Paham Anatta
Anatta adalah kata bahasa Pali yang berasal dari awalan 'an' yang berarti tiada dan 'atta' atau jiwa; anatta kebanyakan diterjemahkan sebagai 'tiada jiwa'. Dalam konteks penulisan ini, atta akan diterjemahkan sebagai 'tiada inti diri'. Kata atta mempunyai makna yang luas dan dapat ditemukan dalam bidang ilmu psikologi, filsafat, maupun peristilahan sehari-hari, contohnya, atta dapat berarti diri, mahkluk, ego, atau kepribadian. Namun sebelum membahas tentang apa itu atta, maka perlu melihat berbagai arti atta yang ditelaah dari sudut pandang Buddhis maupun non-Buddhis, agar kita dapat memahami dengan tepat, apa yang ditolak Sang Buddha ketika Ia membabarkan doktrin anatta, yang mana Ia menolak keberadaan atta.
Definisi atta menurut non-Buddhis dan Buddhis
Definisi atta menurut non-Buddhis :
1. Dalam Abingdon Dictionary of Living Religions :
â€ÂSesuatu yang memberi kehidupan kepada suatu makhluk hidup; atau bagian atau dimensi dalam makhluk hidup, yang merupakan inti, tidak berbentuk; atau sesuatu yang tidak berbentuk namun menghidupkan; atau sesuatu yang tidak berbentuk namun menciptakan individuâ€Â.
2. Dalam A Dictionary of Mind and Spirit oleh Donald Watson :
â€ÂJiwa dikenal dengan banyak nama: jiva (Jain), ÃŽtman (Hindu), Monad, Ego, Diri, Diri yang lebih tinggi, sesuatu yang melebihi Diri, Diri yang tidak dapat dipahami, batin, atau bahkan pikiran.â€Â
Sedangkan definisi atta menurut Buddhis:
1. Dalam Buddhist Dictionary karya Nyanatiloka:
â€Â..segala sesuatu yang secara mutlak dipandang sebagai keberadaan diri, sosok ego, jiwa, atau substansi pokok yang bersifat kekal.â€Â
2. Dalam The Truth of Anatta oleh Dr. G.P.Malalasekera:
â€Âatta adalah diri suatu keberadaan metafisik yang halus, jiwa.†Berbagai definisi atta atau jiwa sebagai diri, ego, jiwa, atau pikiran, sejalan dengan bidang psikologi. Karena itu perlu juga melihat definisi atta dari sudut pandang ini.
Menurut Dictionary of Psychology, 'diri' adalah: â€Â(1) individu sebagai makhluk hidup;(2) ego atau aku; (3) kepribadian atau kumpulan sifatâ€Â.
Definisi 'ego' adalah: â€Âdiri, terutama gagasan seseorang akan dirinya sendiriâ€Â. Definisi 'kepribadian' adalah kumpulan sistem psikofisik dalam individu yang bersifat dinamis dan menentukan cara berpikir dan perilaku seseorang†atau â€Âsesuatu yang memberikan prakiraan apa yang akan dilakukan seseorang dalam menghadapi suatu situasiâ€Â. Istilah-istilah psikologis itu bersesuaian dengan beberapa istilah yang dipakai dalam ajaran Buddha untuk menerangkan kehidupan konvensional makhluk hidup. Peristilahan itu berguna sebagai label, namun secara mutlak, label-label tersebut, seperti yang akan kita lihat, hanya sekedar nama yang semata-mata merupakan kebenaran ilusi.
Dalam bahasa Pali, ada istilah seperti satta, puggala, jiva, dan atta untuk menerangkan psikologi konvensional mengenai makhluk. Satta, menurut Nyanatiloka, berarti ‘makhluk hidup’. Puggala berarti ‘individu, orang, berikut padanannya: kepribadian, perangai, makhluk (satta), diri (atta)â€Â. Jiva adalah â€Âkehidupan sesuatu yang vital, jiwaâ€Â. Beberapa pemakaian istilah atta juga ada dalam bidang psikologi. Menurut Dr. Malalasekera, atta dapat berarti, â€Âdiri seseorang, misalnya attahitaya patipanno no parahitaya (berbuat menurut diri sendiri, bukan menurut orang lain) atau attanava akatam sadhu (apa yang dilakukan oleh diri sendiri adalah baik)â€Â. Atta dapat pula bermakna diri sendiri, kepribadian, termasuk tubuh dan pikiran, seperti dalam attabhava (kehidupan), attapatilabha (kelahiran dalam beberapa bentuk kehidupan)â€Â.
Ajaran Buddha tidak menolak bahwa konsep kepribadian semacam itu ada benarnya,namun hanya secara konvensional. Dr. Malalasekera menulis: â€ÂAjaran Buddha tidak berkeberatan untuk memakai kata atta, satta, atau puggala untuk menggambarkan individu sebagai suatu kesatuan atau untuk membedakan seseorang dengan lainnya. Pembedaan semacam itu diperlukan, terutama mengenai hal-hal seperti ingatan dan kamma yang bersifat pribadi dan untuk mengenali adanya alur kesinambungan (santana) masing-masing. Namun demikian, istilah-istilah ini hendaknya hanya digunakan sebagai label, dan konsep kesepakatan bahasa, sarana bantu pemahaman dan komunikasi, itu saja.
Bahkan Sang Buddha terkadang memakai istilah-istilah tersebut: â€ÂIni adalah pemakaian duniawi, istilah percakapan duniawi, uraian duniawi, dengannya Sang Tathagata berkomunikasi tanpa menyalahartikannya (D.I., 195)†.
Ketika mengulas mengenai istilah satta, Nyanatiloka menambahkan, â€ÂIstilah ini, sama seperti atta, puggala, jiva dan istilah lainnya yang berkenaan dengan 'ego', dianggap sebagai sekedar istilah konvensional (voharavacana) pada umumnya, dan sama sekali tidak mempunyai makna kebenaranâ€Â.
Dalam pengertian kebenaran mutlak, Sang Buddha menolak konsep psikologi dan agama mengenai segala macam 'diri' atau 'jiwa'. Tetapi kita bisa memakai istilah seperti 'diri' dan 'ego' untuk menggambarkan hal tertentu dari kelima khanda (agregat atau kelompok) yang menampilkan penampakan semu suatu individu. Seperti yang dikatakan Arahat Vajira yang hidup semasa kehidupan Sang Buddha:
Bilamana semua bagian penyusun ada, Kita menyebutnya sebagai 'pedati'; Demikian pula, di mana kelima kelompok ada, Kita menyebutnya sebagai 'makhluk hidup'.
Doktrin anatta diajarkan oleh Sang Buddha dari sudut pandang seseorang yang telah mencapai Pencerahan Sempurna, pandangan yang melihat bahwa segala sesuatu adalah anatta.
Pemahaman tentang Anatta
Anatta adalah salah satu doktrin yang sangat penting dalam ajaran Buddha. Anatta adalah ajaran yang paling unik, yang diakui oleh banyak cendekiawan, membedakan ajaran Buddha terhadap agama-agama lainnya. Para cendekiawan menyatakan bahwa semua agama selain ajaran Buddha menerima adanya sesuatu atau makhluk yang bersifat spiritual, metafisik, atau psikologis, di dalam atau di luar makhluk hidup. Kebanyakan agama mengakui keberadaan jiwa atau diri.
Donald Watson menulis, â€ÂDi antara agama-agama besar di dunia, hanya ajaran Buddha yang tidak mengakui keberadaan jiwaâ€Â. Pelajar lainnya, Richard Kennedy menyatakan, â€ÂMenurut ajaran Kristiani, Islam, dan Yahudi, setiap jiwa akan dihakimi pada akhir zaman.. Jiwa itulah yang menentukan apakah seseorang akan dihukum dalam neraka atau dihadiahi kehidupan abadi di dalam surga.. Ajaran Buddha mengajarkan bahwa jiwa atau diri yang kekal itu tidak adaâ€Â.
Dalam Encyclopedia Americana disebutkan,â€ÂDalam ajaran Buddha tidak dikenal adanya diri yang kekal seperti halnya Atman. Meditasi membawa pada kesadaran bahwa gagasan tentang diri atau atman, hanyalah khayalan belakaâ€Â.
Sekalipun doktrin anatta adalah begitu penting, unik, dan semestinya dipahami oleh umat Buddha, namun sampai saat ini dari seluruh ajaran Sang Buddha, doktrin inilah yang paling banyak disalahpahami, paling disalahtafsirkan, dan paling menyimpang. Beberapa cendekiawan besar yang memelajari ajaran Buddha, sangat menghormati Sang Buddha dan mengagumi ajaran-Nya, namun mereka tidak dapat mengerti kenapa seorang pemikir besar seperti Beliau menolak keberadaan jiwa.
Akibatnya, mereka berusaha menemukan celah-celah dalam ajaran-Nya dan mencoba menyelipkan pembenaran tentang adanya atta menurut Sang Buddha. Contohnya, dua cendekiawan modern, Ananda K. Coosmaraswamy dan I.B. Horner (The Living Thoughts of Gotama the Buddha), telah berusaha menegakkan gagasan bahwa Sang Buddha mengajarkan doktrin tentang adanya 2 diri, yaitu Diri besar (ditulis Self dengan huruf S besar) untuk menunjukkan Jiwa atau Diri spiritual dan diri kecil (ditulis sebagai self dengan huruf s kecil) yang dimaksudkan sebagai ego pribadi. Mereka menyatakan bahwa Sang Buddha hanya menolak ego pribadi bila Ia berbicara tentang anatta.
Kontroversi mengenai doktrin anatta sepertinya didasari oleh rasa takut yang mendalam terhadap penolakan adanya jiwa. Manusia pada umumnya sangat melekat pada hidupnya, sehingga mereka cenderung untuk mempercayai adanya sesuatu yang bersifat tetap, kekal, abadi di dalam dirinya. Bila ada orang yang mengatakan bahwa tiada sesuatu pun yang kekal dalam diri mereka, tidak ada semacam jiwa dalam diri mereka yang akan berlangsung selamanya,mereka akan merasa ketakutan.
Mereka bertanya-tanya apa yang akan terjadi dengan mereka di masa mendatang –mereka takut jadi musnah! Sang Buddha memahami hal ini, seperti yang dapat kita lihat dalam cerita tentang Vacchagotta, yang seperti orang pada umumnya, takut dan bingung terhadap doktrin anatta.
Vacchagotta adalah seorang pertapa yang pada suatu hari mengunjungi Sang Buddha untuk menanyakan beberapa hal penting. Dia bertanya kepada Sang Buddha, â€ÂApakah atta itu ada?†Sang Buddha diam. Kemudian, dia bertanya kembali, â€ÂApakah atta itu tidak ada?†Namun Sang Buddha tetap diam. Setelah Vacchagotta berlalu, Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda, mengapa Ia telah bersikap diam. Sang Buddha menjelaskan bahwa Ia mengetahui Vacchagotta sedang mengalami kebingungan tentang atta, dan jika Ia menjawab bahwa atta itu ada, berarti Ia mengajarkan paham eternalistik, teori jiwa yang kekal, yang tidak Ia setujui. Namun, bila Ia menjawab bahwa atta itu tiada, maka Vacchagotta akan berpikir Sang Buddha mengajarkan paham nihilistik, paham yang mengajarkan bahwa makhluk hidup hanyalah suatu organisme batin-jasmani yang akan musnah total setelah kematian.
Sang Buddha tidak setuju dengan paham nihilistik karena paham ini menolak kamma, tumimbal lahir, dan hukum keberasalan yang saling bergantungan. Sebaliknya Sang Buddha mengajarkan bahwa manusia terlahir kembali dengan patisandhi, â€Âkesadaran yang berkesinambunganâ€Â, kesadaran tumimbal lahir yang tidak berpindah dari kehidupan sebelumnya, melainkan timbul karena adanya berbagai kondisi dari kehidupan sebelumnya, misalnya kondisi seperti kamma. Jadi orang yang terlahir kembali bukanlah orang yang sama dengan yang telah meninggal, namun juga bukan orang yang sepenuhnya berbeda dengan yang telah meninggal. Yang paling penting, dalam ajaran Buddha tidak dikenal adanya tubuh metafisik, jiwa, atau roh yang sama yang berlanjut dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya.
Namun ajaran ini terlalu sulit bagi Vacchagotta, dan Sang Buddha ingin menunggu sampai Vacchagotta telah matang secara intelektual. Sang Buddha bukanlah seperti komputer yang akan menjawab setiap pertanyaan secara otomatis. Demi kebaikan para penanya, Ia mengajar sesuai dengan kesiapan dan perangai seseorang. Cerita selanjutnya, melalui meditasi Vipassana, Vacchagotta mampu mencapai kematangan spiritual, memahami sifat segala sesuatu yang tidak memuaskan, fana, dan tiada inti diri; dan akhirnya dia menjadi seorang Arahat.
Namun sayang, cerita ini disalahgunakan oleh beberapa cendekiawan yang mencoba membuktikan bahwa Sang Buddha tidak sepenuhnya menolak keberadaan atta. Adapun gagasan yang terkandung dalam istilah atta sebagai berikut. Sebelum Sang Buddha muncul di dunia, Brahmanisme,yang kemudian hari disebut Hinduisme,adalah ajaran utama yang dianut di India. Brahmanisme mengajarkan doktrin keberadaan atta (atau atman, dalam Sansekerta), yang pada umumnya diterjemahkan sebagai jiwa atau diri. Ketika Sang Buddha muncul, Ia menyatakan bahwa atman itu tidak ada. Doktrin ini sangat penting bahwasanya Beliau mengajarkannya hanya 5 hari setelah khotbah pertama-Nya mengenai Empat Kesunyataan Mulia. Kelima murid yang mendengarkan khotbah pertama ini mencapai tingkat ‘pemenang arus’ (Sotapanna), orang yang telah mencapai tahap pertama pencerahan. Lima hari kemudian, Sang Buddha mengumpulkan kembali kelima murid-Nya dan mengajarkan doktrin anatta kepada mereka. Pada akhir khotbah-Nya, kelimanya menjadi Arahat, orang yang telah mencapai tahap tertinggi pencerahan.
Apakah atta yang ditolak oleh Sang Buddha itu? Kata anatta adalah kombinasi dua kata, yaitu an dan atta. An berarti tidak atau tiada, dan atta biasanya diterjemahkan sebagai jiwa atau diri. Namun atta mempunyai makna yang luas, yang dibahas dalam 2 kitab terkemukan Hindu yaitu Upanishad dan Bhagavad Gita. Dalam ajaran Buddha, berbagai pandangan tentang atta dapat ditemukan dalam Brahmajala Sutta.