Sambungan,
III. A. Kasus ke tiga–dukkha
Manakah yang benar:
1. Inti Ajaran Buddha adalah Empat Kesunyatan Mulia, yaitu penderitaan, asal-mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan.
2. Inti Ajaran Buddha adalah Empat Kesunyatan Mulia, yaitu pengalaman, asal-mula pengalaman, lenyapnya pengalaman (selesai/penyelesaian), dan jalan menuju lenyapnya pengalaman (jalan keluar).
III. B. Pembahasan
1. Pernyataan salah
Jika dikatakan Sang Buddha mengajarkan penderitaan, asal mula, lenyapnya, dan jalan keluar dari penderitaan maka ini akan mengarah pada pemahaman “nihilisme”. Mengapa? Karena, asal-mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan memiliki makna: keluar dari penderitaan, atau dengan kata lain, baru keluar dari penderitaan, atau dengan kata lain, baru selesai dari penderitaan, atau dengan kata lain, baru mulai mencari kebahagiaan.
Bagaikan seorang buta yang baru dioperasi dan mendapat penglihatan, ia baru mulai melihat, dimana harus “belajar” lagi (lebih) untuk menjaga matanya, merawat matanya, dan penuh kewaspadaan menjaga matanya. Asal mula: ia buta. Lenyapnya: melenyapkan kebutaan. Jalan menuju lenyapnya: operasi.
Atau bagaikan orang yang telah ditipu dimana ia baru disadarkan bahwa ia telah ditipu, dan sekarang ia harus belajar agar tidak ditipu lagi. Asal mula: ditipu. lenyapnya: mengilangkan keragu-raguannya apakah ia ditipu atau tidak. Jalan menuju lenyapnya: belajar untuk tidak ditipu lagi.
Bagaikan penghuni neraka yang baru selesai dari penyiksaan di alam Neraka. Asal mula, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan (di neraka) baru selesai. Ia baru mulai mencari kebahagiaan, bukan telah menggapai, dan ia bisa saja jatuh kembali.
Atau bagaikan tahanan yang baru bebas dari penjara. Asal mula, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan (di penjara) baru selesai. Ia baru mulai mencari kebahagiaan, bukan telah menggapai, dan ia bisa saja jatuh kembali.
Atau bagaikan orang miskin yang “baru saja” menjadi kaya raya. Asal mula, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan (kemiskinannya) baru selesai. Ia baru mulai mencari kebahagiaan, bukan telah menggapai, dan ia bisa saja jatuh kembali.
Dari perumpamaan-perumpamaan yang saya berikan, dapat kita lihat bahwa: ia baru mulai, baru mulai mencari, dalam tahap belajar, bukan telah selasai.
Jika dikatakan Sang Buddha mengajarkan penderitaan, asal mula, lenyapnya, dan jalan keluar dari penderitaan maka ini adalah baru mulai membuka mata; bukan mencapai tujuan, baru mulai belajar; bukan mencapai tujuan, baru memulai hidup baru; bukan mencapai tujuan. Sementara, inti ajaran seharusnya menuntun pada tujuan akhir, bukan baru mulai. Baru mulai berarti, bahkan belum sampai di tengah, bagaimana mungkin ia akan tiba di tujuan? Ini seakan pandangan kosong! Pandangan kosong adalah pandangan yang menentang pandangan lain, disamping ia secara tidak langsung menentang pandangannya sendiri. Pandangan kosong adalah pandangan yang paling bodoh dan bego, ia sendiri mencela kebaikan namun ia sendiri berbuat baik kepada apa yang ia anggap benar. Misalnya: ia menolak perbuatan baik ataupun buruk atau keduanya, tidak buruk atau tidak-tidak buruk. Namun, kenyataan ia menyebarkan ajarannya, dengan begitu ia melakukan kebaikan (menurutnya) namun ia menolak kebaikan. Ini seperti tong kosong nyaring bunyinya. Kosong dan tidak ada pengetahuan, itulah pandangan kosong, menentang baik dan buruk, dst. Namun, menerima pandangannya, seakan orang bodoh.
Akan tetapi, Ajaran Buddha bukanlah nihilisme, bukan pandangan kosong. Karena, Sang Buddha mengajarkan (salah satunya) untuk menghindari segala jenis pembunuhan makhluk hidup. Ini adalah “perbuatan baik”. Oleh karenanya, bukan pandangan kosong. Karena, orang bijak yang mencela perbuatan baik ini, ia akan dikritik dari berbagai arah jika menentang perbuatan baik sebagai baik.
Dengan demikian, arti dukkha bukanlah penderitaan.
2. Pernyataan benar
Sang Buddha mengajarkan suka duka (pengalaman), asal mula suka-duka, lenyapnya suka duka, dan jalan menuju lenyapnya suka duka maka ini akan mengarah pada Nibbāna ‘kebahagiaan sejati’. Mengapa? Karena, asal mula suka-duka, lenyapnya suka duka, dan jalan menuju lenyapnya suka-duka memiliki makna: keluar dari suka-duka, atau dengan kata lain, melepaskan sesuatu baik suka atau tidak, duka atau tidak, atau dengan kata lain, menginginkan pembebasan, yaitu bebas dari suka-duka karena suka-duka muncul silih berganti tanpa mengenal tempat dan waktu, “suka” datang dengan “duka” menyertai, duka datang dengan suka menyertai. Ia mulai tahu bahwa:
ada-suka pasti akan ada-duka; ada-duka pasti akan ada-duka.
Inilah yang tersembunyi, inilah yang harus dilihat sebagaimana adanya bahwa kedua ini muncul beriringan, cepat atau lambat akan, ketika ada “suka”, “duka” akan segera hadir. Ketika ada “duka”, “suka” sedang menanti. Melihat demikian, ia pun bosan dengan suka-duka, tidak membencinya namun melepasnya. Ketika ia bebas dari keduanya maka muncul kata: “terbebaskan”. Ketika terbebaskan dari suka-duka maka apalagi yang ingin ia cari/dapatkan kalau bukan kebahagiaan?
Jika seseorang menyambut hal yang menyenangkan: rasa sayang, cinta, kegemaran, pemandangan yang indah, suara yang merdu, aroma yang wangi, rasa makanan yang lezat, pelukan, kehangatan, khayalan. Kemudian sehubungan dengan hal yang disukai itu mengalami perubahan, ia yang dicintai mulai selingkuh, suara buruk tiba-tiba muncul, aroma bau datang, gagal dalam cinta sehingga putus cinta maka muncullah dalam diri seseorang akan “duka” (dari suka [awalnya]): dukacita, ratapan, suka-duka, kesengsaraan, dan keputusasaan. Karena, menyambut sesuatu hal yang menyenangkan, ketika terjadi perubahan, ia meratap. Hal yang menyenangkan ada sebagaimana mestinya namun jika ia menyambutnya, ketika terjadi perubahan maka ia akan meratap.
Setelah melihat bahaya ini, Sang Buddha mengajarkan pelenyapan hawa nafsu (chandarāgavinayakkhāyī). karena suka-duka berasal dan berakar dari hawa (hasrat) yang menimbulkan ketagihan akan nafsu.
Jika seseorang tidak menyambut hal yang menyenangkan: rasa sayang, cinta, kegemaran, pemandangan yang indah, suara yang merdu, aroma yang wangi, rasa makanan yang lezat, pelukan, kehangatan, khayalan. Kemudian sehubungan dengan hal yang menyenangkan itu mengalami perubahan maka tidak muncul dalam diri seseorang akan “duka”: dukacita, ratapan, suka-duka, kesengsaraan, dan keputusasaan. Karena, tidak menyambut sesuatu hal yang menyenangkan, ketika terjadi perubahan, ia tidak meratap.
Hal yang menyenangkan ada sebagaimana mestinya, jika ia tidak menyambutnya, ketika terjadi perubahan maka ia tidak akan meratap.
Setelah melihat manfaat ini, Sang Buddha mengajarkan pelenyapan hawa nafsu karena suka-duka berasal dan berakar dari hawa (hasrat) yang menimbulkan ketagihan akan nafsu. Jika seseorang menjawab apa yang diajarkan oleh Sang Buddha seperti demikian, yaitu Sang Buddha mengajarkan pelenyapan hawa nafsu maka tidak akan ada celah dan kritikan yang akan datang walaupun ia berada di “tengah samudra” (di manapun).
Jika seseorang yang masuk dan berdiam di tengah-tengah kondisi-kondisi tidak bermanfaat dapat berdiam dengan sukacita dalam kehidupan ini, tanpa kekesalan, keputusasaan, dan demam maka dengan hancurnya jasmani setelah kematian, ia dapat mengharapkan kelahiran yang baik maka Sang Bhagavā tidak akan memuji tindakan meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat. Akan tetapi, karena seseorang yang masuk dan berdiam di tengah-tengah kondisi tidak bermanfaat akan berdiam dalam suka-duka dalam kehidupan ini, dengan kekesalan, keputusasaan, dan demam, dan karena ia dapat mengharapkan kelahiran yang tidak baik dengan hancurnya jasmani setelah kematian maka Sang Bhagavā memuji tindakan meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat.
Jika seseorang yang masuk dan berdiam di tengah-tengah kondisi-kondisi bermanfaat dapat berdiam dengan sukacita dalam kehidupan ini, dengan kekesalan, keputusasaan, dan demam maka dengan hancurnya jasmani setelah kematian, ia dapat mengharapkan kelahiran yang tidak baik maka Sang Bhagavā tidak akan memuji tindakan mengejar kondisi-kondisi bermanfaat. Akan tetapi, karena seseorang yang masuk dan berdiam di tengah-tengah kondisi bermanfaat akan berdiam dalam sukacita dalam kehidupan ini, tanpa kekesalan, keputusasaan, dan demam, dan karena ia dapat mengharapkan kelahiran yang baik dengan hancurnya jasmani setelah kematian maka Sang Bhagavā memuji tindakan mengejar kondisi-kondisi bermanfaat.
Pada kasus ke tiga ini, disamping menjelaskan arti dukkha, juga telah membahas apa yang sebenarnya diajarkan oleh Sang Buddha. Di sini kita telah mengetahui dukkha = Pengalaman (suka duka), bukan penderitaan.
III. C. Kesimpulan
Terjemahan yang benar adalah: inti Ajaran Buddha adalah Empat Kesunyatan Mulia, yaitu dukkha, asal-mula dukkha, lenyapnya dukkha, dan jalan menuju lenyapnya dukkha.
Artinya: inti Ajaran Buddha adalah Empat Kesunyatan Mulia, yaitu pengalaman (suka duka), asal-mula pengalaman, lenyapnya pengalaman, dan jalan menuju lenyapnya pengalaman.
3. Kesimpulan akhir dari pengertian dukkha
Kita telah menganalisis dan bahkan telah mengetahui apa yang sebenarnya diajarkan oleh Sang Buddha. Dari analisis dukkha, dapat ditarik kesimpulan akhir, sebagai berikut:
1. Dukkha artinya pengalaman.
2. Sinonim pengalaman = suka duka. Karena, pengalaman terdiri dari suka dan duka, dan sesuai KBBI, juga mutlak demikian.
3. Ajaran Buddha “bukanlah mengenai penderitaan” karena ajaran penderitaan adalah ajaran kosong (nihilisme), tanpa pengetahuan.
4. Ajaran Buddha mengajarkan pelenyapan hawa nafsu karena suka-duka berasal dan berakar dari hawa (hasrat) yang menimbulkan ketagihan akan nafsu.
4. Arti penderitaan dalam bahasa Pāli
Karena kita telah memecahkan arti dukkha adalah pengalaman (suka duka), bukan penderitaan maka pertanyaan sekarang adalah, “Apa arti penderitaan dalam bahasa Pāli?” Saya tidak akan membahas lama-lama karena nanti akan menyimpang dari judul buku. Kita ambil kasus dari potongan cerita di Jātaka. Di sutta lain juga pastinya bisa ditemukan namun saya mengambil dari Jātaka. Tidak ada yang berbeda. Lihat potongan kisah di bawah dengan mengacu pada kata yang bergaris bawah:
“Dikarenakan hal ini, orang-orang dengan alasan perbuatan yang memalukan itu, mengirim orangtua mereka ke luar dari batas wilayah kerajaan. Tidak ada lagi orang yang merawat ibu dan ayah mereka. Teman-teman raja sama nakalnya seperti raja. Setelah orang-orang meninggal, mereka memenuhi penghuni keempat alam rendah; penghuni alam dewa menjadi semakin menyusut." [Jātaka Aṭṭhakathā II–No. 202. Keḷi Sīla Jātaka].
Alam rendah di sini adalah “apāya” namun bukan arti dari alam rendah, tetapi maksudnya adalah alam menderita (apāyaloka; apāya = penderitaan, sedangkan alam = loka), atau dengan kata lain, alam yang menyedihkan, (rendah), memberikan penderitaan. Dengan demikian, bahasa Pāli dari “penderitaan” adalah apāya.
Penderitaan adalah hal yang menyiksa atau memberi kesan buruk yang mengganggu dalam jangka waktu tertentu atau jangka panjang. Ada hal yang mengganggu dan menyiksa, tidak ada kesenangan dalam penderitaan. Inilah penderitaan. Penderitaan tidak menghasilkan kesenangan atau kesukaan, melainkan hanya duka (bersifat negatif).–Waktunya membahas Jalur Nibbāna.
“Makhluk hidup terjerat keinginan,
Suka-duka datang sebagai ikatan,
Menjerat nafsu, hasrat, dan mencoba meninggalkan lekatan,
Bagaikan hewan di dalam kurungan,
Sekali dapat, susah mendapat kebebasan (bebas),
Tanpa kebebasan, ia jauh dari kebahagiaan.
“Makhluk hidup terjerat kesenangan,
Suka-duka datang sebagai tuan, bukan teman,
Menetap untuk menguasai si korban,
Bagaikan penyakit yang tersimpan,
Kambuh karena tiada pencegahan,
Demikianlah suka-duka muncul bergantian.
“Namun, ia yang bijak tahu mana lawan,
Dan mana yang bukan,
Seperti mata-mata dalam penyamaran,
Begitu diketahui, akan disingkirkan.
“Menginginkan kebebasan tanpa halangan,
Sang Bijaksana mencari kebahagiaan,
Bukan melalui kesenangan atau kesakitan (penyiksaan diri),
Akan tetapi dengan peluruhan.” (Syair Gwi).
Bab II–Nibbāna
Bab III–Empat Jenis Kenikmatan Batiniah
Bab IV–Kesejahteraan Jangka Panjang