigantha Nathaputta, yang dikenal sebagai Mahavira, pemimpin Jainism. Ia seringkali mencemooh Sang Buddha dengan berkata, "Pertapa Gotama makan daging yang disiapkan bagiNya dengan mata kepalaNya sendiri." Cemoohan ini kemudian disanpaikan oleh kaum Brethen kepada Sang Buddha. Mendengar ini Sang Buddha menjawab, "Ini bukan pertama kalinya, Brethen, bahwa Nathaputta mencemooh aku karena Aku makan daging yang disediakan bagiKu, dia melakukannya seperti pada masa lampau."

Kemudian Beliau menceritakan tentang suatu kehidupan yang lalu (Telovada Jataka) dimana Sang Buddha dilahirkan sebagai seorang Brahmana, Brahmadatta menjadi Raja Benare, dan Nathaputta sebagi orang kaya. Suatu waktu Brahmana turun dari Himalaya dan pergi ke kota untuk meminta dana makanan, orang kaya ini berniat untuk mengganggunya. Ia membawa Brahmana ke rumahnya, mempersilakan duduk, dan menyajikan ikan, dan berkata, "Makanan ini disediakan untukmu dengan membunuh makhluk hidup. Ini bukan kesalahanku tetapi kesalahanmu."

Menjawab hal ini Bodhisatva berkata, "Pembunuhan yang kejam, dimasak, dan disediakan untuk dimakan. Dia menjadi kotor oleh dosa dengan memakan daging." "Pembunuhan ini dilakukan untuk menghidupi anak dan istri. Namun, jika dimakan dengan hati yang suci, tidak ada dosa yang diperbuat." Jadi, dapat dikatakan bahwa membunuh merupakan suatu kesalahan tetapi bukan kesalahan yang memakan daging. Para bhikkhu diizinkan untuk makan makanan apapun sepanjang apa yang dilakukannya tanpa disertai kesenangan atau nafsu. Sang Buddha tidak mempunyai hak untuk mencegah siapa saja untuk melakukan pembunuhan, seseorang dapat melakukan apa saja dan bertanggung jawab terhadap akibat dari perbuatannya itu.

Sang Buddha bersabda, "Aku memiliki cinta kasih kepada makhluk-makhluk tanpa kaki, kepada yang berkaki dua pun Aku memiliki cinta kasih. Aku memiliki cinta kasih kepada makhluk-makhluk berkaki empat, kepada yang berkaki banyak pun Aku memiliki cinta kasih." (Anguttara Nikaya, II,72).

"Bila seseorang memiliki pikiran cinta kasih, ia merasa kasihan kepada semua makhluk di dunia, yang ada di atas, di bawah, dan di sekelilingnya, tak terbatas di mana pun." (Jataka, 37).

Dalam banyak kejadian, Buddha Gotama juga menjelaskan bahwa pembunuhan adalah perbuatan yang tidak baik (akusala kamma) dan perdagangan daging (mamsa vanijja) adalah salah satu dari lima jenis perdagangan yang seharusnya dihindari oleh umat Buddhis. Untuk para bhikkhu, Sang Buddha mengatakan di manapun mereka berada, seorang bhikkhu dalam Dhamma Vinaya selalu mengembangkan cinta kasih (metta), belas kasihan (karuna), simpati (mudita), dan keseimbangan batin (upekkha) bagi semua makhluk. Jika seorang perumah tangga mengundang mereka untuk makan, mereka akan menerimanya dengan hati-hati apa saja yang disediakan bagi mereka.

Selain itu, Sang Buddha juga menjelaskan bahwa siapa saja yang sering membunuh makhluk hidup untuk dipersembahkan bagi Sang Tathagata atau murid-muridNya, akan menimbun keburukan; sebelum mempersembahkan dana, mereka berkata, "Pergi dan tangkaplah makhluk hidup." Waktu itu, ketika mereka dibunuh mereka mengalami kesakitan dan penderitaan. Kemudian mereka mempersembahkan kepada Tathagata dan murid-muridNya apa yang tidak diperkenankan untuk mereka lakukan.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa hewan yang dibunuh (oleh dirinya sendiri atau orang lain) dan kemudian dipersembahkan sebagai pengabdian (udissa-mamsa) adalah makanan yang tidak diperkenankan bagi seorang bhikkhu, sedangkan daging atau ikan yang dibeli oleh umat yang saleh dari pasar, yang dijual sebagai konsumsi umum (pavatia-mamsa) adalah makanan yang diperkenankan oleh Sang Buddha, dan bisa diterima dan dimakan oleh muridNya.

Akhirnya, keputusan ada di tangan kita sendiri, apakah akan menjalankan vegetarian atau tidak? Sang Buddha sudah cukup menjelaskan di atas, tinggal bagaimana kita menerapkannya karena apa yang kita lakukan, kita sendiri yang akan menerima akibatnya.

Dikutip dari:
1. Issues of Vegetarianism: 'Are You Herbivore or Carnivore?' oleh Jan Sanjivaputta
2. Tiga Guru-Satu Ajaran oleh Sutradharma Tj. Sudarman, MBA
[FF]

Dari sebuah milis Buddhis:

Pertanyaan yang menarik sekali, memang di sini ada beberapa sudut pandang yang mana semuanya saya kira masuk akal dan membentuk pandangan Buddhisme secara utuh.

Pandangan pertama

Marilah kita bedakan antara memakan daging dan membunuh. Memakan daging dan membunuh adalah dua hal yang amat berbeda. Agama Buddha bukanlah seperti agama non Buddhis yang berpandangan dualisme yakni membeda-bedakan seluruh tindakan yang ada sebagai "baik" dan "buruk". Jadi agama-agama non Buddhis itu bagaikan suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang mana menggariskan hal-hal yang tidak boleh dilakukan (atau tindakan buruk/ dosa) dan tindakan-tindakan yang harus dilakukan. Pelanggaran dari itu akan dihukum dalam suatu penjara abadi yang menurut agama-agama non Buddhis dinamakan neraka. Buddha Dharma bukanlah demikian, pembunuhan tidak dianjurkan di dalam agama Buddha bukanlah dengan melihat pada tindakannya, melainkan pada motivasi di belakang suatu tindakan dilakukan yang mana menurut saya hal tersebut lebih masuk akal. Jadi pembunuhan tidak dibenarkan dalam Agama Buddha, lebih dikarenakan lobha, dosa, dan moha yang melatar belakangi pembunuhan itu.

Tetapi kalau kita membaca UPAYAKAUSALYA SUTRA, maka ada pembunuhan yang dilatarbelakangi cinta kasih, yang hanya dapat dilakukan seorang Boddhisattva. Jadi seolah-olah seorang Bodhisattva melanggar sila, tetapi demi menyelamatkan banyak makhluk hidup dan dilandasi metta karuna. Maka ia tidak melakukan akusala karma. Singkatnya suatu tindakan yang nampaknya buruk tetapi kalau melihat motivasinya, maka bisa saja tidak lagi nampak buruk, demikian sebaliknya, tindakan yang nampak baik, namun kalau melihat motivasinya bisa saja nampak berlawanan.

Sebagai contoh adalah seseorang yang berdana makanan untuk banyak orang, tetapi ternyata motivasinya adalah untuk mencari nama atau mencari kehormatan pribadi balaka, maka langsung saja kita menyadari bahwa tindakan itu tidak lagi baik atau sudah kehilangan maknanya. Jadi kesimpulannya tindakan harus dilihat motivasinya.

Kita kembali ke pokok pembahasan kita. Memakan daging tidaklah disertai dengan loba (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (pandangan salah), dan karenanya bukanlah suatu hal yang tercela. Kita makan daging sapi bukanlah dengan perasaan benci akan sapi tersebut, hanya karena kita lapar dan memang sudah tersedia atau sapi tersebut memang sudah mati.

Lain halnya dengan jikalau kita misalnya melihat sapi masih hidup, lalu karena kita ingin makan sapi, maka kita memerintahkan orang membunuhnya, maka tindakan kita itu sudah disertai dengan sikap loba atau keserakahan, maka tentu saja tindakan itu bukanlah tindakan yang bajik dan merupakan tindakan yang sangat tercela. Membunuh sendiri atau melalui orang lain sama saja tercelanya.

Mungkin kita bisa berkilah bahwa tindakan kita itu tidak disertai kebencian, tetapi hal itu tidaklah masuk akal karena hal demikian hanya bisa dipraktekkan oleh para Bodhisattva, bagi makhluk yang masih diliputi kilesa seperti kita tidaklah mungkin mempraktekkan apa yang ada di UpayaKausalya Sutra tersebut, karenanya kita tetap harus menjauhi pembunuhan (panatipatta veramani sikhapadang samadiyani).

Kesimpulan: Pembunuhan dan makan daging adalah beda.

Pandangan kedua

Bagi seorang Buddha atau yang telah mencapai kesucian, maka sudah tidak ada dualisme, jadi makan daging dan tidak makan daging sudah tidak ada bedanya lagi.

Jadi bagi seorang yang telah bebas tidak ada lagi sikap membeda-bedakan. Yang mana tentu saja bagi kita yang masih belum mencapai kesucian sikap membeda-bedakan kita masih besar. Kita cenderung menyenangi orang yang cantik atau tampan dan tidak menyukai atau menjauhi orang buruk. Kita lebih suka berkawan ke orang yang kaya daripada yang miskin. Karenanya pendapat saya pribadi kita tidak atau belum pantas meniru Sang Buddha, sebab itu kita sebagai umat awam yang masih diliputi kekotoran batin ada baiknya mengurangi makan daging, kalau belum dapat meninggalkan makan daging sama sekali. Tetapi yang pasti kita seperti pandangan pertama tetap seharusnya menjauhi pembunuhan atau minim mengurangi pembunuhan, termasuk nyamuk sekalipun atau asal jangan main tepuk.Memakai lotion anti nyamuk adalah lebih baik dari memakai insektisida seperti Baygon.

Kesimpulan: Sang Buddha sudah terbebas dari dualisme, karena itu pertanyaan daging dan bukan daging adalah tidak releven lagi.

Pandangan ketiga

Menyoroti dari segi praktek, ada dua pandangan praktek spritual utama sekenaan dengan makan daging dan tidak makan daging serta hubungannya dengan pembunuhan.

Praktek pertama adalah untuk mengikis habis pandangan membeda-bedakan serta kemelekatan, di sini sang praktisi tidak membeda-bedakan apapun juga baik itu pakaian, makanan, atau tempat tinggal. Baik atau buruk bagi mereka sama saja. Demikian juga bagi mereka makan daging dan bukan daging sama saja. Mereka hendak mematahkan kemelekatan terhadap apapun juga kemelekatan terhadap makanan yang daging dan bukan daging. Jika kemelekatan telah dapat dipatahkan maka mereka dapat memasuki tingkat kesucian Arahat. Inilah tujuan dari latihan jenis pertama ini. Latihan jenis pertama ini adalah yang dilakukan kaum Buddhis Theravada.

Praktek kedua adalah untuk mengembangkan cinta kasih atau mettakaruna, di sini praktisi tidak memakan daging. Pandangan kedua ini didasari pandangan bahwa kalau mereka tidak makan daging atau membeli daging, maka mereka tidak ikut berpartisipasi pada bisnis daging atau pembantaian hewan. Kalau tiap orang tidak ada yang makan daging maka otomatis tidak ada lagi hewan yang perlu menderita pembunuhan.

Praktisi jenis kedua bertekad untuk menyalurkan belas kasih bagi semua makhluk, yang mana di dalam Buddhisme cita-cita semacam ini dinamakan tekad Boddhisattva. Latihan jenis kedua ini mendominasi kaum Buddhis dari Aliran Mahayana. Di antara kedua praktek ini tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah semuanya harus dipahami sebagai satu kesatuan Buddha Dharma. Sang Buddha menyadari bahwa makhluk hidup bermacam-macam kualitas mentalnya, dan karena itu tidak mungkin hanya ada satu jalan latihan tunggal untuk mencapai pembebasan (beda dengan agama non Buddhis yang hanya mewajibkan satu jalan saja). Sang Buddha mengajarkan aneka jalan mencapai pembebasan menyesuaikan dengan selera para pendengarNya yang bermacam-macam itu. Beberapa jalan nampak bertentangan namun memiliki tujuan sama.

Jadi ada orang yang ingin mencapai tingkatan Arahat, dan ada pula yang ingin menempuh Jalan Boddhisattva. Keduanya benar dan tidak ada yang salah, ibarat kita ada yang suka pecel, ada suka soto, dan ada pula yang suka spaghetti.

Kesimpulan: Agama Buddha memiliki banyak latihan spritual, karena selera pendengarnya yang berbeda-beda

Pandangan keempat

Di dalam Sutta Nipata dikatakan bahwa makanan tidak berpengaruh dengan kualitas mental seseorang, hal ini ada benarnya. Seseorang bisa saja vegetarian tetapi dapat saja tidak punya metta karuna. Kita menjadi bajik dan tidak bukan karena makanan yang kita makan. Kalau memang makan vegetarian bisa membuat orang menjadi penuh belas kasih, jikalau demikian bagaimana supaya negara aman semua warga negara diwajibkan makan vegetarian?

Jikalau tidak makan daging dapat meningkatkan kesucian seseorang, bukankan dengan demikian kambing dan sapi lebih suci dibanding manusia?

Jadi tidak bertentangan dengan "pandangan ketiga", maka makan vegetarian hanyalan sebagai latihan spiritual untuk meningkatkan cinta kasih, tetapi bukanlah sarana untuk meningkatkan cinta kasih itu sendiri.

Sekarang menanggapi beberapa pertanyaan Anda.

1. Apakah dengan demikian Sakyamuni Buddha sendiri tidak mengecam pembunuhan, karena makanan yang disajikan termasuk dari binatang tetap disantap-Nya?

Sang Buddha tidak menyetujui pembunuhan, pada sila pertama dari Pancasila Buddhis sudah menggambarkan hal itu. Sesuai dengan bagian "pandangan pertama" di atas, memakan daging bukanlah berarti tidak mengecam pembunuhan.

2. Walaupun ada aturan2 tentang boleh atau tidaknya menyantap makanan dari binatang didalam Patimokha Sila (Aturan2 para Bhikshu), apakah ini tidak Kontradiksi dengan ajaran Metta dan sila pertama yang menyarankan umat Buddha untuk tidak membunuh.
Tidak kontradiksi, jawabannya ada pada bagian "pandangan kedua", "pandangan ketiga" dan keempat di atas".

Demikan jadi saya kira sudah cukup jelas di sini. Semoga penjelasan ini berguna bagi kita semua Umat Buddha. Mohon maaf kalau ada kesalahan serta saya mohon juga pendapat2 teman2 yang lain serta koreksinya kalau ada kesalahan.

Namaste,
The Siddha Wanderer


16301
Waroeng English / Re: How are you?
« on: 08 July 2007, 01:11:01 PM »
nice to meet you all :D
sorry for my poor english.. :(

16302
Btw.. Bakar Tongkang itu acara seperti apa ?
Mohon dijelaskannya..

16303
Mungkin maksudnya Ketuhanan Yang Maha Esa yang merujuk ke Nibbana
Saya rasa adanya "penyimpangan" ini dikarenakan untuk menghindari konflik (dilihat dari tanggal pendiriannya sesuai dengan data Sdr. Kemenyan yaitu 1998, ketika suasana politik ekonomi yang tengah kacau)
Dan untuk menanamkan toleransi agar agama lain bisa mengerti paham Ketuhanan Buddhism itu juga membutuhkan waktu

16304
Pure Land / Tanah Suci / Re: Ada yang tahu?
« on: 07 July 2007, 08:47:47 PM »
Namo Buddhaya Sdr. Lothar

Maaf hanya bisa membantu sedikit
Semoga bermanfaat

Source :
http://en.wikisource.org/wiki/Amitabha%27s_forty-eight_vows

Quote from: Amitabha's forty-eight vows
From Wikisource
Jump to: navigation, search

<The Forty Eight Vows of Amitabha Buddha

Amitabha's forty-eight vows were made by the primary Buddha of the Pure Land school of Buddhism as recorded in the Larger Sutra of Immeasurable Life. They are as follows:

Vow 1

Provided I become a Buddha, if in that Buddha-country of mine there should be either hell, or the animal state of existence, or the realm of hungry ghost, then may I not attain the enlightenment.

Vow 2

Provided I become a Buddha, if in that country of mine the beings who are born there should fall away (die) into the three evil realms, then may I not attain the enlightenment.

Vow 3

Provided I become a Buddha, if in that country of mine the beings who are born there should not all be of the colour of genuine gold, then may I not attain the enlightenment.

Vow 4

Provided I become a Buddha, if in that Buddha-country of mine the beings who are born there should not all be of one appearance without the difference of noble looking or ugly lineaments, then may I not attain the enlightenment.

Vow 5

Provided I become a Buddha, if in that Buddha-country of mine the beings who are born there should not be possessed of the supernormal knowledge of recollecting the previous lives of themselves (Purvanivasana i.e. knowledge of all reincarnations), and knowing the events of evolution of hundred thousand nayuta years of kalpas, then may I not attain the enlightenment.

Vow 6

Provided I become a Buddha, if in that country of mine the beings who are born there should not be possessed of the Divine-eye (Divyatchakchus) which can see a hundred thousand nayuta of Buddha-countries, then may I not attain the enlightenment.

Vow 7

Provided I become a Buddha, if the beings of that country of mine should not be possessed of the Divine-ear (Divyassrotra) which to be able to hear the preachings of a hundred thousand kotis of nayuta of Buddhas, and to a faithful observance, then may I not attain the enlightenment.

Vow 8

Provided I become a Buddha, if the beings of that country of mine should not all possessed the Intuitive-mind (Paratchittadjna) knowing the thoughts of all beings of a hundred thousand kotis of nayuta of Buddha-countries, then may I not attain the enlightenment.

Vow 9

Provided I become a Buddha, if the beings of that country of mine should not all possessed of the Heavenly-step (Riddisakchatkriya) which can in the shortest moment of one thought travelling over a hundred thousand kotis of nayuta of Buddha-countries, then may I not attain the enlightenment.

Vow 10

Provided I become a Buddha, if the beings of that country of mine should have arise in their minds the idea of selfishness and covetous thoughts, even with regard to their own bodies, then may I not attain the enlightenment.

Vow 11

Provided I become a Buddha, if the beings of that country of mine should not all be firmly abiding in a concentrated state of meditation and equanimity (Samadhi) till they have reached Nirvana, then may I not attain the enlightenment.

Vow 12

Provided I become a Buddha, if my light should be limited in measurement so that it could not illuminate a hundred thousand nayuta of kotis of Buddha-countries, then may I not attain the enlightenment.

Vow 13

Provided I become a Buddha, if the measure of my life should be limited, even by counting a hundred thousand nayuta of kotis of Kalpas, then may I not attain the enlightenment.

Vow 14

Provided I become a Buddha, if any being should be able to count innumerable pupils belonging to me in that country of mine, even if all the beings of those three million worlds and the whole triple chiliocosm, who after having become Pratyeka-Buddhas, count and continue to do so for a period of a hundred thousand nayuta of kotis of Kalpas, could know the balance, then may I not attain the enlightenment.

Vow 15

Provided I become a Buddha, the life of the beings in that country of mine should be eternal, excepting by their own free will whenever they choose to pass away from life, otherwise may I not attain the enlightenment.

Vow 16

Provided I become a Buddha, there should be no evil or sinful existence in that country of mine, even its very name is unknown. Otherwise may I not attain the enlightenment.

Vow 17

Provided I become a Buddha, if the innumerable Buddhas of the worlds of ten quarters do not glorify my name, then may I not attain the enlightenment.

Vow 18

Provided I become a Buddha, if the beings of the ten quarters who after having heard my name, and thus awakened their highest faith and aspiration of re-birth in that country of mine, even they have recollected such a thought for ten times only, they are destinated to be born there, with the exception of those who have committed the five deadly sins (Anantarya), and who have blasphemed the orthodox Law (Dharma), otherwise may I not attain the enlightenment.

Vow 19

Provided I become a Buddha, if the beings of ten quarters who have directed their thoughts towards the Bodhi and cultivated their stock of various merits with a fervent craving for re-birth in that country of mine, if at the moment of death, should I not appear with an assembly of retinue before them, then may I not attain the enlightenment.

Vow 20

Provided I become a Buddha, if the beings of ten quarters, after having heard my name always longing for that country of mine and cultivating various essential merits for the purpose of realizing their earnest wish to be born in my country, should their fulfillment be failed, then may I not attain the enlightenment.

Vow 21

Provided I become a Buddha, if the beings of that country of mine should not all be endowed with the glorious body perfected with the thirty-two attributes (Laksanani) of a great being, then may I not attain the enlightenment.

Vow 22

Provided I become a Buddha, the Bodhisattvas who come to be born in that country of mine are to be bound to that one birth only, then to become Buddha-elect (Ekajatipratibuddhas), with the exception of those who by their own free will remain in the stage of Bodhisattva-hood for the sake of delivering various beings, wearing the armour of vows to travel to all worlds, performing their Boddhisattva-duties and accumulating their stock of merit, who wish to serve the Buddhas of ten quarters, and convert the various beings in number like grains of sand of the River Ganges to the highest perfect knowledge, whose activities have surpassed the stage of ordinary beings, and who practise the universal virtue of Samantabhadra, otherwise may I not attain the enlightenment.

Vow 23

Provided I become a Buddha, if those Bodhisattvas in that country of mine, through the Grace of the Buddha should not be able to serve all the Buddhas throughout the countless nayuta of Buddha-worlds within a moment as short as a length of time of refreshment, then may I not attain the enlightenment.

Vow 24

Provided I become a Buddha, if those Bodhisattva in that country of mine who wish their stock of merit to produce any appliance to be used before the Buddhas, should such things not appear for them to their satisfaction, then may I not attain the enlightenment.

Vow 25

Provided I become a Buddha, if those Bodhisattvas in that country of mine should not be able to preach the law of wisdom in completion, then may I not attain the enlightenment.

Vow 26

Provided I become a Buddha, those Bodhisattva of that country of mine should not all be in possession of a golden body as strong as the diamond of Narayana, then may I not attain the enlightenment.

Vow 27

Provided I become a Buddha, the heavenly beings and the various properties produced in that country of mine should all be of supreme beauty and in boundless quantity, and in the infinity of various forms. If any being therein who even possessed the divine-eye is able to perceive the appellations and quantity of such beauties, then may I not attain the enlightenment.

Vow 28

Provided I become a Buddha, if any Bodhisattva of that country of mine who possesses even the least stock of merit, should not perceive the boundless shining beauty of the Bodhi-trees of my sanctuary, their height being at least four millions of miles, then may I not attain enlightenment.

Vow 29

Provided I become a Buddha, if any Bodhisattva of that country of mine should not all possess the wisdom of eloquent oration after having read, recited, and observed the Dharma of the sutras, then may I not attain the enlightenment.

Vow 30

Provided I become a Buddha, if any Bodhisattvas of that country of mine, have their wisdom of oration limited, then may I not attain the enlightenment.

Vow 31

When I have obtained the Buddhahood, if that country of mine should not be limpid and brilliant as to reflect the miniatures of the innumerable, inconceivable and boundless Buddha-worlds of ten quarters as one's face is seen in a bright mirror, then may I not attain the enlightenment.

Vow 32

If after I have obtained the Buddhahood, in that country of mine, there should be magnificent palaces towering up from the ground to the void, also the lakes, winding streams, blossoming trees, and all other properties which are compounded of various jewels and thousands of kinds of perfumes, minutely embellished in the most wondrous state surpassing all heavenly and human worlds. The scent of the perfumes should thoroughly pervade the worlds of ten quarters, whereof the Bodhisattvas, having smelt them thereby directed their minds to Bodhi; otherwise may I not attain the enlightenment.

Vow 33

When I obtain the Buddhahood, any being of the boundless and inconceivable Buddha-worlds of the ten quarters whose body if be touched by the rays of my splendour should not make his body and mind gentle and peaceful, in such a state that he is far more sublime than the gods and men, then may I not attain the enlightenment.

Vow 34

When I obtain the Buddhahood, if the beings of boundless and inconceivable Buddha-worlds should not attain the "Endurance of Nirvanic Life" (Ajatah sarvadharmah) of Bodhisattva, and the deep knowledge of "Adharanamudro" (or Dharani?) after having heard my name, then may I not attain the enlightenment.

Vow 35

When I obtain the Buddhahood, women of boundless and inconceivable Buddha-worlds of the ten quarters after having heard my name thereby awakened in faith and joyful aspiration, and turning their minds towards Bodhi, therefore dislike their own female lives, when they be born again, in their next life should not be incarnated into a masculine body, then may I not attain the enlightenment.

Vow 36

When I obtain the Buddhahood, the Bodhisattvas of boundless and inconceivable Buddha-worlds of the ten quarters after having heard my name, after their death (in their next life) will still continue their Bodhisattva-duty till they have obtained the Buddhahood, otherwise may I not attain the enlightenment.

Vow 37

When I obtain the Buddhahood, the heavenly beings of boundless and inconceivable Buddha-worlds of the ten quarters, having heard my name, should not worship me with prostrate reverence, and joyfully and faithfully perform their Bodhisattva-duty, and be honoured by gods and men, then may I not attain the enlightenment.

Vow 38

When I obtain the Buddhahood, the heavenly beings of that country of mine, should they desire a garment will be able to perceive themselves, as quick as thought, covered by apparitionally produced costumes, excellent to their satisfaction, worthy to be praised by the Buddha, without the work of sewing, washing, dying, etc. Otherwise may I not attain enlightenment.

Vow 39

When I attain the Buddhahood, if the heavenly beings of that country of mine should not be enjoying happiness as great as that that of the holy bhikkhus,(Asravakchava the finality of the stream of passions) then may I not attain the enlightenment.

Vow 40

When I attain the Buddhahood, if the Bodhisattvas of that country of mine wish to see the boundless, holy, pure Buddha-worlds of the ten quarters, they will at once behold them from the jewel-trees as though one's face were being reflected in a highly burnished, brilliant mirror, otherwise may I not attain the enlightenment.

Vow 41

When I attain the Buddhahood, if the Bodhisattvas of other worlds after having heard my name, should suffer from any diminution in the functional powers and not be endowed with all sense-organs in completion before reaching the Buddhahood, then may I not attain the enlightenment.

Vow 42

When I obtain the Buddhahood, if the Bodhisattvas hearing my name from other Buddha-countries, should not all attain the pure Samadhi of emancipation (Suvibhaktavati) from which they could serve innumerable and inconceivable number of Buddhas, Tathagatas, by a moment of thought; and if that Samadhi of theirs should come to an end meanwhile, then may I not attain enlightenment.

Vow 43

If after I have obtained the Buddhahood, that any Bodhisattva of other countries having heard my name, will be incarnated as a member of a noble family (if he so desires) when he dies, otherwise may I not attain enlightenment.

Vow 44

When I obtain the Buddhahood, the Bodhisattvas of other countries having heard my name will all obtain a combination of full virtues and joyfully perform their Bodhisattva-duty, otherwise may I not attain enlightenment.

Vow 45

When I have obtain the Buddhahood, the Bodhisattvas of other countries having heard my name, all will attain the "Samantanugata"(the thoroughly and equal Samadhi in a fixed state of meditation) through that Samadhi they will see innumerable and inconceivable Buddhas constantly till they have obtained the Buddhahood, otherwise may I for-bear from obtaining enlightenment.

Vow 46

When I obtain the Buddhahood, the Bodhisattvas of that country of mine should be able to hear the preachings of the Dharma whenever they desire (the voices of teaching will present themselves naturally to their ears), otherwise may I refrain from attaining enlightenment.

Vow 47

When I have obtain the Buddhahood, if the Bodhisattvas of other countries after having heard my name should not immediately reach the state of Avaivartika (i.e. not turning back from Bodhi), then I would refrain from attaining enlightenment.

Vow 48

When I have obtained the Buddhahood, if the Bodhisattvas of other countries having heard my name should not reach the first, second and third degrees of Dharma-endurance immediately or should turn back from the Law of Buddhas, then I would refrain from attaining enlightenment.

[edit] Source

    * Chihmann, Upasika (P.C. Lee), tr., The Two Buddhist Books in Mahayana. Taipei: Corporate Body of the Buddha Educational Foundation [undated published in early 1930s]. UK edition published Oxford: Kemp Hall, c. 1935. FEP states "No copyright of this book is reserved."

16305
Lingkungan / Re: Umat Buddha Cuek?
« on: 07 July 2007, 08:37:35 PM »
Pendapat saya sih mungkin simpel saja ya.
Saya secara pribadi hanyalah umat biasa.
Jadi menurut saya yang harus diperhatikan mulailah dari yang kecil dan yang sepele
Dan bila hal sepele sudah mantap maka hal2 yang besar akan mengikutinya

Memulai pada hal yang kecil dan sepele yaitu pada diri kita sendiri yang kerap sering kita lupakan
Ibarat pepatah :
Semut di sebrang lautan kita bisa tampak
Gajah di pelupuk mata kita tidak tampak

Jadikan post Ce LB sebagai bahan renungan untuk menjadikan kita lebih baik..


Pages: 1 ... 1080 1081 1082 1083 1084 1085 1086 [1087] 1088
anything