TANGGAPAN TERPADU UNTUK XUVIE
Keterangan: Kata-kata di dalam kurung siku [] adalah tanggapan saya.
Kata-kata di luar kurung siku adalah tanggapan Xuvie sebelumnya.
===========================================================
Pertama, saya tidak menuduh Anda. Dan pernyataan saya 'nibbana di luar konsep' adlh mengutip dr pernyataan Sang Buddha Gotama. Ada rujukannya. Jadi saya tidak sembarang berkata.
Memang benar, ada sedikit paradoks yg terjadi. Bahwa 'Nibbana ada di luar konsep' itu sendiri pun sebuah konsep. Tapi konsep inilah yg paling mendekati realitas.
[Di sini telah terjadi kontradiksi. Pada mulanya dikatakan nirvana di luar konsep, tetapi belakangan dinyatakan bahwa itu adalah “konsep.” Dengan demikian, menyimpulkan dari perkataan Anda itu, seharusnya “nirvana ada di luar konsep” tidak lagi valid, karena toh sudah dikonsepkan. BAgi saya konsep yang mendekati realitas atau jauh dari realitas adalah sama-sama konsep. Anjing baik besar atau kecil adalah tetap anjing. Kedua bagaimana Anda tahu bahwa itu yang paling mendekati realitas, sedangkan Anda belum merealisasi nirvana?]
=============================================================
Krn tidak dijelaskan terlalu jauh melainkan diberikan rambu2 & syarat mengenainya yaitu Ajatam Abhutam Akatam Asankhatam.
Saat realitas dideskripsikan ke dalam tataran pikiran dan kata2, tentu mengalami degradasi dan distorsi, tidak lagi realitas melainkan konsep.
[Hal yang sama pula dengan filosofi Mahayana. Ketika realitas dalam filosofi Mahayana dideskripsikan ke dalam tataran pikiran dan kata2, tentu mengalami degradasi dan distorsi, seperti yang sudah saya katakan dalam posting2 sebelumnya. Banyak istilah2 dalam Mahayana yang terpaksa diungkapkan dalam kata-kata awam. Banyak umat non Mahayanis menafsirkannya terlalu harafiah dan melontarkan kritikan.Padahal sebenarnya makna yang hendak disampaikan tidak demikian. Itulah sebabnya saya juga boleh mengatakan bahwa kritikan itu tidak valid]
========================================================
Mari bayangkan pertanyaan anda. Jika sejak awal Sang Buddha tidak mencoba menjelaskan sbagaimana dlm Udana 8:3 bahwa 'ada ke tidakterlahiran, keterciptaan, keterbentukan, ketak-berkondisian yg dpt dicapai dr apa yg terlahir, tercipta, terbentuk dan berkondisi', bagaimana orang bisa mengerti dan mencapai pembebasan dr yg terlahir, tercipta, terbentuk dan berkondisi karenanya? Singkatnya, bagaimana orang bisa mencapai tujuan dari Buddha Dhamma?
[Hal inipun sudah diungkapkan dalam Sutra Samdhinirmocana. Sangat gamblang malah. Dijelaskan bahwa Sang Guru mengunakan “kata-kata sementara” (provisional meaning) untuk mengomunikasikan suatu ajaran. Itulah sebabnya agama Buddha, baik dari aliran apapun, sebenarnya adalah agama praktik.]
============================================================
Hanya saja, Sang Buddha sebagaimana dlm Pali Sutta dan Agama Sutra tidak melakukan hal2 yg bertabrakan dg ajarannya sendiri. Berbeda dg yg ada dlm kanon Mahayana di luar Agama Sutra.
Jadi kembali lagi, sebenarnya, bila Anda mengakui kebenaran Agama Sutra, maka kata2 Buddha-Bodhisattva (diluar Agama Sutra), para Guru dan para pujangga buddhis, termasuk Anda bertabrakan sendiri dg yg tertera dlm Agama Sutra.
[Bertabrakan menurut Anda, sedangkan bagi umat Mahayana tidak ada yang bertabrakan tuh. Secara logika, bila Agama Sutra bertabrakan dengan kanon Mahayana, mengapa kanon itu dimasukkan dalam kanon Mahayana? Bhikshu2 Mahayana yang menyusun kanon Taisho atau Beijing Sanzang tidak bodoh. Mereka pernah mengeluarkan Sutra2 yang dianggap palsu dari kanon. Jika benar yang Anda bilang ajarannya bertabrakan, maka dengan mudah mereka dapat mengeluarkannya dari kanon. Jawaban yang sangat simple. Jadi saya tekankan lagi. Ungkapan Anda bawa Agama Sutra bertabrakan dengan kanon Mahayana adalah sesuatu yang sangat subyektif dan tidak berarti apa2. Saya mempelajari dua2nya tetapi tidak merasa ada kontradiksi. Kalau perbedaan memang pasti ada. Tetapi bukan “tabrakan.” Kontradiksi tidak akan terjadi kalau Anda bersedia menerima penjelasan Mahayana. Tetapi bila tidak, maka kontradiksi itu bagi Anda akan terus ada. Nah, bila sudah begitu tidak ada lagi gunanya berdiskusi. Dengan alasan itu, agar tidak membuang-buang waktu saya. Saya tidak akan menanggapi lagi pernyataan yang menyatakan bahwa Agama Sutra bertabrakan dengan Sutra2 Mahayana].
==========================================================
Silakan tanya berulang kali, yg jelas ini pertama kali Anda menanyakan pd saya scr langsung.
Mengapa Anda selalu mencari yg lebih tinggi? Ke-2 2nya bahkan belum saya realisasikan, bagaimana saya bisa menjelaskan yg lebih tinggi yg mana? Bahkan sejauh yg saya pelajari, pun tidak ada Sang Buddha membandingkan mana kondisi yg lebih tinggi. Jika saya bisa menjawabnya, entah bagaimana cara saya menalar seorang Samma Sambuddha. Entah saya melebihi beliau, atau ?
Batin yg telah mencapai Nibbana tidak ada pembedaan A lebih tinggi dari B. Hanya ada melihat A sebagai A dan B sebagai B. Sejauh inilah yg saya bisa nalar.
[Anda tidak mengerti esensi pertanyaan saya. Ibaratnya buah sukun Anda jawab mangga. Buah mangga Anda jawab sukun. Mengapa pertanyaan mana yang lebih tinggi saya tanyakan terus menerus? Jawabnya karena umat non Mahayanis selalu mengkontraskan dengan nibanna tanpa sisa. Jika demikian, adalah konsekuensi wajar (anggap saja saya orang non Buddhis yang tidak tahu banyak mengenai agama Buddha) bahwa pasti ada perbedaan antara nibanna sisa dan tanpa sisa. Jadi pertanyaan mana yang lebih tinggi adalah konsekuensi yang wajar dari keterangan kalian. Itupun kalau kalian bisa atau bersedia menjawabnya. Memang benar bagi Samyasambuddha tidak ada tinggi atau rendah. Tetapi masalahnya saya tanya pada Anda yang belum mencapai samyaksambuddha. Jadi tinggi dan rendah seharusnya masih valid bagi Anda].
========================================================
Demikianlah.
Jadi saya hanya bisa memberikan penjelasan sejauh yg saya ketahui dan ada tercantum dlm teks. Harap dimaklumi.
Ada kelahiran maka tentu ada pelapukan dan penghancuran. Jika penghancuran unsur2 tsb yg Anda mksd dg kematian. Maka mencapai nibbana tanpa sisa tanpa melalui proses penghancuran adlh tidak mungkin. Krn bagaimana mungkin disebut 'tidak bersisa' jika 'tidak hancur'? Aneh.. Dlm kalimat pertanyaan Anda itu sendiri bertabrakan makanya saya memilih tidak menjawab sebelumnya.
[Jadi nibanna tanpa sisa adalah berkondisi bukan? Saya tidak bisa nonton di bioskop kalau tidak membayar karcis – itu adalah kondisi. Nah jika nibanna tanpa sisa tanpa melalu proses penghancuran adalah tidak mungkin, maka itu artinya nibanna tanpa sisa adalah berkondisi. Jadi ungkapan bahwa nibanna itu tak berkondisi adalah salah, setidaknya dengan mengacu pada keterangan Anda di atas. Dengan demikian, sekarang akan jadi jelas siapa yang sesungguhnya bertabrakan].
=====================================================
Eits.. Gmnpun, perbendaharaan kata2 dan persepsi itu penting. Terkadang bisa jadi 2 orang merujuk 1 hal sama, tp krn berbeda kosa kata, maka jadilah perdebatan. Sebelumnya, saya telah menyarankan Anda utk memeriksa di kamus dan membedakan antara kata padam dg tidak ada.
Apabila Anda menyamakan ke-2 hal tsb. Anda seperti orang yg menyamakan bahwa arti kata Atheis sbg 'tidak percaya adanya Tuhan' sama dengan 'percaya bahwa tidak ada Tuhan'
Berhati2lah meskipun sekilas terlihat sama..
Jika saya setuju dg setelah padam masih ada apa2. Berarti saya bertentangan dg prinsip 'Nibbana adlh bukan ada, bukan tiada, bukan antara ada dan tiada, bukan bukan ada pun tiada' itu sendiri.
Mengapa masih terus mencoba memancing saya menjawab dlm jawaban yg salah?
[Bukannya memancing, tetapi karena memang apa yang Anda ungkapkan itu menimbulkan banyak pertanyaan. Jadi pertanyaan semacam itu adalah konsekuensi wajar dari apa yang Anda ungkapkan. Jika padam tidak dapat diartikan sebagai tak ada apa lagi, maka secara logika tentunya padam dapat diartikan sebagai “ada apa-apa lagi.” Ini bukan dari saya lho, melainkan saya hanya mengikuti alur logis posting2 Anda sebelumnya. Anda pernah pula menyatakan bahwa bila ada dua hal yang bertentangan, maka mustahil dua-duanya benar. Nah, sekarang silakan jawab, bila padam bukan berarti tidak ada apa-apa lagi, tentunya lawannya yang benar bukan? Yakni “padam masih ada apa-apa.” Jika Anda ngotot bahwa dua-duanya tidak ada yang benar, sebagai konsekuensinya Anda harus menarik pernyataan Anda sebelumnya bahwa jika ada dua pernyataan yang bertentangan, maka salah satu di antara keduanya pasti salah. Itupun jika Anda bersedia mengakuinya. Bila tidak ya terserah Anda.].
======================================================
Patuhilah aturan bermain..
[Aturan bermain apa lagi yang harus dipatuhi? Bermain lompat tali maksudnya?]
==========================================================
Saya sendiri tidak merasa benar krn tdk menjawab. Jd sia2 bila ada serangan yg ditujukan pd pribadi saya.
[Siapa yang menyerang pribadi Anda?]
==========================================================
Toh.. apa artinya? Ini semua hanya kata2, bkn sebuah pengalaman langsung. Jd saya semata ingin berdiskusi saja dan menyampaikan bbrp hal yg saya ketahui sebagaimana ada dlm kanon Pali dan membandingkan dg kanon Mahayana.
[Begitupun saya. Saya hanya berupaya menjelaskan kesalah-pahaman rekan2 non Mahayana terhadap ajaran Mahayana].
==========================================================
Kenyataannya, memang demikianlah. Tidak diragukan lagi Anda seorang cendekia. Saya banyak belajar dr tulisan Anda. Tentunya Anda tahu bahwa inti diskusi adlh bertanya dan menjawab. Pertanyaan Anda selalu saya usahakan utk saya jawab dg baik. Tetapi bagaimana dg pertanyaan saya? Selalu Anda kembalikan, bertanya kembali. Dan terkadang mengarah ke pribadi, pdhl jelas yg saya tulis adalah sebagaimana yg tertera dlm kanon Pali.
[Begitupun juga saya. Saya merasa telah memberikan jawaban yang terbaik. Pertanyaan itu tentunya juga adalah sebagian dari jawaban. Ada pertanyaan yang perlu dijawab dengan pertanyaan balik. Mengarah pada pribadi? Saya kira itu hanya perasaan Anda saja].
======================================================
Kalau begitu, katakanlah di bagian mana semua kritikan thdp Mahayana juga tdk 'apply'?
[Ya semuanya lah. Karena kritikan di sini adalah penafsiran yang terlalu harafiah dan dipaksakan terhadap ajaran Mahayana. Sesungguhnya kerja sama yang baik antara aliran itu harusnya berupa upaya untuk memahami satu sama lain dan bukannya saling mengkritik atau membandingkan. Sebenarnya kita semua sudah tahu bahwa Mahayana dan non Mahayana itu pasti beda. Tetapi biasanya non Mahayanis terus menerus menekankan perbedaan itu. Namun sudah dengan asumsi (gelas yang tidak lagi kosong) bahwa ajaran non Mahayana itu pasti benar].
=====================================================
Menuntut itu hny sebuah penekanan, sbgmn yg saya tangkap dr pertanyaan Anda sbelumnya yg mengindikasikan seolah2 Sang Buddha menuntut jawaban. Jika Anda tidak merasa demikian..
Baiklah, anggaplah saya menulis 'menuntut' itu hanya pandangan subjektif saya dan tanggapan tulisan sy yg sedikit berlebihan atas tulisan Anda sebelumnya, jika Anda tidak menganggap Sang Buddha menuntut sebuah jawaban. Maafkan saya.
[Lho? Saya tidak tahu apakah Sang Buddha menuntut jawaban atau tidak. Yang saya tanya adalah bagaimana pandangan menurut Anda. Yang saya perlukan adalah jawaban yang jelas. Ya atau tidak].
==================================================
Sang Buddha bertanya pd Ambattha, krn apa yg ditanyakan harus dijawab. Apa yg dilakukan harus siap akan konsekuensinya toh? Setuju? Dan dia sendiri telah memulai perdebatan tsb. Karenanya wajar jika Sang Buddha bertanya akan jawaban dari dia. Krn perdebatan telah terjadi, maka wajar jika perdebatan harus berlangsung hingga akhir. Sedangkan Ambattha berhenti ditengah2.
[Darimana ada aturan bahwa suatu perdebatan harus berhenti sampai akhir. Bagaimana kalau tidak mungkin ditemukan jalan keluar? Ungkapan bahwa perdebatan harus diselesaikan sampai akhir adalah terlalu menggampangkan masalah. Perdebatan antara Mahayana dan non Mahayana sendiri mana mungkin bisa selesai? Sampai kapan seseorang harus berdebat? Sampai jenggotan ya? Dengan demikian, jawaban Anda di atas masih jauh dari sasaran, karena inti masalahnya bukan itu. Ibarat buah sukun dijawab buah mangga dan demikian pula sebaliknya].
===========================================================
Jadi pertanyaan Sang Buddha bukan didorong oleh kehendak (cetana) spt keinginan dan pengharapan, melainkan sbuah tindakan fungsional (kiriya) dlm situasi tsb. Dan krn SB tidak bisa menghentikan, oleh belas-kasihnya, maka dia memberitahu pemuda Ambattha akan konsekuensi bila dia tidak menjawab utk ke-3 kalinya.
[Jadi menurut Anda kiriya ya? Omong2 seperti apa sih kiriya itu. Apakah seperti proses yang tidak dapat dihentikan oleh Buddha dan berjalan seperti ban berjalan atau robot yang otomatis? Kalau penjelasan Anda mengenai kiriya adalah seperti itu, maka apakah bedanya Buddha dan sebuah robot yang hanya mempunyai “tindakan fungsional”? Apakah orang mencapai pencerahan hanya untuk menjadi “robot” bila jawaban Anda adalah “ya.” Menurut saya, kiriya tidak seperti itu, setidaknya menurut definisi Mahayana. Tetapi ini akan saya simpan dulu sampai akhir. Tunggu bagaimana penjelasan Anda].
==========================================================
XUVIE:
Jadi sebelumnya, telah pernah ada 'kelahiran terakhir' bagi seorang Gotama di kelahiran terdahulunya. Kemudian kembali terlahir lagi di 'kelahiran terakhir' sebagai seorang Sakyamuni, Siddhartha Gautama. Dan mungkin di masa depan akan terlahir lagi di 'kelahiran terakhir' lain sebagai sosok lain. Terakhir dari hongkong?!
TAN:
Anda salah besar! Buddhisme Mahayana tidak menganggapnya sebagai “kelahiran” melainkan EMANASI. Jadi pertanyaan Anda di sini sangat tidak valid. Seperti yang telah saya ungkapkan di atas, karena keterbatasan kata-kata, maka dipergunakan istilah kelahiran. Tetapi tentunya itu bukan istilah kelahiran, seperti manusia atau para makhluk pada umumnya, sehingga penyebutan sebagai “kelahiran” di sini tidak tepat. Seperti yang telah saya ungkapkan sebelumnya, emanasi itu adalah suatu permainan kosmis demi mengajarkan para makhluk. Yaitu memperagakan bagaimana proses pencarian seorang manusia menuju Penerangan Sempurna. Itulah berita sesungguhnya yang ingin disampaikan. Pernah tahu Sutra Lalitavistara ga? Itu adalah Sutra Mahayana yang membahas mengenai riwayat Buddha Sakyamuni. Tahu arti kata “Lalitavistara” ga? Itu artinya “Permainan atau Drama Kosmis.” Istilah “kelahiran terakhir” itu hanya istilah yang dipergunakan untuk mengajar umat manusia.
XUVIE:
Berarti bukan benar2 'kelahiran terakhir' dong. Kalau hanya krn Nama-rupa berbeda lantas dianggap 'kelahiran terakhir', berarti ini adlh kelahiran terakhir bagi sy dlm wujud yg skrg. Dan ini 'kelahiran terakhir' pula bagi seorang Ivan Taniputera. Begitukah?
Terlalu dipaksakan..
TAN:
Benar. Setidaknya saya bisa pakai rujukan dari ajaran non Mahayanis untuk mendukung teori saya di atas. Kalau ini bukan kelahiran terakhir dari sosok Tan, maka berarti di masa yang akan datang masih ada sosok Tan lagi. Itu berarti ada suatu “atta” kekal yang terlahir berulang-ulang. Nah itu adalah ajaran eternalis bukan? Tentunya Anda tidak mau disebut eternalis khan?
XUVIE:
Memang benar, tetapi berhub sebagaimana kaum non-Mahayanis meyakini kanon Pali, dan Anda sbg kaum Mahayana pun mengakui kebenaran Agama Sutra, maka bisa kembali lagi ke 4 kewibawaan utk mengecek ke Dhamma-Vinaya yg telah diajarkan Sang Gotama.
Dan seperti telah dikatakan oleh Bro Upasaka, bahwa dlm Theravada, penjelasan rasionalnya lebih dapat dipertanggung jawabkan.
instrumen dalam berlogikanya sepertinya banyak fallacy ya.. Boleh diperbaiki terlebih dahulu deh baru bisa meneruskan ke dlm diskusi.
TAN:
Kebenaran rasional dari Hongkong? Mana buktinya? Justru pertanyaan2 saya banyak yang tidak terjawab oleh rekan-rekan non Mahayanis. Semuanya banyak yang muter2 saja. Pernyataan Anda bahwa logika saya banyak fallacynya adalah sesuatu yang sangat subyektif. Itu semua hanya karena SAYA TIDAK SEPENDAPAT DENGAN ANDA. Coba saja kalau saya sependapat dengan Anda seperti Sdr. Upasaka, dll, maka Anda akan bilang logika saya sudah benar. Anda bilang kalau saya banyak mengarah pada pribadi Anda. Tetapi ungkapan “instrumen dalam berlogikanya sepertinya banyak fallacy ya.. Boleh diperbaiki terlebih dahulu deh baru bisa meneruskan ke dlm diskusi.” apakah bukan pengarahan terhadap pribadi juga. Saya juga boleh bilang tanggapan Anda semuanya sangat subyektif. Bisa diperbaiki terlebih dahulu sebelum meneruskannya ke dalam diskusi.
[bersambung]