//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - SUGI THEN

Pages: [1] 2 3 4
1
Mahayana / Menekuni Buddhisme Namun Malah Makin Merosot
« on: 23 September 2012, 12:39:55 AM »


 
学佛反而堕落
Menekuni Buddhisme Namun Malah Makin Merosot
 source : Tripitaka 1494


۞ 爾時文殊師利法王子白佛言。世尊。云何布施持戒忍辱精進禪定智慧是障礙法。
Kemudian, Pangeran Dharma Manjusri bertanya kepada Sang Buddha :
"Bhagavan, kenapa dana-sila-ksanti (kesabaran) - virya (ketekunan) - dhyana (meditasi) dan Prajna (kebijaksanaan Agung) adalah rintangan ?"

۞ 佛告文殊師利法王子。一切諸法性無障礙。而諸凡夫愚小無智自生分別。於布施持戒忍辱精進禪定智慧而作障礙。
Buddha memberitahu Pangeran Dharma Manjusri : "Hakekat sejati sarvadharma adalah tiada rintangan, namun insan awam yang tidak berpengetahuan dirinya sendiri menciptakan perbedaan, sehingga dana-sila-ksanti-virya-dhyana dan Prajna bisa menjadi sebuah rintangan bagi dirinya sendiri."

۞ 所以者何。文殊師利。凡愚之人行布施時。於慳眾生不生恭敬。以不恭敬便生瞋心。以瞋心故墮大地獄。
"Oleh karena itulah wahai Manjusri, saat insan awam yang dungu melakukan perbuatan berdana, dia akan kehilangan rasa menghargai terhadap orang yang pelit, oleh karena tidak ada rasa menghargai maka timbullah kebencian dari dalam hatinya, karena timbul kebencian maka ia merosot kedalam neraka besar."

۞ 身自持戒。見犯戒者而生輕慢。說其過惡令他聞之生不恭敬。以不恭敬故墮於惡趣。
"Dirinya sendiri mentaati sila, namun pada saat berjumpa dengan orang yang melanggar sila, timbul rasa angkuh dan meremehkan, menyebarkan kesalahan kesalahannya supaya orang lain yang mendengar juga ikut tidak menghargai pelanggar sila tersebut, oleh karena kehilangan rasa menghargai, maka merosotlah ia ke alam rendah."

۞ 自修忍辱。以忍辱故而生高心。我是忍辱餘人麤惡。以是忍故而生放逸。當知即是眾罪之本。
"Diri sendiri menekuni ksanti (kesabaran), oleh karena ia mampu bersabar maka timbullah rasa tinggi hati seperti ini : Aku adalah orang yang mampu bersabar, sedangkan orang - orang itu adalah orang biadab yang tidak punya kesabaran. Maka, kesabaran malah membuatnya lengah (sehingga tinggi hati), ketahuilah bahwa hal ini adalah akar dari semua pelanggaran."

۞ 自行精進。於懈怠者生如是念。如此愚人不應食他信施供養。乃至不應受一飲水。常於己身而起貢高卑下他人。當知是輩愚小無智。
"Dirinya mempraktekkan ketekunan, berjumpa dengan pemalas, dia berpikir demikian : Pemalas seperti itu seharusnya tidak pantas memakan pemberian orang, bahkan seharusnya menerima seteguk air-pun tidak pantas. Setiap dia memikirkan diri sendiri selalu timbul keangkuhan dan memandang rendah pada orang lain, ketahuilah bahwa ini merupakan perbuatan dungu dan tidak berpengetahuan."

۞ 自行禪定。見亂想者發如是念。我常修定。其餘比丘多諸亂心說於邪論。如此之人去道尚遠。何能得佛。作是念時隨所起念一念一劫還受生死。受生死已甫當更修菩提之道。
"Dirinya menekuni dhyana (meditasi), saat berjumpa dengan orang yang masih berpikiran kacau, dia berpikir : <Aku ini selalu latihan meditasi, bhiksu yang lain batinnya masih kacau, semua yang dibabarkan mereka adalah sesat. Orang yang seperti itu, masih sangat jauh dengan jalan kebenaran, bagaimana mungkin bisa mencapai Kebuddhaan. > Saat ia berpikiran demikian, mengikuti tiap pikiran yang timbul merupakan satu kalpa menerima kembali kelahiran dan kematian, setelah mengalami kelahiran dan kematian, dia masih harus kembali lagi menekuni jalan Bodhi."

۞ 自恃多聞。於無名法以不真智妄生分別。見有所得起大憍慢。我說是輩是大愚癡無智之人。諸覺所覆非是大人。雖復志求大乘之道。作如是言。我當於世為最為勝。而於聲聞小乘之人不生恭敬。輕慢惡賤說其過罪。以其惡心說麤語故而墮惡趣。
"Diri sendiri merasa banyak pengetahuan, terhadap Dharma yang tidak diketahuinya ia akan sembarangan membeda bedakan, melihat dirinya punya kelebihan timbullah kesombongan besar. Ketahuilah bahwa orang yang demikian sesungguhnya adalah sangat dungu dan tidak berpengetahuan, dia ditutupi oleh banyak perolehannya sendiri dan dia bukanlah seorang yang agung. Meskipun ia mendalami jalan Mahayana, namun dia mengatakan demikian : <Aku ini yang paling hebat dan paling unggul.> Ia tidak akan menghargai orang orang dari Sravakayana. Meremehkan mereka, memandang rendah dan membicarakan kesalahan kesalahannya, dengan penuh kebencian akhirnya ia mengeluarkan ucapan kasar dan menyakitkan, oleh karena itulah ia pasti merosot ke alam rendah."

۞ 爾時文殊師利法王子白佛言。世尊。菩薩不應於佛法中妄宣人惡。佛言。如是如是。文殊師利。於意云何。菩薩豈不於諸眾生常起慈心憐愍愛念。不以惡眼而視之耶。文殊師利言。如是世尊。
Kemudian Pangeran Dharma Manjusri berkata kepada Sang Buddha :
"Bhagavan, benar sekali bahwa seorang Bodhisattva tidak seharusnya menggunakan Buddha Dharma untuk menjelek jelekkan orang lain."

Buddha menjawab : "Tepat sekali , tepat sekali wahai Manjusri, kenapa demikian ? Bukankah seorang Bodhisattva seharusnya senantiasa berwelas asih dan mengasihani para insan. Bukan malahan memandang para insan dengan penuh kebencian dan rasa muak."
Manjusri menjawab, "Tepat sekali, Sang Bhagavan."

2
Mahayana / Filosofi Mahayana Mencapai Nirvana Bersama-sama
« on: 22 June 2012, 03:31:52 AM »

"Filosofi Mahayana Mencapai Nirvana Bersama-sama"


Apa yang dimaksud mencapai pantai seberang bersama-sama, banyak umat Buddha diluar tradisi Mahayana yang menganggapnya sebagai mencapai nirvana bersama-sama dan mereka berkata untuk mencapai nirvana tidak akan mungkin bisa bersama-sama tetapi harus sendiri-sendiri pandangan tersebut memang benar, memang untuk mencapai nirvana tidak akan mungkin berbarengan tetapi yang dimaksudkan dalam pandangan Mahayana bukanlah itu, mencapai pantai seberang atau nirvana bersama-sama yaitu dimaksudkan adalah berlatih bersama-sama untuk mencapai kesuksesan pencapaian nirvana.
Contohnya demikian sewaktu anda naik keatas perahu yang besar dengan kapasitas 1250 orang anda tidak akan mungkin langsung naik berbarengan langsung bersama-sama 1250 orang dalam waktu yang sama, tetap saja anda akan naik satu persatu sewaktu semua penumpang sudah pada naik maka kapal itu akan berlayar bersama-sama dengan penumpangnya yang berjumlah 1250 penumpang sewaktu sampai ditujuan para penumpang pun tidak mungkin dalam waktu bersamaan langsung turun 1250 orang tetapi mereka akan turun satu persatu inilah yang dimaksud dengan mencapai pantai seberang bersama-sama maka itu filosofi tersebut digambarkan dengan perahu naga yang sedang berlayar perhatikan gambar diatas ini :

*Buddha digambarkan sebagai simbol Nirvana pantai seberang yang akan dituju.

*Bodhisattva digambarkan sebagai simbol pembimbingan atau pelindung dharma sesuai janji ikrar para Bodhisattva yang akan terus membimbing semua mahluk keluar dari lautan samsara.

*Kapal Naga digambarkan sebagai simbol Dharma sebuah kendaraan ajaran kebenaran yang akan membawa kita keluar dari lautan samsara.

*Lautan digambarkan sebagai simbol dukha samsara semua mahluk terjerat dan terombang-ambing oleh lautan dukha samsara.

*Bhiksu yang mendayung digambarkan sebagai simbol Sangha yaitu para guru yang akan mengarahkan kita kejalan yang benar sesuai dengan Buddha Dharma.

*Penumpang kapal digambarkan sebagai simbol umat manusia yang sedang berlatih bersama-sama didalam Dharma.

inilah filosofi Mahayana tentang mencapai nirvana bersama-sama yang berarti berlatihlah bersama-sama menuju pantai bahagia jangan saling meninggali hanya demi kepentingan pribadi ataupun sekedar kebahagian pribadi inilah yang dipraktekan oleh Sang Buddha sendiri sewaktu beliau mencapai penerangan sempurna beliau tidak menyimpan untuk pribadinya sendiri tetapi beliau ajarkan kepada semua umat manusia dan para dewa berharap agar para manusia dan para dewa dapat berlatih dengan giat agar kelak dapat keluar dari lautan samsara dan pencapai nirvana bersama-sama.

Tadyata Om Gate Gate Paragate Parasamgate Bodhi Svaha

Berseberang Berseberanglah Menuju Pantai Bahagia

Semoga Bermanfaat _/|\_
Sarve Sattva Bhavantu Sukhinah!

3
Diskusi Umum / PETA PENYEBARAN TRADISI BUDDHISM
« on: 12 June 2012, 02:37:00 AM »
PETA PENYEBARAN TRADISI BUDDHISM


4
Diskusi Umum / APAKAH YANG DIMAKSUD "HINAYANA" ITU?
« on: 27 May 2012, 04:02:34 AM »

APAKAH YANG DIMAKSUD "HINAYANA" ITU?


Beberapa di antara kita mungkin sering mendengar bahkan mungkin ada yang menggunakan istilah Hinayana ( Sanskerta: Hīnayāna हीनयान ). Ada yang berpendapat bahwa Hinayana adalah salah satu aliran/sekte atau tradisi dari Buddhisme yang berarti Kendaraan Kecil. Dan ada yang berpendapat bahwa aliran Hinayana adalah aliran Theravāda. Dan ada juga yang berpendapat bahwa Hinayana berarti kendaraan berkapasitas kurang? Benarkah demikian ? Mari kita ulas.

Kerancuan

Kita semua pasti sependapat bahwa pada masa kehidupan Sang Buddha tidak ada sekte atau aliran dalam Buddhisme. Apa yang diajarkan Sang Buddha pada saat itu hanyalah disebut Dhamma dan Vinaya. Oleh karena itu tidak mungkin aliran yang bernama Hinayana itu ada pada masa itu. Tetapi di antara abad ke-1 SM sampai abad ke-1 M istilah Mahāyāna dan Hīnayāna muncul dalam Saddharma Pundarika Sutra Atau Sutra Lotus. Istilah ini terdapat pada bab 3 dari Sutra Lotus. Ini menjadi hal yang menarik. Jika pada masa kehidupan Sang Buddha tidak ada sekte atau aliran dalam Buddhisme, mengapa terdapat istilah Mahāyāna dan Hīnayāna dalam Sutra Lotus yang dikatakan dibabarkan sendiri oleh Sang Buddha? Mengacu pada aliran manakah Hīnayāna ini? Theravāda-kah?

Pada masa sekarang terjadi kerancuan dalam umat Mahāyāna ataupun Vajrayāna di dalam menggunakan istilah Hīnayāna. Mereka menerapkan istilah Hīnayāna dengan tiga cara penggunaan yang berbeda, yaitu:

Dalam pemahaman sejarah; aliran Pra-Mahāyāna di anggap sebagai Hīnayāna.
Theravāda modern dianggap sebagai Hīnayāna.
Istilah Hīnayāna digunakan sebagai bagian internal dari ajaran Mahāyāna.
Mari kita lihat lebih dekat tiga cara penggunaan tersebut.

Beberapa orang menyatakan bahwa kata Hīnayāna adalah sebagai istilah untuk mengacu pada aliran lebih awal Buddhisme dan penggunaan istilah ini hanya digunakan pada masa lalu saja. Hal Ini tidaklah benar. Ternyata penggunaan istilah Hīnayāna tidak hanya ditemukan dan digunakan pada masa lalu saja tetapi juga dapat ditemukan di beberapa karya referensi modern dan dalam kepustakaan spesial lainnya, sebagai contoh dapat ditemukan di Buddhist Philosophy In Theory and Practice, H.V. Guenther, yang mengutip sebuah karya Tibet dari abad ke-18 dan 20.
Sebagai contoh mengenai kerancuan Theravāda yang dianggap sebagai Hīnayāna, terdapat dalam kutipan Bibliografi Jane Hope (Jane Hope pernah belajar kepada Chögyam Trungpa Rinpoche), Buddha for beginners, dicetak tahun 1995, berikut terjemahan dari versi Norwegia dari kutipan tersebut: ”Buddhisme Hīnayāna. Suatu pengenalan yang baik untuk tradisi Hīnayāna adalah ’What the Buddha Taught’, karya Walpola Rahula … Berasal dari sudut pandang masa sekarang dan ditulis oleh dua orang Barat yang berlatih tradisi Theravāda, adalah… Seeking the Heart of Wisdom, oleh Joseph Goldstein & Jack Kornfield …”
Sekarang untuk kerancuan yang kuat, terdapat dalam Buddhisme Tibet. Beberapa orang mengatakan bahwa Hinayana dan Mahayana pada awalnya adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan dua sikap spiritual yang berbeda, dan dikutip dari Bab ke-7 (“Loving Kindness and Compassion“) dari karya Tibet klasik, The Jewel Ornament of Liberation, yang ditulis pada abad ke-10, dimana penulis, Jé Gampopa mengacu Hīnayāna sebagai “kapasitas sedikit” (“theg pa dman pa“). Paragrafnya terbaca sebagai berikut: “Berhubungan dengan kebaikan diri atas kedamaian semata (1) menandakan suatu sikap kapasitas yang rendah (2) dimana keinginan untuk menghapus penderitaan hanya dipusatkan pada dirinya sendiri. Dengan penghindaran penghargaan terhadap orang lain ini maka hanya ada sedikit pengembangan akan kepedulian terhadap yang lain. [...] Ketika Kasih Sayang dan Belas Kasih menjadi satu, begitu banyak rasa keperdulian terhadap kesadaran makhluk-makhluk lain sehingga seseorang tidak bisa hanya membebaskan dirinya sendiri saja. [...] Guru Manjushrikirti pernah mengatakan: ’Pengikut Mahāyāna seharusnya tidak tanpa memiliki kasih sayang dan belas kasih meskipun sekejap saja’, dan’bukanlah kemarahan dan kebencian tetapi kasih sayang dan belas kasih-lah yang bersedia memberikan kesejahteraan orang lain’.”
Catatan kaki pada bagian buku ini adalah sebagai berikut:

(1) Kata zhi ba dalam bahasa Tibet berarti ”damai”(peace). Kata ini diterjemahkan sebagai ”kedamaian semata” (mere peace), karena kata ini digunakan oleh Gampopa untuk menunjukkan hubungan kedamaian tanpa belas kasih yang merupakan hasil dari pengembangan meditasi konsentrasi semata saja.

(2) Hīnayāna: ”kapasitas sedikit” sering diterjemahkan sebagai ”kendaraan kecil”. Istilah ini menyiratkan kemampuan untuk membawa beban. Dalam kasus ini beban tersebut adalah diri sendiri sejak seseorang berkomitmen untuk membawa diri sendiri pada pembebasan sendiri, bukan semua orang (dalam hal ini Mahāyāna, ”kapasitas besar”).

Masalah dan kerancuan di sini tentunya bukanlah sebuah analisa yang mengacu secara langsung pada kata hīnayāna dalam bahasa Pāli/Sanskerta, tetapi mengacu pada terjemahan bahasa Tibet “theg pa dman pa“. Inilah kunci permasalahannya.

Pengertian Hīnayāna

Kita mulai dengan pengertian dari kata hinayana. Kata hinayana bukanlah berasal dari bahasa Tibet, bukan berasal dari bahasa China, Inggris ataupun Bantu, tetapi berasal dari bahasa Pāli dan Sanskerta. Oleh karena itu, satu-satunya pendekatan yang masuk akal untuk menemukan arti dari kata tersebut, adalah mempelajari bagaimana kata hinayana digunakan dalam teks Pāli dan Sanskerta.

Kata hīnayāna (hiinayaana) berasal dari 2 kata, yaitu ”hīna” dan ”yāna”. Kata ”yāna” berarti kendaraan, tidak ada yang berselisih paham mengenai kata ini. Sedangkan beberapa orang mengatakan kata ”hīna” adalah lawan dari kata ”mahā”. Padahal bila kita menengok bahasa Sanskerta maupun bahasa Pāli, lawan kata dari kata ”mahā” yang berarti besar bukanlah ”hīna” tetapi kata “cūḷa” (cuula) yang berarti ”kecil”. Lalu apakah arti kata ”hīna”? Kata ”hīna” sendiri berarti rendah, buruk, amoral. Hal ini dapat dibuktikan dengan kata ”hina” dalam kosakata bahasa Indonesia yang sedikit banyak dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta.

Selain itu, di dalam kitab Pāli, dimana setiap Buddhis tentu tahu kotbah pertama Sang Buddha yaitu Dhammacakkappavattana Sutta, sebuah kotbah yang disampaikan kepada lima petapa yang menjadi lima bhikkhu pertama, di dalamnya terdapat kata ”hīna”. Sang Buddha bersabda: ”Dua pinggiran yang ekstrim, O para bhikkhu, yang harus dihindari oleh seseorang bhikkhu (yang meninggalkan keduniawian). Pinggiran ekstrim pertama ialah mengumbar napsu-napsu, kemewahan, hal yang rendah (hīna), kasar, vulgar, tidak mulia, berbahaya…”

Mengingat bahwa sutta memiliki gaya yang sering mengunakan kata-kata yang bersinonim, sehingga saling menguatkan dan menjelaskan satu sama yang lain, maka dalam hal ini dapat dilihat bahwa, kasar, vulgar, tidak mulia, berbahaya adalah sebagai definisi pelengkap dari kata ”hīna”.

Di sini Sang Buddha menunjukkan dengan jelas bahwa jalan yang harus dihindari untuk dilatih merupakan sesuatu yang hīna.

Dalam teks Pāli dan komentar lainnya, hīna sering digunakan dalam kombinasi kata hīna-mājjhima-paṇīta, yaitu : buruk – menengah – baik. Dalam konteks hīna-majjhima-paṇīta (atau kadang hanya hīna- paṇīta), kata ”hīna” selalu digunakan sebagai suatu istilah untuk kualitas yang dihindari seperti kebencian, keserakahan, dan kegelapan batin. Hal ini jelas bahwa kata ”hīna” berarti ”rendah, yang harus dihindari, tercela”, dan bukannya ”kecil” atau ”kurang”.

Sekarang dalam teks Sanskerta. Dalam Lalitavistara kita dapat menemukan versi Dhammacakkappavattana Sutta, dimana kata ”hīna” digunakan tepat seperti kutipan dalam sutta versi Pāli.

Dalam Mahayanasutralankara karya Asaṅga, yang mewakili seluruh teks Mahāyāna, kita menemukan sesuatu yang menarik bagi pertanyaan kita. Asaṅga mengatakan: ”Ada tiga kelompok manusia: hīna-madhyama-vishishta…(buruk-menengah-terbaik).” Ungkapan ini sesuai dengan teks Pāli: hīna-majjhima-paṇīta, dan ini menunjukkan bahwa umat Mahāyāna yang menggunakan istilah ”hīnayāna”, melihat ”hīna” sebagai istilah penjelekkan (penghinaan), dengan arti yang sama seperti dalam teks Pāli.

Teks yang sangat menarik yaitu edisi dari Catushparishatsutra dimana teks tersebut di tampilkan dalam 4 kolom sejajar: terjemahan Sanskerta, Pāli (Mahāvagga), Tibet dan Jerman yang berasal dari versi bahasa China. Di sini, kembali, kita menemukan Dhammacakkappavattana Sutta. Kita telah melihat terjemahannya dalam bahasa Sankerta dan Pāli. Versi Jerman dari bahasa China mengatakan: “Erstens: Gefallen zu finden an und anzunehmen die niedrigen und üblen Sitten der gewöhnliche Personen …” Sedikit kurang jelas apakah kata “niedrigen” (rendah, tercela) atau kata “üblen” (jahat, buruk) yang berhubungan dengan ”hīna”. Tapi pada akhirnya, jelas bahwa konotasi yang sangat negatif dari kata ”hīna” telah terbawa ke dalam terjemahan bahasa China.

Dalam kolom terjemahan bahasa Tibet, kita menemukan kata Tibet “dman-pa” berhubungan dengan kata ”hīna” dalam bahasa Sanskerta, sesuai dengan kutipan Jé Gampopa di atas. Dan di sini kita memiliki penyebab dari kerancuan dan kesalahpahaman selanjutnya atas istilah hīnayāna. Mari kita lihat kamus bahasa Tibet-Inggris tentang “dman-pa“: Kamus Sarat Chandra Das mengatakan : ” dman-pa: sedikit (Inggris: low) mengacu pada kuantitas atau kualitas, kecil (Inggris: little)”. Kamus Jäschke bahkan lebih menjelaskan: “dman-pa“: 1. sedikit (Inggris: low), mengacu pada kuantitas, kecil (Inggris: little). 2. mengacu pada kualitas: acuh tak acuh (indifferent), hina/buruk (Inggris: inferior) (Sanskerta: hīna).”

Berdasarkan hal itu nampaknya kata hīna dalam bahasa Sanskerta, tanpa diragukan lagi berarti ”kualitas rendah/buruk” yang diterjemahkan dalam bahasa Tibet sebagai ”dman-pa” memiliki dua arti yaitu ”kualitas rendah” dan ”kuantitas sedikit”. Dan petikan dari Jé Gampopa di atas nampaknya mengindikasikan bahwa banyak orang Tibet untuk selanjutnya membaca pada arti yang terakhir dari kedua arti tersebut sebagai ”kapasitas sedikit”, ”kapasitas kecil”, jadi artinya mengalami distorsi dari ”kualitas rendah/buruk” menjadi ”kuantitas sedikit ”.

Dengan demikian kita melihat bahwa kerancuan timbul dari fakta bahwa kata ”dman-pa” memiliki dua arti dalam bahasa Tibet. Hīnayāna – semula berarti ”kendaraan kualitas buruk.” – yang kemudian memiliki arti baru ”kendaraan kapasitas rendah”. Tapi hal ini berasal dari cara yang salah. Tentu adalah sebuah kesalahan menerapkan suatu arti dalam bahasa Tibet yang baru ke dalam bahasa Sanskerta/Pāli, dan mengatakan, ”Inilah arti dari Hīnayāna, karena inilah bagaimana para Guru di Tibet menjelaskannya.” Apa yang para Guru Tibet jelaskan adalah kata ”dman-pa” dalam bahasa Tibet, bukan kata hīna dalam bahasa Sanskerta.

Oleh karena itu jelas sudah bahwa seseorang tidak dapat menyatakan bahwa hīnayāna memiliki pengertian yang ”lembut” seperti yang diberikan oleh tradisi Tibet melalui kata ”dman-pa”. Hīnayāna bukanlah bahasa Tibet, tetapi Sanskerta/Pāli, dan memiliki arti yang kasar, arti yang bersifat menghina yang tidak dapat dirubah oleh usaha perlunakkan apapun.

Hīnayāna sebuah aliran Buddhisme?

Di mulai pada Sidang Agung Sangha ke-2 dimana Buddhisme terbagi menjadi dua. Di satu sisi kelompok yang ingin perubahan terhadap beberapa peraturan minor dalam Vinaya (peraturan para bhikkhu), di sisi lain kelompok yang ingin mempertahankan Vinaya apa adanya. Kelompok yang ingin perubahan Vinaya memisahkan diri dan dikenal dengan Mahāsāṃghika yang merupakan cikal bakal Mahāyāna. Sedangkan yang mempertahankan Vinaya disebut Sthaviravāda.

Sidang Agung Sangha ke-3 (abad ke-3 SM), Sidang ini hanya diikuti oleh kelompok Sthaviravāda. Sidang ini memutuskan untuk tidak mengubah Vinaya, dan Moggaliputta Tissa sebagai pimpinan sidang menyelesaikan buku Kathāvatthu yang berisi penyimpangan-penyimpangan dari aliran lain. Saat itu pula Abhidhamma dimasukkan. Setelah itu ajaran-ajaran ini di tulis dan disahkan oleh sidang. Kemudian Y.M. Mahinda (putra Raja Asoka) membawa Tipiṭaka ini ke Sri Lanka tanpa ada yang hilang sampai sekarang dan menyebarkan Buddha Dhamma di sana. Di sana ajaran ini dikenal sebagai Theravāda.

Setelah Sidang Agung Sangha ke-3, Buddhisme terdiri dari 18 aliran yaitu:

(1) Thera-vadino (Sthaviravāda), (2) Vajjiputtaka (Vatsīputrīya), (3) Mahigsasaka (Mahīśāsaka), (4) Dhammuttarika (Dharmottarīya), (5) Bhaddayanika (Bhadrayānīya), (6) Channagarika (Sannāgarika), (7) Sammitiya (Sammitīya), (8) Sabbatthivada (Sarvāstivāda), (9) Dhammaguttika (Dharmaguptaka), (10) Kassapika (Kāśyapīya), (11) Sankantika (Samkrantika), (12) Suttavada (Sautrāntika), (13) Mahasamghika (Mahāsaṃghika), (14) Gokulika, (15) Ekabyoharika (Ekavyāvahārika), (16) Bahulika (Bahuśrutīya), (17) Pannatti-vada (Prajñaptivāda), (18) Cetiya-vada (Caitika).

Banyak hal-hal yang terjadi pada masa itu di India Pusat. Di antaranya adanya beberapa kelompok bhikkhu yang menjalankan Buddha Dhamma secara ekstrim dengan hanya mementingkan intelektual semata dan lupa dengan hal yang utama yaitu praktek dan pengamalan. Kemudian kelompok lain yang memegang prinsip pengamalan mulai melakukan kritik dan menerapkan konsep bodhisatta/bodhisattva, namun mereka pun menjadi ekstrim sehingga menciptakan figur-figur bodhisatta/bodhisattva.

Akhirnya antara abad ke-1 SM sampai abad ke-1 M, muncullah Saddharma Pundarika Sutra dengan istilah hīnayāna dan mahāyāna. Dan sekitar abad ke-2 M, aliran Mahāyāna menjadi nyata dan utuh setelah Nāgārjuna mengembangkan filsafat Sunyata dalam teks kecil yaitu Madhyamakakārikā. Abad ke- 4 M , Asaṅga dan Vasubandhu menulis banyak karya mengenai Mahāyāna.

Dari sejarah yang telah di sampaikan di atas, tidak ada aliran yang bernama Hīnayāna pada 18 aliran Buddhsime terdahulu. Lalu siapa yang dimaksud dengan Hīnayāna dalam Sutra Lotus? Apakah Theravāda? Tidak, ketika Mahāyāna muncul dengan Sutra Lotus-nya, Theravāda yang dulunya bernama Sthaviravāda telah ”hijrah” atau ”beremigrasi” ke Sri Lanka dan ketika perdebatan Mahāyāna-Hīnayāna terjadi, sukar untuk menghitung aliran mana yang mendominasi di India Pusat. Aliran tua yang sangat berpengaruhi saat itu adalah Sarvāstivāda, jadi mungkin saja aliran ini, tapi sukar dikatakan jika hanya aliran ini saja yang merupakan target satu-satunya dari ejekan “Hīnayāna”.

Sekarang Sarvāstivāda dan aliran-aliran Buddhisme lain di India Pusat yang ada pada saat itu sudah lama mati, kecuali Theravāda. Tidak bisa dipastikan siapa sebenarnya Hīnayāna itu. Hīnayāna itu tidak ada. Hinayana hanyalah sebuah mitos.

Istilah hīnayāna yang berkonotasi negatif ini hanya bisa dipastikan sebagai suatu kritikan bahkan ejekan untuk aliran terdahulu yang masih ada pada waktu itu yang melakukan hal yang tidak sesuai Dhamma dan Vinaya seperti misalnya hanya mementingkan intelektual semata dan lupa dengan hal yang utama yaitu praktek dan pengamalan. Istilah ”hīnayāna” tidak lain juga merupakan bentuk defensive kelompok Mahāyāna terhadap kritikan dari aliran lama yang mengkritik umat Mahāyāna, khususnya mengenai penciptaan sutra-sutra baru dan ”penempaan” sabda-sabda Sang Buddha. Demikianlah mengapa istilah hīnayāna mendapat sebutan ”miring” sebagai aliran yang mementingkan pribadi. Dan istilah ”hīnayāna” ini terus berlangsung dan dipegang oleh beberapa umat Mahāyāna dan Vajrayāna untuk menamai aliran/sekte di luar Mahāyāna dan Vajrayāna.

Pada tahun 1950, World Fellowship of Buddhists dalam World Council di Colombo telah menyepakati bersama bahwa istilah hīnayāna harus disingkirkan dari penamaan terhadap aliran lain. Dan sangat disayangkan jika dewasa ini masih ada yang memegang mitos ini sampai sekarang.

-Selesai-

5
Diskusi Umum / Buddhisme, Satu-Satunya Sains Yang Sejati
« on: 27 May 2012, 03:39:34 AM »

"Buddhisme, Satu-Satunya Sains Yang Sejati"

Perth, Australia -- Saya dulunya seorang ilmuwan. Saya belajar Ilmu Fisika Teoritis di Universitas Cambridge, berada di dalam gedung yang sama dengan seseorang yang kemudian dikenal sebagai Profesor Stephen Hawking. Saya menjadi kecewa dengan sains ketika sebagai orang-dalam, saya melihat betapa menjadi dogmatisnya seorang ilmuwan. Dogma, menurut kamus, merupakan pernyataan arogan dari sebuah opini.(1)

Ini merupakan suatu uraian yang sesuai dari sains yang saya saksikan di laboratorium Cambridge. Sains telah kehilangan rasa malunya. Opini yang bersifat egoistis mengalahkan pencarian Kebenaran yang berimbang. Aforisme (peribahasa) favorit saya pada waktu itu adalah: “Keunggulan seorang ilmuwan besar diukur oleh banyaknya waktu yang mereka gunakan untuk MERINTANGI KEMAJUAN di dalam bidang mereka!”

Untuk memahami sains yang sebenarnya, seseorang bisa kembali kepada salah satu bapak pendirinya, seorang filosof Inggris, yaitu Francis Bacon (1561 – 1628). Ia menyelesaikan kerangka kerja yang dengannya sains mengalami kemajuan, yaitu “kekuatan besar dari kasus-kasus penolakan"

Ini berarti bahwa, dalam mengajukan sebuah teori untuk menjelaskan beberapa fenomena alam, maka seseorang harus mencoba sebaik mungkin untuk bisa membuktikan kebalikan dari teori itu! Seseorang seharusnya menguji teorinya dengan eksperimen yang menantang. Seseorang harus mengujinya dengan argumen yang ketat.

Hanya ketika suatu kelemahan muncul pada teori, maka sains itu mengalami kemajuan. Sebuah penemuan baru telah memungkinkan sebuah teori untuk dapat disesuaikan dan diperbaiki. Metodologi sains yang fundamendal dan murni ini memahami bahwa tidaklah mungkin untuk membuktikan semuanya dengan kepastian yang mutlak. Seseorang hanya bisa menyangkal (membuktikan kebalikan) dengan kepastian yang mutlak.

Sebagai contoh, bagaimana seseorang dapat membuktikan hukum dasar gravitasi yang mengatakan “apa yang naik akan turun dengan segera?” Seseorang bisa melempar ke atas beberapa objek sebanyak sejuta kali dan melihat objek-objek tersebut jatuh sebanyak sejuta kali. Tetapi tetap tidak membuktikan “apa yang naik akan turun”.

Bagi NASA, mungkin setelah “melempar” roket Saturnus ke atas, ke ruang angkasa untuk menjelajahi planet Mars, maka roket itu tidak pernah turun ke bumi lagi. Sebuah kasus negatif cukup untuk menyangkal (membuktikan kebalikan) dari teori dengan kepastian mulak.

Beberapa ilmuwan yang salah arah mempertahankan teori bahwa tidak ada kelahiran kembali, mengatakan bahwa arus kesadaran ini tidak dapat kembali kepada keberadaan manusia secara berlanjut. Menurut sains, seseorang perlu menyangkal (membuktikan kebalikan) teori ini, yaitu dengan menemukan satu kasus kelahiran kembali, hanya satu kasus!

Seperti beberapa dari Anda sudah mengetahuinya, Professor Ian Stevenson, telah mendemonstrasikan banyak kasus kelahiran kembali. Teori tidak ada kelahiran kembali telah dapat disangkal. Kelahiran kembali sekarang adalah sebuah fakta ilmiah!

Sains modern memberikan prioritas yang rendah bagi usaha apapun untuk menyangkal (membuktikan kebalikan) teori yang ia pelihara. Ada terlalu banyak kepentingan kekuasaan, gengsi dan dana penelitian. Komitmen yang berani untuk kebenaran akan membuat terlalu banyak ilmuwan keluar dari zona kenyamanan mereka.

Para ilmuwan, sebagian besar, telah dicuci otaknya oleh pendidikan mereka dan dalam kelompok mereka untuk melihat dunia dengan cara yang sangat sempit, sangat kecil sekali. Ilmuwan yang paling parah adalah mereka yang berkelakuan seperti evangelis eksentrik (2), mengklaim bahwa hanya mereka sajalah yang memiliki seluruh kebenaran, dan kemudian merasa berhak untuk memaksakan pandangan-pandangan mereka kepada orang lain.

Orang awam mengetahui begitu sedikit mengenai sains, bahkan mereka sukar untuk memahami bahasa yang digunakan sains.

Kemudian, jika mereka membaca di surat kabar atau majalah “seorang ilmuwan mengatakan demikian?”, maka mereka langsung secara otomatis menerima hal itu sebagai kebenaran. Bandingkan hal ini dengan reaksi kita ketika kita membaca dalam jurnal yang sama “seorang politikus mengatakan demikian?”! Mengapa para ilmuwan memiliki kredibilitas yang tidak tertandingi seperti itu?

Mungkin ini disebabkan oleh bahasa dan ritual sains menjadi begitu jauh beralih kepada orang awam, dimana para ilmuwan kini menjadi dipuja-puja dan menjadi keimamaman yang mistis.

Berpakaian dengan pakaian upacara berupa jas laboratorium putih mereka, melafalkan bahasa yang tidak dapat dimengerti mengenai fraktal multi dimensi alam semesta yang paralel, dan mempertunjukkan upacara gaib yang mengubah logam dan plastik menjadi TV dan komputer, pada masa modern ini para ahli kimia begitu hebatnya sehingga kita akan percaya apapun yang mereka katakan. Ke-elitan sains menjadi sesuatu yang mutlak seperti halnya seorang Paus.

Beberapa orang mengetahui lebih baik. Banyak dari apa yang telah saya pelajari 30 tahun yang lalu sekarang telah terbukti salah. Sayangnya, banyak para ilmuwan dengan integritas dan rasa malu, yang menegaskan apa itu sains sesungguhnya, pekerjaannya masih dalam pengembangan.

Mereka mengetahui bahwa sains hanya dapat mengusulkan sebuah kebenaran, tetapi tidak akan pernah mencapai sebuah kebenaran. Saya pernah diceritakan oleh seorang praktisi Buddhis, dimana pada hari pertamanya di sekolah medis di Sydney, seorang Profesor terkemuka, kepala dari Sekolah Medis tersebut, memulai pidato penyambutannya dengan menyatakan “Setengah dari apa yang akan kami ajarkan kepada kalian pada beberapa tahun ke depan adalah salah. Permasalahannya adalah kami tidak tahu apa yang setengahnya lagi!” Itulah perkataan dari seorang ilmuwan sejati.

Beberapa ilmuwan evangelis akan melakukan sebaik mungkin untuk mengungkapkan perkataan kuno (yang sudah digubah) “Ilmuwan datang saat para malaikat takut untuk melangkah” dan mereka berhenti untuk membahas mengenai sifat alami pikiran, kebahagiaan, apalagi Nibbana. Khususnya para ahli neurology (ahli urat saraf) cenderung mengalami neurosis. (Neurosis : suatu ketundukan yang di luar batas terhadap pikiran-pikiran atau benda-benda yang tidak realistis) (3)

Mereka mengklaim bahwa pikiran, kesadaran dan kehendak, pada saat ini cukup dijelaskan melalui aktivitas di dalam otak. Teori ini telah disangkal lebih dari 20 tahun yang lalu oleh penemuan Prof. Lorber mengenai seorang pelajar di Universitas Sheffield yang memiliki IQ 126, lulusan terbaik dalam bidang matematika, tetapi ia tidak memiliki otak secara virtual (Science, Vol. 210, 12 Dec 1980)!

Yang terbaru, hal tersebut telah disangkal oleh Prof. Pim Van Lommel, yang mempertunjukkan keberadaan aktivitas kesadaran setelah kematian secara klinik, yaitu ketika seluruh aktivitas otak telah berhenti (Lancet, Vol. 358, 15 Desember 2001, p 2039).

Meskipun mungkin ada banyak hubungan antara sebuah aktivitas terukur di bagian otak dan kesan mental, beberapa peristiwa atau fakta yang ada secara berdampingan tidak selalu menyiratkan bahwa yang satu adalah penyebab dari yang lain. Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu, sebuah penelitian memperlihatkan sebuah hubungan yang jelas antara perokok dan tidak terjadinya gejala penyakit Alzheimer.

Bukanlah karena merokok yang menyebabkan kekebalan terhadap penyakit Alzheimer, seperti yang diharapkan oleh perusahaan tembakau, ini hanyalah karena para perokok tidak memiliki hidup yang cukup panjang untuk mendapatkan penyakit Alzheimer!

Contoh di atas merupakan peristiwa yang bersamaan dari dua fenomena, bahkan ketika terulang kembali, bukanlah berarti salah satu fenomena tersebut merupakan penyebab dari fenomena yang lainnya. Mengklaim bahwa aktivitas di dalam otak menyebabkan suatu kesadaran, atau pikiran, jelaslah bukan merupakan hal yang bersifat ilmiah.

Buddhisme lebih bersifat ilmiah dibanding dengan sains modern. Seperti halnya sains, Buddhisme berdasarkan pada hubungan sebab-akibat yang dapat dibuktikan. Tetapi tidak seperti sains, Buddhisme menghadapi setiap kepercayaan dengan saksama.

Kalama Sutta yang terkenal dalam Buddhisme menyatakan bahwa seseorang tidak bisa mempercayai secara penuh pada “apa yang seseorang ajarkan, pada tradisi, kabar burung, kitab suci, logika, kesimpulan, penampilan, kesepakatan berdasarkan pada opini, berdasarkan kesan atas kemampuan sang guru, atau bahkan pada guru pribadi seseorang”.

Berapa banyak ilmuwan yang tegas dalam pemikiran mereka seperti ini? Buddhisme menghadapi segalanya, termasuk logika.

Perlu dicatat adalah bahwa Teori Kuantum muncul sebagai sesuatu yang tidak logis, bahkan bagi seorang ilmuwan besar seperti Einstein, ketika teori tersebut diajukan untuk pertama kalinya. Teori tersebut belum disangkal. Logika hanya dapat dipercaya sebagai anggapan-anggapan sebagai dasarnya. Buddhisme hanya mempercayai pengalaman yang jelas/jernih dan objektif.

Pengalaman yang jelas atau jernih terjadi ketika alat ukur seseorang berupa pikiran sehatnya, cermelang dan tidak terganggu. Dalam Buddhisme, hal ini terjadi ketika rintangan berupa kelambanan dan kemalasan serta keresahan dan penyesalan, seluruhnya dapat diatasi. Pengalaman yang objektif merupakan pengalaman yang bebas dari segala penyimpangan (bias).

Dalam Buddhisme, tiga jenis penyimpangan (bias) adalah, napsu keinginan, kehendak buruk dan keragu-raguan yang bersifat tidak pasti. Napsu keinginan membuat seseorang hanya melihat apa yang ingin ia lihat, napsu keinginan membelokkan kebenaran sehingga sesuai dengan apa yang disukai oleh seseorang. Kehendak buruk membuat seseorang buta pada apapun juga yang mengganggu atau yang membingungkan pandangan seseorang dan ia mengubah kebenaran dengan penyangkalan.

Keraguan yang tak pasti dengan keras kepala menolak segala kebenaran tersebut, seperti kelahiran kembali (tumimbal lahir), yang merupakan hal benar-benar sahih, tapi yang jatuh di luar dari kesesuaian dengan pandangan dunia.

Singkatnya, pengalaman yang jelas atau jernih dan objektif hanya tejadi ketika “Lima Rintangan” dalam diri seorang Buddhis telah diatasi. Hanya setelah itulah seseorang dapat mempercayai data yang datang melalui pengertian seseorang.

Karena para ilmuwan tidaklah bebas dari kelima rintangan ini, mereka jarang berpikir jernih dan objektif. Sebagai contoh, hal ini biasa bagi para ilmuwan untuk mengabaikan data yang mengganggu, yang tidak sesuai dengan teori-teori berharga mereka, atau yang lainnya adalah membatasi bukti-bukti tersebut untuk dilupakan dengan menyimpannya sebagai suatu `anomali` (ketidaknormalan).

Bahkan sebagian besar umat Buddha tidaklah berpikir jelas dan objektif. Seseorang haruslah memiliki pengalaman Jhana untuk menyingkirkan lima rintangan ini secara efektif (menurut Nalakapana Sutta, Majjhima Nikaya 68). Jadi hanyalah para meditator yang sempurna yang dapat mengklaim dirinya ilmuwan sejati, yang memiliki pikiran jelas dan objektif.

Sains mengklaim untuk tidak hanya mengandalkan pengamatan yang jernih dan objektif, tetapi juga pada pengukuran. Tetapi dalam sains, apakah yang disebut dengan pengukuran itu? Untuk mengukur sesuatu, menurut sains murni dari Teori Kuantum, adalah meruntuhkan Persamaan Gelombang Schroedinger melalui tindakan pengamatan (observasi).

Selain itu, bentuk Persamaan Gelombang Schroedinger “yang tak teruntuhkan”, dimana sebelum pengukuran apapun dilakukan, mungkin merupakan deskripsi yang paling sempurna sains dari dunia.

Itu merupakan deskripsi yang aneh! Menurut sains murni, realitas tidaklah terdiri atas unsur yang teratur baik dengan massa yang tepat, energi dan posisi di angkasa yang kesemuanya hanya menunggu untuk diukur. Realitas merupakan ketidakjelasan yang luas dari segala kemungkinan, hanya beberapa saja yang menjadi lebih jelas dibanding dengan hal yang lainnya.

Bahkan kualitas dasar "yang dapat diukur" seperti “hidup” atau “mati” yang telah didemonstrasikan oleh sains terkadang menjadi tidak berlaku. Dalam eksperimen pikiran `Schroedinger`s Cat` yang jahat, kucing Prof. Schroedinger secara cerdik ditempatkan pada situasi sebenarnya dimana ia tidaklah mati ataupun hidup, dimana pengukuran semacam demikian menjadi tidak berarti. Realitas, berdasarkan Teori Kuantum, adalah di luar ambang pengukuran. Pengukuran mengganggu realitas, ia tidak pernah mendeskripsikan realitas dengan sempurna.

Adalah `Prinsip Ketidakpastian` yang terkenal dari Heisenberg yang menunjukkan kesalahan yang tidak dapat dielakkan antara dunia Kuantum asli dan dunia terukur dari sains palsu.

Lagi pula, bagaimana setiap orang dapat mengukur sang pengukur, yaitu pikiran? Pada sebuah seminar baru-baru ini mengenai Sains dan Agama, dimana saya menjadi pembicara, seorang Katholik di dalam hadirin dengan beraninya mengumumkan bahwa setiap kali ia melihat bintang-bintang melalui teleskop, ia merasa tidak nyaman karena agamanya menjadi terancam.

Saya mengomentarinya bahwa setiap kali seorang ilmuwan melihat dengan cara yang terbalik melalui teleskop, untuk observasi orang yang sedang melihat, maka mereka merasa tidak nyaman karena sains mereka terancam oleh apa yang dilakukan oleh penglihatannya! Jadi apa yang dilakukan oleh penglihatan, apakah pikiran ini yang menghindar dari sains modern?

Suatu saat, seorang guru kelas satu bertanya kepada kelasnya, "Apakah benda yang terbesar di dunia?" Seorang gadis kecil menjawab, "Papaku". Seorang anak laki-laki kecil berkata, "Seekor gajah." Karena dia pernah ke kebun binatang baru-baru ini. Gadis yang lain mengusulkan, "Sebuah gunung".

Puteri berusia enam tahun dari sahabat karibku menjawab, "Mataku adalah benda yang paling besar di dunia!" Kelas itu terhenti. Bahkan guru tersebut tidak mengerti apa yang dijawabnya. Jadi sang filosofis kecil ini menjelaskan, "Yah, mataku bisa melihat papanya, seekor gajah dan sebuah gunung juga. Ia juga bisa melihat banyak lagi. Jika semuanya bisa sesuai ke dalam mataku, maka mataku pastilah benda terbesar di dunia!" Luar biasa!

Namun begitu, gadis kecil itu tidak sepenuhnya benar. Pikiran bisa melihat segala sesuatu yang bisa dilihat mata seseorang, dan ia juga bisa membayangkan begitu lebih banyak lagi. Pikiran juga bisa mendengar, membaui, merasakan dan menyentuh, sama baiknya dengan berpikir. Faktanya, segala sesuatu yang bisa diketahui bisa muat ke dalam pikiran. Oleh karena itu, pikiran pastilah benda yang terbesar di dunia. Kesalahan sains sudah jelas sekarang. Pikiran tidaklah berada di dalam otak, begitu pula di dalam tubuh. Otak, tubuh dan dunia beserta sisanya, ada di dalam pikiran!

Pikiran adalah indera keenam dalam Buddhisme, dialah yang mana memandu kelima panca indera yakni penglihatan, pendengaran, pembauan, pengecapan dan sentuhan, dan melebihi mereka dengan daerah kekuasaannya sendiri. Ia bersesuaian bebas dengan "Akal Sehat" dari Aristoteles yang mana bertentangan dari panca indera.

Memang benar bahwa filsafat Yunani kuno, dari mana sains dikatakan berasal, mengajarkan indera keenam sama seperti Buddhisme. Di suatu tempat bersamaan dengan perjalanan sejarah dari pemikiran orang Eropa, mereka kehilangan pikirannya! Atau, sama seperti Aristoteles yang akan mengemukakan demikian, mereka dengan suatu cara telah mengesampingkan "Akal Sehat" mereka! Dan demikianlah kita mendapatkan sains. Kita mendapatkan materialistis tanpa hati sedikitpun. Orang bisa dengan akuratnya mengatakan bahwa Buddhisme adalah sains yang menyimpan hatinya, dan yang tidak kehilangan pikirannya!

Demikianlah Buddhisme bukan suatu sistem kepercayaan. Buddhisme adalah sains yang ditemukan dalam observasi yang objektif, yaitu meditasi, selalu seksama untuk tidak mengganggu realitas melalui pengukuran buatan yang mengesankan, dan ia secara jelas dapat diulang.

Manusia telah menciptakan kembali kondisi-kondisi eksperimental, dikenal dengan menetapkan faktor-faktor dari Jalan Mulia Berunsur Delapan, selama lebih dari duapuluh enam abad sekarang, lebih lama dibandingkan dengan sains. Dan mereka Professor-Professor Meditasi yang ternama, Arahat-Arahat pria dan wanita, kesemuanya telah tiba pada kesimpulan yang sama seperti Sang Buddha.

Mereka telah membuktikan Hukum Dhamma yang abadi, atau dikenal sebagai Buddhisme. Jadi Buddhisme adalah satu-satunya sains yang sejati, dan saya gembira untuk mengatakan bahwa saya masih seorang ilmuwan dalam hati saya, hanya saja seorang ilmuwan yang lebih baik daripada apa yang pernah saya dulunya dapatkan di Cambridge.
--end--

Y.M. Ajahn Brahmavamso Mahathera dilahirkan di Peter Betts di London, Inggris pada tanggal 7 Agustus 1951. Beliau adalah kepala bhikkhu dari Vihara Bodhinyana di Australia Barat, Direktur Spiritual dari Buddhist Society Australia Barat, Penasihat Spiritual dari Buddhist Society Victoria, Penasihat Spiritual dari Buddhist Society Australia Selatan, Pelindung Spiritual dari Buddhist Fellowship di Singapura, dan Pelindung Spiritual dari Bodhikusuma Centre di Sydney.

Courtesy: Buddhist Society of Western Australia.

Catatan:

dogma: pokok ajaran tentang kepercayaan yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan.(sbr: KBBI)
evangelis: seseorang yang berusaha mengalihyakinkan kepercayaan orang lain ke dalam ke-kr****n-an.(sbr: Oxford Dictionary)
neurosis: penyakit syaraf yang berhubungan dengan fungsinya tanpa ada kerusakan organik pada bagian-bagian susunan syaraf.(sbr: KBBI)

Judul asli: Buddhism, The Only Real Science
Oleh: Ven. Ajahn Brahmavamso Mahathera
Diterjemahkan oleh: Bhagavant.com

6
Mahayana / "SEKILAS SEJARAH SESEPUH KE ENAM ZEN MASTER HUI NENG"
« on: 13 May 2012, 04:46:59 AM »
{Jasad Master Hui Neng Yang Tidak Hancur Dimakan Oleh Waktu}


"SEKILAS SEJARAH SESEPUH KE ENAM ZEN MASTER HUI NENG"


Dajian Huineng (Hanzi tradisional : 大 鉴 惠 能; Hanyu Pinyin: Dàjiàn Huìnéng; Bahasa Jepang: Eno Daikan; Bahasa Korea: Hyeneung, 638-713) adalah seorang China monastic Zen (Chan) yang merupakan salah satu tokoh paling penting dalam seluruh tradisi. Huineng adalah Patriark keenam dan Terakhir dalam tradisi Buddhisme Zen.

Beliau dikatakan telah menyarankan pendekatan langsung kepada praktik Buddhis dan pencerahan, dan dalam hal ini, dianggap sebagai pendiri "Pencerahan Seketika” (Sudden Enlightenment ; (顿 教) ) Sekolah Buddhisme Zen Selatan. Siswa-siswa utama Beliau adalah Nanyue Huairang, Qingyuan Xingsi, Nanyang Huizhong, Yongia Xuanjue dan Heze Shenhui.

Dua sumber utama untuk kehidupan Huineng merupakan kata pengantar untuk Platform Sutra dan Transmission Of The Lamp

Huineng lahir dalam keluarga Lu pada tahun 638 M di kota Xing di provinsi Guangdong. Ayahnya meninggal ketika ia masih muda dan hidup dalam keluarga miskin, sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk belajar membaca ataupun menulis. Ketika ia mengantarkan kayu bakar ke penginapan, ia mendengar seorang tamu membacakan Sutra Intan dan ia mengalami kesadaran. Dia segera memutuskan untuk mencari jalan kebuddhaan. Tamu tersebut memberinya sepuluh keping perak untuk kebutuhan bagi ibunya, dan Huineng memulai perjalanannya. Setelah melakukan perjalanan selama tiga puluh hari dengan berjalan kaki, Huineng tiba di Gunung Huang Mei , di mana Patriark Kelima Hongren tinggal.

Dari bab pertama dari Platform Sutra:

Saya pergi untuk menemui Patriark, dan kemudian patriark bertanya darimana aku datang dan apa yang saya harapkan darinya. Saya menjawab, "Saya orang biasa dari Hsin Chou, Kwangtung. Saya telah melakukan perjalanan jauh untuk berjumpa dengan anda, dan saya tidak meminta apapun selain mencapai kebuddahan." "Anda berasal dari Kwangtung, seorang barbar. Bagaimana Anda mengharapkan akan dapat menjadi seorang Buddha?" tanya Patriark. Saya menjawab, "Meskipun ada laki-laki dari utara dan laki-laki dari selatan, utara dan selatan tidak mempunyai perbedaan sifat kebuddhaan mereka. Seorang barbar secara fisik memang berbeda, tetapi tidak untuk perbedaan sifat kebuddhaan."

Hongren segera memintanya untuk melakukan pekerjaan di penggilingan beras. Huineng tinggal untuk memotong kayu dan menggiling beras selama delapan bulan.

Suatu hari, Hongren mengumumkan Pertanyaan tentang kelahiran kembali yang berulang-ulang adalah satu hal penting. Hari demi hari, seharusnya kamu berusaha untuk membebaskan diri dari samudera kehidupan dan kematian, dan untuk dapat melanjutkannya hanya dengan karma. (contoh : karma yang menyebabkan kelahiran kembali). Namun karma tidak akan membantu jika kamu tidak mengerti esensi dari pikiran. Pergi dan carilah Prajna (kebijaksanaan) dalam pikiran anda sendiri dan kemudian tuliskan hal itu kedalam sebuah bait (gatha). Dia yang mengerti apa yang dimaksud dengan Esensi dari Pikiran, dia yang akan diberikan jubah (lambang dari ke-patriak-an) dan Dharma (ajaran utama sekolah Chan), dan aku akan membuatnya menjadi seorang Patriak Keenam.

Pergilah cepat, Janganlah menunda menuliskan bait-bait, karena perundingan sangatlah tidak diperlukan dan tidak berguna. Orang yang telah menyadari Esensi dari Pikiran dapat berbicara tentang hal itu sekaligus, segera setelah ia berbicara tentang hal itu; dan dia tidak bisa melupakan, bahkan ketika terlibat dalam suatu pertempuran.

Namun, para murid berkata satu sama lain bahwa mereka tidak perlu menuliskan gatha, dan yang pasti guru dan kepala bhikhu, yang mulia Shenxiu, akan menjadi Patriak Keenam. Jadi hanya Shenxiu yang menulis gatha untuk Hongren. Sebagai bhikhu kepala, Shenxiu sangat dihormati dan di bawah tekanan besar untuk menghasilkan sebuah gatha yang akan memenuhi syarat dia sebagai patriak berikutnya. Akan tetapi, ia tidak yakin tentang pemahamannya sendiri, dan akhirnya memutuskan untuk menulis puisi secara anonim di dinding pada tengah malam, dan mengumumkan kepemilikannya hanya jika disetujui Hongren. Puisi itu berbunyi:

Tubuh ini adalah Pohon Bodhi,
Batin ibarat cermin yg ditopang berdiri dengan cemerlang.
Gosoklah cermin itu dengan rajin sepanjang waktu,
Janganlah biarkan debu kilesa menempel."

Ketika para murid melihat gatha tersebut di dinding, ada sebuah kehebohan besar. Ketika Hongren melihat hal itu, dia mengatakan kepada mereka, "praktik menurut gatha ini, kamu tidak akan jatuh ke dalam alam yang jahat, dan kamu akan menerima manfaat besar. Nyalakan dupa dan hormati gatha ini, lafalkan dan kamu akan melihat sifat dasar dirimu sendiri. Semua murid memuji dan menghafalkan gatha tersebut.

Namun, secara diam-diam, Hongren berkata kepada Shenxiu, "kamu telah tiba di pintu gerbang, tetapi belum masuki gerbang itu. Dengan tingkat pemahamanmu, kamu masih tidak tahu apa itu pikiran pencerahan tertinggi. Setelah mendengar kata-kata saya, kamu harus segera mengenali pikiran murni, sifat dasarnya, yang belum lahir dan yang terus menerus. Setiap saat, lihatlah dengan jelas dalam setiap pemikiran, dengan pikiran yang bebas dari segala rintangan. Dalam Satu Realita, semuanya adalah nyata, dan semua fenomena yang ada adalah sama adanya."

Hongren bertanya kepada Shenxiu untuk membuat gatha lain yang menunjukkan tentang pemahaman yang sesungguhnya. Shenxiu berusaha keras tetapi tidak mampu membuat dengan ayat lain.

Ketika seorang bhikhu muda melewati penggilingan padi dan menyanyikan gatha Shenxiu, Huineng segera mengetahui bahwa ayat tersebut tidak memiliki pemahaman yang benar. Ia pergi ke dinding, dan bertanya kepada seorang petugas di sana untuk menulis puisi baginya. Petugas itu terkejut, "Bagaimana mungkin! Kamu buta huruf, dan kamu ingin menulis puisi?" Huineng lalu berkata, "Jika kamu mencari pencerahan tertinggi, jangan pernah meremehkan orang lain. Orang kelas terendah mungkin memiliki wawasan yang besar, dan kelas tertinggi dapat melakukan tindakan bodoh." Dengan perasaan memuja, petugas itu menulis gatha Huineng di dinding, di samping gatha Shenxiu, yang menyatakan:

Pohon bodhi sebenarnya bukanlah pohon.
Cermin juga bukanlah sebuah cermin.
Pada dasarnya semua itu kosong.
Di mana debu itu akan melekat?

菩提本無樹,
明鏡亦非台;
本來無一物,
何處惹塵埃?

Huineng lalu kembali menumbuk padi. Namun, gatha ini membuat kehebohan yang lebih besar; semua orang berkata, "Luar biasa! Kamu tidak boleh menilai orang hanya dari tampangnya! Mungkin dia akan menjadi bodhisattva hidup segera!" Namun, ketika Hongren yang terkejut keluar, ia hanya santai berkata, "gatha ini juga belum mampu menjelaskan esensi murni yang sesungguhnya," lalu melanjutkan menghapus gatha dengan sepatunya.

Suatu malam, Hongren menerima Huineng di kediamannya, dan menguraikan Sutra Intan kepadanya. Ketika ia sampai pada bagian, "untuk menggunakan pikiran namun terbebas dari keterikatan," Huineng sampai kepada pencerahan besar-bahwa semua dharma tidak bisa dipisahkan dari sifatnya. Dia berseru, "Betapa menakjubkan bahwa sifat diri awalnya murni! Betapa menakjubkan bahwa sifat diri tidak dilahirkan dan tidak mati! Betapa menakjubkan bahwa sifat diri secara inheren lengkap! Betapa menakjubkan bahwa sifat diri tidak bergerak maupun tidak diam! Betapa menakjubkan bahwa semua dharma berasal dari sifat ini sendiri!"

Meskipun kisah ini disampaikan sejelas mungkin, namun perlu diketahui bahwa Huineng tidak diizinkan untuk menyandang gelar Patriark Keenam hingga kemudian hari. Hal ini disebabkan oleh ketakutan bahwa sesama biarawan mungkin akan marah bahwa Hongren telah menobatkan Patriark Keenam tetapi bukan Shenxiu atau salah satu dari biarawan lain yang lebih senior di atasnya.

Tubuh mumi dari Huineng disimpan di Kuil Nan hua di perfektur Shaoguan (Guangdong utara).

Master Hui Neng adalah patriat ke 6 dari generasi Master Zen. Beliau memilih jalan pencerahan tertinggi dengan duduk bermeditasi selamanya. "Jasad" beliau tidak membusuk serta fisik/badan masih seperti orang hidup padahal beliau sudah duduk 1300 tahun lebih. Relik tubuh ini kini tersimpan di Vihara Nan Hua - China.

7

"Sejarah Singkat Guru Zen Master Sheng Yen Pendiri Dharma Drum Mountain"


MASTER ZEN SHENG YEN lahir pada tahun 1930, ditahun kuda, tanggal 4 bulan 12 penanggalan Imlek, Master Sheng Yen terlahir kurus dan sakit-sakitan dari keluarga miskin di sebuah desa dekat Shanghai. Menurut ibunya, ia kecil seperti anak kucing, tapi banyak orang menganggap ia lebih mirip tikus. Sehingga ia diberi nama Zhang Bao Kang (senantiasa sehat). Semasa kecil, bungsu dari 6 bersaudara ini setiap paginya bekerja menyerok kotoran ternak untuk pupuk. Kemudian sarapan paginya jagung atau gandum. Acapkali tanpa garam karena tak sanggup membeli.

Diusia 13 tahun, Master Sheng Yen telah menjadi seorang biarawan di vihara Gunung Srigala. "Biara lokal yang saya masuki, seperti kebanyakan biara lain di China disebut kuil Chan/Zen. Tapi kenyataannya, teori dan praktek hampir tak pernah dibahas. Latihan kami hanyalah terdiri dari disiplin ketat dan menghafal Sutra."
"Saya saat itu tidak tahu apa-apa tentang Buddhisme, namun saya merasa bahwa Buddhisme sedang menuju kepunahan. Kebanyakan orang China mempunyai sedikit saja pengertian tentang Dharma. Guru jarang terdapat, dan apa yang saya ketahui hanyalah berasal dari menghafal kitab-kitab suci. Saya berikrar untuk belajar lebih banyak tentang Buddha Dharma sehingga suatu hari saya dapat mengajarkannya kepada orang lain."

"Karena tentangan kaum Komunis, para rahib kami pindah ke Vihara Dasheng, Shanghai. Disana kehidupan kami hanya bergantung pada sumbangan dari penyelenggaraan upacara kematian." Merasa tidak cocok dengan situasi Vihara Dasheng yang boleh menghidangkan masakan daging dan alkohol untuk umat yang memesannya, serta adanya sebagian rahib yang menyukai narkoba, tahun 1947 Master Sheng Yen minta ijin pindah ke Biara Jing An yang mendidiknya lebih baik. Karena invasi Komunis ke Shanghai, tahun 1949 Master pindah ke Taiwan dan menjadi perwira. (Ketika kembali tahun 1988, Biara Dasheng telah menjadi pabrik). Meskipun bergabung dengan para perwira, Master Sheng Yen tetap vegetarian. Ketika sayuran dimasak dengan daging (termasuk daging anjing), Master hanya makan sayurannya saja. Bhiksu China adalah vegetarian tulen karena memakan daging baginya tidaklah welas asih.

Saat cuti militer, Master Sheng Yen selalu menyempatkan diri mengunjungi vihara. Kemudian dia bertemu dengan Master Ling Yuan (1902-1988) yang membuat hidupnya berubah. 1960, dengan susah payah dan dibantu oleh Master Dongchu dan istri atasannya, Master Sheng Yen berhasil keluar dari kemiliteran. Master Dongchu mencukur kepalanya dan memberinya nama Huikong Sheng Yan. Master Dongchu adalah pewaris tradisi Chan Lin-chi maupun Tsao-tung. "Masa tinggal saya bersama Master Dhongchu ternyata merupakan salah satu periode paling berat dalam hidup saya. Ia terus menerus mengerjai saya. Ini mengingatkan saya pada perlakuan yang diterima Milarepa (1025-1135) dari gurunya Marpa. Contohnya, ia selalu saja menyuruh saya pindah-pindah kamar, atau menyuruh saya menutup pintu lalu membuka pintu lain. Mengangkat bata dari pembakaran dengan berjalan kaki. Memotong kayu bakar meskipun punya kompor. Kayu dipotong kecil salah, dipotong besar salah. Dalam berpraktek juga salah terus. Bermeditasi salah. "Kamu tidak dapat membuat cermin dengan menggosok bata, dan kamu tidak dapat menjadi Buddha dengan duduk." Lalu ia menyuruh saya menjalankan namaskara (sujud). Kemudian setelah beberapa hari, ia akan mengatakan, "Ini gombal, cuma seperti anjing makan tahi di lantai. Ayo baca Sutra!". Setelah beberapa minggu, ia mencela lagi dengan mengatakan bahwa para Patriakh menganggap Sutra hanya bagus untuk membersihkan koreng. Lalu menyuruh saya membuat esai. Setelah selesai, ia merobek-robeknya, "Ini semua ide-ide colongan!" Kemudian ia menantang saya untuk menggunakan kebijaksanaan saya sendiri dan menyatakan hal-hal yang orisinil. Semua hal yang sewenang-wenang ini (memakai selimut juga tidak boleh), sesungguhnya adalah cara beliau melatih saya.

Walaupun sulit untuk menganggap perlakuan ini sebagai welas asih, namun sesungguhnya memang demikianlah adanya. Jika saya tidak dilatih dengan disiplin seperti ini, saya tidak akan mencapai banyak kemajuan. Dari dia saya juga diinsyafkan bahwa belajar Buddha Dharma adalah sebuah aktivitas yang keras, dan bahwa orang harus mengendalikan diri sendiri dalam berpraktek." Dua tahun bersama Master Dongchu, kemudian Master Sheng Yen pergi mengasingkan diri ke pegunungan selama 6 tahun. Ia makan 1 hari sekali dengan daun-daunan dari kentang liar. Disana Master Sheng Yen banyak banyak membaca buku-buku Nikaya, Sutra-sutra Buddhisme awal, sekaligus Sutra-sutra Mahayana yang muncul belakangan. Juga membaca 450 buku Vinaya, 300 buku Agama Sutra. Membaca karya-karya tulis yang sangat luas tentang Chan dan 8 macam mazhab dalam Buddhisme China serta membaca 600 buku sejarah dan biografi Buddhisme.

Diusia 39 tahun Master Sheng Yen pergi ke Jepang. 6 tahun kemudian ia mendapat gelar doktor dalam literatur Buddhist. Masa 6 tahun itu Master mengalami kesulitan keuangan. Dosen pembimbingnya mengatakan, "Didalam sandang dan pangan, tiada pikiran untuk jalan; Tetapi dengan pikiran dan jalan, bakalan selalu ada pangan dan sandang." Setelah mendengar ini, Master Sheng Yen melakukan namaskara harian. Cukup aneh, tak lama kemudian ia mulai menerima sumbangan tahunan dari seseorang di Swiss yang lumayan untuk menutup ongkos kuliah serta biaya penerbitan disertasinya. Namun hingga kini, ia tak tahu siapa sebenarnya penyumbang itu. "Selama periode ini, saya banyak mengunjungi berbagai Master Zen dan Buddhisme esoteris. Saya menerima pengaruh paling besar dari Bantetsugu Roshi, seorang murid dari Harada Roshi. Saya menghadiri beberapa retret sepanjang musim dingin di kuilnya di Tohoku. Berada di Jepang utara, kuil tersebut mempunyai lingkungan yang sangat keras. Terlebih lagi, sang Master nampaknya cenderung memberi saya masa-masa yang sangat sulit dan terus menerus menyuruh para asistennya memukul saya dengan tongkat hsiang-pan.

Dari orang-orang disana, sayalah yang sejauh ini mempunyai pendidikan tertinggi, dan ia mengatakan, "Kamu para cendikiawan punya banyak kekesalan serta kemelekatan mementingkan diri sendiri. Hambatan kalian sungguh berat." Takala akhirnya saya meninggalkannya, ia berkata, "Pergilah ke Amerika, dan mengajarlah disana." "Tapi Master, saya tidak bisa bahasa Inggris." Kata saya. Ia berkata, "Zen tidak bersandar pada kata-kata. Mengapa kuatir tentang kata-kata?" 1975, Master Sheng Yen tiba di New york. Altar pertama mereka dibuat disebuah apartemen di Woodside, Queens, dengan biaya sewa $350 sebulan. Setelah muridnya bertambah banyak, mereka mampu membeli sebuah bekas pabrik di Corona Avenue dan membangun Pusat Budaya Buddhist Chung Hua. Setelah organisasinya mantap, Master Sheng Yen mulai menawarkan kelas dan retret meditasi Chan dengan gayanya sendiri.

Tahun 1995, Dharma Drum Retret Centre didirikan di Pine Bush, tempat yang sungguh indah, punya danau, hutan maple serta jalan setapak sendiri. Ditinggali banyak hewan termasuk burung, marmot tanah, rusa, dan beruang hitam. Sungguh merupakan tempat yang cocok dengan jarak hanya 2 jam dari New york. Setelah itu, Master Sheng Yen mendirikan Dharma Drum Mountain (DDM) di Taiwan. "Upaya-upaya kami telah membuat DDM menjadi satu dari empat organisasi Buddhis terbesar di Taiwan. Yang terbesar adalah Tzu-Chi, yang kedua adalah Foguang Shan, ketiga DDM dan keempat Zhongtai Shan. Empat organisasi ini sering dijuluki empat gunung Buddhisme di Taiwan, tapi mereka tidak berselisih satu sama lain. Malahan kami saling berinteraksi. Pendiri Zhongtai Shan, Master Weijue, dan saya mempunyai guru yang sama, Master Lingyuan. Master Xingyun, pendiri Foguang Shan, adalah murid Master Dongchu, jadi kami juga merupakan saudara Dharma dan sahabat yang sangat baik. Master Cheng Yen, pendiri Tzu-Chi adalah murid Yinshun, yang merupakan murid dari Taixu. Almarhum guru saya Master Dongchu adalah saudara Dharma Master Yinshun, jadi kami juga bagian dari silsilah keturunan yang sama.

Sumber : Jejak Langkah di Atas Salju, Otobiografi Chan Master Sheng Yen, penerbit Suwung, Jogja.

8
Mahayana / "Sekilas Sejarah Ksitigarbha Bodhisattva Mahasattva"
« on: 13 May 2012, 04:20:01 AM »

"Sekilas Sejarah Ksitigarbha Bodhisattva Mahasattva"

Ksitigarbha (Sanskerta: क्षितिगर्भ Kṣitigarbha) dikenal dalam Buddhisme di Asia Timur sebagai seorang Bodhisattva Mahasattva, biasanya merupakan seorang Bhikkhu. Namanya dapat diartikan sebagai "Bendahara Bumi", "Simpanan Bumi", "Rahim Bumi" atau " Bumi Yang Tenang". Ksitigarbha terkenal dengan sumpahnya guna mengambil alih tanggung jawab atas perintah kepada seluruh mahluk di enam dunia, pada masa antara kematian Buddha Gautama (Sakyamuni) dan kebangkitan Buddha Maitreya, juga akan sumpahnya untuk tidak mencapai pencerahan hingga seluruh neraka menjadi kosong. Oleh karena itu ia seringkali dianggap sebagai Bodhisattva akan mahluk-mahluk neraka. Biasanya ia digambarkan sebagai seorang bhiksu dengan lingkaran cahaya mengelilingi kepalanya yang tercukur bersih, ia membawa tongkat untuk membuka paksa gerbang neraka dan permata pengabul permohonan untuk menerangi kegelapan.

Ksitigarbha adalah salah satu dari 4 bodhisattva utama dalam Buddhisme Mahayana di Asia Timur. 3 bodhisattva lainnya adalah Samantabhadra, Manjusri, dan Avalokitesvara Bodhisattva.

Dalam beberapa gua di Dunhuang dan longmen sebelum era Dinasti Tang, Ia digambarkan dalam bentuk Bodhisattva yang terbaik dan terindah. Setelah Dinasti Tang, penggambarannya meningkat menjadi seorang bhikkhu, membawa tasbih dan sebuah tongkat.

Dizang, diucapkan sebagai Dayuan Dizang Pusa dalam bahasa Mandarin, Daigan Jizō Bosatsu dalam bahasa Jepang, Chijang Posal dalam bahasa Korea.
Ini adalah sebuah acuan akan janjinya, yang tercatat di dalam beberapa sutra, bertanggungjawab untuk mengajar semua makhluk di enam alam, pada masa antara parinirvana Buddha Gautama dan kelahiran Buddha Maitreya. Karena peran penting ini, tempat suci Ksitigarbha sering kali memiliki peran utama dalam vihara-vihara Mahayana ketimuran.


Di China

Gunung Jiuhua di Anhui dianggap sebagai tempat Ksitigarbha. Merupakan salah satu dari empat gunung besar umat Buddha di China, dan ditempati lebih dari 300 vihara. Sekarang ini, 95 vihara dari 300 vihara tersebut terbuka untuk umum. Pegunungan ini merupakan tempat tujuan yang terkenal bagi para peziarah yang memberikan persembahan kepada Ksitigarbha.

Diantara para Bodhisattva yang dipuja oleh kaum Mahayana, Ksitigarbha Bodhisattva satu-satunya yang terlihat dalam wujud sebagai seorang bhiksu lengkap dengan jubahnya. Menurut pandangan orang Tionghoa, beliau dikatakan sebagai seorang Bodhisattva yang penuh dengan maitri karuna dan bercita-cita untuk membantu mereka yang terlahir di alam yang menderita agar dapat meringankan karma-karma buruk mereka. Sering juga ia dikaitkan dengan sepuluh raja akhirat (she tien yan wang).

Kesepuluh raja akhirat itu adalah bawahanya langsung, sebab itu ia diberi gelar you ming jiao chu atau pemuka agama diakhirat. Ia menjadi pelindung para arwah, membimbing mereka agar insaf dari perbuatannya yang sudah-sudah, dan tidak akan mengulangi perbuatan tercela itu lagi, agar bisa terbebas dari karma buruk pada penitisan yang akan datang. Di kalangan rakyat, banyak beredar kisah-kisah yang ada hubungannya dengan Di Zang Wang. Diantara kisah-kisah itu ada banyak juga yang menyamakan Di Zang Wang dengan Mu Lien. Kisah Mu Lien banyak mengharukan orang, tentang bagaimana ia menolong ibunya dari siksaan di neraka. Mu lien oleh sementara orang dianggap sebagai ti cang wang. Sesungguhnya kalau kita meneliti kitab-kitab suci, mu lien adalah murid Buddha dan masuk jalur ah luo han atau arahat dan bukannya Di Zang Wang yang berada dalam tingkatan Bodhisattva.

Tentang Di Zang Wang, dalam kitab Suci tercatat sebagai berikut, ketika Buddha Sakyamuni telah menyelesaikan tugasnya dan masuk nirvana 1500 tahun kemudian ia menitis kembali ke dunia di Korea, sebagai seorang pangeran dari keluarga raja negeri Sinlo. Namanya, Jin Qiao Jue (金喬覺) (Kim Kiauw Kak-Hokkian). Sebab itu setelah orang tahu bahwa ia adalah penitisan Buddha, maka mereka memanggilnya Jin Di Zang. Konon wataknya sederhana, tidak kemeruk pangkat dan kemewahan, tapi sangat berbudi, welas asih. Ia sangat gemar mendalami ajaran Kong-Zi dan Buddha. Pada masa pemerintahan kaisar tang Gao Cong, tahun Yong Yong We keempat (arti harafiahnya pandai mendengar) belajar menyeberangi lautan, kemudian sampai dipegunungan Jiu Hua San di propinsi An Hui. Gunung Jiu Hua Shan sebenarnya adalah miliki Meng Kung. Meng Kung ini sangat berbudi, suka menolong orang-orang yang tertimpa kemalangan. Ia berjanji untuk menyediakan makanan vegetarian untuk 100 orang Bhiksu.

Tapi, tiap kali ia hanya dapat mengumpulkan 99 orang, tidak pernah berhasil memenuhi jumlah yang diinginkannya. Oleh karena itu, kali ini ia pergi sendiri ke gunung untuk mencari pendeta yang ke seratus. Ketika ia melihat Jin Qiao Jue sedang bersemedi disebuah gubuk, ia segera menghampirinya dan mengundangnya datang ke rumah untuk bersantap-santap bersama. Jin Qiao Jue yang melihat Meng Kung kelihatannya ada karma dengannya, lalu mengabulkan undangannya, tapi dengan mengajukan satu permintaan. Permintaannya tidak banyak, ia hanya menginginkan sebidang tanah di Jiu Hua Shan itu, seluas baju Kasaya/Jivara/Jubah, melihat permintaan yang hanya sepele itu Meng Kung langsung menyetujuinya.

Tapi keanehan lalu terjadi. Ternyata ketika Jin Qiao menebarkan baju Kasaya ke udara, seketika itu juga, jubah kasa itu berubah menjadi sangat besar sekali sehingga menutupi seluruh pegunungan itu. Begitulah Meng Kung lalu menyerahkan Jiu Hua Shan kepada Jin Qiao Jue yang digunakan untuk mendirikan tempat ibadah dan mengajarkan Dharma. Meng Kung bahkan menyuruh anak laki-lakinya ikut menemani Jin Qiao Jue menjadi Bhiksu. Putra Meng Kung ini kemudian disebut Tao Ming He Sang (To Beng Hwee Shio-Hokkian). Selanjutnya Meng Kung pun meninggalkan semua kehidupannya yang penuh kemewahan ikut menjadi pengikut Jin Qiao Jue dan mengangkat Tao Ming He Sang dan Meng Kung. Jin Qiao Jue Di Zang Phu Sa bertapa di gunung Jiu Hua Shan selama 75 tahun lamanya, dengan ditemani oleh anjingnya yang setia.

Pada usia 99 tahun beliau meninggal tepat pada tanggal 30 bulan 7 menurut penanggalan Imlek. Ada juga yang mengatakan bahwa pada waktu itu Di Zang telah berusia lanjut. Seorang cendikiawan kenamaan yang bernama Zhu ge Jie bersama temannya sedang bertamasya ke gunung untuk mencari udara segar. Sampai di atas, Qing Qi Yan melihat Di Zhang Wang sedang bersamadi dengan tekun, makannya hanya nasi putih yang dimasak encer diatas tungku dari tanah. Diam-diam timbul rasa hormatnya ia lalu mendirikan kuil diatas gunung Jiu Hua Shan. Sejak itu para Bhiksu dari berbagai tempat mendatangi Di Zhang Wang untuk menerima ajarannya. Jin Qiao Jue meninggal pada tahun pemerintahan Kaisar Xuan Cong dari dinasti Tang (728 M) tanggal 30 bulan 7 Imlek.

Inilah sebabnya mengapa setiap jatuh tanggal tersebut masyarakat banyak membakar hio/dupa yang disebut Di Zang Xiang atau dupa Di Zang. Jenasah Jin Qiao Jue ditempatkan pada sebuah batu kecil, sampai pada suatu ketika jenasah hendak dikeluarkan, terjadi keajaiban, dimana jenasah tersebut masih dalam keadaan baik dan tidak membusuk, wajahnya hanya seperti orang tidur. Pada masa pemerintahan kaisar Xiao Cong, para penganutnya membangun sebuah pagoda di Nan-Tai (salah satu puncak di Jiu Hua Shan) dan menempatkan abunya disitu. Tatkala pagoda itu sudah selesai dibangun dan abu telah ditempatkan, ternyata pagoda itu telah mengeluarkan sinar yang gilang gemilang, sehingga mengherankan orang yang ada di situ. Tempat itu kemudian diubah namanya menjadi Shen Kuang Ling yang berarti bukit Cahaya Dewa. Sejak itu Jiu Hua Shan menjadi salah satu gunung suci umat Buddha Mahayana.


Di Jepang

Di Jepang, Ksitigarbha, dikenal dengan nama Jizō, atau Ojizō-sama. Ia juga dihormati sebagai salah satu dari seluruh dewa dewi orang Jepang. Patungnya terletak di daerah yang mudah terlihat, terutama di pinggir jalan dan di kuburan. Menurut adat istiadat, ia terlihat sebagai wali anak-anak, terutama anak-anak yang meninggal mendahului orangtuanya. Sejak tahun 1980, ia dipuja sebagai pelindung jiwa mizuko, jiwa yang mati sewaktu dilahirkan, keguguran atau aborsi janin, dalam ritual mizuko kuyō (水子供養). Dalam dongeng masyarakat Jepang, dikatakan bahwa jiwa para anak-anak yang meninggal mendahului orangtuanya tidak dapat menyeberangi Sungai Sanzu mistis seorang diri kehidupan berikutnya karena mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengumpulkan perbuatan baik yang cukup banyak karena mereka telah membuat orangtuanya menderita diyakini bahwa Jizō menyelamatkan jiwa-jiwa mereka dari menjadi batu abadi di tepi sungai sebagai penebusan dosa mereka, dengan menyembunyikan mereka dari para roh jahat dalam jubahnya, dan membiarkan mereka mendengarkan mantra-mantra suci.

Kadang kala, patung Jizō diletakkan oleh masyarakat disertai oleh bebatuan dan kerikil-kerikil kecil, dengan harapan agar dapat mempersingkat waktu penderitaan anak-anak di dunia bawah (tindakan tersebut berasal dari tradisi membangun stupa sebagai tindakan membuat kebajikan). Kadang-kadang, patung tersebut terlihat memakai pakaian anak-anak atau oto, atau dengan mainan, yang diletakkan disana sebagai tanda kedukaan para orangtua agar membantu anak mereka yang telah meninggal dan berharap agar Jizō secara khusus melindungi mereka. Kadangkala, persembahan diberikan oleh para orangtua sebagai tanda terimakasih kepada Jizō karena menyelamatkan anak mereka dari penyakit serius. Wajah Jizō umumnya dibuat lebih seperti muka bayi agar menyerupai anak-anak yang ia lindungi.

Karena ia terlihat seperti penyelamat jiwa yang menderita di dunia bawah, biasanya patungnya terletak di kuburan. Ia juga dipercaya sebagai dewa pelindung wisatawan, dan di Jepang, patung Jizō diletakan di pinggir jalan sehingga mudah terlihat. Para petugas pemadam kebakaran juga dipercaya berada di bawah lindungan Jizō.


Kisah tentang Ksitigarbha diceritakan dalam Sutra Tekad Agung Bodhisattva Ksitigarbha, salah satu sutra Buddhis aliran Mahayana yang paling terkenal. Sutra ini dikatakan telah diucapkan oleh Buddha menjelang akhir hidupnya dihadapan para makhluk di alam surga Trayastrimsa sebagai tanda syukur dan peringatan kepada ibunya yang tercinta, Māyādevī.

Sang Bodhisattva ini dikenal secara populer dilingkungan rakyat berbagai bangsa di dunia, karena beliau telah menyeberangkan atau menyelamatkan makhluk-makhluk yang menderita hingga tiba di pantai seberang, sesuai dengan sumpah maha suci beliau yang berbunyi sebagai berikut:

“kalau bukan Aku yang pergi ke neraka untuk menolong mahluk-mahluk yang tersiksa disana, siapa yang akan pergi?......, kalau neraka belum kosong dari mahluk-mahluk yang tersiksa, Aku tidak akan menjadi seorang Buddha. Hanya bila semua makhluk telah di selamatkan, barulah Aku mencapai tingkat kebuddhaan”.

Bodhisattva Ksitigarbha sering dilukiskan dalam keadaan berdiri, tangannya memegang Cintamani (permata kebijaksanaan) atau Tongkat Bergemerincing, tongkat pemberi peringatan (disebut Khakkara). Wajahnya menunjukkan kebajikan. Banyak pula Bodhisattva Ksitigarbha yang dilukiskan dalam posisi duduk diatas teratai, tangannya memegang permata menyala yang dianggap berkekuatan dahsyat. Di kepalanya terdapat mahkota dengan lima lembar kelopak teratai, setiap kelopak terdapat lukisan Panca Dhayani Buddha. Dengan tongkatnya Ksitigarbha dapat membuka pintu neraka, sedangkan permata di tangannya dapat menerangi kegelapan neraka. Kadang kala kita temui Bodhisattva Ksitigarbha berdiri dan tangan kirinya memegang mangkok sedekah (patta) dan tangan kanannya membentuk mudra, sebagai tanda “Jangan takut” dan memberikan kedamaian semua makhluk.

Penampakan dari manifestasinya Bodhisattva Ksitigarbha, dalam kehidupan dengan cara meninggalkan kehidupan berumah tangga, Bodhisattva Ksitigarbha menyelamatkan makhluk-makhluk yang masuk ke alam neraka, dan mengajarkan kepada makhluk-makhluk hidup untuk menghargai Triratna dan mempercayai hukum sebab akibat, sehingga mereka tidak akan jatuh ke dalam tiga jalan kejahatan. Beliau juga menasihatkan agar orang menghormati nenek moyangnya, dan tidak melupakannya.

Ksitigarbha Biodhisattva pernah berjanji kepada Sakyamuni Buddha; “Saya akan mematuhi ajaranmu untuk melepaskan makhluk-makhluk dari penderitaan, dan membimbing mereka untuk mencapai kebebasan. Saya akan bekerja keras hingga Buddha Maitreya datang ke dunia ini”.
Buddha Sakyamuni memberikan nasihat; “Dengarkan baik-baik, jika seseorang pada waktu akan datang melihat lukisan/pratima Bodhisattva Ksitigarbha; mendengar sutra Ksitigarbha dan menghafalkannya, memberi persembahan dan menghormati Bodhisattva Ksitigarbha, mereka akan memperoleh keuntungan selama hidupnya dan kelak akhirnya akan mencapai kebuddhaan.

Dalam ajaran tradisi Buddha Theravada, kisah tentang seorang bhikkhu yang bernama Phra Malai, yang memiliki kualitas yang sama dengan Ksitigarbha, dikenal di seluruh Asia Tenggara, terutama di Thailand dan Laos. Legenda mengatakan bahwa ia adalah seorang arahat dari Sri Lanka, yang mencapai kekuatan luar biasa melalui kebajikannya dan hasil dari meditasi. Ia juga dihormati sebagai pengganti Maudgalyayana, murid utama Buddha yang memiliki pencapaian luar biasa.

Dalam cerita ini, bhikkhu yang saleh dan penuh kasih sayang ini turun ke Neraka untuk memberikan ajaran-ajaran dan memberikan kenyamanan bagi para makhluk neraka yang menderita di sana. Ia juga mempelajari bagaimana para makhluk neraka dihukum berdasarkan karma buruk mereka di alam neraka yang berbeda-beda.

9
Diskusi Umum / KONDISI AGAMA BUDDHA DIBERBAGAI BELAHAN DUNIA
« on: 01 May 2012, 05:41:43 AM »

KONDISI AGAMA BUDDHA DIBERBAGAI BELAHAN DUNIA


Alexander Berzin
Kairo, Mesir, Juni 1996.

Awalnya diterbitkan sebagai bagian dari:
Berzin, Alexander. Buddhism and Its Impact on Asia.
Asian Monographs, no. 8.
Cairo: Cairo University, Center for Asian Studies, June 1996.
Agama Buddha Theravada Asia Selatan dan Tenggara
Sri Lanka

Saat ini, agama Buddha tumbuh mekar di beberapa negara dan menghadapi kesukaran di negara lainnya. Theravada, contohnya, merupakan yang terkuat di Sri Lanka, Thailand, dan Burma (Myanmar), tapi melemah parah di Laos, Kamboja, dan Vietnam. Dari abad ke-16 sampai ke-19, agama Buddha mengalami kemunduran di Sri Lanka karena penganiayaan, pertama oleh Inkuisisi dan kemudian oleh para misionaris dari negara penjajahnya yang kr****n. Agama Buddha dipulihkan di akhir abad ke-19 dengan bantuan para cendekiawan dan ahli teosufi Britania. Hasilnya, agama Buddha Sri Lanka kadang dicirikan sebagai Buddha “Protestan”, dengan penekanan pada kajian cendekia, kegiatan pelayanan oleh para biksu bagi masyarakat awam, dan laku meditasi langsung bagi orang awam, tidak cuma bagi mereka yang berjubah. Umat awam memiliki iman yang luar biasa, tapi kadangkala mengeluhkan samarnya keseimbangan antara kajian dan praktik yang dilakukan oleh para biksu.

Indonesia dan Malaysia

Para biksu Sri Lanka telah membantu memulihkan agama Buddha Theravada di Bali, beberapa wilayah lain di Indonesia, dan Malaysia, tempat agama tersebut perlahan mati-lemas di akhir abad ke-15. Ini dilakukan pada skala yang sangat terbatas. Di Bali, mereka yang berminat adalah para pengikut campuran tradisional agama Hindu, Buddha, dan aliran kepercayaan setempat, sementara di wilayah lain di Indonesia dan Malaysia, peminatnya merupakan masyarakat China pendatang yang menganut Buddha Mahayana. Ada juga beberapa aliran kecil penganut Buddha di Indonesia yang merupakan percampuran unsur-unsur Theravada, China, dan Tibet.

Menurut kebijakan “Pancasila” pemerintah Indonesia, semua agama harus meyakini adanya Tuhan. Walau tidak menyatakan Tuhan sebagai sosok berwujud dan, karenanya, kadang dicirikan sebagai agama ateistis, agama Buddha diakui secara resmi di Indonesia karena penegasannya akan Adi buddha; yang secara harfiah bermakna “Buddha Pertama”, dan dibahas di dalam Tantra Kalacakra, yang berkembang di Indonesia seribu tahun yang lalu. Adi Buddha adalah pencipta maha tahu dari segala yang nampak, melampaui waktu, kata, dan batas lainnya. Walau dilambangkan dengan sosok simbolis, Adi Buddha sendiri sebetulnya bukanlah sosok. Ia lebih diwujudkan dan ditemukan dalam diri semua makhluk sebagai sifat cita bercahaya jernih. Atas landasan ini, agama Buddha diterima, bersama dengan Islam, Hindu, dan kr****n ka****k dan Protestan, sebagai lima agama negara Indonesia.

India

Agama Buddha perlahan memudar di wilayah India sub-Himalaya kira-kira sejak abad ke-17. Akan tetapi, pada akhir abad ke-19, orang Sri Lanka, dengan bantuan para cendekiawan Britania, mendirikan Masyarakat Maha Bodhi untuk memulihkan situs-situs perziarahan suci umat Buddha di India. Mereka sangat berhasil dan kini memiliki banyak wihara dengan para biksu di tiap situs itu, sebagaimana beberapa aliran Buddha lainnya.

Pada 1950-an, Ambedkar memulai sebuah gerakan Buddha-baru di antara kaum tak-tersentuh di India bagian selatan. Ratusan ribu orang bergabung, kebanyakan untuk menghindari cap buruk golongan kasta terendah. Gerakan ini menekankan pada pemerolehan hak-hak politik dan sosial bagi kaum tersebut. Ambedkar meninggal tak lama setelah mendirikan gerakan pemulihan ini. Sejak saat itu, gerakan ini dikepalai oleh Sangharakshita, seorang laki-laki Inggris yang mendirikan Mitra dari Ordo Buddha Barat (Friends of the Western Buddhist Order) sebagai bentuk baru agama Buddha, yang secara khusus dirancang bagi pelaku ajaran Buddha dari Barat.

Thailand

Di Thailand, karena dipengaruhi oleh model kerajaan Thai, masyarakat wihara Buddha memiliki seorang Bapa Agung dan sebuah Dewan Tetua yang bertanggung jawab menjaga kemurnian tata-cara. Ada dua jenis masyarakat wihara: mereka yang bermukim di hutan dan mereka yang tinggal di desa. Keduanya sangat dihormati dan didukung oleh masyarakat awam. Aliran hutan biksu fakir yang kental hidup di rimba terpencil dan meresapi meditasi yang sarat. Aliran ini mengikuti kepatuhan yang ketat terhadap aturan-aturan disiplin kewiharaan, yang membentuk pusat perhatian dari program belajarnya. Para biksu desa menyelenggarakan berbagai upacara bagi kesejahteraan penduduk setempat. Akan tetapi, pembelajaran mereka utamanya terdiri dari penghafalan naskah-naskah. Untuk tetap sejalan dengan kepercayaan budaya Thai terhadap roh, para biksu ini juga menyediakan jimat bagi para penduduk awam untuk perlindungan. Terdapat sebuah perguruan tinggi Buddha bagi para biksu, utamanya untuk melatih para biksu menerjemahkan kitab-kitab Buddha dari bahasa kuno Pali ke bahasa Thai modern.

Myanmar (Burma)

Di Myanmar (Burma), rezim militer mengambil alih kendali yang ketat atas agama Buddha di bawah Kementerian Agama. Rezim ini secara membabibuta telah menghancurkan wihara-wihara tempat para pembelot berdiam, khususnya di bagian utara negara tersebut. Kini pemerintah memberikan sejumlah besar uang kepada para biksu yang tersisa sebagai usaha untuk memenangkan dukungan mereka dan membukam segala bentuk kecaman. Burma memiliki tradisi panjang pada penekanan yang seimbang dan setara pada meditasi dan pembelajaran, khususnya sistem “abhidharma” dari ilmu kejiwaan, metafisika, dan budi pekerti Buddha. Banyak wihara yang menganut pendekatan ini masih buka, dan penduduk awam mempertahankan iman mereka yang luar biasa. Sejak akhir abad ke-19, kemungkinan dipengaruhi oleh jajahan Britania, terdapat banyak pusat meditasi tempat biksu dan guru awam mengarahkan orang awam Burma ke dalam latihan meditasi untuk mengembangkan kewaspadaan.

Bangladesh

Di Bangladesh selatan, di bukit-bukit di sepanjang perbatasan Burma, terdapat banyak desa terpencil yang secara tradisional mengikuti aliran agama Buddha Burma. Akan tetapi, terlepas dari Burma, tingkat pemahaman dan praktik mereka agak rendah.

Laos

Di Laos, agama Buddha masih diajarkan dan dipraktikkan di wilayah pinggiran dengan sikap tradisional, tapi wihara-wihara berada dalam keadaan memprihatinkan akibat Perang Amerika-Vietnam. Orang Laos awam masih menawarkan makanan kepada para biksu saat berkeliling meminta sedekah dan mereka pergi ke wihara pada hari-hari purnama. Akan tetapi, tradisi meditasi teramat sangat lemah. Mulanya, para biksu harus belajar dan mengajarkan Marxisme, tapi kini tidak lagi. Orang-orang kini memihak komunisme hanya di bibir saja dan sekarang lebih mudah untuk menjadi seorang biksu.

Kamboja

Di Kamboja, agama Buddha sedang dipulihkan setelah penghancuran dan penganiayaan yang dilakukan oleh rezim Pol Pot, dan khususnya dengan Pangeran Sihanouk kini sebagai raja, pelarangan-pelarangan perlahan mulai dilonggarkan. Akan tetapi, orang harus berumur di atas 30 atau 40 tahun untuk bisa ditahbiskan karena negara membutuhkan sumber daya manusia. Biksu Khmer kepala, Maha Ghosananda, belajar meditasi di Thailand karena praktik tersebut hampir-hampir hilang di Kamboja, dan ia sedang mencoba memulihkan praktik meditasi di sana. Aliran wihara hutan apa pun yang masih tersisa di negara tersebut cenderung lebih berkenaan dengan pencarian ilmu kanuragan, dan bukan meditasi.

Vietnam

Walau tak pernah ada penyeimbang Revolusi Kebudayaan di Vietnam, agama Buddha masih dianggap sebagai musuh negara di sana, dengan para biksu yang masih terus menentang otoritas dan kendali negara. Penahbisan adalah hal yang sukar dan banyak biksu masih dikurung di penjara. Hanya wihara-wihara boneka yang masih buka, kebanyakan untuk tujuan propaganda. Rezim pemerintah lebih longgar dengan para biksu di utara, tempat lembaga kewiharaan ada berdampingan dengan kaum komunis selama Perang Vietnam. Rezim jauh lebih curiga dan keras terhadap para biksu di selatan.

Agama Buddha Mahayana Asia Timur

Taiwan, Hong Kong, dan Wilayah China di Luar Negeri

Aliran Buddha Mahayana Asia Timur yang berasal dari Cina merupakan yang terkuat di Taiwan, Hong Kong, dan Korea Selatan. Taiwan memiliki masyarakat kewiharaan biksu dan biksuni yang dengan sangat baik hati didukung oleh masyarakat awam. Terdapat berbagai perguruan tinggi dan program Buddha untuk kesejahteraan sosial. Hong Kong juga memiliki masyarakat kewiharaan yang tumbuh-mekar. Pusat perhatian masyarakat Cina pendatang penganut Buddha di Malaysia, Singapura, Indonesia, Thailand, dan Filipina ada pada upacara-upacara untuk kesejahteraan para leluhur, dan untuk kemakmuran dan kekayaan bagi mereka yang masih hidup. Ada banyak medium yang melalui ini para ahli nujum Buddha berbicara dalam keadaan kesurupan dan yang menjadi tempat masyarakat awam bertanya tentang masalah kesehatan dan kejiwaan. Para pengusaha Cina yang merupakan daya dorong utama di balik ekonomi “ Macan Asia” ini kerap memberikan sumbangan pada para biksu untuk menyelenggarakan upacara bagi keberhasilan keuangan mereka.

Korea

Agama Buddha di Korea Selatan masih kuat, walaupun menghadapi tantangan yang terus berbiak dari gerakan-gerakan kr****n Evangelis. Terdapat banyak masyarakat biksu dan biksuni yang memiliki dukungan besar dari masyarakat. Secara khusus, tradisi meditasi tumbuh-mekar, khususnya Son, bentuk Zen di Korea. Sebaliknya, di Korea Utara, kecuali bagi wihara boneka yang dibuka untuk tujuan propaganda, agama Buddha mengalami penekanan yang gawat.

Jepang

Jepang memiliki banyak wihara yang keindahannya dipelihara bagi para wisatawan dan pengunjung, tapi banyak yang dikomersialkan. Walau ada juga beberapa pelaku yang serius, kebanyakan tradisi diformalkan secara ekstrem dan lemah. Dari abad ke-13, orang Jepang memiliki tradisi pendeta wihara yang menikah, dan tidak ada larangan minum tuak. Pendeta-pendeta seperti ini perlahan menggantikan tradisi biksu yang hidup membujang. Sebagian besar orang Jepang mengikuti gabungan agama Buddha dan Shinto. Mereka memiliki pendeta yang menyelenggarakan upacara dan adat Shinto untuk kelahiran dan pernikahan, dan upacara Buddha untuk pemakaman, dengan pemahaman yang tipis atas keduanya. Terdapat beberapa gerakan untuk mengadopsi cara-cara agama Buddha untuk mengurangi tekanan kerja di perusahaan-perusahaan besar, dan ada satu aliran Buddha Jepang memiliki program yang gencar membangun Pagoda Kedamaian di seluruh dunia. Ada juga sejumlah praktik pemujaan kiamat yang fanatik yang menyebut diri sebagai penganut Buddha, namun sesungguhnya sedikit sekali berkaitan dengan ajaran-ajaran Buddha Shakyamuni. Secara sejarah, beberapa aliran Buddha Jepang menganut sifat nasionalis yang ekstrem berdasarkan kepercayaan terhadap Jepang sebagai surga Buddha. Ini berasal dari pemujaan Shinto terhadap kaisar dan pentingnya rasa memiliki terhadap negara Jepang. Aliran-aliran semacam ini menetaskan partai-partai politik Buddha yang secara ekstrem memiliki sifat nasionalis dan fundamentalis.

Republik Rakyat China

Di China Dalam, yaitu di wilayah China Han dari Republik Rakyat China, sebagian besar wihara Buddha dihancurkan dan kebanyakan biksu, biksuni, dan guru terlatih dihukum mati atau dipenjara selama masa Revolusi Kebudayaan di tahun 1960-an dan 1970-an. Akan tetapi, di daerah-daerah non-Han, yaitu Tibet, Mongolia Dalam, dan Xinjiang, hal separah ini tidak terjadi. Sekarang, sejumlah besar orang China Han dari segala umur di China Dalam menaruh minat pada agama Buddha, tapi masalah utamanya terletak pada kurangnya guru. Banyak orang muda China menerima penahbisan kewiharaan, namun mutu mereka rendah. Kebanyakan pemuda yang berpendidikan perguruan tinggi lebih suka bekerja dan mencari uang, sementara mereka yang bergabung dengan wihara sebagian besar berasal dari keluarga miskin dan/atau tak terdidik, terutama dari daerah pedesaan. Hanya ada sedikit biksu dan biksuni lansia yang masih mumpuni, yang selamat dari penganiayaan komunis dan masih dapat mengajar; tapi tidak ada di antara mereka yang berusia paruh baya yang memperoleh pelatihan. Ada juga perguruan tinggi Buddha milik pemerintah dengan program dua sampai empat tahun di berbagai kota besar di China Dalam dan di situs perziarahan, dengan pendidikan politik sebagai bagian dari kurikulumnya. Secara nisbi, hanya sedikit sekali orang China Han yang baru ditahbiskan yang mengikuti pendidikan ini.

Secara umum, tingkat pendidikan agama Buddha sangat rendah di wihara-wihara China Han. Saat ini, orang memusatkan perhatian terutama pada pembangunan-ulang fisik—wihara, pagoda, patung, dan seterusnya—dan ini membutuhkan curahan waktu dan tenaga bagi penggalangan dana dan gedung. Dalam beberapa hal, pemerintah China membantu mendanai pembangunan. Hasilnya, banyak wihara Buddha kini dibuka sebagai museum atau daya tarik bagi wisatawan, dengan para biksu menjadi pemungut tiket dan penghuni wihara. Hal ini menciptakan topeng “kebebasan agama”, sebuah citra yang dicari oleh pemerintah Beijing. Akan tetapi, sebagian besar pembangunan dibiayai oleh penduduk setempat, terkadang dengan bantuan dermawan asing, dan sering juga oleh para biksu sendiri. Beberapa praktik pemujaan leluhur yang dilakukan di wihara sebelum penganiayaan komunis kini dipulihkan kembali. Akan tetapi, ada beberapa wihara China di beragam bagian di China Dalam yang aktif dan memiliki tingkat belajar dan praktik yang lumayan.

10
Theravada / Kisah Bhikkhu Pembangkit Tradisi Theravada di Nepal
« on: 18 April 2012, 12:11:15 AM »



"Y.M. Kumara kassapa Mahathera"


Buddhistzone.com | Kathmandu, Nepal – Suatu masa di Nepal, adalah hal yang ilegal untuk menjadi seorang bhikkhu. Anda dapat dimasukkan ke dalam penjara atau diasingkan ke luar negeri. Bhikkhu Kumar Kashyap (Kumarakasyapa Mahathera – ed) adalah seseorang di antara sekelompok bhikkhu yang dibuang pada tahun 1944.

Saat beliau wafat 26 Februari 2012 lalu, sepenggal sejarah mati bersamanya. Beliau adalah bhikkhu terakhir yang bertahan di antara delapan orang bhikkhu yang ditugaskan bergerak untuk menyebarkan sebuah “agama baru”.

Agama baru tersebut adalah Buddhisme Theravada. Ini merupakan kemunculan kembali Buddhisme Theravada di Nepal setelah mati beberapa abad yang lalu. Pemandangan asing dari para bhikkhu berjubah kuning khas Thailand dan Sri Lanka membuat masyarakat terpesona, tetapi menggetarkan para penguasa autokrasi yang beraksi dengan amarahnya yang khas. Mereka menangkap para bhikkhu tersebut dan mengumpulkan mereka di luar Kathmandu. Para tentara menggiring mereka saat mereka mendaki melewati perbukitan daerah selatan, hanya kembali setelah memastikan bahwa para bhikkhu tersebut telah mengambil jalur ke India.

Kumar Kashyap berusia 18 tahun merupakan yang termuda di antara para bhikkhu yang diasingkan. Lahir dengan nama Asta Man Shakya di Tansen, Palpa, Nepal, beliau mengambil nama Kumar Kashyap setelah menjadi seorang samanera. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Bhante Kumar. Setelah menerima pabbajja (penahbisan untuk para samanera – ed) pada tahun 1942, beliau datang ke Kathmandu untuk bergabung dengan para bhikkhu yang bekerja untuk menghidupkan kembali keyakinan Theravada di bawah tatapan waspada pemerintah.

Tahun 1940-an merupakan masa yang menarik di Nepal. Gerakan anti-Rana (Dinasti Rana, 1846 s.d 1953 – ed) sedang dalam keadaan ramai, dan empat aktivis demokrasi telah dieksekusi. Buddhisme Theravada baru saja muncul kembali, membawa serta angin segar ke dalam sebuah tradisi yang semakin terkubur dalam ritual esoteris (bersifat rahasia – ed).

Untuk memberikan sebuah gambaran sederhana dari tiga cabang Buddhisme, Theravada adalah tradisi yang dapat dilihat di Sri Lanka, Birma dan Thailand. Para bhikkhunya mengenakan jubah kuning. Kedua adalah Mahayana yang dapat dijumpai di Bhutan. Ketiga adalah Vajrayana yang dipraktikkan di Lembah Kathmandu.

Kebangkitan Buddhisme Theravada terjadi bersamaan dengan perjuangan demokrasi dan kedua gerakan tersebut saling mendukung. Masyarakat berjajar di pinggir jalan untuk menatap kagum para bhikkhu dalam jubah kuning saat mereka melakukan pindapata (mengumpulkan dana makanan – ed). Para bhikkhu tersebut mengajar dengan cara yang mudah dipahami, tidak ada ritual-ritual rumit dalam dasar praktik keagamaan mereka, dan kotbah-kotbah mereka menarik semakin banyak orang.

Para penguasa yang ada, yang curiga terhadap apapun yang melibatkan berkumpulnya orang-orang, merasa ketakutan. Para bhikkhu tersebut dipanggil ke Singha Durbar dan berbaris di hadapan perdana menteri. Mereka diminta untuk menandatangani sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa mereka tidak akan mengajarkan Buddhisme, menulis buku dalam bahasa Nepal, atau menahbiskan para wanita sebagai viharawati.

Para bhikkhu tersebut tentunya menolak, dan dengan sewenang-wenang mereka diperintahkan untuk keluar dari kota dalam waktu tiga hari. Dan para bhikku pun pergi, para pengikut mereka yang menangis menyertai mereka hingga di tepi Lembah. Karena tidak ada jalan raya yang terhubung antara Kathmandu dan dunia luar, maka berjalan adalah satu-satunya cara untuk sampai ke mana saja.

Setelah menyeberang ke India, para bhikkhu tersebut berpencar ke arah yang berbeda-beda. Beberapa pergi ke Kushinagar, dan yang lainnya ke Kolkata dan Kalimpong. Pertama, Bhante Kumar pergi menuju ke Kalimpong dan kemudian berlayar ke Sri Lanka.

Bagi orang darat dari sebuah kota bukit, negara pulau tersebut memberikan pencerahan dalam banyak cara. Beliau menerjunkan diri dalam studi Buddhisme, bebas dari rasa takut dari para penguasa yang terus mengincar dirinya. Namun, masa itu tidaklah mudah.

Perang Dunia Ke-2 sedang terjadi, dan rakyat Sri Lanka sedang berjuang melawan pemerintah Inggris. Tapi Bhante Kumar memanfaatkan sebaik-baiknya kehidupan di pengasingannya. Beliau mempelajari bahasa Sinhala, dan menjadi seorang pakar kitab suci Tipitaka (Tipitaka acariya – ed).

Sebut saja karma, pengusiran para bhikku tersebut justru memberikan dampak yang sebaliknya dari apa yang rezim pemerintah maksudkan. Opini publik menentang para penguasa semakin kencang, dan Buddhisme Theravada mendapat lebih banyak pengikut. Kesusastraan mendapatkan sebuah penyegaran dengan para bhikkhu tersebut juga menjadi penulis yang produktif. Dorongan untuk melakukan perjalanan juga menjadikan para bhikku tersebut sorotan internasional dan pemberitaan buruk bagi pemerintah Nepal.

Buddhis di Sri Lanka merupakan simpatisan mereka yang terbesar. Pada tahun 1946, dengan niat baik mereka mengirim sebuah misi ke Nepal dan memohon kepada perdana menteri Nepal untuk mengizinkan para bhikku tersebut untuk kembali. Akhirnya para pria berjubah kuning tersebut datang kembali setelah menghabiskan dua tahun di luar negeri. Buddhisme Theravada menetap di Nepal. Bhante Kumar kembali ke Kathmandu dari Sri lanka dan menulis buku selain mengajar di Vihara Kuti Ananda (Ananda Kuti Vihar) di Swayambhu. Selanjutnya beliau menjadi kepala Vihara Kuti Ananda. Beliau adalah Wakil Ketua Bhikku saat beliau wafat pada usia 85 tahun.

11
Diskusi Umum / "Bhiksu Palsu Tertangkap Kembali"
« on: 17 April 2012, 11:55:04 PM »


"Bhiksu Palsu Ditangkap Setelah Terekspos di Internet"

Buddhistzone.com | Beijing, China – Agama kerap kali dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab untuk mengeruk keuntungan termasuk penyalahgunaan jubah keagamaan para bhiksu untuk menyamar, melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji dan menipu para umat.

Seperti yang dilaporkan oleh situs France24, dua orang pria dengan mengenakan jubah jingga bhiksu tradisi di China nampak terlihat berada di jalanan kota Beijing berkumpul dengan kekasih mereka dan meneguk sekaleng bir, membuat beberapa orang yang melihatnya mengangkat alis mereka.

Kedua pria tersebut nampak menikmati pergi dengan mengenakan pakaian seperti bhiksu dan bahkan membuat sebuah akun Weibo (situs jejaring sosial seperti Twitter) dimana mereka memasang foto mereka sedang memegang kalung japa (Sanskerta: jāpa-mālā) dan tersenyum di depan kamera.

Perilaku mereka menarik seorang pengguna situs yang secara diam-diam memfilmkan pasangan tersebut dan mengirimkan beberapa video ke dalam jaringan internet. Dalam rekaman video tersebut dapat dilihat mereka sedang meminum bir dan berbicara dengan keras di dalam kereta bawah tanah, ditemani dengan dua orang wanita yang nampaknya mereka tahu secara intim.

Ketika kedua pria tersebut sedang menghadiri sebuah pertemuan keagamaan di Vihara Fayuan, di Xicheng, vihara terbesar di Beijing pada 7 April, seorang pria yang penah melihat foto-foto mereka secara online mengintai kedua penipu tersebut di sebuah hotel.

Saat mereka menyadari mereka sedang dilihat, kedua orang pria tersebut bersembunyi di kamar mandi untuk mengganti pakaian mereka. Namun saat mereka keluar kembali, sekitar dua puluhan bhiksu yang asli menunggu mereka. Ketika kedua orang tersebut terbukti tidak mampu melafalkan sutra atau menunjukkan sertifikat keagamaan mereka, mereka diserahkan ke polisi.

Shanghai Daily selanjutnya mengidentifikasi kedua orang tersebut sebagai musisi bernama Zhao Wenbo and Ren Zhuankun (Ren Chuankun.), masing-masing dari provinsi Heilongjiang dan Anhui. Keduanya bekerja pada Perusahaan Musik FSTC Beijing.

Jiang Xinxin, manajer umum perusahaan tersebut, menuturkan kepada surat kabar bahwa Zhao Wenbo pernah mengatakan kepadanya bahwa ia pernah ditipu sebesar 100 ribu Yuan (sekitar 140 juta Rupiah) oleh mantan bosnya, seorang oknum Buddhis, dan ia memutuskan untuk “menarik perhatian publik untuk mempermalukan umat Buddha” dengan yang ia sebut perbuatannya itu sebagai pertunjukkan seni.

Menurut hukum perundangan China, seseorang yang berpura-pura menjadi anggota staf departemen pemerintah atau menggunakan identitas palsu lain untuk melakukan praktik penipuan harus ditahan tidak boleh kurang dari 5 hari dan tidak boleh lebih dari 10 hari.

Pihak kepolisian yang mengatakan bahwa mereka sedang melakukan investigasi terhadap kejadian tersebut diberitakan telah menangkap kedua bhiksu gadungan tersebut selama lima hari terakhir tanpa memberikan penjelasan resmi atas penangkapan mereka.

Di China, operasi penipuan yang terorganiasi oleh para bhiksu palsu relatif umum terjadi. Biasanya para pria berpose sebagai para bhiksu dari Vihara Shaolin yang terkenal di negara tersebut dan menjual obat-obatan tradisional palsu atau meminta sumbangan. Menurut media di China, beberapa penipu ini dapat meraup uang sampai sebesar 20 ribu Yuan (sekitar 29 juta Rupiah) per tahun, lebih dari dua kali lipat pendapatan rata-rata pekerja pabrik di China.

Juru bicara asosiasi Buddhis Tiongkok mengatakan bahwa kejadian ini sangat merusak reputasi agama Buddha, dan menuntut para penipu tersebut dihukum berat.

Keberadaan bhiksu palsu diperkirakan telah meluas sampai ke mancanegara. Akhir Februari lalu (22/2), tiga orang Bhiksu Asing Gadungan Dibekuk Imigrasi  Jakarta Barat, Indonesia. Mereka dibekuk saat sedang mengemis di seputar kompleks perumahan Taman Palem, Jakarta Barat.

Maraknya keberadaan bhiksu-bhiksu palsu menuntut umat Buddha untuk tetap waspada agar tidak terjebak dalam penipuan terutama menjelang hari-hari besar keagamaan.

12
Mahayana / MENGENAL VAJRASATTVA DHAYANI BODHISATTVA
« on: 16 April 2012, 10:13:29 AM »

"VAJRASATTVA DHAYANI BODHISATTVA"


Vajrasattva (Sansekerta: वज्रसत्त्व, Tibet: རྡོ་རྗེ་སེམས་དཔའ། - bentuk pendek adalah: རྡོར་སེམས། China : 金 刚 薩 埵) adalah seorang Bodhisattva yang sangat dikenal dalam Tradisi Mahayana dan Tradisi Vajrayana. Didalam tradisi Vajrayana Buddhisme Jepang, tradisi Shingon, Vajrasattva adalah aspek esoteris dari Bodhisattva Samantabhadra dan pada umumnya berhubungan dengan praktisi para siswa yang melalui ajaran para guru, untuk mencapai landasan untuk memperkaya tingkatan yang sangat halus dan sangat langka dalam praktek esoteris mereka. Dalam Buddhisme Tibet Vajrasattva berhubungan dengan Dharmakaya dan juga dengan praktek pemurnian dari kekotoran batin.

Vajrasattva muncul terutama didalam dua teks Buddhis yaitu Sutra Mahavairocana dan Sutra Vajrasekhara. Dalam Vajra Loka Mandala, Vajrasattva duduk diarah Timur dekat dengan Akshobhya Buddha.

Dalam beberapa garis keturunan esoteris, Nagarjuna dikatakan telah bertemu Vajrasattva dalam sebuah menara besi di India Selatan, dan diajarkan Tantra, sehingga transmisi ajaran esoterik turun untuk tokoh-tokoh sejarah lainnya.

Vajrasattva digambarkan berwarna putih murni dan kadang-kadang dikenal sebagai "Prince of Purity" atau dengan kata puitisnya "Realitas perwujudan".

Beliau digambarkan sebagai seorang pemuda yang tampan, dengan semua kain sutra dan perhiasan bagaikan seorang pangeran yang sangat kaya. Di tangan kanannya beliau penuh dengan perhatian menyeimbangkan Vajra ditaruh dekat hatinya. Di tangan kirinya ia memegang sebuah lonceng ditaruh sekitar pinggangnya. Vajra mewakili Realitas, dan Welas Asih, sedangkan bel lonceng mewakili Kebijaksanaan.


"Shingon Buddhisme"

Dalam Tradisi Shingon silsilah Buddhis, Vajrasattva secara tradisional dipandang sebagai patriark kedua, sedangkan patriark pertama adalah Buddha Vairocana sendiri. Menurut Kukai dalam tulisan Rekaman Transmisi Dharma ia menceritakan sebuah cerita berdasarkan dari Amoghavajra tentang Nagarjuna bertemu dengan Vajrasattva dalam sebuah menara besi di daerah selatan India. Vajrasattva memulai dengan mengajarkan kepada Nagarjuna tentang abhiseka ritual yang dipercayakan kepadanya ajaran esoteris tersebut yang telah ia pelajari dari Buddha Vairocana, seperti yang tertulis didalam Sutra Mahavairocana. Kukai tidak menjelaskan lebih lanjut tentang Vajrasattva atau asal-usulnya.

Di tempat lain, Vajrasattva adalah sosok penting dalam dua sutra Buddhis esoteris, yaitu Sutra Mahavairocana dan Sutra Vajrasekhara. Dalam bab pertama dari Sutra Mahavairocana, Vajrasattva menyebabkan sejumlah makhluk agar mengunjungi Buddha Vairocana untuk mempelajari Dharma. Vajrasattva bertanya tentang tujuan, sebab dan dasar dari semua yang mencakup tentang kebijaksanaan, yang mengarah ke wacana filosofis ajaran Para Buddha. Para makhluk tidak bisa memahami pengajarannya, sehingga Sang Buddha Vairocana menunjukkan dengan menggunakan mandala. Vajrasattva kemudian mempertanyakan mengapa ritual dan benda-benda tersebut diperlukan jika kebenaran berada di luar bentuk. Vairocana Buddha menjawab pertanyaan Vajrasattva bahwa ini adalah cara yang mudah dan bijaksana untuk membawa praktisi mengalami pencerahan lebih mudah. Dalam tradisi aliran Shingon ritual Buddhis untuk inisiasi tersebut Kanjo kechien, yang memulai kembali tradisi peran Vajrasattva dalam membacakan mantra dan dialog dari sutra tersebut. Para Maha Acharya mengajarkan peran Buddha Mahavairocana sebagai Buddha kebijaksanaan dan menganugerahkan ajaran tersebut kepada para siswa-siswanya.

"Buddhisme Tibet"

Dalam Buddhisme Tibet aliran Tantra berakar dari Vajrasattva adalah Dorje Gyan, atau 'Ornament Vajra'. Praktek Vajrasattva yang umum untuk semua dari empat sekolahan dari Buddhisme Tibet dan digunakan baik untuk memurnikan halangan-halangan sehingga para siswa dari tardisi Vajrayana dapat berkembang dalam melampaui praktek Ngondro ke berbagai praktek yoga tantra dan juga untuk memurnikan setiap patah kata samaya sumpah setelah inisiasi. Dengan demikian, praktek Vajrasattva adalah elemen terpenting dari praktik Buddhisme Tibet.

Selain praktek pribadi, mantra Vajrasattva dianggap sebagai memiliki kemampuan untuk memurnikan karma buruk, membawa kedamaian, dan menyebabkan aktivitas tercerahkan secara umum. Setelah 11 September 2001 serangan WTC di Amerika Serikat, Dzogchen Ponlop Rinpoche mengumumkan sebuah bhaktipuja, Doa untuk Perdamaian dunia, untuk mengumpulkan satu miliar doa dari enam suku kata pelafalan Vajrasattva oleh praktisi di seluruh dunia. Mantra enam suku kata (OM VAJRASATTVA HUM), adalah versi terpendek dari mantra seratus suku kata yang didasarkan, tetapi sudah berisi poin terpenting spiritual dari mantra ini, menurut lama dan tulku Jamgon Kongtrul.

"Seratus Mantra Sukukata"

Dalam praktik Buddhis Tibet tradisi Vajrayana, Vajrasattva digunakan dalam Ngondro, atau praktik awal, untuk "memurnikan" kekotoran batin, sebelum melakukan lebih maju teknik tantra yang lainnya. Dalam 'Yik Gya', yang berarti 'Seratus Mantra Suku kata' ( Tibet : ཡིག་བརྒྱ, atau : yig brgya) permohonan dari Vajrasattva, mendekati universalitas dalam Ngondro berbagai dasar sadhana untuk para sadhaka dari semua aliran Mantrayana dan Sarma disekolah bar Bonpo tersebut. Meskipun Pengucapan dan ortografi mereka berbeda antara garis keturunan dalam tradisi ini.

Mengapa saya mempostingkan sedikit mengenai Bodhisattva Vajrasattva semalam saya bermimpi tentang mantra sang Bodhisattva tersebut didalam mimpi tersebut dikatakan bahwa mantra Bodhisattva Vajrasattva adalah mantra yang mulia dan termasuk jajaran mantra tertinggi diantara mantra para Bodhisattva lainnya bahkan melebihi mantra para Maha Deva, Mantra tersebut berguna untuk Menjernihkan pikiran dan kekotoran batin kita mantra tersebut bermanfaat untuk menolak bala, menghalau mahkluk-mahkluk jahat yang ingin mengoda ataupun mencelakai kita, mampu mendatangi hujan ataupun menenangkan bencana alam yang sedang bergejolak, mantra tersebut disukai oleh para Deva dan dimuliakan oleh para Deva bagi yang membaca mantra tersebut akan memperoleh perlindungan dari para Deva dan para Bodhisattva, dalam mimpi saya terus membaca mantra tersebut sampai saya terbangun dari tidur entah apa yang terjadi seumur hidup baru kali ini saya bermimpi seperti ini semoga artikel ini bermanfaat untuk kita semua.

"Mantra pendek dari Vajrasattva Bodhisattva"

"OM VAJRASATTVA HUM"

"Mantra panjang dari Vajrasattva Bodhisattva"

ཨོཾ་བཛྲ་སཏྭ་ས་མ་ཡ་མ་ནུ་པ་ལ་ཡ། བཛྲ་སཏྭ་ཏྭེ་ནོ་པ་ཏིཥྛ།
དྲྀ་ཌྷོ་མེ་བྷ་བ། སུ་ཏོ་ ཥྱོ་མེ་བྷ་བ།
སུ་པོ་ ཥྱོ་མེ་བྷ་བ། ཨ་ནུ་ར་ཀྟོ་མེ་བྷ་བ།
ས་རྦ་སི་དྡྷི་མེ་པྲ་ཡ་ཙྪ། ས་རྦ་ཀ་རྨ་སུ་ཙ་མེ ཙི་ཏྟཾ༌ཤེ་ཡཿ་ཀུ་རུ་ཧཱུྂ།
ཧ་ཧ་ཧ་ཧ་ཧོཿ བྷ་ག་བ་ན
ས་རྦ ཏ་ཐཱ་ག་ཏ་བཛྲ་མཱ་མེ་མུ་ཉྩ།
བཛྲཱི་བྷ་བ་མ་ཧཱ་ས་མ་ཡ་སཏྭ
ཨཱཿ །། ཧཱུྂ ཕ་ཊ

"OM VAJRA SATTVA SAMAYA MANUPALAYA
VAJRA SATTVA TVENOPATISTHA
DRDHO ME BHAVA SUTOSYO ME BHAVA
SUPOSYO ME BHAVA ANURAKTO ME BHAVA
SARVA SIDDHI ME PRA YACCHA SARVA KARMA
SU CA ME CITTAM SRE YAH KU RU HUM
HA, HA, HA, HA, HO BHAGAVAN SARVA TATHAGATA
VAJRA MA ME MUNCA VAJRI BHAVA
MAHA SAMAYA SATTVA AH"


"ARTINYA DALAM TERJEMAHAN BEBAS"

O Vajrasattva, yang mengenapi ikrar suciMu
Semoga Anda tetap teguh di dalam diriku
Kabulkanlah keinginanku yang sempurna
Tumbuh dalam diriku
Kasihi dan cintailah diriku
Berikanlah aku seluruh siddhiMu
Tunjukkan semua karmaku
Agar membuat pikiran saya lebih baik, berbudi luhur dan menguntungkan untuk semua mahkluk!
(Ha, Ha, Ha, Ha, Ho adalah Inti benih dari suku kata Vajrasattva)
O yang terberkati, yang mewujudkan semua Tathagata Vajra
Jangan tinggalkan aku
Berikanlah aku realisasi Alam Vajra
O yang besar Samayasattva ikrar sucinya
Membuat saya menjadi satu dengan diriMu!

TADYATA OM GATE GATE PARAGATE PARASAMGATE BODHI SVAHA

SARVE SATTVA BHAVANTU SUKHINAH
SEMOGA SEMUA MAHKLUK BERBAHAGIA

OM...SANTI...SANTI...SANTI...

13
Diskusi Umum / "EMPAT BODHISATTVA BARU PEMIMPIN CHINA"
« on: 16 April 2012, 09:54:04 AM »

"EMPAT MAHA BODHISATTVA BARU VERSI PEMIMPIN CHINA"
{COPASAN}

现代中国四大菩萨: (左右)江泽民,毛泽东,邓小平,胡锦涛。

Empat bodhisattva modern Tiongkok : (kiri ke kanan) Jiang Zemin, Mao Zedong, Deng Xiaoping, Hu jintao. Jasa empat kamerad Tionghoa ini sungguh besar, semua Tionghoa sejati akan menganggap mereka sebagai bapak bangsa Tionghoa. Tanpa jasa beliau, tak akan ada Tiongkok PRC yg sebegitu maju & jadi negara adikuasa seperti sekarang ini. Mao Zedong menjatuhkan rejim jahat borjuis-nasionalis yg korup, membangun negara baru Republik Rakyat Tiongkok, menyelamatkan jutaan rakyat kecil. Deng Xiaoping dgn kecerdikannya membangun revolusi ekonomi, memulai kebangkitan ekonomi Tiongkok. Jiang Zemin dgn kepemimpinan yg tegas memberantas berbagai penghianat negeri Tiongkok, berhasil mengungkap kejahatan setan Falun Gong, menyelamatkan bangsa Tionghoa dari pembodohan. Hu Jintao dengan ke-lihai-an beliau berhasil memajukan industri modern, menjatuhkan dominasi bule, dan berupaya keras merestorasi kebudayaan Tionghoa dari pengaruh barat. Kita bangsa Tionghoa sungguh beruntung punya 4 pemimpin kamerad agung. Inilah penyelamat asli umat Tionghoa, bukan dewa-dewa fiktif masa lalu yg hanya jadi penghias altar.

☆中☆共☆万☆岁☆

Bagaimana tanggapanmu kawan??? :o :o :o

14
Humor / Komik Humor
« on: 12 April 2012, 01:40:23 AM »
Komik Humor


Kalau lucu silakan tertawa kalau tidak lucu cukup diam saja engga perlu heboh :P

15

{BAGAIMANA HUBUNGAN INTIM YANG SEHAT MENURUT PANDANGAN AGAMA BUDDHA???}

Dari kemarin saya ingin bertanya sebenarnya bagaimana ya pandangan Buddha Dharma tentang hubungan Sexual yang sehat itu pertanyaan ini sangatlah penting bagi kita sebagai umat perumah tangga khususnya yang sudah berumah tangga kalau menurut dokter sex dan para ahli kesehatan sex, hubungan sexual itu harus penuh kehangatan, gairah dan variasi sehingga tidak membuat pasangan anda jenuh terhadap anda, ada yang mengajarkan dengan cara "MENCIUM", "MERABAH", "MENJILAT", "MENGHISAP", "MEREMAS-REMAS", ada yang mengajari dengan gaya 69, ada yang mengajari dengan gaya digendong dengan istilah monyet sedang naik diatas pohon dan sebagainya apakah cara demikian diperbolehkan dalam pandangan Buddha Dharma kalau sampai tidak diperbolehkan apakah hubungan keharmonisan rumah tangga anda akan terganggu, apakah ini termasuk pelanggaran sila ke 3 bagaimana tanggapan kalian???

Pertanyaan kedua apakah didalam agama Buddha diperbolehkan menggunakan obat perangsang untuk menaikan gairah sexual kita, karena kita tau obat perangsang dapat membuat hormon kita bergejolak sehingga membuat kita berpikir penuh dengan fantasi apakah ini diperbolehkan apakah ini termasuk pelanggaran sila ke 5 karena ini juga bisa membuat kesadaran kita melemah dan terganggu akibat gejolak hormon kita, dengan mengkonsumsi obat perangsang bahkan melihat nenek-nenek yang di make up saja bisa langsung terangsang bagaimana menurut pendapat kalian???

Terima Kasih atas jawabannya semoga bermanfaat untuk kita sebagai umat Buddha perumah tangga! _/\_

Pages: [1] 2 3 4
anything