I.5 PENJELASAN MENGENAI CERITA PETA DI LUAR DINDING [Tirokuddapetavatthuvannana]
'Mereka berdiri di luar dinding.'
Sang Guru yang sedang berdiam di Rajagaha menceritakan hal ini berkenaan dengan sejumlah besar peta.
Beginilah ceritanya secara rinci.
Sembilan puluh dua kalpa yang lalu ada sebuah kota bernama Kasipuri.
Di situ bertahta seorang raja bernama Jayasena.
Ratunya bernama Sirima.
Dari kandungannya lahirlah Bodhisatta Phussa yang pada saatnya kemudian mencapai pencerahan spiritual sempurna (menjadi Buddha).
Raja Jayasena menjadi sangat melekat terhadap putranya.
Dia berpikir, 'Ternyata putraku telah Meninggalkan Keduniawian Yang Agung dan sudah menjadi Buddha.
Sang Buddha adalah milikku sendiri, Dhamma adalah milikku sendiri, Sangha adalah milikku sendiri.'
Sepanjang waktu dia melayani Beliau, tanpa memberikan kesempatan kepada siapapun.
Ketiga saudara laki Sang Buddha, adik-adiknya dari ibu yang lain, berpikir,
'Para Buddha memang muncul demi manfaat bagi seluruh dunia, bukan demi satu orang saja.
Namun ayah kita tidak memberikan kesempatan kepada siapapun.
Bagaimana caranya kita dapat melayani Sangha?'
Suatu pemikiran kemudian muncul,
'Mari kita merancang suatu sarana!'
Maka mereka membuat seolah-olah ada keributan di batas negeri.
Ketika raja mendengar tentang 'keributan di batas negeri' ini, dia mengirimkan tiga putranya itu ke perbatasan.
Ketiga putranya itu pun pergi untuk menenangkan situasi di sana.
Ketika mereka kembali, raja amat senang dan ingin memberikan hadiah.
Katanya, 'Ambillah apapun yang kau inginkan.'
'Kami ingin melayani Sang Buddha, ' kata mereka.
'Engkau boleh mengambil apapun selain Beliau,' jawab raja.
'Kami tidak menginginkan yang lain,' jawab mereka.
'Kalau begitu, ambillah Beliau tetapi tentukan batas waktnya.'
Mereka mengajukan tujuh tahun, namun raja tidak mengizinkan.
Mereka memohon enam, lalu lima, empat, tiga, dua tahun, satu tahun;
tujuh bulan, enam, lima, empat bulan, dan tiga bulan.
Akhirnya raja mengatakan, 'Ambillah Beliau!'
Maka mereka mendatangi Sang Buddha dan berkata,
'Yang Mulia, kami ingin melayani Yang Mulia selama tiga bulan.
Kami mohon Yang Mulia menerima kami selama tiga bulan, di musim hujan ini.'
Sang Buddha memberikan persetujuannya dengan berdiam diri.
Ketiga orang itu lalu mengirimkan surat kepada wakilnya di daerah itu (di mana Sang Buddha akan berdiam), yang menyatakan,
'Yang Mulia harus dilayani oleh kita selama tiga bulan.
Pertama-tama, bangunlah satu vihara dan kemudian lengkapilah segala yang dibutuhkan untuk melayani Beliau.'
Berita dikirim kembali setelah semua siap.
Dengan mengenakan pakaian kuning, bersama dengan dua ribu lima ratus pelayan pria, ketiga putra raja itu mengiringi Sang Buddha serta komunitas para bhikkhu ke daerah itu, melayani mereka dengan penuh hormat, dan menyerahkan vihara untuk mereka gunakan selama musim hujan itu.
Bendahara kerajaan, putra seorang umat awam yang sudah menikah, memiliki keyakinan dan bakti yang amat besar.
Dengan cermat dia memberikan apapun yang dapat didanakan kepada komunitas para bhikkhu dengan Sang Buddha sebagai pemimpinnya.
Penguasa daerah itu menerima segala dana yang dikirimkan, dan bersama dengan sebelas ribu penduduk pria dari daerah itu mengatur pemberian dana dengan amat berhati-hati.
Namun di antara mereka ada beberapa yang memiliki pikiran yang korup.
Mereka menyelewengkan pemberian dana itu, makan persembahan-jasa itu sendiri dan membakar ruang makan.
Setelah para putra raja merayakan upacara Pavarana, mereka memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dan kemudian kembali menghadap raja, dengan Sang Buddha berjalan terlebih dahulu.
Setelah Sang Buddha pergi ke sana, Beliau pun mangkat, mencapai Parinibbana.
Pada saatnya, para putra raja, wakil mereka di daerah itu, dan bendahara mereka meninggal dunia dan lahir kembali secara spontan di surga bersama dengan kelompok (para pembantu), sedangkan orang-orang yang berpikiran korup itu lahir kembali di neraka.
Sembilan puluh dua kalpa berlalu sementara dua kelompok orang-orang itu lahir di satu surga ke surga lain dan di satu neraka ke neraka lain.
Kemudian selama kalpa yang menjanjikan keberuntungan ini, yaitu pada zaman Buddha Kassapa, orang-orang yang memiliki pikiran korup itu lahir di antara para peta.
Pada saat itu, bila orang-orang memberikan dana atas nama sanak saudara yang menjadi peta, mereka memberikannya dengan mengatakan,
'Biarlah dana ini untuk sanak saudara kami!'
(Dan dengan itu) mereka mencapai kemuliaan.
Ketika para peta melihat hal ini, mereka menghampiri Buddha Kassapa dan bertanya,
'Bhante, bagaimana kami bisa (juga) mencapai kemuliaan seperti itu?'
Sang Buddha mengatakan,
'Kalian tidak akan mencapainya sekarang.
Tetapi di masa depan akan ada Orang Yang Mencapai Pencerahan Sempurna bernama Gotama.
Pada zaman Buddha Gotama ini akan ada seorang raja bernama Bimbisara yang merupakan sanak saudaramu sembilan puluh dua kalpa yang lalu.
Dia akan memberikan dana kepada Sang Buddha dan mempersembahkannya padamu.
Pada saat itu kalian akan mencapai (kemuliaan seperti itu)'.
Dikatakan bahwa ketika Buddha Kassapa berkata demikian, para peta tersebut mereka seolah-olah mereka sudah akan mencapainya keesokan harinya.
Kemudian ketika satu masa jeda-Buddha telah berlalu dan Sang Buddha Gotama telah muncul di dunia, ketiga putra raja tersebut, bersama dengan seribu orang, juga jatuh dari devaloka dan lahir kembali di suatu suku brahmana di kerajaan Magadha.
Pada waktunya, mereka meninggalkan kehidupan berumah tangga dan menjadi tiga petapa berambut-kumal di Gayasisa.
Wakil mereka di daerah itu menjadi raja Bimbisara sedangkan bendahara mereka, putra perumah tangga itu, menjadi pedagang kaya Visakha yang beristrikan Dhammadina, putri seorang pedagang kaya.
Orang-orang lainnya lahir kembali sebagai para pengawal raja.
Setelah Sang Buddha Gotama muncul di dunia dan melewatkan tujuh minggu (setelah pencerahan spiritual), pada waktunya Beliau tiba di Benares.
Di situ Sang Buddha mulai memutar Roda Dhamma dan mengajar pertama-tama pada Kelompok Lima Petapa, lalu tiga petapa berambut-kumal dengan seribu pengikutnya, dan kemudian pergi ke Rajagaha.
Di sana Sang Buddha membuat raja Bimbisara memperoleh buah-sotapatti ketika mengunjungi Beliau pada hari itu juga, bersama dengan sebelas kelompok perumah tangga brahmana yang merupakan penduduk Anga-Magadha.
Sang Buddha menerima undangan raja untuk makan di hari berikutnya, dan keesokan harinya Beliau memasuki Rajagaha, beserta Sakka, Raja para Dewa, yang menjelma menjadi seorang pemuda brahmana.
Sakka berjalan di depan sambil memuji Beliau dengan syair-syair yang bermula dengan :
'Yang terjinakkan dengan yang terjinakkan;
yang terbebas dengan yang terbebas;
Yang Mulia, cemerlang bagaikan permata emas,
memasuki Rajagaha bersama para petapa
yang dulunya berambut-kumal.'
Di kediaman raja, Sang Buddha menerima dana makanan yang melimpah.
Pada saat itu, para peta berdiri di sekeliling rumah sambil berpikir,
'Sekarang raja akan mempersembahkan dana ini untuk kami'.
Tetapi ketika memberikan dana makanan itu, raja hanya memikirkan tentang tempat untuk vihara Sang Buddha.
Raja sibuk bertanya-tanya di dalam hati,
'Di mana seharusnya Sang Buddha berdiam?',
sehingga dia tidak mempersembahkan dana itu bagi siapapun.
Karena tidak memperoleh dana dengan cara ini, harapan para peta menjadi sirna.
Malam itu mereka menjerit-jerit dalam kesedihan yang amat mencekam dan mengerikan di sekitar tempat tinggal raja.
Raja Bimbisara menjadi gelisah, amat takut dan gemetaran.
Ketika fajar menyingsing dia memberitahu Sang Buddha,
'Saya mendengar suara mengerikan (tadi malam)!
Apa yang akan terjadi pada saya, Bhante?'
Sang Buddha menjawab,
'Janganlah takut, raja agung.
Tidak ada hal buruk yang akan menimpamu - engkau akan baik-baik saja.
Yang terjadi adalah bahwa sanak saudaramu di masa lampau telah lahir kembali di antara para peta.
Mereka telah berkelana selama satu masa jeda-Buddha dengan harapan bahwa engkau akan memberikan dana kepada seorang Buddha dan kemudian mempersembahkan dana itu bagi mereka.
Tetapi ketika memberikan dana kemarin, engkau tidak mempersembahkannya bagi mereka.
Maka mereka merasa putus asa dan meratap dengan kesedihan yang amat mengerikan.'
'Yang Mulia, apakah mereka akan dapat menerimanya jika (dana) diberikan sekarang?'
(tanya raja itu).
'Ya, raja agung.'
'Kalau demikian, sudilah kiranya Yang Mulia menerima (undangan) saya untuk hari ini, dan saya akan mempersembahkan dana itu bagi mereka.'
Sang Buddha menyetujui dengan berdiam diri.
Raja pun kembali ke tempat tinggalnya untuk menyiapkan makanan yang melimpah.
Setelah siap, kemudian dia memberitahu Sang Buddha.
Sang Buddha pergi ke ruang makan istana bersama dengan komunitas para bhikkhu dan duduk di tempat yang telah disediakan.
Para peta itu berpikir, 'Hari ini kita akan memperoleh sesuatu.'
Mereka pergi dan berdiri di luar dinding dll.
Dengan kesaktiannya Sang Buddha membuat para peta dapat terlihat oleh raja.
Ketika memberikan dana air, raja mempersembahkannya sambil berkata,
'Biarlah ini untuk sanak saudaraku!'
Pada saat itu juga kolam-kolam teratai bermunculan bagi para peta itu, penuh dengan teratai dan lili air berwarna biru.
Para peta mandi dan minum di dalam kolam-kolam itu.
Dan karena kesedihan, keletihan dan kehausan mereka hilang, warna mereka pun berubah menjadi keemasan.
Raja memberikan bubur-beras, makanan keras serta lunak, dan mempersembahkan semuanya.
Pada saat itu juga bubur-beras surgawi dan makanan-makanan keras serta lunak pun bermunculan.
Ketika memakannya, kemampuan batin para peta menjadi segar.
Raja kemudian memberikan pakaian dan tempat tinggal dan mempersembahkan semua itu.
Maka pakaian dan istana-istana surgawi yang penuh dengan berbagai macam perabot dan tempat duduk dan kain penutupnya dll. muncul bagi para peta itu.
Segala kemuliaan mereka ini ditampakkan bagi raja karena Sang Buddha telah menetapkan bahwa memang seharusnya demikian.
Ketika raja melihat hal ini, dia merasa amat bersukacita.