APAKAH ZEN SEPENUHNYA MENOLAK INTELEGENSI?
Dikenal akan karyanya di dalam menterjemahkan “100,000 Nyanyian Milarepa”, Garma Chen-Chi Chang juga adalah pengarang buku “The Practice of Zen” dan “The Teachings of Tibetan Yoga”. Beliau juga editor dan penterjemah dari “A Treasury of Mahayana Sutras”. Di saat kematiannya pada tahun 1988, Dr. Chang adalah Professor Emiritus dari studi religius di Pennsylvania State University (USA).
Nasib Zen sebagai pengetahuan yang vital dan kebenaran spiritual bergantung bagaimana pertanyaan ini dijawab. Beberapa penulis telah menekankan berulang kali bahwa Zen tidaklah dapat dipahami secara intelektual dan irasional. Tetapi jika ini benar, bagaimana seorang manusia dapat memahaminya? Jika segala pengetahuan konseptual dan intelek haruslah dibuang, para guru Zen masa lampau yang cerah pastilah seorang bodoh sepenuhnya.
Tetapi sejarah menunjukkan kenyataan sebaliknya. Guru guru ini lebih terpelajar dari rata-rata orang, bukan saja dalam soal pengetahuan Zen, tetapi juga dalam bidang-bidang lain. Pencapaian mereka yang luar biasa di dunia seni, sastra (literatur) dan filosofi sangatlah berkelas dan sangat menonjol di segala bidang kebudayaan cina. Ada kemungkinan kesalahan di dalam merepresentasikan Zen yang dibuat oleh beberapa orang penulis disebabkan oleh kegagalan di dalam membedakan antara “memahami” dan “merealisasikan”. Memahami sesuatu tidaklah berarti merealisasikannya.
Memahami Zen melalui pendekatan intelek tidaklah perlu disalahpahami sebagai realisasi langsung akan kebenaran Zen. Jadi seharusnya yang mereka katakan bukanlah “memahami Zen” tetapi “merealisasikan” Zen, ketika seseorang didorong untuk membuang segala sesuatu yang ia peroleh dari pengetahuan (pada tahap-tahap tertentu). Memahami rasa es krim yang manis, dingin dan lezat bukanlah berarti mengalami langsung perasaan tersebut.
Setiap siswa budhis tahu bahwa “memahami” tidaklah sama dengan “merealisasikan”. Memahami adalah termasuk pengukuran tidak langsung sedangkan merealisasikan termasuk pada pengukuran langsung. Mengacaukan kedua kategori ini bisa dibandingkan dengan mengatakan kepada seorang pendeta gereja yang taat bahwa “Yesus adalah cuma seonggok kotoran kering”. Saya yakin, ia pasti akan diusir dari gereja. Tapi tentu saja ini tidaklah aneh dalam perspektif Zen.
Memahami Zen melalui pendekatan intelektual bukanlah sesuatu yang harus dikecam, tetapi merupakan satu-satunya jalan yang mungkin untuk pemula. Siapa sich yang dapat memasuki Zen tanpa mula-mula memiliki pemahaman atau konsep pengetahuan akan Zen ?? Ini berlaku untuk siapa saja.
Penolakan sepenuhnya akan nilai intelektual jelas sekali tidak berdasar, baik dari sudut pandang filosofi, agama dan juga - terlebih lagi- Zen. Karena jikalau ingin menganggap Zen sebagai esensi budhisme yang mengekpresikan kebenaran ultimit, Zen haruslah bebas dari semua halangan dan mencakup semua. Ini sesuai dengan filosofi Hua Yen yang secara eksplisit menyatakan jika suatu kebenaran itu tak terbantahkan dan meresapi semua, kebenaran itu haruslah mencakup semua dan bebas dari segala halangan.
Jadi seonggok kotoran kering jugalah ditemukan dalam Buddha. Gunung tetaplah gunung. Air tetaplah air; pada saat saya lapar, saya makan dan pada saat saya mengantuk saya tidur; burung bernyanyi dan ikan berenang. Apa salahnya, jadi, dengan pengetahuan konseptual dan intelek?
Apakah mereka tidak termasuk [juga] dalam jalan Tao yang agung? Apakah mereka semua bukannya [sama-sama] berfungsi dari kebudhaan yang menakjubkan? Bukankah baik intuisi dan intelek sama megahnya dan sama-sama dibutuhkan di dalam pemainan agung Dharmadhatu (Totalitas yang mencakup semua)?